Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MASALAH STROKE

OLEH

1.Fransiska Deasy Anggraini Minggu

2.

3.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG

JURUSAN KEPERAWATAN PRODI PPN

TAHUN 2022
Kata Pengantar

Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berbagai kemudahan,
petunjuk serta karunia yang tidak terhingga sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MASALAH STROKE”

Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah 3 guna untuk menambah ilmu Keperawatan pada Program Studi Sarjana Terapan
Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang.

Namun kami menyadari sungguh bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempuran. Oleh karena
itu. kritik dan saran yang membangun kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Kupang, Agustus 14

Penulis
Daftar Isi

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………1

1.2 Tujuan…………………………………………………………………………….2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian…………………………………………………………………………3

2.2 Jenis-jenis…………………………………………………………………………4

2.3 Etiologi……………………………………………………………………………4

2.4 Tanda dan gejala…………………………………………………………………..5

2.5 Pemeriksaan diagnostic…………………………………………………………..6

2.6 Penatalaksanaan…………………………………………………………………..7

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN

BAB 4 PENUTUP

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………….21

3.2 Saran………………………………………………………………………………22

Daftar Pustaka
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut World Health Organization (WHO) stroke merupakan gejala yang didefinisikan
suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik
baik lokal maupun global yang berlangsung 24 jam atau lebih (Nasution, 2013). Stroke
merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficit
neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak. Stroke adalah sindrom yang terdiri dari
tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang
berkembang cepat (dalam detik atau menit). Gejala-gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam
atau menyebabkan kematian, selain menyebabkan kematian stroke juga akan mengakibatkan
dampak untuk kehidupan. Dampak stroke diantaranya, ingatan jadi terganggu dan terjadi
penurunan daya ingat, menurunkan kualitas hidup penderita juga kehidupan keluarga dan
orang-orang di sekelilingnya, mengalami penurunan kualitas hidup yang lebih drastis,
kecacatan fisik maupun mental pada usia produktif dan usia lanjut dan kematian dalam waktu
singkat (Junaidi, 2011).
Stroke menjadi penyebab kematian terbanyak ketiga di dunia. Di Rumah sakit, penyakit
stroke merupakan penyebab kematian kedua di dunia setelah penyakit jantung koroner.
Kasus stroke di seluruh dunia diperkirakan mencapai 50 juta jiwa dan 9 juta diantaranya
mengalami kecacatan yang berat. Stroke juga menjadi penyebab utama terjadinya kecacatan
dalam jangka panjang dan berisiko mengalami gangguan kognitif yang lebih tinggi
dibandingkan orang yang tidak terkena stroke. Pada tahun 2010 tercatat sebanyak 102 juta
kecacatan akibat penyakit stroke. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 12%
dibandingkan dua dekade sebelumya pada tahun 1990.
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Pada
tahun 2007, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan data per 1000 penduduk
menderita stroke. Sedangkan pada tahun 2013, terjadi peningkatan yaitu sebesar 12,1%.
Stroke juga menjadi penyebab kematian utama di hampir semua rumah sakit di Indonesia,
yakni sebesar 14,5%. Jumlah penderita stroke di Indonesia menurut diagnosis tenaga
kesehatan (Nakes) pada tahun 2013, diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang dari seluruh
penderita stroke yang terdata, sebanyak 80% merupakan jenis stroke iskemik
(Wicaksana,eatall, 2017).
Berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan maupun diagnosis/gejala, Provinsi Jawa Barat
memiliki estimasi jumlah penderita terbanyak yaitu sebanyak 238.001 orang (7,4%) dan
533.895 orang (16,6%), sedangkan Provinsi Papua Barat memiliki jumlah penderita paling
sedikit yaitu sebanyak 2.007 orang (3,6%) dan 2.955 orang (5,3%) (Riskesdas, 2013;
Pusdatin, 2014). Prevalensi kejadian stroke di Provinsi NTT menempati urutan ke 28 dengan
presentasi 27,72% .

1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswa/I mampu memahami konsep penyakit stroke hemoragik
b. Tujuan Khusus
 Mampu menjelaskan pengertian stroke hemoragik
 Mampu menjelaskan jenis-jenis stroke hemoragik
 Mampu menjelaskan etiologi stroke hemoragik
 Mampu menjelaskan tanda dan gejala stroke hemoragik
 Mampu menjelaskan penatalaksanaan stroke hemoragik
 Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah stroke
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Stroke Hemoragik


Otak merupakan organ dalam tubuh manusia yang paling kompleks yang terdiri dari sel-
sel saraf (nerve cell) yang bertanggung jawab untuk semua sinyal dan sensasi yang dibuat
oleh tubuh manusia dapat berpikir, bergerak, dan menimbulkan reaksi dari suatu kejadian
atau keadaan. Otak merupkan organ yang membutuhkan suplai oksigen dan nutrisi secara
terus-menerus karena otak tidak dapat menyimpan energi. Suplai oksigen dan nutrisi tersebut
didapatkan dari darah yang dialirkan dari jantung melalui arteri yang ada pada tubuh manusia
dibawah menuju ke otak.
Stroke merupakan penyakit neurologis utama yang terjadi pada usia dewasa hingga usia
lanjut, yang berdasarkan tinggi angka kegawatdaruratannya, penyebab utama kecacatan dan
kematian. Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis yang disebabkan karena peredaran
atau sumbatan dengan gejala dan tanda yang sesuai pada bagian otak yang terkena, yang
dapat menimbulkan cacat bahkan kematian.
Stroke hemoragik terjadi akibat pembuluh darah yang menuju ke otak mengalamai
kebocoran (perdarahan). Kebocoran itu diawali karena adanya tekanan yang tiba-tiba
meningkat ke otak sehingga pembuluh darah yang tersumbat itu tidak lagi dapat menahan
tekanan, akhirnya pecah dan menyebabkan perdarahan. Perdarahan umumnya terjadi pada
batang otak (Brain stren), selaput otak (korteks), dan serebelum. Kebocoran tersebut
menyebabkan darah tidak dapat mencapai sasarannya, yaitu sel otak yang membutuhkan
suplai darah. Jika darah terhenti, dapat dipastikan suplai oksigen dan nutrisi yang diperlukan
otak akan terhenti pula dan akhirnya sel otak mengalami kematian.
Ada sejumlah faktor yang memicu terjadinya stroke hemoragik. Salah satu penyebabnya
adalah penyumbatan pada dinding pembuluh darah yang rapuh (Aneurisme), mudah
menggelembung dan rawan pecah terutama pada kelompok berusia lanjut. Kondisi pembuluh
darah yang lemah tidak kuasa menahan tekanan, akibatnya darah yang mengalir di dalamnya
tersembur keluar. Hipertensi adalah faktor resiko terkuat yang menyebabkan terjadinya
perdarahn otak. Selain itu, trauma fisik yang terjadi di kepala atau leher serta tumor di
kepala juga dapat mendorong perdarahan otak.

2.2 Jenis-jenis Stroke Hemoragik


Jika stroke hemoragik dibedakan berdasarkan lokasi pengumpulan darah stroke
hemoragik dibedakan menjadi :
a. Stroke hemoragik intraserebral
Perdarahan yang terjadi di dalam otak, biasanya pada ganglia, batang otak, otak kecil,
dan otak besar. Ini dapat menimbulkan dampak paling fatal. Sebagian besar pasien
yang mendapat serangan stroke jenis ini tidak dapar tertolong jiwanya karena
mengatasinya memerlukan tindakan operasi yang harus dilakukan sesegara mungkin.
Operasi adalah tindakan penyelamatan yang paling memungkinkan untuk segera
menghentikan perdarahan. Sayangnya tindakan ini beresiko besar. Tingkat
keberhasilannya relatif rendah terutama jika luasan otak yang mengalami perdarahan
sudah parah. Jika pasien bisa diselamatkan, sebagian besar dari mereka umumnya
mengalami kelumpuhan.
b. Stroke hemoragik subaraknoid
Ditandai dengan perdarahan yang terjadi di luar otak, yaitu di pembuluh darah yang
berada di bawah otak atau di selaput otak. Perdarahan tersebut menekan otak
sehingga suplai darah ke otak akan terhenti. Ketika darah yang berasal dari pembuluh
darah yang bocor bercampur dengan cairan yang ada di batang dan selaput otak, maka
darah tersebut akan menghalangi aliran cairan otak sehingga menimbulkan tekanan.
Insiden stroke hemoragik subarakanoid yang paling serius terjadi pada penderita
hidrosafalus. Pada saat yang bersamaan, pembuluh darah otak akan terhimpit
sehingga suplai oksigen dengan sendirinya terputus. Kondisi tersebut mendorong
terjadinya dua jenis stroke sekaligus, yaitu stroke hemoragik dan iskemik.
Meskipun jarang terjadi, stroke hemroragik subaraknoid juga dapat disebabkan tumor
kepala (cavernous angioma). Desakan terjadi akibat perkembangan tumor
menyebabkan pembuluh darah pecah sehingga suplai darah ke otak tidak dapat
mencukupi kebutuhan otak. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka tekanan yang
ditimbulkan oleh tumor menyebabkan dinding pembuluh darah terjepit dan tiba
saatnya terjadilah perdarahan otak.

