Disusun oleh
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konsep Penyakit
1. Pengertian
Stroke adalah deficit neurologis yang mempunyai awitan tiba-tiba yang
berlangsung lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh penyakit serebrovaskuler.
Stroke dapat terjadi ketika ada gangguan aliran darah yang menuju ke otak.
Aliran darah yang terganggu karena sumbatan pembuluh darah, trobus, ataupun
rupture pembuluh darah (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2012).
Menurut WHO stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi
serebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung dengan cepat dan lebih
dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa ditemukannya penyakit selain
gangguan vascular. (Qurbany & Wibowo, 2016)
2. Anatomi Fisiologi
4. Penyebab stroke
Menurut Smeltzer,(2013), stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari
empat kejadian:
a. Thrombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
b. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak
dari bagian lain)
c. Iskemia ( penurunan aliran darah )
d. Hemorragi serebral ( pecahnya pembuluh serebral dengan perdarahan ke
dalam jaringan sekitar otak). Hemoragi dapat tejadi di luar durameter
(hemoragi ektradural atau epidural), di bawah durameter (hemoragi
subdural), di ruang sub rakhnoid (hemoragi subarachnoid), atau di dalam
substansi otak (hemoragi intraserebral).
1) Hemoragi Estradural adalah kedaruratan bedah neuro yang memerlukan
perawatan segera. Ini biasanya mengikuti faktur tengkorak dengan
robekan arteri tengah atau arteri meninges lain. Pasien harus diatasi
dalam beberapa jam cedera untuk mempertahankan hidup.
2) Hemoragi subdural pada dasarnya sama dengan hemoragi epidural,
kecuali hematoma subdural biasanya jembatan vena yang robek.
Karenanya periode pembentukan hematoma lebih lama dan
menyebabkan tekanan pada otak.
3) Hemoragi subaraknoid dapat terjadi sebagai trauma atau hipertensi,
tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme pada area
sirkulus wilisi dan malformasi arteri-vena konginetal pada otak. Arteri di
dalam otak dapat menjadi tempat aneurisme.
4) Hemoragi intraserebral paling umum terjadi pada pasien dengan
hipertensi dan arterisklerosis serebral, karena perubahan degenerative
karena penyakit ini biasanya menyebabkan rupture pembuluh darah.
Stroke ini sering terjadi pada kelompok usia 40-70 tahun. Pada orang
dengan usia di bawah 40 tahun, hemoragi intraserebral biasanya
disebabkan oleh malformasi arter-vena, hemangioblastoma, dan trauma.
Juga disebabkan oleh tipe patologi arteri tertentu adanya tumor otak, dan
penggunaan medikasi (antikoagulan, amfetamin, dan berbagai obat
aditif). Tindakan pada hemoragi intraserebral masih kontroversial. Bila
hemoragi kecil pasien diatasi secara konservatif dan simtomatis. Tekanan
darah diturunkan secara hati-hati dengan medikasi antihipertensif. Defisit
neurologic pasien mungkin memburuk bila tekanan darah berkurang
terlalu rendah atau cepat.
5. Klasifikasi
Stroke dapat diklasifikasinya berdasarkan beberapa aspek. Secara umum
stroke diklasifikasikan menjadi stroke iskemik (dengan/tanpa perdarahan) dan
stroke perdarahan. Stroke prrdarahan dapat berupa perdarahan intra serebral,
perdarahan itraventrikular, dan perdaraha subrakhnoid.
Bedasarkan lokasi, iskemik dapet terjadi pada area anterior/karotis, area
sirkulasi posterior dan area zona perbatasan.
Berdasarkan klinis, stroke iskemi dibedakan menjadi sindrom lacunar,
sindrom sirkulasi posterior, sindrom sirlkulasi anterior total dan sindrom
sirkulasi anterior parsial.
