Anda di halaman 1dari 13

PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

LAPORAN PENDAHULUAN “STROKE HEMORAGIK”

Oleh :

Nama : Fitri Andini Siregar

NIM : 211102057

Stase : Keperawatan Gawat Darurat

Kelompok :3

Dosen : Ikhsanuddin S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB

PROGRAM PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021/2022


Nama Pasien : Tn.Y

Diagnosa Medis : Stroke Hemoragik

A. Definisi

Stroke atau Cerebrovascular Accident (CVA) adalah defisit neurologi yang


mempunyai awitan mendadak sebagai akibat dari adanya penyakit cerebrovascular
(Tyas, 2016). Stroke adalah penyakit neurologis yang menyerang bagian otak,
begitu juga jaringan dan saraf yang ada diotak (Auryn, dikutip dalam Ratna, dkk.,
2021).
Stroke terbagi menjadi dua tipe, yaitu stroke iskemik yang disebabkan
karena sumbatan pada pembuluh darah (trombosis, emboli) dan stroke
hemoragik yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak (Auryn, dikutip
dalam Ratna, dkk., 2021). Darah yang keluar dan menyebar menuju jaringan
parenkim otak, ruang serebrospinal, atau kombinasi keduanya adalah akibat dari
pecahnya pembuluh darah otak yang dikenal dengan stroke hemoragik (Goetz,
dikutip dalam Darotin., 2017).
Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah manifestasi
klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung
dengan cepat dan lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa
ditemukannya penyakit selain daripada gangguan vascular (Mahmudah, 2014).
Berdasarkan kelainan patologisnya, stroke dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stroke
hemoragik dan stroke non hemoragik (stroke iskemik). Stroke hemoragik diakibatkan
oleh pecahnya pembuluh darah di otak, sedangkan stroke non hemoragik disebabkan
oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan
oksigen dan glukosa ke otak (Zuryati & Adityo, 2016).

B. Etiologi

Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat
dimodifikasi (modifable) dan yang tidak dapat di modifikasi (nonmodifable). Faktor
risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah hipertensi, penyakit jantung
(fibrilasi atrium), diabetes mellitus, merokok, mengkonsumsi alkohol, hiperlipidemia,
kurang aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetic. (Zuryati &
Adityo, 2016).
Prevalensi stroke yang tinggi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor
resiko antara lain obesitas, kurang aktifitas fisik, diet tidak sehat, merokok, tekanan
darah tinggi, peningkatan gula darah, dan peningkatan lipid darah (Riskesdas, 2013;
Ghani, 2016, dikutip dalam Darotin dkk., 2017).
Pecahnya pembuluh darah otak pada umumnya terjadi saat pasien sedang
beraktivitas, adanya nyeri kepala yang hebat, timbulnya defisit neurologis dalam
waktu beberapa menit hingga beberapa jam yang diikuti dengan adanya penurunan
kesadaran, disertai keluhan mual hingga muntah karena tekanan intrakranial yang
meningkat. (Zuryati & Adityo, 2016).
Stroke hemoragik terjadi bila pembuluh darah di otak pecah atau mengalami
kebocoran, sehingga terjadi perdarahan ke dalam otak. Bagian otak yang dipengaruhi
oleh pendarahan dapat menjadi rusak, dan darah dapat terakumulasi sehingga
memberikan tekanan pada otak. Jumlah perdarahan menentukan keparahan stroke
(Parmet et al, 2004).

C. Patofisiologi
D. Manifestasi Klinis

Penderita stroke akan mengalami gejala seperti nyeri kepala, nyeri


leher, vomitus bahkan penurunan kesadaran (Goldszmidt & caplan, 2013).
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien stroke disebabkan karena otak
mengalami hipoksia (kekurangan oksigen) karena adanya sumbatan pada
pembuluh darah, atau juga dapat disebabkan karena pendarahan dalam otak
yang menyebabkan peningkatan intracranial (TIK) (Junaidi, dikutip dalam Ratna,
dkk., 2021).
.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa diagnosis
pasien stroke hemoragik adalah CT-Scan. Dari pemeriksaan CT-Scan yang dilakukan
didapatkan adanya gambaran perdarahan intraserebral. (Mahmudah, 2014)

F. Penatalaksanaan Medis
Menurut Tyas (2016), penatalaksanaan yang dilakukan yaitu :
1. Bantuan kepatenan jalan nafas, ventilasi dengan bantuan oksigen.
2. Pembatasan aktivitas/ tirah baring.
3. Penatalaksanaan cairan dan nutrisi.
4. Obat-obatan seperti anti Hipertensi, Kortikosteroid, analgesik.
5. EKG dan pemantauan jantung.
6. Pantau Tekanan Intra Kranial ( TIK ).
7. Rehabilitasi neurologik.

