Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

VASOSPASME PADA STROKE PERDARAHAN SUBARAKHNOID

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing : dr. Ahmad Muzayyin, M.Kes, Sp. S

Oleh :
Rizal Arkan Putranto, S.Ked
J510185069

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD IR. SOEKARNO SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
REFERAT

VASOSPASME PADA STROKE PERDARAHAN SUBARAKHNOID

Disusun Oleh:
Rizal Arkan Putranto, S.Ked J510185069

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing
dr. Ahmad Muzayyin, M.Kes, Sp. S (...........................................)

Dipresentasikan di hadapan
dr. Ahmad Muzayyin, M.Kes, Sp. S (...........................................)

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................... Error! Bookmark not defined.


HALAMAN PENGESAHAN ........................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI ..................................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN ................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 6
A. STROKE PERDARAHAN SUBARAKHNOID .................................................... 6
B. VASOSPASME..................................................................................................... 15
BAB III KESIMPULAN .................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 20

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO)1, stroke adalah gangguan
fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik
fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau langsung
menimbulkan kematian disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.1
Menurut Dinkes Provinsi Jawa Tengah (2012)2, stroke dibedakan menjadi
stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Prevalensi stroke hemoragik di Jawa
Tengah tahun 2012 adalah 0,07 lebih tinggi dari tahun 2011 (0,03%). Prevalensi
tertinggi tahun 2012 adalah Kabupaten Kudus sebesar 1,84%. Prevalensi stroke
non hemoragik pada tahun 2012 sebesar 0,07% lebih rendah dibanding tahun
2011 (0,09%).2
Dari data diperkirakan ada 152.000 penderita stroke di Amerika Serikat
setiap tahun yaitu lebih dari 1 kasus setiap 5 menit. Stroke menduduki peringkat
utama penyebab mortalitas dan morbilitas. Insidens stroke diperkirakan 25% lebih
tinggi pada laki-laki dibandingakan dengan perempuan. Diperkirakan 85% kasus
stroke disebabkan oleh stroke iskemik dan 15 % disebabkan oleh stroke
hemoragik dengan 10% disebabkan perdarahan intraserebral dan 5% disebabkan
perdarahan subarakhnoid. PSA relatif kecil jumlahnya (<0,01% dari populasi di
USA) sedangkan di ASEAN 4% dan di Indonesia 4,2%.7
Ditaksirkan bahwa sebesar 87% penderita stroke mengalami stroke
iskemik dan 13% stroke pendarahan. Pada stroke pendarahan 10-20% merupakan
pendarahan intraserebral dan 3% merupakan pendarahan subarakhnoid.
Perdarahan subarakhnoid (PSA) relatif kecil jumlahnya (<0,01% dari populasi di
USA) sedangkan di ASEAN 4% dan di Indonesia 4,2%. Meskipun demikian
angka mortalitas dan morbiditas sangat tinggi hingga 80%.3
Perdarahan subarakhnoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subarakhnoid. Pada kasus non
traumatik, 80% adalah disebabkan karena pecahnya aneurisma sakuler.

4
Aneurisma sakuler ini merupakan proses degenerasi vaskuler yang didapat
(acquired) akibat proses hemodinamika pada bifurkatio pembuluh arteri otak,
terutama di daerah “Circle of Willisi" yang sering di arteri komunikans anterior,
arteri serebri media, arteri serebri anterior, dan arteri komunikans posterior.4
Vasospasme serebral merupakan suatu penyempitan pembuluh arteri
serebral yang berkepanjanganan, kadang berat, namun bersifat reversibel, yang
terjadi beberapa hari setelah PSA. Resiko vasospasme tergantung pada tebalnya
darah di ruang subarakhnoid dan ventrikel disebabkan oleh ruptur aneurisma
sakular, malformasi vaskular atau tumor otak yang mengalami perdarahan
signifikan pada ruang subarakhnoid di basis cerebri.5
Karya tulis ini bertujuan untuk mengetahui tentang perdarahan
subarakhnoid dan vasospasme pada perdarahan subarakhnoid.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. STROKE PERDARAHAN SUBARAKHNOID


1. Definisi
Perdarahan subarakhnoid (PSA) merupakan perdarahan arteri di ruang
antara dua meningen yaitu piameter dan arakhnoidea. Sekitar 85% PSA berasal
dari pecahnya aneurisma sakuler yang terjadi di dalam pembuluh darah pada
bagian dasar otak yang utamanya berada didaerah “Circle of Willis”. “Circle
of Willis” terdiri dari bagian anterior dan posterior serta berbentuk simetris
terhadap bidang sagital. Bagian anterior terdiri dari arteri serebral anterior yang
berhubungan dengan arteri pada saluran utama anterior dan arteri karotid
internal. Delapan puluh lima persen aneurisma pecah pada bagian anterior.
Lima belas persen aneurisma pecah pada bagian arteri yang berhubungan
dengan posterior dan berpasangan dengan arteri serebral posterior dari ujung
bifurkasi arteri basilar.

Gambar 2.1.1 Pendarahan Stroke Subarakhnoid

6
PSA aneurisma biasanya ditandai dengan nyeri hebat di kepala seperti “
terserang petir ”. Aneurisma yang pecah pada pasien PSA membuat penurunan
kesadaran sementara yang disebabkan oleh lonjakan akut tekanan intrakranial
dan penurunan tekanan perfusi serebral, atau dari vasokonstriksi difusi akut
arteri serebral. Pendarahan intrakranial yang berlangsung lama dapat
mengurangi aliran sirkulasi intrakranial dan menyebabkan edema serebral
global serta hipertensi intrakranial refrakter bahkan kematian.6
2. Etiologi
Penyebab paling sering perdarahan subaraknoid nontraumatik adalah
aneurisma serebral, yaitu sekitar 70% hingga 80%, dan malformasi
arteriovenosa (sekitar 5-10%).9
Tabel 2.1.1 Etiologi Stroke

3. Patofisiologi
Perdarahan subarakhnoid diklasifikasikan menjadi dua kategori:
a. Perdarahan subarakhnoid traumatik
Perdarahan subarakhnoid traumatik terjadi hasil dari cedera kepala.
Namun, perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang
berbeda dan tidak dianggap sebagai stroke. Perdarahan subarakhnoid
dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu, ketika
perdarahan tidak hasil dari faktor-faktor eksternal, seperti kecelakaan
atau jatuh.8
b. Perdarahan subarakhnoid non traumatik
Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya
aneurisma mendadak di sebuah arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma
yang menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu. Aneurisma
biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul pada

7
saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu
setelah bertahun-tahun dimana tekanan darah tinggi melemahkan
dinding arteri. Kebanyakan perdarahan subarakhnoid adalah hasil dari
aneurisma kongenital. Sedangkan spontan subarakhnoid hemoragik
disebabkan oleh karena ruptur aneurisma atau abnormalitas pembuluh
darah pada otak.9
4. Faktor Risiko
Tabel 2.1.2 Faktor Risiko Stroke

5. Gejala Klinis
Gambaran klasik adalah keluhan tiba-tiba nyeri kepala berat,
sering digambarkan oleh pasien sebagai ”nyeri kepala yang paling berat
dalam kehidupannya”. Sering disertai mual, muntah, fotofobia, dan gejala
neurologis akut fokal maupun global, misalnya timbulnya bangkitan,
perubahan memori atau perubahan kemampuan konsentrasi, dan juga
meningismus. Pasien mungkin akan mengalami penurunan kesadaran
setelah kejadian, baik sesaat karena adanya peningkatan tekanan
intrakranial atau ireversibel pada kasus-kasus parah.10
Pemeriksaan klinis bertujuan untuk menilai gangguan fungsi saraf
kranialis, tingkat kesadaran, kekuatan motorik dan ada tidaknya tanda
perangsangan meningeal serta reflex yang meningkat. Pada pasien PSA
biasanya dijumpai kaku kuduk positif dan kerniq yang positif yang
merupakan ciri khas dari PSA. Perdarahan retina berupa perdarahan
subhialid merupakan gejala karakteristik perdarahan subarakhnoid.9

8
6. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan
Pemeriksaan computed tomography (CT) non kontras adalah
pilihan utama karena sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan
lokasi perdarahan lebih akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika
dilakukan dalam 12 jam pertama setelah serangan, tetapi akan turun
50% pada 1 minggu setelah serangan. Dengan demikian, pemeriksaan
CT scan harus dilakukan sesegera mungkin. Dibandingkan dengan
magnetic resonance imaging (MRI), CT scan unggul karena biayanya
lebih murah, aksesnya lebih mudah, dan interpretasinya lebih mudah.9

Gambar 2.1.2 CT-Scan dan MRI SAH


b. CT angiografi
CTA dapat mendeteksi aneurisma berukuran > 3 mm,
menyediakan informasi lengkap seperti arteri asal dan lebar leher
aneurisma. CTA dapat mendeteksi lebih dari 95% aneurisma. CTA
lebih baik dibandingkan MRA karena waktu pemeriksaan yang lebih
singkat, artefak yang lebih sedikit, dan demostrasi tempat lain lebih
baik. Tetapi struktur tulang dan vena dapat menyulitkan pembacaan.
Beberapa pusat penelitian menunjukkan hasil yang bagus dengan
CTA, dengan studi prospektif mendeteksi 97% aneurisma dan
mendemonstrasikan CTA sebagai alat yang aman dan efektif saat
digunakan pada pemeriksaan aneurisma cerebral yang ruptur atau yang
tidak ruptur. CTA menunjukkan gambar 3-D yang dapat membantu

9
membedakan vena yang mengikuti dengan aneurisma. Penggunaan
CTA meningkat untuk evaluasi vasospasme .

Gambar 2.1.3 CT Angiografi SAH


c. Pemeriksaan penunjang lain
Seperti darah lengkap, kadar ureum, elektrolit, glukosa darah, foto
toraks, dan EKG untuk melihat ada tidaknya factor resiko yang dapat
memicu terjadinya Perdarahan Sub Arachnoid. Fungsi ginjal juga
diperlukan untuk melihat apakah terdapat gangguan ginjal yang dapat
menyebabkan hipertensi.9
7. Parameter klinis
Beberapa parameter kuantitatif untuk memprediksi luaran
(outcome) dapat di- jadikan panduan intervensi maupun untuk
menjelaskan prognosis, misalnya skala Hunt dan Hess; skala ini mudah

10
dan paling banyak digunakan dalam praktik klinis. Nilai tinggi pada skala
Hunt dan Hess merupakan indikasi perburukan luaran.

Tabel 2.1.3 Skala Hunt dan Hess


Skala Hunt Dan Hess
Skala Gambaran Klinis
0 Unruptured
I Nyeri kepala minimal atau asimtomatik, kaku kuduk ringan
II Nyeri kepala sedang/berat, kaku kuduk, tidak ada defisit neurologis,
kecuali parese nervi kraniales
III Mengantuk, bingung, defisit neurologis fokal sedang
IV Stupor, hemiparesis sedang/ berat, mungkin terjadi rigiditas
deserebrasi dini
V Koma dalam, rigiditas deserebrasi, munculnya tanda-tanda end state
8. Tatalaksana
Pedoman Tatalaksana
a. Penderita dengan tanda-tanda grade I atau II Hunt and Hess PSA
1) Identifikasi yang dini dari nyeri kepala yang hebat merupakan
petunjuk untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas
2) Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30˚ dalam
ruangan dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu
berikan oksigen 2-3 L/menit
3) Hati-hati pemakaian obat-obatan sedative
4) Pasang infuse i.v. diruang gawat darurat dan monitor ketat
kelainan-kelainan neurologis yang timbul
b. Penderita dengan grade III, IV atau V Hunt and Hess PSA
1) Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di
ruang gawat darurat
2) Intubasi endotrakeal untuk mencegah aspirasi dan menjamin
jalan napas yang adekuat
3) Bila ada tanda-tanda herniasi maka lakukan intubasi
4) Hindari pemakaian sedative yang berlebihan karena akan
menyulitkan penilaian status neurologis

11
c. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA
1) Operasi clipping atau endovascular coiling sangat
direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah
ruptur aneurisma pada PSA. Aneurisma dapat diterapi dengan
operasi pembedahan saraf berupa penutupan leher aneurisma
dengan metal clip. Dengan demikian, aneurisma terekslusi dari
sirkulasi secara permanen, sehingga tidak dapat berdarah lagi.
Bentuk terapi ini adalah terapi definitif, tetapi kerugian aadalah
terapi ini memerlukan operasi kepala terbuka (kraniotomi).12

Gambar 2.1.3 Clipping Aneurisma


2) Terapi antifibrinolitik (Asam Tranexamat) untuk mencegah
perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan klinis
tertentu, dan memberi efek bermanfaat pada operasi yang
ditunda.12
Pedoman Tatalaksana SAH menurut PERDOSSI12
a. Tatalaksana Umum :
1) Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
2) Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
3) Pengendalian tekanan intrakranial (manitol jika diperlukan)
4) Pengendalian kejang (terapi anti kejang jika diperlukan)
5) Analgetik dan antipiterik
6) Gastroprotektor, jika diperlukan
7) Manajemen nutrisi
8) Pencegahan DVT dan emboli paru : heparin atau LMWH
b. Tatalaksana Spesifik
1) Manajemen hipertensi (Nicardipin, ARB, ACE-Inhibitor, Calcium
Antagonist, Beta blocker, Diuretik)

12
2) Manajemen gula darah (insulin, anti diabetic oral)
3) Pencegahan perdarahan ulang (Vit. K, antifibrinolitik)
4) Pencegahan vasospasme (Nimodipin)
5) Neuroproektor
6) Perawatan di Unit Stroke
7) Neurorestorasi
9. Komplikasi
a. Vasospasme
b. Hidrosefalus
c. Hiponatremia
d. Epilepsi9
10. Prognosis
Faktor yang paling penting dalam mempengaruhi hasil pada pasien
dengan perdarahan subarachnoid adalah keadaan neurologis pada pasien
tersebut ketika tiba di rumah sakit. Sesuai dengan skala Hunt and Hess
dimana nilai semakin tinggi dari skala tersebut menunjukan luaran yang
buruk pada pasien13

13
B. VASOSPASME
1. Definisi
Vasospasme serebral merupakan suatu penyempitan pembuluh arteri
serebral yang berkepanjanganan, kadang berat, namun bersifat reversible,
yang terjadi beberapa hari setelah PSA. Vasospasme serebral merupakan
komplikasi yang mayor yang berlanjut sehingga terjadi kematian dan
kecacatan dalam PSA. Vasospasme terjadi pada hari ke 3 hingga 4 setelah
hemoragik, puncaknya setelah satu mimggu dan umunnya sembuh setelah 2
atau 3 minggu.14
Vasospasme otak adalah keadaan menyempitnya saluran pembuluh darah
akibat dinding pembuluh darah mengalami kontraksi yang berlebihan, pada
kasus yang berat, penyempitan tersebut bahkan dapat menyebabkan saluran di
dalamnya sangat sempit sehingga tidak memungkinkan adanya aliran darah.21
2. Etiologi
Vasospasme terjadi karena pecahnya aneurisma, dan darah yang
membanjiri rongga subarakhnoid akan mengenai arteri-arteri yang berada di
rongga subarachnoid dan terjadi reaksi antara product dari sel darah dengan
dinding arteri yang mengakibatkan pembuluh darah kontraksi. Keadaan yang
mengakibatkan vasospasme bukan hanya diakibatkan oleh pecahnya
aneurisma saja, kondisi pada malformasi arteriovenosus cerebri dan
perdarahan akibat trauma kepala juga dapat mengakibatkan vasospasme
cerebri. Semakin lama darah berada di rongga subarakhnoid vasospasme yang
terjadi akan semakin berat. Vasospasme biasa terjadi pada arteri besar pada
circulus willis dan cabang-cabang utamanya.21
3. Patofisiologi
a. Kontraksi otot polos
Vasospasme merupakan konstriksi otot polos arteri yang
berkepanjangan. Pada PSA eritrosit diruang subarakhnoid akan mengalami
lisis dan melepaskan oxyhemoglobin serta by product dari sel darah
merah.Ini akan memicu pelepasan dan kemasukan kalsium ke otot polos
serta mengubah fungsi miosit yang menyebabkan kontraksi berpanjangan

14
pada otot polos. Vasokonstriksi ini tidak hanya dihubungkan dengan
gangguan pada fungsi pembuluh darah, namun pada kerusakan
ultrastuktur dinding pembuluh darah, termasuk vakuolisasi sel endothel,
dan kerusakan lamina elastika interna dan tunika medika. 14
b. Kerusakan endotel : Nitric oxide dan Endothelin -1
Autooksidasioxyhemoglobin dari PSA membentuk methemoglobin
(by product) dan radikal anion superoxide yang akan menjadi lipid
peroxidation. Radikal hydroxyl dan lipid peroxide yang berbahaya ini
akan melewati dinding vaskular dan merusakan sel endotel dan otot polos.
Kerusakan endotel diduga sebagai kunci terjadinya vasospasme, melalui
hilangnya sintesis nitric acid (NO) yang merupakan vasodilator atau
melalui overproduksi endothelin yang merupakan vasokonstriktor kuat.14

Gambar 2.2.1 Patofisiologi Vasospasme

15
4. Klasifikasi
a. Vasospasme Subangiografi
Vasospasme yang tidak dapat dideteksi oleh pemeriksaan
Angiografi cerebri. Vasospasme ini tidak terdeteksi radiologi bisa
dikatakan bahwa vasospasme yang terjadi sangat ringan
b. Vasospasme angiografi
Vasospasme yang sudah dibuktikan dengan pemeriksaan
angiografi. Namun tidak semua pemeriksaan angiografi ini memberikan
gejala klinis. Dikarenakan kemampuan otak berbeda beda dalam merespon
kurangnya aliran darah tersebut. Misal pada orang yang memiliki aliran
darah melalui arteri kollateral. Orang tersebut tetap mendapatkan suplai
dari arteri kollateral tersebut
c. Vasospasme Klinis
Vasospasme ini ditegakkan hanya melalui pemeriksaan klinis saja.
Karena jika dilihat dari klinisnya sudah mengarah pada kejadian
vasospasme.21
5. Gambaran Klinis
Kita perlu waspada terhadap komplikasi iskemik paling sedikit 2 minggu
setelah SAB. Pemeriksaan yang teratur dan teliti merupakan cara paling
sederhana dan efektif dalam mendeteksi iskemia dini pada pasien yang sadar
dan dapat diperiksa. Pemeriksa harus berkonsentrasi pada temuan minimal
seperti hilangnya attensi, perubahan verbal, atau gerakan pronator extremitas
atas, walaupun hanya sedikit. Vasospasme simptomatik biasanya memiliki
onset bertahap, kadang ditandai dengan peningkatan nyeri kepala, agitasi, atau
penurunan kesadaran. Sebagian kecil pasien mengalami penurunan yang tiba –
tiba.15
Gambaran Klinis Vasospasme21
a. Demam
b. Kaku Kuduk
c. Afasia

16
d. Hemipharesis
e. Penurunan kesadaran berat
f. Classic sign “stroke”
6. Pencegahan Vasospasme dan Tatalaksana
a. Pencegahan nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari
ke 3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam setiap 21 hari. 2 Pemakaian
nimodipin oral terbukti meperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan
oleh vasospasme. Calsium antagonist lainnya yang diberikan secara
oral atau intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan
aneurisma yang ruptur, dengan mepertahankan volume darah sirkulasi
yang normal (euvolemia) dan menghindari terjadinya hipovolemia.
c. Terutama pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme, terapi
hiperdinamik yang dikenal dengan triple H (Hypervolemic-
Hypertensive-Hemodilution) perlu dipertimbangkan dengan tujuan
mepertahankan tekanan perfusi serebral. Dengan demikian, angka
kejadian iskemik serebral akibat vasospasme dapat dikurangi. Hati-hati
terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang
tidak dilakukan embolisasi atau Clipping.
d. Fibrinolitik intrasisternal, antioksidan dan antiinflamasi tidak tidak
bermakna.
e. Pada pasien yang gagal dengan terapi konvensional , angioplasti
transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme.
Pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan
aneurisma yang ruptur, dengan mempertahankan volume darah sirkulasi
yang normal (euvolemia) dan menghindari terjadinya hipovolemia dan
profilaksis sedini mungkin menggunakan Nimodipin. Nimodipin milik
kelas dari agen farmakologis yang dikenal sebagai calcium channel
blockers. Nimodipin diindikasikan untuk perbaikan hasil neurologis
dengan mengurangi insiden dan keparahan defisit iskemik pada pasien
dengan perdarahan subarakhnoid dari aneurisma pecah yang di baik

17
kondisi neurologis pasca-tekanan ritmik (misalnya, Hunt dan Hess Kelas
I-III). Proses kontraktil sel otot polos tergantung pada ion kalsium, yang
masuk sel-sel ini selama depolarisasi lambat arus transmembran ionik.
Nimodipin menghambat perpindahan ion kalsium ke dalam sel-sel ini dan
dengan demikian menghambat kontraksi dari otot polos pembuluh darah.16
Nimodipin diberikan dengan dosis 60 mg setiap 4 jam yang
berinisiasi dengan diagnosa individual dan dilanjutkan selama 21 hari
pada semua pasien PSA. Pemberian terapi nimodipin dapat menyebabkan
terjadi hipotensi. Ini dapat diatasi dengan mengurangi interval dosis ke 30
mg setiap 2 jam (dosis harian yang sama), mengurangi total dosis harian
(30 mg setiap 4 jam), dan memelihara volume intravaskular dan terapi
pressor.17
Pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme yang sudah
terjadi, terapi hiperdinamik yang dikenal dengan triple H (Hypervolemic-
Hypertensive-Hemodilution) perlu dipertimbangkan dengan tujuan
mempertahankan Cerebral Perfusion Pressure (CPP). Kombinasi ini
dimaksudkan untuk meningkatkan cardiac output, CPP, dan
hemorheology transport oksigen. Pemberian cairan dapat meningkatkan
volume, mengurangi viskositas sehingga peningkatkan oksigen yang
sampai ke jaringan, namun hematokrit harus di atas 30 dan konsentrasi Hb
harus dipertahankan di atas 9 gr/dl.18
Terapi hipertensi lebih efektif dalam meningkatkan oksigenasi
cerebral dibandingkan terapi hipervolemia yang agresif pada pasien
dengan SAB, selain itu juga dengan komplikasi yang lebih sedikit. Dengan
syarat aneurisma telah direpair, vasospasme simtomatik dapat diterapi
dengan memberikan dobutamin atau dopamin, yang dalam dosis rendah –
moderate memiliki efek utama β-agonist, efek inotropik. Bila tidak terjadi
respon peningkatan tekanan darah segera ( hingga dopamin 10-
15μg/kgBB/menit), angonist α yang lebih murni seperti norepinephrine (
titrasi hingga dosis maksimum 20 μg/kgBB/menit) dan phenilephrine (
titrasi hingga dosis maksimum 180 μg/kgBB/menit) dapat diberikan.

18
Dibeberapa center, vasopresor diberikan sebelum inotropik. Tekanan
darah sistolik ≥ 200 mmHg, atau CPP > 80 mmhg kadang diperlukan,
namun bila tanda iskemik menetap pada tekanan sistolik > 220 mmhg atau
CPP > 120 mmhg, Perlu diketahui bahwa terapi hipertensi dan
hipervolemia tidak meningkatkan resiko hemorrhage pada aneurisma yang
belum ruptur dalam masa akut.20
Pengobatan induksi augmentasi hemodinamik dengan induksi
hipertensi, euvolemia dan hemodelusi sehingga memperbaiki perfusi
serebral. Dengan terapi ini pasien dengan cepat menunjukan perbaikan,
mekanisme yang pasti belum jelas. Beberapa pasien peningkatan tekanan
arteri rerata dapat meningkatkan aliran darah ke serebral dalam keadaan
autoregulasi yang terganggu. Cara terbaru augmentasi hemodinamik
adalah dengan balon angiospati dan infus vasodilator golongan Calcium
Blocker.19
Resiko yang signifikan pada terapi tersebut adalah gagal jantung
dan infark jantung, edem pulmonal, komplikasi yang berhubungan dengan
pemasangan kateter CVP dan PAC, dan kemungkinan edema cerebri dan
peningkatan tekanan intrakranial. Resiko menjadi lebih besar pada pasien-
pasien tua dan dengan penyakit cardiopulmonal yang telah ada
sebelumnya.20

19
BAB III
KESIMPULAN

Perdarahan subarakhnoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang


disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subarakhnoid. Pada kasus non
traumatik, 80% adalah disebabkan karena pecahnya aneurisma sakuler.
Aneurisma sakuler ini merupakan proses degenerasi vaskuler yang didapat
(acquired) akibat proses hemodinamika pada bifurkatio pembuluh arteri otak,
terutama di daerah “Circle of Willisi" yang sering di arteri komunikans anterior,
arteri serebri media, arteri serebri anterior, dan arteri komunikans posterior.4
Vasospasme serebral merupakan suatu penyempitan pembuluh arteri
serebral yang berkepanjanganan, kadang berat, namun bersifat reversible, yang
terjadi beberapa hari setelah PSA. Vasospasme serebral merupakan komplikasi
yang mayor yang berlanjut sehingga terjadi kematian dan kecacatan dalam PSA.14
Pencegahan vasospasme menggunakan Nimodipin yang merupakan
golongan Calcium Canal Blocker.12 Nimodipin menghambat perpindahan ion
kalsium ke dalam sel-sel ini dan dengan demikian menghambat kontraksi dari otot
polos pembuluh darah.16 Yang dimana Vasospasme merupakan konstriksi otot
polos arteri yang berkepanjangan.14
Pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme yang sudah terjadi,
terapi hiperdinamik yang dikenal dengan triple H (Hypervolemic-Hypertensive-
Hemodilution) perlu dipertimbangkan dengan tujuan mempertahankan Cerebral
Perfusion Pressure (CPP). Kombinasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan
cardiac output, CPP, dan hemorheology transport oksigen supaya tidak terjadi
ischemik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Dinkes Jateng. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. Semarang:
Dinas Kesehatan Jawa Tengah; 2013.
2. Gofir, A. Manajemen Stroke Evidence Base Medicine. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press; 2009.
3. Setyopranoto, I. Penatalaksanaan Pendarahan Subarakhnoid. Continuing Medical
Education. 2012;39(11):807-811.
4. Yu, Ying., Wang, Yu-Bo., Zhang, Xian-Feng., Qu, Li-Mei., Xu, Hai- Yang.,
Zhao, Cong-Hai., Zhao, Gang. Comparison of Nimodipine Adminstration Routes
in Cerebral Vasospasm after Subarachnoid Hemorrhage. Journal of Neurological
Sciences Turkish. 2014;42(4):718-725.
5. N Lu, Intraventricular nicardipin for aneurysmal sub arachnoid hemorrage related
vasospasm Assasment of 90 Days outcome. Neurocrit Care. 2012.16: 368-375.
6. Stroke Association. Stroke Statistics. London: Stroke Association Publisher;
2013.

7. Vergouwen, Mervyn D I., Vermeulen, Marinus., Gijn, Jan Van., Rinkel, Gabriel J.
E., Wijdicks, Eelco F., Muizelaar, J. Paul., Mendelow, A. David., Juvela,
Seppoo., Yonas, Howard., Terbrugge, Karel G., Macdonald, R.Loch., Diringer,
Michael N., Broderick, Joseph P., Dreier, Jens P., Roos, Yvo B. W. E. M.
Definition of Delayed Cerebral Ischemia After Aneurysmal Subarachnoid
Hemorrhage as an Outcome Event in Clinical Trials and Observational Studies
Proposal of a Multidisciplinary Research Group. American Stroke Association.
2010. 41: 2391–2395.
8. Setyopranoto, I. Penatalaksanaan Pendarahan Subarakhnoid. Continuing Medical
Education. 2012. 39(11): 807-811.
9. Schievink WI. Intracranial aneurysms. N Engl J Med. 1997. 336:28-40.
10. Caplan LR. Subarachnoid Hemorrhage, Aneurysm, and Vascular Malformations.
In: Stroke A Clinical Approach. 4th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2009:
446-486

21
11. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline Stroke. Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2011.
12. Hunt W, Hess R. Surgical risk as related to time of
intervention in the repair of intracranial aneurysms. J Neurosur. 1968.
28(1):14.20.
13. Archavlis, Eleftherios., Nievas, Mario Carvi Y. Cerebral Vasospasm : A Review
of Current Developments in Drug Therapy and Research. Journal of
Pharmaceutical Technology and Drug Research. 2013. 12:2-18.
14. Dorsch N. A clinical Review of Cerebral Vasospasm and Delayed Ischemia
Following Aneurysm Rupture. In Early Brain Injury or Cerebal Vasospasm.
Editor : Feng H, Mao Y, Zhang JH. Springer-verlag, New York. 2011: 5-6.
15. Kuramatsu, Joji B., Huttner, Hagen B. Medical Interventions for Subarachnoid
Hemorrhage. In: Critical Care of The Stroke Patient, 1st Ed. United Kingdom :
Cambridge University Press. 2014: 423-435.
16. Harsono. The Characteristics of Subarachnoid Hemorrhage, Majades Kedokteran
Indonesia. 2009. 59(1):20-26.
17. Keyrouz, Salah G., Diringer, Michael N. Clinical Review: Prevention and
Therapy of Vasospasm in Subarachnoid Hemorrhage, Neurology Intensive Care
Unit Department of Neurology. 2007. 11(4):220-230.
18. Purwata, Eko T. Nyeri Kepala Pada Perdarahan Subarakhnoid. Jurnal Ilmiah
Kedokteran Medicina, 2014. 45(3):165-170
19. Adam,A. Cerebral Vasospasme, Brain Surgeon Indonesia. 2018.
Access on https://brainsurgeon-indonesia.com/terminology/vasospasme-otak/.
(Diakses tanggal 5 November 2018)
20. Tjahjadi, M. Memahami Aneurisma Otak. Indonesia: Bhuana Ilmu Populer. 2017.

22

Anda mungkin juga menyukai