Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN STROKE HEMORAGIK

Disusun oleh

1. Angela Merici Mentari S. 201943006


2. Angelina Nevada Putri P. 201943007
3. Lina Widiyastuti 201943025
4. Martina Dyah Lestari 201943031

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANTI RAPIH YOGYAKARTA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


Di negara berkembang seperti Asia, insiden stroke hemoragik mencapai 30%,
sementara menurut stroke registry di Indonesia tahun 2014 didapatkan 5411 kasus
stroke akut dari 18 rumah sakit dengan angka kejadian stroke hemoragik sebesar
33%. Luaran dari stroke hemoragik sangat tergantung dari volume perdarahan,
lokasi perdarahan, perluasan ke ventrikel serta beratnya faktor resiko yang
mendasari. Faktor resiko stroke hemoragik antara lain hipertensi, dislipidemia,
diabetes melitus, penyakit jantung, penggunaan obat antikoagulan serta kebiasaan
merokok (Mahayani & Putra, 2019).
Stroke hemoragik, meskipun hanya terjadi pada 10-20% dari semua kasus
stroke, tetapi memiliki hasil yang lebih buruk daripada stroke iskemik yang
menyebabkan hingga 80% dari kasus stroke. Hanya sekitar 12-39% dari semua
pasien stroke pendarahan yang masih bisa menjaga independensi dalam kegiatan
sehari-hari mereka untuk jangka waktu yang lama. Pilihan pengobatan bervariasi,
dari konservatif ke invasif, tetapi output yang diberikan masih terbatas, risiko
operasi tetap tinggi dengan keterbatasan pasien kondisi yang harus dipertimbangkan
(Usman, Sutomo & Soetanto,2019).
Menurut Pokdi Stroke, 2011 dan Depkes 2013, dalam Jurnal Poana, Wiyono &
Mpila, (2020), Provinsi Sulawesi Utara menempati urutan teratas dalam hal
prevalensi stroke yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan yakni sebesar 10,8 kasus
per mil. Prevalensi tertinggi kedua dari Yogyakarta (10,3 per mil), diikuti
Bangka Belitung (9,7 per mil), DKI Jakarta (9,7 per mil) dan Kalimantan
Selatan (9,2 per mil).
Penegakan diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat dapat mengurangi
mortalitas dan morbiditas penderita stroke hemoragik. Standarvbaku untuk
penegakan diagnosis stroke hemoragik adalah CT Sken kepala, melalui pemeriksaan
CT scan kepala kita dapat melihat lokasi perdarahan, volume perdarahan serta ada
tidaknya perluasan ke dalam ventrikel (Mahayani & Putra, 2019).
Oleh karena itu, dalam makalah kami akan menjelaskan kembali angka kejadian
stroke hemoragik yang terjadi dalam tahun 2020 ini, karena berdasar kasus yang ada
terdapat 2 juta orang bertahan dari stroke yang mempunyai beberapa kecacatan dan
40% memerlukan bantuan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana melakukan asuhan keperawatan pada pasien dewasa dengan Stroke
Hemoragik?
C. Tujuan
Mahasiswa mampu melalukan simulasi asuhan keperawatan pada pasien dewasa
dengan Stroke Hemorgik
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Penyakit
1. Pengertian
Stroke adalah deficit neurologis yang mempunyai awitan tiba-tiba yang
berlangsung lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh penyakit serebrovaskuler.
Stroke dapat terjadi ketika ada gangguan aliran darah yang menuju ke otak.
Aliran darah yang terganggu karena sumbatan pembuluh darah, trobus, ataupun
rupture pembuluh darah (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2012).
Menurut WHO stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi
serebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung dengan cepat dan lebih
dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa ditemukannya penyakit selain
gangguan vascular. (Qurbany & Wibowo, 2016)

2. Anatomi Fisiologi

Menurut Nofitri, (2019), anatomi fisiologi otak adalah sebagai berikut:


Otak
Merupakan alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat pengontrol
semua alat tubuh yang terdiri dari: serebrum, cerebellum, dan batang otak.
a. Serebrum
Merupakan bagian yang terluan dari otak, berbentuk telur, mengisi penuh
bagian depan atas atas rongga tengkorak. Pada otak besar terdiri dari empat
lobus yaitu lobu frontal, parietal, temporal, oksipital.
b. Cerebellum
Terletak pada bagian bawah dan belakang tengkorak dipisahkan dengan
serebrum oleh fisura transversalis di belakangi oleh pons varoli dan diatas
medulla oblongata.
c. Batang otak
1) Diensefalon, merupakan bagian batang otak paling atas terdapat diantara
serebelum dengan mesensefalon. Fungsi diensefalon adalah untuk
mengecilkan pembuluh darah, membantu proses persarafan, mengontrol
kegiatan reflek, dan membantu kerja jantung
2) Pons varoli,merupakan penghubung mesensefalon, pons varoli dan
serebelum
3) Medulla oblongata merupakan bagian otak paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis.
3. Patofisiologi
(terlampir)

4. Penyebab stroke
Menurut Smeltzer,(2013), stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari
empat kejadian:
a. Thrombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
b. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak
dari bagian lain)
c. Iskemia ( penurunan aliran darah )
d. Hemorragi serebral ( pecahnya pembuluh serebral dengan perdarahan ke
dalam jaringan sekitar otak). Hemoragi dapat tejadi di luar durameter
(hemoragi ektradural atau epidural), di bawah durameter (hemoragi
subdural), di ruang sub rakhnoid (hemoragi subarachnoid), atau di dalam
substansi otak (hemoragi intraserebral).
1) Hemoragi Estradural adalah kedaruratan bedah neuro yang memerlukan
perawatan segera. Ini biasanya mengikuti faktur tengkorak dengan
robekan arteri tengah atau arteri meninges lain. Pasien harus diatasi
dalam beberapa jam cedera untuk mempertahankan hidup.
2) Hemoragi subdural pada dasarnya sama dengan hemoragi epidural,
kecuali hematoma subdural biasanya jembatan vena yang robek.
Karenanya periode pembentukan hematoma lebih lama dan
menyebabkan tekanan pada otak.
3) Hemoragi subaraknoid dapat terjadi sebagai trauma atau hipertensi,
tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme pada area
sirkulus wilisi dan malformasi arteri-vena konginetal pada otak. Arteri di
dalam otak dapat menjadi tempat aneurisme.
4) Hemoragi intraserebral paling umum terjadi pada pasien dengan
hipertensi dan arterisklerosis serebral, karena perubahan degenerative
karena penyakit ini biasanya menyebabkan rupture pembuluh darah.
Stroke ini sering terjadi pada kelompok usia 40-70 tahun. Pada orang
dengan usia di bawah 40 tahun, hemoragi intraserebral biasanya
disebabkan oleh malformasi arter-vena, hemangioblastoma, dan trauma.
Juga disebabkan oleh tipe patologi arteri tertentu adanya tumor otak, dan
penggunaan medikasi (antikoagulan, amfetamin, dan berbagai obat
aditif). Tindakan pada hemoragi intraserebral masih kontroversial. Bila
hemoragi kecil pasien diatasi secara konservatif dan simtomatis. Tekanan
darah diturunkan secara hati-hati dengan medikasi antihipertensif. Defisit
neurologic pasien mungkin memburuk bila tekanan darah berkurang
terlalu rendah atau cepat.

