Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

I. KONSEP MEDIS

A. Defenisi

Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan

oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak.

Menurut WHO, Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi cerebral, baik

fokal maupun global, yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau

berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskuler.

B. Penyebab stroke non hemoragik yaitu:

1. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)

Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah, menghentikan aliran darah

ke jaringan otak yang disediakan oleh pembuluh dan menyebabkan kongesti dan

radang..

2. Embolisme cerebral

Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian

tubuh yang lain) merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan

darah, lemak dan udara.

3. Iskemia

Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau penyumbatan

pembuluh darah.

C. Manifestasi Klinis

Stroke menyebabkan berbagai deficit neurologik, gejala muncul akibat daerah otak

tertentu tidak berfungsi akibat terganggunya aliran darah ke tempat tersebut, bergantung

pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya

tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Gejala tersebut

antara lain :
1. Umumnya terjadi mendadak, ada nyeri kepala

2. Parasthesia, paresis, Plegia sebagian badan

3. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan control

volunter terhadap gerakan motorik. Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang

muncul biasanya adalah paralysis dan hilang atau menurunnya refleks tendon dalam

4. Dysphagia

5. Kehilangan komunikasi

6. Gangguan persepsi

7. Perubahan kemampuan kognitif dan efek psikologis

8. Disfungsi Kandung Kemih

D. Patofisiologi

Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya

infark hergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh daralidan

adekdatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang

tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan

lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum

(hipoksia karena gangguan pant dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor

penyebab infark pad-a otak. Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah

dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau

terjadi turbulensi

Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan hipertensi

pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering

menyebabkan kematian di bandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskulai; karena

perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan

yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen

magnum
E. Faktor Resiko

Faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke non hemoragik yaitu:

1. Faktor resiko terkendali

Beberapa faktor resiko terkendali yang menyebabkan stroke non hemoragik

sebagai berikut :

a) Hipertensi

b) Penyakit kardiovaskuler, embolisme serebral yang berasal dari jantung,

penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kiri,

abnormalitas irama (khususnya fibrasi atrium), penyakit jantung kongestif.

c) Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke.

d) Kolesterol tinggi

e) Infeksi

f) Obesitas

g) Peningkatan hemotokrit meningkatkan resiko infark serebral

h) Diabetes

i) Kontrasepsi oral (khusunya dengan disertai hipertensi, merokok, dan

estrogen tinggi

j) Penyalahgunaan obat (kokain)

k) Konsumsi alkohol

2. Faktor resiko tidak terkendali

Beberapa faktor resiko tidak terkendali yang menyebabkan stroke non

hemoragik sebagai berikut :

a) Usia, merupakan foktor resiko independen terjadinya strok, dimana refleks

sirkulasi sudah tidak baik lagi.

b) keturunan / genetic
F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan stroke dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Phase Akut :

a) Pertahankan fungsi vital seperti : jalan nafas, pernafasan, oksigenisasi dan

sirkulasi.

b) Pencegahan peningkatan TIK. Dengan meninggikan kepala 15-30

menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan, pemberian

dexamethason.

c) Mengurangi edema cerebral dengan diuretik

d) Pasien di tempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala

tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral berkurang

2. Post phase akut

a) Pencegahan spatik paralisis dengan antispasmodik

b) Program fisiotherapi

c) Penanganan masalah psikososial

G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah sebagai berikut :

1. Angiografi serebral.

2. Lumbal.

3. CT scan

4. MRI (Magnetic Imaging Resonance)

5. USG Doppler

6. EEG

7. Pemeriksaan Laboratorium

1. : untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.


KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Identitas Klien: Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis

kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,

nomor register, dan diagnosis medis.

2. Keluhan utama: Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan

adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat

berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.

3. Riwayat penyakit sekarang: Serangan stroke hemorhagik sering kali berlangsung

sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri

kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan

separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain..

4. Riwayat penyakit dahulu: Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,

diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral

yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat

adiktif, dan kegemukan.

5. Riwayat penyakit keluarga: Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita

hipertensi, diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.

6. Pengkajian psikososiospiritual: Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa

dimensi yang memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas

mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.

7. Pemeriksaan Fisik:

a. B1 (Breathing): Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi

sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi

pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan

peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering

didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma.


b. B2 (Blood): Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok

hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya

terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200

mmHg).

c. B3 (Brain): Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada

lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya

tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang

rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.

d. B4 (Bladder): Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine

sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan

ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan

kontrol motorik dan postural.

e. B5 (Bowel) Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan

menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh

peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah

pemenuhan nutrisi.

f. B6 (Bone): Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol


volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang,

gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan

kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak.

8. Pengkajian Tingkat Kesadaran: Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap

lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan.

Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan

dan keterjagaan. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat

penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan

pemberian asuhan.
9. Pengkajian Fungsi Serebral: Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual,

kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.

10. Pengkajian Saraf Kranial

a. Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.

b. Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara

mata dan korteks visual.

c. Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, padasatu sisi

otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral

di sisi yang sakit.

d. Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigenimus,

penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang

bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan

eksternus.

e. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot

wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.

f. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.

g. Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka


mulut.

h. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

i. Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra

pengecapan normal.

Menurut Doenges (2012) data dasar pengkajian pada pasien NHS yaitu:

1. Aktivitas/ istirahat

Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan

sensasi atau paralisis (hemiplegia)

Tanda: gangguan tonus otot, hemiplagia, dan terjadi kelemahan umum, gangguan

pengelihatan, gangguan tingkat kesadaran.


2. Sirkulasi

Gejala: adanya penyakit jantung , polisitemia, riwayat hipotensi postural,

Tanda: hipertensi arterial,nadi bisa bervariasi karena pengaruh jantung, disaritmia,

perubahan EKG

3. Integritas ego

Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa

Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira,

kesulitan untuk mengekspresikan diri.

4. Eliminasi

Gejala: perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine, anuria, distensi

abdomen, bising usus negatif

5. Makanan/ cairan

Gejala: nafsu makan hilang, mual selama fase akut (peningkatan TIK), kehilangan

sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, dan tenggorok, disfagia, ada riwayat diabetes,

peningkatan lemak dalam darah.

Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan faringeal)

6. Neurosensori

Gejala : sinkope/ pusing, sakit kepala, kelemahan/ kesemutan/ kebas, sisi yang

terkena terlihat seperti mati/ lumpuh, pengelihatan menurun, pengelihatan ganda,

atau gangguan yang lain, gangguan pengecapan.

Tanda: status mental/ kesadaran; biasanya terjadi koma pada tahap awal

haemorhagic, pada wajah terjadi paralisis atau parese (ipsilateral), afasia, kehilangan

kemampuan untuk mengenali / menghayati masuknya rangsang visual, apraksia

7. Nyeri/ kenyamanan

Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda

Tanda: tingkah laku yang stabil, gelisah, ketegangan pada otot.

8. Pernapasan
Gejala: merokok

Tanda: ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan napas

9. Kemanan

Tanda: motorik/ sensorik akan masalah dengan pengelihatan, perubahan persepsi

terhadap orientasi tempat tubuh (stroke kanan), kesulitan untuk melihat objek dari

sisi kiri (pada stroke kanan), kesulitan menelan, tidak mampu memenuhi kebutuhan

nutrisi secara mandiri.

10. Interaksi sosial

Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi.

B. Diagnosa

Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut Doengoes (2012)

adalah :

1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan aliran darah: gangguan oklusif,

vasospasme serebral, edema serebral ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran,

kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/ sensori: gelisah, defisit

sensori bahasa, intelektual, perubahan tanda- tanda vital.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,

kelemahan, parestesia, paralisis; ditandai dengan ketidakmampuan bergerak dengan

tujuan dalam lingkungan fisik; kerusakan koordinasi,; keterbatasan rentang gerak;

penurunan kekuatan otot/ kontrol.

3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral,

kerusakan neuromuskuler, kelemahan/ kelelahan umum.

4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi/ penerimaan

sensori, tranmisi, integrasi, stres psikologik; ditandai dengan : disorientasi terhadap

tempat, waktu, orang, respons emosional berlebihan, konsentrasi buruk, perubahan

pola komunikasi, ketidakmampuan untuk menyebutkan posisi bagian tbuh.


5. Defisit perawatan diri: mandi, berpakaian, makan, eliminasi berhubungan dengan

kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan otot dan daya tahan, koordinasi otot,

kerusakan kognitif, nyeri dan depresi ditandai dengan: kerusakan kemampuan AKS.

6. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan

neuromuskular.

C. Intervensi

Adapun intervensi keperawatn yang diterapkan pada pasien NHS yaitu:

1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan aliran darah: gangguan oklusif,

vasospasme serebral, edema serebral ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran,

kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/ sensori: gelisah, defisit

sensori bahasa, intelektual, perubahan tanda- tanda vital.

Kriteria hasil:

a. Mempertahankan tingkat kesadaran; biasanya/membaik, fungsi kognitif, dan

motorik/ sensori

b. Mendemontrasikan tanta- tanda vital stabil, dan tidak ada tanda-tanda

peningkatan TIK

c. Menunjukkan tidak ada tanda-tanda kelanjutan/ kekambuhan.

Intervensi:

a. Tentukan faktor – faktor yang berhubungan dengan keadaan/ penyebab khusus

selama koma/ penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya peningkatan

TIK.

Rasional: Mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran

gejala/tanda setelah fase awal memerlukan tindakan pembedahan segera dan

atau harus dipindahkan ke ruang ICU.

b. Pantau/ catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan

keadaan normalnya/ standar.


Rasional: mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial

peningkatan TIK dan mengetahui luas, dan kemajuan / resolusi kerusakan SSP.

c. Pantau tanda- tanda vital, seperti catat: adanya hipertensi, frekuensi irama

jantung, catat irama dan pola pernapasan, evaluasi pupil, reaksinya terhadap

cahaya. Catat perubahan dalam pengelihatan, seperti adanya kebutaan,

gangguan lapang pandang

Rasional: adanya variasi mungkin terjadi, namun tanda- tanda vital harus

mendapat perhatian karena bisa mempengaruhi intervensi yang akan dilakukan.

d. Kaji fungsi bicara

Rasional: perubahan bicara merupakan indikator dari lokasi atau derajat

gangguan serebral.

e. Letakkan kepala dalam posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis.

Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan

sirkulasi.

f. Pertahankan keadaan tirah baring: ciptakan lingkungan yang tenang, batasi

pengunjung/ aktivitas pasien sesuai indikasi.

Rasional: aktivitas/ stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK.

g. Kolaborasi:

1) berikan oksigen sesuai indikasi

rasional: menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi

serebral dan tekanan meningkat.

2) Berikan obat sesuai dengan indikasi (antikoagulasi, antihipertensi,

vasodilatasi perifer)

Rasional: antikoagulasi meningkatkan memperbaiki aliran darah, anti

hipertensi menurunkan tekanan darah, vasodilatasi perifer memperbaiki

sirkulasi dan menurunkan vasospasme.

3) Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai dengan indikasi.


Rasional: memberikan informasi tentang kefektifan pengobatan.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,

kelemahan, parestesia, paralisis; ditandai dengan ketidakmampuan bergerak dengan

tujuan dalam lingkungan fisik; kerusakan koordinasi,; keterbatasan rentang gerak;

penurunan kekuatan otot/ kontrol.

Kriteria hasil:

a. Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh tak adanya

kontraktur

b. Mempertahankan/ meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang terkena

c. Mempertahankan integritas kulit.

Intervensi:

a. Kaji kemampuan secara fungsional/ luasnya kerusakan awal dan dengan cara

yang teratur

Rasional: mengidentifikasi kelemahan dan dapat memberikan informasi

mengenai pemulihan.

b. Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang , miring) dan jika memungkinkan

bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian yang terganggu

Rasional: menurunkan resiko terjadinya trauma/ iskemia jaringan. Daerah yang

terkena mengalami perburukan/ sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan

sensasi.

c. Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua

ekstremitas. Anjurkan untuk melakukan latihan seperti menggenggam bola karet

melebarkan jari-jari kaki/ telapak.

Rasional:meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu

mencegah kontraktur.

d. Gunakan penyangga lengan ketika pasien dalam posisi tegak, sesuai indikasi.

Rasional: menurunkan resiko subluksasio lengan dan sindrom bahu- lengan.


e. Tempatkan bantal di bawah aksilla untuk melakukan abduksi pada tangan.

Rasional: mencegah abduksi bahu dan fleksi siku.

f. Tinggikan tangan dan kepala.

Rasional: meningkatkan aliran balik vena dan membantu mencegah

terbentuknya edema.

g. Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan

ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong daerah tubuh yang mengalami

kelemahan.

Rasional: dapat berespons yang baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih

terganggu dan memerlukan latihan aktif untuk menyatukan kembali sebagian

tubuhnya sendiri.

h. Kolaborasi: konsultasikan dengan ahli fisioterapi, secara aktif, latihan resistif

dan ambulasi pasien.

3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral,

kerusakan neuromuskuler, kelemahan/ kelelahan umum.

Kriteria hasil:

a. Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi

b. Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat dipersepsikan

Intervensi:

a. Kaji tipe/ derajat disfungsi, seperti pasien tampak tidak memahami kata, atau

mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri.

