Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN PUSTAKA

STROKE HEMORAGIK EC ANEMIA APLASTIK

OLEH :

Tannia Rizkyka Irawan

H1A 012 042

PEMBIMBING :

dr. Herpan Syafii Harahap, M.Biomed, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RSU PROVINSI NTB

MATARAM 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.

Tinjauan Pustaka yang berjudul Stroke Hemoragik ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSU Provinsi
NTB.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis.

1. dr. Herpan Syafii Harahap, M.Biomed, SpS selaku pembimbing


2. dr. Ester Sampe, SpS, selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP NTB
3. dr. Wayan Subagiartha, SpS, selaku supervisor
4. dr. Ilsa Hunaifi, SpS, selaku supervisor
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan kepada penulis
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.

Semoga tinjauan pustaka ini dapat memberikan manfaat dan tambahan


pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek
sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, Juni 2017

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar belakang

Stroke adalah suatu keadaan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi neurologis
(defisit neurologik fokal atau global) yang terjadi secara mendadak, berlangsung lebih
dari 24 jam atau menyebabkan kematian, yang semata-mata disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak karena berkurangnya suplai darah (stroke iskemik) atau pecahnya
pembuluh darah secara spontan (stroke perdarahan).2 Stroke merupakan penyebab
kematian ketiga tertinggi setelah penyakit jantung dan kanker di dunia.Pada tahun 2008,
jumlah prevalensi stroke di United State sekitar 7.000.000 dengan perkiraan satu pasien
akan mengalami kematiansetiap 4 menit.1

Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah


tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama
pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian). Prevalensi stroke rata-rata adalah
0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh Darussalam dan terendah 0,38% di Papua. Jenis
stroke yang paling sering terjadi adalah stroke iskemia yaitu Sekitar 65-80%, sedangkan
sisanya adalah karena stroke hemoragik.1

Penyebab stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke infark atau iskemi dan stroke
perdarahan atau hemoragik.Munculnya etiologi stroke iskemia maupun hemoragik karena
adanya faktor resiko yang meningkatkan kejadian stroke.Faktor resiko penyebab stroke
berupa hipertensi, diabetes melitus, hiperlipidemia, hiperhomosisteinemia, dan merokok.
Hipertensi merupakan faktor resiko utama penyebab stroke, sehingga penanganan yang
baik pada hipertensi dapat menurunkan insiden dan angka kematian akibat stroke.
Dengan adanya faktor resiko akan memperparah kondisi pasien apabila faktor resiko
tidak dapat diobati atau ditangani dengan baik.4

3
1. 2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam tinjauan pustaka ini antara lain:

1. Apakah definisi operasional stroke?


2. Bagaimana epidemiologi stroke?
3. Bagaimana klasifikasi stroke?
4. Apakah penyebab stroke hemoragik?
5. Bagaimana patofisiologi stroke hemoragik?
6. Apakah gejala yang muncul pada pasien dengan stroke hemoragik?
7. Bagaimana penegakan diagnosis stroke hemoragik?
8. Apa saja faktor resiko stroke ?
9. Bagaimana managemen penatalaksanaan stroke hemoragik?

1. 3 Tujuan penulisan

Penulisan tinjauan pustaka ini penting bagi dokter muda sebagai calon dokter umum agar
mampu mengenali, memahami, dan mendiagnosa suatu penyakit dengan tepat dimulai
dari definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala. Sehingga dapat
menentukan, tatalaksana awal, prognosis, informasi, dan edukasi yang tepat kepada
pasien.