Menurut Ulfa,(2018), stroke memiliki faktor resiko yang berhubungan


dengan kejadian stroke dibagi menjadi dua, yaitu faktor resiko yang tidak
dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) dan faktor resiko yang dapat
dimodifikasi (modifiable risk factors). Faktor resiko yang tidak dapat
dimodifikasi seperti usia, ras, gender, genetic atau riwayat keluarga yang
menderita stroke. Sedangkan faktor resiko yang dapat dimodifikasi berupa
hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes melitus, obesitas, alkohol,
dan dyslipidemia.

5. Klasifikasi
Stroke dapat diklasifikasinya berdasarkan beberapa aspek. Secara umum
stroke diklasifikasikan menjadi stroke iskemik (dengan/tanpa perdarahan) dan
stroke perdarahan. Stroke prrdarahan dapat berupa perdarahan intra serebral,
perdarahan itraventrikular, dan perdaraha subrakhnoid.
Bedasarkan lokasi, iskemik dapet terjadi pada area anterior/karotis, area
sirkulasi posterior dan area zona perbatasan.
Berdasarkan klinis, stroke iskemi dibedakan menjadi sindrom lacunar,
sindrom sirkulasi posterior, sindrom sirlkulasi anterior total dan sindrom
sirkulasi anterior parsial.
Stroke iskemik diklasifikasikan menjadi arterosklerosis arteri besar,
kardioembilisme, penyakit arteri kecil,
(Setiati,2014)
6. Manifestasi Klinik
Pasien yang menderita stroke biasanya akan ditandai dengan kelemaahn,
mayirasa, perubahan pengelihatan disfagia, atau afasia.
Jika serangan membaik sebelum 24 jam, kejadian ini digolongkan sebagai
serangan iskemik sementara/ trasnsient ischemic attack (TIA). Biasanya TIA
berlangsung bebrapa menit hingga kurang dari satu jam. Maka diagnosis
banding stroke mencakup menyingkiran perdarahan, sumbatan, hematoma,
kejang dan sakit kepala. (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2012)
Menurut Black & Hawks, (2014) tanda dan gejala dari stroke yaitu:
a. Terjadi dengan cepat dalam waktu 10 -30 detik dan sering tanpa peringatan.
b. Bisa terjadi dengan cepat.
c. Keberlangsungan kesadaran yang relative.
d. Tekanan darah normal.
e. Sering terjadi pada seseorang dalam kondisi aktif, bangun tidur.
f. Sakit kepala dan tegang pada daerah leher bagian belakang.
g. Serangan hemiplegi lengkap yang cepat, selama hitungan menit sampai 1
jam.
h. Biasanya mengakibatkan kehilangan fungsional permanen dan luas yang
lebih lambat dan waktu penyembuhan menyeluruh yang lebih sedikit.
i. Progresi kearah kondisi koma yang cepat.
Sedangkan menurut Digiulio, Jackson, & Keogh, (2014), manifestasi klinis
dari stroke adalah sebagai berikut:
a. Ketidakseimbangan mental
b. Disorientasi , bingung
c. Perubahan emosional, perubahan kepribadian
d. Afasia ( kesulitan berbicara )
e. Kata – kata tidak jelas
f. Kelemahan pada wajah dan kaki – tangan
g. Serangan
h. Sakit kepala hebat karena kenaikan tekanan intracranial akibat perdarahan
(Digiulio, Jackson, & Keogh, 2014)
7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Ulfa, (2018), pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan
pada pasien stroke yaitu:
a. CT Scan

Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke

hemoragik. Pemeriksaan CT Scan kepala merupakan gold standar untuk

menegakan diagnosis stroke.

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Secara umum pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih

sensitive dibandingkan CT scan. MRI mempunyai kelebihan mampu

melihat adanya iskemik pada jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah

onset stroke non hemoragik. Kelemahannya adalah tidak bisa memeriksa

pasien yang menggunakan protese logam dalam tubuhnya, preosedur

pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, serta harga pemeriksaan

yang lebih mahal.


c. Pemeriksaan pada kadar glukosa darah untuk mendeteksi hipoglikemi

maupun hiperglikemi, karena pada kedua keadaan ini dapat dijumpai

gejala neurologis.

d. Pemeriksaan elektrolit ditujukan untuk mendeteksi adanya gangguan pada

elektrolit baik untuk natrium, kalium, kalsium, fosfat maupun pada

magnesium

e. Pemeriksaan analisa gas darah juga perlu dilakukan untuk mendeteksi

asidosis metabolik. Hipoksia dan hiperkapnia juga menyebabkan gangguan

neurologis.

f. Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT)

digunakan untuk menilai aktivasi koagulasi serta monitoring terapi.

g. Dari pemeriksaan hematologi lengkap dapat diperoleh data tentang

kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah eritrosit, leukosit, dan

