Anda di halaman 1dari 78

Laporan Kasus

Stroke Hemoragic ec Perdarahan Intra Serebral +


Hipertensi Emergensi + Hipokalemia +
Hiperglikemia

Disusun oleh:
dr. Elsa Puspita
dr. Jevanlia Karlina
dr. Nadya Muthia Risky

Konsulen Pembimbing:
dr. Novia Aiko, SpN

Dokter Pendamping:
dr. Haniza Rangkuti
dr. Amelia Santi

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM PETALA BUMI
PEKANBARU
2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
“Stroke Hemoragik”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Program
Internship Dokter Indonesia, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia di Rumah Sakit
Umum Daerah Petala Bumi, Pekanbaru, Riau.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Novia Aiko, SpN
yang telah meluangkan waktunya, membimbing dan memberikan banyak masukan dalam
penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya serta dokter
pendamping, dr. Haniza Rangkuti dan dr. Amelia Santi yang telah membimbing penulis
selama mengikuti program internship ini.
Akhir kata, penulis menyadari banyak kekurangan didalam penyusunan laporan kasus
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna demi penyusunan
laporan kasus ini. Demikian penulis mengucapkan terima kasih.

Pekanbaru, Juni 2020

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak
dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam,
atau dapat menyebabkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak. Stroke
dibagi menjadi dua berdasarkan kelainan patologik, yaitu stroke non hemoragik dan stroke
hemoragik. Berdasarkan onset, stroke dibagi menjadi Transcient ischemic attack (TIA),
Reversible ischemic neurologic deficit (RIND), stroke in evolution (stroke progresif), dan
komplit stroke (completed stroke). Berdasarkan lokasi vaskuler, stroke dibedakan menjadi
1
sistem karotis dan sistem vertebrobasiler.
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbesar di dunia dengan angka kejadian
lebih dari 5,1 juta. Pada tahun 2020 diperkirakan 7,6 juta orang akan meninggal karena
stroke. Selain menyumbangkan angka kematian tinggi akibat stroke, Indonesia juga memiliki
angka beban stroke terbanyak kedua setelah Mongolia yaitu sebanyak 3.382,2/100.000 orang
berdasarkan DALYs (disability-adjusted life-year). Prevalensi stroke di Indonesia pada tahun
2018 sebesar 10,9% dan mengalami kenaikan sebanyak 3,9% dalam lima tahun terakhir.
Prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 11 per 1.000 penduduk. Angka kematian
stroke berdasar umur adalah sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur 55-64
tahun) dan 23,5% (umur >65 tahun). Kejadian stroke (insiden) sebesar 51,6/100.000
penduduk, dan kecacatan; 1,6% tidak berubah, 4,3% semakin memberat. Penderita laki-laki
2
lebih banyak daripada perempuan.
Stroke perdarahan memiliki angka insidensi 10-15% dari kejadian stroke akut,
mempengaruhi sekitar 650.000 pasien per tahun. Stroke perdarahan memiliki tingkat
mortalitas hingga 50% dalam 30 hari dengan setengah dari pasien tersebut meninggal dalam
2 hari pertama. Diantara pasien yang dapat bertahan hidup, hanya satu dari lima pasien yang
3
mampu hidup mandiri dalam 6 bulan.
Secara garis besar faktor resiko stroke dibagi menjadi dua yaitu faktor resiko yang
dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang dapat dimodifikasi
antaranya hipertensi, penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes mellitus, merokok,
mengkonsumsi alkohol, hiperlipidemia, kurang aktifitas. Sedangkan faktor yang tidak dapat
4
dimodifikasi antara lain: usia, jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetik.
Stroke Hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke

jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinal disekitar otak atau kombinasi 3
keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan
struktur otak dan juga oleh karena hematom yang menyebabkan iskemik pada jaringan
sekitarnya. Peningkatan tekanan intrakranial pada akhirnya akan menimbulkan herniasi
jaringan otak dan menekan batang otak. Akibatnya pasien seringkali datang dengan
penurunan kesadaran dan tidak sadar atau tidak tahu telah mengalami stroke akut sehingga
penanganan yang cepat dan tepat dapat menyelamatkan keadaan pasien dari resiko kematian
dan kecacatan. Intervensi penatalaksanaan yang tepat dan benar diperlukan dalam prinsip
pengobatan pasien. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
laporan kasus tentang stroke hemoragik.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Stroke
1.1 Definisi Stroke
Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak
dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam,
1
atau dapat menyebabkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.

1.2 Epidemiologi Stroke


Stroke merupakan penyebab kematian nomor 5 di Amerika Serikat dan merupakan
penyebab utama dari disabilitas jangka panjang. Stroke mengenai sekitar 795.000 orang tiap
tahunnya. Rata-rata setiap 40 detik seseorang terkena stroke, dan setiap 4 menit seseorang
meninggal karena stroke. Pasien stroke memiliki tingkat kematian di rumah sakit sebesar 5
hingga 10% untuk stroke iskemik dan 40-60% untuk Perdarahan Intra Serebral (PIS). Hanya
10% dari penderita stroke yang bertahan hidup yang akan pulih sempurna, menyebabkan
3
stroke menjadi penyebab utama dari disabilitas pada orang dewasa.

4,5
1.3 Klasifikasi
Berdasarkan kelainan patologinya, stroke dapat dibagi menjadi:
a. Stroke hemoragik
i. Perdarahan intraserebral
ii. Perdarahan ekstraserebral (subarakhnoid)
b. Stroke non hemoragik
i. Stroke akibat trombosis
ii. Stroke emboli
iii. Stroke lakunar

Berdasarkan waktu terjadinya, stroke dapat dibagi menjadi:


a. Transient ischemic attack (TIA) : gejala defisit neurologis hanya berlangsung kurang
dari 24 jam
b. Reversible ischemic neurologic deficit (RIND) : gejala defisit neurologis menghilang
dalam waktu antara lebih dari 24 jam hingga 3 minggu
c. Stroke in evolution (stroke progresif) : stroke yang gejala klinisnya secara bertahap
berkembang dari ringan hingga semakin berat
5
d. Stroke komplit (completed stroke) : stroke dengan defisit neurologis yang menetap
dan sudah tidak berkembang lagi

Berdasarkan lokasi lesi vaskular, stroke dapat dibagi menjadi:


a. Sistem karotis
1. Motorik :hemiparesis kontralateral, disartria
2. Sensorik :hemihipestesi kontralateral, parestesi
3. Gangguan visual :hemianopsia homonim kontralateral, amaurosis fugaks
4. Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia
b. Sistem vertebrobasilar
1. Motorik : hemiparesis alternans, disartria
2. Sensorik : hemihipestesi alternans, parestesi
3. Gangguan lain : gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia

1.4 Faktor risiko


Tabel 1.Faktor risiko stroke4
Tidak dapat Dapat dimodifikasi
dimodifikasi

Usia Merokok Riwayat stroke


Jenis kelamin Konsumsi alkohol Hipertensi
Genetik Penggunaan narkotika Penyakit jantung
Ras Hiperhomosisteinemia Diabetes mellitus
Antibodi anti fosfolipid Stenosis karotis
Hiperurisemia TIA
Peningkatan hematokrit Hiperkolesterolemia
Peningkatan kadar fibrinogen Penggunaan kontrasepsi oral
Obesitas

Faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi termasuk usia, jenis kelamin, ras-
etnis dan genetika. Insiden stroke meningkat dengan bertambahnya usia, dengan kejadian dua
kali lipat untuk setiap dekade setelah usia 55 tahun. Usia rata-rata kejadian stroke iskemik
pada tahun 2005 adalah 69,2 tahun. Bukti terbaru menunjukkan, bahwa insiden dan
prevalensi stroke iskemik telah meningkat pada kelompok usia 20-54 tahun. Pada pasien
5
stroke hemoragik, insiden meningkat setelah usia 45 tahun.

6
Hubungan jenis kelamin dengan risiko stroke tergantung pada usia. Pada usia muda,
wanita memiliki risiko stroke yang lebih tinggi daripada pria, meskipun pada usia yang lebih tua,
risiko relatif sedikit lebih tinggi untuk pria. Risiko stroke yang lebih tinggi di antara wanita di
usia yang lebih muda kemungkinan mencerminkan risiko yang terkait dengan kehamilan dan
keadaan post-partum, serta faktor hormonal lainnya, seperti penggunaan kontrasepsi hormonal.
Sebuah penelitian yang dilakukan di 8 negara Eropa yang berbeda menemukan bahwa risiko
5
stroke meningkat 9% per tahun pada pria, dan 10% per tahun pada wanita.

Ada perbedaan ras yang terkait pada stroke. Orang Afrika-Amerika memiliki risiko
dua kali lipat untuk terkena stroke bila dibandingkan dengan berkulit putih, dan memiliki
angka kematian yang lebih tinggi terkait dengan stroke. Orang Indian Amerika memiliki
peningkatan kejadian stroke dibandingkan dengan orang kulit putih non-hispanik. Seperti
yang diilustrasikan baru-baru ini oleh studi REGARDS, satu alasan untuk perbedaan ras
mungkin adalah prevalensi yang lebih tinggi dari faktor-faktor risiko stroke, seperti
5
hipertensi, obesitas, dan diabetes, di antara orang-orang Afrika-Amerika.
Faktor keturunan berkontribusi terhadap risiko stroke, variabilitas genetik dapat
berkontribusi terhadap risiko stroke melalui beberapa mekanisme potensial. Pertama, kelainan
gen tunggal langka yang spesifik dapat berkontribusi pada manifestasi primer atau unik (mis.,
cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and leukoencephalopathy,
atau CADASIL). Kedua, kelainan gen tunggal dapat menyebabkan kelainan multisistem (mis.,
Anemia sel sabit). Ketiga, beberapa varian umum polimorfisme genetik telah dikaitkan dengan
risiko stroke, meskipun kontribusi individu dari polimorfisme tersebut dianggap sederhana
(misalnya, varian pada 9p21). Keempat, penyebab faktor risiko genetik stroke konvensional,
5
seperti fibrilasi atrium, diabetes, dan hipertensi, juga terkait dengan risiko stroke.

Bukti yang muncul menunjukkan bahwa studi genetik dapat membantu untuk
membedakan subtipe stroke dan bahkan berkontribusi pada manajemen pasien. Misalnya, ada
hubungan antara variasi gen yang memberi peningkatan risiko fibrilasi atrium dan stroke iskemik.
Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa tes genetika dapat membantu membuat diagnosis
stroke kemungkinan disebabkan oleh atrial fibrilasi. Saat ini, faktor keturunan umumnya
dianggap sebagai faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Beberapa faktor genetik bahkan
dapat dimodifikasi, misalnya, mereka yang anemia sel sabit dapat diobati dengan transfusi tukar
untuk mengurangi risiko stroke. Faktor genetik juga dapat dimodifikasi karena faktor lingkungan
juga dapat berinteraksi dengan mutasi genetik (yaitu interaksi gen-

7
lingkungan); sehingga mereka yang memiliki kecenderungan terhadap diabetes atau hipertensi
5
dapat terlibat dalam modifikasi pola makan dan gaya hidup untuk mengurangi risiko penyakit.