2.3 Etiologi Stroke Hemoragik


Terjadinya penyakit stroke hemoragik dapat melalui beberapa mekanisme. Stroke
hemoragik yang berkaitan dengan penyakit hipertensi terjadi pada stroke bagian otak dalam
yang diperdarahi oleh penetrating artery seperti pada area ganglia basalis (50%), lobus
serebral (10% hingga 20%), talamus (15%) pons dan batang otak (10% hingga 20%, dan
serebelum (10%), stroke lobaris yang terjadi pada pasien lanjut dikaitkan dengan cerebral
amyloid angipathy.
Selain diakibatkan oleh hipertensi, stroke hemoragik juga bisa diakibatkan oleh tumor
intrakarial, penyakit moyamoya, gangguan pembekuan darah, leukimia, serta dipengaruhi
juga oleh usia, jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetik.
Pada umumnya stroke hemoragik terjadi pada usia lanjut, dikarenakan penyumbatan
terjadi pada dinding pembuluh darah yang sudah rapuh (aneurisma), pembuluh darah yang
rapuh disebabkan oleh faktor usia (degeneratif), tetapi juga disebabkan oleh faktor keturunan
(genetik).

2.4 Tanda dan gejala


Gejala klinis atau keluhan yang biasanya muncul terdiri dari defisit neurologi fokal
dengan onset mendadak. Penurunan tingkat kesadaran, muntah, sakit kepala, kejang dan
tekanan darah tinggi mungkin menunjukan adanya stroke hemoragik. Sakit kepala
merupakan gejala awal yang paling sering dialami pasien seiring dengan perluasan hematom
yang menyebabkan peningakatn TIK dan efek desak ruang pada otak. Gejala lain dapat
muncul berupa kaku kuduk yang terjadi akibat perdarahan di talamus, kaudatus, dan
sereblum.
Penilaian klinis yang dilakukan dengan pengukuran tanda vital, tingkat kesadaran, dan
pemeriksaan fisik umum neurologis harus dilakukan pada semua pasien stroke hemoragik.
Pada pasien stroke hemoragik keadaan umum pasien dapat lebih buruk dibandingkan dengan
stroke iskemik. Pada pemeriksaan fisik juga dapat dilakukan pemeriksaan kepala, telinga,
hidung dan teggorokan (THT), serta mencari edema tungkai yang disebabkan trombosis
vena.

2.5 Pemeriksan dianostik


Pada pemeriksaan neurologis dilakukan pemeriksaan refleks batang otak, pemeriksan
nervus kanalis, serta pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis. Pemeriksaan neurologis
dilakukan dengan membandingkan sisi kanan dan kiri, serta isi atas dan bawah untuk
menentukan lokasi lesi.
Pemeriksaan penujang stroke hemoragik biasanya menggunakan Computerized
Tomography (CT). perdarahan meningkat dalam atenuasi dari 30-60 unit Hounsfiled (HU)
pada fase hiperakut menjadi 80-100 HU selama beberapa jam. Atenuasi dapat menurun pada
anemia dan koagulopati. Edema vasogenik di sekitar hematoma dapat meningkat hingga
mecapai 2 minggu.
Pencitraan Gradient Echo (GRE) sama baiknya dengan CT dalam mendeteksi peradarhan
akut. MRI dapat membedakan antara transformasi hemoragik infark dan perdarahan primer,
dan dapat mendeteksi penyebab yang mendasari perdarahan sekunder, seperti malformasi
vaskular, termasuk kevernoma, tumor dan trombosis vena serebral.
Extravasasi dari Contrast In CT Angiogram (CTA) menunjukan perdarahan yang sedang
berlangsung dan berhubungan dengan kematian akibat stroke hemoragik. Multidector CT
Angiography (MDCTA) sangat membantu untuk menyingkirkan penyebab stroke hemoragik
sekunder seperti Malformasi Arteriovenosa (AVM), aneurisma pecah, vaskulitis dan
penyakit moyamoya.
Noncontrast computerized tomography (NCCT), teknik ini memiliki sesivitas yang
sangat baik dan membutuhkan waktu yang singkat untuk mengidentifikasi ICH sehingga
dianggap sebagai standar emas dalam mendiagnosis ICH. Selain untuk mendiangnosis
ICH,NCCT dapat memberikan elemen yang berguna seperti lokasi ICH, Ekestensi
intraventrikular, hidrosevalus, derajat edema dan kompresi batang otak sekunder akibat efek
massa dari hematom.
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal yang dilakukan bertujuan untuk mengoptimalkan metabolisme otak
saat keadaan patologis, dengan melakukan stabilisasi jalan dan saluran napas pada pasien
untuk menghindari hipoksia. Selain itu, perlu dipastikan juga kemampuan menelan pada
pasien. Apabila terjadi gangguan menelan pada pasien dengan keadaan tidak sadarkan diri,
perlu dilakukan pemasangan pipa nasogastrik untuk mencegah adanya aspirasi pada saat
pemberian makanan.
Peningkatan tekanan darah adalah faktor resiko paling umum untuk ICH. Sehingga
kontrol tekanan darah yang agresif sangat diperlukan sebagai tindakan untuk mencegah
perluasan perdarahan dan menjadi fokus utama manajemen awal ICH. Kontrol tekanan darah
yang tepat diperlukan tanpa meninduksi hipotensi, sehingga agen titrasi kerja cepat seperti
nicardipine digunakan dalam manajemen awal. Pada fase akut, sebaliknya menghindari obat
antihipertensi yang meningkatkan tekanan intrkranial, terutama hydralazine, nitroprussie, dan
nitrogliserin. Pengobatan antihiertensi akut untuk pasien dengan ICH bermanfaat dan aman
dengan kisaran target tekanan darah sistolik optimal antara 120 dan 160 mmHg.
Perawatan awal untuk pasien yang mengalami peningkatan TIK adalah meninggika
kepala tempat tidur hingga 30 derajat dan pemberian osmotik seprti manitol, salin hipertonik.
Manitol 20% diberikan dengan dosis 1,0 hingga 1,5 g/kg. hiperventilasi setelah intubasi dan
sedasi, hingga pCO 28-32 mmHg akan diperlukan jika terjadi peningkatan TIK lanjut.
Penatalaksanaan bedah untuk bedah stroke hemoragik adalah kraniotomi, kraniektomi
dekompresi, aspirasi kateter. Beberapa percobaan yang dilakukan menunjukan bahwa tidak
didapatkan manfaat secara keseluruhan dari operasi dini untuk perdarahan intraserebral bila
dibandingkan dengan pengobatan konservtatif awal.
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan mengontrol tekanan darah,
menghentikan kebiasaan merokok, alkoholisme dan penggunaan kokain karena hal tersebut
dapat memicu resiko perdarahan intraserebral berulang.
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian pada stroke meliputi:
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomnikasi
dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau
gangguan fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan
di dalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsive, dan koma.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit
jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan
obat-obat antikoagulan, aspirin vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian
obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat
merokok, penggunaan alcohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian
riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk menkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes mellitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu
6. Pengkajian psikospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien jugan penting untuk menilai respon emosi terhadap penyakit
yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu
timbul seperti ketakutan kana kecacatan, resa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra tubuh).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk
berkomunikasi akibat ganggua bicara. Pola persepsi dan konsep diri menunjukkan
klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak
kooperatif. Dalam pola penanganan stress, klien biasanya mengalami kesulitan
untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan dalam
berkomunikasi. Dalam pola tata nilai dan kepercayaan, klien biasanya jarang
melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang tidak stabil dan
kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
7. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Umunya mengalami penurunan kesadaran, kadang mengalami gangguan
bicara yaitu sulit dimengerti, kadang tidak bisa bicara dan ada tanda-tanda
vital; tekanan darah meningkat, dan denyut nadi bervariasi.
Tanda-tanda vital:
 Tekanan darah: pasien stroke hemoragik memiliki riwayat tekanan
darah dengan systole >140 mmHg dan diastole>80mmHg.
 Nadi: denyut nadi bervariasi.
 Pernapasan: pasien stroke mengalami napas cepat dan terdapat
gangguan pada bersihan jalan napas.
 Suhu tubuh: tidak ada masalah suhu pada pasien dengan stroke
hemoragik.
2) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien
dengan peningkatan produksi secret dan kemampuan batuk yang menurun
sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran
koma.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian inspeksi
pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi thoraks taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas
tambahan.
3) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah
biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi massif (tekanan
darah >200mmHg).
4) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai deficit neurologis, bergantung pada lokasi
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya
tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi
otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
a. Pengkajian tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran klien parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian.
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indicator paling sensitive untuk disfungsi sistem persarafan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien
sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
pemantauan pemberian asuhan.
b. Pengkajian fungsi serebral
Pengkajian ini meliputi:
 Status mental. Observasi penampilan, tingkah laku, nilai
gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
 Fungsi intelektual. Didapatkan penurunan dalm ingatan dan
memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada
beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu
kesulitan untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang
tidak begitu nyata.
 Kemampuan bahasa. Penurunan kemampuan bahasa
tergantung daerah lesi yang mempengaruhi fungsi dari
serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada
bagian posterior dari girus temporalis superior (area
Wernicke) didapatkan dispasia reseptif, yaitu klien yang
tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis.
Sedangkan lesi pada poaterior dari girus frontalis inferior
(area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien
dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat
dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara),
ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang
disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan
untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya),
seperti terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha
untuk menyisir rambutnya.
 Lobus frontal. Kerusakan fungsi kognitif dan efek
psikologis didapatkan jika kerusakan telah terjadi pada
lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual
kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini
dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas,
kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi,
yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi
dalam program rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi
dan mungkin diperberat oleh respon alamiah klien terhadap
penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis lain juga
umum terjadi dan dimanfestasikan oleh emosi yang labil,
bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.
c. Pengkajian saraf kranial
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-XII.
 Saraf I (Olfaktorius). biasanya pada klien stroke tidak ada
kelainan pada fungsi penciuman.
 Saraf II (Optikus). Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensori primer diantar mata dan korteks
visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin
tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian
tubuh.
 Saraf III (Okulomotoris), IV (Troklearis), VI (Abdusen).
pemeriksaan ini diperiksa secara bersamaan, karena saraf
ini bekerja sama daam mengatur otot-otot ekstraokular. Jika
akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada satu sisi otot-
otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan
konjugat unilateral disisi yang sakit.
 Saraf V (Trigeminus). pada beberapa keadaan stroke
menyebabkan paralisis saraf trigeminus, penurunan
kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta
kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan
eksternus.
 Saraf VII (Fasialis). Persepsi pengecapan dalam batas
normal, wajah asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian
sisi yang sehat.
 Saraf VIII (Vestibulokoklearis/Akustikus). Tidak
ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
 Saraf IX (Glosofaringeus) dan X (Vagus). Secara anatomi
dan fisiologi berhubungan erat karena glosofaringeus
mempunyai bagian sensori yang mengantarkan bagia
pengecapan, mempersyarafi sinus karotikus dan korpus
karotikus, dan mengatur sensasi faring. Bagian dari faring
dipersyarafi oleh saraf vagus. Biasanya pada klien stroke
mengalami penurunan kemampuan menelan dan kesulitan
membuka mulut.
 Saraf XI (Aksesoris). Tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
 Saraf XII (Hipoglosus). Lidah simetris, terdapat deviasi
pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra pengecapan
normal.
d. Pengkajian sistem motoric. Stroke adalah penyakit saraf motoric
atas (UMN) dan mengakibatkan kehilangan control volunteer
terhadap gerakan motoric. Oleh karena UMN bersilangan,
gangguan control motor volunteer pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi yang berlawanan dari
otak.
 Inspeksi umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh adalah
tanda yang lain.
 Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
 Tonus otot. Didapatkan meningkat.
 Kekuatan otot. Pada penilaian dengan menggunakan
tingkat kekuatan otot pada sisi sakit didapatkan tingkat 0.
 Keseimbangan dan koordinasi. Didapatkan mengalami
gangguan karena hemiperase dan hemiplegia.
e. Pengkajian reflex
 Pemeriksaan reflex profunda. Pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat reflex pada respon
normal.
 Pemeriksaan reflex patologis. Pada fase akut reflex
fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari reflex fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan reflex patologis.
f. Pengkajian sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terdapat
ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi
persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara
mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial sering
terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak
dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan
untuk mrncocokkan pakaian ke bagian tubuh.
Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan
ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi
(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh)
serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil,
dan auditorius.
5) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urin sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan
control motoric dan postural. Kadang control sfingter urin eksternal hilang
atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten
dengan teknik steril. Inkontinensia urin yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas.
6) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual
muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan
produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan
nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan
peristaltic usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas.
7) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan control
volunteer terhadap gerakan motoric. Oleh karena neuron motor atas
menyilang, gangguan control motor volunteer pada salah satu sisi tubuh
dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Disfungsi motoric paling umum adalah hemiplegia
(paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain.
Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu dikaji
tanda-tanda decubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien
stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensoria tau paralise/hemiplegi,
serta mudah lelah menyababkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
8. Pemeriksaan diagnostic
a) Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya rupture dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vascular.
b) Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada
intracranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses
inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang massif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna
likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
c) CT Scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya
secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal,
kadang pemadatan terlihat di ventrikel atau menyebar ke permukaan otak.
d) MRI
MRI (Magneting Imaging Resonance) menggunakan gelombang magnetic
untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi da infark
akibat dari hemoragik.
e) USG Dopler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis)
f) EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak
dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam
jaringan otak.
9. Pemeriksaan laboratorium
 Lumbal pungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang massif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna
likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.
 Pemeriksaan darah rutin.
 Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia.
Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian
berangsur-angsur turun kembali.
 Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri.
B. Diagnose Keperawatan
1) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular
(D.0054)
2) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan
napas.(D.0001)
3) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan
(D.0005)
4) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (D.0077)
5) Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
(D.0019)
6) Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan saraf kranialis
(D.0063)
7) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan
neuromuscular. (D.0119)
C. Intervensi
No SDKI SLKI SIKI
1. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan SIKI: dukungan mobilisasi
fisik berhubungan keperawatan Dalam jangka (I.05173)
dengan gangguan waktu 3x24 jam pasien akan Observasi:
neuromuscular meningkatkan mobilitas fisik  Identifikasi adanya nyeri
(D.0054) dengan kriteria hasil: atau keluhan fisik lainnya.
Luaran utama: mobilits fisik  Identifikasi toleransi fisik
(L.05042) melakukan pergerakan.
 Pergerakan  Monitor frekuensi jantung
ekstremitas dan tekanan darah
meningkat. sebelum memulai
 Kekuatan otot mobilisasi
meningkat. Terapeutik:
 Rentang gerak (ROM)  Fasilitasi aktivitas
meningkat. mobilisasi dengan alat