trombosit serta morfologi sel darah. Polisitemia vara, anemia sel sabit, dan

trombositemia esensial adalah kelainan sel darah yang dapat menyebabkan

stroke

8. Penatalaksanaan
Menurut Morton, Fontaine, Hudak & Gallo,(2012), penatalaksanaan pasien
stroke dapat di bagi menjadi:
a. Klinis
Tujuan utama dari penatalaksanaan ini adalah perbaikan alian darah
cerebral, pencegahan trobosis berulang, perlindungan syaraf, dan perawat
supportif. Focus dari pegpbatan awal adalah menyelamatkan sebanyak
mungkin area iskemik. Hal yang perlu diperhatikan adalah oksigen, glukosa
dan aliran darah yang adekuat. Oksigen dapat dipantau melalui gas darah
arteri dan oksigen dapat diberikan pada pasien jika diindikasikan.
Hipoglikemia dapat dievaluasi dengan peemrikasaan serial glukosa.
Reperfusi dapat dilakukan dengan menggunakan aktifator plasminogen
jaringan. ( t-PA, tissue plasminogen activator) IV.
b. Farmakologi
Agen trombolitik adalah eksogenus pelarut bekuan. Terapi trombolitik Iv
dimulai 3 jam atau kurang dari mulai gejala neurologis. Pemberian langdung
trombolitik ke dalam pembulh darah adalah alternative dari t_PA IV.
Pemberian in efektif pada stroke iskemik akut dan dapat diberikan hingga 6
jam setelah awitan gejala.
Selain trombilitik pilhan terapi sekunder untuk stroke mencakup
antikoagulasi dengan agens antitrobotik dan antitrombisit. Obat antitrobosit
mencakup aspirin, tiklopidin, klopidrogel. Agen ini menghambat trombosit
melekat di dinding pembuluh darah yang cedera dan mencegah kondisi
thrombus dan embolus di masa mendatang.
c. Penatalaksaan Bedah
Prosedur ini dilakukan untuk mengangkat plak aterosklerosik yang
banyak menumpuk di bagian dalam arteri karotis. Saat plak diangkat aliran
darah akan kembali normal. Pembedahan harus dilakukan oleh seorang ahli
bedah yang terampil.
Menurut Smeltzer,(2013), penatalaksanaan bedah dengan kraniotomi.
Kraniotomi menakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk
meningkatkan akses pada struktur intracranial. Prosedur ini dilakukan
dengan menghilangkan tumor, mengurangi TIK, mengevakuasi bekuan
darah, dan mengontrol hemoragi. Flap tulang dibuat ke dalam tengkorak dan
dipasang kembali setelah pembedahan, ditempatkan dengan jahitan
periosteal atau kawat. Secara umum ada dua pendekatan melalui tengkorak:
(1) diatas tentorium (kraniotomi supratentorial) ke dalam kompartemen
supratentorial, (2) di bawah tentorium ke dalam kompartemen infratentorial.
Lubang yang dibuat untuk menentukan adanya pembengkakan serebral
atau cedera serta ukuran dan posisi ventrikel. Lubang ini juga suatu cara
evakuasi hematoma intracranial atau abses dan untuk membuat flap tulang di
dalam tengkorak dan memungkinkan akses pada ventrikel untuk tujuan
dekompresi, ventrikulografi, atau Shunting.
d. Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian keperawatan sangat penting untuk mengidentifikasi deficit
yang dialami oleh pasien. Hal penting yang lain yang harus diperhatikan
adalah pemberian terapi antitrombolitik, mengobtimalkan perawatan dalam
masa akut, memindahkan pasien ke rehabilisasi dengan cepat guna
memaksimalkan hasil akhir. Pasien harus dipantau dnegan seksama untuk
mengetahui adanya infeksi, perubahan suhu, dan perubahan kadar glukosa
dan semua yang berkemungkinan dapat memperburuk kondisi pasien.
Perawtan juga berperan penting dalam mencegah komolikasi yang tekait
dengan imobilitas, hemiparesis, atau deficit neurologis lain yang disebabkan
oleh stroke. Tindakan pencegahan infeksi yang pnting adalah saluran kemih,
aspirsi, ulkus diabetikum, kontraktur, dan tromboflebitis.
Penatalaksanaan fase akut
Menurut Setiati, (20140, tatalaksana fase akut seranga otak baik iskemik
maupun perdarahan adalah berlomba dengan waktu mulai dari wakti onset
hingga waktu istalasi gawat. Time is brain, setiap detik sangat penting pada
fase akut, denga prinsip stabilkan kondisi pasien, kondifmasi diagnose secara
cepat, tepatkan pemeriksaan laboratorium untuk menetapkan pengobatan
yang terbaik dan pencegahan terhadap perburukan serta komplikasi.
Prinsip dari tatalaksana stroke adalah mengontrol factor risiko dan kondisi/
penyakit yang mendampinginya untuk mencegah proses perburukan dan
serangan otak berikutnya (pencegahan sekunder), mencegah komplikasi
akibat dan konsekwensi stroke sendiri ( ulkus decubitus, pneumonia, emboli
pilmonal).
Tatalaksana dapat dilakukan dengan cara bedah yaitu drainase hematoma
intracranial, manejemen pada pengingkatan padatekanan intracranial. Secara
intra arterial intervensi antara lain reperfusi lesi oklusif vascular dan secara
medis antara lain denga pengontrolan koagulabilitas untuk mencegah
pembentukan thrombus dam memperbaiki fungsi neurologis. Strastegi yang
dapat dilakukan untuk memaksimalkan perfusi serebral adalah denga control
posisi tubuh, management tekana darah yang tepat, volume intravascular,
dan curah jantung. Reperfusi area iskemik dapat dilakukan melalui bedah
arteri langsung (endarterektomi), angioplasty, pemasangan stent, trombilisis
pengahancuran bekuan secara mekanik, pemberiaj agen vasodilator, bedah
pintas arteri yang teroklusi dan optimalisasi sirkulasi kolateral.
9. Komplikasi

Menurut Corwin (2009) dalam Ulfa, (2018), pada pasien stroke yang

berbaring lama dapat terjadi masalah fisik dan emosional diantaranya:

1) Bekuan darah (Trombosis)

Mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan penimbunan

cairan, pembengkakan (edema) selain itu juga dapat menyebabkan

embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang

mengalirkan darah ke paru.

2) Dekubitus

Bagian tubuh yang sering mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi

kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat dengan baik maka akan

terjadi ulkus dekubitus dan infeksi.

3) Pneumonia

Pasien stroke tidak bisa batuk dan menelan dengan sempurna, hal ini
menyebabkan cairan terkumpul di paru-paru dan selanjutnya menimbulkan
pneumonia.
4) Atrofi dan kekakuan sendi (Kontraktur)

Hal ini disebabkan karena kurang gerak dan immobilisasi.

5) Depresi dan kecemasan

Gangguan perasaan sering terjadi pada stroke dan menyebabkan reaksi

emosional dan fisik yang tidak diinginkan karena terjadi perubahan dan

kehilangan fungsi tubuh.


10. Discharge Planning
Menurut Morton, Fontaine, Hudak & Gallo,(2012), penyuluhan pasien
dan rencana pulangnharus memberikan informasi kepada pasien mengenal
modifikasi factor risiko dan mengajarkan individu untuk mengenali tanda dan
gejala stroke. Informasi yang dapat diberikan adalah mengenal obat – obatan dan
modifikasi gaya hidup lainnya untuk mengatasi tekanan darah. Pasien dapat
dirujuk ke program berhenti merokok, tentang manajemen berat badan dan
program olahraga. Kepatuhan terhadap obat – obatan juga harus ditekankan.
Rumah sakit perlu mengatur program yang menjangkau komunitas mengenai
pencegahan stroke, pengenalan tanda dan gejala strike dan kedaruratannya.
Selain itu, stroke seringkali merupakan pengalaman yang mengubah hidup
pasien dan keluarga. Bergantung pada hasil akhirnya, anggota keluarga dapat
membutuhkan penyuluhan mengenai cara memberikan perawatan pada pasien di
rumah. Petunjuk mengenai mobilitas, nutrisi, keamanan, tidur dan perawtan
eliminative harus diberikan, bersamaan dengan rujukan perawtan di rumah.
Dengan bantuan, pasien dapat mencapai kualitas hidup yang maksimum dan
reintegrasi ke dalam komunitas.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


