Anda di halaman 1dari 31

TINJAUAN PUSTAKA NEUROLOGI

Subarachnoid Hemorragik

Oleh:
Azillatin Ruhul Ma’ani
H1A 014 007

Pembimbing:
dr. Ilsa Hunaifi, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN/ SMF ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUMDAERAH PROVINSI NTB
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka ini tepat pada
waktunya.Tinjauan pustaka yang berjudul “Stroke Subaraknoid Hemoragik” ini disusun
dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Provinsi NTB.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis.
1. dr. Ilsa Hunaifi, Sp.S selaku pembimbing
2. dr. Ester Sampe, Sp.S, selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP NTB.
3. dr. Wayan Subagiartha, Sp.S, selaku supervisor
4. dr. Herpan Syafii Harahap, M. Biomed, Sp.S, selaku supervisor
5. dr. Muhammad Galvan Sp.N
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan
kepada penulis.

Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan tinjauan pustaka ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan tinjauan pustaka ini.
Semoga tinjauan pustaka ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan
khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari
sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, July 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Stroke merupakan gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan karena gangguan
peredaran darah otak yang disertai dengan timbulnya gejala dan tanda yang sesuai dengan
daerah fokal pada otak yang terganggu, baik yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa
detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam).1
Data International Classification of Disease yang diambil dari National Vital Statistics
Reports Amerika Serikat untuk tahun 2011 menunjukkan rata-rata kematian akibat stroke
adalah 41,4% dari 100.000 penderita. Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
menunjukkan stroke merupakan penyebab kematian utama di Indonesia. Prevalensi stroke di
Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per 1000 dan yang terdiagnosis
tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per 1000. 2
Secara umum, stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke hemoragik dan stroke iskemik.
Morbiditas yang lebih parah dan mortalias yang lebih tingi terdapat pada stroke hemoragik
dibandingkan stroke iskemik. Stroke hemoragik biasanya disebabkan karena rupturnya arteri
akibat hipertensi dan abnormalitas vaskuler lainnya. Stroke hemoragik dibedakan menjadi
dua yaitu stroke perdarahan intracerebral (PIS) dan stroke perdarahan subaraknoid (PSA). 3,4
Subaraknoid hemoragik atau perdarahan subaraknoid (PSA/SAH) adalah penyakit stroke
perdarahan yang biasanya paling sering disebabkan oleh aneurisma. Perdarahan subaraknoid
merupakan keadaan akut yaitu terdapatnya atau masuknya darah ke dalam ruang subaraknoid
atau perdarahan yang terjadi di pembuluh darah di luar jaringan otak tetapi masih di daerah
kepala seperti di selaput otak atau bagian bawahnya. Tanda klasik PSA sehubungan dengan
pecahnya aneurisma yang besar, meliputi nyeri kepala yang hebat dan mendadak, hilangnya
kesadaran, fotofobia, meningismus, mual dan muntah.5

Adapun faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian stroke hemoragik antara lain
hipertensi, riwayat merokok, konsumsi alkohol berlebih, dan konsumsi obat-obatan.
Pengenalan faktor risiko dan gejala terjadinya stroke sangat penting dilakukan untuk
mengendalikan kejadian stroke dan menurunkan angka kejadian stroke agar dapat dilakukan
tindakan pencegahan dan penanggulangan penyakit stroke secara dini.6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut WHO stroke adalah tanda-tanda klinis yang menyebabkan gangguan fungsi
otak baik secara fokal atau global, dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih
atau menyebabkan kematian, yang disebabkan murni karena gangguan vaskular. Sementara
stroke hemoragik sendiri adalah jenis stroke yang terjadi akibat adanya perdarahan ke dalam
jaringan otak (disebut hemoragia intraserebrum atau hematom intraserebrum) atau
perdarahan ke dalam ruang subarachnoid, yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan
lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut hemoragia subarachnoid). Stroke hemoragik
dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami rupture sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subarachnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari
lesi vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan subarachnoid adalah aneurisma sakular
dan malformasi arteriovena (MAV). 1,3,5

2.2 Epidemiologi

Berdasarkan penelitian dengan metode metaanalysis insiden kejadian stroke


subaraknoid hemoragik (SAH) di seluruh dunia (84 periode penelitian) adalah 6,1 per
100.000 orang/tahun pada tahun 2010. Kejadian SAH lebih tinggi insiden pada perempuan
sekitar 11,5 per 100.000 orang/tahun dibandingkan laki-laki 9,1 per 100.000 orang/tahun. Di
Indonesia sendiri stroke hemoragik merupakan jenis stroke yang paling mematikan dan
merupakan sebagian kecil dari keseluruhan stroke yaitu sebesar 10-15% untuk perdarahan
intraserebrum dan sekitar 5% untuk perdarahan subarachnoid. Hipertensi merupakan faktor
risiko utama pada stroke hemoragik (71,2%) dan stroke iskemik (63,4%), diikuti oleh
diabetes melitus dan dislipidemia. Adapun angka kematian akibat stroke tercatat bahwa pada
stroke hemoragik sekitar 20,3% kematian terjadi setelah 48 jam dan sekitar 18,3% terjadi ≤48
jam, sedangkan pada stroke iskemik sekitar 8,3% kematian terjadi setelah 48 jam dan sekitar
3,5% terjadi ≤48 jam. 6

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi modifikasi Marshall untuk stroke sebagai berikut.
Klasifikasi stroke berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya dibagi menjadi:
a. Stroke infark
 Stroke infark trombotik
Stroke jenis ini terjadi dalam beberapa tahapan dimulai dengan peningkatan bertahap
dari manifestasi klinis selama beberapa jam atau hari. Sering kali dimulai saat istirahat. Hal
ini ditandai dengan adanya lesi aterosklerotik di arteri sisi stroke. TIA sering mendahului
onset stroke. Ukuran stroke bervariasi dari kecil ke besar. Stroke aterotrombotik bersama
dengan emboli arteri-arteri memegang peranan sebesar 47% dari semua kasus stroke.5

