Disusun oleh:
dr. Elsa Puspita
dr. Jevanlia Karlina
dr. Nadya Muthia Risky
Konsulen Pembimbing:
dr. Novia Aiko, SpN
Dokter Pendamping:
dr. Haniza Rangkuti
dr. Amelia Santi
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
“Stroke Hemoragik”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Program
Internship Dokter Indonesia, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia di Rumah Sakit
Umum Daerah Petala Bumi, Pekanbaru, Riau.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Novia Aiko, SpN
yang telah meluangkan waktunya, membimbing dan memberikan banyak masukan dalam
penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya serta dokter
pendamping, dr. Haniza Rangkuti dan dr. Amelia Santi yang telah membimbing penulis
selama mengikuti program internship ini.
Akhir kata, penulis menyadari banyak kekurangan didalam penyusunan laporan kasus
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna demi penyusunan
laporan kasus ini. Demikian penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak
dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam,
atau dapat menyebabkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak. Stroke
dibagi menjadi dua berdasarkan kelainan patologik, yaitu stroke non hemoragik dan stroke
hemoragik. Berdasarkan onset, stroke dibagi menjadi Transcient ischemic attack (TIA),
Reversible ischemic neurologic deficit (RIND), stroke in evolution (stroke progresif), dan
komplit stroke (completed stroke). Berdasarkan lokasi vaskuler, stroke dibedakan menjadi
1
sistem karotis dan sistem vertebrobasiler.
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbesar di dunia dengan angka kejadian
lebih dari 5,1 juta. Pada tahun 2020 diperkirakan 7,6 juta orang akan meninggal karena
stroke. Selain menyumbangkan angka kematian tinggi akibat stroke, Indonesia juga memiliki
angka beban stroke terbanyak kedua setelah Mongolia yaitu sebanyak 3.382,2/100.000 orang
berdasarkan DALYs (disability-adjusted life-year). Prevalensi stroke di Indonesia pada tahun
2018 sebesar 10,9% dan mengalami kenaikan sebanyak 3,9% dalam lima tahun terakhir.
Prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 11 per 1.000 penduduk. Angka kematian
stroke berdasar umur adalah sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur 55-64
tahun) dan 23,5% (umur >65 tahun). Kejadian stroke (insiden) sebesar 51,6/100.000
penduduk, dan kecacatan; 1,6% tidak berubah, 4,3% semakin memberat. Penderita laki-laki
2
lebih banyak daripada perempuan.
Stroke perdarahan memiliki angka insidensi 10-15% dari kejadian stroke akut,
mempengaruhi sekitar 650.000 pasien per tahun. Stroke perdarahan memiliki tingkat
mortalitas hingga 50% dalam 30 hari dengan setengah dari pasien tersebut meninggal dalam
2 hari pertama. Diantara pasien yang dapat bertahan hidup, hanya satu dari lima pasien yang
3
mampu hidup mandiri dalam 6 bulan.
Secara garis besar faktor resiko stroke dibagi menjadi dua yaitu faktor resiko yang
dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang dapat dimodifikasi
antaranya hipertensi, penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes mellitus, merokok,
mengkonsumsi alkohol, hiperlipidemia, kurang aktifitas. Sedangkan faktor yang tidak dapat
4
dimodifikasi antara lain: usia, jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetik.
Stroke Hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke
jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinal disekitar otak atau kombinasi 3
keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan
struktur otak dan juga oleh karena hematom yang menyebabkan iskemik pada jaringan
sekitarnya. Peningkatan tekanan intrakranial pada akhirnya akan menimbulkan herniasi
jaringan otak dan menekan batang otak. Akibatnya pasien seringkali datang dengan
penurunan kesadaran dan tidak sadar atau tidak tahu telah mengalami stroke akut sehingga
penanganan yang cepat dan tepat dapat menyelamatkan keadaan pasien dari resiko kematian
dan kecacatan. Intervensi penatalaksanaan yang tepat dan benar diperlukan dalam prinsip
pengobatan pasien. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
laporan kasus tentang stroke hemoragik.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Stroke
1.1 Definisi Stroke
Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak
dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam,
1
atau dapat menyebabkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.
4,5
1.3 Klasifikasi
Berdasarkan kelainan patologinya, stroke dapat dibagi menjadi:
a. Stroke hemoragik
i. Perdarahan intraserebral
ii. Perdarahan ekstraserebral (subarakhnoid)
b. Stroke non hemoragik
i. Stroke akibat trombosis
ii. Stroke emboli
iii. Stroke lakunar
Faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi termasuk usia, jenis kelamin, ras-
etnis dan genetika. Insiden stroke meningkat dengan bertambahnya usia, dengan kejadian dua
kali lipat untuk setiap dekade setelah usia 55 tahun. Usia rata-rata kejadian stroke iskemik
pada tahun 2005 adalah 69,2 tahun. Bukti terbaru menunjukkan, bahwa insiden dan
prevalensi stroke iskemik telah meningkat pada kelompok usia 20-54 tahun. Pada pasien
5
stroke hemoragik, insiden meningkat setelah usia 45 tahun.
6
Hubungan jenis kelamin dengan risiko stroke tergantung pada usia. Pada usia muda,
wanita memiliki risiko stroke yang lebih tinggi daripada pria, meskipun pada usia yang lebih tua,
risiko relatif sedikit lebih tinggi untuk pria. Risiko stroke yang lebih tinggi di antara wanita di
usia yang lebih muda kemungkinan mencerminkan risiko yang terkait dengan kehamilan dan
keadaan post-partum, serta faktor hormonal lainnya, seperti penggunaan kontrasepsi hormonal.
Sebuah penelitian yang dilakukan di 8 negara Eropa yang berbeda menemukan bahwa risiko
5
stroke meningkat 9% per tahun pada pria, dan 10% per tahun pada wanita.
Ada perbedaan ras yang terkait pada stroke. Orang Afrika-Amerika memiliki risiko
dua kali lipat untuk terkena stroke bila dibandingkan dengan berkulit putih, dan memiliki
angka kematian yang lebih tinggi terkait dengan stroke. Orang Indian Amerika memiliki
peningkatan kejadian stroke dibandingkan dengan orang kulit putih non-hispanik. Seperti
yang diilustrasikan baru-baru ini oleh studi REGARDS, satu alasan untuk perbedaan ras
mungkin adalah prevalensi yang lebih tinggi dari faktor-faktor risiko stroke, seperti
5
hipertensi, obesitas, dan diabetes, di antara orang-orang Afrika-Amerika.
Faktor keturunan berkontribusi terhadap risiko stroke, variabilitas genetik dapat
berkontribusi terhadap risiko stroke melalui beberapa mekanisme potensial. Pertama, kelainan
gen tunggal langka yang spesifik dapat berkontribusi pada manifestasi primer atau unik (mis.,
cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and leukoencephalopathy,
atau CADASIL). Kedua, kelainan gen tunggal dapat menyebabkan kelainan multisistem (mis.,
Anemia sel sabit). Ketiga, beberapa varian umum polimorfisme genetik telah dikaitkan dengan
risiko stroke, meskipun kontribusi individu dari polimorfisme tersebut dianggap sederhana
(misalnya, varian pada 9p21). Keempat, penyebab faktor risiko genetik stroke konvensional,
5
seperti fibrilasi atrium, diabetes, dan hipertensi, juga terkait dengan risiko stroke.
Bukti yang muncul menunjukkan bahwa studi genetik dapat membantu untuk
membedakan subtipe stroke dan bahkan berkontribusi pada manajemen pasien. Misalnya, ada
hubungan antara variasi gen yang memberi peningkatan risiko fibrilasi atrium dan stroke iskemik.
Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa tes genetika dapat membantu membuat diagnosis
stroke kemungkinan disebabkan oleh atrial fibrilasi. Saat ini, faktor keturunan umumnya
dianggap sebagai faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Beberapa faktor genetik bahkan
dapat dimodifikasi, misalnya, mereka yang anemia sel sabit dapat diobati dengan transfusi tukar
untuk mengurangi risiko stroke. Faktor genetik juga dapat dimodifikasi karena faktor lingkungan
juga dapat berinteraksi dengan mutasi genetik (yaitu interaksi gen-
7
lingkungan); sehingga mereka yang memiliki kecenderungan terhadap diabetes atau hipertensi
5
dapat terlibat dalam modifikasi pola makan dan gaya hidup untuk mengurangi risiko penyakit.
8
Gambar 2. Faktor Genetik penyebab Stroke5
9
Gambar 2. Faktor Genetik penyebab Stroke (lanjutan) 5
Beberapa faktor stroke yang dapat dimodifikasi, yang paling penting di antaranya
adalah hipertensi, penyakit jantung, fibrilasi atrium, diabetes mellitus, merokok, dan
hiperlipidemia. Hipertensi adalah faktor yang paling dikenal dalam perkembangan
perdarahan intraserebral primer. Kontrol jangka panjang hipertensi mengurangi kejadian
3
infark atherothrombotik dan perdarahan intraserebral.
Adanya gagal jantung kongestif dan aterosklerosis koroner juga sangat meningkatkan
kemungkinan stroke. Pada stroke emboli, faktor risiko yang paling penting adalah penyakit
kelainan jantung dan aritmia, khususnya fibrilasi atrium, yang meningkatkan kejadian stroke
sekitar enam kali lipat, dan delapan belas kali lipat jika terdapat penyakit katup rematik.
Endokarditis bakteri dan nonbakteri dan pirau kanan-ke-kiri antara bilik jantung atau paru
juga merupakan predisposisi stroke emboli. Diabetes mempercepat proses aterosklerotik di
arteri besar dan kecil. Pasien diabetes dua kali lebih mungkin terkena stroke dibandingkan
3
kelompok non diabetes.
Perokok lama juga berperan dalam perkembangan aterosklerosis karotis. Faktor
pendukung, seperti asupan kalium yang rendah dan kadar kalium serum yang berkurang,
telah dikaitkan dengan peningkatan tingkat stroke dalam beberapa penelitian, tetapi
3
mekanisme efek ini tidak jelas.
10
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh adanya perdarahan didalam bagian otak, sekitar 20
persen dari jenis stroke. Stroke jenis ini dapat dibagi kembali menjadi Perdarahan
Intraserebral (PIS) dan Perdarahan Sub Arahnoid (PSA). PIS paling sering disebabkan oleh
hipertensi, Cerebral Amyloid Angiopathy (CAA), pecahnya Arteriovenous Malformation
(AVM) atau komplikasi dari antikoagulasi sistemik. Kebalikannya, SAH paling sering
3
disebabkan oleh pecahnya aneurisma.
2.2 Patofisiologi
Cedera otak primer setelah ICH disebabkan oleh gangguan jaringan karena akumulasi
darah parenkim dan kerusakan mekanis yang terkait dengan efek massa (Gambar 4). Segera
setelah ICH, edema peri-hematomal semakin luas yang meningkatkan tekanan intrakranial
dan berkontribusi terhadap efek massa. Selain kerusakan jaringan mekanik yang disebabkan
oleh hematoma awal, sel-sel otak yang rusak dan komponen dari bekuan darah memicu
mekanisme kompleks inflamasi dan jalur stres oksidatif (Gambar 4). Aktivasi mekanisme
hemostatik adalah respons jaringan fisiologis terhadap perdarahan untuk menghentikan
perdarahan. Trombin sangat penting untuk proses pembekuan darah dan diaktifkan dalam
satu jam pertama setelah ICH. Konsentrasi trombin yang tinggi menginduksi kerusakan saraf
secara in vitro, namun, konsentrasi rendah bersifat neuroprotektif terhadap iskemia atau stres
oksidatif. Selain itu, trombin memiliki peran penting dalam pemulihan otak setelah
6
perdarahan intra serebral mungkin melalui inisiasi neurogenesis dan angiogenesis.
11
6
Gambar 3. Kerusakan Otak Primer san Sekunder pada Stroke Hemoragik
Lisis eritrosit dalam beberapa hari pertama setelah ICH menyebabkan pelepasan
hemoglobin yang kemudian dikonversi oleh enzim heme oxygenase-1 (HO-1) menjadi
komponen neurotoksik seperti heme dan besi yang merupakan kontributor utama cedera otak
sekunder. Mekanisme dari neurotoksisitas yang diinduksi heme dan besi adalah induksi stres
oksidatif karena aktivitas HO-1 dan produksi radikal bebas yang dimediasi besi melalui
6
reaksi Fenton.
Reaksi inflamasi yang terdiri dari komponen seluler dan molekul adalah respons
umum dari sistem saraf pusat (SSP) terhadap berbagai rangsangan. Neuroinflamasi setelah
ICH melibatkan aktivasi awal mikroglia, pelepasan mediator proinflamasi dan masuknya
6
leukosit perifer memiliki peran utama dalam patofisiologi kerusakan otak sekunder.
12
8
Gambar 4: Patogenesis Stroke Hemoragik
13
herniasi unkal adalah penurunan kesadaran yang semakin memberat, dilatasi pupil
ipsilateral, dan hemiplegia kontralateral.
4.Herniasi Tonsilar
Penambahan massa intracranial didaerah fossa posterior atau infratentorial
dapat mengakibatkan herniasi tonsillar.
14
PIS lobar umumnya merupakan hasil dari cerebral amyloid angiopathy (CAA).
Endapan amiloid dalam perforator kortikal berukuran kecil hingga sedang dapat
menyebabkan pecahnya pembuluh darah ini, yang mengakibatkan asymptomatic
microhaemorrhages atau pendarahan lobar asimptomatik. PIS non-lobar paling sering
merupakan akibat dari tekanan darah tinggi yang telah berlangsung lama yang mengakibatkan
lipohyalinosis dan perforasi kecil arteri dari ganglia basal, thalamus, pons dan cerebellum,
yang menyebabkan perdarahan yang dalam, seringkali dengan ekstensi ke ventrikel. Lokasi
paling umum dari PIS karena hipertensi adalah putamen, thalamus, subkortikal, pons dan
cerebellum. PIS sekunder dikaitkan dengan sejumlah kondisi bawaan dan didapat seperti
malformasi vaskular, tumor, gangguan koagulasi, penggunaan antikoagulan dan agen
9
trombolitik, vaskulitis serebral, penyalahgunaan obat dan trombosis vena serebral.
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke dimana
sekitar 80% diantaranya terjadi di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum.
Pada perdarahan otak terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan otak yang menyebabkan
penekanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, tetapi tidak merusak
10
jaringan otak seperti yang terjadi pada infark jaringan otak.
4
Gejala klinis perdarahan intraserebral terdiri dari:
1. Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama saat melakukan aktivitas dan dapat
didahului oleh gejala prodormal berupa peningkatan tekanan darah, yaitu nyeri kepala,
mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarahan retina, dan epistaksis
2. Penurunan kesadaran yang berat hingga koma disertai dengan hemiparesis atau hemiplegia
dan dapat juga disertai kejang fokal atau umum
3. Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial dapat ditemukan, seperti muntah proyektil,
papil edema, dll
15
3
2.4 Diagnosa Awal Pasien Penurunan Kesadaran
16
3
ALGORITMA MANAJEMEN PENURUNAN KESADARAN AKUT (LANJUTAN)
SECONDARY
17
2.5 Diagnosis Stroke
Penegakan diagnosis stroke dilakukan berdasarkan pengumpulan data dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Hal penting yang harus ditanyakan saat
anamnesis adalah onset terjadinya stroke untuk menentukan pilihan terapi selanjutnya.
Manifestasi klinis dari stroke yang dapat ditemukan berupa kelemahan pada satu sisi tubuh
(hemiparesis), rasa kebas pada satu sisi tubuh (hemihipestesi), bicara pelo (disartria),
1,11
kesulitan dalam berbahasa (afasia), nyeri kepala, gangguan penglihatan, dll.