Pre Operasi Craniotomy
1. Pengkajian
Menurut Smeltzer, (2013), pengkajian pada pasien stroke adalah sebagai
berikut:
a. Perubahan pada tingkat kesadaran atau responsivitas yang dibuktikan
oleh gerakan, menolak terhadap perubahan posisi, dan respon terhadap
stimulasi, berorientasi terhadap tempat, waktu dan orang
b. Ada atau tidak adanya gerakan volunteer atau involunter ekstremitas,
tonus otot, postur tubuh, dan posisi kepala
c. Kekakuan atau flaksiditas leher
d. Pembukaan mata, ukuran pupil komparatif dan reaksi pupil terhadap
cahaya, dan posisi ocular
e. Warna wajah dan ekstremitas, suhu, dan kelembaban kulit
f. Kualitas dan frekuensi nadi dan pernapasan, gas darah arteri sesuai
indikasi, suhu tubuh, dan tekanan arteri.
g. Kemampuan untuk bicara
dan volume urine yang dikeluarkan
h. Volume cairan yang diminum atau diberikan
setiap 24 jam.
Ketika pasien mulai sadar, tanda keletihan dan konfusi ektrem tampak
sebagai akibat edema serebral yang mengikuti stroke. Untuk mengurangi
adanya ansietas, upaya-upaya harus dilakukan pada interval sering untuk
mengorientasikan pasien pada waktu dan tempat serta memberikan
keyakinan.
Setelah fase akut, perawat mengkaji fungsi-fungsi berikut: status mental
(memori, lapang perhatian, persepsi, orientasi, afek, bicara/Bahasa),
sensasi/persesi (biasanya pasien mengalami penurunan kesadaran terhadap
nyeri dan suhu), control motorik (gerakan ekstremitas atas dan bawah) dan
fungsi kandung kemih.
Pengkajian berlanjut untuk memfokuskan pada kerusakan fungsi pada
aktivitas sehari-hari pasien karena kualitas hidup setelah stroke sangat
berkaitan dengan status fungsi pasien.

2. Diagnosis keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnose keperawatan utama menurut
Smeltzer, (2013) dan SDKI, (2017), untuk pasien stroke meliputi hal berikut:
a. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot, gangguan persepsi sensori, gangguan musculoskeletal.
b. Nyeri yang berhubungan dengan iskemia
c. Kurang perawatan diri (hygiene, toileting, berpindah, makan) yang
berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, kelemahan.
d. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan tirah baring, kelemahan,
imobilitas, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
e. Perubahan proses berpikir yang berhubungan dengan kerusakan otak,
konfusi, ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi.
f. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan penurunan
sirkulasi serebral..
g. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
penurunan mobilitas.
h. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan perubahan status
kesehatan keluarga
i. Risiko perfusi serebral tidk efektif di dukung data hipertensi, cedera
kepala.
3. Intervensi keperawatan
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif didukung data hipertensi, cedera
kepala.
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan

Perfusi serebral meningkat 1. Manajemen peningkatan TIK


setelah dilakukan tindakan 2. Pantau TIK
keperawatan 2x24 jam dengan 3. Pantau Tanda-Tanda Vital
kriteria hasil: 4. Manajemen medikasi
Tingkat kesadaran meningkat 5. Pantau status neurologis
TIK menurun 6. Pengontrolan infeksi
Tidak ada sakit kepala, gelisah, 7. Pencegahan perdarahan
cemas, agitasi, demam
Tekanan darah membaik
Refleks saraf membaik

b. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan penurunan kekuatan


otot, gangguan persepsi sensori, gangguan musculoskeletal
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

Tujuan: pasien mampu 1. Dukung ambulasi


menunjukkan peningkatan 2. Dukung Perawatan Diri :
mobilitas fisik setelah BAB/BAK, berpakaian,
dilakukan tindakan 4x24 jam makan/minum, mandi
dengan kriteria hasil: 3. Manajemen program latihan fisik
Pergerakan ekstremitas 4. Manajemen medikasi
meningkat 5. Pencegahan jatuh
Kekuatan otot meningkat 6. Atur posisi
ROM meningkat 7. Perawatan tirah baring
8. Teknik latihan penguatan otot
9. Terapi aktivitas

c. Kurang perawatan diri (hygiene, toileting, berpindah, makan) yang


berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, kelemahan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

pasien mampu menunjukan peningkatan 1. Dukung Perawatan Diri :


perawatan diri setelah dilakukan BAB/BAK, berhias, berpakaian,
tindakan 4x24 jam dengan kriteria hasi: makan/minum, mandi
Verbalisasi keinginan melakukan 2. Dukung emosional
perawatan diri. 3. Manajemen nutrisi
Mempertahankan kebersihan diri 4. Manajemen lingkungan
Mempertahankan kebersihan mulut 5. Pencegahan jatuh
Kemampuan makan/minum meningkat 6. Perawatan mulut
7. Terapi menelan

d. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan tirah baring, kelemahan,


imobilitas, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

Pasien toleransi terhadap aktivitas 1. Manajemen nyeri


setelah dilakukan tindakan keperawatan a. Dukung ambulasi
4x24 jam dengan kriteria hasil: b. Dukung perawatan diri
Tekanan darah membaik c. Edukasi latihan fisik
Tidak gelisah d. Manajemen mood
Kaku pada persendian menurun
2. Terapi Aktivitas
a. Pantau tanda vital
b. Manajemen program latihan
c. Manajemen nutrisi
d. Manajemen nyeri
e. Terapi oksigen

d. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan penurunan


sirkulasi serebral..
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan

Kemampuan berbicara dan 1. Promosi komunikasi: defisit bicara,


mendengar pasien akan meningkat pendengaran, visual
setelah dilakukan tindakan 2. Dukung pengambilan keputusan
keperawatan 4x24 jam dengan 3. Latihan memori
kriteria hasil: 4. Manajemen lingkungan
Ekspresi wajah/tubuh meningkat 5. Manajemen energy
Ada kontak mata 6. Terapi sentuhan
Afasia menurun
Pemahaman komunikasi membaik
Tanda-Tanda Vital membaik
(ukuran pupil, gerkan mata, pol
nafas, pola istirahat tidur, Nadi,
refleks pilomotorik)
Tingkat kesadaran meningkat
Reaksi pupil meningkat
Tidak ada sakit kepala
e. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
penurunan mobilitas.
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan

Pasien tidak mengalami kerusakan 1. Perawatan integritas kulit


integritas kulit setelah dilakukan 2. Dukung perawaan diri
tindakan keperawatan 4x24 jam, 3. Edukasi perawatan diri
dengan kriteria hasil: 4. Latihan rentang gerak
Kulit elastis 5. Manajemen nyeri
Tidak ada nyeri, perdarahan, 6. Perawatan imobilisasi
kemerahan, hematoma, nekrosis 7. Teknik latihan penguatan otot
Suhu dan tekstur kulit membaik dan sendi
Perfusi jaringan kulit meningkat
Hidrasi meningkat

Post Operasi Craniotomy


Menurut Smeltze,(2013), pengkajian pasca operasi craniotomy adalah
sebagai berkut:
1. Pengkajian
a. Frekuensi dan pola pernapasan dipantau, dan nilai gas darah arteri
ditinjau ulang.
b. Fluktuasi tanda vital pasien dipantau dengan cermat dan
didokumentasikan karena ini mengindikasikan peningkatan TIK.
c. Suhu rektal pasien diukur pada interval untuk mengkaji adanya
hipertermia sekunder akibat kerusakan hipotalamus
d. Pemeriksaan neurologic dilakukan dengan sering untuk mendeteksi
peningkatan TIK yang diakibatkan oleh edema serebral atau perdarahan.
e. Perubahan tingkat kesadaran pasien atau merespon rangsang mungkin
menjadi tanda pertama peningkatan TIK
f. Pengkajian status neurologic berfokus pada tingkat kesadaran pasien,
tanda-tanda mata, respon motoric dan tanda vital.
g. Pasien diobservasi untuk tanda-tanda tak nyata dari defisit neurologic,
seperti penurunan respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan
menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, diplopia, penglihatan
kabur.
h. Gelisah dapat terjadi saat nyeri, konfusi, hipoksia.
i. Inspeksi adanya perdarahan drainase CSS.
2. Diagnosis Keperawatan
Menurut Ulfa,(2019), diagnosis keperawatan yang muncul post operasi
craniotomy adalah:
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan efek
samping tindakan craniotomy
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan disfungsi
neuromuskuler, sekresi yang tertahan
c. Gangguan mobilitas fisik behubungan dengan gangguan neuromuskuler,
penurunan kekuatan otot
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan neuromuskuler,
kelemahan
e. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas
f. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan stimulasi pusat
termoregulasi hipotalamus
g. Risiko infeksi didukung data efek prosedur invasive : craniotomy.

3. Intervensi Keperawatan
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan efek
samping tindakan craniotomy
Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Keperawatan

Suplai aliran darah ke otak membaik 1. Manajemen Peningkatan TIK


setelah dilakukan tindakan 2. Pemantauan TIK
keperawatan selama 2x 24 jam 3. Edukasi program pengobatan
dengan kriteria hasil: 4. Manajemen medikasi
Tingkat kesadaran meningkat 5. Pantau hemodinamik invasive
TIK menurun 6. Pantau neurologis
Sakit kepala menurun 7. Rawat sirkulasi
Gelisah menurun 8. Control infeksi
Kecemasan menurun
Demam menurun
Tekanan Darah membaik
Frekuensi nadi, ukuran pupil,
gerakan mata, pola napas, frekuensi
napas, membaik
Kekuatan otot meningkat
ROM meningkat
Pergerakan ekstremitas meningkat
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan disfungsi
neuromuskuler, sekresi yang tertahan
Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Keperawatan

Keefektifan jalan nafas setelah 1. Manajemen jalan napas


dilakukan tindakan keperawatan 2. Pantau Respirasi
selama 3 x 24 jam, dengan kriteria 3. Edukasi Fisioterapi dada
hasil: 4. Manajemen jalan napas buatan
Produksi sputum menurun 5. Beri obat inhalasi
Tidak ada suara napas tambahan 6. Cegah aspirasi
(mengi, wheezing) 7. Penghisapan jalan nafas
Tidak dyspnea 8. Perawatan trakheostomi
Tidak ortopnea 9. Stabilisasi jalan nafas
Tidak sianosis 10. Terapi oksigen
Frekuensi napas membaik
Pola napas membaik
c. Gangguan mobilitas fisik behubungan dengan gangguan neuromuskuler,
penurunan kekuatan otot
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

Mobilitas fisik pasien meningkat 1. Dukung ambulasi


setelah dilakukan tindakan 2. Dukung mobilisasi
keperawatan selama 3 x 24 jam 3. Dukung perawatan diri:
dengan kriteria hasil: BAB/BAK, berpakaian,
Pergerakan ekstremitas meningkat makan/minum, mandi.
Kekuatan otot meningkat 4. Manajemen lingkungan
ROM meningkat 5. Pantau neurologis
Nyeri menurun 6. Pencegahan jatuh
Kaku sendi menurun 7. Perawatan tirah baring
Gerakan terbatas menurun 8. Perawatan sirkulasi
Kelemahan fisik menurun 9. Manajemen medikasi
Gerakan tidak terkoordinasi menurun 10. Terapi relaksasi otot progresif

d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan neuromuskuler,


kelemahan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

Perawatan diri meningkat setelah 1. Dukungan perawatan diri :


dilakukan tindakan 3x24 jam dengan BAB/BAK, berhias,
kriteria hasil: berpakaian, makan/minum,
Verbalisasi keinginan perawatan diri mandi
meningkat 2. Dukungan emosional
Minat melakukan perawatan diri 3. Manajemen lingkungan
meningkat 4. Manajemen energy
Mempertahankan kebersihan diri 5. Pencegahan jatuh
meningkat 6. Perawatan trakheotomi
Keluhan nyeri menurun
Tidak gelisah
Kesulitan tidur menurun
Nafsu makan membaik

e. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi keperawatan

Integritas kulit dan jaringan meningkat 1. Perawatan integritas kulit


setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Perawatan luka
selama 3x24 jam dengan kriteria hasil: 3. Dukungan perawatan diri
Elastisitas meningkat 4. Edukasi perawatan kulit
Hidrasi meningkat 5. Pemberian obat
Perfusi jaringan meningkat 6. Perawatan area insisi
Kerusakan jaringan menurun 7. Teknik latihan penguatan otot
Kerusakan lapisan kulit menurun dan sendi
Nyeri menurun
Tidak ada kemerahan
Tidak ada hematoma
Tidak ada jaringan parut
Tidak ada nekrosis
Area luka operasi membaik
Tidak ada peradangan luka operasi
f. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan stimulasi pusat
termoregulasi hipotalamus
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

Pengaturan suhu tubuh membaik 1. Regulasi temperature


setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Edukasi aktivitas/istirahat
2x24 jam dengan kriteria hasil: 3. Edukasi dehidrasi
Tidak menggigil 4. Edukasi terapi cairan
Suhu tubuh membaik 5. Edukasi termoregulasi
Suhu kulit membaik 6. Manajemen cairan
Tidak pucat 7. Manajemen demam
Tidak takikardi 8. Manajemen hipertermia
Tidak takipnea 9. Manajemen lingkungan
Tidak bradikardi 10. Pemantauan cairan
Tidak hipoksia 11. Pemantauan Tanda Vital
Ventilasi membaik
Kadar glukosa membaik
Pengisian kapiler membaik
g. Risiko infeksi didukung data efek prosedur invasive : craniotomy.

Tujuan dan kriterian hasil Intervensi keperawatan

Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan 1. Pencegahan infeksi


tindakan keperawatan selama 3x 24 2. Manajemen lingkungan
jam dengan kriteria hasil: 3. Manajemen nutrisi
Kebersihan tangan meningkat 4. Pantau tanda vital
Nafsu makan meningkat 5. Pemberian antibiotic
Tidak ada demam 6. Perawatan luka
Tidak ada kemerahan 7. Perawatan area insisi
Tidak ada nyeri
Tidak ada bengkak
Tidak ada cairan berbau busuk
Tidak letargi
Kadar sel darah putih membaik