Gambar 1. Faktor Resiko Stroke Iskemik dan Stroke Hemoragik5

8
Gambar 2. Faktor Genetik penyebab Stroke5

9
Gambar 2. Faktor Genetik penyebab Stroke (lanjutan) 5

Beberapa faktor stroke yang dapat dimodifikasi, yang paling penting di antaranya
adalah hipertensi, penyakit jantung, fibrilasi atrium, diabetes mellitus, merokok, dan
hiperlipidemia. Hipertensi adalah faktor yang paling dikenal dalam perkembangan
perdarahan intraserebral primer. Kontrol jangka panjang hipertensi mengurangi kejadian
3
infark atherothrombotik dan perdarahan intraserebral.
Adanya gagal jantung kongestif dan aterosklerosis koroner juga sangat meningkatkan
kemungkinan stroke. Pada stroke emboli, faktor risiko yang paling penting adalah penyakit
kelainan jantung dan aritmia, khususnya fibrilasi atrium, yang meningkatkan kejadian stroke
sekitar enam kali lipat, dan delapan belas kali lipat jika terdapat penyakit katup rematik.
Endokarditis bakteri dan nonbakteri dan pirau kanan-ke-kiri antara bilik jantung atau paru
juga merupakan predisposisi stroke emboli. Diabetes mempercepat proses aterosklerotik di
arteri besar dan kecil. Pasien diabetes dua kali lebih mungkin terkena stroke dibandingkan
3
kelompok non diabetes.
Perokok lama juga berperan dalam perkembangan aterosklerosis karotis. Faktor
pendukung, seperti asupan kalium yang rendah dan kadar kalium serum yang berkurang,
telah dikaitkan dengan peningkatan tingkat stroke dalam beberapa penelitian, tetapi
3
mekanisme efek ini tidak jelas.
10
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh adanya perdarahan didalam bagian otak, sekitar 20
persen dari jenis stroke. Stroke jenis ini dapat dibagi kembali menjadi Perdarahan
Intraserebral (PIS) dan Perdarahan Sub Arahnoid (PSA). PIS paling sering disebabkan oleh
hipertensi, Cerebral Amyloid Angiopathy (CAA), pecahnya Arteriovenous Malformation
(AVM) atau komplikasi dari antikoagulasi sistemik. Kebalikannya, SAH paling sering
3
disebabkan oleh pecahnya aneurisma.

2.1 Epidemiologi Stroke Hemoragik


PIS spontan merupakan sebab dari 10-15% stroke akut, mempengaruhi sekitar 650.000
pasien per tahun. Stroke perdarahan memiliki tingkat mortalitas hingga 50% dalam 30 hari
dengan setengah hari pasien tersebut meninggal dalam 2 hari pertama. Diantara pasien yang dapat
bertahan hidup, hanya satu dari lima pasien yang mampu hidup mandiri dalam 6 bulan.
3

2.2 Patofisiologi
Cedera otak primer setelah ICH disebabkan oleh gangguan jaringan karena akumulasi
darah parenkim dan kerusakan mekanis yang terkait dengan efek massa (Gambar 4). Segera
setelah ICH, edema peri-hematomal semakin luas yang meningkatkan tekanan intrakranial
dan berkontribusi terhadap efek massa. Selain kerusakan jaringan mekanik yang disebabkan
oleh hematoma awal, sel-sel otak yang rusak dan komponen dari bekuan darah memicu
mekanisme kompleks inflamasi dan jalur stres oksidatif (Gambar 4). Aktivasi mekanisme
hemostatik adalah respons jaringan fisiologis terhadap perdarahan untuk menghentikan
perdarahan. Trombin sangat penting untuk proses pembekuan darah dan diaktifkan dalam
satu jam pertama setelah ICH. Konsentrasi trombin yang tinggi menginduksi kerusakan saraf
secara in vitro, namun, konsentrasi rendah bersifat neuroprotektif terhadap iskemia atau stres
oksidatif. Selain itu, trombin memiliki peran penting dalam pemulihan otak setelah
6
perdarahan intra serebral mungkin melalui inisiasi neurogenesis dan angiogenesis.

11
6
Gambar 3. Kerusakan Otak Primer san Sekunder pada Stroke Hemoragik

Lisis eritrosit dalam beberapa hari pertama setelah ICH menyebabkan pelepasan
hemoglobin yang kemudian dikonversi oleh enzim heme oxygenase-1 (HO-1) menjadi
komponen neurotoksik seperti heme dan besi yang merupakan kontributor utama cedera otak
sekunder. Mekanisme dari neurotoksisitas yang diinduksi heme dan besi adalah induksi stres
oksidatif karena aktivitas HO-1 dan produksi radikal bebas yang dimediasi besi melalui
6
reaksi Fenton.
Reaksi inflamasi yang terdiri dari komponen seluler dan molekul adalah respons
umum dari sistem saraf pusat (SSP) terhadap berbagai rangsangan. Neuroinflamasi setelah
ICH melibatkan aktivasi awal mikroglia, pelepasan mediator proinflamasi dan masuknya
6
leukosit perifer memiliki peran utama dalam patofisiologi kerusakan otak sekunder.

12
8
Gambar 4: Patogenesis Stroke Hemoragik

Perdarahan intracerebral yang luas dapat mengakibatkan penurunan kesadaran


yang signifikan, salah satunya disebabkan karena herniasi otak. Berdasarkan lokasinya,
3,4
herniasi otak dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Herniasi Cingulata
Terjadi akibat penambahan massa intracranial di daerah supratentorial. Perubahan
ini mendorong girus cingula yang terletak didekat falks serebri (lapisan meningen yang
memisahkan kedua hemisfer) sehingga bergeser ke hemisfer kontralateral.
2.Herniasi Sentral
Terjadi akibat penambahan massa intracranial yang jauh dari daerah tentorium, seperti
pada lobus frontal, parietal, dana tau occipital.
3.Herniasi Tentorial (Herniasi Uncal)
Herniasi unkal terjadi akibat adanya penambahan massa intracranial didaerah
temporal. Penambahan massa tersebut, menekan massa otak didaerah inferomedial (unkus)
sehingga terdorong kebawah melalui celah antara tentorium dengan batang otak. Gejala khas

13
herniasi unkal adalah penurunan kesadaran yang semakin memberat, dilatasi pupil
ipsilateral, dan hemiplegia kontralateral.
4.Herniasi Tonsilar
Penambahan massa intracranial didaerah fossa posterior atau infratentorial
dapat mengakibatkan herniasi tonsillar.

2.3 Etiologi stroke hemoragik


a. Perdarahan intraserebral (PIS)
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak akibat
pecahnya pembuluh darah otak. Faktor risiko umum untuk PIS meliputi hipertensi tidak
terkontrol, usia, riwayat alkohol berat, penggunaan metamfetamin atau kokain, genetik yang
terkait dengan amiloid serebral. PIS dapat diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder
tergantung pada penyebab yang mendasarinya. PIS primer menyumbang ∼70-80% dari kasus
dan disebabkan oleh pecahnya pembuluh kecil karena hipertensi tidak terkontrol atau amiloid
angiopati. PIS primer juga diklasifikasikan berdasarkan lokasi sebagai lobar versus non-lobar
9
dan supratentorial versus infratentorial.

Gambar 5 Lokasi Perdarahan Intra Serebral.9

14
PIS lobar umumnya merupakan hasil dari cerebral amyloid angiopathy (CAA).
Endapan amiloid dalam perforator kortikal berukuran kecil hingga sedang dapat
menyebabkan pecahnya pembuluh darah ini, yang mengakibatkan asymptomatic
microhaemorrhages atau pendarahan lobar asimptomatik. PIS non-lobar paling sering
merupakan akibat dari tekanan darah tinggi yang telah berlangsung lama yang mengakibatkan
lipohyalinosis dan perforasi kecil arteri dari ganglia basal, thalamus, pons dan cerebellum,
yang menyebabkan perdarahan yang dalam, seringkali dengan ekstensi ke ventrikel. Lokasi
paling umum dari PIS karena hipertensi adalah putamen, thalamus, subkortikal, pons dan
cerebellum. PIS sekunder dikaitkan dengan sejumlah kondisi bawaan dan didapat seperti
malformasi vaskular, tumor, gangguan koagulasi, penggunaan antikoagulan dan agen
9
trombolitik, vaskulitis serebral, penyalahgunaan obat dan trombosis vena serebral.
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke dimana
sekitar 80% diantaranya terjadi di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum.
Pada perdarahan otak terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan otak yang menyebabkan
penekanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, tetapi tidak merusak
10
jaringan otak seperti yang terjadi pada infark jaringan otak.
4
Gejala klinis perdarahan intraserebral terdiri dari:
1. Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama saat melakukan aktivitas dan dapat
didahului oleh gejala prodormal berupa peningkatan tekanan darah, yaitu nyeri kepala,
mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarahan retina, dan epistaksis
2. Penurunan kesadaran yang berat hingga koma disertai dengan hemiparesis atau hemiplegia
dan dapat juga disertai kejang fokal atau umum
3. Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial dapat ditemukan, seperti muntah proyektil,
papil edema, dll

Gambar 6 Perdarahan intraserebral6

15
3
2.4 Diagnosa Awal Pasien Penurunan Kesadaran

16
3
ALGORITMA MANAJEMEN PENURUNAN KESADARAN AKUT (LANJUTAN)

SECONDARY

MASSA MASSA METABOLIC


COMA
SUPRATENTORIAL: SUBTENTORIAL: ENCHEPALOPATHY:
PSYCHOGENIC:
-Onset gradual penurunan -Onset mendadak -Penurunan kesadaran
kesadaran penurunan kesadaran bertahap, didahului somnolen -Tonus kelopak mata
-Hemiparesis dan -Defisit neurologis atau delirium lebih besar dari pada
hemihipestesia mendadak -Defisit neurologis simetris otot skelet
-Pin point pupil -Pupil reaktif meskipun -Tidak terdapat
kehilangan pergerakan otot
extraocular dan depresi napas
moving eye
-Sering dengan kejang -Respon normal
myoclonus dengan tanda terhadap tes kalori
meningeal sign

TENTUKAN PENYEBAB PENURUNAN

GANGGUAN SEREBRAL (PRIMER) GANGGUAN SISTEMIK

1. Gangguan bilateral/difus hemisfer 1. Keracunan


Cedera otak traumatis Overdosis obat
Iskemik Penyalahgunaan obat
Perdarahan (SAH,ICH) Eksposure (karbonmonoksida, logam berat)
Hipoksik-iskemik ensefalopati 2. Metabolik
Thrombosis vena serebral Sepsis
Keganasan Hiposemia
Meningitis/encephalitis Hipoksia / shock
Kejang fokal atau general Hiperkapnia
Ensefalopati hipertensi Hipotermia
Hidrosepalus Hipoglikemia/ hiperglikemia
Epilepsi Hiponatremia/ hipernatremia
2. Gangguan hemisfer unilateral Hipo/hipertermia
Trauma (SAH, EDH) Hiperkalsemia
Stroke, ICH Ensefalopati uremikum
Abses otak, tumor otak Ensefalopati hepatikum
3. Gangguan batang otak Ensefalopati wernicke (defisiensi thiamine)
Perdarahan, sumbatan, tumor, trauma 3. Endokrin
Centra myolisis pontine Insufisiensi adrenal
Kompresi dari infark otak, hematoma, Hipo/hipertiroidisme
abses dan tumor.

17
2.5 Diagnosis Stroke
Penegakan diagnosis stroke dilakukan berdasarkan pengumpulan data dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Hal penting yang harus ditanyakan saat
anamnesis adalah onset terjadinya stroke untuk menentukan pilihan terapi selanjutnya.
Manifestasi klinis dari stroke yang dapat ditemukan berupa kelemahan pada satu sisi tubuh
(hemiparesis), rasa kebas pada satu sisi tubuh (hemihipestesi), bicara pelo (disartria),
1,11
kesulitan dalam berbahasa (afasia), nyeri kepala, gangguan penglihatan, dll.
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah menentukan apakah gejala dan tanda yang
terdapat pada pasien disebabkan oleh stroke atau bukan stroke. Berbagai algoritma dan
assessment tool dapat digunakan untuk membedakan apakah gejala dan tanda pada pasien
disebabkan oleh stroke atau bukan stroke, algoritma yang sering dipakai diantaranya adalah
11
Face Arm Speech Test (FAST) dan Los Angeles Prehospital Stroke Scale (LAPSS).