 Stroke infark emboli


Stroke jenis ini ditandai dengan kondisi awal yang akut. Stroke ini menyerang pasien
pada saat beraktivitas. Tanda-tanda neurologis fokal paling terlihat pada awal munculnya
penyakit. Lokasi yang paling sering yaitu area arteri karotis tengah dan biasanya mengenai
kortikal-subkortikal dan berukuran sedang atau besar. Jenis stroke ini memegang peranan
sebesar 22% dari semua kasus stroke yang ada.5
Terdapat istilah Watershed infark yang merupakan lesi iskemik yang terjadi di lokasi
dengan karakteristik di persimpangan antara dua wilayah arteri utama. Lesi ini berperan
sekitar 10% dari semua kasus stroke infark. Patofisiologinya masih belum sepenuhnya dapat
dijelaskan tetapi hipotesis sementara yang diterima menyatakan bahwa penurunan perfusi di
daerah distal dari area vaskuler dapat menyebabkan rentan terhadap infark. Pada pencitraan
yang paling sering terlihat yaitu infark perbatasan zona arteri lentikulostriata dan arteri
serebri media.5
Gambar 1. Pencitraan yang menunjukkan Watershed infark
b. Stroke hemoragik (perdarahan)
 Stroke perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral (PIS) merupakan perdarahan primer yang berasal dari
pembuluh darah dalam jaringan otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Sekitar 10% stroke
hemoragik disebabkan oleh PIS. Hipertensi, khusus yang tidak terkontrol merupakan
penyebab utama stroke hemoragik. Penyebab lainnya adalah pecahnya aneurisma,
malformasi arterivena, angioma kavernosa, alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan
dan angiopati amiloid.7
 Stroke perdarahan subaraknoid
Perdarahan subaraknoid (PSA) merupakan keadaan akut yaitu terdapatnya atau
masuknya darah ke dalam ruang subaraknoid atau perdarahan yang terjadi di pembuluh darah
di luar jaringan otak tetapi masih di daerah kepala seperti di selaput otak atau bagian
bawahnya. PSA paling banyak disebabkan oleh pecahnya aneurisma (sekitar 50%).7
Gambar 2. Perdarahan subaraknoid

Ada beberapa jenis aneurisma

a. Aneurisma sakular (“berry”) ditemukan pada titik bifurkasio arteri intracranial. Aneurisma ini
terbentuk berdasarkan lesi sebelumnya pada dinding pembuluh darah, baik akibat kelainan
structural ( biasanya kongenital) atau cedera akibat hipertensi. Lokasi terseing aneurisma
sakular adalah arteri komunikans anterior 40 %, bifurkasio arteri serebri media di fisura
Sylvii (20 %), dinding lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika
atau arteri komunikans posterior, 30 %), dan basilar tip (10%). Aneurisma pada lokasi lain,
seperti pada tempat berasalnya PICA, segmen P2 arteri serebri posterior, atau segmen
perikalosal arteri serebri anterior jarang ditemukan. Aneurisma dapat menimbulkan defisit
neurologis dengan menekan struktur disekitarnya bahkan sebelum rupture, misalnya
aneurisma pada arteri komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius,
menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami diplopia). 7
b. Aneurisma fusiforms pembesaran pembuluh darah yang memanjang (“berbentuk spindle”)
disebut aneurisma fusiform. Aneurisma tersebut umumnya melibatkan segmen intracranial
arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Kelainan ini
biasanya disebabkan oleh aterosklerosis dan hipertensi kronis dan hanya sedikit yang menjadi
sumber perdarahan. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basilaris dapat menekan
batang otak. Aliran lambat di dalam aneurisma fusiform dapat mempercepat pembentukan
bekuan intraneurisma, terutama pada sisi-sisinya, mengakibatkan stroke embolik.7

c. Aneurisma mikotik, dilatasi aneurisma pembuluh darah intrakranial kadang-kadang


diakibatkan oleh sepsis yang diinduksi bakteri pada dinding pembuluh darah. Aneurisma
mikotik biasanya ditemukan pada arteri kecil di otak dan sangat jarang menyebabkan
perdarahan subaraknoid. 7

2.4 Patofisiologi

Penyebab utama perdarahan subaraknoid adalah aneurisma intrkranial. Aneurisma dapat


disebabkan oleh hipertensi kronis. Pada orang normal terdapat sistem autoregulasi arteri
serebral, dimana bila tekanan darah sistemik meningkat maka pembuluh serebral akan
mengalami vasokonstriksi, sebaliknya bila tekanan darah sistemik menurun maka pembuluh
serebral akan mengalami vasodilatasi. Dengan demikian maka aliran darah ke otak akan tetap
konstan.4

Batas tekanan darah sistemik yang masih dapat dikompensasi oleh otak adalah tekanan
darah sistolik 150-200 mmHg dan tekanan darah diastolik 110-120 mmHg. Ketika tekanan
darah sistemik meningkat, pembuluh serebral akan mengalami vasokonstriksi, namun bila
keadaan ini terjadi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun maka akan menyebabkan
degenerasi pada lapisan otot pembuluh serebral yang mengakibatkan diameter lumen
pembuluh darah menjadi sulit berubah. Hal ini berbahaya karena pembuluh serebral tidak
dapat berdilatasi ataupun berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi tekanan
darah tersebut. Selain itu hipertensi krnois juga akan menyebabkan pembuluh darah arteriol
akan mengalami perubahan degeneratif yang menyebabkan dinding pembuluh darah arteriol
tersebut menjadi lemah sehingga dapat menimbulkan mikroaneurisma yang disebut
aneurisma Charcot-Bouchard. Suatu saat aneurisma ini dapat pecah karena tekanan darah
yang meningkat sehingga terjadi perdarahan menuju ke dalam parenkim otak. Perdarahan ini
dapat menyebabkan terdorongnya struktur otak dan dapat merembes ke sekitarnya bahkan
dapat masuk ke sistem ventrikel ataupun ke ruang subaraknoid yang menyebabkan darah
tersebut bercampur dengan cairan serebrospinal dan dapat merangsang meningens.4

2.5 Manifestasi Klinis

Tanda klasik SAH, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar, meliputi nyeri
kepala yang hebat dan mendadak, hilangnya kesadaran, fotofobia, meningismus, mual dan
muntah. Sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan mendadak, biasanya
didahului oleh tanda-tanda peringatan yang dapat muncul beberapa jam, hari minggu atau
lebih lama lagi, tanda peringatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak dan kemudian
hilang denga sendirinya, nyeri kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan fotofobia. 7,8,9

Aneurisama yang berasal dari arteri komunikan anterior dapat menimbulkan defek medan
penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala di daerah frontal. Aneurisma pada arteri
karotis internus dapat menimbulkan paresis okulomotorius, defek medan penglihatan,
penurunan visus, dan nyeri wajah di suatu tempat. Aneurisma pada arteri karotis internus
didalam sinus kavernosus, bila tidak menimbulkan fistula karotika-kavernosus, dapat
menimbulkan sindrom sinus kavernosus. 7

