Anda di halaman 1dari 103

CASE REPORT STUDY

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER BANGSAL NEUROLOGI

“Stroke Iskemik, Hipertensi Emergency, Diabetes Melitus Tipe II


Terkontrol”
di Bangsal Neurologi RSUD Padang Panjang

Preseptor:
dr. Rini Sunarti, Sp. S
apt. Mutia Permata Sari, S. Farm.

Disusun oleh:
Kelompok 3

Lira Permata MizolaS. Farm 31 05 057


Ariska Permata Sari S. Farm 31 05 069
Vivi Anggreini S. Farm 31 05 079

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


ANGKATAN XXVII
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

laporan akhir ini dalam rangka Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah

Sakit Umum Daerah Kota Padang Panjang. Salawat beriring salam tidak lupa kita

ucapkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya dari zaman

jahiliyah kepada zaman yang penuh ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan

saat ini.

Laporan ini ditujukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Praktek Kerja

Profesi Apoteker (PKPA) pada Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi

Universitas Perintis Indonesia (UPERTIS), Padang. Selesainya penulisan tugas

khusus ini tidak terlepas dari dukungan, doa, dan semangat dari berbagai pihak.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. apt. Elfi Sahlan Ben selaku Rektor di Universitas

Perintis Indonesia (UPERTIS) Padang.

2. Ibu Dr. apt. Eka Fitrianda, M.Farm selaku Dekan di Fakultas Farmasi

Universitas Perintis Indonesia (UPERTIS) Padang.

3. Ibu apt. Mimi Aria, M.Farm selaku Ketua Program Studi Profesi

Apoteker di Fakultas Farmasi Universitas Perintis Indonesia (UPERTIS)

Padang.

i
4. Dr. Ardoni selaku direktur di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padang

Panjang yang telah memberikan tempat bagi kami dalam melaksanakan

Praktek Kerja Profesi Apoteker.

5. Ibu apt. Rahmi Safyanty, M.Farm, selaku Pembimbing lapangan di

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padang Panjang.

6. Bapak ibu dosen, selaku pembimbing dari fakultas farmasi yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan dukungan

kepada kami selama melaksanakan PKPA hingga penyusunan laporan

7. Seluruh asisten apoteker dan karyawan Rumah Sakit Umum Daerah Kota

Padang Panjang atas bantuan dan kerjasam yang diberikan.

Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan. Kritik dan

saran guna perbaikan penulis harapkan. Penulis berharap semoga laporan ini dapat

menambah ilmu dan pengetahuan dibidang farmasi khususnya pengetahuan

tentang pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.

Padang Panjang, Februari 2021

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

World Health Organization (WHO) menetapkan bahwa stroke merupakan suatu

sindrom klinis yang ditandai dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal

atau global yang dapat menimbulkan kematian atau kelainan yang menetap lebih dari

24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular. Stroke menurut WHO adalah

suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah

otak, dimana secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam

beberapa jam) timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak yang

terganggu. Stroke termasuk diantara penyebab utama kematian dan kecacatan

diseluruh dunia. WHO mencatat bahwa setiap tahunnya terdapat 15 juta orang di dunia

menderita stroke. Stroke juga merupakan penyebab kematian tersering ketiga di

Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama disabilitas serius jangka panjang

(Yuniadi, 2010).

Penghentian aliran darah <16-18 ml/100g jaringan per menit menyebabkan infark

dalam waktu satu jam, dan nilai < 20 ml/100g jaringan per menit menyebabkan iskemik

tanpa infark kecuali berkepanjangan selama beberapa jam atau hari. Ketika aliran darah

cepat dipulihkan, jaringan otak dapat pulih sepenuhnya dan gejala muncul dalam waktu

singkat maka istilah serangan iskemik transien (Transient Ischemic Attack, TIA)

digunakan, TIA adalah serangan mendadak, merupakan penurunan syaraf fokal yang

1
berlangsung selama kurang dari 24 jam dan terbatas pada area otak atau perfusi mata

oleh arteri tertentu. Serangan awal stroke umumnya berupa gangguan kesadaran, tidak

sadar, bingung, sakit kepala, sulit konsentrasi, disorientasi, atau dalam bentuk lain.

Stroke bisa menjadi bertambah buruk dalam beberapa jam sampai 1 atau 2 hari

kemudian akibat bertambah luasnya jaringan otak yang mati (Junaidi, 2011).

Stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanismenya yaitu stroke hemoragik

dan stroke iskemik. Stroke hemoragik meliputi subarachnoid hemoragik, intraserebral

hemoragik dan hematoma subdural. Stroke iskemik tercatat sebanyak 87% sedangkan

stroke hemoragik sebanyak 13% dari seluruh kasus stroke (Dipiro et.al., 2015).

Salah satu faktor resiko stroke adalah hipertensi. Hipertensi merupakan suatu

keadaan tingginya tekanan darah seseorang (tekanan darah sistolik lebih dari 140

mmHg dan atau diastolik 90 mmHg) yang diukur secara berulang-ulang. Tekanan darah

normal 120/80 mmHg. Naiknya tekanan darah pada seseorang dapat disebabkan oleh

beberapa faktor, diantaranya faktor genetik, hormone, kekurangan asupan kalium dan

kalsium, obesitas. Hipertensi dapat juga disebabkan oleh penyakit lain seperti diabetes,

konsumsi obat-obat tertentu, seperti pil KB, perubahan dalam sistem kerja organ tubuh,

seperti: perubahan pada tahanan pembuluh darah, gangguan pada tekanan darah,

perubahan transport ion dalam sel asupan garam yang berlebih (Depkes RI,2006).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke

2.1.1 Pengertian Stroke

Stroke adalah terputusnya aliran darah ke otak, umumnya akibat pecahnya

pembuluh darah ke otak atau karena tersumbatnya pembuluh darah ke otak sehingga

pasokan nutrisi dan oksigen ke otak berkurang. (World Health Organization, 2014).

Stroke atau Cerebro Vascular Accident (CVA) merupakan penyakit gangguan

fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke otak

karena perdarahan (stroke hemoragik) ataupun sumbatan (stroke iskemik) dengan gejala

dan tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh

dengan cacat, atau kematian (Junaidi, 2011).

2.1.2 Klasifikasi Stroke

Gambar 1. Tipe Stroke

Stroke terdiri dari dua jenis utama yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik.

Stroke iskemik jauh lebih sering terjadi dari pada stroke hemoragik. Otak memiliki

suplai darah yang cukup konsisten antara individu. Stroke iskemik dapat disebabkan

aterosklerosis pada pembuluh darah besar, aortocardioemboli, atau oklusi pembuluh

3
darah kecil. Pada stroke hemoragik, paling sering disebabkan oleh hipertensi, kelainan

pembuluh darah spesifik atau masalah medis lainnya (Joao Gomes, 2013).

1. Stroke Iskemik

Gambar 2. Stroke Iskemik

Stroke iskemik terjadi ketika aliran darah arteri ke otak tersumbat. Arteri

bertanggung jawab untuk mengalirkan darah segar dari jantung dan paru-paru yang

membawa oksigen dan nutrisi ke otak. Jika arteri diblokir, sel-sel otak (neuron) tidak

dapat membuat energi yang cukup dan akhirnya akan berhenti bekerja. Jika arteri tetap

diblokir selama lebih dari beberapa menit, sel-sel otak bisa mati (Anonim, 2015).

Stroke iskemik dibagi menjadi:

4
a. Trombosis

Gambar 3. Trombosis

Ketika berusia muda, seseorang memiliki arteri yang luas dan fleksibel, namun

seiring bertambahnya usia dinding arteri menjadi lebih tebal dan kurang lentur. Sebuah

kondisi yang disebut aterosklerosis kemudian dapat berkembang dimana

menggambarkan pengerasan dan penebalan arteri besar dalam tubuh akibat deposito

lemak, atau patch yang disebut “ateroma” pada dinding bagian dalam arteri. Mereka

dapat menjadi lebih tebal dan menyebabkan penyempitan dan mengurangi aliran darah

yang melewati pembuluh darah tersebut sehingga akhirnya terjadi penyumbatan. (Stroke

Association, 2012).

Penyumbatan yang terjadi dapat membuat dinding permukaan arteri menjadi

rapuh dan mudah patah sehingga dapat menyebabkan pendarahan fokal dan terbentuk

5
trombus. Trombus yang terbentuk dapat pecah dan mengalir ke pembuluh darah yang

lain, sehinnga terjadi penyumbatan di daerah lain (Joao Gomes, 2013)

b. Emboli

Gambar 4. Emboli

Emboli pada umumnya disebabkan oleh bekuan darah yang terbentuk dilokasi lain

dalam sistem peredaran darah seperti jantung dan arteri besar dada bagian atas dan

leher. Kondisi jantung dan kelainan darah seperti denyut jantung yang tidak teratur atau

Fibrilasi Atrium dapat menyebabkan penumpukkan darah dijantung dan meningkatkan

resiko pembentukan gumpalan darah dibilik jantung. Sebagian bekuan darah tersebut

lepas dan berjalan memasuki pembuluh darah otak hingga mencapai pembuluh darah

otak kecil dan menyebabkan penghambatan aliran darah (National Institute of Health,

2016).

6
c. Aterosklerosis

Gambar 5. Aterosklerosis

Salah satu penyakit yang paling umum yang mempengaruhi arteri adalah

aterosklerosis. Hal ini disebabkan oleh adanya endapan plak lemak pada dinding arteri.

Sementara pembentukan lesi aterosklerosis dapat mempengaruhi arteri terutama arteri

koroner jantung yang paling sering terkena. Manifestasi aterosklerosis ialah terjadi

iskemia karena berkurangnya aliran darah, aneurisma atau perdarahan akibat

mengecilnya dinding pembuluh darah dan adanya plak aterosklerotik sehingga

membentuk emboli yang dapat berjalan jauh ke seluruh pembuluh (Martin M.Z, 2003).

2. Stroke hemoragik

Stroke hemoragik adalah stroke karena pecahnya pembuluh darah sehingga

menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah otak

dan merusaknya. Stroke hemoragik biasanya terjadi akibat kecelakaan yang mengalami

7
benturan keras di kepala dan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah di otak. Stroke

hemoragik lebih berbahaya daripada stroke iskemik karena akibat yang ditimbulkan

dapat terjadi secara akut atau mendadak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik diderita

oleh penderita hipertensi.

Penyebab lain dari stroke hemoragik yaitu adanya penyumbatan pada dinding

pembuluh darah yang rapuh (aneurisma), mudah menggelembung, dan rawan pecah,

yang umumnya terjadi pada usia lanjut atau karena faktor keturunan.

Stroke hemoragik ada 2 jenis, yaitu:

a. Stroke hemoragik intraserebral (SHI)

Stroke hemoragik intraserebral yaitu perdarahan yang terjadi di dalam jaringan

otak. Penyebab utama dari SHI pada lansia yaitu hipertensi, robekan pembuluh darah,

rusaknya formasi/bentuk pembuluh darah, tumor, gangguan pembekuan darah, dan

sebab lain yang tidak diketahui. Pada perdarahan intracranial bisa terjadi penurunan

kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan

pernapasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Dapat juga terjadi

kebingungan atau hilang ingatan pada usia lanjut.

b. Perdarahan subarakhnoid (PSA)

Perdarahan subarakhnoid merupakan perdarahan yang akut, perdarahan yang

terjadi pada ruang subaraknoid (ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan

jaringan yang menutupi otak). Dampak yang paling berbahaya dari PSA yaitu apabila

perdarahan pembuluh darah itu menyebabkan cairan yang mengelilingi otak akan

mengalir mengelillingi otak dan mengakibatkan pembuluh darah sekitarnya menjadi

8
kejang, sehingga menyumbat pasokan darah ke otak. Oleh karena itu, PSA dapat

meninggalkan dampak kelumpuhan yang sangat luas, bahkan risiko kematianya sekitar

50%.

2.1.3 Patofisiologi

Gambar 6. Patofisiologi stroke iskemik

Penyakit serebrovaskular iskemik terutama disebabkan oleh trombosis, emboli

dan hipoperfusi, yang semuanya dapat menyebabkan pengurangan atau gangguan

dalam CBF yang mempengaruhi fungsi neurologis. Otak hanya menerima 20% dari

output jantung, hal tersebut merupakan bagian awal terjadinya iskemik, periode

iskemik yang singkat dapat memicu terjadinya suatu kejadian yang komplek sehingga

menyebabkan kerusakan otak permanen (Guo et al., 2013).

Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi atau stenosis berat arteri serebral, karena

embolus atau trombosis, sehingga mengurangi aliran darah serebral (CBF) dan

gangguan suplai oksigen dan glukosa ke jaringan yang disuplai oleh arteri tersebut

9
(Johnson et al, 2006). Ketika aliran darah lokal otak menurun di bawah 20 mL/100 g

per menit, iskemia terjadi kemudian. Sehingga ketika pengurangan lebih lanjut di

bawah 12 mL/100 g per menit bertahan, maka akan terjadi kerusakan otak permanen

yang disebut dengan infark. Jaringan yang mengalami iskemik tetapi mempertahankan

integritas membran dan berpotensi untuk diselamatkan disebut sebagai penumbra

iskemik yang berada disekitar area infark atau mengelilingi inti infark. Penumbra ini

berpotensi diselamatkan melalui intervensi terapeutik ( Dipiro et al, 2011).

Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang

diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na+ K+

ATP-ase, sehingga membran potensial akan menurun. K+ berpindah ke ruang

ekstraselular, sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan

permukaan sel menjadi lebih negatif sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal

depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan

struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera

apabila perfusi menurun dibawah ambang batas kematian jaringan, yaitu bila aliran

darah berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram / menit (Wijaya, 2013).

Dislipidemia juga merupakan faktor yang amat penting dalam patofisiologi

aterosklerosis dan stroke. Faktor resiko yang paling penting ialah kadar kolesterol

LDL. Memang ada korelasi antara kadar kolesterol total dengan LDL, sel busa pada

dinding arteri yang disebabkan karena makrofagh terisi lipid intraseluler dalam bentuk

droplet, dan lipid kolesterol ester yang merupakan ciri dari plak aterosklerosis

(Junaidi, 2011). Aterosklerosis mempengaruhi berbagai daerah sirkulasi istimewa dan

10
memiliki manifestasi klinis yang berbeda yang tergantung pada hambatan aliran darah

tertentu yang terkena dampak. Salah satunya yaitu aterosklerosis pada arteri yang

memasok darah ke sistem saraf pusat yang menimbulkan stroke dan (TIA) (Longo et

al, 2012).

2.1.4 Faktor Resiko Stroke

Pada stroke iskemik terdapat dua faktor yang dapat menimbulkan stroke iskemik

yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat

dimodifikasi.

1. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi.

Faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti:

a. Merokok.

Merokok merupakan tingkat kematian penyakit stroke karena merokok di amerika

serikat pertahunnya diperkirakan sekitar 21.400 (tanpa ada penyesuaian untuk faktor

resiko) dan 17.800 (setelah ada penyesuaian) hal ini menunjukan bahwa rokok dapat

memberikan kontribusi terjadinnya stroke yang dapat berakhir dengan kematian

sekitar 12% sampai 14% (Goldstein et al. 2011).

b. Hipertensi.

Hipertensi merupakan faktor resiko terpenting untuk semua tipe stroke, baik stroke

iskemik maupun stroke perdarahan. Resiko stroke meningkat seiring dengan

peningkatan tekanan darah. Walaupun tidak ada nilai pasti korelasi antara

peningkatan tekanan darah dengan resiko stroke, diperkirakan bahwa resiko stroke

meningkat 1,6 kali setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah sistolik dan sekitar

11
50% kejadian stroke yang dapat dicegah dengan pengendalian tekanan darah.

Beberapa peneliti mengatakan bahwa jika hipertensi tidak diturunkan pada saat

serangan stroke akut maka dapat mengakibatkan edema otak, namun berdasarkan

penelitian yang dilakukan chamorro menunjukan bahwa perbaikan sempurna pada

stroke iskemik dapat dipermudah dengan dilakukannnya penurunan tekanan darah

yang cukup ketika edema otak berkembang sehingga meghasilkan tekanan perfusi

serebral yang adekuat (PERDOSSI, 2011).

c. Penyakit jantung.

Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan irama yang banyak menyerang pria

dewasa, AF ditemukan pada 1 – 1,5 % populasi dinegara – negara barat dan

merupakan salah satu faktor resiko independen stroke. AF dapat menyebabkan resiko

stroke atau emboli menjadi 5 kali lipat daripada pasien tanpa AF. Kejadian stroke

yang didasari oleh AF sering diikuti dengan peningkatan morbiditas, mortalitas dan

penurunan kemampuan fungsi daripada stroke karena penyebab lain. Resiko stroke

karena AF meningkat jika disertai dengan beberapa faktor lain, yaitu jika disertai

usia > 65 tahun, hipertensi, diabetes militus, gagal jantung atau riwayat stroke

sebelumnya seperti yang dikategorikan dalam CHAD. Pada CHAD umur > 65 tahun,

gagal jantung, hipertensi, dan DM dinilai 1 point setiap kali ditemukan dan riwayat

stroke atau emboli sebelumnya dinilai 2 point (Gage et al. 2004).

d. Diabetes militus.

Orang dengan diabetes melitus lebih rentan terhadap aterosklerosis dan peningkatan

prevalensi proaterogenik, terutama hipertensi dan lipid darah yang abnormal. Pada

12
tahun 2007 sekitar 17,9 juta atau 5,9% orang Amerika menderita diabetes.

Berdasarkan studi case control pada pasien stroke dan studi epidemiologi prospektif

telah menginformasikan bahwa diabetes dapat meningkatkan risiko stroke iskemik

dengan risiko relatif mulai dari 1,8 kali lipat menjadi hampir 6 kali lipat. Berdasarkan

data dari Center for Disease Control and Prevention 1997-2003 menunjukkan bahwa

prevalensi stroke berdasarkan usia sekitar 9 % stroke terjadi pada pasien dengan

penyakit diabetes pada usia lebih dari 35 tahun (Goldstein et al. 2011).

2. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi.

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti:

a. Usia.

Stroke merupakan penyakit yang dapat menyerang segala usia, diketahui bahwa

mereka yang berusia lanjut lebih beresiko terserang penyakit yang berpotensi

mematikan dan menimbulkan kecacatan menetap. Setelah mencapai usia 55 tahun,

resiko stroke dua kali lipat setiap pertambahan usia 10 tahun. Dua pertiga kasus

stroke diderita oleh mereka yang berusia 65 tahun. Angka kematian stroke yang lebih

tinggi banyak dijumpai pada golongan usia lanjut (Widagdo, 2006).

b. Jenis kelamin.

Suatu penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak terkena stroke dari pada

wanita, yaitu mencapai kisaran 1,25 kali lebih tinggi. Namun anehnya, justru lebih

banyak wanita yang meninggal dunia karena stroke. Hal ini disebabkan pria pada

umumnya terkena serangan stroke pada usia muda. Sedangkan, para wanita justru

sebaliknya, yaitu saat usia lanjut (tua) (Wiwit, 2010).

13
c. Ras.

Insiden dan kematian akibat stroke di Amerika Serikat lebih tinggi pada kelompok

ras Afro-Amerika dibandingkan ras Eropa Amerika. Namun di Indonesia perbedaan

faktor ras terhadap stroke tidak diketahui secara pasti (Widagdo 2006).

d. Riwayat keluarga.

Faktor genetik didalam keluarga juga merupakan faktor resiko stroke. Beberapa

penyakit yaitu hipertensi, diabetes dan cacat pembuluh darah menjadi faktor genetik

yang berperan. Cadasil, yaitu suatu cacat pada pembuluh darah dimungkinkan

merupakan faktor genetik yang paling berpengaruh. Selain itu, gaya hidup dan pola

makanan dalam keluarga yang sudah menjadi kebiasaan yang sangat sulit diubah dan

juga meningkatkan resiko stroke (Wiwit 2010).

2.1.5 Etiologi

Stroke iskemik biasanya disebabkan adanya gumpalan yang menyumbat

pembuluh darah dan menimbulkan hilangnya suplai darah ke otak. Gumpalan dapat

berkembang dari akumulasi lemak atau plak aterosklerotik di dalam pembuluh darah.

Faktor resikonya antara lain hipertensi, obesitas, merokok, peningkatan kadar lipid

darah,diabetes dan riwayat penyakit jantung dan vaskular dalam keluarga.

Stroke hemoragik enam hingga tujuh persen terjadi akibat adanya perdarahan

subaraknoid (subarachnoid hemorrhage), yang mana perdarahan masuk ke ruang

14
subaraknoid yang biasanya berasal dari pecahnya aneurisma otak atau AVM

(malformasi arteriovenosa). Hipertensi, merokok, alkohol, dan stimulan adalah faktor

resiko dari penyakit ini. Perdarahan subaraknoid bisa berakibat pada koma atau

kematian. Pada aneurisma otak, dinding pembuluh darah melemah yang bisa terjadi

kongenital atau akibat cedera otak yang meregangkan dan merobek lapisan tengah

dinding arteri (Terry & Weaver, 2013).

2.1.6 Gejala dan tanda stroke

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi

(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan

jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak

dapat membaik sepenuhnya.

1. Kehilangan motorik

Stroke adalah penyakit motor neuron dan mengakibatkan kehilangan kontrol

volunter terhadap gerakan motorik.

2. Kehilangan komunikasi

Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi.

Stroke adalah penyebab afasia paling umum.

Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut:

a. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang

disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.

b. Disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang terutama ekspresif

atau reseptif.

15
c. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya),

seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir

rambutnya.

3. Gangguan persepsi

Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Stroke dapat mengakibatkan

disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visual-spasial dan kehilangan

sensori.

4. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik

Disfungsi ini dapat ditunjukkan dengan kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan

kurang motivasi, yang menyebabkan pasien ini menghadapi masalah frustasi dalam

program rehabilitasi mereka.

5. Disfungsi kandung kemih

Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara

karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan

ketidakmampuan untuk menggunakan urinal.

2.1.7 Diagnosa

Diagnosis yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan riwayat medis dan

pemeriksaan fisik termasuk pemerikasaan neurologis untuk mengevaluasi tingkat

kesadaran, sensasi, fungsi (visual, motor, bahasa) dan menentukan penyebab, lokasi dan

luasnya stroke (Wibowo & Ghofir, 2001).

1. Pemeriksaan fisik

16
Pemeriksaan fisik meliputi penilaian jalan napas, pernapasan dan sirkulasi, tanda-

tanda vital (yaitu nadi, respirasi, suhu). Kepala (termasuk telinga,mata, hidung, dan

tenggorokan) dan ekstremitas juga diperiksa untuk membantu menentukan penyebab

dari stroke dan mengesampingkan kondisi lain yang memproduksi gejala yang sama

(misalnya,Bell's palsy) (Wibowo&Ghofir, 2001).

2. Tes darah

Tes darah (misalnya, hitung darah lengkap). Untuk sebagian besar, tes darah

membantu dokter mencari penyakit yang diketahui meningkatkan risiko stroke,

termasuk kolesterol tinggi, diabetes, gangguan pembekuan darah (Wibowo&Ghofir,

2001).

3. Pemeriksaan neurologis

Tes ini dilakukan oleh dokter untuk menemukan kekurangan dalam fungsi otak

yang mungkin dapat membuktikan diagnosis bahwa seseorang mengalami stroke.

Pemeriksaan neurologis mencakup:

a. Awareness (Kesadaran)

b. Kemampuan berbicara dan fungsi memori

c. Kemampuan melihat dan gerakan mata

d. Sensasi dan gerakan pada lengan wajah dan kaki

e. Refleks

f. Kemampuan berjalan dan keseimbangan (Wibowo&Ghofir, 2001).

4. Prosedur imaging

a. Computerized tomography (CT)

17
Pemeriksaan paling penting untuk mendiagnosis subtipe stroke adalah

Computerized tomography atau CT (dulu dikenal cumputerised axial tomography atau

CAT) dan MRI pada kepala. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan citra sinar X,

pemindaian berlangsung selama 15-20 menit, tidak nyeri dan menimbulkan radiasi

minimal (kecuali bagi wanita hamil). Setiap citra individul memperlihatkan irisan

melintang otak, mengungkapkan daerah abnormal yang ada didalamnya. Pada CT,

pasien diberi sinar-X dalam dosis sangat rendah yang digunakan menembus kepala.

Sinar-X yang digunakan serupa dengan pada pemeriksaan dada, tetapi dengan pajanan

ke radiasi yang jauh lebih rendah. Computerized tomographysangat handal untuk

mendeteksi perdarahan intrakarnium, tetapi kurang peka untuk mendeteksi stroke

iskemik ringan (Feigin, 2006).

b. Magnetic Resonance Imaging

Pemeriksaan berdasarkan citra resonansi magnet, pemindaian berlangsung selama

30 menit, pemeriksaan MRI aman, tidak invasive dan tidak nyeri. Alat ini tidak dapat

digunakan jika terdapat alat pacu jantung atau benda logam lainya misalnya pecahan

logam atau klip bedah tertentu didalam tubuh. Selain itu, orang yang bertubuh besar

mugkin tidak masuk kedalam mesin MRI ini, MRI lebih sensitif dibandingkan dengan

CT dalam mendeteksi stroke iskemik ringan bahkan pada stadium dini, namun kurang

peka dibandingkan dengan CT dalam mendeteksi perdarahan intrak arniumringan

(Feigin, 2006).

c. Ultrasonografi dan MRA

18
Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi (menggunakan

gelombang suara untuk menciptakan citra) atau MRA (magnetic resonance angiograph,

suatu bentuk MRI). Pemindaian ini digunakan untuk mencari kemungkinan

penyempitan arteri atau bekuan arteriutama. Kedua prosedur ini aman, tidak

meneimbulkan nyeri, dan relatif cepatsektar 20-30 menit untuk pemindaian

ultrasonografi dan sedikit lebih lama untuk MRA.Magnetic resonance angiography

khusunya bermanfaat untuk mengidentifikasi aneurisma intrakanium dan malformasi

pembuluh darahotak (Feigin, 2006).

d. Angiografi otak

Angiografi otak merupakan suatu penyuntikan suatu bahan yangtampak dalam

citra sinar X ke dalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat

memperlihatkan pembuluhan-pembuluh darah di leher dan kepala. Bahan yang

digunakan disebut bahan kontras, dan disuntikkan langsung ke dalam arteri karotis di

leher atau melalui sebuah kateter (selang) yang sangat panjang yang dimasukkan ke

pembuluh itu melalui arteri femoralis di lipatan paha. kedua prosedur ini dilakukan di

bawah pembiusan total. Angiografi otak menghasilkan gambar paling akurat mengenai

arteridan vena selama semua fase aliran darah otak dan digunakan untuk mencari

penyempitan atau perubahan patologis lain, misalnya aneurisma atau malformasi

vaskular. Namun, tindakan ini memiliki risiko, termasuk stroke atau kematian pada 1

dari setiap 200 orang yang diperiksa (Feigin, 2006).

e. Pungsi Lumbal (spinal tab)

19
Suatu pemeriksaan laboratorium yang kadang kala jika diagnosis stroke belum

jelas. Cara ini juga kadang dilakukan jika alat CT tidak tersedia, untuk mendeteksi

perdarahan subaraknoid. Prosedur memerlukan waktu sekitar 10-20 menit dan

dilakukan pembiasan total. Dilakukan pengambilansedikit sampel cairan serebrospinal

(cairan yang merendam otak dan kordaspinalis ) untuk pemeriksaan laboratorium

(Feigin, 2006).

f. EKG

Elektrokardiografi digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama jantung

atau penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke pasien. Sensor listrik yang

peka, yang disebut elektrosa, diletakkan pada kulitdi tempat-tempat tertentu. Elektroda-

elektroda ini merekam perubahan siklisarus listrik alami tubuh yang terjadi sewaktu

jantung berdenyut. Hasilnya dianalisis oleh komputer dan diperlihatkan dalam sebuah

grafik yang disebut elektrokardiogram (Feigin, 2006).

2.1.8 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan untuk stroke akut adalah untuk (Dipiro et al., 2008):

1. Mengurangi cedera neurologis berkelanjutan, penurunan angka kematian dan cacat

jangka panjang.

2. Mencegah komplikasi sekunder imobilitas dan disfungsi neurologis.

3. Mencegah kekambuhan stroke.

1. Terapi Non Farmakologi

Pada stroke iskemia akut, penanganan melalui jalan operasi terbatas. Operasi

dekompresi dapat menyelamatkan hidup dalam kasus pembengkakan signifikan yang

20
berhubungan dengan infark serebral. Pendekatan interdisipliner untuk penanganan

stroke yang mencakup rehabilitasi awal sangat efektif dalam pengurangan kejadian

stroke berulang pada pasien tertentu. Pembesaran korotid dapat efektif dalam

pengurangan resiko stroke berulang pada pasien komplikasi beresiko tinggi selama

endaterektomi (Dipiro et al., 2008).

Pendarahan subarakhnoid disebabkan oleh rusaknya aneurisme intrakranial atau

cacat arteri intravena, operasi untuk memotong atau memindahkan pembuluh darah

yang abnormal, penting untuk mengurangi kematian dari pendarahan. Keuntungan

operasi tidak didokumentasikan dengan baik dalam kasus pendarahan intraserebral

primer. Pada pasien hematomas intraserebral, insersi pada saluran pembuluh darah

dengan pemantauan atau tekanan intrakranial umum dilakukan. Operasi dekompresi

hematoma masih diperdebatkan sebagai penyelamat terakhir dalam kondisi terancamnya

hidup (Dipiro et al., 2008).

2. Terapi Farmakologi

Pendekatan terapi farmakologi pada stroke iskemik adalah menghilangkan

sumbatan pada aliran darah dengan menggunakan obat-obat. Terapi yang dilakukan

antara lain:

a. Terapi Suportif dan terapi komplikasi akut dapat dilakukan dengan aliran udara,

ventilator support dan tambahan oksigen, temperature, terapi dan pemantauan fungsi

jantung pemantauan tekanan darah arteri hipertensi atau hipotensi (Thurman et al.

2002).

21
b. Terapi trombolitik dapat dilakukan melalui intravena seperti recombinant tissue

Plasminogen Activator (rtPA), streptokinase, urokinase, tenecteplase, dan melalui

intraarteri seperti prourokinase (Ikawati 2011).

c. Terapi antiplatelet bertujuan untuk mengurangi atau mencegah kejadian stroke

berulang (Kelas I, Evidence level A) (Furie et al. 2010).

d. Terapi antikoagulan bertujuan mencegah kekambuhan stroke secara dini dan

meningkatkan outcome secara neurologis (Gofir 2009).

Tabel 1. Rekomendasi farmakoterapi stroke iskemik (Dipiro, 2015).

Rekomendasi untuk farmakologi iskemik, yaitu:

a. Alteplase, diawali dalam 3 jam munculnya gejala telah diperhatikan mengurangi

cacat hebat disebabkan stroke iskemik. CT scan harus didapatkan untuk mencegah

perdarahan sebelum terapi dimulai. Dosis 0,9 mg/kg (maksmum 90 mg) diberikan

22
secara infus intravena sampai 1 jam setelah bolus 10% dosis total diberikan sampai 1

menit.Terapi antikoagulan dan antiplatelet seharusnya dihindari selama 24 jam dan

pendarahan pasien harus dipantau lebih dekat lagi (Sukandar et al. 2008).

b. Aspirin, dosis 50-325 mg/hari dimulai antara 24-48 jam setelah alteplase ditujukan

mengurangi kematian dan cacat jangka panjang (Sukandar et al. 2008).

c. Panduan American college of chest physicians (ACCP) untuk penggunaan terapi

antitrombotik dalam pencegahan sekunder stroke iskemik menganjurkan terapi

antiplatelet sebagai dasar untuk pencegahan sekunder dalam terapi non

kardiakemboli. Aspirin, clopidogrel dan pelepasan diperluas clopidogrel dengan

aspirin semuanya dipertimbangkan sebagai senyawa antiplatelet utama. Kombinasi

aspirin dan clopidogrel hanya dianjurkan untuk pasien dengan stroke iskemik

(Sukandar et al. 2008).

d. Warfarin, merupakan senyawa antitrombolitik pilihan pertama untuk pencegahan

sekunder pada pasien dengan fibrilasi atrial dan perkiraan embolisme dari kardiak

(Sukandar et al. 2008).

e. Peningkatan tekanan darah pada umumnya terjadi setelah stroke iskemik, dan

pengobatannya dapat berhubungan dengan resiko penurunan stroke berulang.

National Comitee (Guideline JNC VII) mengajukan inhibitor ACE dan diuretik untuk

mengurangi tekanan darah pada pasien stroke atau TIA setelah periode akut (tujuh

hari pertama) Bloker reseptor angitensisn II atau Angiotensin reseptor blocker

(ARB) telah memperlihatkan pengurangan resiko stroke dan seharusnya

23
dipertimbangkan pada pasien yang tidak dapat menerima ACE (angiotensin

Converting Enzyme) inhibitor setelah stroke iskemik akut (Sukandar et al. 2008).

f. Heparin biasanya digunakan pada terapi stroke akut. Akan tetapi tidak ada percobaan

yang cukup untuk memastikan efikasi dan keamanannya. Pedoman penanganan

stroke iskemik akut saat ini tidak merekomendasikan antikoagulan pada keadaan

gawat dengan heparin atau heparin bobot molekul rendah karena kurangnya bukti

yang menguntungkan pada peningkatan fungsi neurologik dan karena resiko

terjadinya pendarahan. Heparin dapat mencegah berulangnya stroke pada pasien

dengan atherotrombosis pembuluh darah besar atau stroke kardioembolik. Akan

tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten. Hipertensi

merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh penyebab yang spesifik

(hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui penyebabnya

(hipertensi primer atau essensial). Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit

kardiovaskular. Hipertensi merupakan saah satu faktor risiko utama gangguan jantung.

Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya gagal ginjal

maupun penyakit serebrovaskular (ISO Farmakoterapi, 2008).

2.2.2. Klasifikasi Hipertensi

24
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention,Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII),

klasifikasi hipertensi pada orang dewasa seperti yang tertera pada tabel 1.

Tabel 2. Klasifikasi hipertensi menurut JNC7 (The seventh Joint National Committee)

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah


Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi derajat I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi derajat II ≥ 160 ≥ 100
Hipertensi krisis
>180 >120
(Emergency dan urgensi)

2.2.3 Etiologi Hipertensi

1. Hipertensi Primer (Essensial)


Lebih dari 90% individu dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial

(hipertensi primer). Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya

hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan

patogenesis hipertensi primer tersebut. Faktor genetik mungkin memiliki peran penting

dalam perkembangan hipertensi esensial. Menurut data, bila ditemukan gambaran

bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai

kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-

gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi mutasi genetik mengubah

ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal,

dan angiotensinogen (Dipiro, 2008).

25
2. Hipertensi Sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari

penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang bertanggung jawab dalam hal

meningkatkan tekanan darah seperti pada tabel. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal

akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang

paling umum. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat

menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah.

Pada tabel dapat dilihat obat-obat yang paling umum yang dapat menigkatkan tekana

darah termasuk beberapa produk herbal. Apabila penyebab sekunder dapat

diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau

mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap

pertama dalam penangana hipertensi sekunder. Berikut penyebab hipertensi yang dapat

diidentifikasi (Dipiro, 2008):

Tabel 3. Penyebab sekunder hipertensi (Depkes, 2006).

NSAID: non-steroid-anti-inflammatory-drug,

26
ACTH: adrenokortikotropik hormone.

2.2.4 Patofisiologi

Banyak faktor pengontrol tekanan darah, yang berkonstribusi dalam

pengembangan hipertensi esensial termasuk didalamnya malfungsi humoral seperti

sistem renin angiostensin aldosteron (RAAS) atau mekanisme vasodepresor, mekanisme

neuronal abnormal, defekasi autoregulasi periperal, dan gangguan natrium, kalsium, dan

hormon natriuretic. Beberapa abnormalitas humoral yang terlibat dalam perkembangan

hipertensi esensial seperti RAAS, hormon natriuretic, dan hiperinsulinemia (Dipiro,

2008).

1. Sistem Renin Angiostensin Aldosteron (RAAS)

Adalah kompleks sistem endogenus yang terlibat dengan komponen regulatori

dari tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi primeri diatur oleh ginjal. RAAS

mengatur keseimbangan natrium, kalium, dan cairan. Akibatnya, sistem ini secara

signifikan mempengaruhi tingkat vascular dan aktivitas sistem syaraf simpatik dan

paling berpengaruh pada regulasi homeostatic tekanan darah (Dipiro, 2008).

Renin adalah enzim yang disimpan dalam sel juxtaglomerular, yang berada

didalam arterioles afferent ginjal. Pelepasan renin dimodulasi oleh beberapa faktor:

faktor internal (seperti, tekanan perfusi renal, katekolamin, angiostensin II) dan faktor

ekternal seperti natrium, klorida, dan kalium. Sel juxtaglomerular berfungsi sebagai

perasa baroreseptor. Penurunan tekanan arteri renal dan aliran darah ginjal dirasakan

oleh sel dan sekresi rangasangan renin. Juxtaglomerular aparatus juga termasuk dalam

kelompok sel tubuli distal yang ditunjuk untuk pengumpul sebagai macula densa.

27
Penurunan natrium dan klorida dihantarkan ke tubuli distal pelepasan rangsangan renin.

Katekolamin menurunkan pelepasan renin yang memungkinkan merangsang saraf

simpatik secara langsung pada afferent arteriola yang mengaktifkan sel juxtaglomerular.

Penurunan serum kalium dan/atau kalsium intraselular dideteksi oleh sel

juxtaglomerulus yang dihasilkan dalam sekresi renin (Dipiro, 2008).

Katalisis renin mengubah angiostensinogen menjadi angostensin I dalam darah.

Angiostensin I Kemudian dirubah menjadi angiostensin II oleh enzim converting

angiostensin (ACE). Setelah terikat pada reseptor spesifik (diklasifikasikan sebagai

subtipe AT1 atau AT2), efek biologi penggunaan angiostensin II dalam beberapa

jaringan. Reseptor AT1 ditempatkan didalam otak, ginjal, miokardium, periperal

vasculatur, dan kelenjar adrenal. Reseptor tersebut menengahi banyak respon yang

kritikal pada kardiovaskular dan fungsi ginjal. Reseptor AT2 berada didalam jaringan

medular adrenal, uterus, dan otak. Rangsangan reseptor AT2 tidak mempengaruhi

regulasi tekanan darah (Dipiro, 2008).

Sirkulasi angiostansin II bisa menaikkan tekanan darah melalui efek tekanan dan

volume. Efek tekanan termasuk vasokontriksi langsung, rangsangan katekolamin

dilepaskan dari medula adrenal, dan penurunan mediasi pusat dalam aktivitas sistem

syaraf simpatis. Angiostensin II juga merangsang sintesis aldosteron dari kotrex adrenal.

Ini menyebabkan reabsorbsi natrium dan air meningkatkatkan volume plasma, resiten

peripheral total, dan akhirnya tekanan darah. Aldosteron juga mempunyai peran

merusak di dalam patofisologi penyakit kardiovaskular lain (kerusakan hati, infark

miokar (MI) dan gangguan ginjal berdasarkan promosi jaringan yang terkemuka untuk

28
fibrosis miokardial dan disfungsi vascular. Yang jelas, setiap gangguan pada tubuh

mengarah pada aktivasi RAAS yang dapat menjelaskan hipertensi kronis (Dipiro,

2008).

Jantung dan otak mengandung RAAS lokal. Di jantung, angiostensin II juga

dihasilkan dari enzim kedua, angiostensin I convertase. Enzim ini tidak diblok oleh

penghambat ACE. Aktivasi miokardial RAAS meningkatkan kontraktilitas kardiak dan

merangsang hipertropi kardiak. Di otak, angiostensin II memodulasi produsi dan

pelepasan hipotalamus dan hormon pituitary, dan meningkatkan laju alir simpatik dari

medula oblongata.

Jaringan perifer dapat secara lokal menghasilkan angiotensin peptida yang aktif

secara biologis yang dapat menjelaskan peningkatan resistensi pembuluh darah pada

hipertensi. Beberapa bukti menunjukkan bahwa angiotensin diproduksi oleh jaringan

lokal yang dapat berinteraksi dengan regulator humoral lainnya dan faktor pertumbuhan

derifat endotelium untuk merangsang pertumbuhan pembuluh darah otot polos dan

metabolisme (Dipiro, 2008).