1. 4 Manfaat penulisan

Penulisan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi


dalam mempelajari kasus stroke hemoragik yang berlandaskan teori guna memahami
bagaimana cara mengenali, mengobati, dan mencegah stroke hemoragik, termasuk
tindakan awal dan pengobatan lebih lanjut, sehingga dapat mengoptimalisasi kemampuan
dan pelayanan dalam merawat pasien yang menderita stroke hemoragik.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Operasional


Stroke adalah suatu keadaan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi neurologis
(defisit neurologik fokal atau global) yang terjadi secara mendadak, berlangsung lebih
dari 24 jam atau menyebabkan kematian, yang semata-mata disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak karena berkurangnya suplai darah (stroke iskemik)
atau pecahnya pembuluh darah secara spontan (stroke perdarahan).2

2.2 Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tertinggi setelah penyakit jantung
dan kanker di dunia.Pada tahun 2008, jumlah prevalensi stroke di United State sekitar
7.000.000 dengan perkiraan satu pasien akan mengalami kematiansetiap 4 menit.
Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah tangga di
33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama pada
usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian).1
Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh
Darussalam dan terendah 0,38% di Papua. Jenis stroke yang paling sering terjadi
adalah stroke iskemia yaitu Sekitar 65-80%, sedangkan sisanya adalah karena stroke
hemoragik.1

2.3 Klasifikasi2
Klasifikasi stroke yaitu berdasarkan:
1. Etiologis :
a. Infark : aterotrombotik, kardioembolik, lakunar
b. Perdarahan : Perdarahan Intra Serebral, Perdarahan Subarahnoid, Perdarahan
Intrakranial et causa AVM
2. Lokasi :
a. Sistem Karotis

5
b. Sistem Vertebrobasiler
2.4 Etiologi
Penyebab stroke hemoragik sangat beragam, yaitu:7
- Perdarahan intraserebral primer (hipertensif)
- Ruptur kantung aneurisma
- Ruptur malformasi arteri dan vena
- Perdarahan primer atau sekunder dari tumor otak.
- Septik embolisme, myotik aneurisma
- Penyakit inflamasi pada arteri dan vena
- Trauma (termasuk apopleksi tertunda paska trauma)
- Obat vasopressor, kokain, herpes simpleks ensefalitis, diseksi arteri
vertebral, dan acute necrotizing haemorrhagic encephalitis.
- Kelainan perdarahan seperti leukemia, anemia aplastik, ITP, gangguan
fungsi hati, komplikasi obat trombolitik atau anti koagulan,
hipofibrinogenemia, dan hemofilia

2.5 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya stroke hemoragik berupa :

1. Patofisiologi berdasarkan penyebabnya :

a. Perdarahan intraserebral

Perdarahan intraserebral merupakan 10% dari seluruh kasus stroke yang ada.
Perdarahan intraserebral ditandai oleh adaya perdarahan ke dalam parenkim otak akibat
pecahnya arteri penetrans yang merupakan cabang dari pembuluh darah superficial dan
berjalan tegak lurus menuju parenkim otak yang di bagian distalnya berupa anyaman
kapiler.8
Onset perdarahan intraserebral sangat mendadak, seringkali terjadi saat
beraktivitas dan disertai nyeri kepala berat, muntah dan penurunan kesadaran, kadang-
kadang juga disertai kejang. Distribusi umur biasanya pada usia pertengahan sampai tua
dan lebih sering dijumpai pada laki-laki. Hipertensi memegang peranan penting sebagai
penyebab lemahnya dinding pembuluh darah dan pembentukan mikroaneurisma. Pada