Aneurisma pada arteri serebri media dapat menimbulkan disfasia kelemahan lengan fokal,
atau rasa baal. Aneurisma pada bifurkasio basilaris dapat menimbulkan paresis
okulomotorius. Hasil pemeriksaan fisik penderita SAH bergantung pada bagian dan lokasi
perdarahan. Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan SAH saja atau kombinasi dengan
hematom subdural, intraserebral, atau intraventrikular. Dengan demikian tanda klinis dapat
bervariasi mulai dari meningismus ringan, nyeri kepala, sampai deficit neurologi yang berat
dan koma. Reflex Babinski positif bilateral. 7

Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi seperti letargi sampai koma, gangguan memori
biasanya terjadi pada beberapa hari kemudian. Dapat muncul demensia dan labilitas
emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral terkena sebagai akibat dari pecahnya
aneurisma pada arteri komunikan anterior. 7

2.6 Diagnosis

Untuk mengenali apakah seseorang menderita stroke maka dapat mengenali tanda dan
gejala klinis stroke dengan mudah dan cepat menggunakan metode FAST yang meliputi:
 F : Face drooping
Facial drooping adalah wajah yang tertarik ke satu sisi atau ke bawah dan sulit untuk
digerakkan. Biasanya akan mudah mengenali gejala ini karena tampak jelas. Misalnya,
daerah wajah terlihat seperti “terjatuh” pada satu bagian.
 A : Arm weakness
Arm weakness adalah ketika seseorang mengalami kesulitan untuk menggerakan
lengan tangannya. Cara mengetahuinya dengan meminta penderita untuk mengangkat kedua
tangan ke atas kemudian amati apakah salah satu tangan jatuh atau tidak terangkat secara
sempurna. Pada beberapa kejadian penderita mengalamai mati rasa atau sensasi kebas
meskipun masih bisa menggerakkan tangan.
 S : Speech difficulties
Speech difficulties artinya kesulitan berbicara. Pada bagian ini, penderita berbicara
dengan tidak jelas dan cenderung sulit dipahami (bicara pelo). Cara mengetahuinya dengan
meminta pasien tersebut atau dengan mengajaknya berbicara.

 T : Time
Time disini maksudnya adalah dianjurkan untuk segera memanggil bantuan medis dan
membawa penderita ke rumah sakit. Pada pasien dengan stroke, waktu amatlah penting.
Semakin cepat memperoleh pertolongan, maka akan semakin banyak sel otak yang dapat
terselamatkan.8,9,10
Dalam menegakkan diagnosis, penting membedakan jenis stroke berdasarkan hasil
anamnesis, tanda dan gejala klinis yang didapatkan dari pasien maupun pemeriksaan
penunjang penting yang perlu dilakukan agar dapat dilakukan tatalaksana dengan tepat.
a. Anamnesis
Pada anamnesis, perlu menanyakan tentang gejala awal, onset, aktivitas penderita saat
serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, gangguan visual,
penurunan kesadaran, dan faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit yang dialami.6
b. Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis
Pada pemeriksaan fisik, perlu dilakukan penilaian terhadap tekanan darah, nadi,
respirasi, dan suhu tubuh. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan kepala dan leher untuk
menilai adanya tanda-tanda cedera maupun kelainan lainnya serta pemeriksaan thoraks,
abdomen dan ekstremitas.9,10
Selaian pemeriksaan fisik umum, perlu juga dilakukan pemeriksaan neurologis
terutama pemeriksaan saraf-saraf kranialis, rangsang selaput otak (meningens), sistem
motorik, sensorik, koordinasi, fungsi kognitif, serta refleks fisiologis dan patologis untuk
mendeteksi adanya kelainan.11,12
Tabel 1. Perbedaan stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (infark)12

Stroke hemoragik (SH) Stroke non-


Gejala klinis hemoragik
Perdarahan Perdarahan (SNH)
intraserebral (PIS) subaraknoid (PSA)
Gejala defisit Berat Ringan Berat/ringan
fokal
Awitan (onset) Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/tidak ada
Muntah pada Sering Sering Tidak, kecuali lesi
awalnya di batang otak
Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering
Kaku kuduk Jarang Biasa ada Tidak ada
Kesadaran Biasa hilang Bisa hilang sebentar Dapat hilang
Hemiparesis Sering sejak awal Awal tidak ada Sering sejak awal
Deviasi mata Bisa ada Jarang Mungkin ada
Likuor Sering berdarah Berdarah Jernih
Untuk menegakkan stroke secara klinis dapat menggunakan skor Siriraj, skor Gadjah
Mada maupun skor Hasanuddin apabila berada di tempat pelayanan kesehatan dengan
fasilitas yang minimal.12,
Tabel 2. Skor Siriraj12
Skor Stroke Siriraj
Gejala atau tanda Penilaian Indeks
Derajat kesadaran (0) Kompos mentis Dikalikan 2,5
(1) Somnolen
(S)
(2) Sopor/koma
Muntah (M) (0) Tidak ada Dikalikan 2
(1) Ada
Nyeri kepala (N) (0) Tidak ada dikalikan 2
(1) Ada
Tekanan darah (D) Diastolik Dikalikan 0,1
Ateroma (A) (0) Tidak ada Dikalikan 3
(1) Salah satu atau lebih: DM, angina,
penyakit pembuluh darah.

Skor Siriraj = (2,5 x S) + (2 x M) + (2 x N) + (0,1 x D) – (3 x A) – 12


Interpretasi skor Siriraj:
 Skor >1 : Stroke hemoragik (SH)
 Skor < -1 : Stroke non-hemoragik (SNH)
 Skor -1 s/d 1 : meragukan

Tabel 3. Grading Perdarahan Subaraknoid Menurut Hunt dan Hess12

Grade Gambaran klinis

1 Asimtomatik atau sedikit sakit kepala ringan dan iritas meningeal

2 Sakit kepala sedang atau berat (sakit kepala terhebat seumur hidup),
meningismus, defisit saraf kranial (paresis nervus abdusen sering
ditemukan )