2. Hormon Natriuretik

Hormon natriuretik menghambat natrium dan kalium-adenosin triphosphatase dan

dengan demikian mengganggu transportasi natrium melintasi membran sel. Kerusakan

bawaan pada kemampuan ginjal untuk menghiangkan natrium dapat menyebabkan

peningkatan volume darah. Sebuah kompensasi peningkatan peredaran konsentrasi

hormon natriuretik dapat meningkatkan ekskresi natrium dan air. Namun, hormon yang

sama ini juga dianggap menghambat transportasi aktif keluar natrium dari sel otot polos

29
arteriolar. Peningkatan konsentrasi natrium intraseluler akhirnya meningkatkan tonus

pembuluh darah dan tekanan darah (Dipiro, 2008).

3. Resisten Insulin dan Hiperinsulinemia

Perkembangan hipertensi dan kelainan metabolik terkait disebut sebagai sindrom

metabolik. Peningkatan konsentrasi insulin dapat menyebabkan hipertensi karena

peningkatan retensi natrium ginjal dan peningkatan aktivitas saraf simpatis. Selain itu,

insulin memiliki hormon pertumbuhan yang dapat menyebabkan hipertrofi sel otot

polos pembuluh darah. Insulin juga dapat meningkatkan tekanan darah dengan

meningkatkan kalsium intraseluler, yang mengarah pada peningkatan resistensi

pembuluh darah. Mekanisme yang tepat dimana resistensi insulin dan hiperinsulinemia

terjadi pada hipertensi tidak diketahui. Namun, erat kaitannya karena banyak kriteria

yang digunakan untuk mendefinisikan populasi ini (peningkatan tekanan darah, obesitas

, dislipidemia, dan peningkatan glukosa puasa) sering muncul pada pasien dengan

hipertensi (Dipiro, 2008).

2.2.5 Manifestasi klinik

Penderita hipertensi primer yang sederhana pada umumnya tidak disertai gejala.

Penderita hipertensi sekunder dapat disertai gejala suatu penyakit. Penderita hipertensi

dengan feokromositoma dapat mengurangi sakit kepala paroksimal, berkeringat,

takikardia, paipitasi, dan hipotensi ortostatik. Pada aldosteronemia primer yang

mungkin terjadi adalah gejal hipokalemia, kram otot dan kelelahan. Penderita hipertensi

sekunder pada sindrom cushing dapat terjadi peningkatan berat badan, poliuria, edema,

irregular menstruasi, jerawat, atau kelelahan otot.

30
2.2.6 Diagnosis

Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan pemeriksaan

yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana yang akan diambil.

Algoritme diagnosis ini diadaptasi dari Canadian Hypertension Education Program. The

Canadian Recommendation for The Management of Hypertension 2014.

Gambar 7. Algoritme diagnosis hipertensi

31
2.2.7 Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan Terapi :

1. Secara keseluruhan tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi morbilitas dan

kematian.

2. Target nilai tekanan darah menjadi normal.

3. TDS merupakan indikasi yang baik untuk risiko kardiovaskular dari pada TDD dan

seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam mengontrol hipertensi.

1. Terapi Non-Farmakologi

a. Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk memodifikasi

gaya hidup, termasuk :

 Penurunan berat badan jika kelebihan berat badan.

 Melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Approaches to Stop

Hypertension).

 Mengurangi asupan natrium hingga lebih kecil sama dengan 2,4 g/hari (6 g/hari

NaCl)

 Melakukan aktivitas fisik seperti aerobic.

 Mengurangi konsumsi alcohol.

 Menghentikan kebiasaan merokok.

b. Penderita yang didiagnosis hipertensi tahap 1 atau 2 sebaiknya ditempatkan pada

terapi modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan.

32
2. Terapi Farmakologi

a. Algoritma Terapi Hipertensi

Algoritma tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines

memiliki persamaan prinsip:

Menurut A Statement by the American Society of Hypertension and the International

Society of Hypertension 2013.


Tekanan darah >140/90, dewasa 18 th (usia >80th, TD >150/90 atau >140/90
jika beresiko tinggi (dibetes,penyakit ginjal))

Mulai perubahan gaya hisup (turunkan berat badan, kurang garam,


diet dan alkohol, stop merokok)

Terapi medikamentosa
(pertimbangkan untuk tunda Mulai terapi medikamentosa (pada
pada pasien stage 1 tidak semua pasien)

Stage 1 140-159/90-99 Stage 2 Kasus khusus

Usia<60th Usia>60th Semua pasien Penyakit ginjal, diabetes,


penyakit koroner,
riwayat stroke dan gagal
ACE-I atau CCB atau Mulai dengan 2
jantung
ARB, jika Thiazid, jika obat
perlu perlu
ditambahkan ditambahkan
ACE-I atau CCB atau Thiazide +
CCB atau ACE-I atau ARB, jika
ARB *pada pasien stage 1
Thiazid perlu CCB+Thiazed+ tanpa resiko
ACE-I (ARB) kardivaskular lainnya
Jika perlu
atau temuan
CCB+Thiazid+ACE-I atau ( ARB) abnormal beberapa
bulan manajemen
tanpa obat
Jika perlu tambah obat lain mis.Sprinolactone, agen
kerja sentral B-Blocker atau rujuk ke spesialis hipertensi
33
Gambar 8. Algoritma Terapi Hipertensi

Gambar 9. Algoritma Terapi Hipertensi Compelling Indication

c. Menurut JNC VIII

Usia >18 th dengan hipertensi

Dengan intervensi gaya hidup

Menerapkan tujuan tekanan darah dan memulai pengobatan dengan


penurunan tekanan darah berdasarkan usia, diabetes dan penyakit
ginjal kronik (CKD)

Populasi umum (tidak diabetes atau CKD) Menunjukan adanya diabetes atau

Usia >60 Usia <60 Semua umur Semua umur menunjukan


menunjukan diabetes 34
th th CKD dengan atau tidak
dan tidak CKD diabetes
TD <150/90 TD <140/90 TD <140/90 mmHg
mmHg mmHg
TD <140/90 mmHg

Black NonBlack
All races

Memulai dengan ACE-I atau


Memulai dengan diuretik- Memulai dengan diuretik ARB, satu atau dengan
thiazid atau ACE-I atau ARB atau thiazide atau CCB, sattu kombinasi dengan jenis obat
CCB satu atau dengan atau dengan kombinasi lain
kombinasi

Pilhan strategi terapi obat

a. Memaksimalkan obat yang pertama sebelum menambahkan obat yang kedua


b. Menambahkan obat kedua sebelum obat pertama mencapai dosis maksimum
c. Memulai dengan 2 kelas obat secara terpisah atau dengan kombinasi dosis
tetap YES
Dengan tekanan darah
NO

Memperkuat pengobatan dan kepatuhan gaya hidup. Untuk


strategi A dan B tambahkan diuretik thiazed atau ACE-I atau
ARB atau CCB (menggunakan kelas obat yang sebelumnya
tidak dipilih dan menghindahri kombinasi ACE-I dan ARB).
Untuk strategi C dengan dosis awal yang maksimum

YES
Dengan tekanan darah

NO

Memperkuat pengobatan dan kepatuhan gaya hidup.


35
Tambahkan diuretik thiazed atau ACE-I atau ARB atau CCB (menggunakan kelas obat yang sebelumnya tidak
dipilih dan menghindahri kombinasi ACE-I dan ARB
YES
Dengan tekanan darah

NO

Memperkuat pengobatan dan kepatuhan gaya hidup.

Tambahkan kelas pengobatan tambahan (ex. B-Blocker, antagonis algosteron atau lainya)
dan atau rujuk kedokter yang ahli dalam hipertensi.

NO YES
Dengan tekanan darah

Melanjutkan perawatan
dan pemantauan

Gambar 10. Algoritma Terapi Hipertensi

b. Obat Antihipertensi
Tabel 4. Obat antihipertensi yang direkomendasikan dalam Dipiro ed 9.

Pilihan pertama untuk antihipertensi


Obat (nama dagang) Dosis per hari (mg) Frekuensi
Angiostensin Converting
Enzym Inhibitor
Benazepril (Lotensin) 10-40 1-2
Captopril (Capoten) 12,5-150 2-3
Enalapril (Vasotec) 5-40 1-2
Fosinopril (Monopril) 10-40 1
Lisinopril (Zentril) 10-40 1
Moexpril (Univasc) 7,5-30 1-2
Perindopril (Aceon) 4-16 1
Quinapril (Accupril) 10-80 1-2
Ramipril (Altase) 2,5-10 1-2

36
Trandolapril (Mavic) 1-4 1
Angiostensin II Reseptor
Blocker
Azilsartan (Edartx) 40-80 1
Candesartan (Atacand) 8-32 1-2
Eprosartan (Teveten) 600-800 1-2
Irbesartan (Avapro) 150-300 1
Losartan (Cozaar) 50-100 1-2
Olmesartan (Benicar) 20-40 1
Telmisartan (Micardis) 20-80 1
Valsartan (Diovan) 80-320 1
Calcium Chanel Blocker
Dihydropiridin
Amlodipin (Norvasc) 2,5-10 1
Felodipine (Plendil) 5-20 1
Isradipine (Dynacirc) 5-10 2
Isradipine SR (Dynamic SR) 5-20 1
Nicardipine sustained release
60-120 2
(Cardene SR)
Nifedipine long-acting (Adalat
30-90 1
CC, Procardia XL)
Nisoldipine (Sular) 10-401 1
Nondihydropyridine
Diltiazemsustained-
180-360 2
release(Cardizem SR)
Diltiazemsustained-
release(CardizemCD,Cartia 120-480 1
XT,Dilacor XR)
Diltiazem extented-
120-540 1 (pagi atau siang)
release(Cardizem IA)
Verapamil sustained-release
180-480 1-2
(CalanSR, Isoptin SR)
Verapamilcontrolled-onset
180-420 1(siang hari)
extentedrelease (Covera HS)
Verapamil chronotherrapeutic
oral drugabsoprtionsystem 100-400 1 (siang hari)
(VeratemPM)
Diuretic
Thiazed
Chlorhalidone (Hygroton) 12,5-25 1
Hydrochlorothiazed (Esidrix) 12,5-50 1
Indapamide (Lozol) 1,25-2,5 1
Metolazone (Mykroc) 0,5-1 1

37
Metolazone (Zaaroxolyn) 2,5-10 1
Triamterene (Dyrenium) 50-100 1-2
Triamterene/hydrochlorothiazide
37,5-75/25-50 1
(Dyazide)
Loops
Bumetanide (Burnex) 0,5-4 2
Furosemid (Lasix) 20-80 2
Torsemis (Demadex) 5-10 1
Potassium Sparing
Cardioselective
Amiloride (Midamor) 5-10 1-2
Amiloride/hydrochlortiazed
5-1/50-100 1
(Moduretic)
B-Clocker Cardioselective
Atenolol (Tenormin) 25-100 1
Betaxolol (Kerlone) 5-20 1
Bisoprolol (Zebeta) 2,5-10 1
Metoprolol tatrate (Lopressor) 100-400 2
Metoprolol succinate extended
50-200 1
release (Toprol XL)
Nonselective
Nadolol (Corgard) 40-120 1
Propanolol (Inderal) 160-480 2
Propanolol long-acting (Inderal
80-320 1
LA, Innopran XL)
Timolol (Blocadren) 10-40 1
Intrinsic Sympathomimetic
activity
Acebutolol (Sectral) 200-800 2
Carteolol (Catrol) 2,5-10 1
Penbutolol (Levatol) 10-40 1
Pindolol (Visken) 10-60 2
Campuran α dan β-blocker
Carvedilol (Coreg) 12,5-50 2
Carvedilol phosphate (Coreg CR) 20-80 1
Labetolol (Normodyne, Trandate) 200-800 1
Cardioselective dan
Vasodilatasi
Nebivolol (Bystoli) 5-20 1

2.3 Diabetes Melitus

38
2.3.1 Pengertian

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan

metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula

darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai

akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh

gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar

pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin

(WHO, 1999).

2.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003)

1. Diabetes Mellitus Tipe 1: Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah


defisiensi insulin absolut A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
2. Diabetes Mellitus Tipe 2 Bervariasi, mulai yang predominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan
gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin
3. Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel β :
• kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3),
• kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
• kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1)
• DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:

39
• Pankreatitis
• Trauma/Pankreatektomi
• Neoplasma
• Cistic Fibrosis
• Hemokromatosis
• Pankreatopati fibro kalkulus
D. Endokrinopati:
1. Akromegali
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hipertiroidisme
E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid,
asam nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
F. Diabetes karena infeksi
G. Diabetes Imunologi (jarang)
H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner,
Huntington, Chorea, Prader Willi
4. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2

40
5. Pra-diabetes:
A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa
Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu)

2.3.3 Etiologi dan Patofisiologi

A. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit

populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi

penderita diabetes.

41
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi

karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh

reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-

macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus,

Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang

dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell

Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan

antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase).

Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat

beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-

sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon

somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif

menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa

tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan

respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat,

bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah

merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun

sejalan dengan perjalanan penyakit.

Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell

Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita

DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun

sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2

42
ditemukan positif ICSA. Otoantibodi terhadap enzim glutamat

dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang

baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1.

Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga

makin lama makin menurun sejalan

43
dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor

kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi.

Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa

otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (AntiInsulin

Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe

1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi

insulin.

B. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak

penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-

95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45

tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-

anak populasinya meningkat.

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya

terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar

dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak

dan rendah serat, serta kurang gerak badan.

Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang

berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di

dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal

patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi

karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara

44
normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin

45
banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai

akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul

gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun

demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun

sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi

insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab

itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi

menjadi 4 kelompok:

a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal.

b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga

Diabetes Kimia (Chemical Diabetes).

c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa

plasma puasa < 140 mg/dl).

d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa

plasma puasa > 140 mg/dl).