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah menentukan apakah gejala dan tanda yang
terdapat pada pasien disebabkan oleh stroke atau bukan stroke. Berbagai algoritma dan
assessment tool dapat digunakan untuk membedakan apakah gejala dan tanda pada pasien
disebabkan oleh stroke atau bukan stroke, algoritma yang sering dipakai diantaranya adalah
11
Face Arm Speech Test (FAST) dan Los Angeles Prehospital Stroke Scale (LAPSS).
14
Tabel 3 Los Angeles Prehospital Stroke Scale (LAPSS)
Kriteria Jawaban
Usia > 45 tahun Yes Unknown No
Tidak ada riwayat bangkitan atau epilepsi Yes Unknown No
sebelumnya
Lama gejala kurang dari 24 jam Yes Unknown No
Pasien dapat berjalan normal sebelum onset serangan Yes Unknown No
Kadar gula darah antara 60-400 mg/dl Yes No
Kelemahan pada satu sisi tubuh saat pemeriksaan
2.5.1.1 Facial smile / grimace Yes No
2.5.1.2 Genggaman tangan
2.5.1.3 Mengangkat lengan
Keterangan: diagnosis kemungkinan stroke jika semua kriteria di atas
memiliki jawaban “yes” atau “unknown”
Setelah menentukan tanda dan gejala yang terdapat pada pasien disebabkan oleh stroke,
penentuan jenis patologi stroke sangat penting dilakukan untuk memberikan penatalaksanaan
18
yang tepat pada pasien. Perbedaan manifestasi klinis dari stroke infark dan stroke hemoragik
dapat dilihat pada tabel 4.
15
Tabel 4 Manifestasi klinis stroke infark dan hemoragik
Manifestasi klinis Stroke infark Stroke hemoragik
Gejala yang mendahului TIA (+) TIA (-)
Istirahat, tidur, atau Sering pada saat
Beraktivitas / istirahat segera setelah bangun
aktivitas fisik
tidur
Nyeri kepala dan muntah Jarang Sangat sering dan hebat
Penurunan kesadaran Jarang Sering
Hipertensi Sedang atau tidak ada Sedang – berat
Rangsangan meningeal Tidak ada Ada
Gejala tekanan tinggi Jarang ada papil edema Papil edema dan
intrakranial / papil edema perdarahan subhialoid
Darah dalam cairan Tidak ada Ada
serebrospinal
Dapat dijumpai
Foto kepala Tidak dapat dinilai pergeseran glandula
pinealis
CT scan kepala Area hipodensitas Area hiperdensitas
Dapat dijumpai Dapat dijumpai
aneurisma, arteriovenous
gambaran penyumbatan,
Angiografi malformation (AVM),
penyempitan, atau
massa intrahemisfer,
vasculitis
atau vasospasme
6
Tabel 5. Perbedaan Stroke Hemoragik dan Non hemoragik
19
Likuor Bisa terdapat Berdarah Jernih
cerebrospinal darah
Beberapa algoritma dan assessment tool dapat digunakan untuk menentukan apakah
stroke yang terjadi pada pasien merupakan stroke hemoragik atau stroke infark adalah
16
Algoritma Stroke Gadjah Mada (ASGM) dan Siriraj Stroke Score (SSS).
16
Siriraj Stroke Score
SSS=2,5C+2V+2H+0,1DBP-3A-12
C = Consciousness
- Alert :0
- Drowsy, stupor :1
- Semicoma, coma : 2
V = Vomitting
- No :0
- Yes :1
H = Headache within 2 hours
- No : 0
- Yes : 1
DBP = Diastolic blood pressure (mmHg)
A = Atheroma(riwayat diabetes mellitus, angina, klaudikasio)
- No : 0
- One or more : 1
16
Tabel 6 Interpretasi Siriraj Stroke Score (SSS)
20
Gambar 7 Algoritma Stroke Gadjah Mada17
Perdarahan intraserebral harus dicurigai pada pasien dengan sakit kepala berat, muntah,
tekanan darah sistolik tinggi atau penurunan tingkat kesadaran. Diagnosis cepat sangat penting
untuk perawatan yang tepat dan hasil fungsional yang lebih baik. Kemunduran dini dalam
beberapa jam pertama setelah onset awal sering terjadi, dari ekspansi hematoma dan dari cedera
21
sekunder. Selain riwayat klinis yang cepat dan pemeriksaan neurologis, neuroimaging cepat
dengan CT kepala non-kontras sangat sensitif dan spesifik untuk PIS dan merupakan kunci
awal diagnosis. CT scan akan menampilkan tidak hanya lokasi dan ukuran PIS tetapi juga
ekstensi intraventrikular, efek massa, hidrosefalus dan tanda-tanda awal herniasi. MRI lebih
baik digunakan sebagai alat tambahan untuk membantu dalam menentukan penyebab yang
9
mendasari PIS (seperti CAA, kavernoma dan tumor).
19
Rekomendasi diagnosis dan penilaian awal stroke:
1. Skor keparahan awal harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi awal pasien dengan ICH
(Class I; Level of Evidence B). (Rekomendasi baru)
2. Neuroimaging cepat dengan CT atau MRI direkomendasikan untuk membedakan stroke
iskemik dari ICH (Class I; Level of Evidence A). (Tidak berubah dari pedoman sebelumnya)
3. CTA dan CT yang ditingkatkan kontras dapat dipertimbangkan untuk membantu
mengidentifikasi pasien yang berisiko untuk ekspansi hematoma(Class IIb; Level of Evidence
B), dan CTA, CT venografi, CT peningkatan kontras, MRI yang ditingkatkan kontras, MRI
resonansi magnetik, angiografi resonansi magnetik, dan resonansi magnetik venografi, dan
angiografi kateter dapat bermanfaat untuk mengevaluasi lesi struktural yang mendasarinya
termasuk malformasi vaskular dan tumor ketika ada kecurigaan klinis atau radiologis (Class
IIa; Level of Evidence B). (Tidak berubah dari pedoman sebelumnya)
22
Gambar dibawah ini menggambarkan komponen dari riwayat, pemeriksaan fisik, dan
19
studi diagnostik yang harus diperoleh di Unit Gawat Darurat.
Gambar 8. Komponen riwayat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan pasien dengan PIS di IGD
2.5 Tatalaksana
Penatalaksanaan Umum Stroke Akut
19
A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka
evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita saat
serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan
23
(hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi,
diabetes, dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu tubuh.
Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit
karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif).
Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama
pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara
jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan
saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class
1, Level of evidence B).
2. Terapi Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah,
suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan
defisit neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP).
Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95%
(ESO, Class V, GCP).
Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak
sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan
kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class
I, Level of evidence C).
Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).
Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi oksigen
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg),
atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa
terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
24
b. Stabilisasi Hemodinamik
Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan
hipotonik seperti glukosa).
Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan untuk
memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan
nutrisi.
Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
Optimalisasi tekanan darah.
Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-
obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/
tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar
140 mmHg.
Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama
setelah serangan stroke iskernik (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi
Kardiologi).
Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus
dikoreksi dengan larutan salin normal dan aritmia jantung yang mengakibatkan
penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).
c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum
Tekanan darah
Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan neurologi umum awal:
i. Derajat kesadaran
ii. Pemeriksaan pupil dan oculomotor
iii. Keparahan hemiparesis
d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus dilakukan
dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari
pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
25
Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang
mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA, Class V,
Level of evidence C).
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi:
i. 0
Tinggikan posisi kepala 20 – 30
0
v. Jaga normovolernia
viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan
intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator
(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti
vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok
pada ganglion lebih baik digunakan (AHA/ASA, Class III-IV, Level of
evidence C). Pasien dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan
relaksan otot sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternative.
ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan tekanan
tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini
tidak ada kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
PIS adalah keadaan darurat medis yang membutuhkan terapi darurat karena > 20%
pasien mengalami penurunan 2 atau lebih poin GCS setelah penilaian awal oleh Emergency
Medical Services (EMS). Selain itu, 15-23 % pasien mengalami ekspansi hematoma dan
penurunan neurologis dalam beberapa jam pertama. Stabilisasi airway, breathing and
27
circulation (ABC) sangat penting untuk mencegah cedera sekunder akibat hipoksemia,
hipertensi tidak terkontrol, dan ekspansi hematoma. Intubasi untuk perlindungan jalan nafas
diindikasikan pada pasien dengan GCS ≤8 atau gangguan pernapasan yang signifikan. Pasien
dengan penurunan tingkat kesadaran dari perdarahan intraventrikular dengan hidrosefalus,
efek massa atau herniasi batang otak harus menerima ventrikulostomi, terapi hyperosmolar
dengan manitol 0,5-1 g / kg atau infus salin hipertonik. Algoritma di IGD untuk diagnosis
9
dini dan intervensi terdapat pada Gambar dibawah ini:
9
Gambar 9. Algoritma Departemen Emergensi untuk diagnosa dan intervensi awal PIS
28
hematoma sangan krusial pada kondisi pasien yang akut. Gangguan koagulasi, peningkatan
tekanan darah, dan DM yang tidak terkontrol dengan baik berkaitan dengan peningkatan
ukuran hematom. Penelitian telah menunjukkan CT Scan angiografi dengan kontras dapat
3
membantu mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami pembengkakan hematom.
29
1. Untuk pasien ICH yang mengalami SBP antara 150 dan 220 mm Hg dan tanpa
kontraindikasi terhadap pengobatan BP akut, penurunan SBP akut menjadi 140 mm Hg
aman (Class I; Level of Evidence A) dan dapat efektif untuk meningkatkan hasil
fungsional Class IIa; Level of Evidence B). (Direvisi dari pedoman sebelumnya)
2. Untuk pasien ICH yang mengalami SBP> 220 mm Hg, mungkin masuk akal untuk
mempertimbangkan pengurangan agresif BP dengan infus intravena terus menerus dan
pemantauan BP yang sering (Class IIb; Level of Evidence C). (Rekomendasi baru)
Intravenous calcium channel blockers (misalnya, nicardipine) dan β-blocker
(misalnya, labetalol) adalah pengobatan pilihan untuk pengurangan TD dini, mengingat
waktu paruh yang singkat dan kemudahan titrasi. Nitrat harus dihindari karena berpotensi
9
untuk vasodilatasi otak dan tekanan intrakranial tinggi.
Pedoman untuk hipertensi tidak terkontrol resisten merekomendasikan angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACE-I) atau angiotensin receptor blocker (ARB), calcium
channel blocker (CCB) dan diuretik seperti thiazide pada dosis maksimal yang ditoleransi
sebagai formula kembar tiga optimal. CCB dan ACE -I atau ARB diterima secara luas
sebagai obat lini pertama dan lini kedua untuk pasien yang resistan, tetapi pilihan obat
antihipertensi lini ketiga dan keempat sangat bervariasi dalam praktik di dunia nyata.
Tiazid dapat menyebabkan hiponatremia dan memperburuk edema serebral pada pasien
dengan perdarahan besar atau efek massa. Spironolactone terbukti sangat efektif untuk
pasien dengan hipertensi tidak terkontrol yang resisten. Spironolakton dan α- / β-antagonis
dapat digunakan sebagai agen ketiga dan keempat untuk mempertahankan kontrol tekanan
darah sambil memakai agen intravena. Selama fase akut, pasien mungkin memiliki
hipertensi tidak terkontrol yang resisten karena sympathetic surge. Beberapa minggu
kemudian, mungkin memerlukan lebih sedikit obat-obatan dan beresiko hipotensi kecuali
9
jika dosis obat disesuaikan segera.
Manajemen Glukosa
Hiperglikemia saat masuk berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih
buruk terlepas dari adanya diabetes. Namun, kontrol glukosa yang ketat dengan target
glukosa 80-110 mg / dL meningkatkan hipoglikemia dan risiko morbiditas dan mortalitas.
Perawatan harus diambil untuk menghindari hiperglikemia dan hipoglikemia. Target kadar
9
glukosa pada 100-150 mg / dL untuk pasien dengan PIS.
30
Pengendalian Demam
Demam umum terjadi setelah PIS, terutama pada pasien dengan ekstensi intraventrikular.
Demam berkelanjutan setelah PIS adalah faktor prognostik independen untuk hasil yang lebih
buruk. Namun, baik terapi hipotermia maupun normotermia tidak terbukti meningkatkan hasil.
Dalam studi kasus-kontrol retrospektif pasien dengan PIS spontan yang mengalami dua kali
demam berturut-turut ≥38,3 ° C meskipun pemberian asetaminofen, terapi normotermia
terbukti berhubungan dengan peningkatan durasi sedasi, ventilasi mekanik dan lama tinggal
Neuro-ICU tanpa manfaat hasil pelepasan. Normotermia atau hipotermia tidak boleh
9
digunakan setelah ICH kecuali dalam pengaturan uji klinis.
19
C. Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat
1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan
vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk
kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius
pada penderita panas).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa dan
diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada
keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya
boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi diberikan
melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
Karbohidrat 30-40 % dari total kalori
Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %)
31
Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada
gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).
d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangkan untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan
nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan.
Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin K pada pasien
yang mendapat warfarin.
3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi,
malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus, komplikasi
ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan (AHA/ASA, Level of evidence B and C).
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan
sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman
(AHA/ASA, Level of evidence A).
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai Kasur
antidekubitus.
d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.
e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam, heparin
subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid perlu diberikan
(AHA/ASA, Level of evidence A).5 Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan
intraserebral perlu diperhatikan.6 Pada pasien imobilisasi yang tidak bias menerima
antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau aspirin direkomendasikan untuk
mencegah thrombosis vena dalam. (AHA/ASA, Level of evidence A and B).
4. Penatalaksanaan Medis Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar glukosa
darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence C). Target yang harus dicapai adalah normoglikemia.
Hipoglikemia berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau
infuse glukosa 10-20%.
b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor
tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol bisa digunakan.
c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.
32
d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan pasien karena
dapat mempengaruhi TIK.
f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten.
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI, Dupleks
Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-lain sesuai dengan
indikasi.
i. Rehabilitasi.
j. Edukasi.
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).
D. Tindakan/ Operasi
19
Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi transtentorial,atau dengan
perdarahan intraventrikuler yang luas atau hidrosefalus, dapat dipertimbangkan untuk
penanganan dan Pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70 mmHg
dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi otak (AHA/ASA, Class Iib,
level of evidance C).
Drainase ventrikular sebagai tata laksana hidrosefalus dapat dipertimabngkan pada
pasien dengan penurunan tingakt kesadaran (AHA/ASA Class IIa, Level of evidance
B).
b. Perdarahan Intraventikuler
Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant tissue-type plasminogen activator
(rTPA) untuk melisiskan bekuan darah intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi
yang cukup rendah, efikasi dan keamanan dari tata laksana ini masih belum pasti dan
dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
c. Evakuasi hematom
33
sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan darah secepatnnya (AHA/ASA, Class I,
Level of evidance B) .Tata laksana awal pada pasien tersebut dengan drainase
ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak direkomendasikan (AHA/ASA,
Class III, Level of evidance C)
Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm dari
permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial dengan kraniotomi
standar dapat dipertimbangkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B) .
Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal menggunakan baik aspirasi
streotaktik maupun endoskopik dengan atau tanpa penggunaan trombolitik masih
belum pasti dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera dari perdarahan
intrakranial supratentorial untuk meningkatakan keluaran fungsional atau angka
kematian, kraniotomi segera dapat merugikan karena dapat meningkatkan faktor
resiko perdarahan berulang (AHA/ASA, Class III, Level of evidance B) .
Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko pasien telah disusun untuk
mencegah perdarahan berulang keputusan tatalaksana dapat berubah karena
pertimbangan beberapa faktor risiko, antara lain lokasi lobus dari perdarahan awal,
usia lanjut, dalam pengobatan antikoagulan, terdapat alel E2 atau E4 apolipoprotein
dan perdarahan mikro dalam jumlah besar pada MRI (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance B) .
Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak ada kontra indikasi medis,
tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan baik terutama pada pasien yang lokasi
perdarahannya tipikal dari vaskulopati hipertensif (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance A) .
Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari tekanan darah dapat
dipertimbangkan menjadi <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg jika diabetes penyakit
ginjal kronik (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B) .
34
Penghentian pemakaian antikoagulan jangka panjang sebagai tatalaksana fibrilasi atrial
nonvalvuler mungkin direkomendasikan setelah perdarahan intrakranial lobar spontan
karena relatif berisiko tinggi untuk perdarahan berulang (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance B). Pemberian antikoagulan dan terapi antiplatelet setelah perdarahan
intrakranial nonlobar dapat dipertimbangkan, terutama pada keadaan terdapat indikasi
pasti penggunaan terapi tersebut (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
3
2.6 Komplikasi
Komplikasi Neurologik :
a. Edema otak (herniasi otak)
b. Infark berdarah (pada emboli otak)
c. Vasospasme (terutama pada PSA)
d. Hidrosefalus
Komplikasi Non-neurologik:
Akibat proses diotak
a. Tekanan darah meninggi
b. Hiperglikemi
c. Edema paru
d. Kelainan Jantung
e. Kelainan EKG
f. Natriuresis
g. Retensi cairan tubuh
h. hiponatremia
35
Gambar 10. Stroke: Komplikasi Non-neural
2.7 Prognosis
PIS adalah jenis stroke yang memiliki mortalitas tinggi. Sejumlah faktor dapat
mempengaruhi hasil setelah PIS, termasuk volume dan lokasi hematoma, ekspansi hematoma,
usia, GCS , ekstensi intraventrikular dan penggunaan antikoagulan. Skor ICH dikembangkan
4
untuk memprediksi tingkat kematian 30 hari dan hasil fungsional pada 1 tahun.
3
Tabel 7 Tabel prediksi mortalitas skor ICH
Keadaan Poin
Skor Glasgow Coma Scale
3-4 2
5-12 1
13-15 0
Volume perdarahan intraserebral
>30 ml 1
<30 ml 0
Perdarahan intraventrikuler
Ada 1
Tidak ada 0
Lokasi perdarahan intraserebral
36
Infratentorial 1
Supratentorial 0
Umur
≥80 tahun 1
<80 tahun 0
Mortalitas 30 hari untuk hasil skoring
0=0%
1=13%
2=26%
3=72%
4=97%
5=100%
6= diperkirakan 100%, tidak ada pasien pada saat
studi dilakukan yang masuk pada kategori ini
37
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. Eviana Loi
Jenis kelamin : Perempuan
No. CM :120811
Usia : 44 tahun
Alamat : Jl.Setia Budi
Agama : Prostestan
Status Pernikahan : Menikah
Status Pekerjaan : Wirausaha
Tanggal Masuk : 10 Mei 2020
Ruangan : Intensive Care Unit RSUD Petala Bumi
Pembiayaan : BPJS
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 20Mei 2020 kepada keluarga
pasien di RSUD Petala Bumi
A. Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS.
38
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien memiliki
riwayat hipertensi sejak 6 tahun yang lalu, rutin kontrol 1 tahun terakir dengan obat
hipertensi kaptopril. Pasien juga diketahui mengalami pembengkakan jantung dan
kolesterol sejak 1 tahun lalu. Riwayat trauma kepala, diabetes mellitus, dan kejang
disangkal.
E. Riwayat Alergi :
Pasien memiliki riwayat alergi ranitidin.
39
1. Kepala : Normocephal.
2. Leher : KGB tidak membesar, JVP tidak meningkat.
3. Thoraks
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II reguler,
Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding dada dalam keadaan statis dan
dinamis simetris bilateral, spider navy (-), sikatrik (-),
hematoma (-). Massa (-), perbandingan diameter
transversal : anteroposterior = 2 : 1
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris bilateral, nyeri tekan
hemitoraks dextra dan sinistra (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler Breathing sound simetris kanan dan kiri,
Ronkhi -/- Wheezing - / -
Abdomen
Inspeksi : sikatriks (-), spider navy (-), asites (-), hernia umbilicus (-)
Auskultasi : BU (+) di empat kuadran
Perkusi : terdengar timpani di empat kuadran, shifting dullness (+)
Palpasi : hepatomegali (-), pembesaran lien (-), undulasi (-), nyeri tekan
(-) di epigastrium, nyeri ketok (-)
Ekstremitas :
Superior : Akral hangat :+/+
Edema :-/-
Pitting Edema : - / -
40
B. Pemeriksaan Neurologi
1. Inspeksi:
Kepala
Bentuk : Normocephalus
Nyeri tekan : (-)
Simetris : (+)
Leher
Sikap : Dalam batas normal
Pergerakan : Dalam batas normal
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
2. Saraf otak
N. Kranialis Kanan Kiri
N. I (Olfaktorius)
Subyektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Dengan Bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. II (Optikus)
Tajam Penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapang penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. III (Okulomotorius)
Sela mata Simetris Simetris
Pergerakan Bulbus Simetris Simetris
Strabismus
Nistagmus - -
Exoftalmus - -
Pupil (Besar, bentuk) D : 3mm, isokor D : 3mm, isokor
Refleks cahaya langsung + +
RCTL + +
41
Refleks konvergensi Sulit dinilai Sulit dinilai
Melihat kembar Sulit dinilai Sulit dinilai
N. IV (Troklearis)
Pergerakan mata Simetris Simetris
Sikap bulbus Simetris Simetris
Melihat kembar Sulit dinilai Sulit dinilai
N. V (Trigeminus)
Membuka mulut Sulit dinilai Sulit dinilai
Menguyah Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengigit Sulit dinilai Sulit dinilai
Reflek kornea Sulit dinilai Sulit dinilai
Sensibilitas muka Sulit dinilai Sulit dinilai
N. VI (Abdusens)
Pergerakan mata Simetris Simetris
Sikap bulbus Simetris Simetris
Melihat kembar Sulit dinilai Sulit dinilai
N. VIII
(Vestibulokoklearis)
Detik arloji Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Suara berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
42
N. IX (Glosofaringeus)
Refleks kecap 1/3 belakang Tidak dilakukan
Sensibilitas faring Tidak dilakukan
N. X (Vagus)
Arkus faring Tidak dilakukan
Uvula Tidak dilakukan
Menelan Tidak dilakukan
N. XI ( Assesorius )
Menenggok kanan kiri Tidak dilakukan
Mengangkat Bahu Tidak dilakukan
N. XII ( Hipoglossus )
Pergerakan Lidah Sulit dinilai
Lidah deviasi Sulit dinilai
Artikulasi Tidak dilakukan
43
Anggota gerak bawah
Motorik
Pergerakan :-/+
Kekuatan : Kesan lateralisasi deksta
Tonus : Baik
Atropi : (-)
Sensibilitas :Sulit dinilai
Taktil : Sulit dinilai
Nyeri : Sulit dinilai
Suhu : Sulit dinilai
Refleks fisiologis
Refleks Dextra / Sinistra
Biseps +/ +
Triseps +/ +
Brachioradialis +/ +
Patella +/ +
Achiles +/ +
Refleks patologis
Refleks Ekstremitas Dextra Ekstremitas Sinistra
Babinski - -
Chaddock - -
Openheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Test Laseque - -
Test brudzinsky - -
I/II/III/IV
Test kernig - -
Meningial Sign - -
Patrick Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kontra Patrick Tidak dilakukan Tidak dilakukan
44
4. Koordinasi, Gait dan keseimbangan
Cara berjalan : Tidak dilakukan
Test Romberg : Tidak dilakukan
Disdiadokokinesis : Tidak dilakukan
Ataksia : Tidak dilakukan
Rebound phenomen : Tidak dilakukan
Tremor : (-)
Athetosi : (-)
Mioklonik : (-)
Khorea : (-)
6. Fungsi Luhur : Afasia global
7. Fungsi Vegetatif : BAB (-) , BAK (+)
45
Trombosit : 204.000
Eritrosit : 4.9 juta/mm
Diff Count : 0/0/92/5/2
2. Kimia Klinik :
Ureum : 30 mg/dL
Kreatinin : 0,9 mg/dL
Gula darah sewaktu : 205 mg/dL
3. Elektrolit :
Natrium : 140 mmol/L
Kalium : 2,9 mmol/L
Kalsium : 106 mmol/L
Hb : 17,0 gr/dl
Hct : 53%
Leukosit : 28.840/mm
Trombosit : 216.000/mm
Eritrosit : 6,1 jt
Elektrolit :
46
EKG
47
RONTGEN THORAX
X-Foto Thorax :
Cor : CTR > 50%
Pulmo : corakan bronkovaskuler normal
Infiltrat (-)
Diafragma dan sudut kostofrenikus normal
Kesan :
Cor : Kardiomegali
Paru : Tidak tampak kelainan.
48
CT SCAN KEPALA NON KONTRAS
Kesan:
- ICH di lobus frontotemporalis sinistra
- Herniasi sulfacine kearah dextra sejauh lk 0,95 cm
- Edema Cerebri
49
V. Resume
Subyektif
Pasien perempuan 44 tahun datang ke IGD RSUD Petala Bumi dibawa
keluarganya dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS terjadi tiba-tiba
ketika pasien sedang diurut. Saat itu pasien cenderung mengantuk dan tidak respon
saat dipanggil. Pada hari itu pasien merasa lemas dan baal pada tangan dan kaki kanan
sejak siang harinya sehingga pasien meminta untuk diurut. Pasien memiliki riwayat
hipertensi sejak 6 tahun yang lalu, pembengkakan jantung dan kolesterol sejak 1
tahun lalu. Diketahui 3 saudara pasien memiliki riwayat stroke dan hipertensi tidak
terkontrol. Pasien memiliki riwayat alergi ranitidine.
Obyektif
Status Pasien
Kesadaran : Sopor
Keadaan umum : Tampak Sakit Berat
Tanda vital :
Tekanan Darah : 222/175 mmHg
Nadi : 112 x/menit, regular.
Respirasi : 26 x/menit
Suhu 0
: 37,2 C
Status Interna
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-), Kardiomegali.
Paru : VBS ka = ki Rh-/-, Wh-/-
Abdomen : Dalam batas normal
Status Neurologis
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
Saraf Otak : Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
N.VII parese sentral dextra
N.XII sulit dinilai
Motorik : Kesan lateralisasi dekstra
50
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAK: lancar, BAB-
Refleks fisiologis + +
+ +
Refleks patologis :-
VI. Diagnosa
Diagnosis kerja :
Stroke Hemoragic ec Perdarahan Intra Serebral + Hipertensi Emergensi +
Hipokalemia + Hiperglikemia
Diagnosis banding : Perdarahan Sub Arahnoid, Stroke Ischemic
VII. Tatalaksana
- Oksigen via nasal kanul 3lpm
- Elevasi kepala 30 derajat
- Rujuk Bedah Saraf (Keluarga pasien menolak)
- IVFD Ringer laktat 20tpm
- Infus Mannitol 20% 250cc habis dalam 15 menit selanjutnya Mannitol 4 x 125 cc
- Injeksi Citicolin 2 x 1 gram
- Injeksi Furosemid 2 x 1 ampul
- Drip Nicardipin 7,5 cc per jam target TD 160/100 mmHg, bila TD tercapai dosis
dikurangi
- Injeksi Asam tranexamat 3 x 500mg
- Injeksi Vitamin K 3 x 10 mg
- Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 gram
- Injeksi Omeprazol 2 x 40mg
- Rencana perawatan di Intensive Care Unit
IX. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad malam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam
51
FOLLOW UP PASIEN
Status Neurologis
54
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
Saraf Otak :
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif: BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (+/-)
Babinski (+)
Kesan : Lateralisasi kanan
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia +
Hipernatremia
16/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran IVFD Ringer Fudin 12,5
O/ cc/jam
KU : Tampak Sakit Berat O2 4 liter per menit
KS : DPO (Dalam pengaruh obat) Infus manitol 1 x 125cc
Citicolin tab 2 x 1000 mg
TD : 214/148 mmHg
Inj. Transamin 3 x 1 amp
N : 113x / menit Inj. Vitamin K 3 X 1 amp
R : 14x / menit Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
o
S : 37,8 C Levofloksasin inf 1 x 750
mg
Pemeriksaan Fisik Umum: Amlodipin tab 1 x 10 mg
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Valsartan tab 1 x 160 mg
HCT tab 1 x 25 mg
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-)
Adalat oros 3 x 30 mg
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/- Inj. Metoclopramide 2 x 1
amp
Abdomen: supel, BU(+)
Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik
Status Neurologis
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
55
Refleks patologis : (+/-)
Babinski (+)
Kesan : Lateralisasi kanan
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia +
Hipernatremia
17/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran IVFD Ringer Fudin 12,5
cc/jam
O/ O2 4 liter per menit
KU : Tampak Sakit Berat Citicolin tab 2 x 1000 mg
Inj. Transamin 3 x 1 amp
KS : DPO (dalam pengaruh obat)
Inj. Vitamin K 3 X 1 amp
TD : 158/87 mmHg Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
N : 125x / menit Levofloksasin inf 1 x 750
R : 21x / menit mg
o
S : 38,1 C Amlodipin tab 1 x 10 mg
Valsartan tab 1 x 160 mg
Pemeriksaan Fisik Umum: HCT tab 1 x 25 mg
Adalat oros 3 x 30 mg
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Inj. Metoclopramide 2 x 1
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) amp
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/-
Abdomen: supel, BU(+)
Status Neurologis
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (+/-)
Babinski (+)
Kesan : Lateralisasi kanan
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia +
Hipernatremia
56
Tanggal Catatan Instruksi
18/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran IVFD RL 12,5 cc/jam
O2 4 liter per menit
O/ Citicolin tab 2 x 1000 mg
Inj. Furosemid 1 x 1 amp
KU : Tampak Sakit Berat Inj. Vit K 3 x 1 amp
KS : Somnolen E4M4V2 Inj. Transamin 3 x 1 amp
TD : 150/90 mmHg Inj. Ceftriakson 1 x 2gr
N : 100x / menit Levofloksasin inf 1 x 250
R : 20x / menit mg
S o Amlodipin tab 1 x 10 mg
: 36,9 C Valsartan tab 1 x 160 mg
Pemeriksaan Fisik Umum: HCT tab 1 x1
Adalat oros 2 x 30 mg
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) (puyerkan)
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) Inj. Metoclopramide 2 x 1
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/- amp
Status Neurologis
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
Saraf Otak :
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (+/-)
Babinski (+)
Kesan : Lateralisasi kanan
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia +
Hipernatremia
19/5/2020 S/ Pasien dengan penurunan kesadaran, kulit IVFD RL 12,5 cc/jam
kemerahan pada tubuh O2 4 liter per menit
Citicolin tab 2 x 1000 mg
O/ Inj. Vit K 3 x 1 amp
Inj. Transamin 3 x 1 amp
KU : Tampak Sakit Berat
Inj. Ceftriakson 1 x 2gr
57
KS : Apatis E4M4V2 Levofloksasin inf 1 x 250
TD : 160/80 mmHg mg
N : 119x / menit Amlodipin tab 1 x 10 mg
R : 28x / menit Valsartan tab 1 x 160 mg
o HCT tab 1 x1
S : 36,6 C Adalat oros 1 x 30 mg
SpO2 : 97% (puyerkan)
Inj. Metoclopramide 2 x 1
Pemeriksaan Fisik Umum: amp
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Setirizin 1x1 10 mg
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) Metilprednisolon 2 x 125
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/- mg IV
Pindah Ruangan Besok
Abdomen: supel, BU(+) (20/5/2020)
Konsul Kulit
Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik
Status Neurologis
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik : Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (+/-)
Babinski (+)
A/
58
Pemeriksaan Fisik Umum: Inj. Metoclopramide 2 x 1
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) amp
Jantung : BJ I-II regular. Murmur (-), Gallop (-) Setirizin 1x1 10 mg
Paru : VBS ka = ki. Rh-/-, Wh-/- Metilprednisolon 2 x 125
mg IV
Abdomen: supel, BU(+) Miring Kanan/Kiri per 2
jam
Diet entrasol 4 x 300 kkal
Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik via NGT
Status Neurologis
Pupil bulat isokor
RCL +/+, RCTL +/+
Nervus Cranialis Sulit Dinilai
Motorik: Kesan lateralisasi dekstra
Sensorik : Sulit dinilai
Fungsi Luhur : Afasia global
Fungsi vegetatif : BAB (+) , BAK (+)
Refleks fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (+/-)
Babinski (+)
Kesan : Lateralisasi kanan
Laboratorium :
Hb : 14, 9 gr/dl
Hct : 47,8%
Leukosit : 27. 880/mm
Trombosit : 197.000/mm
A/
Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + HT
Emergency + Hipokalemia + Hipeglikemia +
Hipernatremia + Viral Exanthema dd erupsi obat ec
alergi susp. (tramadol, nikardipin, seftriakson,
furosemid, metokloporamid)
HR : 120 x/i
01.00 SpO2 : 94%
01.50
59
TD : 84/50 HR : 138 x/i, RR : 26 x/i, T : 40,6C
SpO2: 78%
TD : 62/32, HR : 129, RR : 26, T : 41,8C , SpO2: 95%
S : Henti nafas, henti jantung
O:
TD:-
Nadi : tidak teraba
RR:-
Dilakukan RJP 3 siklus 30:2 ( pasien tidak respon)
EKG : asistol
Pupil dilatasi maksimal (+/+)
Refleks cahaya (-/-), reflex kornea (-/-), fenomena
Doll’s eye (+)
Pasien dinyatakan meninggal di hadapan keluarga
pasien dan perawat RSUD Petala Bumi pukul 02.08
WIB
60
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis Stroke Hemoragik ec Perdarah Intra Serebri +
Hipertensi Emergensi + Hipokalemia + Hiperglikemia, berdasarkan:
Anamnesis: Mengalami keluhan penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS secara tiba-tiba
ketika pasien sedang diurut.Saat itu pasien cenderung mengantuk dan tidak respon saat
dipanggil. Pasien merasa lemas dan baal pada tangan dan kaki kanan sejak siang harinya.
Pasien tampak lemas seperti pingsan, ketika di panggil atau diajak berbicara pasien tidak
respon.
Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak
dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24
1
jam, atau dapat menyebabkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 6 tahun yang lalu, kardiomegali dan kolesterol
sejak 1 tahun yang lalu, dan riwayat 3 saudara kandung memiliki stroke dan hipertensi.
Dimana faktor resiko stroke pada pasien ini yaitu:
4
Tabel 1.Faktor risiko stroke
Tidak dapat Dapat dimodifikasi
dimodifikasi
61
Faktor resiko paling penting di antaranya adalah hipertensi, penyakit jantung,
fibrilasi atrium, diabetes mellitus, merokok, dan hiperlipidemia. Lainnya, seperti penyakit
sistemik yang terkait dengan keadaan hiperkoagulabel dan penggunaan pil KB juga
berkontribusi, tetapi hanya dalam keadaan khusus. Hipertensi adalah faktor yang paling
3
dikenal dalam perkembangan perdarahan intraserebral primer.
Pada pasien ini, memiliki riwayat 3 saudara kandung memiliki stroke dan hipertensi.
Dimana factor genetik berkontribusi terhadap risiko stroke, variabilitas genetik dapat
berkontribusi terhadap risiko stroke melalui beberapa mekanisme potensial. Gambar dibawah
ini merupakan factor genetic yang berperan pada stroke hemoragik.
Pemeriksaan fisik:
Pasien tampak sakit berat dan mengalami penurunan kesadaran yaitu Sopor dengan GCS
5: E1M3V1. Tekanan Darah 222/175 mmHg, Nadi: 112 x/menit, regular, Respirasi 26x/menit,
0
suhu 37,2 C. Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal, pemeriksaan status
neurologis tanda rangsang meningeal (-), pupil bulat isokor refleks cahaya langsung dan
62
tidak langsung +/+, kesanparese N.VII dekstra sentral, pemeriksaan motorik kesan
lateralisasi dekstra, refleks fisiologis +/+ pada ekstremitas superior dan inferior.
3
Berdasarkan lokasi lesi vaskuler,
Sistem karotis
- Motorik : hemiparese kontralateral, disartria
- Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia
- Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral, amaurosis fugaks
- Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia
Sistem vertebrobasiler
- Motorik : hemiparese alternans, disartria
- Sensorik : hemihipestesi alternans, parestesia
- Gangguan lain : gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia.
Skor siriraj :
( 2,5 x derajat kesadaran)+(2xvomitus)+(2 x nyeri kepala)+(0,1 x tekanan diastolik) –
(3 x petanda ateroma) – 12 =
(2,5 x 1) + (2x0) + (2x0) + (0,1 x 175) – (3x1) -12 = 20-3-12 = 5 -> Stroke
Hemoragik Hasil :
SS > 1 = Stroke hemoragik
-1 > SS > 1 = Perlu pemeriksaan penunjang (CT-Scan)
SS <-1 = Stroke non hemoragik
Keterangan :
Derajat kesadaran : sadar penuh (0), somnolen (1), koma (2)
Nyeri kepala : Tidak ada (0), ada (1)
Vomitus : tidak ada (0), ada (1)
Ateroma : Tidak ada penyakit jantung, DM (0), ada (1)
63
64
Pemeriksaaan penunjang
Pada pemeriksaan EKG kesan Sinus rytme 64x/m dan terdapat Old MCI di V1-V4, Rontgen
thoraks kesan Kardiomegali dengan CTR>50%. Pada pemeriksaan CT Scan,
Kesan:
- ICH di lobus frontotemporalis sinistra
- Herniasi sulfacine kearah dextra sejauh lk 0,95 cm
- Edema Cerebri
65
Perkiraan Perdarahan yang terjadi:
A x B x C / 2 = 5 x 6 x 10 /2 = -+ 150cc
mm. Dari data ini ditentutan besaran perdarahan terbesar, dihitung diameter panjang, lebar
21
dan tebal dari pada perdarahan. Dihitung volumenya secara manual dengan persamaan :
Volume = A X B x C
2
Ket : A : diameter panjang perdarahan.
B : diameter lebar perdarahan.
C : Tebal perdarahan
66
19
Tindakan/ Operasi
Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi transtentorial,atau dengan
perdarahan intraventrikuler yang luas atau hidrosefalus, dapat dipertimbangkan untuk
penanganan dan Pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70 mmHg
dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi otak (AHA/ASA, Class Iib,
level of evidance C).
Drainase ventrikular sebagai tata laksana hidrosefalus dapat di[pertimabngkan pada
pasien dengan penurunan tingakt kesadaran (AHA/ASA Class IIa, Level of evidance
B).
b. Perdarahan Intraventikuler
Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant tissue-type plasminogen activator
(rTPA) untuk melisiskan bekuan darah intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi
yang cukup rendah, efikasi dan keamanan dari tata laksana ini masih belum pasti dan
dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
c. Evakuasi hematom
Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm dari
permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial dengan kraniotomi
standar dapat dipertimbangkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B) .
Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal menggunakan baik aspirasi
streotaktik maupun endoskopik dengan atau tanpa penggunaan trombolitik masih
belum pasti dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera dari perdarahan
intrakranial supratentorial untuk meningkatakan keluaran fungsional atau angka
67
kematian, kraniotomi segera dapat merugikan karena dapat meningkatkan faktor
resiko perdarahan berulang (AHA/ASA, Class III, Level of evidance B) .
Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko pasien telah disusun untuk
mencegah perdarahan berulang keputusan tatalaksana dapat berubah karena
pertimbangan beberapa faktor risiko, antara lain lokasi lobus dari perdarahan awal,
usia lanjut, dalam pengobatan antikoagulan, terdapat alel E2 atau E4 apolipoprotein
dan perdarahan mikro dalam jumlah besar pada MRI (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance B) .
Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak ada kontra indikasi medis,
tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan baik terutama pada pasien yang lokasi
perdarahannya tipikal dari vaskulopati hipertensif (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance A) .
Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari tekanan darah dapat
dipertimbangkan menjadi <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg jika diabetes penyakit
ginjal kronik (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B) .
Penghentian pemakaian antikoagulan jangka panjang sebagai tatalaksana fibrilasi atrial
nonvalvuler mungkin direkomendasikan setelah perdarahan intrakranial lobar spontan
karena relatif berisiko tinggi untuk perdarahan berulang (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance B). Pemberian antikoagulan dan terapi antiplatelet setelah perdarahan
intrakranial nonlobar dapat dipertimbangkan, terutama pada keadaan terdapat indikasi
pasti penggunaan terapi tersebut (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
68
Pada pasien ini diberikan tatalaksana:
- Oksigen via nasal kanul 3lpm
- Elevasi kepala 30 derajat
- IVFD Ringer laktat 20tpm
- Rujuk Bedah Saraf (Keluarga pasien menolak)
- Infus Mannitol 20% 250cc habis dalam 15 menit selanjutnya Mannitol 4 x 125 cc
- Injeksi Citicolin 2 x 1 gram
- Injeksi Furosemid 2 x 1 ampul
- Drip Nicardipin 7,5 cc per jam target TD 160/100 mmHg, bila TD tercapai dosis
dikurangi
- Injeksi Asam tranexamat 3 x 500mg
- Injeksi Vitamin K 3 x 10 mg
- Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 gram
- Injeksi Omeprazol 2 x 40mg
- Rencana perawatan di Intensive Care Unit
19
Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus dilakukan
dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari
pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang
mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA, Class V, Level of
evidence C).
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
69
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi:
i. 0
Tinggikan posisi kepala 20 – 30
0
16
Manajeman Tekanan Darah
Manajemen tekanan darah membatasi terjadinya pembengkakan hematom dan
disarankan untuk dilakukan pada pasien PIS. Pendapat awal mengatakan bahwa penurunan
tekanan darah yang agresif akan menurunkan aliran darah otak, yang mana akan
mencetuskan iskemik pada daerah rentan yang dikelilingi hematoma dan menyebabkan
perburukan kondisi. Tetapi, penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa penurunan
7
tekanan darah yang agresif adalah aman dan tidak memperburuk kondisi pasien.
Pembaruan 2015 untuk AHA / ASA Guidelines for Management of Spontaneous
19
ICH merekomendasikan bahwa:
70
1. Untuk pasien ICH yang mengalami SBP antara 150 dan 220 mm Hg dan tanpa
kontraindikasi terhadap pengobatan BP akut, penurunan SBP akut menjadi 140 mm Hg
aman (Class I; Level of Evidence A) dan dapat efektif untuk meningkatkan hasil
fungsional Class IIa; Level of Evidence B). (Direvisi dari pedoman sebelumnya)
2. Untuk pasien ICH yang mengalami SBP> 220 mm Hg, mungkin masuk akal untuk
mempertimbangkan pengurangan agresif BP dengan infus intravena terus menerus dan
pemantauan BP yang sering (Class IIb; Level of Evidence C). (Rekomendasi baru)
Intravenous calcium channel blockers (misalnya, nicardipine) dan β-blocker
(misalnya, labetalol) adalah pengobatan pilihan untuk pengurangan TD dini, mengingat
waktu paruh yang singkat dan kemudahan titrasi. Nitrat harus dihindari karena berpotensi
9
untuk vasodilatasi otak dan tekanan intrakranial tinggi.
Pedoman untuk hipertensi tidak terkontrol resisten merekomendasikan angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACE-I) atau angiotensin receptor blocker (ARB), calcium
channel blocker (CCB) dan diuretik seperti thiazide pada dosis maksimal yang ditoleransi
sebagai formula kembar tiga optimal. CCB dan ACE -I atau ARB diterima secara luas
sebagai obat lini pertama dan lini kedua untuk pasien yang resistan, tetapi pilihan obat
antihipertensi lini ketiga dan keempat sangat bervariasi dalam praktik di dunia nyata.
Tiazid dapat menyebabkan hiponatremia dan memperburuk edema serebral pada pasien
dengan perdarahan besar atau efek massa. Spironolactone terbukti sangat efektif untuk
pasien dengan hipertensi tidak terkontrol yang resisten. Spironolakton dan α- / β-antagonis
dapat digunakan sebagai agen ketiga dan keempat untuk mempertahankan kontrol tekanan
darah sambil memakai agen intravena. Selama fase akut, pasien mungkin memiliki
hipertensi tidak terkontrol yang resisten karena sympathetic surge. Beberapa minggu
kemudian, mungkin memerlukan lebih sedikit obat-obatan dan beresiko hipotensi kecuali
9
jika dosis obat disesuaikan segera.
71
Gambar 12. Tabel pemberian nicardipin di RSUD Petala Bumi
72
Gambar 14. Obat Parenteral Hipertensi Emergensi 22
Prognosis
Keadaan Poin
Skor Glasgow Coma Scale
3-4 2
5-12 1
13-15 0
Volume perdarahan intraserebral
>30 ml 1
<30 ml 0
Perdarahan intraventrikuler
Ada 1
Tidak ada 0
Lokasi perdarahan intraserebral
Infratentorial 1
Supratentorial 0
73
Umur
≥80 tahun 1
<80 tahun 0
Mortalitas 30 hari untuk hasil skoring
0=0%
1=13%
2=26%
3=72%
4=97%
5=100%
6= diperkirakan 100%, tidak ada pasien pada saat
studi dilakukan yang masuk pada kategori ini
74
KESIMPULAN
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbesar di dunia, dengan prevalensi stroke
di Indonesia pada tahun 2018 mengalami kenaikan sebanyak 3,9% dalam lima tahun terakhir.
Cedera otak primer setelah PIS disebabkan oleh gangguan jaringan karena akumulasi darah
parenkim dan kerusakan mekanis terkait dengan efek massa. Sel-sel otak yang rusak dan
komponen dari bekuan darah memicu mekanisme kompleks inflamasi dan jalur stres oksidatif.
Stroke perdarahan memiliki tingkat mortalitas hingga 50% dalam 30 hari dengan setengah dari
pasien tersebut meninggal dalam 2 hari pertama. Pasien pada laporan kasus ini, perempuan 44
tahun dengan Stroke Hemoragik ec Perdarahan Intraserebral + Hipertensi Emergensi +
Hipokalemia meninggal pada hari ke-10 perawatan di RSUD Petala Bumi
75
DAFTAR PUSTAKA
76
th
18. Liebeskind DS. Hemorrhagic stroke [cited on June 15 , 2020]. Available from:
emedicine.medscape.com/article/1916662
19. Hemphill III JC, Greenberg SM, Anderson CS, Becker K, Bendok BR, Cushman M, et
al. Guidelines for the management of spontaneous intracerebral hemorrhage: a guideline
for healthcare professionals from the American Heart Association/American Stroke
Association. Stroke. Am Heart Assoc; 2015;46(7):2032–60.
20. Lee, Vivien H. et al. “Comparison of ABC / 2 with the Simplified ABC / 2 Formula in
Calculating Intracerebral Hemorrhage Volume.” (2016).
21. Kiswoyo AS. Et al. Penghitungan Volumetrik Perdarahan Dengan Metode Volume
Automatik (Software Volume Evaluation) Dan Metode Manual (Broderick) Pada Msct
Kepala (Study Eksperimen Pada Pasien Perdarahan Intraserebral Di Rs. Haji Surabaya).
JImeD, Vol. 3, No. 2
22. Chiang C-E, Wang T-D, Li Y-H, Lin T-H, Chien K-L, Yeh H-I, et al. 2010 guidelines of
the Taiwan Society of Cardiology for the management of hypertension. Journal of the
Formosan Medical Association. Elsevier; 2010;109(10):740–73.
77