3 Mengantuk, konfusi, tanda neurologis fokal ringan

4. Stupor, defisit neurologis berat (misalnya, hemiparesis) manifestasi otonom

5 Koma, deserbrasi

c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien dengan stroke perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk melihat
adanya anemia, leukositosis, dan jumlah platelet. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan
gula darah sewaktu (GDS), fungsi koagulasi, fungsi hepar dan ginjal serta pemeriksaan enzim
jantung (untuk mengeklusi gangguan jantung). 12
 Pemeriksaan Imaging
Pada kasus stroke, CT scan kepala menjadi pemeriksaan baku emas (gold standar)
karena dapat membedakan stroke hemoragik dan stroke infark. Selain itu sensitivitas CT
terhadap adanya darah subaraknoid sangat dipengaruhi oleh jumlah darah dan waktu sejak
perdarahan. Diagnosis SAH ditegakkan apabila terdapat warna hiperdens yang mengisi
rongga subaraknoid. Biasanya paling sering ditemukan di sekitar lingkaran Willis, pada
pembuluh darah besar yaitu aneurisma berry sekitar 65 % dan pada fisura Sylvian sekitar
35%. Perdarahan subaraknoid dibagi kedalam beberapa grup dengan 4 kategori berdasarkan
perdarahan oleh Fischer scale. Skala ini sudah di perbarui menjadi modified Fischer Scale. 13

- Grade 0
tidak ada pendarahan subarachnoid (SAH)
tidak ada perdarahan intraventrikular (IVH)
kejadian vasospasme simtomatik: 0%
- Grade 1
SAH tipis atau fokus
tidak ada IVH
kejadian vasospasme simtomatik: 24%
- Grade 2
SAH fokal atau difus tipis
Terdapat IVH
kejadian vasospasme simtomatik: 33%
- Grade 3
SAH tebal fokus atau difus
tidak ada IVH
kejadian vasospasme simtomatik: 33%
- Grade 4
SAH tebal fokus atau difus
Terdapat IVH
kejadian vasospasme simtomatik: 40%
Catatan: SAH tipis tebal <1 mm dan tebal SAH tebal> 1 mm 4

Gambar 3. Hasil Ct scan Perdarahan Subaraknoid

 EKG dan ekokardiografi


Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencari pencetus stroke akibat penyakit jantung.
 Pemeriksaan pungsi lumbal dapat dilakukan apabila ada kecurigaan terjadi perdarahan
subaraknoid. Jika hasil ct scan kepala negative, langkah diagnosis selanjutnya adalah pungsi
lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Beberapa temuan pungsi lumbal yang mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid adalah
adanya eritrosit meningkat, peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau xantokromia.
Jumlah eritrosit meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang dari 0,3 ml akan menyebabkan
nilai sekitar 10.000 sel/ml. Xantokromia adalah warna kuning yang memperlihatkan adanya
degradasi produk eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal. 12

 Angiografi, digital substraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk deteksi
aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan karena non-invasif serta
sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti seluruh pembuluh darah harus
dilakukan karena dekitar 15 % pasien memiliki aneurisma multiple. Foto radiologi yang
negative harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak melihat
kemungkinan adanya malformasi vascular di otak maupun batang otak. 12

2.7 Tatalaksana

Pengelolaan 5B pada pasien dengan stroke meliputi:


1. Breath (pernapasan); jalan napas harus bebas, berikan oksigen jika perlu.
2. Blood (darah); tekanan darah dipertahankan agak tinggi (140-160 mmHg) agar perfusi
oksigen dan glukosa ke otak tetap optimal untuk menjaga metabolisme otak.
3. Brain (otak); berikan manitol atau kortikosteroid untuk mengurangi edema otak. Jika pasien
mengalami kejang maka segera berikan diazepam atau dilantin intravena secara perlahan.
4. Bladder (saluran kemih); menjaga keseimbangan cairan dan pemasangan kateter dauerkateter
pada pasien wanita dan kondom kateter pada pasien laki-laki jika terdapat inkontinensia urin.
5. Bowel (gastrointestinal); berikan nutrisi yang adekuat, bila perlu dipasangkan NGT
(nasogastric tube). 14,15

Tatalaksana umum stroke akut


Tatalaksana stroke di ruang gawat darurat
a. Evaluasi dan diagnosis secara cepat
Pengobatan stroke akut memiliki periode emas yang sangat pendek sehingga perlu
melakukan evaluasi dan diagnosis secara cepat, sistematik, dan cermat. Evaluasi tanda dan
gejala klinis stroke akut meliputi:
 Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan gejala awal, waktu awitan (onset), aktivitas
penderita saat serangan. Selain itu, perlu ditanyakan gejala seperti nyeri kepala, mual,
muntah, rasa berputar, kejang, gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor-faktor
risiko stroke (hipertensi, diabetes mellitus, dan lain-lain) yang mungkin dialami oleh pasien.
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, perlu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi
penilaian tekanan darah, respirasi, nadi, dan suhu tubuh. Perlu juga dilakukan pemeriksaan
kepala dan leher (seperti cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda
distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Selain itu, perlu juga dilakukan
pemeriksaan toraks (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.14

 Pemeriksaan neurologis dan skala stroke


Pemeriksaan neurologis terutama pemeriksaan saraf-saraf kranialis, rangsang selaput
otak (meningens), sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan
fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS/National Institutes of
Health Stroke Scale (AHA/ASA, Class 1, Level of evidence B).
NIHSS (national institute of health stroke scale) digunakan untuk menilai derajat
keparahan stroke pada tahap awal sebagai predictor kematian dan luaran jangka panjang.
Terdapat 11 item dalam penilaian NIHSS meliputi: level of consciousness, best gaze, visual
field testing, facial palsy, arm motor function, leg motor function, limb ataxia, sensory, best
language, dysarthria, serta extinction and inattention. NIHSS memiliki skor maksimum 42
dan skor minimum 0. Interpretasi dari NIHSS yaitu: skor >25 sangat berat, 14-25 berat, 5-14
sedang, dan < 5 ringan.15
Terapi umum stroke akut
a. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan
Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan meliputi:
 Melakukan pemantauan secara terus menerus terhadap tanda-tanda vital yang meliputi
tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu tubuh, serta pemantauan terkait saturasi oksigen dan
status neurologis. Pemantauan ini dianjurkan dalam 72 jam pada pasien dengan defisit
neurologis yang nyata.
 Pemberian oksigen dianjurkan apabila saturasi oksigen <95% atau pasien mengalami
hipoksia
 Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak sadar.
Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi
bulbar dengan gangguan jalan napas.
 Intubasi ETT (endotracheal tube) atau LMA (laryngeal mask airway) diperlukan pada pasien
dengan hipoksia (pO2 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg) atau syok atau pada pasien yang
berisiko untuk terjadi aspirasi. Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2
minggu. Jika pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.14

b. Stabilisasi hemodinamik
 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan hipotonik seperti
glukosa).
 Dianjurkan pemasangan CVC (central venous catheter), dengan tujuan untuk memantau
kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan nutrisi. Usahakan CVC
5-12 mmHg.
 Optimalisasi tekanan darah. Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah
mencukupi, maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis
sedang/tinggi, norepinefrin/epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140
mmHg.
 Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera diatasi (konsultasi kardiologi).
 Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus dikoreksi
dengan larutan salin normal dan aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah
jantung sekuncup harus dikoreksi.14,15

c. Pemeriksaan awal fisik umum


 Tekanan darah
 Pemeriksaan jantung
 Pemeriksaan neurologi umum awal:
o Derajat kesadaran
o Pemeriksaan pupil dan okulomotor
o Keparahan hemiparesis

d. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial (TIK)