Tabel 2 Face Arm Speech Test (FAST)12,13


Kriteria Keterangan
F Facial palsy Salah satu sisi wajah terjatuh dan tidak bergerak
A Arm weakness Salah satu sisi lengan tidak bisa bergerak atau lebih
rendah dibandingkan dengan lengan sisi yang lain
S Speech impairment Bicara pelo, tidak dapat berbicara
Keterangan: Diagnosis kemungkinan stroke jika ditemukan ≥ 1 kriteria di atas

14
Tabel 3 Los Angeles Prehospital Stroke Scale (LAPSS)
Kriteria Jawaban
Usia > 45 tahun Yes Unknown No
Tidak ada riwayat bangkitan atau epilepsi Yes Unknown No
sebelumnya
Lama gejala kurang dari 24 jam Yes Unknown No
Pasien dapat berjalan normal sebelum onset serangan Yes Unknown No
Kadar gula darah antara 60-400 mg/dl Yes No
Kelemahan pada satu sisi tubuh saat pemeriksaan
2.5.1.1 Facial smile / grimace Yes No
2.5.1.2 Genggaman tangan
2.5.1.3 Mengangkat lengan
Keterangan: diagnosis kemungkinan stroke jika semua kriteria di atas
memiliki jawaban “yes” atau “unknown”

Setelah menentukan tanda dan gejala yang terdapat pada pasien disebabkan oleh stroke,
penentuan jenis patologi stroke sangat penting dilakukan untuk memberikan penatalaksanaan

18
yang tepat pada pasien. Perbedaan manifestasi klinis dari stroke infark dan stroke hemoragik
dapat dilihat pada tabel 4.

15
Tabel 4 Manifestasi klinis stroke infark dan hemoragik
Manifestasi klinis Stroke infark Stroke hemoragik
Gejala yang mendahului TIA (+) TIA (-)
Istirahat, tidur, atau Sering pada saat
Beraktivitas / istirahat segera setelah bangun
aktivitas fisik
tidur
Nyeri kepala dan muntah Jarang Sangat sering dan hebat
Penurunan kesadaran Jarang Sering
Hipertensi Sedang atau tidak ada Sedang – berat
Rangsangan meningeal Tidak ada Ada
Gejala tekanan tinggi Jarang ada papil edema Papil edema dan
intrakranial / papil edema perdarahan subhialoid
Darah dalam cairan Tidak ada Ada
serebrospinal
Dapat dijumpai
Foto kepala Tidak dapat dinilai pergeseran glandula
pinealis
CT scan kepala Area hipodensitas Area hiperdensitas
Dapat dijumpai Dapat dijumpai
aneurisma, arteriovenous
gambaran penyumbatan,
Angiografi malformation (AVM),
penyempitan, atau
massa intrahemisfer,
vasculitis
atau vasospasme
6
Tabel 5. Perbedaan Stroke Hemoragik dan Non hemoragik

Klinis PIS PSA Non


Hemoragik
Defisit fokal Berat Ringan Berat ringan
Onset Menit/jam 1-2 menit Pelan
(jam/hari)
Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan
Muntah pada Sering Sering Tidak, kec lesi
awalnya di batang otak
Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering kali
Penurunan Ada Ada Tidak ada
kesadaran
Kaku kuduk Jarang Ada Tidak ada
Hemiparesis Sering dari Permulaan Sering dari
awal tidak ada awal
Gangguan bicara Bisa ada Jarang Sering

19
Likuor Bisa terdapat Berdarah Jernih
cerebrospinal darah

Beberapa algoritma dan assessment tool dapat digunakan untuk menentukan apakah
stroke yang terjadi pada pasien merupakan stroke hemoragik atau stroke infark adalah
16
Algoritma Stroke Gadjah Mada (ASGM) dan Siriraj Stroke Score (SSS).

16
Siriraj Stroke Score
SSS=2,5C+2V+2H+0,1DBP-3A-12
C = Consciousness
- Alert :0
- Drowsy, stupor :1
- Semicoma, coma : 2
V = Vomitting
- No :0
- Yes :1
H = Headache within 2 hours
- No : 0
- Yes : 1
DBP = Diastolic blood pressure (mmHg)
A = Atheroma(riwayat diabetes mellitus, angina, klaudikasio)
- No : 0
- One or more : 1
16
Tabel 6 Interpretasi Siriraj Stroke Score (SSS)

Total SSS Keterangan


>1 Hemoragik serebral
< −1 Infark serebral
−1 s.d. 1 Tidak dapat ditentukan, perlu pemeriksaan penunjang lain

20
Gambar 7 Algoritma Stroke Gadjah Mada17

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis,


mencari faktor risiko, menyingkirkan diagnosis banding, dan menentukan penatalaksanaan
17,18
yang tepat untuk pasien. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:
1 Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, kadar gula darah (gula darah sewaktu, gula
darah puasa, gula darah 2 jam post prandial), fungsi hepar, fungsi ginjal, profil lipid,
kadar elektrolit serum, kadar asam urat
2 Pemeriksaan radiologi: foto toraks, CT scan kepala, MRI kepala, angiografi
3 Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG)
4 Pemeriksaan punksi lumbal

Perdarahan intraserebral harus dicurigai pada pasien dengan sakit kepala berat, muntah,
tekanan darah sistolik tinggi atau penurunan tingkat kesadaran. Diagnosis cepat sangat penting
untuk perawatan yang tepat dan hasil fungsional yang lebih baik. Kemunduran dini dalam
beberapa jam pertama setelah onset awal sering terjadi, dari ekspansi hematoma dan dari cedera

21
sekunder. Selain riwayat klinis yang cepat dan pemeriksaan neurologis, neuroimaging cepat
dengan CT kepala non-kontras sangat sensitif dan spesifik untuk PIS dan merupakan kunci
awal diagnosis. CT scan akan menampilkan tidak hanya lokasi dan ukuran PIS tetapi juga
ekstensi intraventrikular, efek massa, hidrosefalus dan tanda-tanda awal herniasi. MRI lebih
baik digunakan sebagai alat tambahan untuk membantu dalam menentukan penyebab yang
9
mendasari PIS (seperti CAA, kavernoma dan tumor).

19
Rekomendasi diagnosis dan penilaian awal stroke:
1. Skor keparahan awal harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi awal pasien dengan ICH
(Class I; Level of Evidence B). (Rekomendasi baru)
2. Neuroimaging cepat dengan CT atau MRI direkomendasikan untuk membedakan stroke
iskemik dari ICH (Class I; Level of Evidence A). (Tidak berubah dari pedoman sebelumnya)
3. CTA dan CT yang ditingkatkan kontras dapat dipertimbangkan untuk membantu
mengidentifikasi pasien yang berisiko untuk ekspansi hematoma(Class IIb; Level of Evidence
B), dan CTA, CT venografi, CT peningkatan kontras, MRI yang ditingkatkan kontras, MRI
resonansi magnetik, angiografi resonansi magnetik, dan resonansi magnetik venografi, dan
angiografi kateter dapat bermanfaat untuk mengevaluasi lesi struktural yang mendasarinya
termasuk malformasi vaskular dan tumor ketika ada kecurigaan klinis atau radiologis (Class
IIa; Level of Evidence B). (Tidak berubah dari pedoman sebelumnya)

22
Gambar dibawah ini menggambarkan komponen dari riwayat, pemeriksaan fisik, dan
19
studi diagnostik yang harus diperoleh di Unit Gawat Darurat.

Gambar 8. Komponen riwayat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan pasien dengan PIS di IGD

2.5 Tatalaksana
Penatalaksanaan Umum Stroke Akut
19
A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka
evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita saat
serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan

23
(hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi,
diabetes, dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu tubuh.
Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit
karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif).
Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama
pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara
jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan
saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class
1, Level of evidence B).

2. Terapi Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah,
suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan
defisit neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP).
Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95%
(ESO, Class V, GCP).
Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak
sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan
kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class
I, Level of evidence C).
Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).
Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi oksigen
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg),
atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa
terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.

24
b. Stabilisasi Hemodinamik
Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan
hipotonik seperti glukosa).
Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan untuk
memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan
nutrisi.
Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
Optimalisasi tekanan darah.
Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-
obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/
tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar
140 mmHg.
Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama
setelah serangan stroke iskernik (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi
Kardiologi).
Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus
dikoreksi dengan larutan salin normal dan aritmia jantung yang mengakibatkan
penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).
c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum
Tekanan darah
Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan neurologi umum awal:
i. Derajat kesadaran
ii. Pemeriksaan pupil dan oculomotor
iii. Keparahan hemiparesis
d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus dilakukan
dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari
pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

25
Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang
mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA, Class V,
Level of evidence C).
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi:

i. 0
Tinggikan posisi kepala 20 – 30
0

ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular

iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik

iv. Hindari hipertermia

v. Jaga normovolernia

vi. Osmoterapi atas indikasi:


o Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam
dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).
Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian
osmoterapi.
o Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.

vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).


Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.

viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan
intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator
(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti
vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok
pada ganglion lebih baik digunakan (AHA/ASA, Class III-IV, Level of
evidence C). Pasien dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan
relaksan otot sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternative.

ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan tekanan
tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini
tidak ada kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).

x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik


serebelar (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang


menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan
26
nyawa dan memberikan hasil yang baik. (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence B).
e. Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimptomatik
(AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B). Terapi transformasi perdarahan
simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki
perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.
f. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti oleh
fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50
mg/menit.
Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang
tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).
Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat
diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada
kejang selama pengobatan (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).
g. Pengendalian Suhu Tubuh
Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika dan
diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).
o
Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 C (AHA/ASA
o
Guideline) atau 37,5 C (ESO Guideline).3
Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan
(trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler,
analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic (AHA/ASA
Guideline).

PIS adalah keadaan darurat medis yang membutuhkan terapi darurat karena > 20%
pasien mengalami penurunan 2 atau lebih poin GCS setelah penilaian awal oleh Emergency
Medical Services (EMS). Selain itu, 15-23 % pasien mengalami ekspansi hematoma dan
penurunan neurologis dalam beberapa jam pertama. Stabilisasi airway, breathing and

27
circulation (ABC) sangat penting untuk mencegah cedera sekunder akibat hipoksemia,
hipertensi tidak terkontrol, dan ekspansi hematoma. Intubasi untuk perlindungan jalan nafas
diindikasikan pada pasien dengan GCS ≤8 atau gangguan pernapasan yang signifikan. Pasien
dengan penurunan tingkat kesadaran dari perdarahan intraventrikular dengan hidrosefalus,
efek massa atau herniasi batang otak harus menerima ventrikulostomi, terapi hyperosmolar
dengan manitol 0,5-1 g / kg atau infus salin hipertonik. Algoritma di IGD untuk diagnosis
9
dini dan intervensi terdapat pada Gambar dibawah ini:

9
Gambar 9. Algoritma Departemen Emergensi untuk diagnosa dan intervensi awal PIS

B. Manajemen Stroke Perdarahan (PIS dan


PSA) Prediktor Pembengkakan Hematoma
Kurang lebih sekitar 40% dari PIS akan membesar dari ukuran semula dalam kurun
waktu 24 jam sejak timbul gejala. Pembengkakan hematoma berhubungan dengan kondisi
klinis yang memburuk. Mengidentifikasi faktor yang menyebabkan pembengkakan

28
hematoma sangan krusial pada kondisi pasien yang akut. Gangguan koagulasi, peningkatan
tekanan darah, dan DM yang tidak terkontrol dengan baik berkaitan dengan peningkatan
ukuran hematom. Penelitian telah menunjukkan CT Scan angiografi dengan kontras dapat
3
membantu mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami pembengkakan hematom.