Stroke iskemik diklasifikasikan menjadi arterosklerosis arteri besar,
kardioembilisme, penyakit arteri kecil,
(Setiati,2014)
6. Manifestasi Klinik
Pasien yang menderita stroke biasanya akan ditandai dengan kelemaahn,
mayirasa, perubahan pengelihatan disfagia, atau afasia.
Jika serangan membaik sebelum 24 jam, kejadian ini digolongkan sebagai
serangan iskemik sementara/ trasnsient ischemic attack (TIA). Biasanya TIA
berlangsung bebrapa menit hingga kurang dari satu jam. Maka diagnosis
banding stroke mencakup menyingkiran perdarahan, sumbatan, hematoma,
kejang dan sakit kepala. (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2012)
Menurut Black & Hawks, (2014) tanda dan gejala dari stroke yaitu:
a. Terjadi dengan cepat dalam waktu 10 -30 detik dan sering tanpa peringatan.
b. Bisa terjadi dengan cepat.
c. Keberlangsungan kesadaran yang relative.
d. Tekanan darah normal.
e. Sering terjadi pada seseorang dalam kondisi aktif, bangun tidur.
f. Sakit kepala dan tegang pada daerah leher bagian belakang.
g. Serangan hemiplegi lengkap yang cepat, selama hitungan menit sampai 1
jam.
h. Biasanya mengakibatkan kehilangan fungsional permanen dan luas yang
lebih lambat dan waktu penyembuhan menyeluruh yang lebih sedikit.
i. Progresi kearah kondisi koma yang cepat.
Sedangkan menurut Digiulio, Jackson, & Keogh, (2014), manifestasi klinis
dari stroke adalah sebagai berikut:
a. Ketidakseimbangan mental
b. Disorientasi , bingung
c. Perubahan emosional, perubahan kepribadian
d. Afasia ( kesulitan berbicara )
e. Kata – kata tidak jelas
f. Kelemahan pada wajah dan kaki – tangan
g. Serangan
h. Sakit kepala hebat karena kenaikan tekanan intracranial akibat perdarahan
(Digiulio, Jackson, & Keogh, 2014)
7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Ulfa, (2018), pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan
pada pasien stroke yaitu:
a. CT Scan
Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke
melihat adanya iskemik pada jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah
pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, serta harga pemeriksaan
gejala neurologis.
magnesium
neurologis.
trombosit serta morfologi sel darah. Polisitemia vara, anemia sel sabit, dan
stroke
8. Penatalaksanaan
Menurut Morton, Fontaine, Hudak & Gallo,(2012), penatalaksanaan pasien
stroke dapat di bagi menjadi:
a. Klinis
Tujuan utama dari penatalaksanaan ini adalah perbaikan alian darah
cerebral, pencegahan trobosis berulang, perlindungan syaraf, dan perawat
supportif. Focus dari pegpbatan awal adalah menyelamatkan sebanyak
mungkin area iskemik. Hal yang perlu diperhatikan adalah oksigen, glukosa
dan aliran darah yang adekuat. Oksigen dapat dipantau melalui gas darah
arteri dan oksigen dapat diberikan pada pasien jika diindikasikan.
Hipoglikemia dapat dievaluasi dengan peemrikasaan serial glukosa.
Reperfusi dapat dilakukan dengan menggunakan aktifator plasminogen
jaringan. ( t-PA, tissue plasminogen activator) IV.
b. Farmakologi
Agen trombolitik adalah eksogenus pelarut bekuan. Terapi trombolitik Iv
dimulai 3 jam atau kurang dari mulai gejala neurologis. Pemberian langdung
trombolitik ke dalam pembulh darah adalah alternative dari t_PA IV.
Pemberian in efektif pada stroke iskemik akut dan dapat diberikan hingga 6
jam setelah awitan gejala.