 Pemantauan terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus dilakukan dengan
memperhatikan perburukan tanda dan gejala neurologis pada hari-hari pertama setelah
serangan stroke
 Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang mengalami
penurunan kesadaran karena peningkatan TIK.
 Sasaran terapi adalah TIK <20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
 Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan TIK meliputi:
o Tinggikan posisi kepala (head up) 200-300
o Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
o Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
o Hindari hipertermia
o Jaga normovolernia
o Osmoterapi atas indikasi:
 Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB selama >20 menit. Diulangi setiap 4-6 jam dengan target ≤310
mOsrn/L. Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali/hari selama pemberian osmoterapi.
 Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB intravena.
o Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-40 mmHg).
o Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat mengurangi
peningkatan TIK dengan cara mengurangi peningkatan tekanan intratorakal dan tekanan vena
akibat batuk, suction, bucking ventilator. Agen non depolarisasi seperti vencuronium atau
pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada ganglion lebih baik
digunakan. Pasien dengan peningkatan TIK kritis sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum
suctioning atau lidokain sebagai alternatif.
o Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan menurunkan TIK
pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan jika yakin tidak ada kontraindikasi.

e. Penanganan transformasi hemoragik


Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimptomatik.
Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan yaitu
dengan memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara
hati-hati.

f. Pengendalian kejang
 Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg dan diikuti oleh fenitoin,
loading dose 15-20 mg/kgBB bolus dengan kecepatan maksimal 50 mg/menit.
 Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
 Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang tidak
dianjurkan.
 Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat diberikan selama 1
bulan kemudian diturunkan dan dihentikan bila tidak ada kejang selama pengobatan.

g. Pengendalian suhu tubuh


 Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan obat antipiretik dan diatasi
penyebabnya.
 Berikan asetaminofen 650 mg bila suhu >38,5oC (sumber lain menjelaskan bila suhu
>37,5oC)
 Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan (trakea,
darah dan urin) serta diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa cairan
serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
 Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik.

h. Pemeriksaan penunjang
 EKG
 Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis, kadar gula darah,
analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)
 Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan pungsi lumbal untuk
pemeriksaan cairan serebrospinal
 Pemeriksaan radiologi
o Foto rontgen dada
o CT Scan

Tatalaksana umum stroke di ruang rawat 16


1. Cairan6
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan vena
sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin/hari ditambah dengan
pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk
kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada
penderita stroke yang mengalami demam).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa dan diganti bila
terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada keadaan
hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya boleh
diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi diberikan melalui
pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
 Karbohidrat 30-40% dari total kalori
 Lemak 20-35% (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %)
 Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada gangguan
fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu, pertimbangkan
untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan nutrisi
boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diet pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan misalnya
hindari makanan yang banyak mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.
3. Pencegahan dan penanganan komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi, malnutrisi,
pneumonia, trombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus, komplikasi ortopedi dan
kontraktur) perlu dilakukan.
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan sensitivitas
kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman .
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai kasur anti dekubitus.
d. Pencegahan trombosis vena dalam dan emboli paru.
4. Penatalaksanaan medis lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar glukosa darah
>180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin. Target yang harus dicapai
adalah normoglikemia. Hipoglikemia berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40%
intravena atau infus glukosa 10-20%.
b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor tranquilizer
seperti benzodiazepine short acting atau propofol bisa digunakan.
c. Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
d. Berikan H2 antagonis apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan pasien karena dapat
mempengaruhi TIK.
f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g. Sebaiknya dilakukan pemasangan kateter urin intermiten.
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI, dan lain-lain sesuai
dengan indikasi.
i. Rehabilitasi.
j. Edukasi.
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).

Tatalaksana kegawatdaruratan medis pada stroke akut


a. Tatalaksana hipertensi pada stroke akut
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak
dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk neurologis. Pada sebagian besar pasien,
tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan
stroke. Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penurunan
tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan
memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.