Manajemen Tekanan Intrakranial


PIS yang luas dapat meningkatkan penurunan kesadaran yang signifikan. Efek
masa dari pembengkakan hematoma dan darah intraventrikular dapat mengakibatkan
obstruksi cairan serebrospinal yang akan berujung pada hidrosefalus akut. Pada kondisi
ini, pemasangan drain ventrikular untuk mengukur ICP dan menangani hidrosefalus
sering direkomendasikan. Jika darah intraventricular banyak, EVD kemungkinan tidak
berguna dikarenakan tersumbat, penanganan sementara melalui hiperventilasi dan
3
pemberian terapi hyperosmolar dapat digunakan.

Koreksi Gangguan Koagulasi


Pasien dengan PIS sebaiknya tidak mendapat terapi antiplatelet dan antitrombotic,
yang mana dapat memperburuk perdarahan. Statin masih kontroversial, di satu sisi dapan
meningkatkan rekurensi PIS, di sisi yang lain dapat mencegah terjadinya perluasan
3
inflamasi.
Penyebab tersering dari koagulopati adalah penggunaan terapi antikoagulan seperti
warfarin, heparin, atau dabigatran. Warfarin menyebabkan peningkatan pada INR,
heparin dapat menyebabkan peningkatan aPTT. PIS yang diakibatkan dari penggunaan
3
heparin, dapat diatasi dengan pemberian FFP dan Vitamin K.

Manajeman Tekanan Darah


Manajemen tekanan darah membatasi terjadinya pembengkakan hematom dan
disarankan untuk dilakukan pada pasien PIS. Pendapat awal mengatakan bahwa penurunan
tekanan darah yang agresif akan menurunkan aliran darah otak, yang mana akan
mencetuskan iskemik pada daerah rentan yang dikelilingi hematoma dan menyebabkan
perburukan kondisi. Tetapi, penelitian-penelitian menunjukkan bahwa penurunan tekanan
3
darah yang agresif adalah aman dan tidak memperburuk kondisi pasien.
Pembaruan 2015 untuk AHA / ASA Guidelines for Management of Spontaneous
19
ICH merekomendasikan bahwa:

29
1. Untuk pasien ICH yang mengalami SBP antara 150 dan 220 mm Hg dan tanpa
kontraindikasi terhadap pengobatan BP akut, penurunan SBP akut menjadi 140 mm Hg
aman (Class I; Level of Evidence A) dan dapat efektif untuk meningkatkan hasil
fungsional Class IIa; Level of Evidence B). (Direvisi dari pedoman sebelumnya)
2. Untuk pasien ICH yang mengalami SBP> 220 mm Hg, mungkin masuk akal untuk
mempertimbangkan pengurangan agresif BP dengan infus intravena terus menerus dan
pemantauan BP yang sering (Class IIb; Level of Evidence C). (Rekomendasi baru)
Intravenous calcium channel blockers (misalnya, nicardipine) dan β-blocker
(misalnya, labetalol) adalah pengobatan pilihan untuk pengurangan TD dini, mengingat
waktu paruh yang singkat dan kemudahan titrasi. Nitrat harus dihindari karena berpotensi
9
untuk vasodilatasi otak dan tekanan intrakranial tinggi.
Pedoman untuk hipertensi tidak terkontrol resisten merekomendasikan angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACE-I) atau angiotensin receptor blocker (ARB), calcium
channel blocker (CCB) dan diuretik seperti thiazide pada dosis maksimal yang ditoleransi
sebagai formula kembar tiga optimal. CCB dan ACE -I atau ARB diterima secara luas
sebagai obat lini pertama dan lini kedua untuk pasien yang resistan, tetapi pilihan obat
antihipertensi lini ketiga dan keempat sangat bervariasi dalam praktik di dunia nyata.
Tiazid dapat menyebabkan hiponatremia dan memperburuk edema serebral pada pasien
dengan perdarahan besar atau efek massa. Spironolactone terbukti sangat efektif untuk
pasien dengan hipertensi tidak terkontrol yang resisten. Spironolakton dan α- / β-antagonis
dapat digunakan sebagai agen ketiga dan keempat untuk mempertahankan kontrol tekanan
darah sambil memakai agen intravena. Selama fase akut, pasien mungkin memiliki
hipertensi tidak terkontrol yang resisten karena sympathetic surge. Beberapa minggu
kemudian, mungkin memerlukan lebih sedikit obat-obatan dan beresiko hipotensi kecuali
9
jika dosis obat disesuaikan segera.

Manajemen Glukosa
Hiperglikemia saat masuk berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih
buruk terlepas dari adanya diabetes. Namun, kontrol glukosa yang ketat dengan target
glukosa 80-110 mg / dL meningkatkan hipoglikemia dan risiko morbiditas dan mortalitas.
Perawatan harus diambil untuk menghindari hiperglikemia dan hipoglikemia. Target kadar
9
glukosa pada 100-150 mg / dL untuk pasien dengan PIS.

30
Pengendalian Demam
Demam umum terjadi setelah PIS, terutama pada pasien dengan ekstensi intraventrikular.
Demam berkelanjutan setelah PIS adalah faktor prognostik independen untuk hasil yang lebih
buruk. Namun, baik terapi hipotermia maupun normotermia tidak terbukti meningkatkan hasil.
Dalam studi kasus-kontrol retrospektif pasien dengan PIS spontan yang mengalami dua kali
demam berturut-turut ≥38,3 ° C meskipun pemberian asetaminofen, terapi normotermia
terbukti berhubungan dengan peningkatan durasi sedasi, ventilasi mekanik dan lama tinggal
Neuro-ICU tanpa manfaat hasil pelepasan. Normotermia atau hipotermia tidak boleh
9
digunakan setelah ICH kecuali dalam pengaturan uji klinis.

19
C. Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat
1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan
vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk
kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius
pada penderita panas).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa dan
diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada
keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya
boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi diberikan
melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
Karbohidrat 30-40 % dari total kalori
Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %)

31
Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada
gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangkan untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan
nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan.
Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin K pada pasien
yang mendapat warfarin.
3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi,
malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus, komplikasi
ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan (AHA/ASA, Level of evidence B and C).
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan
sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman
(AHA/ASA, Level of evidence A).
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai Kasur
antidekubitus.
d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.
e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam, heparin
subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid perlu diberikan
(AHA/ASA, Level of evidence A).5 Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan
intraserebral perlu diperhatikan.6 Pada pasien imobilisasi yang tidak bias menerima
antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau aspirin direkomendasikan untuk
mencegah thrombosis vena dalam. (AHA/ASA, Level of evidence A and B).
4. Penatalaksanaan Medis Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar glukosa
darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence C). Target yang harus dicapai adalah normoglikemia.
Hipoglikemia berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau
infuse glukosa 10-20%.
b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor
tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol bisa digunakan.
c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.
32
d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan pasien karena
dapat mempengaruhi TIK.
f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten.
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI, Dupleks
Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-lain sesuai dengan
indikasi.
i. Rehabilitasi.
j. Edukasi.
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).

D. Tindakan/ Operasi
19

a. Penanganan dan Pemantauan Tekanan Intrakranial

Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi transtentorial,atau dengan
perdarahan intraventrikuler yang luas atau hidrosefalus, dapat dipertimbangkan untuk
penanganan dan Pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70 mmHg
dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi otak (AHA/ASA, Class Iib,
level of evidance C).
Drainase ventrikular sebagai tata laksana hidrosefalus dapat dipertimabngkan pada
pasien dengan penurunan tingakt kesadaran (AHA/ASA Class IIa, Level of evidance
B).

b. Perdarahan Intraventikuler
Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant tissue-type plasminogen activator
(rTPA) untuk melisiskan bekuan darah intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi
yang cukup rendah, efikasi dan keamanan dari tata laksana ini masih belum pasti dan
dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
c. Evakuasi hematom

Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial, kegunaan tindakan


operasi masih belum pasti (AHA/ASA, Class Iib, level of evidance C).
Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami perburukan neurologis, atau yang
terdapat kompresi batang otak, dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventirkel

33
sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan darah secepatnnya (AHA/ASA, Class I,
Level of evidance B) .Tata laksana awal pada pasien tersebut dengan drainase
ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak direkomendasikan (AHA/ASA,
Class III, Level of evidance C)

Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm dari
permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial dengan kraniotomi
standar dapat dipertimbangkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B) .
Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal menggunakan baik aspirasi
streotaktik maupun endoskopik dengan atau tanpa penggunaan trombolitik masih
belum pasti dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera dari perdarahan
intrakranial supratentorial untuk meningkatakan keluaran fungsional atau angka
kematian, kraniotomi segera dapat merugikan karena dapat meningkatkan faktor
resiko perdarahan berulang (AHA/ASA, Class III, Level of evidance B) .

d. Prediksi keluaran dan penghentian dukungan teknologi


Perintah penundaan tidak diresusitasi direkoimendasikan untuk tidak melakukan
perawatan penuh dan agresif dilakukan selama 2 hari (AHA/ASA, Class Iia, Level of
evidance B), Kecuali pada pasien yang sejak semula ada keinginan untuk tidak
diresusitasi.
e. Pencegahan perdarahan intrakranial berulang

Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko pasien telah disusun untuk
mencegah perdarahan berulang keputusan tatalaksana dapat berubah karena
pertimbangan beberapa faktor risiko, antara lain lokasi lobus dari perdarahan awal,
usia lanjut, dalam pengobatan antikoagulan, terdapat alel E2 atau E4 apolipoprotein
dan perdarahan mikro dalam jumlah besar pada MRI (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance B) .
Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak ada kontra indikasi medis,
tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan baik terutama pada pasien yang lokasi
perdarahannya tipikal dari vaskulopati hipertensif (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance A) .
Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari tekanan darah dapat
dipertimbangkan menjadi <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg jika diabetes penyakit
ginjal kronik (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B) .

34
Penghentian pemakaian antikoagulan jangka panjang sebagai tatalaksana fibrilasi atrial
nonvalvuler mungkin direkomendasikan setelah perdarahan intrakranial lobar spontan
karena relatif berisiko tinggi untuk perdarahan berulang (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance B). Pemberian antikoagulan dan terapi antiplatelet setelah perdarahan
intrakranial nonlobar dapat dipertimbangkan, terutama pada keadaan terdapat indikasi
pasti penggunaan terapi tersebut (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).

3
2.6 Komplikasi
Komplikasi Neurologik :
a. Edema otak (herniasi otak)
b. Infark berdarah (pada emboli otak)
c. Vasospasme (terutama pada PSA)
d. Hidrosefalus
Komplikasi Non-neurologik:
Akibat proses diotak
a. Tekanan darah meninggi
b. Hiperglikemi
c. Edema paru
d. Kelainan Jantung
e. Kelainan EKG
f. Natriuresis
g. Retensi cairan tubuh
h. hiponatremia

35
Gambar 10. Stroke: Komplikasi Non-neural

2.7 Prognosis
PIS adalah jenis stroke yang memiliki mortalitas tinggi. Sejumlah faktor dapat
mempengaruhi hasil setelah PIS, termasuk volume dan lokasi hematoma, ekspansi hematoma,
usia, GCS , ekstensi intraventrikular dan penggunaan antikoagulan. Skor ICH dikembangkan
4
untuk memprediksi tingkat kematian 30 hari dan hasil fungsional pada 1 tahun.