Tabel 2. Etiologi DM tipe 1 dan DM tipe 2

DM 1 DM 2
Mula muncul Umumnya Pada usia tua,
umumnya
masa
> 40 tahun
kanakkanak

dan remaja, walaupun

46
ada juga pada masa
dewasa
< 40 tahun
Keadaan klinis Berat Ringan
saat

47
Diagnosis
Kadar insulin darah Rendah, tak ada Cukup tinggi, normal
Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normal
Pengelolaan yang Terapi insulin, diet, Diet, olahraga,
Disarankan Olahraga hipoglikemia oral.

2.3.4 Faktor Resiko

Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes selayaknya

waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas kesehatan,

dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya memberi perhatian

kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk melakukan beberapa

pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar tidak terlambat

memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi diabetes melitus

diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan kadar glukosa darah

dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi.

Beberapa faktor risiko untuk diabetes melitus, terutama untuk

DM Tipe 2, dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Faktor Risiko Untuk Diabetes Tipe 2.

Riwayat Diabetes dalam keluarga Diabetes


Gestasional Melahirkan bayi dengan
berat badan >4 kg Kista ovarium
(Polycystic ovary syndrome) IFG
(Impaired fasting Glucose) atau IGT
(Impaired glucose tolerance).
Obesitas >120% berat badan ideal

48
Umur 20-59 tahun : 8,7%, > 65 tahun : 18%
Hipertensi >140/90mmHg

49
Hiperlipidemia Kadar HDL rendah <35mg/dl Kadar
lipid darah tinggi >250mg/dl
Faktor-faktor Lain Kurang olah raga

Pola makan rendah serat

2.3.5 Gejala Klinik

Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala

yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang

sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil),

polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu

sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh

terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali

sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.

 Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia,

polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan

pruritus (gatal-gatal pada kulit).

 Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2

seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun

kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi.

Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari

luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi,

hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

50
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas DM

berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita antara

lain badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi

pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita. Apabila ada keluhan khas, hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk

menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126

mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Kriteria penegakan diagnosis

Glukosa Plasma Puasa Glukosa Plasma 2 jam setelah makan


Normal <100 mg/dL <140 mg/dL
Pra-diabetes 100 – 125 mg/dL
IFG atau IGT 140 – 199 mg/dL
Diabetes >126 mg/dL >200 mg/dL
Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar

glukosa darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak

cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi

atau pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan paling tidak satu kali

lagi kadar gula darah sewaktu yang abnormal tinggi (>200 mg/dL)

pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (>126

mg/dL), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar

glukosa darah paska pembebanan >200 mg/dL.

51
2.1.1 Komplikasi

a. Hipoglikemia

Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing,

lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap),

keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Apabila

tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian. Pada

hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl, walaupun

ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia pada kadar

glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah

menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat

berfungsi bahkan dapat rusak. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada

penderita diabetes tipe 1, yang dapat dialami 1 – 2 kali perminggu. Dari hasil

survei yang pernah dilakukan di Inggeris diperkirakan 2 – 4% kematian pada

penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita

diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi, meskipun penderita

tersebut mendapat terapi insulin.

b. Hiperglikemia

Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara tiba-

tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan konsumsi

obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia,

kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui dengan

cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadi parah. Hipergikemia dapat

52
memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi ereksi,

dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat

berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara

53
lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan (HHS), yang

keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia dapat

dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat.

2.3.7 Penatalaksanaan Diabetes

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan

morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2

target utama, yaitu:

1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal.

2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan

beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan

penatalaksanaan diabetes (Tabel 5).

Parameter Kadar Ideal Yang Diharapkan


Kadar Glukosa Darah Puasa 80–120mg/dl
Kadar Glukosa Plasma Puasa 90–130mg/dl
Kadar Glukosa Darah Saat Tidur 100–140mg/dl
(Bedtime blood glucose)
Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur 110–150mg/dl
(Bedtime plasma glucose)
Kadar Insulin <7 %
Kadar HbA1c <7mg/dl
Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria)
Kadar Kolesterol HDL >55mg/dl (wanita)
Kadar Trigliserida <200mg/dl
Tekanan Darah <130/80mmHg

54
2.3.8 Terapi Farmakoterapi

a. Terapi Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada

DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak

lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I

harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di

dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe

2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi

insulin disamping terapi hipoglikemik oral.

 Mekanisme Kerja Insulin

Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian

metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan langsung

diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke

seluruh tubuh melalui peredaran darah.

Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transpor

glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah

tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan

meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga

tidak dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya. Disamping fungsinya

membantu transport glukosa masuk ke dalam sel, insulin mempunyai pengaruh yang

sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun

55
metabolisme protein dan mineral.insulin akan meningkatkan

lipogenesis, menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk

56
ke dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis

DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan

pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas pada berbagai organ dan jaringan

tubuh.

 Penggolongan Sediaan Insulin

Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang terutama

berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration). Sediaan insulin

untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu:

1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga insulin reguler.

2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting).

3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat.

4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin).

Tabel 6. Penggolongan sediaan insulin berdasarkan mula dan masa kerja.

Jenis Sediaan Insulin Mula Puncak (jam) Masa kerja


kerja
(jam)
(jam)
Masa 0,5 1-4 6-8

kerja
Singkat(Shortacting/Insulin),
disebut juga insulin reguler
Masa kerja Sedang 1-2 6-12 18-24
Masa kerja Sedang, Mula kerja 0,5 4-15 18-24
Cepat
Masa kerja panjang 4-6 14-20 24-36

Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6 menit, tetapi memanjang

57
pada penderita diabetes yang membentuk antibodi terhadap insulin. Insulin

58
dimetabolisme terutama di hati, ginjal dan otot. Gangguan fungsi ginjal yang berat

akan mempengaruhi kadar insulin di dalam darah (IONI, 2000).

 Terapi Obat Hipoglikemik Oral

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi

menjadi 3 golongan, yaitu:

a. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral

golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).

b. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap

insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion,

yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.

c. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang bekerja

menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan

hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga “starch-

blocker”.

Tabel 8. Penggolongan obat hipoglikemik oral

Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja


Sulfonilurea Gliburida/Glibenklamida Merangsang sekresi insulin di
, Glipizida, Glikazida, kelenjar pankreas, sehingga
Glimepirida, Glikuidon hanya efektif pada penderita
diabetes yang sel-sel β
pankreasnya masih berfungsi
dengan baik
Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin
di
kelenjar pancreas

59
Turunan fenilalanin Nateglinide Meningkatkan kecepatan

60
sintesis insulin oleh pankreas
Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati
(hepar),

menurunkan
produksi glukosa hati.
Tiazolidindion Rosiglitazone Meningkatkan kepekaan
Troglitazone tubuh terhadap insulin.
Pioglitazone Berikatan dengan PPARγ
(peroxisome

proliferator activated
receptor-gamma) di otot,
jaringan lemak, dan hati
untuk menurunkan resistensi
Insulin
Inhibitor Acarbose Miglitol Menghambat kerja enzim-
αglukosidase enzim pencenaan yang
mencerna

karbohidrat,
sehingga

memperlambat absorpsi
glukosa ke dalam
darah

1
2
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Data Pasien

Nama : Tn IA

No. Rekam Medik : 0409xx

Umur : 57 th 2 bl

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat : Bukit Surungan

Ruangan : Bangsali Neurologi

Agama : Islam

Dokter yang merawat : dr. Edi Nirwan, Sp. S

Farmasist : apt. Mutia Permata Sari, S. Farm

Tanggal Masuk : 19 Februari 2021

Tanggal Keluar : 24 Februari 2021

3.2 Riwayat Penyakit

3.2.1 Keluhan utama

Lemah anggota gerak kanan

3.2.2 Riwayat penyakit sekarang

Terasa lemah pada ekstermitas kiri, badan terasa letih, mual (-),

muntah (-), bibir mencong kekiri

3.2.3 Riwayat penyakit terdahulu

Riwayat DM (terkontrol) dan Hipertensi

3
3.2.4 Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada.

3.2.5 Riwayat Alergi

Tidak ada

3.3. Pemeriksaan fisik


A. Pemeriksaan Umum

Pemeriksaan Hasil
Kondisi umum Sedang
Kesadaran Compos mentis kooperatif
Tekanan darah 199/99 mmHg
Frekuensi Nadi 88 kali/menit
Pernafasan 20 kali / menit
Suhu 36,50 C

B. Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan Hasil
GCS 15
Wajah Tidak normal (Bibir mencong ke
kiri)
Extermitas bawah Lemah extermitas kiri bawah
Extermitas atas Lemah extermitas kiri atas
Motorik

444 555

444 555

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Tgl Jenis Nama Hasil Satuan Nilai
Pemeriksaan Pemeriksaan Rujukan
19/02 Gula Darah sewaktu 192 mg/dL <200
Natrium 136 mEq/L 135-148
Kimia Klinik
Kalium 4,1 mEq/L 3,5-5,5
Klorida 103 mEq/L 98-107
19/02 Hematologi Hb 16,8 g/dL

4
Leukosit 10.770 /µL
Hitung Jenis
Basofil 0 %
Eosinofil 2 %
N Batang
73 %
N Segmen
Limfosit 20 %
Monosit 5 %
NR 3,65 ≤ 3,3
LA 2154 ≥ 1500
20/02 Kimia Klinik Kolesterol total 192 mg/dL <200
HDL Kolesetrol 39 mg/dL 35-55
LDL Kolesetrol 133 mg/dL <100
Gliserid 100 mg/dL <100
Asam Urat 3,7 mg/dL 3,5-7,2
Ureum 33 mg/dL 13-43
Kreatinin 1,2 mg/dL 0,8-1,3
21/02 Kimia Klinik Gula darah puasa 153 mg/dL <126
22/02 Kimia Klinik Gula darah puasa 227 mg/dL <126
Gula darah PP 199 mg/dL <126

3.5 Diagnosa Utama

Stroke Iskemik

3.6 Diagnosa Sekunder

Hipertensi Emergency, DM Tipe 2

3.7. Terapi / Tindakan

a. Terapi di bangsal
 IVFD Assering 12 jam / kolf
 Citicolin 1000 mg 2 x sehari IV
 Amlodipin 10 mg 1 x sehari 1 tablet (pagi).
 Aspilet 80mg 1 x sehari 1 tablet (pagi).
 Candesartan 8 mg 1 x 1 tab (malam).

5
 Glimepirid 2 mg 1 x 1tablet (pagi)

b. Terapi saat pasien pulang


 Citicolin 1000 mg 2 x sehari (po)
 Amlodipin 10 mg 1 x sehari (po).
 Candesartan 16 mg 1 x sehari (po)
 Glimepirid 2 mg 1 x sehari (po)

6
3.8 Lembar Pengobatan Pasien di Bangsal Neuro

Nama Tanggal Pemberian Obat


Rut 19/02/2021 20/02/2021 21/02/2021 22/02/2021 23/02/2021 24/02/2021
No Dagang Frekuensi
e p s so m p s so m p s so M p s so m p s so m p s so m
/Generik
IVFD 12 jam /
1 iv
Assering kolf
2 Citicolin 2 x1000mg iv √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3 Amlodipin 2 x 10mg po √ √ √ √ √ √
4 Aspilet 1 x 80mg po √ √ √ √ √ √
5 Candesartan 1 x 8mg po √ √
6 Gimepirid 1 x 2 mg po √ √ √

7
3.9 Follow Up

Tanggal S O A P
19 Februari 2021  Mulut pencong  Ku: sedang Terapi yang  Pantau penggunaan
 Lemah anggota gerak  Kesadaran: 15 (CM). diberikan: citicolin karena
kiri  TD: 199/99 mmHg - Citicolin 1000 mg terdapat bahaya, jika
 Sesak (-) (normal: 120/80 (IV) digunakan pada tidak memerlukan
 Demam (-) mmHg). saat pertama masuk pengobatan citicolin
 Nyeri kepala  Nadi: 88 kali/menit malam hari namun tetap diberikan
 Muntah (-) (normal: 70-80 - Aspirin 1x80 mg serta selalu pantau
kali/menit). (PO) digunakan tekanan darah pasien.
 Natrium ; 136 mEq/L pada malam hari Dan perubahan dapat
( Normal 135 – 148 pada saat baru dilihat tanpa nilai
mEq/l) masuk rumah sakit laboratorium.
 Kalium 4,1 mEq/L - Amlodipin 1x10  Pada penggunaan
( Normal : 3,5 – 5,5 mg (PO) aspirin perlu dipantau
mEq/L) digunakan pada gangguan pada saluran
 Klorida :103 mEq/L malam hari pada pencernaan pasien
( Normal : 98-107 saat masuk rumah karena salah satu dari

8
mEq/L) sakit efek saping aspirin
 Pernafasan: 20 kali/menit. adalah menyebabkan
 Suhu: 36,5 oC. naiknya asam lambung
 SPO2 98% atau memperparah
 Toraks: Cor ( Irama regular gejala maag. Jika
bising - ), Pulmo
( Vesikuler ronchi - , diperlukan terapi
wheezing - ) tambahan maka
 Motorik: lemah anggota tambahkan
gerak kiri omeprazole atau obat-

 Abdomen : Supel obatan antasida.


 Untuk
 Ekstermitas sensorik
mengoptimalkan
baik
efektifitas dari
 GDS: 192 mg/dl (normal:
amlodipin gunakan
<200 mg/dl).
pada pagi hari setelah
Terapi yang diberikan:
makan dan pada waktu
- IVFD asering 12 jam/Kolf
yang sama setiap
- Inj. Citicolin (IV) 1000 mg
harinya.
- Amlodipine (PO) 1 x 10 mg
- Aspilet (PO) 1 x 80 mg

9
20 Februari 2021 - Mulut pencong - Kolestrol total : 192 mg/dl (
- Anggota gerak sebelah Normal : < 200mg/dl)
kiri lemah - HDL Kolestrol : 39 mg/dl (
Normal : 35-55 mg/dl)
- LDL kolestrol : 133 mg/dl (
Normal:<100 mg /dl)
- Trigliserida : 100 mg/dl ( <
100 mg/dl)
- Asam urat : 3,7 mg /dl
( Normal : 3,5 – 7,2 mg/dl)
- Ureum : 33 mg/dl ( Normal
: 13-43mg/dl)
- Kreatinin : 1,2 mg/dl
( Normal 0,8-1,3 mg/dl)

10
21 Februari 2021 - Mulut pencong - GDP 153 mg/ dl
( Normal :< 126 mg/dl)
- Anggota gerak sebelah -
kiri lemah

22 Februari 2021 - Mulut sedikit pencong - Tekanan darah 164/95  Pantau kadar
- Anggota gerak kiri mmHg guladarah pasien
- GDP 227 mg/dl
lemas  Pantau
- Stroke iskemik,Diabetes
Melitus, hipertensi penggunaan citicolin
- IVFD Asering 12 jam/Kolf karena terdapat bahaya,
- Citicolin 2 x 500 mg

11
- Amlodipine 1 x10 mg jika tidak memerlukan
- Aspirin 1 x80 mg pengobatan citicolin
- Candesartan 1 x 8 mg
namun tetap diberikan
- Glimepirid 1 x 2 mg ( Pagi)
serta selalu pantau
tekanan darah pasien.
Dan perubahan dapat
dilihat tanpa nilai
laboratorium.
 Pada penggunaan
aspirin
perlu dipantau gangguan
pada saluran pencernaan
pasien karena salah satu
dari efek saping aspirin
adalah menyebabkan
naiknya asam lambung
atau memperparah gejala
maag. Jika diperlukan
terapi tambahan maka
tambahkan omeprazole

12
atau obat-obatan antasida.
Untuk mengoptimalkan
efektifitas dari amlodipin
gunakan pada pagi hari
setelah makan dan pada
waktu yang sama setiap
harinya.
23 Februari - Sakit kepala sedang - TD : 172/101 mg/dl - Pantau gula darah
2021 - GDS : 199 mg/dl pasien terus menerus
- Motorik bagian kiri bawah
- Pantau tekanan darah
sudah membaik
- Stroke iskemik, hipertensi, pasien secara terus
DM menerus
24 Februari - Tangan kiri masih - TD : 132/77 mg/dl - Pantau gula darah
2021 - Motorik anggota gerak
lemas pasien terus menerus
bagian kiri masih lemah
- Kondisi umum baik - Pantau tekanan darah
- Stroke iskemik, hipertensi
pasien secara terus
menerus

3.10 Lembaran DRP ( Drug Related Problem)

13
Tabel Drug Terapi Problem
No Drug Therapy Problem Check Rekomendasi
List
1 Terapi obat yang tidak diperlukan
Terdapat terapi tanpa indikasi medis Pasien telah mendapatkan terapi sesuai dengan indikasi medis.
- Citicolin 1000 mg (IV), digunakan untuk memperbaiki sirkulasi darah otak
pada stroke iskemik dan mengatasi penurunan kognitif pada pasien lansia
(Indikasi Citicolin: kondisi akut pada kehilangan kesadaran akibat trauma
kepala atau operasi otak, kondisi kronis paska hemiplegia apoplektik,
gangguan serebrovaskular termasuk stroke iskemik, suplemen untuk
menangani penurunan kognitif pada lansia. Dosis sehari 1-2 x 250-500 mg
menurut ISO vol. 46 hal. 345). Gangguan serebrovaskular : dapat diberikan IV
atau IM sampai 1000 mg ( Basic Pharmacology)
- Amlodipin 1x10 mg (PO), sebagai antihipertensi (Indikasi Amlodipin:
Amlodipin digunakan untuk pengobatan hipertensi, angina stabil kronik,
angina vasospastik. Amlodipin dapat diberikan sebagai terapi tunggal ataupun
dikombinasikan dengan obat antihipertensi dan antiangina lain (thiazide, ACE
inhibitor, beta-bloker, nitrat, nitroglycerin sublingual. Penggunaan dosis
diberikan secara individual, tergantung pada toleransi dan respon pasien.

14
Dosis awal yang dianjurkan 1 x 5 mg sehari dan dosis maksimal 1 x 10 mg
sehari menurut ISO Vol. 46 hal. 326).
- Aspirin 1x80 mg (PO), digunakan sebagai antiplatelet yaitu untuk mengurangi
atau mencegah kejadian stroke berulang (Indikasi Aspirin: mencegah agregasi
platelet pada infark miokard dan angina tidak stabil, mencegah serangan
iskemik otak sepintas. Dosis sehari 80-160 mg menurut ISO vol. 46 hal. 241).
- Glimepiride 1x 2 mg (PO), digunakan untuk diabetes mellitus tipe 2 yang
mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas.
Dosis harian : 1 – 8 mg/hari ( diberikan 1 x sehari) dosis maksimal : 8 mg/hari
(Basic Pharmacology)
- Candesartan 1 x 8 mg (PO), merupakan golongan angiostensin reseptor bloker
yang digunakan sebagai alternative dalam tatalaksana gagal jantung atau
nefropati akibat diabetes. Dosis awal : 1 x 8 mg/hari, tingkatkan jika perlu
pada interval 4 minggu hingga maksimal 1 x 32 mg/hari; dosis penunjang
lazim 1 x 8 mg/hari ( Basic Pharmacology)

Pasien mendapatkan terapi - Pasien tidak mendapatkan terapi tambahan yang tidak diperlukan karena telah
tambahan mendapatkan

yang tidak diperlukan terapi sesuai dengan kondisi medis.


Pasien masih memungkinkan √ Perbanyak konsumsi air putih dan pasien harus mengontrolkan makan seperti

15
menjalani terapi non farmakologi karbohidrat protein dan lemak yang harus dikonsumsi, serta cara membaginya
antara makan pagi, siang dan malam.
- Menjaga pola makan yang sehat, dan mengurangi asupan makanan yang dapat
memicu kenaikan kolesterol dan mengurangi makanan yang banyak
mengandung garam.

- Menjelaskan kepada pasien agar selalu melakukan latihan ringan pada anggota
gerak yang lemah.

Terdapat duplikasi terapi - Tidak terdapat duplikasi terapi karena obat yang didapat dengan indikasi yang
berbeda.
- Citicolin 2x500 mg (IV), digunakan untuk memperbaiki sirkulasi darah otak
pada stroke iskemik dan mengatasi penurunan kognitif pada pasien lansia
(Indikasi Citicolin: kondisi akut pada kehilangan kesadaran akibat trauma
kepala atau operasi otak, kondisi kronis paska hemiplegia apoplektik,
gangguan serebrovaskular termasuk stroke iskemik, suplemen untuk
menangani penurunan kognitif pada lansia. Dosis sehari 1-2 x 250-500 mg
menurut ISO vol. 46 hal. 345).
Amlodipin 1x10 mg (PO), sebagai antihipertensi (Indikasi Amlodipin:
Amlodipin digunakan untuk pengobatan hipertensi, angina stabil kronik, angina
vasospastik. Amlodipin dapat diberikan sebagai terapi tunggal ataupun
dikombinasikan dengan obat antihipertensi dan antiangina lain (thiazide, ACE
inhibitor, beta-bloker, nitrat, nitroglycerin sublingual. Penggunaan dosis

16
diberikan secara individual, tergantung pada toleransi dan respon pasien. Dosis
awal yang dianjurkan 1 x 5 mg sehari dan dosis maksimal 1 x 10 mg sehari
menurut ISO Vol. 46 hal. 326).
- Aspirin 1x80 mg (PO), digunakan sebagai antiplatelet yaitu untuk mengurangi
atau mencegah kejadian stroke berulang (Indikasi Aspirin: mencegah agregasi
platelet pada infark miokard dan angina tidak stabil, mencegah serangan
iskemik otak sepintas. Dosis sehari 80-160 mg menurut ISO vol. 46 hal. 241).
- Glimepiride 1x 2 mg (PO), digunakan untuk diabetes mellitus tipe 2 yang
mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas.
Dosis harian : 1 – 8 mg/hari ( diberikan 1 x sehari) dosis maksimal : 8 mg/hari
(Basic Pharmacology)
- Candesartan 1 x 8 mg (PO), merupakan golongan angiostensin reseptor bloker
yang digunakan sebagai alternative dalam tatalaksana gagal jantung atau
nefropati akibat diabetes. Dosis awal : 1 x 8 mg/hari, tingkatkan jika perlu
pada interval 4 minggu hingga maksimal 1 x 32 mg/hari; dosis penunjang
lazim 1 x 8 mg/hari ( Basic Pharmacology)
Pasien mendapat penanganan - Pengobatan pasien tidak terdapat efek samping
terhadap efek samping yang
seharusnya dapat dicegah
2. Kesalahan Obat
Bentuk sediaan tidak tepat - Bentuk sediaan telah disesuaikan dengan kondisi pasien karena pasien masih dapat
menelan dengan baik :

17
- Citicolin 2x500 mg (IV)
- Amlodipin 1x10 mg (PO)
- Candesartan 1 x 8 mg (PO)
- Glimepiride 1 x 2 mg (PO)
- Aspirin 1x80 mg (PO)
- IVFD Asering 12 jam/Kolf (IV)
Terdapat kontra indikasi - Tidak ditemukan adanya kontra indikasi pada terapi pengobatan.

Kondisi pasien tidak dapat - Kondisi pasien dapat disembuhkan oleh obat karena semakin hari kondisi pasien
disembuhkan oleh obat semakin
membaik.

Obat tidak diindikasikan untuk - Pasien telah mendapatkan terapi sesuai dengan indikasi
kondisi
pasien
Terdapat obat lain yang lebih - Pasien tidak mendapatkan terapi yang tidak diperlukan. Terapi yang diberikan sesuai
efektif dengan
indikasi yang diderita pasien.
3. Dosis tidak tepat

Dosis terlalu rendah Semua obat telah tepat dosis:


- Citicolin 1000 mg (Dosis Citicolin 1-2 x 250-500 mg sehari menurut ISO vol. 46

18
hal. 345).
- Amlodipin 5 mg (Dosis awal yang dianjurkan 1 x 5 mg sehari dan dosis
maksimal 1 x 10 mg sehari menurut ISO Vol. 46 hal. 326).

- - Aspirin 80 mg (Dosis Aspirin 80-160 mg sehari menurut ISO vol. 46 hal 241).

- Glimepiride 1x 2 mg (PO), Dosis harian : 1 – 8 mg/hari ( diberikan 1 x sehari)


dosis maksimal : 8 mg/hari (Basic Pharmacology)
- Candesartan 1 x 8 mg (PO),Dosis awal : 1 x 8 mg/hari, tingkatkan jika perlu
pada interval 4 minggu hingga maksimal 1 x 32 mg/hari; dosis penunjang
lazim 1 x 8 mg/hari ( Basic Pharmacology)
-

Dosis terlalu tinggi Semua obat telah tepat dosis:


- Citicolin 1000 mg (Dosis Citicolin 1-2 x 250-500 mg sehari menurut ISO vol. 46
hal. 345).

- - Amlodipin 5 mg (Dosis awal yang dianjurkan 1 x 5 mg sehari dan dosis


maksimal 1 x 10 mg sehari menurut ISO Vol. 46 hal. 326).
- Aspirin 80 mg (Dosis Aspirin 80-160 mg sehari menurut ISO vol. 46 hal 241).
- Glimepiride 1x 2 mg (PO), Dosis harian : 1 – 8 mg/hari ( diberikan 1 x sehari)
dosis maksimal : 8 mg/hari (Basic Pharmacology)
- Candesartan 1 x 8 mg (PO),Dosis awal : 1 x 8 mg/hari, tingkatkan jika perlu pada

19
interval 4 minggu hingga maksimal 1 x 32 mg/hari; dosis penunjang lazim 1 x 8
mg/hari ( Basic Pharmacology)
Frekuensi penggunaan tidak tepat - Frekuensi penggunaan obat sudah tepat karena sudah masuk rentang dosis lazim
menurut ISO
vol. 46.
Penyimpanan tidak tepat Penyimpanan obat sudah tepat karena disimpan dalam suhu kamar, jauh dari panas
dan terlindung dari cahaya matahari. Penyimpanan insulin disimpan di dalam lemari
-
pendingin dengan suhu 2-8 .
Administrasi obat tidak tepat Administrasi obat sudah tepat.
- Citicolin 1000 mg (IV)
- Amlodipin 1x10 mg (PO)
-
- IVFD Asering 12 jam/Kolf
- Aspirin 1x80 mg (PO)
- Glimepiride 1 x2 mg (PO)
- Candesartan 1 x 8 mg (PO)
Terdapat interaksi obat - Tidak terdapat interaksi obat karena obat yang diberikan kepada pasien sudah sesuai

4. Reaksi yang tidak diinginkan

Obat tidak aman untuk pasien - Obat aman untuk pasien karena pasien tidak ada mengeluhkan tentang reaksi alergi
ataupun
adanya efek yang tidak diinginkan.