Selain trombilitik pilhan terapi sekunder untuk stroke mencakup
antikoagulasi dengan agens antitrobotik dan antitrombisit. Obat antitrobosit
mencakup aspirin, tiklopidin, klopidrogel. Agen ini menghambat trombosit
melekat di dinding pembuluh darah yang cedera dan mencegah kondisi
thrombus dan embolus di masa mendatang.
c. Penatalaksaan Bedah
Prosedur ini dilakukan untuk mengangkat plak aterosklerosik yang
banyak menumpuk di bagian dalam arteri karotis. Saat plak diangkat aliran
darah akan kembali normal. Pembedahan harus dilakukan oleh seorang ahli
bedah yang terampil.
Menurut Smeltzer,(2013), penatalaksanaan bedah dengan kraniotomi.
Kraniotomi menakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk
meningkatkan akses pada struktur intracranial. Prosedur ini dilakukan
dengan menghilangkan tumor, mengurangi TIK, mengevakuasi bekuan
darah, dan mengontrol hemoragi. Flap tulang dibuat ke dalam tengkorak dan
dipasang kembali setelah pembedahan, ditempatkan dengan jahitan
periosteal atau kawat. Secara umum ada dua pendekatan melalui tengkorak:
(1) diatas tentorium (kraniotomi supratentorial) ke dalam kompartemen
supratentorial, (2) di bawah tentorium ke dalam kompartemen infratentorial.
Lubang yang dibuat untuk menentukan adanya pembengkakan serebral
atau cedera serta ukuran dan posisi ventrikel. Lubang ini juga suatu cara
evakuasi hematoma intracranial atau abses dan untuk membuat flap tulang di
dalam tengkorak dan memungkinkan akses pada ventrikel untuk tujuan
dekompresi, ventrikulografi, atau Shunting.
d. Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian keperawatan sangat penting untuk mengidentifikasi deficit
yang dialami oleh pasien. Hal penting yang lain yang harus diperhatikan
adalah pemberian terapi antitrombolitik, mengobtimalkan perawatan dalam
masa akut, memindahkan pasien ke rehabilisasi dengan cepat guna
memaksimalkan hasil akhir. Pasien harus dipantau dnegan seksama untuk
mengetahui adanya infeksi, perubahan suhu, dan perubahan kadar glukosa
dan semua yang berkemungkinan dapat memperburuk kondisi pasien.
Perawtan juga berperan penting dalam mencegah komolikasi yang tekait
dengan imobilitas, hemiparesis, atau deficit neurologis lain yang disebabkan
oleh stroke. Tindakan pencegahan infeksi yang pnting adalah saluran kemih,
aspirsi, ulkus diabetikum, kontraktur, dan tromboflebitis.
Penatalaksanaan fase akut
Menurut Setiati, (20140, tatalaksana fase akut seranga otak baik iskemik
maupun perdarahan adalah berlomba dengan waktu mulai dari wakti onset
hingga waktu istalasi gawat. Time is brain, setiap detik sangat penting pada
fase akut, denga prinsip stabilkan kondisi pasien, kondifmasi diagnose secara
cepat, tepatkan pemeriksaan laboratorium untuk menetapkan pengobatan
yang terbaik dan pencegahan terhadap perburukan serta komplikasi.
Prinsip dari tatalaksana stroke adalah mengontrol factor risiko dan kondisi/
penyakit yang mendampinginya untuk mencegah proses perburukan dan
serangan otak berikutnya (pencegahan sekunder), mencegah komplikasi
akibat dan konsekwensi stroke sendiri ( ulkus decubitus, pneumonia, emboli
pilmonal).
Tatalaksana dapat dilakukan dengan cara bedah yaitu drainase hematoma
intracranial, manejemen pada pengingkatan padatekanan intracranial. Secara
intra arterial intervensi antara lain reperfusi lesi oklusif vascular dan secara
medis antara lain denga pengontrolan koagulabilitas untuk mencegah
pembentukan thrombus dam memperbaiki fungsi neurologis. Strastegi yang
dapat dilakukan untuk memaksimalkan perfusi serebral adalah denga control
posisi tubuh, management tekana darah yang tepat, volume intravascular,
dan curah jantung. Reperfusi area iskemik dapat dilakukan melalui bedah
arteri langsung (endarterektomi), angioplasty, pemasangan stent, trombilisis
pengahancuran bekuan secara mekanik, pemberiaj agen vasodilator, bedah
pintas arteri yang teroklusi dan optimalisasi sirkulasi kolateral.