G. Pengkajian Data Dasar Keperawatan Kasus Penyakit

Pengkajian Menurut Muttaqin (2011), data yang dikumpulkan akan bergantung


pada letak, keparahan dan durasi patologi.
a. Keluhan Utama
Sering terjadi alasan klien meminta bantuan kesehatan adalah kelemahan
anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi dan penurunan
tingkat kesadaran.
b. Riwayat Penyakit
Sekarang Serangan stroke berlangsung mendadak, pada saat klien melakukan
aktivitas, nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala
kelumpuhan separuh badan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Ada riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, penyakit jantung, anemia,
diabetes mellitus, riwayat merokok, penggunaan alkohol, dan penggunaan kontrasepsi
oral.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes mellitus
atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
e. Pengkajian Psikososiospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan pasien penting untuk menilai
respon pasien. Apakah ada timbul kecemasan, ketakutan dan kecacatan,
ketidakmampuan melakukan aktivitas. Stroke merupakan penyakit yang sangat mahal,
biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mempengaruhi keuangan
keluarga, sehingga faktor biaya dapat mempengaruhi stabilitas emosi serta pikiran
pasien dan keluarga.
f. Pemeriksaan Fisik
Umumnya mengalami penurunan kesadaran. Suara bicara kadang mengalami
gangguan, yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara, dan tanda-tanda vital:
tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi.
a. B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi
napas tambahan seperti ronki pada pasien dengan peningkatan produksi sputum dan
kemampuan batuk menurun yang sering didapat pada pasien stroke dengan penurunan
tingkat kesadaran koma. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis pada
pengkajian inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi thoraks didapatkan taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok) hipovolemik
yang sering terjadi pada pasien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan
dan bisa terdapat adanya hipertensi masif TD > 200 mmHg.
c. B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah manan yang tersumbat), ukuran area yang ferfusinya tidak adekuat,
dan aliran darah kolateral (sekunder dan aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat
membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan terfokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
1) Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling
penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran pasien dan respon
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk mendeteksi disfungsi
sistem persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran pasien stroke biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikoma. Jika pasien sudah mengalami
koma, maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
pasien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan keperawatan.
2) Fungsi Serebri
a) Status mental: observasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi
wajah dan aktivitas motorik pasien.
b) Fungsi intelektual: didapat penurunan daya ingat dan memori, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Penurunan berhitung dan kalkulasi.
c) Kemampuan bahasa: tergantung daerah lesi. Lesi pada daerah hemisfer yang
dominan pada bagian posterior dari girus temporalis superior (area Wernick)
didapatkan disfasia resertif, yaitu pasien tidak dapat memahami bahasa lisan atau
tulisan. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis inferior (area
Broca) didapatkan disfasia ekspesif, yaitu pasien dapat mengerti tetapi tidak
dapat menjawab dengan tepat dan bicara tidak lancar.
d) Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila
kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi
intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.
e) Hemisfer: stroke hemisfer kanan menyebabkan hemiparase sebelah kiri tubuh,
penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral. Stroke pada
hemisfer kiri, mengalami hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati-
hati, kelainan lapang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan mudah
frustasi.
3) Pemeriksaan saraf kranial
a) Saraf I: biasanya tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
b) Saraf II: disfungsi fersepsi visual karena gangguan jarak sensorik primer
diantara mata dan korteks visual.
c) Saraf III, IV, dan VI: apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis sesisi otot-
otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di
sisi yang sakit.
d) Saraf V: penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.
e) Saraf VII: persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, otot
wajah tertarik kebagian sisi yang sehat. f) Saraf VIII: tidak ditemukan adanya
tuli konduktid dan tuli persepsi.
g) Saraf IX dan X: kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut.
h) Saraf XI: tidak ada antrofi otot sternokleidomastoideus dan trapizeus.
i) Saraf XII: lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi.
4) Pengkajian sistem motorik
a) Inspeksi umum, didapatkan hemiplagia
b) Fasikulasi didapatkan pada otot-otot ekstremitas
c) Tonus otot meningkat
d) Kekuatan otot 0 pada ekstremitas yang sakit
e) Keseimbangan dan koordinasi mengalami gangguan.
5) Pemeriksaan refleks
a) Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
perosteum derjat refleks pada respon normal.
b) Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang
lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali didahului dengan refleks patologis.
6) Pengkajian sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Persepsi adalah ketidak-mampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensorik primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan
visualspasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial)
sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat
memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan
pakaian ke bagian tubuh. Kehilangan sensorik karena stroke dapat berupa
kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimulasi visual, taktil, dan auditorius.
d. B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan
postural. Kadangkadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermitten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
e. B5 (Bowel)
Didapatkan keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual dan
muntah pada pase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan
produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan kebutuhan
nutrisi. Pola defekasi terjadi konstipasi karena penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
f. B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada neuron atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motor
paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi
otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda
yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan jelek. Di samping itu juga perlu dikaji
adanya tanda-tanda dekubitus, terutama pada daerah yang menonjol karena pasien
mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensorik, atau paralisis/ hemiplegia, mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

H. Diagnosa Keperawatan

Menurut Muttaqin (2011), diagnosis keperawatan stroke yaitu:


1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret,
kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik sekunder, perubahan tingkat
kesadaran.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia, kelemahan
neuromaskular pada ekstrimitas.

I. Intervensi Keperawatan

Tujuan utama penatalaksanaan pasien stroke meliputi tiga hal, yaitu


mengurangi kerusakan neurologik lebih lanjut, menurunkan angka kematian dan
ketidakmampuan gerak pasien (immobility) dan kerusakan neurologik serta
mencegah serangan berulang (kambuh). (Handayani & Dominica, 2018)
Dengan penanganan yang benar pada jam‐jam pertama, angka kecacatan
stroke akan berkurang setidaknya 30%. Penatalaksanaan umum yang dapat dilakukan
adalah dengan stabilisasi jalan napas dan pernapasan. Pemberian oksigen dapat
dilakukan pada pasien dengan saturasi oksigen < 95%. Keseimbangan cairan
diperhitungkan dengan mengukur cairan yang dikeluarkan dari tubuh. Cairan yang
dapat diberikan berupa kristaloid maupun koloid secara intravena. Pada umumnya,
kebutuhan cairan 30 ml/KgBB per hari. Pemasangan kateter diperlukan untuk
mengukur banyaknya urine yang diproduksi dalam 24 jam. Pemasangan pipa
nasogastrik diperlukan pada pasien ini untuk pemberian nutrisi, karena adanya
penurunan kesadaran. Diberikan juga manitol yang bertujuan untuk menurunkan
tekanan intrakranial. Manitol diberikan dengan dosis 0,25‐0,50 gr/kg BB selama lebih
dari 20 menit. Pemberian manitol dapat diulangi setiap 4‐6 jam. (Zuryati & Adityo,
2016)
Pemberian terapi antihipertensi jika didapatkan tekanan darah yang tinggi
(hipertensi emergensi) diberikan dengan pertimbangan bukan hanya terhadap otak
saja, tetapi juga terhadap kerusakan organ lain misalnya jantung dan ginjal. Meskipun
demikian jika tekanan darahnya rendah pada pasien yang mempunyai riwayat
hipertensi pada fase akut serangan stroke, hal tersebut mungkin menandakan
deteriorasi neurologis dini atau peningkatan volume infark, dan merupakan outcome
yang buruk pada bulan pertama saat serangan, khususnya penurunan tekanan darah
sistolik lebih dari 20 mmHg. (Zuryati & Adityo, 2016).