Rasional: membantu menentukan daerah dan kerusakan serebral yang terjadi dan

kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi.

b. Minta pasien untuk mengucapkan kata sederhana seperti “pus”

Rasional: mengidentifikasi adanya disartria sesuai komponen motorik dari bicara

seperti lidah yang dapat mempengaruhi artikulasi.


c. Anjurkan pengunjung untuk mempertahankan usahanya untuk berkomunikasi

dengan pasien

Rasional: mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan penciptaan

komunikasi yang efektif.

d. Kolaborasi: konsultasikan/ rujuk pada ahli terapi wicara.

4. Defisit perawatan diri: mandi, berpakaian, makan, eliminasi berhubungan dengan

kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan otot dan daya tahan, koordinasi otot,

kerusakan kognitif, nyeri dan depresi ditandai dengan: kerusakan kemampuan AKS.

Kriteria Hasil:

a. Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.

b. Mengidentifikasi sumber komunitas/ pribadi memberikan bantuan sesuai

kebutuhan.

Intervensi:

a. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk menentukan kebutuhan sehari-

hari

Rasional: membantu dalam merencanakan pemenuhan kebutuhan secara

individual

b. Anjurkan keluarga pasien untuk menghindari melakukan sesuatu untuk pasien

yang dapat dilakukan sendiri, berikan bantuan sesuai kebutuhan.

Rasional: penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri

sendiri untuk memperthakankan harga diri dan meningkatkan pemulihan.

c. Pertahankan dukungan, sikap yang tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk

mengerjakan aktivitasnya.

Rasional: pasien akan memerukan empati, tetapi perlu untuk mengetahui

pemberi asuhan yang akan membantu pasien secara konsisten.

d. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi.


5. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan

neuromuskular.

Kriteria hasil:

a. Mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan aspirasi

tercegah.

b. Mempertahankan berat badan yang diinginkan

Intervensi:

a. Tinjau ulang kemampuan menelan pasien. Catat adangan gangguan lidah,

kemampuan untuk melindungi jalan napas.

Rasional: intervensi nutrisi ditentukan oleh faktor ini.

b. Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan proses menelan yang efektif dengan

mengontrol kepala, posisi tegak/ duduk setlama dan setelah makan, stimulasi

bibir untuk menutup dan membuka secara manual, meletakkan makanan pada

bagian yang tidak mengalami gangguan, memberikan makan dengan perlahan di

lingkungan yang tenang.

c. Pertahankan masukan dan haluaran yang adekuat.

d. Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan.

e. Kolaborasi: Berikan cairan IV dan/ atau makanan melalui selang.

6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan dengan kurang

pemajanan, keterbatasan kognitif, kurang mengingat, tidak mengenal sumber

informasi, ditandai dengan: meminta informasi, penyataan kesalahan informasi,

ketidak akuratan mengikuti instruksi.

Kriteria hasil:

a. Berpartisipasi dalam proses belajar.

b. Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan aturan terapiutik.

Intervensi:

a. Evaluasi tipe/ derajat dari gangguan persepsi sensori


Rasional: defisit mempengaruhi pilihan metode pengajaran dan isis/

kompleksitas instruksi.

b. Tinjau ulang/ pertegas kembali pengobatan yang diberikan, identifikasi cara

meneruskan program pengobatan setelah pulang.

Rasional: tentang aktivitas yang dianjurkan, pembatasan, dan kebutuhan

merupakan hal penting untuk pemulihan.


DAFTAR PUSTAKA

Chang, Ester . 2010 . Patofisiologi : Aplikasi Pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J . 2013 . Buku Saku Patofisiologi . Jakarta: E G C.

Doengoes, Marilyn dkk . 2012 . Rencana Asuhan Keperawatan . Jakarta: E G C

Muttaqin, Arif. 2014 . Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem

Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Padila. 2012. Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Price, SA dan Wilson, 2016. Patofisiologi: Konsep klinis proses- proses penyakit ed. 6

vol.1. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C . 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth . Jakarta : E G C.

Tarwoto, 2011. Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan Sistem Persyarafan . Jakarta:

Sagung Seto.

William, Lippicont . 2016 . Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit . Jakarta:

Indeks.

Wilkinson, Judith . 2013 . Diagnosis NANDA Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC.

Jakarta: EGC .
LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIK

NAMA : FEBRIANI WILDA SAFITRI

NIM : PO714201171014

JURUSAN : D.IV Keperawatan

CI LAHAN CI INSTITUSI

POLTEKKES KEMENKES MAKKASSAR

Anda mungkin juga menyukai