9. Komplikasi
Menurut Corwin (2009) dalam Ulfa, (2018), pada pasien stroke yang
embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang
2) Dekubitus
Bagian tubuh yang sering mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi
kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat dengan baik maka akan
3) Pneumonia
Pasien stroke tidak bisa batuk dan menelan dengan sempurna, hal ini
menyebabkan cairan terkumpul di paru-paru dan selanjutnya menimbulkan
pneumonia.
4) Atrofi dan kekakuan sendi (Kontraktur)
emosional dan fisik yang tidak diinginkan karena terjadi perubahan dan
2. Diagnosis keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnose keperawatan utama menurut
Smeltzer, (2013) dan SDKI, (2017), untuk pasien stroke meliputi hal berikut:
a. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot, gangguan persepsi sensori, gangguan musculoskeletal.
b. Nyeri yang berhubungan dengan iskemia
c. Kurang perawatan diri (hygiene, toileting, berpindah, makan) yang
berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, kelemahan.
d. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan tirah baring, kelemahan,
imobilitas, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
e. Perubahan proses berpikir yang berhubungan dengan kerusakan otak,
konfusi, ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi.
f. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan penurunan
sirkulasi serebral..
g. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
penurunan mobilitas.
h. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan perubahan status
kesehatan keluarga
i. Risiko perfusi serebral tidk efektif di dukung data hipertensi, cedera
kepala.
3. Intervensi keperawatan
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif didukung data hipertensi, cedera
kepala.
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan
3. Intervensi Keperawatan
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan efek
samping tindakan craniotomy
Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Keperawatan
4. Implementasi
Sebanyak 20% pasien dengan ICH spontan terjadi penurunan fungsi
neurologis pada periode sebelum masuk ke rumah sakit, dan 25% pasien
terjadi penurunan fungsi neurologis pada periode saat di rumah sakit.
Evaluasi, diagnosis dan penanganan yang terkonsentrasi merupakan hal yang
krusial pada terapi inisial pasien dengan ICH spontan. Ketika pasien datang
dengan defisit neurologis fokal, nyeri kepala hebat, muntah, tekanan darah
sistolik > 220 mmHg, dan terjadi penurunan kesadaran dengan onset yang
cepat, diagnosis yang perlu dipertimbangkan pertama kali adalah ICH.
Berdasarkan suatu penelitian menyatakan bahwa risiko terjadinya stroke
akan meningkat 20-30% pada pasien dengan COPD dibandingkan dengan
pasien non-COPD. Berdasarkan suatu penelitian menyatakan bahwa kondisi
COPD memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya kerusakan pembuluh
darah besar dan pembuluh darah kecil. Faktor risiko utama yang
menyebabkan terjadinya kondisi COPD dan stroke adalah riwayat rokok,
karena berdasarka penelitian sebelumnya menyatakan bahwa rokok
menyebabkan terjadinya perubahan anatomis pada jaringan paru, kerusakan
dinding pembuluh darah (penebalan tunika media) dan jaringan otak.
(Halimi & Bisri, 2019).
Menurut Mahayani & Putra, (2019), Penelitian ini menggunakan 45
orang penderita stroke hemoragik yang dirawat di RSUP Sanglah periode
november 2017 sampai januari 2018. Karakteristik sampel penelitian
didapatkan rerata usia sampel 54,22 tahun, didominasi oleh jenis kelamin
laki-laki. Faktor resiko yang terbanyak adalah hipertensi serta lokasi
perdarahan predominan di basal ganglia.