J. Rasional dari Intervensi Keperawatan

Dx Tujuan Intervensi
Ketidakefektifan Ketidakefektifan a. Kaji keadaan jalan nafas.
bersihan jalan nafas bersihan jalan nafas Rasional: obstruksi mungkin dapat
berhubungan dapat teratasi disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa
dengan akumulasi setelah dilakukan cairan mukus. b. Ubah posisi secara
sekret, kemampuan tindakan teratur (tiap 2 jam).
batuk menurun, keperawatan Rasional: mengatur pengeluaran sekret
penurunan selama 2x24 jam dan ventilasi segmen paru-paru,
mobilitas fisik dengan Kriteria mengurangi resiko atelektasis.
sekunder, hasil : c. Berikan minum hangat jika keadaan
perubahan tingkat a. Sekret berkurang memungkinkan.
kesadaran. b. Batuk berkurang Rasional: membantu pengenceran sekret
c. Nafas rentang dan ventilasi segmen paru-paru,
normal mengurangi sekret.
15-20x/mnt. d. Lakukan fisioterapi sesuai indikasi.
Rasional: mengatur ventilasi segmen
paru-paru dan mengeluarkan sekret.
e. Kolaborasi pemberian obat
bronkodilator sesuai indikasi.
Rasional : Mengatur ventilasi dan
melepaskan sekret karena relaksasi
otot/bronkospasme.
Ketidakseimbangan Ketidakseimbangan a. Rencanakan waktu makan saat klien
nutrisi kurang dari nutrisi dapat dalam keadaan segar, seperti tidak saat
kebutuhan tubuh teratasi setelah lelah, tidak mengantuk, dll. Pastikan alat
berhubungan dilakukan tindakan suksion selalu siap tersedia saat klien
dengan kelemahan keperawatan makan.
otot dalam selama 2x24 jam Rasional: keletihan dapat meningkatkan
mengunyah dan dengan Kriteria risiko aspirasi.
menelan. hasil : b. Atur bagian kepala tempat tidur
a. Nafsu makan dalam posisi semi fowler atau fowler
meningkat. tinggi dengan leher agak fleksi ke depan
b. BB naik. dan dagu menunduk..
c. Tubuh berisi. Rasional: posisi ini menggunakan
kekuatan gravitasi untuk membantu
perpindahan makanan ke bawah dan
menurunkan risiko aspirasi.
c. Mulai untuk memberikan makanan
peroral setengah cair, makanan lunak
ketika klien dapat menelan air. Bantu
klien untuk memilih makanan yang kecil
atau tidak perlu mengunyah dan mudah
ditelan, contoh: telur, agar-agar,
makanan kecil yang lunak lainnya.
Rasional: makanan lunak/cairan kental
lebih mudah untuk mengendalikannya di
dalam mulut, menurunkan risiko
terjadinya aspirasi.
d. Anjurkan klien menggunakan sedotan
untuk meminum cairan.
Rasional: menguatkan otot fasial dan
otot menelan serta menurunkan risiko
tesedak.
e. Anjurkan untuk berpartisipasi dalam
program latihan/kegiatan.
Rasional : dapat meningkatkan
pelepasan endorfin dalam otak yang
meningkatkan perasaan senang dan
meningkatkan nafsu makan.
Hambatan Hambatan a. Kaji mobilitas yang ada dan observasi
mobilitas fisik mobilitas fisik terhadap peningkatan kerusakan.
berhubungan dapat teratasi Rasional: mengetahui tingkat
dengan hemiparese, setelah dilakukan kemampuan klien dalam melakukan
kelemahan tindakan aktifitas
neuromaskular keperawatan b. Ajarkan klien untuk melakukan
pada ekstrimitas. selama 2x24 jam latihan gerak aktif pada ekstrimitas yang
dengan Kriteria tidak sakit. Rasional: gerakan aktif
hasil: memberikan tonus massa, tonus, dan
a. Dapat bereaksi kekuatan otot, serta memperbaiki fungsi
sedikit demi jantung dan pernafasan.
sedikit. c. Lakukan gerakan pasif pada
b. Skala otot 5. ekstremitas yang sakit.
Rasional: otot volunter akan kehilangan
tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih
untuk digerakkan.
d. Pantau kulit dan membran mukosa
terhadap iritasi, kemerahan, atau lecet.
Rasional: deteksi dini adanya gangguan
sirkulasi dan hilangnya sensasi risiko
tinggi kerusakan integritas kulit.
e. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi
untuk dan latihan fisik klien.
Peningkatan kemampuan dalam
mobilisasi ekstremitas dapat
ditingkatkan dengan latihan fisik dari
tim fisioterapi.

K. Materi Pendidikan Kesehatan Klien dan Keluarga

Hal yang perlu diajarkan pada pasien dan keluarga adalah untuk merubah
posisi dan melakukan ROM serta memastikan kebutuhan sehari-hari pasien terpenuhi.
Keluarga juga harus memenuhi kebutuhan psikologi pasien dengan memberikan
perhatian.
DAFTAR PUSTAKA

Handayani, Dian & Dwi Dominica. 2018. Gambaran Drug Related Problems (DRP’s)
pada Penatalaksanaan Pasien Stroke Hemoragik dan Stroke Non Hemoragik di RSUD
Dr M Yunus Bengkulu. Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, 5 (1).

Zuryati dan Adityo. 2016. Stroke Hemoragik e.c Hipertensi Grade II. Jurnal Medula
Unila, 5(2).

Ainy, Ratna Eka Nur & Ari Pebru Nurlaily. 2021. Asuhan Keperawatan Pasien
Stroke Hemoragik Dalam Pemenuhan Kebutuhan Fisiologis: Oksigenasi. Journal of
Advanced Nursing and Health Sciences, 2(1).

Tyas. Maria DiahCiptaning, Rudi Hamarno & Ida Farida. 2016. Keperawatan
Kegawatdaruratan dan Manajemen Bencana. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan

Darotin, Rida, Nurdiana, & Tina Handayani Nasution. 2017. Analisis Faktor
Prediktor Mortalitas Stroke Hemoragik Di Rumah Sakit Daerah Dr. Soebandi Jember.
NurseLine Journal, 2(2).

Anda mungkin juga menyukai