20
Terjadi reaksi alergi - Tidak terdapat reaksi alergi yang ditunjukkan oleh tubuh pasien.

Terjadi interaksi obat - Tidakterdapat interaksi obat

Dosis obat dinaikkan atau - Tidak ada perubahan dosis obat yang di pakai, dosis obat yang digunakan sama
diturunkan selama menjalani perawatan .
terlalu cepat
Muncul efek yang tidak diinginkan - Tidak ada muncul efek yang tidak diinginkan jadi tidak ada permasalahan.
Administrasi obat yang tidak tepat - Administrasi sudah tepat.
5. Ketidak sesuaian kepatuhan
pasien
Obat tidak tersedia - Tidak ada masalah untuk penyediaan obat pasien. Semua obat yang dibutuhkan
pasien telah tersedia di apotek rumah sakit.
Pasien tidak mampu menyediakan - Pasien mampu menyediakan obat. Karena dibantu dengan apoteker dan perawat.
Obat
Pasien tidak bisa menelan - Pasien bisa menelan obat.
ataumenggunakan obat
Pasien tidak mengerti - Pasien mengerti intruksi penggunaan obat.
intruksi penggunaan obat
Pasein tidak patuh atau memilih - Pasien patuh menggunakan obat. Obat-obatan untuk pasien rawat inap disediakan
untuk tidak menggunakan obat dalam bentuk UDD untuk pemakaian 1 kali pakai, sehingga ketidak patuhan pada
pasien dapat teratasi.
6. Pasien membutuhkan terapi
tambahan
Terdapat kondisi yang tidak - Pasien telah mendapatkan terapi sesuai indikasi, karena obat yang digunakan telah
diterapi tepat untuk

21
terapi penyakit
Pasien membutuhkan obat lain - Terapi obat yang diberikan telah sinergis sehingga tidak perlukan lagi terapi lain.
yang
sinergis
Pasien membutuhkan terapi Tida Pasien tidak membutuhkan terapi profilaksis.
profilaksis k

22
BAB V

23
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan

Seorang pasien laki-laki bernama Tn IA berumur 57 tahun mengalami

keluhan lemah pada anggota gerak sebelah kiri sejak kurang lebih 5 hari yang

lalu. Keluhan disertai dengan mulut mencong, lidah pelo, nyeri kepala (-), muntah

(-). Langsung dipindahkan ke rawat inap setelah dari IGD pada tanggal 19

Februari 2021. Riwayat penyakit dahulu pasien yaitu DM Tipe 2 dan biasanya di

control dengan glimepiride 2 mg.

Dari hasil pemeriksaan, diagnosa utama pasien adalah stroke iskemik dan

diagnosa sekunder adalah hipertensi emergency dan diabetes mellitus tipe 2

terkontrol. Stroke iskemik adalah stroke yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan

di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi pserebrum. Obstruksi dapat

disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk didalam suatu pembuluh otak

atau organ distal (Price dan Wilson, 2003). Tujuan pengobatan stroke menurut

dipiro adalah untuk mengurangi kerusakan sistem saraf yang sedang berlangsung

dan menurunkan kemungkinan mortalitas (kematian) dan cacat jangka panjang,

mencegah komplikasi sekunder untuk imobilitas dan disfungsi sistem saraf, serta

mencegah stroke berulang. Secara umum tujuan penatalaksanaan stroke adalah

mengurangi kerusakan neurologi dan resiko kecacatan, menurunkan tingkat

kematian serta mencegah terulangnya serangan stroke.

Pasien dengan stroke iskemik yang tidak mendapatkan terapi antikoagulan

harus diberikan antiplatelet seperti Aspirin (American Heart Association/

24
American Stroke Association). Antiplatelet berfungsi untuk mencegah

menggumpalnya trombosit darah dan mencegah terbentuknya trombus atau

gumpalan darah yang dapat menyumbat lumen pembuluh darah. Obat ini terutama

dapat digunakan pada pasien yang mengalami stroke iskemik atau TIA (Junaidi,

2011). Aspirin merupakan pengobatan lini pertama dengan dosis sehari 80-160

mg (ISO vol. 46 hal. 241). Pasien mendapatkan Aspirin sebagai antiplatelet

dengan tujuan untuk mencegah serangan ulang dan meminimalkan penyumbatan

pada pembuluh darah lainnya. Mekanisme kerja dengan menghambat sintesis

tromboksan A2 dengan asetilasi ireversibel enzim siklooksigenase. Prostaglandin

tromboksan A2 merupakan produk arakidonat yang menyebabkan trombosit untuk

mengubah bentuk, melepaskan butiran mereka, dan agregat. Obat-obatan yang

menentang jalur ini mengganggu agregasi platelet in vitro dan memperpanjang

waktu perdarahan invivo (Katzung, 2007). Pemerian Aspirin pada pasien ini

sudah tepat. Namun penggunaan Aspirin harus di monitoring karena ditakutkan

terjadinya pendarahan pada pasien dimana salah satu efek samping aspirin yaitu

tukak peptik dan iritasi gastrointestinal. Aspirin diberikan 1 x sehari 1 tablet

setelah makan.

Citikolin sebagai membrane stabilizer merupakan prekursor dari

phospatidylkolin, konsitituen utama dari membran sel. Mekanisme kerja obat ini

yaitu dengan mencegah kerusakan membran dan mengusahakan rekoveri dari

membran yang cedera dengan meningkatkan sintesa acetylcholine. Sitikolin juga

bekerja lewat kemampuannya untuk mencegah penimbunan asam lemak bebas,

asam arakhidonat, dan digliserida pada tempat kerusakan sel otak. Citicolin

diketahui dapat memperbaiki sirkulasi darah otak pada stroke iskemik akut.

25
Citicoline bekerja dengan cara meningkatkan senyawa kimia di otak yang

bernama phospholipid phosphatidylcholine. Dimana senyawa ini berfungsi

melindungi otak, mempertahankan fungsi otak, serta mengurangi jaringan otak

yang rusak akibat cedera. Dosis penggunaan Citikolin pada stroke iskemik yaitu

500-2000 mg/hari (Overgaard, 2014, Clark,et.al., 1999). Obat ini relatif aman,

efek samping hampir tidak ada hanya efek samping kecil pada komplikasi GIT (C

Clark 1998, 1999; Junaidi, 2011). Pemberian Citicolin pada pasien ini sudah tepat

indikasi dan dosis. Dosis yang diberikan 2 x 1000 mg sehari. Citicolin pada kasus

ini diberikan secara IV obat yang dimasukkan melalui pembuluh darah langsung

bereaksi menuju sel dan jaringan, sehingga efeknya lebih cepat dan kuat

dibandingkan secara oral.

Pada kasus ini pasien juga mengalami hipertensi dimana hipertensi juga

merupakan faktor resiko dari stroke. Hipertensi memegang peranan penting pada

pathogenesis artheroskelrosis pembuluh darah yang besar yang selanjutnya akan

menyebabkan stroke iskemik oleh karena oklusi trombotik arteri, emboli arteri ke

arteri atau kombinasi keduanya. Pemberian antihipertensi pada pasien stroke

iskemik yang mengalami hipertensi tak terkontrol diperlukan. Antihipertensi

kelompok CCB dan ARB banyak digunakan karena efek sampingnya lebih rendah

dibandingan antihipertensi lain seperti ACEI dengan efek samping batuk (Aronow

ed al. 2011). Disini pasien mendapatkan obat antihipertensi golongan CCB

(Calcium Canel Bloker) yaitu amlodipin 10 mg 1 x sehari setelah makan secara

peroral. Mekanisme kerja amlodipin yaitu menurunkan tekanan darah dengan

merelaksasi pembuluh darah sehingga tidak memperberat jantung untuk

memompa darah. Amlodipin memblok kalsium supaya tidak masuk memasuki

26
jaringan dan arteri tertentu. Hal ini membuat jaringan dan arteri tersebut lebih

rileks sehingga darah dapat mengalir lebih mudah untuk jantung. Hal ini

membantu menurunkan tekanan darah dan juga mengurangi risiko serangan

jantung atau stroke (Tatro, 2003). Pemberian Amlodipin pada pasien ini sudah

tepat indikasi dan dosis. Dosis awal yang dianjurkan 1 x 5 mg sehari dan dosis

maksimal 1 x 10 mg sehari (ISO Vol. 46 hal. 326).

Candesartan merupakan obat antihipertensi golongan ARB yang pemberian

nya pada pasien ini sudah tepat indikasi dan dosis yaitu 8 mg 1 x sehari secara

peroral. Dosis awal candesartan untuk hipertensi adalah 1x 8 mg/hiari,

ditingkatkan jika perlu pada interval 4 minggu hingga maksimal 1 x 32 mg/hari;

dosis penunjang lazim 1x8 mg/hari (Basic Pharmacology & Drug Notes, 2017).

Kombinasi antara CCB (amlodipine) dan ARB (candesartan) merupakan

kombinasi yang tepat karena keduanya bekerja dengan mekanisme yang berbeda

untuk menurunkan tekanan darah. Obat dengan mekanisme kerja yang berbeda

dapat mengendalikan tekanan darah dengan toksisitas minimal (Darnindro dan

Muthalib, 2008). Kombinasi CCB-ARB digunakan untuk mencegah terjadinya

diabetes nefropati pada pasien diabetes mellitus dengan hipertensi (Kalra, dkk,

2010). Efek samping seperti edema perifer karena pembrian CCB tunggal secara

signifikan menurun jika dikombinasi dengan ARB (Mallat, dkk, 2013).

Obat antidiabetes yang digunakan pasien adalah Glimepiride 2 mg yang

termasuk golongan sulfonylurea. Obat golongan ini mempunyai efek utama

meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas. Pemberian glimepiride ini

sudah tepat indikasi dan dosis. Dosis harian glimepiride pada literature yaitu 1-8

27
mg/hari diberikan satu kali sehari yang diberikan sebelum makan. Dosis maksima

8 mg/hari (Basic Pharmacology & Drug Notes, 2017).

28
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan

1. Terapi yang diberikan kepada pasien yang menderita stroke iskemik dengan

diabetes mellitus tipe dan hipertensi sudah tepat indikasi.

2. Dari semua terapi yang diberikan tidak terdapat DRP pada pengobatan

pasien.

5.2 Saran

Disarankan untuk pasien mengatur pola hidup sehat dan mengontrol tekanan

darah, serta hati-hati dalam pemilihan terapi pada pasien stroke dan penyakit

hipertensi yang disertai dengan faktor resiko.

DAFTAR PUSTAKA

29
Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell
palsy. In: Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical
Neurology.6thEd. USA; The McGraw-Hill companies, Inc;2005.p.182.

Aronow, S. W., Jerome, L. F., Carl, J. P., Nancy, T. A., George, B., Alan, S. B., et
al., 2011, ACCF/AHA 2011 Expert Consensus Document on Hypertension
in The Elderly, Journal of the American College of Cardiology, 57(20):
2037-114.

Clark, W. M., Williams BJ, Selzer KA, Zweifler, RM., Sabounjian, LA.,
Gammans, RE. 1999. A randomized efficacy trial of citicoline in patients
with acute ischemic stroke. 30 (12):259, 2-7.

Dipiro, Joseph at all. 2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 7 th


ed., New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

Dipiro, Joseph at all. 2015. Pharmacotherapy Principles and Practice 9th ed.
America Unitited states.

Departemen Kesehatan RI, 2006, Pharmaceutical Care untuk Penyakit


Hipertensi, Depkes RI: Jakarta.

Feigin, V., 2006 ; stroke ; PT Buana Ilmu Populer, Jakarta.

Furie L Karen., Scott E. Kasner., Vice Chair., Robert J. Adams. 2011. Guidelines
for the prevention of stroke in patients withstroke or transient ischemic
attack. AHA/ASA guideline. pp 228.

Goldstein L.B., 2007. Contemporary Reviews in Cardiovascular Medicine Acute


Ischemic Stroke Treatment in 2007. American Heart Association. 116:
1504-1514.

Gomes Joao, Machsman Ari Marc, Corrigan, et all. Types of Strokes. Handbook
of Clinical Nutrition and Stroke. Springer Science+Business Media New
York. 2013.

Ikawati, Z., 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat, Bursa Ilmu,
Yogyakarta.

Junaidi, Iskandar., 2011. Hipertensi Pengenalan, Pencegahan, dan Pengobatan.


Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.

Katzung B. G. 2007. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. Boston: McGraw
Hill

30
Longo, D. L., & Kasper, D. L. (2012). Harrison’s Principle of Internal Medicine
ed.18 Chapter 231: Rheumatoid Arthritis. USA: McGraw-Hill Companies,
Inc.

Martin, A., Swarbrick, J. & Cammarata, A., 2008, Farmasi Fisik, Edisi Ketiga,
Penerbit UI Press, Jakarta.

Medscape App for Android. 2020. Drug Information. Diakses pada tanggal 31
Desember 2020.

Overgaard, K. 2014. The effects of citicoline on acute ischemic stroke: a review. J


Stroke Cerebrovasc Disease. 23(7):17, 64-69.

Khoo, Eileen. 2014. MIMS Petunjuk Konsultasi. PT Medidata Indonesia: Jakarta.

Pariang, Nurul Falah Edi. 2006. ISO Indonesia Vol. 46. PT. ISFI: Jakarta.

Perdossi. 2011. Guideline Stroke Tahun 2011. Jakarta: Perhimpunan Dokter


Spesialis Saraf Indonesia. Pharmacotherapy Handbook. Ninth Edition. Mc
Graw-Hill Education, USA.

Price, SA, Wilson, LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Volume 2 Ed/6. Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor.
Jakarta: EGC; 2003. BAB 53, Penyakit Serebrovaskular; hal. 1106-1129.

Sukandar, E.(2006). Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi


Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.

Sukandar, Elin Yulina. 2008. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI: Jakarta.

Tatro, D.S. 2003. A to Z Drug Facts. San Fransisco : Facts and Comparisons.

Team Medical Mini Notes. 2017. Basic Pharmacology & Drug Notes. MMN
Publishing: Makassar.

Terry, C. L., & Weaver, A. (2013). Keperawatan Kritis. Yogyakarta: Rapha


Publishing.