4. Implementasi
Sebanyak 20% pasien dengan ICH spontan terjadi penurunan fungsi
neurologis pada periode sebelum masuk ke rumah sakit, dan 25% pasien
terjadi penurunan fungsi neurologis pada periode saat di rumah sakit.
Evaluasi, diagnosis dan penanganan yang terkonsentrasi merupakan hal yang
krusial pada terapi inisial pasien dengan ICH spontan. Ketika pasien datang
dengan defisit neurologis fokal, nyeri kepala hebat, muntah, tekanan darah
sistolik > 220 mmHg, dan terjadi penurunan kesadaran dengan onset yang
cepat, diagnosis yang perlu dipertimbangkan pertama kali adalah ICH.
Berdasarkan suatu penelitian menyatakan bahwa risiko terjadinya stroke
akan meningkat 20-30% pada pasien dengan COPD dibandingkan dengan
pasien non-COPD. Berdasarkan suatu penelitian menyatakan bahwa kondisi
COPD memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya kerusakan pembuluh
darah besar dan pembuluh darah kecil. Faktor risiko utama yang
menyebabkan terjadinya kondisi COPD dan stroke adalah riwayat rokok,
karena berdasarka penelitian sebelumnya menyatakan bahwa rokok
menyebabkan terjadinya perubahan anatomis pada jaringan paru, kerusakan
dinding pembuluh darah (penebalan tunika media) dan jaringan otak.
(Halimi & Bisri, 2019).
Menurut Mahayani & Putra, (2019), Penelitian ini menggunakan 45
orang penderita stroke hemoragik yang dirawat di RSUP Sanglah periode
november 2017 sampai januari 2018. Karakteristik sampel penelitian
didapatkan rerata usia sampel 54,22 tahun, didominasi oleh jenis kelamin
laki-laki. Faktor resiko yang terbanyak adalah hipertensi serta lokasi
perdarahan predominan di basal ganglia.
Pengelolaan asuhan keperawatan pada pasien stroke hemoragik post
craniotomy atas indikasi ICH dan IVH dalam pemenuhan kebutuhan
aktivitas dan latihan dengan masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik
yang dilakukan tindakan keperawatan latihan ROM pasief yang dilakukan 2
kali dalam sehari selama 2 hari didapatkan hasil kekuatan otot pasien tidak
berubah atau tidak ada peningkatan baik di ekstermitas atas dan bawah
(Nugroho & Sani, 2019)
BAB III
STUDI DOKUMENTASI

I. PENGKAJIAN

A. Identitas pasien

Nama : Bp. S

Usia : 51 thn

Diagnosa masuk : Hipertensi emergensi, Stroke haemoragie, ICH

B. Riwayat kesehatan pasien

1. Keluhan utama

Pasien mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba, muntah

2. Riwayat kesehatan saat ini

Saat dibandara mengantar pasien, tiba-tiba pasien muntah, lalu


mengalami penurunan kesadaran. Pasien lalu dibawa ke Rs. Panti Rini,
kemudian direver ke Rs. Panti Rapih Yogyakarta tanggal 06/09/2019
jam06.25, langsung masuk ICU. Pasien dilakuka craniotomy atas indikasi
ICH tanggal 06/09/2019 jam 13:00. Post operasi dipasang ventilator.
Sampai tanggal 10/9/2019 pasien dilakukan tracheostomy, karena slam
produktif.

3. Riwayat kesehatan sebelumnya

Hipertensi sudah sekitar 5 tahun, minum Amlodipin 1 x 10 mg. Tetapi


sudah 1 minggu ini tidak diminum

4. Riwayat kesehatan keluarga

Hipertensi dari bapak pasien

5. Riwayat alergi
Tidak ada

6. Riwayat tranfusi da pemakaian obat diluar resep dokter

Tidak pernah

C. Pemeriksaan fisik

Kesadaran somnolent, T: 187/99 mmhg, Suhu: 37,7 derajat celsius, Nadi:


102x/mnt, Spo2 95%, menggunakan oksigen binasal 4 lpm. GCS 1-1-5, Pupil
2/4 +/+, kekuatan otot tidak dikaji, tidak ada kejang

D. Pemeriksaan laboratorium dan radiologi

1. Hasil laborat

AGD:

 pH: 7,399

 PCO2 29,6 mmhg

 PO2 150,7 mmhg

 HCO3 18,7 mmol/l

 O2 saturasi 99,8%

 BE -4,9 meq/l

 TCO2 19,6 mmol/l

 AADO257,4 mmhg

Lekosit 12,8, HB 14,2 gr%, Limfosit 9,1%, neutrofil 84,5%, HbsAg


non reaktif, Hasil laborat lain dalam batas normal
2. Hasil radiologi

a. CT Scan kepala:

Tidak ditemukan hasil CT scan saat pasien masuk Rs. Panti Rapih,
tetapi di MR terintegrasi, DPJP menuliskan diagnosa Stroke
Haemoragie, ICH

b. Foto thorax

Pulmo dan besar cor dalam batas normal

E. Terapi
Phenitoin 2 x 1 amp

Asam tranexamat 1 x 500 mg

Citicholin2 x 1000mg

Manitol 4 x 125 cc

Ketorolac 3 x 1 amp

Ondansentron 3 x 4 mg inj

Meropenem 2 x 1gr

Amlodipine 10 mg 0-0-1

Clonidine 2 x 0,15 mg

Irbesartan 300 mg 1-0-0

Paracetamol 3 x 1 gr (inj)

Piracetam 1 x 1200 mg

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN

A. Tanggal 06/09/2019

1. Resiko ketidak efektifan perfusi jaringan otak, didukung data Hipertensi


2. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan

B. Tanggal 07/09/2019 (Post Craniotomy)

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidak seimbangan


ventilasi perfusi

C. Tanggal 12/09/2019

1. Defisit perawatan dirim berhubungan dengan gangguan neuromuskular,


ditandai dengan ketidak mampuan dalam melakukan tugas mandi, makan,
berpakaian, toileting

2. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak, didukung data hipertensi

3. Resiko infeksi didukung data adanya prosedur infasif

4. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sputum disfungsi


neuro muskuler, ditandai dengan batuk tidak efektif, sputum berlebihan,
mengi/weezhing , perubahan frekuensi dan pola nafas

D. Tanggal 20/09/2019

1. Resiko jatuh dewasa sedang didukung data: adanya gannguan kognitif

2. Defisit perawatan dirim berhubungan dengan gangguan neuromuskular,


ditandai dengan ketidak mampuan dalam melakukan tugas mandi, makan,
berpakaian, toileting

3. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak, berhubungan dengan


hipertens

4. Resiko infeksi sehubungan dengan prosedur infasif


III. PERENCANAAN KEPERAWATAN

Diagnosa
No Tanggal Tujuan Rencana Keperawatan
keperawatan

1 6/09/2019 Resiko ketidak Tujuan: Rencana tindakan:


efektifan perfusi Kemampuan saraf
 Monitor status mental
jaringan otak, kranial pasien
didukung data untuk  Monitor status neurologi
Hipertensi menyampaikan
 Monitor tanda vital
impuls sensorik
dan motorik  Monitor tanda dan gejala
optimal setelah aspirasi
dilakukan
 Monitor status pernafasan
tindakan
keperawatan  Kolaborasi dengan dokter
selama 5 x 24jam
 Lakukan prosedur
Kriteria: pencegahan aspirasi

 Berbicara tidak  Posisikan tinggi kepeal


terganggu tempat tidur

 Menelan tidak  Monitor intake out put


terganggu
 Monitor adanya
 Pendengaran kebingungan, perubahan
tidak terganngu pikir, keluhan pusing,
pingsan
 Penglihatan
tidak terganngu  Berikan istirahat cukup

 Berikan anti kejang

2 06/09/2019 Defisit perawatan Tujuan: Rencana tindakan:


diri berhubungan kemampuan
 Mandikan pasien
dengan pasien untuk
kelemahan, melakukan  Bantu pasien berpakaian
ditandai dengan aktivitas
 Sisir rambut
pasien tidak perawatan diri
mampu secara mandiri  Ganti linen kotor
melakukan tugas tercapai optimal
mandi, makan, setelah dilakukan
berpakaian, tindakan
toileting secara keperawatan
mandiri. selama 5 x 24
jam.

Kriteria:

 Berpakaian
dengan bantuan

 Berpindah
dengan bantuan

 Kebersihan diri
dengan bantuan

 Makan dengan
bantuan

 Mandi dengan
bantuan

3 07/09/2019 Gangguan Tujuan: Rencana tindakan:


pertukaran gas
Pasien mampu  Berikan posisi yang
berhubungan
mempertahankan memaksimalkan ventilasi
dengan ketidak
pertukaran CO2
seimbangan  Siapkan pemasangan ETT
dan O2, setelah
ventilasi perfusi
diberi tindakan
selama 2x24jam  Auskultasi suara paru

Kriteria:  Berikan O2 ventilator

 Tidak Gelisah  Lakukan perawatan


ETT/TT
 Tidak
mengalami  Lakukan perawatan mulut
penurunan
 Kolaborasi dengan dokter
kesadaran

 Tidak ada
pernafasan
cuping hidung

 Tidak ada
sianosis

 Tidak tacicardi

4 12/9/2019 Defisit perawatan Tujuan: Rencana keperawatan:


dirim
Kemampuan  Mandikan pasien
berhubungan
pasien untuk
dengan gangguan  Ajarkan cara perawatan
melakukan
neuromuskular, diri pada keluarga
aktivitas
ditandai dengan
perawatan diri  Bantu pasien berpakaian
ketidak
secara mandiri
mampuan dalam  Bantu pasien menyisir
tercapai optimal
melakukan tugas rambut
mandi, makan, Kriteria:
 Ganti linen kotor
berpakaian,
 Berpakaian
toileting
tergantung

 Berpindah
tergantung
 Kebersihan diri
tergantung

 Makan
tergantung

 Mandi
tergantung

5 12/9/2019 Resiko Tujuan: Rencana tindakan:


ketidakefektifan
Kemampuan  Monitor status mental
perfusi jaringan
syaraf kranial
otak, didukung  Monitor status neurologi
pasien untuk
data hipertensi
menyampaikan  Monitor tanda vital
impuls sensorik
 Lakukan prosedur
dan motorik
pencegahan peningkatan
optimal setelah
TIK
diberi tindakan
keperawatan  Lakukan prosedur
selama 4x24 jam pencegahan aspirasi

Kriteria :  Posisikan tinggi kepala


tempat tidur
 Berbicara
tidak  Monitor intake output
terganggu
 Berikan anti kejang
 Menelan
 Berikan diuretik osmotik
tidak
terganggu

 Reflek
kornea tidak
terganggu
6 12/9/2019 Resiko infeksi Tujuan: Rencana tindakan:
didukung data
Pasien tidak  Monitor tanda dan gejala
adanya prosedur
mengalami infeksi
infasif
infeksi setelah
 Pasang infus
diberi tindakan
keperawatan  Batasi jumlah pengunjung
selama 4x24jam
 Pasang kateter urine
Kritera:
 Berikan edukasi
 Suhu stabil pencegaan infeksi

 Drainase  Pasang NGT


tidak
 Berikan asupan nutrisi
purulent
yang adequat
 Kulit tidak
 Lepas kateter urine
kemerahan
 Kolaborasi dengan gizi
 Pasien bebas
untuk modifikasi nutrisi
dari tanda
dan gejala  Lepas NGT
infeksi
 Lepas Infus
 Tidak ada
 Periksa kondisi luka
peningkatan
operasi atau luka lain
sel darah
putih  Ajarkan pada keluarga
tanda dan gejala infeksi

7 12/9/2019 Bersihan jalan Tujuan: Rencana tindakan:


nafas tidak
Pasien mampu  Beri posisi untuk
efektif
mempertahankan memaksimalkan ventilasi
berhubungan
dengan sputum bersihan jalan  Berikan obat
disfungsi neuro nafas efektif
 Pasang OA
muskuler, setelah diberi
ditandai dengan tindakan  Lakukan fisioterapi dada
batuk tidak keperawatan
 Observasi suara nafas
efektif, sputum selama 4x24 jam
berlebihan,  Observasi kemampuan
Kriteria:
mengi/weezhing , batuk efektif
perubahan  Tidak ada
 Observasi akumulasi
frekuensi dan ortopnae
sputum
pola nafas
 Tidak
 Lakukan penghisapan
terdengar
lendir
mengi/weezhi
ng  Berikan terapi nebulaser
sesuai program
 Pasien
mampu batuk  Lakukan RJP
efektif
 Lakukan perawatan
 Tidak ada ETT/TT
dipsnae
 Lakukan perawatan mulut
 Tidak ada
 Lakukan kolaborasi
perburukan
dengan dokter
pola nafas

 Tidak ada
produksi
sputum
berlebih

 Tidak ada
sianosis
8 20/9/2019 Resiko jatuh Tujuan : Rencana tindakan:
dewasa sedang
Pasien mampu  Lakukan prosedur
Didukung data: meminimalkan pencegahan jatuh standart
adanya gannguan faktor resiko yang
 Pasang tanda jatuh warna
kognitif dapat memicu
kuning pada tempat tidur
jatuh, setelah
pasien lakukan assesment
diberi tindakan
jatuh tiap pergantian
keperawatan
dinas, atau bila pasien
selama 4x24jam
mengalami perubahan
Kriteria : kondisi dan dilaporkan

 Gerakan  Lakukan observasi


terkoordinasi keadaan pasien tiap 4 jam

 Mampu  Anjurkan keluarga untuk


menjaga mendampingi pasien saat
keseimbanga melakukan aktivitas
n
 Tempatkan pasien pada
 Mampu posisi tempat tidur yang
menunjukkan aman
perilaku
pencegahan
jatuh

9 20/9/2019 Defisit perawatan Tujuan: Rencana keperawatan:


dirim
Kemampuan  Mandikan pasien
berhubungan
pasien untuk
dengan gangguan  Ajarkan cara perawatan
melakukan
neuromuskular, diri pada keluarga
aktivitas
ditandai dengan
perawatan diri  Bantu pasien berpakaian
ketidak
secara mandiri
mampuan dalam  Bantu pasien menyisir
tercapai optimal
melakukan tugas setelah dilakukan rambut
mandi, makan, tindakan selama
 Ganti linen kotor
berpakaian, 5x24jam
toileting
Kriteria:

