Anda di halaman 1dari 46

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem saraf  merupakan suatu struktur yang paling sempurna yang dimiliki oleh
manusia. Sistem saraf dapat diibaratkan seperti halnya jalan darat yang ada di suatu
kota. Dimulai dari jalan utama, jalan-jalan kecil, dan jalan-jalan layang, serta
jembatan penyebrangan yang merupakan pengubung antara jalan-jalan ini,
keseluruhan ini membentuk suatu sistem yang rumit ditambah lagi dengan kemacetan
yang padat. Kendatipun semua kerumitan tersebut memiliki titik awal dan akhir yang
mengarah ke suatu tujuan. Demikian pula struktur saraf utama kita yang terdiri dari
triliunan sel saraf (neuron) yang saling berhubungan.
Sistem saraf adalah suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling
berhubungan satu dengan lainnya. Sistem saraf mengkoordinasi, menafsirkan serta
mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan. Sistem tubuh yang penting
ini juga mengatur aktivitas sistem-sistem lainnya di dalam tubuh, sehingga terjalinlah
komunikasi antar berbagai sistem tubuh sehingga tubuh dapat berfungsi sebagai unit
yang harmonis.

1.2    Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut:
       1.      Apa pengertian dari stroke, hipertensi, GBS, Miestenia Gravis?
     2.      Apa saja penyebab dari stroke, hipertensi, GBS, Miestenia Gravis?
       3.      apa saja tanda-tanda dan gejala dari stroke, hipertensi, GBS, Miestenia
Gravis?
       4.      bagaimana penangan awal dari stroke, hipertensi, GBS, Miestenia Gravis?

1.3    Tujuan
Adapun tujuan yang melatarbelakangi penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
2

       1.      Untuk mengetahui pengertian dari stroke, hipertensi, GBS, Miestenia Gravis?


       2.      Untuk mengetahui penyebab dari stroke, hipertensi, GBS, Miestenia Gravis?
       3.      Untuk mengetahui tanda dan gejala dari stroke, hipertensi, GBS, Miestenia
1
Gravis?
       4.      Untuk mengetahui penanganan awal dari stroke, hipertensi, GBS, Miestenia
Gravis?
3

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Stroke
2.1.1 Definisi Stroke
Stroke adalah kehilangan fungsi otak karena terhentinya suplay darah ke otak.
Stroke merupakan peringkat ke-2 penyebab kematian dengan laju mortalitas 18% - 37
%. Stroke adalah salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama
di Indonesia. Serangan otak ini merupakan kegawat daruratan medis yang harus
ditangani secara cepat tepat dan cermat (Pudiastuti, 2011). Stroke merupakan
penyakit akibat kelainan otak baik secara fungsional maupun struktural yang
disebabkan oleh pembuluh darah serebral atau dari seluruh sistem pembuluh darah
otak sehingga meyebabkan perdarahan yang menyebabkan kerusakan sirkulasi
serebral atau seluruh lumen pembuluh darah dengan pengaruh sementara atau
permanen (Doengoes, 2012).

2.1.2 Etiologi Stroke

Penyebab stroke ada 3 faktor menurut Pudiastuti (2011) adalah:

1. Faktor resiko medis: migrain, hipertensi (penyakit tekanan darah tinggi),


diabetes mellitus, kolesterol, aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah),
gangguan jantung, riwayat stroke dalam keluarga, Penyakit ginjal, dan penyakit
vaskuler perifer.
2. resiko perilaku: kurang olahraga, merokok (aktif & pasif), makanan tidak sehat
(junk food, fast food), kontrasepsi oral, mendengkur, narkoba, obesitas, stress,
dan gaya hidup.
3. Faktor lain:
4

a. Trombosis cerebral yang terjadi pada pembuluh darah dimana onklusi


terjadi trombosis dapat menyebabkan iskemia jaringan otak, edema dan
kongesti di area sekitarnya.
b. Emboli cerebral merupakan penyumbatan pada pembuluh darah otak
karena bekuan darah, lemak atau udara. Kebanyakan emboli berasal dari
3 dan menyumbat system arteri cerebral.
thrombus di jantung yang terlepas
c. Perdarahan intra cerebral yang merupakan pembuluh darah otak bisa
pecah terjadi karena aterosklerosis hipertensi. Pecahnya pembuluh darah
di otak akan menyebabkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan
otak yang berdekatan akibatnya otak akan bengkak, jaringan otak internal
tertekan sehingga menyebabkan infark otak, edema dan mungkin herniasi
otak.
d. Trombosis sinus dura.
e. Diseksi arteri karotis atau vertebralis.
f. Kondisi hiperkoagulasi.
g. Vaskulitis sistem saraf pusat.
h. Kelainan hematologis

2.1.3 Manifestasi Klinis

Stroke non hemoragik (iskemik), gejala utamanya timbulnya defisit


neurologis secra mendadak/ subakut/ terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi
dan kesadran biasanya tidak menurun.

Stroke hemoragik dibagi menjadi menurut Pudistuti (2011) adalah :

1. Perdarahan Subaraknoid (PSA), Pada pasien PSA ditandai dengan nyeri kepala
hebat dan akut. Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi. Ada gejala
atau tanda rangsangan meningeal.
2. Perdarahan Intrasecebral (PIS), Stroke akibat PIS mempunyai gejala yang tidak
jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertermi. Serangan seringkali siang hari, saat
5

aktivitas, atau emosi atau marah. Sifat nyeri kepla hebat sekali. Mual muntah
sering terdapat pada permulaan serangan.

2.1.4 Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan umum
1) Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi lateral dekubitus bila
disertai muntah, boleh dimulai mobilisasi bertahap bila hemodinamik
stabil.
2) Stabilitas klien dengan tindakan Airway, Breathing, Circulation.
3) Bebaskan jalan nafas dan usahakan ventilasi adekuat bila perlu berikan
oksigen 2-4 liter/menit.
4) Infus intravena dengan cairan normasalin 0,9% 20 ml/jam, jangan pakai
cairan hipotonis edema otak.
5) Kandung kemih yang penuh dikososngkan dengan kateter.
6) Kontrol tekanan darah, dipertahankan normal.Suhu tubuh harus di
pertahankan.
7) Nutrisi hanya boleh di berikan setelah tes fungsi menelelan baik, bila
terdapat gangguang menelan/ pasien yang kesadaranya menurun,
dianjurkan melalui NGT.
8) Mobilisasi dan rehabilitasi dini jika tidak ada kontraindikasi.
2. Penatalaksanan medis
1) Trombolitik (steptokinase)
2) Anti platelet/ anti trombolitik (asetosol, ticlopidin, cilostazol, dipiridamol)
3) Antikoagulan (heparin)
4) Antagonis serotonim (Noftidrofuryl)
5) Antaginis calsium (nomodipin, piracetam)
3. Penatalaksanaan khusus
1) Atasi kejang (antikpnvulsan)
6