6
pasien nonhipertensi usia lanjut, penyebab utama terjadinya perdarahan intraserebri
adalah amiloid angiopathy. Penyebab lainnya dapat berupa aneurisma, AVM, angiopati
kavernosa, diskrasia darah, terapi antikoagulan, kokain, amfetamin, alkohol dan tumor
otak. Dari hasil anamnesa tidak dijumpai adanya riwayat TIA.8,9
Pada beberapa orang tua, sebuah protein abnormal yang disebut amiloid
terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid) melemahkan arteri
dan dapat menyebabkan perdarahan.Penyebab lain yang dapat menyebabkan perdarahan
termasuk kelainan pembuluh darah saat lahir, luka, tumor, peradangan pembuluh darah
(vaskulitis), gangguan perdarahan, dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang
terlalu tinggi. Pendarahan gangguan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko
kematian dari perdarahan intraserebral.
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis
melemahkan arteri kecil. Pada orang normal terdapat sistem autoregulasi arteri serebral,
dimana bila tekanan darah sistemik meningkat maka pembuluh serebral akan
vasokonstriksi, sebaliknya bila tekanan darah sistemik menurun maka pembuluh serebral
akan vasodilatasi, dengan demikian aliran darah keotak tetap konstan. Batas atas tekanan
darah sistemik yang masih dapat ditanggulangi adalah tekanan darah sistolik 150-200
mmHg dan diastolic 110-120 mmHg. Ketika tekanan darah sistemik meningkat,
pembuluh serebral akan berkonstriksi, namun bila keadaan ini terjadi selama berbulan-
bulan atau bertahun-tahun, akan menyebabkan degenerasi pada lapisan otot pembuluh
serebral, yang akan menyebabkan diameter lumen pembuluh darah menjadi sulit
berubah. Hal ini berbahaya karena pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau
berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi tekanan darah.8
Pada hipertensi kronis, pembuluh darah arteriol akan mengalami perubahan
degeneratif yang menyebabkan dinding pembuluh darah arteriol menjadi lemah sehingga
akan menimbulkan mikroaneurisma dengan diameter sekitar 1 mm disebut aneurisma
Charcot-Bouchard. Pada suatu saat aneurisma ini dapat pecah oleh tekanan darah yang
meningkat sehingga terjadilah perdarahan ke dalam parenkim otak. Darah ini mendorong
struktur otak dan merembes ke sekitarnya bahkan dapat masuk ke dalam ventrikel atau
ke ruangan subaraknoid yang akan bercampur dengan cairan serebrospinal dan
merangsang meningens.8

7
Jika terjadi peningkatan tekanan darah kronis maka akan menyebabkan kerusakan
spesifik pembuluh darah melalui tiga mekanisme yang saling berhubungan, yaitu
pulsatile flow, endothelial denudation, dan replikasi sel otot polos. Namun yang dapat
menyebabkan perdarahan intraserebral adalah mekanisme pulsatile flow, dimana tekanan
darah yang tinggi akan menyebabkan tekanan pada jaringan kolagen dan elastin dinding
pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan kerusakan berupa medionekrosis,
aneurisma, dan perdarahan.8
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran dalam
waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh hingga
sepuluh menit. Perdarahan pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang
terbatas (stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu defisiensi energi yang
disebabkan oleh iskemia. Perdarahan juga menyebabkan iskemia dengan menekan
pembuluh darah di sekitarnya.8
Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan lumen
pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi, meskipun pada
kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian sel menyebabkan
inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area iskemik (penumbra). Gejala ditentukan oleh
tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah
tersebut.9

Lokasi perdarahan umumnya terletak pada daerah ganglia basalis, pons,


serebelum dan thalamus. Perdarahan pada ganglia basalis sering meluas hingga mengenai
kapsula interna dan kadang-kadang rupture ke dalam ventrikel lateral lalu menyebar
melalui system ventrikuler ke dalam rongga subarachnoid. Adanya Perluasan
intraventrikuler sering berakibat fatal. Perdarahan pada lobus hemisfer serebri atau
serebelum biasanya terbatas dalam parenkim otak.9
b. Pendarahan Subarachnoid
Pendarahan subarachnoid ditandai dengan perdarahan yang masuk ke dalam
rongga subarachnoid. Onsetnya sangat mendadak dan disertai nyeri kepala hebat,
penurunan kesadaran dan muntah. Distribusi umur penderita ini umumnya terjadi pada
usia muda dan lebih banyak pada wanita.

8
Pada 10-15% kasus penyebabnya tidak diketahui, Umumnya akibat rupture
aneurisma, kadang-kadang juga karena pecahnya malformasi arterivenosa, dan terapi
antikoagulan. Aneurisma biasanya berlokasi di sirkulus Willisi dan percabangannya. Bila
aneurisma pecah, darah segera mengisi ruang subarakhnoid atau merembes ke dalam
parenkim otak yang letaknya berdekatan.8
2.Patofisiologi berdasarkan lokasi lesi vaskuler
a. Anterior circulation (sistem karotis)
Stroke yang disebabkan karena pembuluh darah ini memberikan tanda dan gejala
disfungsi hemisfer serebri seperti afasia, apraxia, atau agnosia. Selain itu dapat juga
timbul hemiparese, gangguan hemisensoris, dan gangguan lapang pandang.

b. Posterior circulation (sistem vertebrobasiler)


Stroke yang disebabkan karena pembuluh darah ini memberikan tanda
dan gejala disfungsi batang otak termasuk koma, drop attacks (jatuh tiba-tiba tanpa
penurunan kesadaran), vertigo, mual dan muntah, gangguan saraf otak, ataxia, defisit
sistem sensorimotorik kontralateral (hemiparese alternans). Selain itu dapat juga
timbul hemiparese, gangguan hemisensoris, dan gangguan lapang pandang tetapi
tidak spesifik untuk stroke yang disebabkan sistem vertebrobasiler.

2.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis tergantung dari lokasi dan ukuran hematoma. Karakteristiknya
berupa sakit kepala, muntah-muntah dan kadang-kadang kejang pada saat permulaan.
Kesadaran dapat terganggu pada keadaan awal dan menjadi jelas dalam waktu 24-48 jam
pertama bila volume darah lebih dari 50 cc. Karena jaringan otak terdorong, maka timbul
gejala defisit neurologik yang cepat menjadi berat dalam beberapa jam.10

Stroke hemoragik biasanya menunjukkan gejala peningkatan tekanan intrakranial


dibandingkan daripada tipe lain dari stroke. Pokok manifestasi dari stroke ini adalah
hemiparese, hemiparestesia, afasia, disartria, & hemianopsia. Hemiparese yang ringan
dapat dirasakan oleh penderita sebagai gangguan gerakan tangkas. Hemiparestesia
hampir selamanya dikemukakan secara jelas.10

9
Stroke hemoragik yang disebabkan perdarahan intraserebral (PIS) dapat terjadi di
berbagai sturktur dalam otak, dimana 70% kasus PIS terjadi di kapsula interna, 20%
terjadi di fosa posterior (batang otak dan serebelum) dan 10% di hemisfer (di luar
kapsula interna).10

2.7 Diagnosis

Dasar diagnosis yaitu berdasarkan :

Diagnosis stroke hemoragik dapat ditegakkan berdasarkan beberapa pemeriksaan,


baik anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

2. 2. 7. 1. Klasifikasi stroke berdasarkan Siriraj Stroke Score (SSS)12

SSS = (2,5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala) - (0,1 X tekanan


darah diastole) - (3 x atheroma) - 12

Kesadaran : Sadar = 0; Mengantuk, stupor = 1; Semikoma, koma = 2


Muntah : Tidak = 0; Ya = 1
Sakit kepala : Tidak = 0; Ya = 1
Tanda atheroma : Tidak ada = 0; Satu atau lebih tanda atheroma = 1
(Diabetes mellitus, angina, claudicatio
intermitten).
Interpretasi hasil score :
a. 1 : Stroke hemoragik
b. < -1 : Stroke non-hemoragik
c. -1 s/d 1 : Diagnosa tidak pasti, lihat hasil CT scan

2. 2. 7. 2 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium

10
Hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit, hitung jenis, trombosit, masa
perdarahan, masa pembekuan, Laju Endap Darah (LED)
Fungsi Ginjal (ureum, kreatinin)
Fungsi hati (SGOT/SGPT)
Urine Lengkap
Elektrolit (Na, K, Cl) dan AGD (Analisa Gas Darah)

b. CT scan
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan stroke
infark dengan stroke perdarahan. Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya
secara umum adalah didapatkan gambaran hipodense sedangkan pada stroke
perdarahan menunjukkan gambaran hiperdens.
c. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak (sangat
sensitif).
d. Pemeriksaan Angiografi.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem karotis
atau vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau aneurisma
pada pembuluh darah.10
e. Pemeriksan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial ,
menentukan ada tidaknya stenosis arteri karotis.10
f. Pemeriksaan Pungsi Lumbal

Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak adanya CT scan atau MRI. Pada stroke PIS
didaptkan gambaran LCS seperti cucian daging atau berwarna kekuningan. Pada
PSA didapatkan LCS yang gross hemorragik. Pada stroke infark tidak didapatkan
perdarahan (jernih).

2.8 Faktor resiko

11
Faktor resiko pada stroke yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan faktor
resiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
contohnya adalah hipertensi, penyakit jantung, obesitas, resistensi insulin, sindroma
metabolic, diabetes, merokok, peningkatan kadar lemak darah, penderita penyakit
vaskuler lain. faktor resiko yang tidak dapat dirubah antara lain usia, ras, jenis
kelamin, dan riwayat keluarga menderita salah satu faktor resiko vaskuler.6

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Penatalaksanaan Umum Stroke Akut

2.9.1.1 Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat

Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat


pendek, maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat,
sistematik, dan cermat. Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:

a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas


penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa
berputar, kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran, serta
faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan
suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat
jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada
gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen,
kulit dan ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis
terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem
motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi
kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National
Institutes of Health Stroke Scale).

Terapi Umum

12
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
- Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan
darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada
pasien dengan defisit neurologis yang nyata
- Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen <
95%.
- Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien
yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas.
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia.
- Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi
oksigen.
- Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50
mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
- Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa
terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
b. Stabilisasi Hemodinamik
- Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan
hipotonik seperti glukosa).
- Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan
untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan
cairan dan nutrisi.
- Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
- Optimalisasi tekanan darah.
- Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi,
maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin
dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan
darah sistolik berkisar 140 mmHg.
- Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam
pertama setelah serangan stroke iskernik.

13
- Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi
Kardiologi).
- Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia
harus dikoreksi dengan larutan salin normal dan aritmia jantung yang
mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi.
c. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
- Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus
dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda
neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke.
- Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita
yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK.
- Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
- Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial
meliputi:
i. Tinggikan posisi kepala 200 300
ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
iv. Hindari hipertermia
v. Jaga normovolernia
vi. Osmoterapi atas indikasi:
o Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi
setiap 4 - 6 jam dengan target 310 mOsrn/L.Osmolalitas
sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian
osmoterapi.
o Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1
mg/kgBB i.v.
vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan
operatif.
viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang
adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi

14
naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk,
suction, bucking ventilator. Agen nondepolarized seperti
vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada
histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan. Pasien
dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot
sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternative.
ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema
otak dan tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi
dapat diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi.
x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat
stroke iskemik serebelar.
xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal
yang menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat
menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik.
d. Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan
asimptomatik. Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan
terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral
dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.
e. Pengendalian Kejang
- Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti
oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan
maksimum 50 mg/menit.
- Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
- Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa
kejang tidak dianjurkan.
- Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat
diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak
ada kejang selama pengobatan.
f. Pengendalian Suhu Tubuh

15
- Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya.
- Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC (AHA/ASA
Guideline) atau 37,5 oC (ESO Guideline).3
- Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan
hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai
kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk
mendeteksi meningitis.
- Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic.

2.9.1.2 Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat


1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga
euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun
enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin
sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan
ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita panas).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu
diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai
normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas
darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari
kecuali pada keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi
oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.

16
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan,
nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan
komposisi:
Karbohidrat 30-40 % dari total kalori
Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %)
Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0
g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6
minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak
memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang
diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung
vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.

3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi


a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut
(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru,
dekubitus, komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan.
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur
dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola
kuman.
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai
Kasur antidekubitus.
d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.
e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam,
heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid
perlu diberikan. Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral
perlu diperhatikan. Pada pasien imobilisasi yang tidak bisa menerima

17
antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau aspirin
direkomendasikan untuk mencegah thrombosis vena dalam.
4. Penatalaksanaan Medis Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar
glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi
insulin. Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia
berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau
infuse glukosa 10-20%.
b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan
mayor tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol bisa
digunakan.
c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.
d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan
pasien karena dapat mempengaruhi TIK.
f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasiintermiten.
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI,
DupleksCarotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-
lain sesuai denganindikasi.
i. Rehabilitasi.
j. Edukasi.
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).

2.9.2 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Stroke Akut3

a. Pada pasien stroke pendarahan intraserebral akut, apabila TDS > 200 mmHg atau
MAP > 150 mmHg, tekanan darah diturunkan secara kontinyu dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit
b. Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg disertai dengan gejala dan
tanda peningkatan TIK, lakukan pemantauan TIK. Tekanan darah dapat

18
diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinyu
atau intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral 60 mmHg
c. Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan TIK, tekanan darah diturunkan secara hati hati dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermiten dengan
pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan
darah 160/90 mmHg.
d. Pada pasien stroke pendarahan intraserebral dengan TDS 150 220 mmHg,
penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman
e. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada
penderita stroke pendarahan intraserebral
f. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan beta blocker (labetalol dan
esmolol), calcium channel blocker (nikardipin dan diltiazem) intravena
digunakan dalam upaya diatas. Hidralazin dan nitroprusid sebaiknya tidak
digunakan karena mengakibatkan peningkatan TIK
g. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih
rendah dari target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ
lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal
akut, dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15 25 %
pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg pada 6 jam pertama.

2.9.3.Penatalaksanaan Khusus Stroke akut perdarahan intraserebral3

a.Penatalaksanaan pendarahan intraserebral

Pasien dengan defisiensi berat faktor koagulasi atau trombositopenia berat


sebaiknya mendapat terapi pengganti faktor koagulasi atau trombosit
Apabila terjadi gangguan koagulasi dapat diberikan :

o Vitamin K 10 mg IV

19
o FFP 2 6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi faktor
pembekuan darah

2.9.4 Rehabilitasi dan Pemulihan3

Mengingat potensi yang serius dari perdarahan intrakranial berupa kecacatan


yang berat, serius dan kompleks, semua pasien sebaiknya dilakukan rehabilitasi secara
multidisiplin. Jika memungkinkan, rehabilitasi dapat dilakukan sedini mungkin dan
berlanjut disarana rehabilitasi komunitas, sebagai bagian dari program terkoordinasi
yang baik antara perawatan di rumah sakit dengan perawatan berbasis rumah sakit
dengan perawatan berbasis rumah (Home care) untuk meningkatkan pemulihan.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Setyopranoto, I. Stroke: Gejala dan penatalaksanaan. 2011. CDK 185.


38(4): 247-248.
2. PERDOSSI. Standar Pelayanan Medik. Neurovaskular
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke. 2011
Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru.
4. Simon R, Grenber D, Aminoff M. Clinical Neurology. 2009. London :
Lange Medical Books/McGraw-Hill
5. Dewanto G, Suwini WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis
dan tatalaksana penyakit saraf. 2011. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.
6. Machfoed Hasan, dkk,20122. Stroke. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Saraf. Yogyakarta: Universitas Airlangga
7. Brass LM. Stroke. Major Cardiovascular disorder; [215-33]. Diunduh dari
http://doc.med.yale.edu/heartbk/18.pdf
8. Silbernagl, S., Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC:
Jakarta, 2007.
9. Sotirios AT,. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery.New
York. Thieme Stuttgart. 2000
10. Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press,
Edisi Kedua, Yogyakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai