Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

STROKE HEMORAGIK

Disusun oleh:

RANI DWI NINGTIAS

NPM 1102014220

Dosen Pembimbing:

dr. Mukhdiar Kasim, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RSUD CILEGON

PERIODE 16 APRIL 2018-19 MEI 2018

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya, penulis
berhasil menyelesaikan penulisan referat yang berjudul “Stroke Hemoragik”.

Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon. Penulisan referat ini tidak
lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini
penulisan menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Mukhdiar Kasim, Sp.S selaku
konsulen SMF Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon, yang selalu
membimbing dan memberi saran selama kepaniteraan klinik di bagian neurologi.

Dalam penulisan referat ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan
dan masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi isi materi. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk
perbaikan pada penulisan dan penyusunan referat ini. Penulis berharap referat ini dapat
membawa manfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Aamiin ya rabbal’alamin.

Wassalamualaikum wr.wb

Cilegon, April 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2


DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
BAB 1 ........................................................................................................................................ 4
1.LATAR BELAKANG ........................................................................................................... 4
BAB II ....................................................................................................................................... 6
2.1. DEFINISI ........................................................................................................................... 6
2.2.EPIDEMIOLOGI .............................................................................................................. 6
2.3.ETIOLOGI ......................................................................................................................... 7
2.4.PATOFISIOLOGI ............................................................................................................. 7
2.5.MANIFESTASI KLINIS ................................................................................................. 10
2.6 DIAGNOSIS ..................................................................................................................... 12
2.7 DIAGNOSIS BANDING ................................................................................................. 16
2.8 TATALAKSANA ............................................................................................................. 16
2.9 PENCEGAHAN ............................................................................................................... 19
2.10 PROGNOSIS .................................................................................................................. 19
BAB III .................................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 22

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Stroke merupakan penyakit kegawatdaruratan neurologi yang bersifat akut dan
tiba-tiba yang merupakan salah satu penyebab kecacatan dan kematian pada usia
dewasa tertinggi di beberapa negara di dunia. Kecacatan dapat berupa defisit neurologi
yang berdampak pada gangguan emosional dan sosial, tidak hanya bagi pasien namun
juga bagi keluarganya.

Stroke terjadi ketika aliran darah ke suatu daerah di otak terganggu. Ketika hal
itu terjadi, sel-sel otak tersebut akan kekurangan oksigen lalu mengalami kematian sel.
Ketika terjadi kematian sel otak di suatu daerah otak, seseorang akan kehilangan
kemampuan yang dikontrol oleh daerah tersebut. Seseorang yang mengalami kematian
sel otak yang tidak luas mungkin akan kehilangan kemampuan seperti kelemahan pada
ekstremitas yang tidak permanen, namun seseorang yang mengalami kematian sel otak
yang luas mungkin akan mengalami kelemahan tersebut secara permanen.

Berdasarkan patologinya, stroke dibedakan menjadi stroke iskemik (sumbatan)


dan stroke hemoragik (perdarahan). Namun, beberapa orang mungkin mengalami
gangguan aliran darah ke otak sementara yang tidak menyebabkan kelainan secara
permanen yang disebut dengan transient ischemic attack (TIA).

Stroke hemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah intraserebral (PIS)


ataupun pembuluh darah yang ada di ruang subarakhnoid (PSA) secara tiba-tiba dan
sering kali diikuti oleh gejala akibat efek desak ruang atau peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab
utama. Dapat pula terjadi karena aneurisma pada percabangan arteri-arteri besar dan
malformasi arterivena pada otak.

Di Indonesia, stroke merupakan penyebab kematian tertinggi berdasarkan data


Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, yaitu 15,4%. Data Indonesia Stroke Registry tahun
2012-2013 mendapatkan sebanyak 20,3% kematian pada 48 jam pascastroke. Angka
kematian pada stroke hemoragik menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan stroke
iskemik. Berdasarkan data American Heart Association (AHA)/American Stroke

4
Association (ASA) tahun 2009, angka kematian stroke hemoragik mencapai 49,2%,
hampir dua kali lipat stroke iskemik (25,9%).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Menurut WHO, stoke adalah suatu sindroma klinis yang ditandai oleh gangguan
fungsi otak fokal maupun global mendadak yang berlangsung lebih dari 24 jam,
mempunyai kecenderungan perburukan bahkan kematian yang diakibatkan oleh satu-
satunya gangguan vaskular.

Stroke hemoragik merupakan salah satu jenis patologi stroke akibat pecahnya
pembuluh darah arteri intraserebral (PIS) ataupun pembuluh darah arteri yang ada
diruang subarakhnoid (PSA) karena rupture aneurisma; perdarahan perimesensefalik
nonaneurisma; dan diseksi arteri intrakranial secara spontan yang menimbulkan gejala
neurologis yang terjadi secara tiba-tiba.

2.2. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2013, terdapat sekitar 25,7 juta kasus stroke, dengan hampir sepatuh
kasus (10,3 juta kasus) merupakan stroke pertama. Sebanyak 6,5 juta pasien megalami
kematian dan 11,3 juta pasien mengalami kecacatan. Berdasarkan data American Heart
Association (AHA)/American Stroke Association (ASA) tahun 2009, angka kematian
stroke hemoragik mencapai 49,2%, hampir dua kali lipat stroke iskemik (25,9%).
Angka kejadian stroke hemoragik di Asia lebih tinggi di bandingkan dengan di negara
barat. Hal ini dapat disebabkan tingginya angka kejadian hipertensi pada populasi asia.

Kasus stroke di Indonesia menunjukan peningkatan baik dalam kejadian,


kecacatan maupun kematian. Insidens stroke sebesar 51,6/100.000 penduduk. Stroke
lebih banyak dialami laki-laki dibandingkan dengan perempuan dan meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Berdasarkan data Stroke Registy di Indonesia, yang dimulai
sejak tahun 2012 sebagai kerjasama antara Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI) dengan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, tahun 2014 didapatkan 5411 kasus stroke akut dari 18
RS dengan angka kejadian stroke hemoragik sebesar 33%.

6
2.3. ETIOLOGI
Faktor risiko untuk stroke hemoragik adalah:

a. Faktor risiko yang tidak bisa di modifikasi


1. Genetik
2. Jenis kelamin
3. Etnis nonkulit putih
4. Kelainan kongengital pembuluh darah otak (arterivena malformation) dan
kelainan protein matriks ekstraseluler arteri intrakranial (Penyakit Ehlers-
Danlos tipe IV)
5. Penyakit ginjal polikistik autosom dominan
6. Penyakit Moyamoya

b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi


1. Hipertensi kronik
2. Pengguna kontrasepsi oral
3. Merokok
4. Trauma
5. Gangguan pembekuan darah seperti trombositopenia, hemophilia, dan
leukemia
6. Aneurisma pembuluh darah
7. Obat-obatan antikoagulan dan antiplatelet
8. Proses degeneratif pada pembuluh darah otak
9. Tumor intracranial
10. Penggunaan alkohol dan kokain
11. Iatrogenik

2.4. PATOFISIOLOGI
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Patofisiologi stroke hemoragik pada umumnya didahului oleh kerusakan
dinding pembuluh darah kecil di otak akibat hipertensi kronik dapat
menyebabkan terbentuknya aneurisma pada pembuluh darah kecil di otak. Proses
turbulensi pembuluh darah mengakibatkan terbentuknya nekrosis fibrinoid, yaitu
nekrosis sel/jaringan dengan akumulasi matriks fibrin. Terjadi pula herniasi

7
dinding arteriol dan ruptur tunika intima, sehingga terbentuk mikroaneurisma
yang disebut Charcot-Bouchard yang dapat pecah seketika saat tekanan darah
arteri meningkat.

Pada beberapa kasus, pecahnya pembuluh darah tidak didahului oleh


terbentuknya aneurisma, semata-mata karena peningkatan tekanan darah yang
mendadak. Pada kasus hipertensi kronik, terjadi hialinisasi dinding pembuluh
darah sehingga pembuluh darah kehilangan elastisitasnya dan terjadilah
gangguan autoregulasi vasodilatasi maupun vasokonstriksi pembuluh darah otak
yang dapat menyebabkan pecah pembuluh darah saat tekanan darah meningkat
mendadak. Darah yang keluar terakumulasi dan membentuk hematom
diparenkim otak sehingga memberikan efek desak ruang dan menekan parenkim
otak serta menyebabkan kenaikan TIK. Hal ini akan memperburuk kondisi klinis
pasien, yang umumnya berlangsung dalam 24-48 jam onset yang mengganggu
metabolisme dan aliran darah. Hematom yang besar akan menyebabkan mid-line
shift dan herniasi otak yang pada akhirnya mengakibatkan iskemia, perdarahan
sekunder, serta hidrosefalus sekunder karena penekanan pada sistem ventrikel
otak. Hematom yang sudah terbentuk dapat menyusut dengan sendirinya jika
terjadi absorbsi. Darah akan kembali ke peredaran system ventrikel otak.
Stroke hemoragik yang dikaitkan dengan hipertensi biasanya terjadi pada
struktur otak bagian dalam yang diperdarahi oleh penetrating artery seperti pada
area thalamus, putamen, pons, dan serebellum.

8
Sebagai kompensasi untuk mempertahankan perfusi otak, tekanan arteri
juga akan meningkat. Dengan demikian didapatkan peningkatan tekanan darah
sistemik pascastroke. Penurunan secara drastis tekanan darah sistemik dalam
penatalaksaan stroke hemoragik akan membahayakan bagian otak yang masih
sehat.
b. Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Pada PSA terjadi vasospasme, umumnya pada hari ke-4, mencapai
puncaknya mulai hari ke-7 hingga ke-10, dan menghilang spontan pada hari
ke-21. Hal ini dimulai dengan adanya kontak antara oksihemoglobin dari
pembuluh darah yang pecah, dengan dinding pembuluh darah dari bagian luar.
Timbulnya vasospasme menyebabkan iskemik yang disebut dengan delayed
cerebral ischemia, yaitu iskemik luas di daerah vasospasme yang dapat
menjadi infark dan menimbulkan kematian sel otak.
i. Aneurisma intrakranial
Aneurisma pembuluh darah bukan merupakan kelainan
kongengital, namun didapat dalam perjalanan hidup seperti trauma,
infeksi, atau penyakit jaringan penunjang. Penyebab ruptur yang paling
rasional adalah peningkatan mendadak tekanan darah.
Dinding arteri intrakranial lebih tipis dibandingkan dengan
ekstrakranial karena tunika media yang menipis dan hilangnya lamina
elastika eksterna. Dinding aneurisma hanya terdiri dari lapisan intima
dan adventisia, serta jaringan fibrohialin dengan jumlah bervariasi.
Tekanan pulsasi tinggi maksimal di titik percabangan di
proksimal arteri sekitar sirkulus willisi. Oleh karena itu, lokasi
percabangan arteri, biasanya di basis cranii, baik di sirkulus willisi
maupun di dekat titik percabangan merupakan lokasi utama
pembentukan aneurisma aterosklerosis. Titik ruptur biasanya di kubah
lesi.

9
ii. Perdarahan perimesensefalik
Pada perdarahan perimesensefalik terdapat distribusi
ekstravasasi darah terutama di anterior dari mesensefalon dan sisterna
interpedinkular, serta di sisterna kuadrigeminal. Diperlukan
pemeriksaan angigrafi untuk mebedakan aneurisma dengan perdarahan
perimesensefalik.

iii. Diseksi arteri intrakranial


Perdarahan subarakhnoid karena diseksi arteri biasanya terjadi
pada arteri vertebralis akibat trauma maupun iatrogenik.

2.5. MANIFESTASI KLINIS


1. Perdarahan Intraserebral (PIS)
1. Nyeri kepala, berkaitan dengan lokasi dan luas lesi perdarahan di
daerah lobaris, serebellum, dan lokasi yang berdekatan dengan struktur
meningens. Pada perdarahan kecil, pada fase akut mungkin tidak
didapatkan adanya nyeri kepala.
2. Penurunan kesadaran, berkaitan dengan lokasi lesi dibatang otak yang
merupakan tempat dari reticulating activating system (RAS)
3. Muntah, berkaitan dengan peningkatan TIK atau kerusakan local di
ventrikel keempat

10
4. Defisit neurologi fokal seiring dengan perluasan lesi perdarahan yang
memberikan efek desak ruang
5. Kejang, berkaitan dengan lesi yang berada dilokasi epileptogenik
seperti lobaris, gray white matter junction di korteks serebri, dan
putamen
6. Kaku kuduk jika terjadi perdarahan di thalamus, kaudatus, dan
serebellum.
7. Aritmia jantung dan edema paru, berkaitan dengan peningkatan TIK
dan pelepasan katekolamin

Hematom akan membesar dalam enam jam pertama dan pada beberapa
kasus yang mengalami perburukan setelah kondisi klinis stabil dalam 24-48
jam pertama, diduga mengalami perluasan edema perihematomal. Keadaan
klinis akan menetap apabila terjadi keseimbangan antara TIK, luasnya
hematom, efek desak ruang jaringan otak, dan berhentinya perdarahan.

2. Perdarahan subarakhnoid (PSA)


1. Sakit kepala tiba-tiba seperti sensasi kilatan petir atau seperti kepala
dibenturkan sehingga sering disebut sebagai thunderclap headache.
Pada perdarahan perimesensefalik, sakit kepala muncul dalam hitungan
menit, sedangkan pada aneurisma dalam hitungan detik.
2. Penurunan kesadaran banyak ditemukan pada PSA karena aneurisma,
sedangkan kesadaran PSA karena perdarahan mesensefalik umumnya
normal. Meskipun demikian, penurunan kesadaran tidak
menyingkirkan diagnosis perdarahan mesensafalik. Jika penurunan
kesadaran terjadi sejak awal onset, dipikirkan disebabkan oleh arteri,
sedangkan jika belakangan dikaitkan dengan gagalnya perfusi global
akibat peningkatan TIK.
3. Kejang dapat terjadi pada 10% pasien PSA karena aneurisma.
4. Kaku kuduk, pada koma dalam kaku kuduk dapat negative.
5. Perdarahan subhialoid, yaitu perdarahan preretina yang terjadi akibat
peningkatan tekanan cairan serebrospinal mendadak yang masuk ke
ruang subarakhnoid disekitar nervus opticus dan meyekat aliran vena
dari retina sehingga memicu rupture vena retina.

11
6. Demam, dapat terjadi pada 2-3 hari pertama PSA. Jika suhu tidak
melebihi 38,5⸰C dan denyut nadi tidak meningkat, biasanya tidak
disebabkan oleh infeksi,
7. Peningkatan tekanan darah
8. Defisit neurologis fokal seperti paresis n.craniales, epilepsy fokal,
hemiparesis, dan paraparesis

2.6 DIAGNOSIS
a) Anamnesis
a. Gejala yang mendadak pada saat awal, lamanya awitan, dan aktivitas saat
serangan
b. Deskripsi gejala yang muncul beserta kelanjutannya: progresif memberat,
perbaikan, atau menetap
c. Gejala penyerta; penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual, muntah, rasa
berputar, kejang, gangguan penglihatan, atau gangguan fungsi kognitif
d. Ada tidaknya faktor risiko stroke
b) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan kesadaran pada stroke hemoragik bisa lebih buruk
dibandingkan stroke non hemoragik
b. Status generalis untuk mencari cedera kepala, thrombosis vena dalam atau
gagal jantung, bruit karotis, edema papil, perdarahan retina, dll
c. Tanda vital, yaitu tekanan darah dan menghitung rerata tekanan darah
arteri (MABP); pola pernapasan; nadi; dan suhu
d. Status neurologis
i. GCS, pada stroke hemoragik biasanya terjadi penurunan kesadaran
ii. Pemeriksaan refleks batang otak yang meliputi reaksi pupil, refleks
kornea, dan refleks okulosefalik
iii. Pemeriksaan nervus kranialis
iv. Pemeriksaan motoik, sensorik, dan otonom

Penggunaan sistem skor dapat bermanfat bila tidak terdapat fasilitas pencitraan
otak . sistem penskoran yang dapat digunakan salah satunya adalah algoritma skor
stroke Siriraj.

12
Sistem penskoran:
(2,5 x kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan diastolik–
(3 x atheroma) – 12
Interpretasi:
Skor <1 = stroke iskemik
Skor >1 = stroke hemoragik
Skor 0 = meragukan

c) Pemeriksaan penunjang
i. CT-scan

13
Pencitraan otak menggukana CT- scan merupakan baku emas diagnosis
stroke hemoragik karena kemudahannya untuk menilai ekstravasasi darah
dan membantu melihat pola perdarahan dan memperkiraan lokasi
aneurisma.
ii. MRI
MRI baik untuk mengindikasikan tetapi tidak baik untuk
mengeksklusikan. Pada 24 jam pertama, darah dapat diidentifikasi dengan
adanya hiperintensitas T2WI dan bahkan lebih baik pada sekuens T2GW
dengan gambaran hipointensitas. Sekuens lain yang dapat digunakan
adalah T1WI yang memberikan gambaran hiperintens yang dapat menetap
hingga 2 minggu. MRI tidak membantuk mementukan lokasi aneurisma,
walaupun dapat menunjang dugaan PSA sudah terjadi. Kekurangan
lainnya yaitu tidak semua sekuend sensitif terhadap darah dan tidak semua
rumah sakit memiliki MRI.
iii. Lumbal pungsi
Pada pasien dengan onset PSA 2 minggu, pemeriksaan lumbal pungsi lebih
sensitif daripada MRI untuk mendeteksi adanya PSA. Pungsi lumbal dapat
dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis pada pasien dengan klinis PSA
namun tidak ditemukan perdarahan pada CT Scan. Untuk membedakan
apakah darah tpada lumbal pungsi akibat PSA atau trauma akibat jarum
pungsi, maka CSS dikumpulkan dalam 3 tabung lalu lihat apakah semua
tabung berwarna merah. Apabila semua tabung menetap berwarna meah
dapat di diagnosis PSA.

14
iv. CT Angiografi

Angiografi tidak hanya diperlukan untuk mengidentifikasi ruptur


aneurisma ataupun aneurisma yang belum ruptur, tetapi juga memberikan
konfigurasi anatomi untuk membantu memilih tatalaksana yang sesuai.
Sensitifitasnya mencapai 97% pada arteri cerebri media. Pemeriksaannya
leboh cepat dan dilakukan setelah CT Scan. Namun, CT angiografi tidak
dapat mendeteksi aneurisma yang kecil dengan diameter 2-3 mm. Untuk
mendeteksi adanya aneurima asimtomatik, diperlukan kontras berupa
iodin yang berisiko alergi.
v. MR Angiografi
Sensitivitas MRA sekitar 75% namun pada aneurisma yang kecil
sensitivitasnya menurun hingga 38%. Keuntungan pemeriksaan ini adalah
untuk follow up pasien pasca coiling dan dapat digunakan untuk pasien
dengan aneurisma asimtomatik yang dapat dideteksi dengan tanpa kontras.
vi. Digital Subtraction Angiography (DSA)
Ada pendapat bahwa untuk mendiagnosis yang tepat, DSA wajib
dilakukan pada semua kasus PSA diawal waktu apalagi jika pasien
direncanakan untuk coiling atau clipping dalam 3 hari pertama onset PSA.
Namun risiko DSA ialah meningkatkan komplikasi transien atau permanen
mencapai 1,8% dan meningkatkan ruptur aneurisma pada saat prosedur 1-
2% dan 6 jam pasca prosedur meningkat hingga 5%. DSA dilakukan jika
ada penyebab lain PSA, seperti diseksi pembuluh darah yang gagal
diidentifikasi dengan CT Angiografi dan MRA.
vii. EKG

15
viii. Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, hemostasis, gula
darah, urinalsis, analisis gas darah, dan elektrolit)
ix. Foto thorax untuk melihat ada tidaknya kardiomegali

2.7 DIAGNOSIS BANDING


Gangguan vaskular:
a. Hematoma subdural atau epidural
b. Ensefalopati akibat hipertensi
c. Migrain dengan komplikasi
d. Emboli arteri pada ekstremitas
e. Emboli udara

Lesi struktural:
a. Abses, neoplasma
b. Sklerosis multipel

Proses metabolik:
a. Hipoglikemia, hiperglikemia nonketotik hiperosmolar

Proses infeksi:
a. Ensefalitis, meningitis

Gangguan saraf perifer:


a. Bell”s palsy
b. Vertigo perifer

Lainnya:
a. Glaukoma akut sudut tertutup
b. Kejang dengan paralisis posiktal (Todd)

2.8 TATALAKSANA
Stadium hiperakut

Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan
tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak
tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan

16
kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan
pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan
jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk
elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat
Darurat adalah memberikan dukungan mental kepada pasien serta memberikan
penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang.

Stadium Akut

Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik maupun


penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta
telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada
keluarga pasien perlu, menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta
tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga.

Terapi umum untuk stroke hemoragik

Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL,
perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung
memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-
20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan
volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera
diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg
(pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam;
kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial
meningkat, posisi kepala dinaikkan 30⸰, posisi kepala dan dada di satu bidang,
pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35
mmHg).
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai
didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi
dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih
penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten). Pemberian nutrisi dengan
cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan,
hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral
hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran
menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik. Kadar gula darah >150 mg% harus

17
dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena
kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80
mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal
dan harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan
pemberian obat-obatan sesuai gejala. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90
mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500
mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika
belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin
2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg. Jika kejang, diberi
diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama 3 menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan
pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah
2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang. Jika didapatkan tekanan
intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30
menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,
dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan
pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan
hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.

Terapi khusus stroke hemoragik


Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan
bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya
kian memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut
akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan
perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan
ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium
(nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife)
jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous
malformation, AVM).

Stadium subakut
Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya, penatalaksanaan
komplikasi, restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi; terapi
wicara; terapi kognitif; dan terapi okupasi, prevensi sekunder, dan edukasi keluarga
serta Discharge Planning.

18
2.9 PENCEGAHAN
Risiko terkena stroke hemoragik bisa dicegah dengan cara menghindari faktor-
faktor yang dapat memicunya. Misalnya apabila memiliki penyakit darah tinggi atau
hipertensi, maka tangani dengan menggunakan obat-obatan yang diresepkan oleh
dokter dan menjalani gaya hidup sehat yang dianjurkan (mengonsumsi makanan sehat,
rutin berolahraga, tidak merokok, dan menghindari narkoba).

Selain itu, karena stroke hemoragik juga bisa disebabkan oleh cedera di kepala,
maka berhati-hatilah saat melakukan berbagai aktivitas, baik di dalam maupun di luar
rumah. Misalnya ketika mengendarai sepeda motor, selalu gunakan helm dengan
standar yang dianjurkan (SNI) dan selalu taati peraturan berlalu lintas. Begitu pula jika
mengendarai mobil, selalu gunakan sabuk pengaman dan berhati-hati dalam
berkendara.

Terkait dengan risiko stroke hemoragik bagi pengguna obat warfarin, selalu taati
dosis yang telah ditetapkan oleh dokter. Jangan coba-coba menggunakan warfarin di
luar resep dokter.

2.10 PROGNOSIS
Beberapa skala atau skor telah diuji untuk memprediksi angka mortalitas pasien
stroke PIS, di antaranya adalah skor intracerebral hemorrhages (ICH score) yang
disusun oleh Hemphill JC, dkk. (2001). Skor tersebut kemudian dimodifikasi oleh José
L. RuizSandoval, dkk. (2007) menjadi Intracerebral Hemorrhages – Grading Scale
(ICH-GS). Pengukuran skor ICH-GS dilakukan terhadap pasien stroke PIS saat masuk
ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). Skor ICH-GS akan memberikan prediksi angka

19
mortalitas pasien stroke PIS. Dengan demikian, skor ICH-GS diharapkan dapat menjadi
salah satu pertimbangan bagi tenaga medis dalam menentukan terapi yang lebih sesuai,
serta dapat membantu pasien dan/atau keluarga pasien dalam pilihan terapi operatif atau
non-operatif. Makin tinggi skor ICH-GS, makin tinggi angka mortalitasnya.

20
BAB III
KESIMPULAN

Stroke merupakan penyakit kegawatdaruratan neurologi yang bersifat akut dan tiba-
tiba yang merupakan salah satu penyebab kecacatan dan kematian pada usia dewasa tertinggi
di beberapa negara di dunia.

Stroke hemoragik merupakan salah satu jenis patologi stroke akibat pecahnya
pembuluh darah arteri intraserebral (PIS) ataupun pembuluh darah arteri yang ada diruang
subarakhnoid (PSA) karena ruptur aneurisma; perdarahan perimesensefalik nonaneurisma; dan
diseksi arteri intrakranial secara spontan yang menimbulkan gejala neurologis yang terjadi
secara tiba-tiba. Faktor-faktor penting yang dapat meningkatkan angka kejadian stroke
hemoragik, yaitu genetik, jenis kelamin, kelainan kongengital pembuluh darah otak (arterivena
malformation) dan kelainan protein matriks ekstraseluler arteri intrakranial (Penyakit Ehlers-
Danlos tipe IV), hipertensi kronik, merokok, dan trauma.

Manifestasi klinis yang membedakan stroke hemoragik dengan stroke iskemik ialah
penurunan kesadaran dan muntah proyektil tiba-tiba karena peningkatan tekanan intrakranial.
CT Scan kepala merupakan baku emas untuk mendiagnosis stroke hemoragik. Tujuan
penatalaksanaan komprehensif pada kasus stroke akut adalah: (1) meminimalkan jumlah sel
yang rusak melalui perbaikan jaringan penumbra dan mencegah perdarahan lebih lanjut pada
perdarahan intraserebral, (2) mencegah secara dini komplikasi neurologik maupun medik, dan
(3) mempercepat perbaikan fungsi neurologis secara keseluruhan. Jika secara keseluruhan
dapat berhasil baik, prognosis pasien diharapkan akan lebih baik. Pengenalan tanda dan gejala
dini stroke dan upaya rujukan ke rumah sakit harus segera dilakukan karena keberhasilan terapi
stroke sangat ditentukan oleh kecepatan tindakan pada stadium akut; makin lama upaya rujukan
ke rumah sakit atau makin panjang saat antara serangan dengan pemberian terapi, makin buruk
prognosisnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/stroke/symptoms-causes/syc-20350113
diakses pada 24-4-18 01.25

http://www.stroke.org/understand-stroke/what-stroke diakses pada 24-4-18 01.00

Arifputera, Tanto, Anindhita. (2014). Stroke dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-4 jilid
II hal.975-981. Media Aesculapius FKUI, Jakarta

Henderson. (2016). Kedaruratan Serebrovaskular dalam Kedokteran Emergensi: Vademecum


hal. 121-131. EGC, Jakarta

Hidayat, et al. (2017). PERDARAHAN SUBARAKHNOID dalam Buku Ajar Neurologi


Departemen Neurologi FKUI RSCM Buku 2 hal.527-544. Penerbit Kedokteran
Indonesia, Tangerang

Mesiano, et al. (2017). STROKE HEMORAGIK dalam Buku Ajar Neurologi Departemen
Neurologi FKUI RSCM Buku 2 hal.514-526. Penerbit Kedokteran Indonesia, Tangerang

S, Pandhita., Samino, Bustami. (2017). Skor ICH-GS untuk Prediksi Prognosis Pasien Stroke
Perdarahan Intraserebral di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi. CDK-259 44 (12):
847-850

Setyopranoto. (2011). Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185 38(4): 247-250

22

Anda mungkin juga menyukai