Tabel 4. Tatalaksana hipertensi pada stroke akut


Stroke hemoragik
Stroke infark
Perdarahan intraserebral Perdarahan subaraknoid
 Apabila TDS >200 mmHg  Pada PSA aneurisma, TD  Tekanan darah
atau MAP >150 mmHg, TD harus dipantau dan diturunkan sekitar
diturunkan dengan dikendalikan bersamaan 15% (sistolik maupun
menggunakan obat dengan pemantauan diastolik) dalam 24
antihipertensi intravena tekanan perfusi serebral jam pertama setelah
secara kontiniu dengan untuk mencegah risiko awitan apabila
pemantauan TD setiap 5 terjadinya stroke iskemik TDS>220 mmHg atau
menit.
sesudah PSA serta TDD >120 mmHg
 Apabila TDS >180 mmHg
atau MAP >130 mmHg perdarahan ulang.  Pasien yang akan
disertai tanda dan gejala  Untuk mencegah diberi terapi
peningkatan TIK maka terjadinya PSA berulang trombolitik (rtPA), TD
perlu pemantauan TIK dan maka TD diturunkan diturunkan hingga
TD diturunkan dengan hingga TDS 140-160 TDS <185 mmHg dan
menggunakan obat mmHg. Sedangkan TDS TDD <110 mmHg
antihipertensi intravena 160-180 mmHg sering  TD harus dipantau
secara kontinu atau digunakan sebagai target hingga TDS <180
intermiten dengan TDS dalam mencegah mmHg dan TDD <105
pemantauan tekanan perfusi risiko terjadinya mmHg selama 24 jam
serebral ≥60 mmHg. vasospasme, namun hal ini setelah pemberian
 Apabila TDS >180 mmHg bersifat individual, rtPA.
atau MAP >130 mmHg tergantung pada usia  Obat antihipertensi
tanpa disertai tanda dan pasien, berat ringannya yang digunakan
gejala peningkatan TIK kemungkinan vasospasme adalah labetalol,
maka tekanan darah dan komorbiditas nitropaste, nitroprusid,
diturunkan secara hati-hati kardiovaskular. nikardipin, atau
dengan menggunakan obat  Antagonis kanal kalsium diltiazem intravena.
antihipertensi intravena (nimodipin) telah diakui
kontinu atau intermitten dalam penatalaksanaan
dengan pemantauan tekanan PSA karena dapat
darah setiap 15 menit memperbaiki keluaran
hingga MAP 110 mmHg fungsional pasien apabila
atau tekanan darah 160/90 vasospasme serebral telah
mmHg. Pada studi terjadi karena nimodipin
INTERACT 2010, memiliki efek
penurunan TDS hingga 140 neuroprotektif.
mmHg masih  Dilakukan terapi
diperbolehkan. hiperdinamik dengan
 Pasien dengan TDS 150-220 ekspansi volume dan
mmHg maka penurunan TD induksi hipertensi dapat
dengan cepat hingga TDS dilakukan dalam
140 mmHg cukup aman. penatalaksanaan
Setelah kraniotomi, target vasospasme serebral pada
MAP adalah 100 mmHg. PSA aneurisma tetapi
 Perlu penanganan nyeri target TD belum jelas.
dalam menurunkan TD
 Obat antihipertensi
parenteral yang digunakan:
golongan beta blocker
(labetalol dan esmolol),
antagonis kanal kalsium
(nikardipin dan diltiazem)
intravena.
 Hidralasin dan nitroprusid
sebaiknya tidak digunakan
karena dapat mengakibatkan
peningkatan TIK meskipun
bukan kontraindikasi
mutlak.
 Penurunan TD dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah dari target di atas pada
kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi aorta,
infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif.
 Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90
mmHg dalam 6 jam pertama.

b. Tatalaksana hipotensi pada stroke akut


Hipotensi arterial pada stroke akut berhubungan dengan buruknya keluaran
neurologis, terutama jika TDS <100 mmHg atau TDD <70 mmHg. Oleh karena itu, hipotensi
pada stroke akut harus diatasi dan dicari penyebabnya, terutama diseksi aorta, hipovolemia,
perdarahan, dan penurunan cardiac output karena iskemia miokardial atau aritmia.
Penggunaan obat vasopresor dapat diberikan dalam bentuk infuse dan disesuaikan
dengan efek samping yang akan ditimbulkan seperti takikardia. Obat-obat vasopressor yang
dapat digunakan antara lain, fenilephrin, dopamine, dan norepinefrin. Pemberian obat-obat
tersebut diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan pada tekanan darah optimal, yaitu TDS
berkisar 140 mmHg pada kondisi akut stroke.14,15
c. Tatalaksana glukosa darah pada stroke akut
Hindari kadar gula darah >180 mg/dl, disarankan dengan infus salin dan hindari
larutan glukosa dalam 24 jam pertama setelah serangan stroke akan berperan dalam
rnengendalikan kadar gula darah.
Hipoglikemia (<50 mg/dl) mungkin memperlihatkan gejala mirip stroke infark, dan
dapat diatasi dengan pemberian bolus dekstrose atau infus glukosa 10-20% sampai kadar gula
darah 80-110 mg/dl.
Indikasi dan syarat-syarat pemberian insulin yaitu stroke hemoragik dan non
hemoragik dengan IDDM atau NIDDM serta bukan stroke lakunar dengan diabetes mellitus.
Kontrol gula darah selama fase akut stroke
 Insulin reguler subkutan menurut skala luncur
Sangat bervariasi dan harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap penderita (tak
disebutkan berapa jam sekali). Pada hiperglikemia refrakter dibutuhkan IV insulin.

Tabel 5. Skala luncur insulin regular manusia


Glukosa darah (mg/dl) Dosis insulin subkutan (unit)
150-200 2
201-250 4
251-300 6
301-350 8
≥ 351 10

 Protokol pemberian insulin intravena


Guideline umum
o Sasaran kadar glukosa darah = 80-180 mg/dl (90-110 untuk pasien ICU)
o Standar drip insulin 100 U/100 ml 0,9% NaCl via infus (IU/1 ml). Infus insulin harus
dihentikan bila penderita makan dan menerima dosis pertama dari insulin subkutan

Pemilihan Algoritma
o Algoritma 1: mulai untuk kebanyakan penderita
o Algoritma 2: untuk penderita yang tak dapat dikontrol dengan algoritma 1, atau untuk
penderita dengan DM yang menerima insulin >80 U/hari sebagai outpatieant
o Algoritma 3: untuk penderita yang tak dapat dikontrol dengan algoritma 2.
o Algoritma 4: untuk penderita yang tak dapat dikontrol dengan algoritma 3.
Memantau penderita
o Periksa gula darah kapiler tiap jam sampai pada sasaran glukosa (glucose goal range) selama
4 jam kemudian diturunkan tiap 2 jam.
o Bila gula darah tetap stabil, infus insulin dapat dikurangi tiap 4 jam. Pemantauan tiap jam
untuk penderita sakit kritis walaupun gula darah stabil.

Tabel 6. Infus insulin intravena


Gula darah Kecepatan infus insulin (U/jam)
Algoritma 1 Algoritma 2 Algoritma 3 Algoritma 4
(mg/dl)
<60 (hipoglikemia)
< 70 0 0 0 0
70-109 0,2 0,5 1 1,5
110-119 0,5 1 2 3
120-149 1 1,5 3 5
150-179 1,5 2 4 7
180-209 2 3 5 9
210-239 2 4 6 12
240-269 3 5 8 16
270-299 3 6 10 20
300-329 4 7 12 24
330-359 4 8 14 28
>360 6 12 16 28
Catatan:
- Seluruh pasien yang memerlukan infus insulin kontinu harus mendapatkan sumber glukosa
secara kontinu baik melalui IV (D5W atau TPN) atau melalui asupan enteral.
- Infus insulin dihentikan jika pasien harus meninggalkan ICU untuk tes diagnostik ataupun
karena memang sudah selesai perawatan ICU.

 Peralihan dari insulin intravena ke subkutan


Untuk mencapai glukosa darah pada tingkat sasaran, berilah dosis short-acting atau
rapid-acting insulin subkutan 1-2 jam sebelum menghentikan infus insulin intravena. Dosis
insulin basal dan prandial harus disesuaikan dengan tiap kebutuhan penderita. Contohnya,
bila dosis rata-rata dari IV insulin 1,0 U/jam selama 8 jam sebelumnya dan stabil, maka dosis
total per hari adalah 24 U. Dari jumlah ini, sebesar 50% (12 U) adalah basal sekali sehari atau
6 U 2x/hari dan 50% selebihnya adalah prandial, misalnya short-acting (regular) atau rapid
acting insulin 4 U sebelum tiap makan.

 Pengobatan bila timbul hipoglikemia (glukosa darah < 60 mg/dl)8


o Hentikan insulim drip
o Berikan dextrose 50% dalamair (D50W) intravena
 Bila penderita sadar: 25 ml (1/2 amp)
 Bila tak sadar: 50 ml (1 amp)
o Periksa ulang gula darah tiap 20 menit dan beri ulang 25 ml D50W intravena bila gula darah
<60mg/dl. Mulai lagi dengan insulin drip bila gula 2 kali > 70 mg/dl (periksa 2 kali). Mulai
insulin drip dengan algoritma lebih rendah (moving down). 14,15

Tatalaksana penegakan diagnosis perdarahan subarachnoid

a. Perdarahan subarachnoid merupakan salah satu gawatdarurat neurologi dengangejala yang


kadangkala tidak khas sehingga sering ditemukan kesulitan dalam menegakkan diagnosis.
Pasien dengan keluhan nyeri kepala hebat (paling sakit yang dirasakan sepanjang hidup) yang
muncul tiba-tiba sebaiknya dicurigai dicurigai sebagaisuatu tanda adanya PSA (AHA/ASA,
Class I, level evidance B)
b. Pasien yang dicurigai PSA sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT-Scan kepala (AHA/ASA,
Class I, level evidance B). Apabila hasil CT-Scan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
PSA pada pasien yang secara klinis dicurigai PSA maka tindakan pungsi lumbal untuk
analisis cairan cerebrospinal sangat direkomendasikan (AHA/ASA, Class I, level evidance
B).
c. Untuk memastikan adanya gambaran aneurisma pada pasien PSA, pemeriksaan angiografi
serebral sebaiknya dilakukan (AHA/ASA, Class I, level evidance B). Namun, apabila
tindakan angiografi konvensional tidak dapat dilakukan maka pemeriksaan MRA atau CT
angiografi perlu dipertimbangkan (AHA/ASA, Class I, level evidance B). 14,15

Tatalaksana umum PSA

1. Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H) adalah sebagai
berikut : (Lampiran 1)

a. Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin


0
b. Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dan nyaman, bila perlu berikan O2 2-3
L/menit
c. Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam penilaian tingkat kesadaran).
d. Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor ketat sistem
kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul
1
2. Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H,perawatan harus lebih intensif
a. Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien diruang gawat darurat
b. Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semiintensif
c. Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat perlu dipertimbangkan
intubasi endotrakheal dengan hati-hati terutama apabila didapatkan tanda-tanda tekanan
tinggi intrakranial
d. Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan menyulitkan penialaian
status neurologi
3. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA
a) Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah risiko perdarahan ulang. Hipertensi
berkaitan dengan terjadinya perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level of evidance B).
Tekanan darah sistolik sekitar 140-160 mmHg sangat disarankan dalam rangka pencegahan
perdarahan ulang pada PSA. (lihat BAB V.A Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada Stroke
Akut)
b) Istirahat total di tempat tidur (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B). Terapi
antifobrinolitik (epsilon-aminocaproic acid: loading 1 g IV kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6
jam sampai aneurisma tertutup atau biasanya disarankan 72 jam) untuk mencegah perdarahan
ulang direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu. Terapi antifobrinolitik
dikontraindikasikan pada pasien dengan koagulopati, riwayat infark miokard akut, stroke
iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam. Terapi antifibrinolitik lebih dianjurkan
pada pasien dengan risiko rendah terhadapa terjadinya vasospasme atau pada pasien dengan
penundaan operasi. pada beberapa studi, terapi antifibrinolitik dikaitkan dengan tingginya
angka kejadian iskemik serebral sehingga mungkin tidak menguntungkan pada hasil akhir
secara keseluruhan. Oleh karena itu, studi dengan menggunakan kombinasi antifibrinolitik
dengan obat-obatan lain untuk mengurangi vasospasme perlu dilakukan (AHA/ASA, Class
IIb, Level of evidence B)
c) Pengikatan (ligasi) karotis tidak bermanfaat untuk pencegahan perdarahan ulang (AHA/ASA,
Class III, Level of evidance A).
d) Penggunaan koil intraluminal dan balon masih dalam uji coba. Penelitian lebih lanjut masih
diperlukan (AHA/ASA, ClassIV-V, Level of evidance C).
4. Tindakan operasi pada aneurisma yang ruptur
- Operasi Clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan untuk mengurangi
perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada PSA (AHA/ASA, Class I, Level of evidance
B).
- Walaupun operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko perdarahan ulang setelah
PSA, banyak penelitian yang meperlihatkan bahwasecara keseluruhan hasil akhir tidak
berbeda dengan operasi yang ditunda (AHA/ASA, Class II-IV, Level of evidance B). Operasi
segera (early dan ultra early) dianjurkan pada pasien dengan derajat yang lebih baik serta
lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau yang
ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus. Rujukan dini ke pusat
spesialis sangat dianjurkan. Penanganan dan pengobatan pasien aneurisma lebih awal
diajurkan untuk sebagian besar kasus. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B).
- Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa coilling and clipping ditentukan
tim bedah saraf dan dokter endovaskuler. Tindakan endovaskuler coiling lebih bermanfaat
(AHA/ASA, Class I, Level of evidance B).
- Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai risiko yang tinggi untuk perdarahan
ulang. Operasi obliterasi aneurisma secara komplit dianjurkan kapan saja bila memungkinkan
(AHA/ASA, Class I, Level of evidance B).