 Berpakaian
tergantung

 Berpindah
tergantung

 Kebersihan diri
tergantung

 Makan
tergantung

 Mandi
tergantung

10 20/9/2019 Resiko Tujuan: Rencana tindakan;


ketidakefektifan
Kemampuan  Monitor status mental
perfusi jaringan
syaraf kranial
otak,  Monitor status neurologi
pasien untuk
berhubungan
menyampaikan  Monitor tanda vital
dengan hipertensi
impuls sensorik
 Monitor status pernafasan
dan motorik
optimal setelah  Lakukan prosedur
diberi tindakan pencegahan peningkatan
keperawatan TIK
selama 5x24 jam
 Tinggikan kepala tempat
Kriteria: tidur

 Reflek  Monitor intake output


muntah tidak  Berikan istirahat yang
terganggu cukup

 Sensasi
wajah tidak
terganggu

 Tics tidak
terganggu

 Wajah
simetris

11 20/9/2019 Resiko infeksi Tujuan: Rencana tindakan:


sehubungan
Pasien tidak  Monitor tanda dan gejala
dengan prosedur
mengalami infeksi
infasif
infeksi setelah
 Pasang infus
diberi tindakan
keperawatan  Batasi jumlah pengunjung
selama 4x24jam
 Pasang kateter urine
Kritera:
 Berikan obat sesuai
 Suhu stabil program DPJP

 Drainase  Berikan edukasi


tidak pencegahan infeksi
purulent
 Monitor efek samping
 Kulit tidak obat
kemerahan
 Berikan perawatan kulit
 Tidak ada yang tepat
lethargi
 Pasang NGT
 Pasien bebas
 Berikan asupan nutrisi
dari tanda
dan gejala yang adequat
infeksi
 Lepas kateter urine
 Tidak ada
 Kolaborasi dengan gizi
peningkatan
untuk modifikasi nutrisi
sel darah
putih  Lepas NGT

 Lepas Infus

 Periksa kondisi luka


operasi atau luka lain

 Ajarkan pada keluarga


tanda dan gejala infeksi

 Ganti pemasangan alat


kesehatan sesuai waktu
yang ditentukan
BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam kasus ini, beberapa hal ditemukan tidak sesuai dengan yang
seharusnya. Hal ini terjadi karena komplikasi yang muncul pada pasien, yaitu
gangguan airway, yang membuat pasien harus dilakukan pemasangan ETT sampai
dengan tracheostomi, yang menyebabkan adanya beberapa modifikasi terkait asuhan
keperawatan
Pada pengkajian keperawatan, teori dan kasus nyata ditemukan kesamaan,
mulai dari identitas, pengkajian primer, pemeriksaan fisik. Sesuai teori pasien
mengalami penurunan kesadaran, karena adanya perdarahan pada cranial. namun
dari hasil pengkajian status airway masih dalam batas normal, tidak ditemukan
adanya hasil suara nafas, ataupun retensi sputum. Ada data penunjang yang tidak
ada yaitu hasil CT scan kepala awal. Hal ini terjadi karena pasien adalah pasien
rujukan dari rumah sakit lain, dimana pasien sudah menjalani CT Scan, dan hasil
nya dibawa saat pasien pulang. Namun demikian, DJB, dan DPJP sudah menuliskan
di MR terintegrasi bahwa pasien tersebut mengalami ICH. Maka DPJP
memprogramkan Craniotomi.
Pada pemilihan diagnosa dan intervensi, ditemukan adanya beberapa
modifikasi. Hal ini terjadi karena pasien menjalani operasi Craniotomi, dan
mengalami gangguan airway , sehingga pasien harus dilakukan pemasangan ETT-
Ventilator sampai Traceostomy. Pada pembuatan diagnosa dikasus nyata yang
ditemukan adalah data-data yang tidak lengkap, dan tidak detail. Hal tersebut karena
petugas melakukan ERM, dan pilihan tanda dan gejala yang tersedia sangat terbatas
(keterbatasan sistem ERM). diagnosa resiko infeksi juga tidak diambil diawal
ataupun sesaat setelah operasi (06/03/2019), tetapi 6 hari setelah operasi
(12/03/2019).
Pemilihan diagnosa yang tidak tepat, dapat menyebabkan ketidaksesuaian
antara intervensi dan implementasi keperawatan.
BAB V
KESIMPULAN
Jadi, dalam simulasi atau kasus asuhan keperawatan pada pasien dewasa dengan
stroke hemoragik ada yang sudah sesuai dengan teori dan masih ada pula yang
belum sesuai dengan teori. Dalam pengkajian contohnya, kmponen yang ada dalam
kasus sudah sesua dengan teori, tetapi masih ada yang belum sesuai seperti
pemilihan diagnosa yang tidak tepat, dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara
intervensi dan implementasi keperawatan.
Daftar Pustaka

Black, J., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah (Vol. 8). Singapura:
Elsevier.
Digiulio, M., Jackson, D., & Keogh, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah (
Demistified ). (K. Aulawi, Ed.) Rapha Publishing.

Halimi, R. A., & Bisri, D. Y. (2019). Manajemen pasien stroke perdarahan spontan
dengan komorbid penyakit paru obstruktif kronik yang terjadi bronkhospasme
intraoperasi. Jurnal Neuroanastesi Indonesia, 2.

Mahayani, N. D., & Putra, I. K. (2019). Karakteristik penderita stroke hemoragik di


RSIP Sanglah Denpasar. Jurnal Medicina, 50.

Morton, P. G., Fontaine, D., Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2012). Keperawatan Kritis:
Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta: EGC.

Nofitri. (2019). Asuhan keperawatan pada Ny. S dengan stroke non hemoragik dalam
penerapan inovasi intervensi terapi vokal "AIUEO" dengan masalah gangguan
komunikasi verbal di ruangan neurologi RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi. Jurnal Karya Ilmiah Akhir Ners.

Nugroho, G. P., & Sani, F. N. (2019). Asuhan keperawatan pada pasien stroke
hemoragik post op craniotomy atas indikasi ICH dan IVH dalam pemenuhan
kebutuhan aktivitas dan latihan.

Poana, N. L., Wiyono, W. I., & Mpila, D. A. (2020). Pola penggunaan obat pada pasien
stroke hemoragik di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado periode Januari-
Desember 2018. Pharmacon Jurbal Ilmiah Farmasi, 9.

Qurbany, Z. T., & Wibowo, A. (2016, Agustus). Stroke Haemoragik e.c Hipertensi
Grade II. Jurnal Madula Unila, 5, 114.

Setiati, S. (2014). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Internal Publishing.

Smeltzer, S. C. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth.


(M. Ester, Ed.) Jakarta: EGC.
Ulfa, H. (2018). Analisis praktik klinik pada pasien stroke hemoragik & post op
craniotomy dengan intervensi terapi kombinasi lateral position dan isap lendir
(suction) terhadap status hemodinamik di ruang ICU RSUD. Abdul Sjaranie
Samarinda. Jurnal Karya Ilmiah Akhir Ners.

Usman , F. S., Utomo, T. Y., & Soetanto, G. W. (2019). Development of hemorrhagic


stroke management with neurointervention approach. Journal of Neurovasicular
Intervention.

Anda mungkin juga menyukai