3
Tabel 7 Tabel prediksi mortalitas skor ICH
Keadaan Poin
Skor Glasgow Coma Scale
3-4 2
5-12 1
13-15 0
Volume perdarahan intraserebral
>30 ml 1
<30 ml 0
Perdarahan intraventrikuler
Ada 1
Tidak ada 0
Lokasi perdarahan intraserebral

36
Infratentorial 1
Supratentorial 0
Umur
≥80 tahun 1
<80 tahun 0
Mortalitas 30 hari untuk hasil skoring
0=0%
1=13%
2=26%
3=72%
4=97%
5=100%
6= diperkirakan 100%, tidak ada pasien pada saat
studi dilakukan yang masuk pada kategori ini

37
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. Eviana Loi
Jenis kelamin : Perempuan
No. CM :120811
Usia : 44 tahun
Alamat : Jl.Setia Budi
Agama : Prostestan
Status Pernikahan : Menikah
Status Pekerjaan : Wirausaha
Tanggal Masuk : 10 Mei 2020
Ruangan : Intensive Care Unit RSUD Petala Bumi
Pembiayaan : BPJS

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 20Mei 2020 kepada keluarga
pasien di RSUD Petala Bumi
A. Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS.

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien perempuan 44 tahun datang ke IGD RSUD Petala Bumi dibawa
keluarganya dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS. Saat itu pasien
cenderung mengantuk dan tidak respon saat dipanggil. Keluhan dirasakan pada
malam hari sekitar pukul 22.00 terjadi tiba-tiba ketika pasien sedang diurut. Pada hari
itu pasien merasa lemas dan baal pada tangan dan kaki kanan sejak siang harinya
sehingga pasien meminta untuk diurut. Keluhan nyeri kepala, muntah, kejang, mulut
mencong dan bicara pelo disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat demam, batuk,
sesak nafas, riwayat bepergian keluar kota, riwayat keluarga atau orang sekitar dari
luar kota, riwayat orang terdekat orang dalam pemantauan atau pasien dalam
pemantauan COVID19 disangkal

38
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien memiliki
riwayat hipertensi sejak 6 tahun yang lalu, rutin kontrol 1 tahun terakir dengan obat
hipertensi kaptopril. Pasien juga diketahui mengalami pembengkakan jantung dan
kolesterol sejak 1 tahun lalu. Riwayat trauma kepala, diabetes mellitus, dan kejang
disangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga:


Pasien merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, diketahui 3 saudara pasien
(abang, kakak dan adik) memiliki riwayat stroke. Kakak dan adik pasien meninggal
karena stroke. 3 saudara pasien tersebut diketahui memiliki riwayat hipertensi tidak
terkontrol. Kedua orang tua pasien sudah meninggal sejak pasien masik kecil.

E. Riwayat Alergi :
Pasien memiliki riwayat alergi ranitidin.

F. Keadaaan Sosial Ekonomi dan Kebiasaan


Pasien tinggal bersama suami dan anaknya. Pasien sehari-hari bekerja sebagai tukang
salon, tukang urut dan bekerja di bagian pelayanan gereja. Kebutuhan ekonomi pasien
dibantu oleh penghasilan usaha dan penghasilan anaknya dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari.

III. Pemeriksaan Fisik


A. Status Praesens
Kesadaran : Sopor
GCS : 5 = E1M3V1
Keadaan umum : Tampak Sakit Berat
Tanda vital :
Tekanan Darah : 222/175 mmHg
Nadi : 112 x/menit, regular.
Respirasi : 26 x/menit
Suhu 0
: 37,2 C

39
1. Kepala : Normocephal.
2. Leher : KGB tidak membesar, JVP tidak meningkat.

3. Thoraks
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II reguler,
Murmur (-), Gallop (-)

Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding dada dalam keadaan statis dan
dinamis simetris bilateral, spider navy (-), sikatrik (-),
hematoma (-). Massa (-), perbandingan diameter
transversal : anteroposterior = 2 : 1
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris bilateral, nyeri tekan
hemitoraks dextra dan sinistra (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler Breathing sound simetris kanan dan kiri,
Ronkhi -/- Wheezing - / -

Abdomen
Inspeksi : sikatriks (-), spider navy (-), asites (-), hernia umbilicus (-)
Auskultasi : BU (+) di empat kuadran
Perkusi : terdengar timpani di empat kuadran, shifting dullness (+)
Palpasi : hepatomegali (-), pembesaran lien (-), undulasi (-), nyeri tekan
(-) di epigastrium, nyeri ketok (-)

Ekstremitas :
Superior : Akral hangat :+/+
Edema :-/-
Pitting Edema : - / -

Inferior : Akral hangat :+/+


Edema :-/-
Pitting Edema : - / -

40
B. Pemeriksaan Neurologi
1. Inspeksi:
Kepala
Bentuk : Normocephalus
Nyeri tekan : (-)
Simetris : (+)

Leher
Sikap : Dalam batas normal
Pergerakan : Dalam batas normal
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)

2. Saraf otak
N. Kranialis Kanan Kiri

N. I (Olfaktorius)
Subyektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Dengan Bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. II (Optikus)
Tajam Penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapang penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. III (Okulomotorius)
Sela mata Simetris Simetris
Pergerakan Bulbus Simetris Simetris
Strabismus
Nistagmus - -
Exoftalmus - -
Pupil (Besar, bentuk) D : 3mm, isokor D : 3mm, isokor
Refleks cahaya langsung + +
RCTL + +

41
Refleks konvergensi Sulit dinilai Sulit dinilai
Melihat kembar Sulit dinilai Sulit dinilai

N. IV (Troklearis)
Pergerakan mata Simetris Simetris
Sikap bulbus Simetris Simetris
Melihat kembar Sulit dinilai Sulit dinilai

N. V (Trigeminus)
Membuka mulut Sulit dinilai Sulit dinilai
Menguyah Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengigit Sulit dinilai Sulit dinilai
Reflek kornea Sulit dinilai Sulit dinilai
Sensibilitas muka Sulit dinilai Sulit dinilai

N. VI (Abdusens)
Pergerakan mata Simetris Simetris
Sikap bulbus Simetris Simetris
Melihat kembar Sulit dinilai Sulit dinilai

N. VII (Facialis) Kesan parese


Mengerutkan dahi nervus NVII sentral
Menutup mata
Memperlihatkan gigi
Bersiul
Rasa kecap 2/3 depan lidah

N. VIII
(Vestibulokoklearis)
Detik arloji Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Suara berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

42
N. IX (Glosofaringeus)
Refleks kecap 1/3 belakang Tidak dilakukan
Sensibilitas faring Tidak dilakukan

N. X (Vagus)
Arkus faring Tidak dilakukan
Uvula Tidak dilakukan
Menelan Tidak dilakukan

N. XI ( Assesorius )
Menenggok kanan kiri Tidak dilakukan
Mengangkat Bahu Tidak dilakukan

N. XII ( Hipoglossus )
Pergerakan Lidah Sulit dinilai
Lidah deviasi Sulit dinilai
Artikulasi Tidak dilakukan

3. Badan dan anggota gerak


Badan
Respirasi : Abdomino thorakal

Anggota gerak atas


Motorik
Pergerakan : -/+
Kekuatan : Kesan lateralisasi dekstra
Tonus : Baik
Atropi : (-)
Sensibilitas : Sulit dinilai
Taktil : Sulit dinilai
Nyeri : Sulit dinilai
Suhu : Sulit dinilai

43
Anggota gerak bawah
Motorik
Pergerakan :-/+
Kekuatan : Kesan lateralisasi deksta
Tonus : Baik
Atropi : (-)
Sensibilitas :Sulit dinilai
Taktil : Sulit dinilai
Nyeri : Sulit dinilai
Suhu : Sulit dinilai

Refleks fisiologis
Refleks Dextra / Sinistra
Biseps +/ +
Triseps +/ +
Brachioradialis +/ +
Patella +/ +
Achiles +/ +

Refleks patologis
Refleks Ekstremitas Dextra Ekstremitas Sinistra
Babinski - -
Chaddock - -
Openheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Test Laseque - -
Test brudzinsky - -
I/II/III/IV

Test kernig - -
Meningial Sign - -
Patrick Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kontra Patrick Tidak dilakukan Tidak dilakukan

44
4. Koordinasi, Gait dan keseimbangan
Cara berjalan : Tidak dilakukan
Test Romberg : Tidak dilakukan
Disdiadokokinesis : Tidak dilakukan
Ataksia : Tidak dilakukan
Rebound phenomen : Tidak dilakukan

Tes Fungsi Koordinasi


Uji Romberg Tidak dilakukan
UjiTunjukBarany Tidak dilakukan
(past-ponting test),

Finger to Nose Tidak dilakukan


Pointing Test Tidak dilakukan
Disdiadokokinesis Tidak dilakukan
Nistagmus Tidak dilakukan
5. Gerakan – gerakan abnormal

Tremor : (-)
Athetosi : (-)
Mioklonik : (-)
Khorea : (-)
6. Fungsi Luhur : Afasia global
7. Fungsi Vegetatif : BAB (-) , BAK (+)

IV. Pemeriksaan Penunjang


LABORATORIUM
Minggu, 10 Mei 2020
1. Darah Rutin
Hemoglobin : 13,9 g/dl
Hematokrit : 39%
Leukosit : 12.100/mm

45
Trombosit : 204.000
Eritrosit : 4.9 juta/mm
Diff Count : 0/0/92/5/2
2. Kimia Klinik :
Ureum : 30 mg/dL
Kreatinin : 0,9 mg/dL
Gula darah sewaktu : 205 mg/dL
3. Elektrolit :
 Natrium : 140 mmol/L
 Kalium : 2,9 mmol/L
 Kalsium : 106 mmol/L

Kamis, 14 Mei 2020

Hb : 17,0 gr/dl
Hct : 53%
Leukosit : 28.840/mm
Trombosit : 216.000/mm
Eritrosit : 6,1 jt

Elektrolit :

Natrium : 161 mmol/L (135-148 mmol/L)


Kalium : 3,4 mmol/L (3,5-5,0 mmol/L)
Chlorida : 104 mmol/L (98-107 mmol/L)

 Jumat, 15 Mei 2020


Gula Darah Sewaktu : 200 mg/dL

 Sabtu, 16 Mei 2020


Gula Darah Puasa : 152 mg/dL

 Rabu, 20 Mei 2020


Hb : 14,9 mg/dL
Hct : 48%
Leukosit : 27.830 / mm
Eritrosit : 5,36 jt

46
EKG

Irama : sinus rytme


Frekuensi (HR) : 64x/i
Terdapat Old MCI V1, V2, V3,V4

47
RONTGEN THORAX

X-Foto Thorax :
Cor : CTR > 50%
Pulmo : corakan bronkovaskuler normal
Infiltrat (-)
Diafragma dan sudut kostofrenikus normal
Kesan :
Cor : Kardiomegali
Paru : Tidak tampak kelainan.

48
CT SCAN KEPALA NON KONTRAS

Ekspertise hasil pemeriksaan CT Scan:


- Tak tampak soft tissue swelling extracranial
- Pada window tulang, tak tampak discontinuitas tulang
- Gyri mendatar,sulci dangkal dan fissure sylvii tak prominent
- Batas cortex dan medulla tegas
- Lesi hiperdens dengan perifocal oedema di lobus frontotemporalis sinistra
- Sistema ventrikel lateralis sinistra dan III sempit
- Midline bergeser kearah dextra sejauh lk 0,95 cm
- Air cellulae mastoidea dan SPN normodens

Kesan:
- ICH di lobus frontotemporalis sinistra
- Herniasi sulfacine kearah dextra sejauh lk 0,95 cm
- Edema Cerebri

49
V. Resume
Subyektif
Pasien perempuan 44 tahun datang ke IGD RSUD Petala Bumi dibawa
keluarganya dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS terjadi tiba-tiba
ketika pasien sedang diurut. Saat itu pasien cenderung mengantuk dan tidak respon
saat dipanggil. Pada hari itu pasien merasa lemas dan baal pada tangan dan kaki kanan
sejak siang harinya sehingga pasien meminta untuk diurut. Pasien memiliki riwayat
hipertensi sejak 6 tahun yang lalu, pembengkakan jantung dan kolesterol sejak 1
tahun lalu. Diketahui 3 saudara pasien memiliki riwayat stroke dan hipertensi tidak
terkontrol. Pasien memiliki riwayat alergi ranitidine.

Obyektif
Status Pasien
Kesadaran : Sopor
Keadaan umum : Tampak Sakit Berat
Tanda vital :
Tekanan Darah : 222/175 mmHg
Nadi : 112 x/menit, regular.
Respirasi : 26 x/menit
Suhu 0
: 37,2 C

Status Interna
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-), Kardiomegali.
Paru : VBS ka = ki Rh-/-, Wh-/-
Abdomen : Dalam batas normal

Status Neurologis
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
Saraf Otak : Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
N.VII parese sentral dextra
N.XII sulit dinilai
Motorik : Kesan lateralisasi dekstra

50
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAK: lancar, BAB-
Refleks fisiologis + +

+ +
Refleks patologis :-
VI. Diagnosa

Diagnosis kerja :
Stroke Hemoragic ec Perdarahan Intra Serebral + Hipertensi Emergensi +

Hipokalemia + Hiperglikemia
Diagnosis banding : Perdarahan Sub Arahnoid, Stroke Ischemic

VII. Tatalaksana
- Oksigen via nasal kanul 3lpm
- Elevasi kepala 30 derajat
- Rujuk Bedah Saraf (Keluarga pasien menolak)
- IVFD Ringer laktat 20tpm
- Infus Mannitol 20% 250cc habis dalam 15 menit selanjutnya Mannitol 4 x 125 cc
- Injeksi Citicolin 2 x 1 gram
- Injeksi Furosemid 2 x 1 ampul
- Drip Nicardipin 7,5 cc per jam target TD 160/100 mmHg, bila TD tercapai dosis
dikurangi
- Injeksi Asam tranexamat 3 x 500mg
- Injeksi Vitamin K 3 x 10 mg
- Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 gram
- Injeksi Omeprazol 2 x 40mg
- Rencana perawatan di Intensive Care Unit

IX. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad malam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

51
FOLLOW UP PASIEN

Tanggal Catatan Instruksi


11/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran IVFD RL45cc/jam
O/ O2 4 liter per menit
KU : Tampak Sakit Berat Citicolin tab 2 x 1000 mg
KS : DPO (Dalam pengaruh obat) Mannitol infus 4 x 125cc
TD : 188/79 mmHg Inj. Furosemid 2 x 1 amp
N : 108x / menit Inj. Transamin 3 x 1 amp
R : 19x / menit Inj. Vitamin K 3 X 1 amp
S : 38,1o C Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
Nicardipin continuous
Pemeriksaan Fisik Umum: 10cc/jam
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Koktail 3cc/jam
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) Inj. Metoclopramide 2 x 1
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/- amp
Abdomen: supel, BU(+) Inf Paracetamol +
Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik tramadol 50mg 3 x 1
Status Neurologis
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
Saraf Otak :
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif: BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (-/-)
A/

Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT


Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia
12/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran IVFD RL12,5cc/jam
O/ Midazolam 3mg/jam
KU : Tampak Sakit Berat Herbesser 4mg/jam
KS : DPO (Dalam pengaruh obat) O2 4 liter per menit
TD : 191/98 mmHg Citicolin tab 2 x 1000 mg
N : 125x / menit Mannitol infus 3 x 125cc
R : 14x / menit Inj. Furosemid 2 x 1 amp
S : 36,3o C Inj. Transamin 3 x 1 amp
Inj. Vitamin K 3 X 1 amp
Pemeriksaan Fisik Umum: Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Inj. Metoclopramide 2 x 1
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) amp
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/-
52
Abdomen: supel, BU(+) Inf Paracetamol +
Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik tramadol 50mg 3 x 1
Status Neurologis
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (-/-)
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia
13/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran IVFD RL12,5cc/jam
Midazolam 3mg/jam
O/ Herbesser 13mg/jam
KU : Tampak Sakit Berat O2 4 liter per menit
KS : DPO (dalam pengaruh obat) Citicolin tab 2 x 1000 mg
TD : 191/92 mmHg Mannitol infus 2 x 125cc
N : 82x / menit Inj. Furosemid 2 x 1 amp
R : 21x / menit Inj. Transamin 3 x 1 amp
S : 36,7o C Inj. Vitamin K 3 X 1 amp
Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
Pemeriksaan Fisik Umum: Inj. Metoclopramide 2 x 1
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) amp
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) Inf Paracetamol +
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/- tramadol 50mg 3 x 1
Abdomen: supel, BU(+)
Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik
Status Neurologis
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (-/-)
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia

14/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran IVFD RL12,5cc/jam


Midazolam 3mg/jam
O/ Herbesser 13mg/jam
KU : Tampak Sakit Berat O2 4 liter per menit
Citicolin tab 2 x 1000 mg
53
KS : DPO (dalam pengaruh obat) Mannitol infus 2 x 125cc
TD : 191/92 mmHg Inj. Furosemid 2 x 1 amp
N : 82x / menit Inj. Transamin 3 x 1 amp
R : 21x / menit Inj. Vitamin K 3 X 1 amp
S : 36,7o C Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
Inj. Metoclopramide 2 x 1
Pemeriksaan Fisik Umum: amp
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Inf Paracetamol +
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) tramadol 50mg 3 x 1
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/-
Abdomen: supel, BU(+)
Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik
Status Neurologis
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (-/-)
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia +
Hipernatremia
15/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran IVFD D5% ¼ NS 12,5
cc/jam
O/ O2 4 liter per menit
Citicolin tab 2 x 1000 mg
KU : Tampak Sakit Berat Inj. Furosemid 3 x 1 amp
KS : DPO (Dalam pengaruh obat) Inj. Transamin 3 x 1 amp
TD : 190/94 mmHg Inj. Vitamin K 3 X 1 amp
N : 108x / menit Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
R : 19x / menit Levofloksasin inf 1 x 750
S o mg
: 38,1 C Amlodipin tab 1 x 10 mg
Pemeriksaan Fisik Umum: Valsartan tab 1 x 160 mg
HCT tab 1 x 25 mg
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Adalat oros 1 x 30 mg
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) Inj. Metoclopramide 2 x 1
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/- amp
Abdomen: supel, BU(+)

Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik

Status Neurologis

54
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
Saraf Otak :
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif: BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (+/-)
Babinski (+)
Kesan : Lateralisasi kanan
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia +
Hipernatremia
16/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran IVFD Ringer Fudin 12,5
O/ cc/jam
KU : Tampak Sakit Berat O2 4 liter per menit
KS : DPO (Dalam pengaruh obat) Infus manitol 1 x 125cc
Citicolin tab 2 x 1000 mg
TD : 214/148 mmHg
Inj. Transamin 3 x 1 amp
N : 113x / menit Inj. Vitamin K 3 X 1 amp
R : 14x / menit Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
o
S : 37,8 C Levofloksasin inf 1 x 750
mg
Pemeriksaan Fisik Umum: Amlodipin tab 1 x 10 mg
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Valsartan tab 1 x 160 mg
HCT tab 1 x 25 mg
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-)
Adalat oros 3 x 30 mg
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/- Inj. Metoclopramide 2 x 1
amp
Abdomen: supel, BU(+)
Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik

Status Neurologis
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
55
Refleks patologis : (+/-)
Babinski (+)
Kesan : Lateralisasi kanan
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia +
Hipernatremia
17/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran IVFD Ringer Fudin 12,5
cc/jam
O/ O2 4 liter per menit
KU : Tampak Sakit Berat Citicolin tab 2 x 1000 mg
Inj. Transamin 3 x 1 amp
KS : DPO (dalam pengaruh obat)
Inj. Vitamin K 3 X 1 amp
TD : 158/87 mmHg Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
N : 125x / menit Levofloksasin inf 1 x 750
R : 21x / menit mg
o
S : 38,1 C Amlodipin tab 1 x 10 mg
Valsartan tab 1 x 160 mg
Pemeriksaan Fisik Umum: HCT tab 1 x 25 mg
Adalat oros 3 x 30 mg
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Inj. Metoclopramide 2 x 1
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) amp
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/-
Abdomen: supel, BU(+)

Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik

Status Neurologis
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (+/-)
Babinski (+)
Kesan : Lateralisasi kanan
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia +
Hipernatremia

56
Tanggal Catatan Instruksi
18/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran IVFD RL 12,5 cc/jam
O2 4 liter per menit
O/ Citicolin tab 2 x 1000 mg
Inj. Furosemid 1 x 1 amp
KU : Tampak Sakit Berat Inj. Vit K 3 x 1 amp
KS : Somnolen E4M4V2 Inj. Transamin 3 x 1 amp
TD : 150/90 mmHg Inj. Ceftriakson 1 x 2gr
N : 100x / menit Levofloksasin inf 1 x 250
R : 20x / menit mg
S o Amlodipin tab 1 x 10 mg
: 36,9 C Valsartan tab 1 x 160 mg
Pemeriksaan Fisik Umum: HCT tab 1 x1
Adalat oros 2 x 30 mg
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) (puyerkan)
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) Inj. Metoclopramide 2 x 1
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/- amp

Abdomen: supel, BU(+)

Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik

Status Neurologis
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
Saraf Otak :
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (+/-)
Babinski (+)
Kesan : Lateralisasi kanan
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia +
Hipernatremia
19/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran, kulit IVFD RL 12,5 cc/jam
kemerahan pada tubuh O2 4 liter per menit
Citicolin tab 2 x 1000 mg
O/ Inj. Vit K 3 x 1 amp
Inj. Transamin 3 x 1 amp
KU : Tampak Sakit Berat
Inj. Ceftriakson 1 x 2gr
57
KS : Apatis E4M4V2 Levofloksasin inf 1 x 250
TD : 160/80 mmHg mg
N : 119x / menit Amlodipin tab 1 x 10 mg
R : 28x / menit Valsartan tab 1 x 160 mg
o HCT tab 1 x1
S : 36,6 C Adalat oros 1 x 30 mg
SpO2 : 97% (puyerkan)
Inj. Metoclopramide 2 x 1
Pemeriksaan Fisik Umum: amp
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Setirizin 1x1 10 mg
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) Metilprednisolon 2 x 125
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/- mg IV
Pindah Ruangan Besok
Abdomen: supel, BU(+) (20/5/2020)
Konsul Kulit
Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik

Status Neurologis
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik : Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (+/-)
Babinski (+)
A/

Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT


Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia +
Hipernatremia + Dermatitis ec ?
20/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran, kulit IVFD RL 21 cc/jam
kemerahan pada tubuh O2 4 liter per menit
Citicolin tab 2 x 1000 mg
O/ Inj. Vit K 3 x 1 amp
Inj. Transamin 3 x 1 amp
KU : Tampak Sakit Berat
Inj. Ceftriakson 1 x 2gr
KS : Apatis E4M4V2 Levofloksasin inf 1 x 250
TD : 149/94 mmHg mg
N : 110x / menit Amlodipin tab 1 x 10 mg
R : 28x / menit Valsartan tab 1 x 160 mg
o HCT tab 1 x1
S : 36,9 C
SpO2 : 97% Adalat oros 1 x 30 mg
(puyerkan)

58
Pemeriksaan Fisik Umum: Inj. Metoclopramide 2 x 1
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) amp
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) Setirizin 1x1 10 mg
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/- Metilprednisolon 2 x 125
mg IV
Abdomen: supel, BU(+) Miring Kanan/Kiri per 2
jam
Diet entrasol 4 x 300 kkal
Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik via NGT
Status Neurologis
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (+/-)
Babinski (+)
Kesan : Lateralisasi kanan
Laboratorium :

Hb : 14, 9 gr/dl
Hct : 47,8%
Leukosit : 27. 880/mm
Trombosit : 197.000/mm
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia +
Hipernatremia + Viral Exanthema dd erupsi obat ec
alergi susp. (tramadol, nikardipin, seftriakson,
furosemid, metokloporamid)

20/5/2020 S : Perburukan Kondisi


23.30 O : KU : Tampak Sakit Berat Infus Parasetamol 1 gr
Kes : Koma
TD : 100/90 mmHg
RR : 26x/i
24.00 T:40,6C

HR : 120 x/i
01.00 SpO2 : 94%
01.50
59
TD : 84/50 HR : 138 x/i, RR : 26 x/i, T : 40,6C
SpO2: 78%
TD : 62/32, HR : 129, RR : 26, T : 41,8C , SpO2: 95%
S : Henti nafas, henti jantung
O:
TD:-
Nadi : tidak teraba
RR:-
Dilakukan RJP 3 siklus 30:2 ( pasien tidak respon)
EKG : asistol
Pupil dilatasi maksimal (+/+)
Refleks cahaya (-/-), reflex kornea (-/-), fenomena
Doll’s eye (+)
Pasien dinyatakan meninggal di hadapan keluarga
pasien dan perawat RSUD Petala Bumi pukul 02.08
WIB

60
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis Stroke Hemoragik ec Perdarah Intra Serebri +
Hipertensi Emergensi + Hipokalemia + Hiperglikemia, berdasarkan:
Anamnesis: Mengalami keluhan penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS secara tiba-tiba
ketika pasien sedang diurut.Saat itu pasien cenderung mengantuk dan tidak respon saat
dipanggil. Pasien merasa lemas dan baal pada tangan dan kaki kanan sejak siang harinya.
Pasien tampak lemas seperti pingsan, ketika di panggil atau diajak berbicara pasien tidak
respon.
Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak
dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24
1
jam, atau dapat menyebabkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 6 tahun yang lalu, kardiomegali dan kolesterol
sejak 1 tahun yang lalu, dan riwayat 3 saudara kandung memiliki stroke dan hipertensi.
Dimana faktor resiko stroke pada pasien ini yaitu:
4
Tabel 1.Faktor risiko stroke
Tidak dapat Dapat dimodifikasi
dimodifikasi

Usia Merokok Riwayat stroke


Jenis kelamin Konsumsi alkohol Hipertensi
Genetik Penggunaan narkotika Penyakit jantung
Ras Hiperhomosisteinemia Diabetes mellitus
Antibodi anti fosfolipid Stenosis karotis
Hiperurisemia TIA
Peningkatan hematokrit Hiperkolesterolemia
Peningkatan kadar fibrinogen Penggunaan kontrasepsi oral
Obesitas

61
Faktor resiko paling penting di antaranya adalah hipertensi, penyakit jantung,
fibrilasi atrium, diabetes mellitus, merokok, dan hiperlipidemia. Lainnya, seperti penyakit
sistemik yang terkait dengan keadaan hiperkoagulabel dan penggunaan pil KB juga
berkontribusi, tetapi hanya dalam keadaan khusus. Hipertensi adalah faktor yang paling
3
dikenal dalam perkembangan perdarahan intraserebral primer.
Pada pasien ini, memiliki riwayat 3 saudara kandung memiliki stroke dan hipertensi.
Dimana factor genetik berkontribusi terhadap risiko stroke, variabilitas genetik dapat
berkontribusi terhadap risiko stroke melalui beberapa mekanisme potensial. Gambar dibawah
ini merupakan factor genetic yang berperan pada stroke hemoragik.

Pemeriksaan fisik:
Pasien tampak sakit berat dan mengalami penurunan kesadaran yaitu Sopor dengan GCS
5: E1M3V1. Tekanan Darah 222/175 mmHg, Nadi: 112 x/menit, regular, Respirasi 26x/menit,
0
suhu 37,2 C. Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal, pemeriksaan status
neurologis tanda rangsang meningeal (-), pupil bulat isokor refleks cahaya langsung dan

62
tidak langsung +/+, kesanparese N.VII dekstra sentral, pemeriksaan motorik kesan
lateralisasi dekstra, refleks fisiologis +/+ pada ekstremitas superior dan inferior.

3
Berdasarkan lokasi lesi vaskuler,
 Sistem karotis
- Motorik : hemiparese kontralateral, disartria
- Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia
- Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral, amaurosis fugaks
- Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia
 Sistem vertebrobasiler
- Motorik : hemiparese alternans, disartria
- Sensorik : hemihipestesi alternans, parestesia
- Gangguan lain : gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia.

Skoring untuk membedakan jenis stroke :

Skor siriraj :
( 2,5 x derajat kesadaran)+(2xvomitus)+(2 x nyeri kepala)+(0,1 x tekanan diastolik) –
(3 x petanda ateroma) – 12 =
(2,5 x 1) + (2x0) + (2x0) + (0,1 x 175) – (3x1) -12 = 20-3-12 = 5 -> Stroke
Hemoragik Hasil :
SS > 1 = Stroke hemoragik
-1 > SS > 1 = Perlu pemeriksaan penunjang (CT-Scan)
SS <-1 = Stroke non hemoragik
Keterangan :
Derajat kesadaran : sadar penuh (0), somnolen (1), koma (2)
Nyeri kepala : Tidak ada (0), ada (1)
Vomitus : tidak ada (0), ada (1)
Ateroma : Tidak ada penyakit jantung, DM (0), ada (1)

63
64
Pemeriksaaan penunjang
Pada pemeriksaan EKG kesan Sinus rytme 64x/m dan terdapat Old MCI di V1-V4, Rontgen
thoraks kesan Kardiomegali dengan CTR>50%. Pada pemeriksaan CT Scan,

Ekspertise hasil pemeriksaan CT Scan:


- Tak tampak soft tissue swelling extracranial
- Pada window tulang, tak tampak discontinuitas tulang
- Gyri mendatar,sulci dangkal dan fissure sylvii tak prominent
- Batas cortex dan medulla tegas
- Lesi hiperdens dengan perifocal oedema di lobus frontotemporalis sinistra
- Sistema ventrikel lateralis sinistra dan III sempit
- Midline bergeser kearah dextra sejauh lk 0,95 cm
- Air cellulae mastoidea dan SPN normodens

Kesan:
- ICH di lobus frontotemporalis sinistra
- Herniasi sulfacine kearah dextra sejauh lk 0,95 cm
- Edema Cerebri

65
Perkiraan Perdarahan yang terjadi:
A x B x C / 2 = 5 x 6 x 10 /2 = -+ 150cc

Gambar 11. Rumus perhitungan ABC/2 dan sABC/220

Penghitungan dengan volume manual (metode Broderich). Menggunakan data scaning


pemeriksaan MSCT kepala dengan klinis perdarahan intraserebral dengan slice thickness 5

mm. Dari data ini ditentutan besaran perdarahan terbesar, dihitung diameter panjang, lebar
21
dan tebal dari pada perdarahan. Dihitung volumenya secara manual dengan persamaan :
Volume = A X B x C
2
Ket : A : diameter panjang perdarahan.
B : diameter lebar perdarahan.
C : Tebal perdarahan

66
19
Tindakan/ Operasi

a. Penanganan dan Pemantauan Tekanan Intrakranial

Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi transtentorial,atau dengan
perdarahan intraventrikuler yang luas atau hidrosefalus, dapat dipertimbangkan untuk
penanganan dan Pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70 mmHg
dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi otak (AHA/ASA, Class Iib,
level of evidance C).
Drainase ventrikular sebagai tata laksana hidrosefalus dapat di[pertimabngkan pada
pasien dengan penurunan tingakt kesadaran (AHA/ASA Class IIa, Level of evidance
B).

b. Perdarahan Intraventikuler
Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant tissue-type plasminogen activator
(rTPA) untuk melisiskan bekuan darah intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi
yang cukup rendah, efikasi dan keamanan dari tata laksana ini masih belum pasti dan
dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
c. Evakuasi hematom

Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial, kegunaan tindakan


operasi masih belum pasti (AHA/ASA, Class Iib, level of evidance C).
Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami perburukan neurologis, atau yang
terdapat kompresi batang otak, dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventirkel
sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan darah secepatnnya (AHA/ASA, Class I,
Level of evidance B) . Tata laksana awal pada pasien tersebut dengan drainase
ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak direkomendasikan (AHA/ASA,
Class III, Level of evidance C)

Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm dari
permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial dengan kraniotomi
standar dapat dipertimbangkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B) .
Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal menggunakan baik aspirasi
streotaktik maupun endoskopik dengan atau tanpa penggunaan trombolitik masih
belum pasti dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera dari perdarahan
intrakranial supratentorial untuk meningkatakan keluaran fungsional atau angka

67
kematian, kraniotomi segera dapat merugikan karena dapat meningkatkan faktor
resiko perdarahan berulang (AHA/ASA, Class III, Level of evidance B) .

d. Prediksi keluaran dan penghentian dukungan teknologi


Perintah penundaan tidak diresusitasi direkoimendasikan untuk tidak melakukan
perawatan penuh dan agresif dilakukan selama 2 hari (AHA/ASA, Class Iia, Level of
evidance B), Kecuali pada pasien yang sejak semula ada keinginan untuk tidak
diresusitasi.
e. Pencegahan perdarahan intrakranial berulang

Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko pasien telah disusun untuk
mencegah perdarahan berulang keputusan tatalaksana dapat berubah karena
pertimbangan beberapa faktor risiko, antara lain lokasi lobus dari perdarahan awal,
usia lanjut, dalam pengobatan antikoagulan, terdapat alel E2 atau E4 apolipoprotein
dan perdarahan mikro dalam jumlah besar pada MRI (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance B) .
Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak ada kontra indikasi medis,
tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan baik terutama pada pasien yang lokasi
perdarahannya tipikal dari vaskulopati hipertensif (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance A) .
Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari tekanan darah dapat
dipertimbangkan menjadi <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg jika diabetes penyakit
ginjal kronik (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B) .
Penghentian pemakaian antikoagulan jangka panjang sebagai tatalaksana fibrilasi atrial
nonvalvuler mungkin direkomendasikan setelah perdarahan intrakranial lobar spontan
karena relatif berisiko tinggi untuk perdarahan berulang (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance B). Pemberian antikoagulan dan terapi antiplatelet setelah perdarahan
intrakranial nonlobar dapat dipertimbangkan, terutama pada keadaan terdapat indikasi
pasti penggunaan terapi tersebut (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).