2) Atasi tekanan intrakalnial yang meninggi (manitol, gliserol, furosemid,


intubasi streroi dll)
3) Atasi dekompresi (kraniotomi)
Untuk penatalaksanaan faktor resiko
a. Atasi hipertensi (anti hipertensi)
b. Atasi hiperglikemia (anti hiperglikemia)
c. Atasi hiperurisemia (anti hiperurismia)

2.1.5 Asuhan Keperawatan Stoke


1. Pengkajian
Pengkajian Primer
1) B1 (Brain) : Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung
pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
Pengkajian B1 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
2) B2 (Breathing) : Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien stroke
dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien dengan tingkat
kesadaran composmentis, pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada
kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan
kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
3) B3 (Blood) : Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung
pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
7

Pengkajian B1 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap


dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
4) B4 (Bladder) : Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia
urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih
karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter
urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel) : Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan
oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone) : Stroke adalah penyakit yang dapat mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas
menyilang, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh
dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia
(paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain.
Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga
dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi,
serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
Pengkajian Sekunder
1) Pengkajian
8

a. Identitas pasien, meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia


tua, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomer register, diagnosa medis
b. Keluhan utama, biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah
badan, bicara pelo dan tidak dapat komunikasi
c. Riwayat penyakit sekarang, serangan stroke hemoragik sering kali
berlangsung mendadak, pada saat pasien melakukan aktvitas, biasanya
terjadi nyeri kepala, mual, muntah, kejang sampai tidak sadar,
disamping gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi
otak yang lain.
d. Riwayat penyakit dahulu, adanya riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral
yang lama, penggunaan obat-obatan anti koagulan, aspirin, obat-
obatan adiktif, kegemukan
e. Riwayat penyakit keluarga, Biasanya ada riwayat keluarga yang
menderita hipertensi atau diabetes mellitus
f. Riwayat psikososial, faktor biaya mempengaruhi stabilitas emosi dan
pikiran pasien dan keluarga
g. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat, biasanya ada riwayat
perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat kontrasepsi oral,
Tanyakan keadaan pasien apakah gangguan eliminasi urin
mempengaruhi perasaan dalam kehidupan normal pasien, tanyakan
bagaimana perasaan pasien saat menggunakan kateter urin
2) Pola nutrisi dan metabolism, adanya kesulitan menelan, nafsu
makan menurun, mual muntah fase akut
3) Pola aktivitas dan latihan, adanya kesukaran untuk beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise, atau
hemiplegi, mudah lelah
9

4) Pola tidur dan istirahat, biasanya pasien mengalami kesukaran


untuk istirahat, karena kejang otot atau nyeri otot
5) Pola hubungan dan peran, adanya perubahan hubungan dan peran
karena pasien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara
6) Pola persepsi dan konsep diri, pasien merasa tidak berdaya, tidak
ada harapan, mudah marah tidak kooperatif
7) Pola sensori dan kognitif, pasien mengalami gangguan
penglihatan, kekaburan pandangan, perabaan atau sentuhan, pola
kognitif penurunan memori
8) Pola produksi seksual, penurunan gairah seksual akibat pengobatan
stroke seperti obat anti kejang, anti hipertensi, antagonis histamine
9) Pola penanggulangan stress, pasien kesulitan mengatasi masalah
gangguan proses berfikir, kesulitan berkomunikasi
10) Pola tata nilai dan kepercayaan, Pasien jarang melakukan ibadah
karena tingkah laku tidak stabil, kelemahan atau kelumpuhan pada
salah satu sisi tubuh.

2. Diagnosa keperawatan pada pasien stroke


Berdasarkan pengkajian diatas, dapat disimpulkan diagnosa yang muncul
pada pasien stroke menurut NANDA (2015-2017) adalah :
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan
intracerebral
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan himiprase atau
hemiplegih.
c. Gangguan eliminasi urin (inkontensia urin) berhubungan dengan
penurunan sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan komunikasi,
hemiparese, ketidakmampuan mengakses toilet

3. Perencanaan
10

Perencanaan keperawataan menurut Mongan (2014) adalah: Inkontensia urin


(fungsional, stress, tidak tertahankan)
a. Perencanaan : Monitor keadaan bladder setiap 2 jam
Rasional : Membantu mencegah distensi atau komplikasi
b. Perencanaan: Tingkatkan aktivitas dengan kolaborasi dokter/fisioterapi
Rasional : Meningkatkan kekuatan otot ginjal dan fungsi bladder
c. Perencanaan : Kolaborasi dalam bladder training
Rasional : Menguatkan otot dasar pelvis
d. Perencanaan : Hindari pencetus faktor inkontensia urin seperti cemas
Rasional : Mengurangi menghindari inkontensia
e. Perencanaan : Kolaborai dengan dokter dalam pengobatan dan
katerisasi
Rasional : Mengatasi faktor penyebab
f. Perencanaan : Jelaskan pengobatan, kateter, penyebab, tindakan lain
Rasional : Meningkatkan pengetahuan dan diharapkan pasien lebih
kooperatif

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah aksi dalam melakukan tindakan dari keperawatan,
selesaikan perencanaan mandiri dan kolaboratif untuk membantu pasien mencapai
hasil dan tujuan yang diinginkan. Tindakan mandiri adalah aktivitas dimana perawat
menggunakan pertimbangannya sendiri (Potter & Perry, 2010).

5. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi dengan pasien yang terpasang kateter
urin, dengan dilakukan teknik bladder training. Pasien merupakan sumber evaluasi
hasil dari respons terbaik bagi asuhan keperawatan, Namun perawat harus
mengevaluasi efektivitas intervensi keperawatan dengan membandingan tujuan,
Evaluasi perubahan berkemih klien dengan adanya gangguan saluran kemih yang
11

menetap. Bandingkan hasil aktual dengan hasil yang diharapkan untuk menetukan
keberhasilan sebagian dalam mencapai hasil (Potter & Perry, 2010).

2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi Hipertensi
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala
yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti strok untuk otak, penyakit jantung
koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Krisis hipertensi atau
hipertensi darurat adalah suatu kondisi dimana diperlukan penurunan tekanan darah
dengan segera (tidak selalu diturunkan dalam batas normal), untuk mencegah atau
membatasi kerusakan organ. (Mansjoer:522). Kedaruratan hipertesi terjadi pada
penderita dengan hipertensi yang tidak terkontrol atau mereka yang tiba-tiba
menghentikan penobatan. (Brunner & Suddarth:908).