5. Penegahan dan tatalaksana vasospasme

a. Pencegahan nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke 3 atau secara oral
60 mg setiap 6 jam setiap 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti meperbaiki defisit
neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. (AHA/ASA, Class I, Level of evidance A).
Calsium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna
(AHA/ASA, Class I, Level of evidance ).

b. Pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan aneurisma yang ruptur, dengan
mepertahankan volume darah sirkulasi yang normal (euvolemia) dan menghindari terjadinya
hipovolemia (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B).

c. Terutama pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme, terapi hiperdinamik yang
dikenal dengan triple H (Hypervolemic-Hypertensive-Hemodilution) perlu dipertimbangkan
dengan tujuan mepertahankan tekanan perfusi serebral. Dengan demikian, angka kejadian
iskemik serebral akibat vasospasme dapat dikurangi (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance
B) . Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak
dilakukan embolisasi atau Clipping(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidance C)

d. Fibrinolitik intrasisternal, antioksidan dan antiinflamasi tidak tidak bermakna (AHA/ASA,


Class II-IV, Level of evidance C)

e. Pada pasien yang gagal dengan terapi konvensional , angioplasti transluminal dianjurkan
untuk pengobatan vasospasme (AHA/ASA, Class IV-V, Level of evidance C)
f. Cara lain untuk penatalaksanaan vasospasme adalah sebagai berikut. 14,15

Pencegahan vasospasme

I. Nimodipin 60 mg peroral 4 kali sehari


II. NaCl 3% intravena 50 ml 3 kali sehari (hati-hati terhadaptimbulnya komplikasi berupa
Central Pontine Myelinolisis (CPM)
III. Jaga keseimbangan elektrolit

Delayed vasospasm

I. Stop dimodipin, antihipertensi dan diuretika


II. Berikan 5% albumin 250 ml intravena
III. Bila memungkinkan lakukan pemasangan Swangans dan usahakan wedge preasure 12-14
mmHg
IV. Jaga cardiac index sekitar 4 L/min/sg.meter
V. Berikan dobutamin 2-15 ug/kg/min
6. Terapi Tambahan
a. Laksansia (Pencahar) diperlukan untuk melunakkan feses secara reguler.
b. Analgesik
 Asetaminofen 1⁄2-1 gr/4-6 jam dengan dosis maksimal 4gr/4-6 jam.
 Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM/4-6 jam.
 Tylanol dengan kodein
 Hindari asetosal
c. Pasien yang sangat gelisah dapat diberikan :
 Haloperidol IM 1-10 mg setiap 6 jam
 Petidin IM 50-100 mg atau morfin atau morfin sc atau iv 5-10 mg/4-6 jam
 Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam
 Propofol 3-1 mg/kg/jam

2.8 Prognosis

Sekitar 10 % penderita SAH meninggal sebelum tiba di RS dan 40 % meninggal tanpa


sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama sekitar 60 %. Apabila
tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70 %. Apabila tidak ada intervensi bedah
maka sekitar 30 % penderita meninggal dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu
pertama, dan 60 % dalam 2 bulan pertama.

Penyebab utama kematian pada penderita yang bertahan hidup selama 6 bulan adalah
perdarahan berulang. Rata –rata waktu antara perdarahan pertama dan perdarahan ulang
adalah 5 tahun. Terjadinya perdarahan ulang, secara rata-rata adalah 3,5 % per tahun selama
satu daswarsa pertama, dan tingkat kematian dengan perdarahan berulang di kemudian hari
67 %. 7

2.9 Komplikasi

Komplikasi peri-operatif SAH meliputi defisit iskemik (27%), hidrosefalus (12%),


edema otak (12%), perdarahan ulang (11%), hematom intracranial (8%), pneumonia (8%),
kejang (5%), perdarahan gastro-intestinal (4%), syndrome of inappropriate antidiuretic
hormone secretion (SIADHS, 4%), dan edema paru-paru (1 %). 7

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Stroke adalah tanda-tanda klinis yang menyebabkan gangguan fungsi otak baik secara
fokal atau global, dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau
menyebabkan kematian, yang disebabkan murni karena gangguan vaskular. Sementara stroke
hemoragik sendiri adalah jenis stroke yang terjadi akibat adanya perdarahan ke dalam
jaringan otak (disebut hemoragia intraserebrum atau hematom intraserebrum) atau
perdarahan ke dalam ruang subarachnoid, yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan
lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut hemoragia subarachnoid).
Faktor risiko stroke hemoragik terdiri atas faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan
tidak dapat dimodifikasi. Dalam menegakkan diagnosis stroke hemoragik dan membedakan
dengan jenis stroke lain, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologis yang
cermat, serta pemeriksaan penunjang berupa CT Scan sebagai gold standar untuk
membedakan antara stroke hemoragik dan stroke non-hemoragik. Tatalaksana stroke
hemoragik dibagi menjadi tatalaksana di ruang gawat darurat dan tatalaksana di ruang rawat
inap.

DAFTAR PUSTAKA
1. Truelsen et al, The Global burden of cerebrovascular disease. WHO Geneva. 2000; 67: 1-5.
2. Depkes. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2007. Epi., Info. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI. 2013
3. Harsono, et al. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
2011.
4. Price, SA, Wilson, LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2 Ed
6. Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor. Jakarta: EGC; 2012. BAB 53,
Penyakit Serebrovaskular; hal. 1106-1129
5. Machfoed, Hasan et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga University Pers.
2011
6. Etminan et al. Worldwide Incidance of Aneurysmal Subarachnoid Hemmorrage According to
Region, Time Period, Blood Pressure, and Smoking Prevalence in the Population. JAMA
Neurol. 2019;76(5):588-597.
7. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala
Ed.5. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
8. Yueniwati, Y. Pencitraan pada Stroke. Jakarta: UB Press. 2016
9. Setyopranoto I. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. 2011 CDK 185. Vol. 38 (4).
10. Chung J.W, dkk. Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment (TOAST) Classification and
Vascular Territory of Ischemic Stroke Lesions Diagnosed by Diffusion-Weighted Imaging.
Journal of the American Heart Association. 2014 Aug 15;3:4
11. Hemphill JC 3rd, Greenberg SM, Anderson CS, Becker K, Bendok BR, Cushman M, et al.
Guidelines for the management of spontaneous intracerebral hemorrhage: a guideline for
healthcare professionals from the American Heart Association/American Stroke Association.
Stroke 2015;46:2032-2060.
12. Dewanto G, Suwini WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana
Penyakit Saraf. 2011. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
13. Warner et al. Subarachnoid Hemmorrhage. Radiopedia. [Internet]. 2019 [cited 20 July 2019]
Available from : https://radiopaedia.org/articles/subarachnoid-haemorrhage
14. Munro et al. A Pilot Study Evaluating the Use of ABCD2 Score in Pre-Hospital Assessment
of Patients with Suspected Transient Ischaemic Attack: Experience and Lessons Learned.
Experimental and Translational Stroke Medicine. Exp Transi Stroke Med. 2016 Aug 20; 8: 6
15. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline Stroke. 2011 Juli.

Anda mungkin juga menyukai