68
Pada pasien ini diberikan tatalaksana:
- Oksigen via nasal kanul 3lpm
- Elevasi kepala 30 derajat
- IVFD Ringer laktat 20tpm
- Rujuk Bedah Saraf (Keluarga pasien menolak)
- Infus Mannitol 20% 250cc habis dalam 15 menit selanjutnya Mannitol 4 x 125 cc
- Injeksi Citicolin 2 x 1 gram
- Injeksi Furosemid 2 x 1 ampul
- Drip Nicardipin 7,5 cc per jam target TD 160/100 mmHg, bila TD tercapai dosis
dikurangi
- Injeksi Asam tranexamat 3 x 500mg
- Injeksi Vitamin K 3 x 10 mg
- Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 gram
- Injeksi Omeprazol 2 x 40mg
- Rencana perawatan di Intensive Care Unit

Perdarahan intraserebral adalah keadaan darurat medis yang membutuhkan terapi


darurat karena > 20% pasien mengalami penurunan 2 atau lebih poin GCS setelah penilaian
awal oleh Emergency Medical Services (EMS). Selain itu, 15-23 % pasien mengalami
ekspansi hematoma dan penurunan neurologis dalam beberapa jam pertama. Stabilisasi
airway, breathing and circulation (ABC) sangat penting untuk mencegah cedera sekunder
akibat hipoksemia, hipertensi tidak terkontrol, dan ekspansi hematoma. Intubasi untuk
perlindungan jalan nafas diindikasikan pada pasien dengan GCS ≤8 atau gangguan
6
pernapasan yang signifikan.

19
Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus dilakukan
dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari
pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang
mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA, Class V, Level of
evidence C).
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.

69
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi:

i. 0
Tinggikan posisi kepala 20 – 30
0

ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular

iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik


iv. Hindari hipertermia
v. Jaga normovolernia

vi. Osmoterapi atas indikasi:


o Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama 20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam dengan target
≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C). Osmolalitas sebaiknya
diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.
o Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.
vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg). Hiperventilasi
mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.
viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat mengurangi
naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena
akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C).
Agen nondepolarized seperti vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada
histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan (AHA/ASA, Class III-IV, Level
of evidence C). Pasien dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot
sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternative.
ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan tekanan
tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak ada
kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).

16
Manajeman Tekanan Darah
Manajemen tekanan darah membatasi terjadinya pembengkakan hematom dan
disarankan untuk dilakukan pada pasien PIS. Pendapat awal mengatakan bahwa penurunan
tekanan darah yang agresif akan menurunkan aliran darah otak, yang mana akan
mencetuskan iskemik pada daerah rentan yang dikelilingi hematoma dan menyebabkan
perburukan kondisi. Tetapi, penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa penurunan
7
tekanan darah yang agresif adalah aman dan tidak memperburuk kondisi pasien.
Pembaruan 2015 untuk AHA / ASA Guidelines for Management of Spontaneous
19
ICH merekomendasikan bahwa:
70
1. Untuk pasien ICH yang mengalami SBP antara 150 dan 220 mm Hg dan tanpa
kontraindikasi terhadap pengobatan BP akut, penurunan SBP akut menjadi 140 mm Hg
aman (Class I; Level of Evidence A) dan dapat efektif untuk meningkatkan hasil
fungsional Class IIa; Level of Evidence B). (Direvisi dari pedoman sebelumnya)
2. Untuk pasien ICH yang mengalami SBP> 220 mm Hg, mungkin masuk akal untuk
mempertimbangkan pengurangan agresif BP dengan infus intravena terus menerus dan
pemantauan BP yang sering (Class IIb; Level of Evidence C). (Rekomendasi baru)
Intravenous calcium channel blockers (misalnya, nicardipine) dan β-blocker
(misalnya, labetalol) adalah pengobatan pilihan untuk pengurangan TD dini, mengingat
waktu paruh yang singkat dan kemudahan titrasi. Nitrat harus dihindari karena berpotensi
9
untuk vasodilatasi otak dan tekanan intrakranial tinggi.
Pedoman untuk hipertensi tidak terkontrol resisten merekomendasikan angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACE-I) atau angiotensin receptor blocker (ARB), calcium
channel blocker (CCB) dan diuretik seperti thiazide pada dosis maksimal yang ditoleransi
sebagai formula kembar tiga optimal. CCB dan ACE -I atau ARB diterima secara luas
sebagai obat lini pertama dan lini kedua untuk pasien yang resistan, tetapi pilihan obat
antihipertensi lini ketiga dan keempat sangat bervariasi dalam praktik di dunia nyata.
Tiazid dapat menyebabkan hiponatremia dan memperburuk edema serebral pada pasien
dengan perdarahan besar atau efek massa. Spironolactone terbukti sangat efektif untuk
pasien dengan hipertensi tidak terkontrol yang resisten. Spironolakton dan α- / β-antagonis
dapat digunakan sebagai agen ketiga dan keempat untuk mempertahankan kontrol tekanan
darah sambil memakai agen intravena. Selama fase akut, pasien mungkin memiliki
hipertensi tidak terkontrol yang resisten karena sympathetic surge. Beberapa minggu
kemudian, mungkin memerlukan lebih sedikit obat-obatan dan beresiko hipotensi kecuali
9
jika dosis obat disesuaikan segera.

71
Gambar 12. Tabel pemberian nicardipin di RSUD Petala Bumi

Gambar 13. Rekomendasi Kombinasi Antihipertensi22

72
Gambar 14. Obat Parenteral Hipertensi Emergensi 22
Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia ad malam


Quo ad Fungsional : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam
Tabel 8. Prediksi mortalitas skor ICH pada pasien

Keadaan Poin
Skor Glasgow Coma Scale
3-4 2
5-12 1
13-15 0
Volume perdarahan intraserebral
>30 ml 1
<30 ml 0
Perdarahan intraventrikuler
Ada 1
Tidak ada 0
Lokasi perdarahan intraserebral
Infratentorial 1
Supratentorial 0

73
Umur
≥80 tahun 1
<80 tahun 0
Mortalitas 30 hari untuk hasil skoring
0=0%
1=13%
2=26%
3=72%
4=97%
5=100%
6= diperkirakan 100%, tidak ada pasien pada saat
studi dilakukan yang masuk pada kategori ini

74
KESIMPULAN

Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbesar di dunia, dengan prevalensi stroke
di Indonesia pada tahun 2018 mengalami kenaikan sebanyak 3,9% dalam lima tahun terakhir.
Cedera otak primer setelah PIS disebabkan oleh gangguan jaringan karena akumulasi darah
parenkim dan kerusakan mekanis terkait dengan efek massa. Sel-sel otak yang rusak dan
komponen dari bekuan darah memicu mekanisme kompleks inflamasi dan jalur stres oksidatif.
Stroke perdarahan memiliki tingkat mortalitas hingga 50% dalam 30 hari dengan setengah dari
pasien tersebut meninggal dalam 2 hari pertama. Pasien pada laporan kasus ini, perempuan 44
tahun dengan Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + Hipertensi Emergensi +
Hipokalemia meninggal pada hari ke-10 perawatan di RSUD Petala Bumi

75
DAFTAR PUSTAKA

1. D’Aliberti G, Longoni M, Motto C, et al. Ischemic stroke. Switzerland: Springer


International Publishing; 2017.
2. Balitbang Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI. 2018
3. Sudadi, Adiyanto B. Manual Book Neuroemergency Workshop. Yogyakarta: Departemen
Anestesiologi, Resusitasi dan Terapi Intensif FK UGM RSUP Dr. Sardjito;2019
4. Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru: SMF Saraf RSUD Arifin
Achmad / Fakultas Kedokteran Universitas Riau; 2007.
5. Boehme AK, Esenwa C, Elkind MS. Stroke risk factors, genetics, and prevention.
Circulation research. Am Heart Assoc; 2017;120(3):472–95.
6. Rumantir CU. Pola penderita stroke di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung periode 1984-1985. Laporan
penelitian pengalaman belajar riset dokter spesialis bidang ilmu saraf; 1986.
7. Mracsko E, Veltkamp R. Neuroinflammation after intracerebral hemorrhage. Frontiers in
cellular neuroscience. Frontiers; 2014;8:388.
8. Stroke: Pathogenesis [cited on June 15th, 2020]. Publish on June; 2018. Available from:
www.thecalgaryguide.com
9. Dastur CK, Yu W. Current management of spontaneous intracerebral haemorrhage.
Stroke and vascular neurology. BMJ Specialist Journals; 2017;2(1):21–9.
10. The Internet Stroke Center. About stroke [cited on June 15th, 2020]. Washington:
National Institute of Neurological Disorders and Stroke; 2010. Available from:
www.strokecenter.org/patients/about-stroke/
11. Degroot J. Neuroanatomi korelatif edisi ke-21. Jakarta: EGC; 1997.
12. Warlow C, Gijn JV, Dennis M, Wardlaw J, Bamford J, Hankey G, et al. Stroke practical
management third edition. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2008. p.41-6.
13. Walker G, Yip S, Zhelev Z, Henschke N. Prehospital stroke scales as screening tools for
early identification of stroke and transient ischemic attack. Canada: John Wiley & Sons;
2014.
14. Harbison J, Hossain O, Jenkinson D, Davis J, Louw SJ, Ford GA. Diagnostic accuracy of
stroke referrals from primary care, emergency room physicians, and ambulance staff
using the Face Arm Speech Test. Stroke 2003; 34:71-6.
15. The Internet Stroke Center. Stroke assessment scale [cited on June 15th, 2020].
Washington: National Institute of Neurological Disorders and Stroke; 2013. Available
from: www.strokecenter.org/professionals/stroke-diagnosis/stroke-assessment-scales/
16. Widiastuti P, Nuartha AABN. Sistem skoring diagnostik untuk stroke: skor Siriraj. CDK-
223 2015; 42(10):776-9.
17. Handoko SSG, Budiman Y, Suryakusuma L, Sasmita PK. Korelasi metode Algoritma
Stroke Gadjah Mada dan Siriraj Stroke Score dengan hasil CT-scan dalam mendiagnosa
stroke berdasarkan data rekam medis Rumah Sakit Atma Jaya tahun 2013. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; 2015.

76
th
18. Liebeskind DS. Hemorrhagic stroke [cited on June 15 , 2020]. Available from:
emedicine.medscape.com/article/1916662
19. Hemphill III JC, Greenberg SM, Anderson CS, Becker K, Bendok BR, Cushman M, et
al. Guidelines for the management of spontaneous intracerebral hemorrhage: a guideline
for healthcare professionals from the American Heart Association/American Stroke
Association. Stroke. Am Heart Assoc; 2015;46(7):2032–60.
20. Lee, Vivien H. et al. “Comparison of ABC / 2 with the Simplified ABC / 2 Formula in
Calculating Intracerebral Hemorrhage Volume.” (2016).
21. Kiswoyo AS. Et al. Penghitungan Volumetrik Perdarahan Dengan Metode Volume
Automatik (Software Volume Evaluation) Dan Metode Manual (Broderick) Pada Msct
Kepala (Study Eksperimen Pada Pasien Perdarahan Intraserebral Di Rs. Haji Surabaya).
JImeD, Vol. 3, No. 2
22. Chiang C-E, Wang T-D, Li Y-H, Lin T-H, Chien K-L, Yeh H-I, et al. 2010 guidelines of
the Taiwan Society of Cardiology for the management of hypertension. Journal of the
Formosan Medical Association. Elsevier; 2010;109(10):740–73.

77

Anda mungkin juga menyukai