Pengelolaan asuhan keperawatan pada pasien stroke hemoragik post
craniotomy atas indikasi ICH dan IVH dalam pemenuhan kebutuhan
aktivitas dan latihan dengan masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik
yang dilakukan tindakan keperawatan latihan ROM pasief yang dilakukan 2
kali dalam sehari selama 2 hari didapatkan hasil kekuatan otot pasien tidak
berubah atau tidak ada peningkatan baik di ekstermitas atas dan bawah
(Nugroho & Sani, 2019)
BAB III
STUDI DOKUMENTASI
I. PENGKAJIAN
A. Identitas pasien
Nama : Bp. S
Usia : 51 thn
1. Keluhan utama
5. Riwayat alergi
Tidak ada
Tidak pernah
C. Pemeriksaan fisik
1. Hasil laborat
AGD:
pH: 7,399
O2 saturasi 99,8%
BE -4,9 meq/l
AADO257,4 mmhg
a. CT Scan kepala:
Tidak ditemukan hasil CT scan saat pasien masuk Rs. Panti Rapih,
tetapi di MR terintegrasi, DPJP menuliskan diagnosa Stroke
Haemoragie, ICH
b. Foto thorax
E. Terapi
Phenitoin 2 x 1 amp
Citicholin2 x 1000mg
Manitol 4 x 125 cc
Ketorolac 3 x 1 amp
Ondansentron 3 x 4 mg inj
Meropenem 2 x 1gr
Amlodipine 10 mg 0-0-1
Clonidine 2 x 0,15 mg
Paracetamol 3 x 1 gr (inj)
Piracetam 1 x 1200 mg
A. Tanggal 06/09/2019
C. Tanggal 12/09/2019
D. Tanggal 20/09/2019
Diagnosa
No Tanggal Tujuan Rencana Keperawatan
keperawatan
Kriteria:
Berpakaian
dengan bantuan
Berpindah
dengan bantuan
Kebersihan diri
dengan bantuan
Makan dengan
bantuan
Mandi dengan
bantuan
Tidak ada
pernafasan
cuping hidung
Tidak ada
sianosis
Tidak tacicardi
Berpindah
tergantung
Kebersihan diri
tergantung
Makan
tergantung
Mandi
tergantung
Reflek
kornea tidak
terganggu
6 12/9/2019 Resiko infeksi Tujuan: Rencana tindakan:
didukung data
Pasien tidak Monitor tanda dan gejala
adanya prosedur
mengalami infeksi
infasif
infeksi setelah
Pasang infus
diberi tindakan
keperawatan Batasi jumlah pengunjung
selama 4x24jam
Pasang kateter urine
Kritera:
Berikan edukasi
Suhu stabil pencegaan infeksi
Tidak ada
produksi
sputum
berlebih
Tidak ada
sianosis
8 20/9/2019 Resiko jatuh Tujuan : Rencana tindakan:
dewasa sedang
Pasien mampu Lakukan prosedur
Didukung data: meminimalkan pencegahan jatuh standart
adanya gannguan faktor resiko yang
Pasang tanda jatuh warna
kognitif dapat memicu
kuning pada tempat tidur
jatuh, setelah
pasien lakukan assesment
diberi tindakan
jatuh tiap pergantian
keperawatan
dinas, atau bila pasien
selama 4x24jam
mengalami perubahan
Kriteria : kondisi dan dilaporkan
Berpakaian
tergantung
Berpindah
tergantung
Kebersihan diri
tergantung
Makan
tergantung
Mandi
tergantung
Sensasi
wajah tidak
terganggu
Tics tidak
terganggu
Wajah
simetris
Lepas Infus
Dalam kasus ini, beberapa hal ditemukan tidak sesuai dengan yang
seharusnya. Hal ini terjadi karena komplikasi yang muncul pada pasien, yaitu
gangguan airway, yang membuat pasien harus dilakukan pemasangan ETT sampai
dengan tracheostomi, yang menyebabkan adanya beberapa modifikasi terkait asuhan
keperawatan
Pada pengkajian keperawatan, teori dan kasus nyata ditemukan kesamaan,
mulai dari identitas, pengkajian primer, pemeriksaan fisik. Sesuai teori pasien
mengalami penurunan kesadaran, karena adanya perdarahan pada cranial. namun
dari hasil pengkajian status airway masih dalam batas normal, tidak ditemukan
adanya hasil suara nafas, ataupun retensi sputum. Ada data penunjang yang tidak
ada yaitu hasil CT scan kepala awal. Hal ini terjadi karena pasien adalah pasien
rujukan dari rumah sakit lain, dimana pasien sudah menjalani CT Scan, dan hasil
nya dibawa saat pasien pulang. Namun demikian, DJB, dan DPJP sudah menuliskan
di MR terintegrasi bahwa pasien tersebut mengalami ICH. Maka DPJP
memprogramkan Craniotomi.
Pada pemilihan diagnosa dan intervensi, ditemukan adanya beberapa
modifikasi. Hal ini terjadi karena pasien menjalani operasi Craniotomi, dan
mengalami gangguan airway , sehingga pasien harus dilakukan pemasangan ETT-
Ventilator sampai Traceostomy. Pada pembuatan diagnosa dikasus nyata yang
ditemukan adalah data-data yang tidak lengkap, dan tidak detail. Hal tersebut karena
petugas melakukan ERM, dan pilihan tanda dan gejala yang tersedia sangat terbatas
(keterbatasan sistem ERM). diagnosa resiko infeksi juga tidak diambil diawal
ataupun sesaat setelah operasi (06/03/2019), tetapi 6 hari setelah operasi
(12/03/2019).
Pemilihan diagnosa yang tidak tepat, dapat menyebabkan ketidaksesuaian
antara intervensi dan implementasi keperawatan.
BAB V
KESIMPULAN
Jadi, dalam simulasi atau kasus asuhan keperawatan pada pasien dewasa dengan
stroke hemoragik ada yang sudah sesuai dengan teori dan masih ada pula yang
belum sesuai dengan teori. Dalam pengkajian contohnya, kmponen yang ada dalam
kasus sudah sesua dengan teori, tetapi masih ada yang belum sesuai seperti
pemilihan diagnosa yang tidak tepat, dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara
intervensi dan implementasi keperawatan.
Daftar Pustaka
Black, J., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah (Vol. 8). Singapura:
Elsevier.
Digiulio, M., Jackson, D., & Keogh, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah (
Demistified ). (K. Aulawi, Ed.) Rapha Publishing.
Halimi, R. A., & Bisri, D. Y. (2019). Manajemen pasien stroke perdarahan spontan
dengan komorbid penyakit paru obstruktif kronik yang terjadi bronkhospasme
intraoperasi. Jurnal Neuroanastesi Indonesia, 2.
Morton, P. G., Fontaine, D., Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2012). Keperawatan Kritis:
Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta: EGC.
Nofitri. (2019). Asuhan keperawatan pada Ny. S dengan stroke non hemoragik dalam
penerapan inovasi intervensi terapi vokal "AIUEO" dengan masalah gangguan
komunikasi verbal di ruangan neurologi RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi. Jurnal Karya Ilmiah Akhir Ners.
Nugroho, G. P., & Sani, F. N. (2019). Asuhan keperawatan pada pasien stroke
hemoragik post op craniotomy atas indikasi ICH dan IVH dalam pemenuhan
kebutuhan aktivitas dan latihan.
Poana, N. L., Wiyono, W. I., & Mpila, D. A. (2020). Pola penggunaan obat pada pasien
stroke hemoragik di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado periode Januari-
Desember 2018. Pharmacon Jurbal Ilmiah Farmasi, 9.
Qurbany, Z. T., & Wibowo, A. (2016, Agustus). Stroke Haemoragik e.c Hipertensi
Grade II. Jurnal Madula Unila, 5, 114.
Setiati, S. (2014). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Internal Publishing.