Wibowo, S., dan Gofir, A., 2001, Farmakoterapi Dalam Neurologi, 60, Salemba
Medika, Jakarta.

Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika

Wiwit. (2010). STROKE & Penangananya Memahami, Mencegah, & Mengobati


Stroke. Jogjakarta: Kata Hati.

31
World Health Organization (WHO). 2012. The WHO Step Wise Approach
toStroke Surveillance. Geneva : WHOKelompok Studi Serebrovaskuler &
Neurogeriatri Perdossi (KSSNP), 1999, Konsensus Nasional Pengelolaan
Stroke di Indonesia, Jakarta.

Yunaidi, Y., 2010, Interven sipada Stroke Non-Hemoragik, Jurnal Kardiologi


Indonesia, 31(3) : 153-155.

32
Lampiran 1. Informasi Obat

Nama Obat Aspirin


Indikasi Menurunkan resiko Trombosis Koroner lebih lanjut selama
fase pemulihan dari Infark Miokard, mengurangi resiko
berulangnya serangan iskemik sepintas & stroke pada
pasien, untuk meringankan rasa nyeri, seperti pada sakit
kepala, sakit gigi.
Kontra Indikasi Gangguan perdarahan, asma, ulkus peptikum.
Perhatian Gangguan fungsi hati, dispepsia, hamil dan laktasi, anak-
anak.
Efek Samping  Perut terasa sakit, panas atau kram, sembelit, diare,
masalah pencernaan

 Feses berwarna terlalu gelap atau terlalu terang

 Urine berwarna gelap atau berdarah, urine berkurang

 Tidak sadarkan diri, mudah mengantuk, pingsan, mudah


lelah dan lemas

 Sakit pada dada, sesak napas, napas terengah-engah,


jantung berdetak tak menentu

 Kebingungan, berpikir sesuatu yang buruk akan terjadi,


gugup dan cemas, selalu merasa panik,

 Demam,

 Sakit kepala

 Mudah merasa haus

 Kehilangan selera makan

 Sakit pinggang, kram otot dan tremor, kejang

33
 Mual dan muntah,

 Tangan, kaki, atau bibir mati rasa

 Ruam kulit, bengkak pada bagian tubuh tertentu seperti


jari, wajah, dan kaki bagian bawah, luka dan memar yang
tidak biasa.
Interaksi Obat Meningkatkan konsentrasi serum alopurinol sehingga dapat
meningkatkan toksisitas allopurinol.Chlorpropamide :
Meningkatkan reaksi hepatorenal, monitor hipoglikemi.Obat
lain : Cotrimoxazole : Trombositopenia Cyclosporin :
Meningkatkan konsentrasi cyclosporin dalam darah
(penyesuaian dosis).
Dosis Transient Ischemic Attacks & Acute Ischemic Stroke :Untuk
mengurangi resiko berulangnya TIA, stroke, kematian : 50 -
325mg/hari, AIS : 160-325mg/hari dimulai dalam waktu 48
jam setelah stroke terjadi, dilanjutkan hingga 2-4 minggu.
Pencegahan AIS sekunder adalah dengan dosis rendah.CAD
&MI :Pencegahan : 160-325mg/hari, dimulai paling lama 24
jam setelah MI terjadi kemudian diteruskan selama 30 hari
paling sedikit. Angina stabil kronis :Dosis : 75-325 mg/hari
segera setelah didiagnosa (kecuali ada kontraindikasi
aspirin). Diminum setelah makan.
Sediaan Tablet salut enteric 80 mg
Kategori D
Keterangan
Nama Obat Citicolin
Indikasi  Keadaan akut ( kehilangan kesadaran akibat trauma
serebral atau kecelakaan lalu lintas dan operasi otak).
 Keadaan kronik (gangguan psikiatrik atau saraf akibat
apopleksia, trauma kepala dan operasi otak).
 Memperbaiki sirkulasi darah otak termasuk stroke
iskemik.

34
Kontra Indikasi  Hipersensitivitas terhadap citicolin.

Interaksi Obat Interaksi obat mungkin terjadi bila beberapa obat


dikonsumsi secara bersamaan. Jika ingin mengonsumsi obat
secara bersamaan, konsultasikan ke dokter Anda terlebih
dahulu, bila perlu dokter akan mengubah dosis obat atau
mengganti obat dengan alternatif obat lainnya. Sampai saat
ini belum ada informasi mengenai interaksi antara citicoline
dengan obat lainnya.
Informasi yang diberikan bukan sebagai pengganti
konsultasi medis langsung dengan dokter atau mengarahkan
pemakaian obat dengan merek tertentu. Pemakaian obat
harus dengan resep dokter. Ketersediaan obat tergantung
pada indikasi yang disetujui Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM).
Perhatian Harus diberikan bersama dengan obat yang menurunkan
tekanan intracranial atau anti hemoragik pada kondisi yang
gawat dan akut. Jaga agar suhu tubuh tetap rendah.
Pemberian secara intravena harus diperikan secara sangat
perlahan.
Efek Samping Ruam kulit, insomnia, sakit kepala, pusing, kejang, mual,
anoreksia, hasil tes fungsi hati abnormal, diplopia, sensasi
hangat, perubahan tekanan darah sementara, rasa tidak enak
badan.
Dosis  Keadaan akut: 250-500 mg, 1-2 kali sehari drip IV atau
bolus IV.
 Keadaan kronik: 100-300 mg, 1-2 kali sehari secara IV
dan IM.
 Gangguan serebrovaskular: dapat diberikan IV atau IM
sampai 1000 mg. Pemberian IV harus selambat mungkin.

Sediaan  Ampul 250 mg/2 ml: Beclov, Brainolin, Bralin,


Cholimed, Cholinaar, Cibren, Citicholine, Croline,
Lancoline, Neuciti, Neulin, Neurolin, Nicholin, Zeufor.

35
 Tablet/kapsul 500 mg: Brainact, Brainolin, Bralin,
Cholinaar, Futalin, Incelin, Neurolin, Recolin, Simciti,
Soholin 500, Takelin, Zeufor
 Kapsul 1000 mg: Brainact, Bralin.

Kategori Informasi keamanan penggunaan citicoline selama


kehamilan dan menyusui masih belum memadai. Hindari
penggunaannya selama kehamilan dan menyusui. 
Keterangan
Nama Obat Amlodipin
Indikasi Hipertensi, Profilaksis angina
Kontra Indikasi Hipersensitifitas terhadap CCB dihidripiridin, syok
kardiogenik, angina pectoris tidak stabil, stenosis aorta yang
signifikan,
Perhatian Gangguan fungsi hati, hamil, laktasi
Efek Samping Edema, gangguan tidur, sakit kepala, letih, hipotensi, tremor,
aritmia, takikardia, mual, nyeri perut, ruam kulit, wajah
memerah.
Dosis  Hipertensi: dosis awal 1x 5 mg/ hari, dosis maksimal 10
mg/hari.
 Pasien lanjut usia atau gangguan fungsi hati, hamil dan
laktasi.
 Terapi pada infark miokard akut: 5-10 mg/hari.

Sediaan Tablet 5 mg dan 10 mg: Amovask, Quentin, Amlodipine


Besilate, Amlodipine Besylate, Concor AM, Normetec,
Simvask, Zenovask, Comdipin, Norvask.
Kategori C
Keterangan
Nama Obat Amlodipin
Indikasi Hipertensi, Profilaksis angina
Kontra Indikasi Hipersensitifitas terhadap CCB dihidripiridin, syok
kardiogenik, angina pectoris tidak stabil, stenosis aorta yang
signifikan,
Perhatian Gangguan fungsi hati, hamil, laktasi
Efek Samping Edema, gangguan tidur, sakit kepala, letih, hipotensi, tremor,
aritmia, takikardia, mual, nyeri perut, ruam kulit, wajah

36
memerah.
Dosis  Hipertensi: dosis awal 1x 5 mg/ hari, dosis maksimal 10
mg/hari.
 Pasien lanjut usia atau gangguan fungsi hati, hamil dan
laktasi.
 Terapi pada infark miokard akut: 5-10 mg/hari.

Sediaan Tablet 5 mg dan 10 mg: Amovask, Quentin, Amlodipine


Besilate, Amlodipine Besylate, Concor AM, Normetec,
Simvask, Zenovask, Comdipin, Norvask.
Kategori C
Keterangan
Nama Obat Candesartan
Indikasi Hipertensi, Pengobatan pada pasien dengan gagal jantung
dan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri ketika obat
penghambat ACEi tidak ditoleransi.
Kontra Indikasi 1. Pasien hipersensitif terhadap candesartan cilexetile atau
komponen yang terkandung dalam formulasinya

2. Wanita hamil dan menyususi

3. Gangguan hati yang berat dan/ atau kolestasis

Perhatian 1. Gangguan ginjal, jika candesartan cilexetile digunakan


pada pasien hipertensi dengan gangguan ginjal, disarankan
dilakukan pemantauan secara berkala kadar kalium dan
kadar kreatinin dalam serum. Pada pasien seperti ini
peningkatan dosis perlu dilakukan secara hati-hati disertai
dengan pemeriksaan tekanan darah.

2. Terapi kombinasi dengan penghambat ACEi pada gagal


jantung

3. Hemodialisa

4. Hiperkalemia

37
5. Hipotensi

Interaksi 1. Bioavailabilitas candesartan cilexetille tidak dipengaruhi


oleh makanan

2. Ketika antagonis reseptor angiotensin 2 diberikan secara


bersamaan dengan obat antiinflamasi non steroid, penurunan
dari efek antihipertensi dapat terjadi.

3. Efek antihipertensi candesartan cilexetile dapat


ditingkatkan dengan obat antihipertensi lainnya.

Efek Samping Terjadi pada 1 % atau lebih pasien yang menerima


candesartan cilexetile meliputi back pain, pusing, ispa,
faringritis dan rinitis. Kejadian efek samping tidak
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin ata ras.
Dosis  Dosis awal candesartan cilexetile adalah 4 mg/hari
 Dosis dinaikkan sesuai dengan respon pengobatan
sampai maksimum 16mg /hari
 Efek antihipertensi maksimal akan dicapai dalam waktu
4 minggu setelah pengobatan.

Sediaan Tablet 8 mg dan 10 mg


Nama Obat Glimepiride
Indikasi Diabetes Melitus Tipe 2
Kontra Indikasi Gangguan fungsi hati, gagal ginjal, kortiria, ketoasidosis,
kehamilan dan menyusui
Perhatian Hati-hati menggunakan sulfonil urea dengan pasien resiko
tinggi hipoglikemia ( orang tua, gangguan faal hati dan
ginjal)

- Sulfonilurea tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal


pada pasien DM Juvenil, pasien yang kebutuhan insulinnya
tidak stabil, diabetes berat, DM pada kehamilan, dan pada
keadaan gawat.

38
- Hati-hati penggunaannya pada penggunaan alkoholisme
akut serta pasien yng mendapatkan diuretik thiazid.
Interaksi - meningkatkan resiko hipoglikemik jika diberikan bersama
dengan insulin, alkohol, fenformin, sulfonamide, salisilat
dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenecid,
dikumarol, kloramfenikol, penghambat NAO, guantidine,
anabolik steroid, fenfuramin, dan klofibrat.
Efek Samping Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan
berat badan
- mual, muntah, diare, kontispasi, gangguan fungsi hati,
reaksi hipeersensitivtas dengan gangguan darah
Dosis  Dosis harian : 1-8 mg/hari (diberikan 1 kali sehari)
 Dosis maksimal : 8 mg/hari diberikan sebelum makan

Sediaan Tablet 1,2,3,4,5 mg


Nama Obat Glimepiride
Indikasi Diabetes Melitus Tipe 2
Kontra Indikasi Gangguan fungsi hati, gagal ginjal, kortiria, ketoasidosis,
kehamilan dan menyusui
Perhatian Hati-hati menggunakan sulfonil urea dengan pasien resiko
tinggi hipoglikemia ( orang tua, gangguan faal hati dan
ginjal)

- Sulfonilurea tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal


pada pasien DM Juvenil, pasien yang kebutuhan insulinnya
tidak stabil, diabetes berat, DM pada kehamilan, dan pada
keadaan gawat.

- Hati-hati penggunaannya pada penggunaan alkoholisme


akut serta pasien yng mendapatkan diuretik thiazid.
Interaksi - meningkatkan resiko hipoglikemik jika diberikan bersama
dengan insulin, alkohol, fenformin, sulfonamide, salisilat
dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenecid,
dikumarol, kloramfenikol, penghambat NAO, guantidine,
anabolik steroid, fenfuramin, dan klofibrat.

39
Efek Samping Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan
berat badan
- mual, muntah, diare, kontispasi, gangguan fungsi hati,
reaksi hipeersensitivtas dengan gangguan darah
Dosis  Dosis harian : 1-8 mg/hari (diberikan 1 kali sehari)
 Dosis maksimal : 8 mg/hari diberikan sebelum makan

Sediaan Tablet 1,2,3,4,5 mg


Nama Obat IVFD Asering
Golongan Elektrolit ( K)
Kandungan Per 1000 ml : CaCl2 0,2 g, KCl 0,3 g, NaCl 6 g, Na Asetat
3,8 g,
Indikasi Nytrient dan pengobatan asidosis yang berhubungan dengan
dehidrasi dan kehilangan ion alkali dalam tubuh.
Kontra Indikasi - Gagal Jantung kongestif, kerusakan ginjal, edema paru
yang disebabkan oleh retensi natrium dan hiperproteinemia,
hipermatremia, hiperkloremia, hiperhidrasi.
Efek samping Demam, infeksi, pada tempat penyutikan, trombisis vena
atau flebitis ( radang pembuluh balik pada tempat
penyutikan, hiperpolemia ( bertambahnya volume plasma
darah yang beredar).

40

Anda mungkin juga menyukai