2.2.2 Etiologi Hipertensi


1. Meminum obat antihipertensi tidak teratur
2. Stress
3. Pasien mengkonsumsi kontrasepsi oral
4. Obesitas
5. Merokok
6. Minum alkohol

2.2.3 Manifestasi Klinis hipertensi


1. Sakit Kepala Hebat
2. nyeri dada peningkatan tekanan vena
3. shock / Pingsan
4. Tanda umum adalah:
12

a. Sakit kepala hebat


b. nyeri dada
c. pingsan
d. tachikardia > 100/menit
e. tachipnoe > 20/menit
f. Muka pucat

2.2.4 Patofisiologi Hipertensi


Penyebab krisis hipertensi yaitu adanya ketidak teraturan minum obat
antihipertensi, stress, mengkonsumsi kontrasepsi oral, obesitas, merokok dan minum
alkohol. Karena ketidak teraturan atau ketidak patuhan minum obat antihipertensi
menybabkan kondisi akan semakin buruk, sehingga memungkinkan seseorang
terserang hipertensi yang semakin berat ( Krisis hipertensi ).
Stres juga dapat merangsang saraf simpatik sehingga dapat menyebabkan
vasokontriksi sedangkan mengkonsumsi kontrasepsi oral yang biasanya mengandung
hormon estrogen serta progesteron yang menyebabkan tekanan pembuluh darah
meningkat, sehingga akan lebih meningkatkan tekanan darah pada hipertensi, kalau
tekanan darah semakin meningkat, maka besar kemungkinan terjadi krisis hipertensi.
Apabila menuju ke otak maka akan terjadi peningkatan TIK yang
menyebabkan pembuluh darah serebral sehingga O2 di otak menurun dan trombosis
perdarahan serebri yang mengakibatkan obstruksi aliran darah ke otak sehingga
suplai darah menurun dan terjadi iskemik yang menyebabkan gangguan perfusi tonus
dan berakibat kelemahan anggota gerak sehingga terjadi gangguan mobilitas fisik,
sedangkan akibat dari penurunan O2 di otak akan terjadi gangguan perfusi jaringan.
Dan bila di pembuluh darah koroner ( jantung ) menyebabkan miokardium
miskin O2 sehingga penurunan O2 miokardium dan terjadi penurunan kontraktilitas
yang berakibat penurunan COP.
Paru-paru juga akan terjadi peningkatan volume darah paru yang
menyababkan penurunan ekspansi paru sehingga terjadi dipsnea dan penurunan
13

oksigenasi yang menyebabkan kelemahan. Pada mata akan terjadi peningkatan


tekanan vaskuler retina sehingga terjadi diplopia bisa menyebabkan injury.

2.2.5 Komplikasi Hipertensi


1. Iskemia atau Infark Miokard
Iskemia atau infark miokard merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
hipertensi berat. Tekanan darah harus diturunkan sampai rasa nyeri dada
berkurang atau sampai tekanan diastolik mencapai 100 mmHg. Obat pilihan
adalah nitrat yang diberikan secara intravena yang dapat menurunkan resistensi
sistemik perifer dan memperbaiki perfusi koroner. Obat lain yang dapat dipakai
adalah labetalol.
2. Gagal Jantung Kongestif
Peningkatan resistensi vaskular sistemik yang mencolok dapat menimbulkan
gagal jantung kiri. Natrium nitroprusid yang diberikan bersama-sama dengan
oksigen, morfin, dan diuretik merupakan obat pilihan karena dapat menurunkan
preload dan afterload. Nitrogliserin yang juga dapat menurunkan preload dan
afterload merupakan obat pilihan yang lain.
3. Diseksi Aorta Akut
Diseksi aorta harus dipikirkan pada pasien dengan peninggian tekanan darah
yang mencolok yang disertai dengan nyeri di dada, punggung, dan perut. Untuk
menghentikan perluasan diseksi tekanan darah harus segera diturunkan. Tekanan
darah diastolik harus segera diturunkan sampai 100 mmHg, atau lebih rendah
asal tidak menimbulkan hipoperfusi organ target. Obat pilihan adalah vasodilator
seperti nitroprusid yang diberikan bersama penghambat reseptor b. Labetalol
adalah obat pilihan yang lain.
4. Insufisiensi Ginjal
Insufisiensi ginjal akut dapat sebagai penyebab atau akibat peninggian
tekanan darah yang mencolok. Pada pasien cangkok ginjal peninggian tekanan
darah dapat disebabkan stenosis arteri pada ginjal cangkok, siklosporin,
kortikosteroid, dan sekresi renin yang tinggi oleh ginjal asli. Penatalaksanaan
14

adalah dengan cara menurunkan resistensi vaskular sistemik tanpa mengganggu


aliran darah ginjal. Antagonis kalsium seperti nikardipin dapat dipakai pada
keadaan ini.
5. Eklampsia
Pada eklampsia dijumpai hipertensi, edema, proteinuria, dan kejang pada
kehamilan setelah 20 minggu. Penatalaksanaan definitif adalah dengan
melahirkan bayi atau mengeluarkan janin. Hidralazin digunakan untuk
menurunkan tekanan darah karena tidak mengganggu aliran darah uterus.
Labetalol juga dapat dipakai pada keadaan ini.
6. Krisis Katekolamin
Krisis katekolamin terjadi pada feokromositoma dan kelebihan dosis kokain.
Pada intoksikasi obat tersebut biasanya disertai kejang, strok, dan infark miokard.
Fentolamin adalah obat pilihan klasik pada krisis katekolamin, meski labetalol
juga terbukti efektif.

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik Hipertensi


1. Elektrokardio
2. Urinalisa
3. USG
4. CT scan
5. Rongsen

2.2.7 Penatalaksanaan Hipertensi


1. Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan adalah menurunkan resistensi vaskular sistemik Pada
kegawatan hipertensi tekanan darah arteri rata-rata diturunkan secara cepat, sekitar
25% dibandingkan dengan tekanan darah sebelumnya, dalam beberapa menit atau
jam. Penurunan tekanan darah selanjutnya dilakukan secara lebih perlahan.
Sebaiknya penurunan tekanan darah secara cepat tersebut dicapai dalam 1- 4 jam,
15

dilanjutkan dengan penurunan tekanan darah dalam 24 jam berikutnya secara lebih
perlahan sehingga tercapai tekanan darah diastolik sekitar 100 mmHg.
Seperti sudah disebutkan di atas, pada kegawatan hipertensi diberikan obat
antihipertensi parenteral yang memerlukan titrasi secara hati-hati sesuai dengan
respons klinik. Setelah penurunan tekanan darah secara cepat tercapai dengan
pemberian obat antihipertensi parenteral, dimulai pemberian obat antihipertensi
oral.
Jika tekanan darah makin menurun dengan penambahan obat antihipertensi
oral tersebut, dilakukan titrasi penurunan dosis obat antihipertensi parenteral
sampai dihentikan. Pengukuran tekanan darah yang berkesinambungan dapat
dilakukan dengan menggunakan alat monitor tekanan darah osilometrik otomatik.
Sebaiknya tekanan darah tidak diturunkan sampai normal atau hipotensi,
kecuali pada diseksi aorta, karena akan mengakibatkan terjadinya hipoperfusi
organ target. Penurunan tekanan darah sampai normal dapat dilaksanakan pada
saat pasien berobat jalan.
Obat parenteral yang digunakan untuk terapi krisis hipertensi adalah :
a. Natrium Nitropusida
b. Nikardipin hidroklorida
c. Nitrogliserin
d. Enaraplirat
e. Hidralazin Hidroklorida
f. Diazoksid
g. Labatalol Hidroklorida
h. Fentolamin ( Mansjoer:522 )
Obat pilihan pada kedaruratan hipertensi adalah yang memiliki efek
samping segera. Nitroprusid dan labetalol hidroklorida intravena memiliki efek
vasodilatasi segera dengan waktu kerja yang pendek, sehingga banyak digunakan
pada awal klinis. Efek pada kebanyakan obat antihipertensi diperkuat oleh
deuretik. Pemantauan tekanan darah yang sangat ketat dan status kardiovaskuler
pasien penting dilakukan selama penanganan dengan obat ini. Penurunan tekanan
16

darah secara mendadak dapat terjadi dan memerlukan tindakan segera untuk
mengembalikan tekanan darah ke batas normal. ( Brunner & Suddarth:908 )
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Bila diagnosa krisis hipertensi telah ditegakkan maka TD perlu segera
diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah : Rawat di ICU, pasang
femoral intra arterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada indikasi ).
Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.
Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik. Tentukan penyebab krisis hipertensi,
singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis hipertensi, tentukan adanya
kerusakan organ sasaran. Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya
tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah
klinis yang menyertai dan usia pasien.
Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak
kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48
jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic
aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang
didapat.
Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan
dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal
ini harus dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu,
misal : dissecting anneurysma aorta. TD secara bertahap diusahakan mencapai
normal dalam satu atau dua minggu.
3. Diet sehat penderita krisis hipertensi
Pengaturan menu bagi penderita hipertensi selama ini dilakukan dengan
empat cara, yakni diet rendah garam, diet rendah kolesterol dan lemak terbatas,
diet rendah serat,dan diet rendah energi (bagi yang kegemukan).
Cara diet tersebut bertambah satu dengan hadirnya DASH (Dietary
Approach to Stop Hipertension) yang merupakan strategi pengaturan menu yang
lengkap. Prinsip utama dari diet DASH adalah menyajikan menu makanan
dengan gizi seimbang terdiri atas buah-buahan, sayuran, produk-produk susu
17

tanpa atau sedikit lemak, ikan, daging unggas, biji-bijian, dan kacang-kacangan.
Porsi makanan tergantung pada jumlah kalori yang dianjurkan untuk dikonsumsi
setiap harinya. Jumlah kalori tergantung pada usia dan aktifitas. Menu yang
dianjurkan dalam diet DASH untuk yang berat badannya normal mengandung
2.000 kalori yang dibagi dalam tiga kali waktu makan (pagi, siang, malam).

2.2.8 Asuhan Keperawatan Hipertensi 


1. Pengkajian
a. Identitas
1) Pasien, meliputi : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Alamat, Pendidikan, Agama,
Bangsa.
2) Penanggung Jawab : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Alamat, Pendidikan,
Agama, Bangsa dan hubungan dengan pasien.
b. Pengkajian Primer
1) Airway
 Bersihan jalan nafas
 Adanya/ tidaknya jalan nafas
 Distres pernafasan
 Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring
2) Breathing
 Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
 Suara nafas melalui hidung atau mulut
 Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
3) Circulation
 Denyut nadi karotis
 Tekanan darah
 Warna kulit, kelembapan kulit
 Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
18

4) Disability
 Tingkat kesadaran
 Gerakan ekstremitas
 GCS ( Glasgow Coma Scale )
 Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya
5) Eksposure
 Tanda-tanda trauma yang ada. ( Muslicha : 45-46 )
c. Dasar Data Pengkajian
1) Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan, letih, napas pendek, gaya hidup monoton
Tanda : frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, Takipnea
2) Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskuler
Tanda : Kenaikan TD, hipotensi postural, takhikardi, perubahan warna
kulit, suhu dingin
3) Integritas Ego
Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue perhatian,
tangisan yang meledak, otot muka tegang, pernapasan menghela,
peningkatan pola bicara
4) Eliminasi
Gejala : gangguan ginjal saat ini atau yang lalu
5) Makanan/Cairan
Gejala : makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi
garam, lemak dan kolesterol
Tanda : BB normal atau obesitas, adanya edema
6) Neurosensori
Gejala : keluhan pusing/pening, sakit kepala, berdenyut sakit kepala,
berdenyut, gangguan penglihatan, episode epistaksis
19

Tanda :, perubahan orientasi, penurunan kekuatan genggaman, perubahan


retinal optic
7) Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit kepala oksipital
berat, nyeri abdomen
8) Pernapasan
Gejala : dispnea yang berkaitan dengan aktivitas, takipnea, ortopnea,
dispnea nocturnal proksimal, batuk dengan atau tanpa sputum, riwayat
merokok
Tanda : distress respirasi/ penggunaan otot aksesoris pernapasan, bunyi
napas tambahan, sianosis
9) Keamanan
Gejala : Gangguan koordinasi, cara jalan
Tanda : episode parestesia unilateral transien, hipotensi postura
10)  Pembelajaran/Penyuluhan
Gejala : factor resiko keluarga ; hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung,
DM , penyakit ginjal Faktor resiko etnik, penggunaan pil KB atau
hormone. (Dongoes Marilynn E, 2000)

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan O2 otak menurun
b. Perubahan pola napas berhubungan dengan Penurunan ekspansi paru
c. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kelemahan anggota gerak
d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik

3. Intervensi
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan O2 otak menurun
Tujuan : gangguan perfusi jaringan dapat diatasi
Kriteria : fungsi sensorik dan motoric membaik
b. Perubahan pola napas berhubungan dengan Penurunan ekspansi paru
20

Tujuan : tidak terjadi gangguan pola napas


Kriteria : memperhatikan pola napas normal/efektif, bebas sianosis dengan
GDA dalam batas normal
c. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kelemahan anggota gerak
Tujuan : mempertahankan posisi fungsi optimal
Kriteria : dapat melakukan aktifitas mandiri
d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan : berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan
Kriteria : melaprkan peningkatan dalam tleransi aktivitas yang dapat diukur

4. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan adalah dengan pasien yang mengalami pola napas
tidak normal dan tidak efektif. Pasien merupakan sumber evaluasi hasil dari
respons terbaik bagi asuhan keperawatan, Namun perawat harus mengevaluasi
efektivitas intervensi keperawatan dengan membandingan tujuan, Evaluasi
perubahan yang dialami oleh pasien.

2.3 GBS (Guillain Barre Syndrome)


2.3.1 Definisi GBS (Guillain Barre Syndrome)
GBS (Guillain Barre Syndrome) merupakan suatu sindroma klinis dari
kelemahan akut ekstermitas tubuh yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan
bukan oleh penyakit yang sistematis. GBS  merupakan suatu syndrome klinis yang
ditandai adanya paralisis flasidyang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimmune dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
(Bosch, 1998)
Sindrom Guillain Barre adalah suatu penyakit sistem saraf perifer yang ditandai
oleh awitan paralisis otot mendadak. Sindrom ini terjadi akibat serangan autoimun
pada mielin yangmembungkus saraf-saraf perifer. Dengan rusaknya mielin, akson itu
sendiri menjadi rusak. Gejala-gejala sindrom Guillain Barre menghilang setelah
21

serangan autoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi. Apabila terjadi


kerusakan badan sel selama serangan, maka dapat terjadi ketidakmampuan yang
permanen. Walaupun penyebab sindrom Gillain Barre tidak diketahui, penyakit ini
biasanya timbul 1-4 minggu setelah infeksi virus atau imunitas. Pada awalnya yang
terkena biasanya adalah otot-otot ekstremitas bawah, dengan paralisis berkembang ke
atas. Otot-otot pernapasan dapat terkena sehingga terjadi kolaps pernapasan. Fungsi
kardiovaskuler dapat terganggu pada fungsi saraf otonom (Elizabeth J. Corwin,
1996).
Sindrom Guillain Barre merupakan sindrom klinis yang ditujukan
oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses
penyakit mencakup demielinasi dan degenerasi selapur mielin dari saraf perifer dan
kranial (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 1995).
GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah
kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu,
bulan atau tahun. GBS adalah penyakit akibat sistem kekebalan tubuh menyerang
sistem sarung saraf. Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi influenza
saluran pernapasan GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca:
Gilan) dan Barré (baca: Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun
1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan
medis.

2.3.2 Etiologi GBS (Guillain Barre Syndrome)


Sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan
masih menjadi bahan perdebatan. GBS diduga disebabkan oleh infeksi virus, tahap
akhir-akhir ini terungkap bahwa virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut
sekarang adalah suatu kelainan imunologik, baik secara primariimmune response
maupun mediated process.
Sedangkan etiologinya sendiri yang pasti belum diketahui, diduga oleh karena:
a.       Infeksi : misal radang tenggorokan atau radang lainnya
22

b.      Infeksi virus : measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella


zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)
c.       Vaksin : rabies, swine flu
d.      Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis,
campylobacter jejuni
e.       Keganasan : Hodgkin’sdisease, carcinoma, lymphoma
Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan
campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih
berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai
persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibodi
yang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin. Pada
dasarnya guillain barre adalah “self Limited” atau bisa timbuh dengan
sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan
yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator
untuk alat Bantu nafasnya.

2.3.3 Patofisiologi GBS (Guillain Barre Syndrome)


Konduksi se-sel secara normal yaitu Sel saraf terbentuk dari sebuah badan sel
yang dikelilingi dendrit-dendrit, dan sebuat axon yang terdapat sepanjang tubuh sel
yang berakhir pada ujung axon (lihat gambar). Sel-sel schwan terletak diantara atau
interval sepanjang axon dan membran sel tersebut membungkus sekeliling axon dari
lapisan myelin.
Nodes of Ranvier (ruangan-ruangan diantara lapisan-lapisan) memiliki
konduksi yang cepat sepanjang axon. Perubahan kimia listrik terjadi tidak hanya pada
nodes tersebut namun juga sepanjang axon.
Pada GBS, selaput myelin yang mengelilingi axon hilang. Selaput myelin
cukup rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi, termasuk trauma fisik,
hypoksia, toksik kimia, insufisiensi vaskular dan reaksi imunologi demyelinisasi
adalah respon yang umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang
merugikan. Axon bermyelin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding axon
23

tak bermyelin. Kehilangan selaput myelin pada GBS membuat konduksi saltatori
tidak mungkin terjadi, dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga
mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat
diterima oleh otot yang terserang. Karena banyak syaraf yang terserang termasuk
syaraf immune sistem maka sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan
tidak diperintahakan dia akan mengeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-
tempat yang tidak diinginkan. Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan
berhenti menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya.
Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi influenza saluran
pernapasan. Pada saat inilah kita merasa nafas tersumbat seperti orang Flu. Setelah
nafas tersumbat di dalam tubuh terjadi reaksi autoimun, yakni sistem kekebalan tubuh
sendiri yang menyerang bagian dari ujung ujung saraf. Pada saat inilah terjadi
kesemutan. Karena kesemutan atau Parestesia itu timbul bila terjadi gangguan Pada
serabut saraf. Pada penderita GBS yang akut, kesemutan tidak hanya pada tangan
tetapi bisa menjalar ke kaki hingga ke perut.
Itulah sebabnya penyakit GBS ini bisa menyebabkan kelumpuhan, bahkan bisa
juga menyebabkan kematian apabila Perusakan saraf pernafasan sudah mencapai akar
saraf di leher sehingga pasien kesulitasn bernafas dan menyebabkan kematian
mendadak. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi olehrespon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnyayang paling sering infeksi virus.
Akson mielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibandingkan akson tidak
bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput
(nodus Ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel akson dengan cairan
ekstraselular. Membran sangat permiabel pada nodus tersebut, sehingga konduksi
menjadi baik. Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak
pada nodus Ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat
melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat.
24

Kehilangan selaput mielinpada Sindrom Guillain Barre membuat konduksi saltatori


tidak mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan.

2.3.4 Manifestasi Klinis GBS (Guillain Barre Syndrome)


Gejala klinis dapat ditegakkan dibagi menjadi 4 yaitu:
2.3 Gejala Fisis, diantaranya yaitu :
a. Kelemahan motorik yang progresif pada lebih dari satu tungkai.
b. Hiporefleksia atau arefleksia.
2. Gejala Pendukung
a. Peninggian protein pada cairan serebrospinal setelah seminggu gejala.
b. Kelemahan motorik yang progresif dalam sehari sampai 4 minggu
c. Kelemahan motor statis antara waktu 2- 4 minggu.
d. Kelemahan motor relatif yang simetris
e. Kelainan saraf pusat
f. Penyembuhan kembali sesudah 2-4 minggu setelah masa plateau
g. Disfungsi autonomic
h. Tidak ada demam
i. Elektrodiagnostik abnormal
3. Gejala Yang Mungkin Didapat (Vakultatif), diantaranya yaitu:
a.      Demam
b.      Hilang sensori nyeri
c.       Progres lebih dari 4 minggu
d.      Terjadinya defisit residual permanen
e.       Paralisis kandung kemih yang transier
f.       Pengaruh pada susunan saraf pusat
4. Diagnosa Yang Harus Dikesampingkan, tidak terdapat bukti :
a. Porpiria
b. Intoksikasi logam
c. Polio
b. Botulismus
25

c. Tidak terdapat riwayat keracunan heksakarbon


d. Gejala-gejala bukan sensoris murni
e. Organofosfat
f. Paralisistik
g. Infeksi difteri
h. Neuropati toksik
Gejala awal dari GBS adalah didahului oleh nafas tersumbat yang datang
secara tiba-tiba seperti hidung yang sedang kena pilek, tapi pilek yang kering. Karena
nafas terganggu tidak lama akan terasa gelisah dan disusul oleh kesemutan pada
kedua tangan. Pusing seperti terhuyung-huyung. Mulut terasa asam. Badan lemas,
sesekali terasa dingin di telapak masih tersa 2-3 hari setelah kejadian. Rasa seperti
ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh
tersebut. Kaki terasa berat dan kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak
tangan tidak bisa menggenggam erat atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci,
buka kaleng dan lain-lain). Gejala-gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu
beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah
menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-
gejala akan hilang pada saat diperiksa.
Gejala tahap berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya kaki
susah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan
syaraf refleks lengan telah hilang fungsi. Dan juga ada gangguan saraf otak pada
nervus VII, IX dan X dan juga ekstraokular, bilateral. Dan terakhir bisa menyebabkan
disfungsi saraf otonom (hipotensi atau hipertensi) dan aritmia jantung.

2.3.5 Komplikasi GBS (Guillain Barre Syndrome)


Pada pasien GBS jika tidak ditangani dengan segera maka akan menjadikan
komplikasi pada pasien tersebut yaitu seperti :
1. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic
2. Tetraparese oleh karena penyebab lain
3. Hipokalemia.
26

4. Dekubitus.
5. Gagal nafas dan masalah yang berhubungan dengan gangguan ventilator.
6. Aspirasi cairan gaster dan kemudian dapat terjadi pneumonia. Dikarenan HCl
lambung tinggi maka membuat pasien mual ataupun muntah dan saat terjadi
aspirasi dan saraf pada epiglotis tidak bisa bekerja dengan baik karena terjadi
kelumpuhan maka membuat cairan asam lambung masuk ke paru-paru
sehingga mengakibatkan pneumonia.
7. Bacterial pneumonia.
8. Thrombosis vena dalam dan embolus pulmonal.
9. Cardiac arrhythmia.
10. Hipotensi.
11. Sepsis.
12. Kolaps pernapasan atau kardiovaskuler dapat menyebabkan kematian.

2.3.6 Uji Diagnostic GBS (Guillain Barre Syndrome)


1. Riwayat pasien
Riwayat pasien merupakan hal yang sangat penting. Perlu dicatat tidak adanya
demam pada 2-3 minggu sebelumnya.
2. Lumbal fungsi
Adanya kenaikan protein dalam cairan serebrospinal namun tidak ditemukan
peningkatan leukosit
3. Test fungsi paru
Dilihat kapasitas vital parunya, cek setiap jam untuk melihat adanya kelemahan.
Jika kapasitas vital menurun sampai 20 mls/kg atau 1,5 liter pindahkan pasien ke
ICU.
4. Gambaran kondusif syaraf
Terlihat adanya penurunan pada kecepatan konduksi syaraf-syaraf.
5. Elektromyelogram
Pada rekaman elektromyelogram, kontraksi otot-otot dihasilkan dari rangsangan
listrik, tidak adanya kontraksi menandakan hilangnya lapisan myelin.
27

2.3.7 Pengobatan GBS (Guillain Barre Syndrome)


Pengobatan Spesifik adalah dengan Plasmas exchange (plasmapheresis) lebih
efektif dalam 7 hari dari timbulnya serangan atau gejala. Diperlukan filter khusus
yang menyerupai filter pada dialisa ginjal. Filter ini digunakan untuk menyaring
keluar antibodi-antibodi (merupakan media dari sistem imun) yang menyerang dan
merusak lapsian myelin dan saraf-saraf perifer. Tidak ada pedoman yang pasti dalam
melakukan tindakan ini, namun umumnya sekitar 3 – 5 liter dari plasma pasien
disaring keluar dan digantikan pada waktu yang sama dengan plasma atau plasma +
normal saline. Setiap hari setelah terapi selesai, pasien diberi 4 – 5 unit FFP (Fresh
Frozen Plasma) untuk menggantikan faktor pembeku darah yang dapat ikut tersaring
keluar. Penggantian plasma diharapkan dilakukan setiap hari selama 3 – 5 hari dan
biasanya berhasil dengan sangat baik, namun jika pasien tidak berespon terhadap
terapi ini sampai hari kelima maka terap atau tindakan ini tidak diulangi.
Tindakan penggantian plasma ini telah terbukti berhasil mencegah pasien
menggunakan ventilator atau mengurangi lamanya pasien menggunakan ventilator.
Masalah yang timbul dengan tindakan penggantian plasma antara lain:
a.       Biayanya mahal
b.      Dapat menyebabkan hipotensi, arrythmia, hematoma, thrombus dan
komplikasi yang mengarah terjadinya sepsis.
c.       Membutuhkan perawat yang terampil.

2.3.8 Asuhan Keperawatan GBS (Guillain Barre Syndrome)


1. Pengkajian
a. Identitas Pasien : kejadian terbanyak di derita oleh usia rata-rata 23,5
tahun, dan juga terjadi ketika pergantian musim dari musim kemarau ke
musim penghujan.
b. Keluhan utama :
Data Subjektif : Mengeluh pusing dan sakit kepala, Panas dingin,
Ekstremitas lemas dan kesemutan, Kaki baal seperti memakai kaos kaki,
28

Takut bila ingin berdiri, Jongkok susah berdiri, Merasa cemas takut tak
sembuh, Agak sesak nafas, Tidur susah dan gelisah, Susah menelan dan
tenggorokan sakit
Data Objektif : Suhu badan 380 C, Badan diraba terasa dingin, Pucat,
Empat ekstremitas lemas atau paralisis, Pernafasan tidak teratur, Pasien
pasif, Takikardi, Tekanan darah meningkat dan berfluktuasi, Flushing
karena gangguan vasomotor, Hypersekresi saliva dan bronkhus, Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit.
c. Riwayan penyakit dahulu : predisposis keluhan sekarang meliputi pernah
terjadi ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas), infeksi gastrointestinal,
dan tindakan pembedahan. Atau pemakaian obat-obat kortikosteroid,
pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi
pemakaian antibiotik).
d. Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi atau
kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.
e. Pengkajian Psikososial : gunanya untuk memperoleh persepsi yang jelas
menganai status emosi, kognitif dan perilaku klien. Dan juga koping pasien
dalam menilai respon emosi terhadap penyakit yang diderita dan perubahan
peran klien danlam keluarga dan masyarakat. Apakah timbul ketakutan
akan kecacatan, cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan gangguan citra tubuh.
2. Pemeriksaan
Adapun pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien GBS adalah :
1)      Pemeriksaan 6B
a.       B1 (Breathing).
Inspeksi : didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi
pernapasan karena infeksi saluran pernapasan karena pada GBS
biasanya terjado penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya
fungsi otot-otot pernapasan.
29

Palpasi : biasanya taktil permitus seimbang kanan dan kiri.


Auskultasi : bunyi napas tambahan seperti ronkhi berhubungan
dengan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.  Kesulitan bernafas
atau sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital
atau paru, reflek batuk turun.
b.      B2 (Blooding).
Pada pasien dengan GBS menunjukkan bradikardi akibat penurunan
perfusi perifer. Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau TD
meningkat (hipertensi transien) akibat penurunan reaksi saraf simpatis
dan parasimpatis.
c.       B3 (Brain).
Pada pengkajian brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Biasanya pasien dengan GBS
mengalami kesadaran komposmetis, sehingga untuk menilainya kita
bisa melakukan penilaian GCS untuk menilai tingkat kesadaran dan
evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
Pengkajian Fungsi Serebral. Status mental : observasi penampilan,
tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
klien. Dan biasanya pada klien GBS tahap lanjut disertai penurunan
tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalami perubahan.
Pengakajian Saraf Kranial. Yang meliputi pengkajian saraf kranial I-XII yaitu :
a)      Saraf I. Tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
b)      Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
c)      Saraf III, IV dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata, paralisis okular.
d)     Saraf V. Biasanya pada klien GBS didapat paralisis pada otot wajah
sehingga mengganggu proses mengunyah.
e)      Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena
adanya paralisis unilateral.
30

f)       Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli kondusif dan tuli persepsi.
g)      Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah,
dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.
h)      Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Kemampuan mobilisasi leher baik.
i)        Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecap normal.
Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol
keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan.
Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga mengganggu
mobilitas fisik.
Pengkajian Reflek. Pemeriksaan reflek propunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
Pengkajian Sistem Sensorik. Parestesia (kesemutan kebas) dan
kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang
tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian
sensorik raba, nyeri, dan suhu.
d.      B4 (Bladder).
Biasanya didapatkan berkurangnya volume pengeluaran urine,
hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung ke ginjal.
e.       B5 (Bowel).
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis
menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah
serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via
oral menjadi berkurang.
f.       B6 (Bone)
31

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran


menurunkan mobilitas klien secara umum. Sehingga dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu
oleh orang lain.

3. Diagnosa Keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan dan ancaman gagal napas.
2) Resiko Tinggi Penurunan Curah Jantung Berhubungan Dengan
Perubahan Frekuensi, Irama dan Konduksi Elektrikel.
3) Resiko Perubahan Nutrisi : Kurang Dari Kebutuhan Tubuh Berhubungan
Dengan Asupan Yang Tidak Adekuat.

4.Intervensi
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan dan ancaman gagal napas.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas
kembali efektif
Kriteria : secara subjektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-20 x/menit.
2) Resiko Tinggi Penurunan Curah Jantung Berhubungan Dengan
Perubahan Frekuensi, Irama dan Konduksi Elektrikel.
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi
Kriteria : stabilitas hemodinamik baik (tekanan darah dalam batas normal,
curah jantung kembali meningkat, input dan output sesuai, tidak
menunjukkan tanda disritmia)
3) Resiko Perubahan Nutrisi : Kurang Dari Kebutuhan Tubuh Berhubungan
Dengan Asupan Yang Tidak Adekuat.
Tujuan pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria : setelah dirawat klien tidak terjadi komplikasi penurunan asupan
nutrisi
32

5.Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan adalah dengan pasien yang mengalami sesak napas
dengan alat bantu. Pasien merupakan sumber evaluasi hasil dari respons terbaik
bagi asuhan keperawatan, Namun perawat harus mengevaluasi efektivitas
intervensi keperawatan dengan membandingan tujuan, Evaluasi perubahan yang
dialami oleh pasien.

2.4 Miastenia Gravis


2.4.1 Definisi Miastenia Gravis
Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis
merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara
cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat
memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis ialah
gangguan oto-imun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah.
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai
kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada
sambungan neuromuskular.

2.4.2 Etiologi Miastenia Gravis


Kelainan primer pada miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan
transmisi pada neouromoscular junction, yaitu penghubung antar unsur saraf dan
unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel- partikel globuler yang
merupakan penimbunan asetilkolin atau (Ach). Jika rangsangan motorik tiba pada
ujung akson, partikel globuler pecah dan Ach dibebaskan yang dapat memindahkan
gaya sarafi yang kemudian bereaksi dengan ACh reseptor ( AChR ) pada membran
postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan
menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah
kontraksi otot.
33

Penyebab pasti gangguan transmisi neuromoskuler pada miastenia gravis


tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada miastenia gravis terdapat kekurangan Ach atau
kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang
berperanan.

2.4.3 Patofisiologi
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular,
maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin
akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan
bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini
menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir
(EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran
otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang
sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan
kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi,
astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam
penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran
presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena
kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar
sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat
dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung
oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena
dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara
radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik
kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda
cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan
34

neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit


motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus3.
Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa
kelenjar timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati
kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur
timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat
germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya².

2.4.4 Manifestasi Klinis


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan
gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi
hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang
berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada
sekelompok otot tertentu saja.
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang
ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya
terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan
ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-
kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang
menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral.
Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia
(paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang
sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun.
Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga
boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan.
 Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu
otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan
dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot
levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa
35

bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi
akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot
mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan
kematian.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat
LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-
otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung
jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal,
dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang
menggantung.
Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali.
Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan
dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi
otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk
lagi³.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan
akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan
lendir.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan
dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau
mengalami eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi
selama siklus      haid atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas
dan infeksi yang disertai diare dan demam.
3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila
mereka berada dalam keadaan tegang.
36

4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin,
suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat
lainnya.

2.4.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan
fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis.
Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai
timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes
diagnostik sebagai berikut:
1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat
berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90%
penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan
I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma
dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam
serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor
asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat
bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat
dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih
tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah
tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap
positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1
menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi
lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung
lebih lama dari 5 menit.
37

Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding
antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik.
Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan
miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis
lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia
timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting.
Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik
biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau
patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan
pemeriksaan EMG.
4. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan,
untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan
dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes
Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak
di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak
mata yang terkena menunjukkan ptosis.
6. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas
disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-
gejala menghilang dan tenaga membaik.

2.4.6 Terapi
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau
neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya
bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang
menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara
38

subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg


subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg.
Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis
golongan IIA dan IIB.
 Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi
dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-
pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu
banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk
menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah
menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar
pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia
gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk
menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan
secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana
halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai
gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada
kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi,
setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini
untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi
tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis
diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh
39

dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak


harus dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil
yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan
terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan
leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu
pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi
hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.
Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca
operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya
penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian
antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini
harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis
50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu
singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat
imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian
belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang
baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis
mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang
antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan
kasus kronik.

2.4.7 Asuhan Keperawatan Miastenia Gravis


1. Pengkajian
1)     Biodata
40

Nama, umur, jenis kelamin, ras, agama, alamat, dan lain-lain.


2)     Keluhan Utama
Lemah otot setelah peraktivitas
3)     Riwayat Penyakit Sekarang
Klien pada umumnya merasakan kelelahan dan kelemahan pada anggota tubuh
tertentu :
P :Apa penyebab atau faktor pencetus
Q : Seberapa sering pasien merasakan sakitnya
R : Pada daerah mana pasien meeasakan sakitnya
S : Seberapa paeah sakit yang dieasakan pasien
T : Kapan atau sejauh mana terjadinya keluhan
4)     Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien dulunya pernah menderita penyakit gagal pernafasan.
5)     Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama
dengan klien.
6)     Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
a)     Makan dan minum
Makan  : klien pada umumnya mengalami disfagia dan anorexia
Minum : frekuensi, jenis, jumlah
b)     Istirahat tidur
Berapa jam perhari, klien tidur dan apakah ada gangguan.
c)     Eliminasi BAK dan BAB
BAK : pada umumnya mengalami inkotinensia
BAB : pada umumnya klien mengalami konstipasi
d)     Aktifitas
Kelelahan dan kelemahan meningkat setelah beraktifitas dan membaik
atau menurun pada saat istirahat.
7)     Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum     :
41

Tingkat kesadaran      :
GCS                        :
TTV                        :
TD     : ………… mmHg
N       : ………… x/menit
S        : ………… oC
RR     : ………… x/menit     
Pengkajian persistem
1) Sistem integumen
2) Kaji warna kulit, turgor kulit, kelembaban kulit, akral, kebersihan
rambut dan kuku.
3) Sistem penginderaan
4) Kaji bentuk mata, hidung, telinga, mukosa bibir, ada atau tidaknya lesi.
5) Sistem pernafasan
6) Kaji bentuk dada, irama dan frekuensi nafas.
7) Sistem cardiovaskuler
8) Kaji irama dan frekuensi denyut nadi
9) Sistem pencernaan
10) Biasanya klien mengalami kesulitan mengunyah dan menelan
11) Sistem perkemihan
12) Biasanya mengalami inkontinensia urine
13) Sistem muskuluskeletal
14) Biasanya klien mengalami kelemahan otot pada bagian tertentu.

2. Diagnosa Keperawatan
1.      Resiko tinggi terjadinya gagal nafas b/d kelemahan otot-otot pernafasan
2.      Gangguan mobilitas fisik b/d menurunnya otot-otot neuromuskular
3.      Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kesukaran
mengunyah dan menelan
42

3. Intervensi
1) Resiko tinggi terjadinya gagal nafas berhubungan dengan kelemahan otot-otot
pernafasan
Tujuan : Klien mudah untuk bernafas
Kriteria         : - Nafas lancar
                - Tidak terjadi kelainan nafas (bunyi nafas : ronchi, wheezing)
Intervensi :
a. Kaji status pernafasan dengan sering
R/ : untuk mendeteksi masalah-masalah sebelum timbul perubahan dalam
kadar gas darah arterial
b. Berikan terapi fisik dada termasuk drainase posturan, memobilisasi lendir
dan penghisapan
R/ : untuk membuang dan membersihkan lendir
c. Auskultasi bunyi nafas, catat ada atau tidaknya bunyi, suara tambahan
seperti ronkhi, wheezing
R/  : peningkatan resistensi jalan nafas dan atau akumulasi sekret akan
menganggu proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi
pernafasan
d. Tinggikan kepada tempat tidur letakkan pasien pada posisi duduk
R/ : meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk menurunkan kerja
pernafasan
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan menurunnya otot-otot
neuromuskular
Tujuan : Tidak adanya keterbatasan ruang gerak
Kriteria         : - Klien mudah mobilisasi
                - Otot-otot tidak kaku
              - Mempertahankan integritas kulit
Intervensi :
a. Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan
menggunakan skala 0-5
43

R/ : menentukan perkembangan / munculnya kembali tanda yang


menghambat tercapainya rasa nyaman
b. Beri posisi yang memberikan rasa nyaman
R/  : menurunkan kelelahan dan meningkatkan relaksasi
c. Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal
R/  : mempertahankan ekstremitas dalam posisi fisiologis, mencegah
kehilangan fungsi sendi
d.  Lakukan latihan tentang gerak grafis
R/  : menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan
mobilisasi sendi
3) Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kesukaran mengunyah
dan menelan.
Tujuan : - Klien tidak kekurangan nutrisi
                - Klien dapat mengunyah dan menular
Kriteria  : - BB tidak turun
                - 1 porsi habis dalam sekali makan dalam 3x sehari
Intervensi :
a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi
sekresi
R/  : menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga klien harus
terlindungi dari aspirasi
b. Timbang berat badan sesuai indikasi
R/  : mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
c. Tinggikan kepala tempat tidur selama makan atau selama pemberian
makan lewat selang NG
R/  : menurunkan resiko regurgitasi dan waktu terjadinya aspirasi
d. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering (3x
sehari, 1 porsi) dengan teratur
R/  : meningkatkan proses pencernaan dan toleransi klien terhadap nutrisi
yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan
44

4.Evauasi
Evaluasi yang dilakukan adalah status pernafasan pasien normal/abnormal,
aktifitas tanpa merasa lelah, dapat menelan dan mengunyah, dan dapay
berkmunikasi dan tidak merasa cemas.

BAB III
PENUTUP

 3.1 Kesimpulan

Sistem saraf adalah suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan
saling berhubungan satu dengan lainnya. Sistem saraf mengkoordinasi, menafsirkan
serta mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan. Sistem tubuh yang
penting ini juga mengatur aktivitas sistem-sistem lainnya di dalam tubuh, sehingga
terjalinlah komunikasi antar berbagai sistem tubuh sehingga tubuh dapat berfungsi
sebagai unit yang harmonis.
Sistem saraf terdiri dari jutaan sel saraf yang sering disebut dengan neuron.
Neuron dikhususkan untuk menghantarkan dan mengirimkan pesan (impuls) yang
45

berupa rangsangan atau tanggapan. Setiap satu sel saraf (neuron) terdiri atas bagian
utama berupa badan sel saraf, dendrit, dan akson.

3.2   Saran
1.      Agar dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi mahasiswa dan bagi
pembaca lainnya.
2.      Dengan adanya beberapa keterbatasan dalam penyusunan makalah ini,
diharapkan kepada pembaca untuk menyampaikan kritik dan saran yang
membangun.

DAFTAR
44 PUSTAKA

Nursalam.2011.Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan,


Edisi II. Jakarta: Salemba Medika.

Price,S. A. 2006. Patologis: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta:EGC.

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan; editor, Monica


Ester.-Edisi 3-. Jakarta : EGC.

http://vhychocolatenurse.blogspot.com/2012/04/askep-gadar-krisis-hipertensi

http://merinawidyastuti.blogspot.com/2016/03/guillane-barre-syndrome20html?m=1
46

http://thenicenurse.blogspot.com/2011/11/makalah -miastenia-gravis.html

Anda mungkin juga menyukai