 Nyeri menurun bantu.
 Kelemahan fisik  Fasilitasi melakukan
menurun. pergerakan, jika perlu.
Edukasi:
 Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi.
 Anjurkan melakukan
moblisasi dini
2. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan SIKI: Manajemen jalan napas
tidak efektif keperawatan Dalam jangka (I.01011)
berhubungan waktu 1x24 jam pasien akan Observasi:
dengan spasme jalan mempertahankan bersihan  Monitor pola napas
napas.(D.0001) jalan napas, dengan kriteria (frekuensi, kedalaman,
hasil: usaha napas).
Luaran utama: bersihan jalan  Monitor bunyi napas
napas (L.01001) tambahan.
 Batuk efektif  Monitor sputum (jumlah,
meningkat warna, aroma).
 Produksi sputum Terapeutik:
menurun  Pertahankan kepatenan
 Frekuensi napas jalan napas dengan head-
membaik tilt dan chin-lift (jaw
 Pola napas membaik. thrust jika curiga trauma
servikal.
 Minum air hangat
 Lakukan penghisapan
lendir kurng dari 15 detik.
 Berikan oksigen, jika
perlu.
Edukasi:
 Ajarkan teknik batuk
efektif.
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik
juga perlu.
3. Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan SIKI: Manajemen jalan napas
efektif berhubungan keperawatan Dalam jangka (I.01011)
dengan depresi waktu 1x24 jam pasien akan Observasi:
pusat pernapasan mempertahankan pola napas  Monitor pola napas
(D.0005) yang efektif dengan kroteria (frekuensi, kedalaman,
hasil: usaha napas).
Luaran utama: polas napas  Monitor bunyi napas
(L.01004) tambahan.
 Ventilasi semenit  Monitor sputum (jumlah,
meningkat warna, aroma).
 Kapasitas vital Terapeutik:
meningkat  Pertahankan kepatenan
 Frekuensi napas jalan napas dengan head-
membaik tilt dan chin-lift (jaw
 Kedalaman napas thrust jika curiga trauma
membaik. servikal.
 Minum air hangat
 Lakukan penghisapan
lendir kurng dari 15 detik.
 Berikan oksigen, jika
perlu.
Edukasi:
 Ajarkan teknik batuk
efektif.
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik
juga perlu.
4. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan SIKI: Manajemen nyeri (I.08238)
berhubungan keperawatan Dalam jangka Observasi:
dengan agen waktu 3x24 jam pasien akan  Identifikasi lokasi,
pencedera fisiologis terbebas dari rasa nyeri karakteristik, durasi,
(D.0077) dengan kriteria hasil: frekuensi, kualitas,
Luaran utama:tingkat nyeri intensitas nyeri.
(L.08066)  Identifikasi skala nyeri.
 Kemampuan  Identifikasi respon nyeri
menuntaskan aktivitas non verbal.
meningkat  Identifikasi pengetahuan
 Keluhan nyeri dan keyakinan tentang
menurun nyeri.
 Meringis menurun Terapeutik:
 Pola napas membaik  Berikan teknik
 Pola tidur membaik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
 Control lingkungan yang
memperberat rasa
nyeri.fasilitasi istirahat
dan tidur.
Edukasi:
 Jelaskan startegi
meredakan nyeri.
 Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri.
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
5. Defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan SIKI: manajemen nutrisi
berhubungan keperawatan Dalam jangka (I.03119)
dengan waktu 3x24 jam pasien akan Observasi :
ketidakmampuan mempertahankan status  Identifikasi status nutrisi.
mencerna makanan nutrisi, dengan kriteria hasil;  Identifikasi kebutuhan
(D.0019) Luaran utama; status nutrisi kalori dan jenis nutrient.
(L.  Monitor asupan makanan.
 Kekuatan otot  Monitor berat badan.
pengunyah meningkat Terapeutik:
 Kekuatan otot  Lakukan oral hygiene,
menelan meningkat sebelum makan, jika
 Berat badan membaik perlu.
 Frekuensi makan  Sajikan makanan secara
membaik menarik dan suhu yang
 Nafsu makan sesuai.
membaik.  Berikan makanan tinggi
serat, untuk mencegah
konstipasi.
Edukasi:
 Ajarkan diet yang
diprogramkan.
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan.
6. Gangguan menelan Setelah dilakukan tindakan SIKI: pencegahan aspirasi
berhubungan keperawatan dalam jangka (I01018).
dengan gangguan waktu3x24 jam, pasien dapat Observasi:
saraf kranialis menelan dengan kriteria hasil:  Monitor tingkat
(D.0063) Luaran utama: status menelan kesadaran, batuk, muntah,
(L.06053) dan kemampuan menelan.
 Reflek menelan  Monitor status
meningkat pernapasan.
 Kemampuan  Monitor bunyi napas,
mengunyah terutaa setelah
meningkat akan/minum.
 Muntah menurun  Periksa residu gaster
 Penerimaan makanan sebelum memberi asupan
membaik oral.
Terapeutik:
 Posisikan semi fowler 30
menit sebelum memberi
asupan oral.
 Pertahankan kepatenan
jalan napasberikan
makanan dengan ukurang
kecil atau lunak.
Edukasi:
 Ajarkan makan secara
perlahan.
 Ajarkan strategi
mencegah aspirasi.
 Ajarkan teknik
mengunyah atau menelan,
jika perlu.
7. Gangguan Setelah dilakukan tindakan SIKI: promosi komunikasi
komunikasi verbal keperawatan selama 3x24 jam defisist bicara (I.13492)
berhubungan pasien akan meningkatkan Observasi:
dengan gangguan komunikasi verbal dengan  Monitor kecepatan,
neuromuscular. kriteria hasil: tekanan, kuantitas,
(D.0119) Luaran utama: komunikasi volume, dan diksi bicara.
verbal (L.13118)  Monitor proses kognitif,
 Kemampuan berbicara anatomis, dan fisiologis
meningkat yang berkaitan dengan
 Kemampuan bicara.
mendengar meningkat  Monitor frustasi, marah,
 Kesesuaian ekspresi depresi atau hal lain yang
wajah/tubuh mengganggu bicara.
meningkat Terapeutik:
 Pelo menurun  Gunakan metode
 Respon perilaku komunikasi alternative
membaik (misalnya menulis, mata
berkedip, dan lain-lain).
 Sesuaikan gaya
komuikasi dengan
kebutuhan.
Edukasi:
 Anjurkan berbicara
perlahan.
 Ajarkan pasien dan
keluarga proses kognitif,
anatomis, dan fisiologis
yang berhubungan dengan
kemampuan berbicara.
Kolaborasi:
 Rujuk ke ahli patologi
bicara atau terapis.

D. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam proses
penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang
sebelumnya disusun dalam rencana asuhan keperawatan.
E. Evaluasi
Menurut Nursalam, evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis, yaitu:
a) Evaluasi formatif: evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana
evaluasi ini dilakukan sampai dengan tujuan tercapai.
b) Evaluasi somatif: evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini
menggunakan SOAP (subjektif, objektif, analisa dan planning).
BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jika stroke hemoragik dibedakan berdasarkan lokasi pengumpulan darah stroke
hemoragik dibedakan menjadi Stroke hemoragik intraserebral dan Stroke hemoragik
subaraknoid
Terjadinya penyakit stroke hemoragik dapat melalui beberapa mekanisme. Stroke
hemoragik yang berkaitan dengan penyakit hipertensi terjadi pada stroke bagian otak dalam
yang diperdarahi oleh penetrating artery seperti pada area ganglia basalis (50%), lobus
serebral (10% hingga 20%), talamus (15%) pons dan batang otak (10% hingga 20%, dan
serebelum (10%), stroke lobaris yang terjadi pada pasien lanjut dikaitkan dengan cerebral
amyloid angipathy.
Gejala klinis atau keluhan yang biasanya muncul terdiri dari defisit neurologi fokal
dengan onset mendadak. Penurunan tingkat kesadaran, muntah, sakit kepala, kejang dan
tekanan darah tinggi mungkin menunjukan adanya stroke hemoragik. Sakit kepala
merupakan gejala awal yang paling sering dialami pasien seiring dengan perluasan hematom
yang menyebabkan peningakatn TIK dan efek desak ruang pada otak. Gejala lain dapat
muncul berupa kaku kuduk yang terjadi akibat perdarahan di talamus, kaudatus, dan
sereblum

3.2 Saran
Daftar Pustaka

Lanny Lingga, All About Stroke, 2013. Jakarta. Penerbit:PT Elex Media Komputindo

Putry Setiawan, Jurnal Diagnostik Dan Tatalaksana Stroke Hemoragik. Lampung. 2021.
Penerbit:Universitas Lampung

Susana Nurtanti. Jurnal Keperawatan GSH Vol 7. 2018. Sidoarjo. Penerbit:AKPER Giri Satria
Husada

Nursalam. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan edisi:3. 2013. Jakarta Selatan. Penerbit:
Salemba Medika

Arif Muttaqin. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
2008. Jakarta Selatan. Penerbit:Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai