BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari stroke, hipertensi, GBS, Miestenia Gravis?
2. Apa saja penyebab dari stroke, hipertensi, GBS, Miestenia Gravis?
3. apa saja tanda-tanda dan gejala dari stroke, hipertensi, GBS, Miestenia
Gravis?
4. bagaimana penangan awal dari stroke, hipertensi, GBS, Miestenia Gravis?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang melatarbelakangi penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Stroke
2.1.1 Definisi Stroke
Stroke adalah kehilangan fungsi otak karena terhentinya suplay darah ke otak.
Stroke merupakan peringkat ke-2 penyebab kematian dengan laju mortalitas 18% - 37
%. Stroke adalah salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama
di Indonesia. Serangan otak ini merupakan kegawat daruratan medis yang harus
ditangani secara cepat tepat dan cermat (Pudiastuti, 2011). Stroke merupakan
penyakit akibat kelainan otak baik secara fungsional maupun struktural yang
disebabkan oleh pembuluh darah serebral atau dari seluruh sistem pembuluh darah
otak sehingga meyebabkan perdarahan yang menyebabkan kerusakan sirkulasi
serebral atau seluruh lumen pembuluh darah dengan pengaruh sementara atau
permanen (Doengoes, 2012).
1. Perdarahan Subaraknoid (PSA), Pada pasien PSA ditandai dengan nyeri kepala
hebat dan akut. Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi. Ada gejala
atau tanda rangsangan meningeal.
2. Perdarahan Intrasecebral (PIS), Stroke akibat PIS mempunyai gejala yang tidak
jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertermi. Serangan seringkali siang hari, saat
5
aktivitas, atau emosi atau marah. Sifat nyeri kepla hebat sekali. Mual muntah
sering terdapat pada permulaan serangan.
2.1.4 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum
1) Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi lateral dekubitus bila
disertai muntah, boleh dimulai mobilisasi bertahap bila hemodinamik
stabil.
2) Stabilitas klien dengan tindakan Airway, Breathing, Circulation.
3) Bebaskan jalan nafas dan usahakan ventilasi adekuat bila perlu berikan
oksigen 2-4 liter/menit.
4) Infus intravena dengan cairan normasalin 0,9% 20 ml/jam, jangan pakai
cairan hipotonis edema otak.
5) Kandung kemih yang penuh dikososngkan dengan kateter.
6) Kontrol tekanan darah, dipertahankan normal.Suhu tubuh harus di
pertahankan.
7) Nutrisi hanya boleh di berikan setelah tes fungsi menelelan baik, bila
terdapat gangguang menelan/ pasien yang kesadaranya menurun,
dianjurkan melalui NGT.
8) Mobilisasi dan rehabilitasi dini jika tidak ada kontraindikasi.
2. Penatalaksanan medis
1) Trombolitik (steptokinase)
2) Anti platelet/ anti trombolitik (asetosol, ticlopidin, cilostazol, dipiridamol)
3) Antikoagulan (heparin)
4) Antagonis serotonim (Noftidrofuryl)
5) Antaginis calsium (nomodipin, piracetam)
3. Penatalaksanaan khusus
1) Atasi kejang (antikpnvulsan)
6
3. Perencanaan
10
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah aksi dalam melakukan tindakan dari keperawatan,
selesaikan perencanaan mandiri dan kolaboratif untuk membantu pasien mencapai
hasil dan tujuan yang diinginkan. Tindakan mandiri adalah aktivitas dimana perawat
menggunakan pertimbangannya sendiri (Potter & Perry, 2010).
5. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi dengan pasien yang terpasang kateter
urin, dengan dilakukan teknik bladder training. Pasien merupakan sumber evaluasi
hasil dari respons terbaik bagi asuhan keperawatan, Namun perawat harus
mengevaluasi efektivitas intervensi keperawatan dengan membandingan tujuan,
Evaluasi perubahan berkemih klien dengan adanya gangguan saluran kemih yang
11
menetap. Bandingkan hasil aktual dengan hasil yang diharapkan untuk menetukan
keberhasilan sebagian dalam mencapai hasil (Potter & Perry, 2010).
2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi Hipertensi
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala
yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti strok untuk otak, penyakit jantung
koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Krisis hipertensi atau
hipertensi darurat adalah suatu kondisi dimana diperlukan penurunan tekanan darah
dengan segera (tidak selalu diturunkan dalam batas normal), untuk mencegah atau
membatasi kerusakan organ. (Mansjoer:522). Kedaruratan hipertesi terjadi pada
penderita dengan hipertensi yang tidak terkontrol atau mereka yang tiba-tiba
menghentikan penobatan. (Brunner & Suddarth:908).
dilanjutkan dengan penurunan tekanan darah dalam 24 jam berikutnya secara lebih
perlahan sehingga tercapai tekanan darah diastolik sekitar 100 mmHg.
Seperti sudah disebutkan di atas, pada kegawatan hipertensi diberikan obat
antihipertensi parenteral yang memerlukan titrasi secara hati-hati sesuai dengan
respons klinik. Setelah penurunan tekanan darah secara cepat tercapai dengan
pemberian obat antihipertensi parenteral, dimulai pemberian obat antihipertensi
oral.
Jika tekanan darah makin menurun dengan penambahan obat antihipertensi
oral tersebut, dilakukan titrasi penurunan dosis obat antihipertensi parenteral
sampai dihentikan. Pengukuran tekanan darah yang berkesinambungan dapat
dilakukan dengan menggunakan alat monitor tekanan darah osilometrik otomatik.
Sebaiknya tekanan darah tidak diturunkan sampai normal atau hipotensi,
kecuali pada diseksi aorta, karena akan mengakibatkan terjadinya hipoperfusi
organ target. Penurunan tekanan darah sampai normal dapat dilaksanakan pada
saat pasien berobat jalan.
Obat parenteral yang digunakan untuk terapi krisis hipertensi adalah :
a. Natrium Nitropusida
b. Nikardipin hidroklorida
c. Nitrogliserin
d. Enaraplirat
e. Hidralazin Hidroklorida
f. Diazoksid
g. Labatalol Hidroklorida
h. Fentolamin ( Mansjoer:522 )
Obat pilihan pada kedaruratan hipertensi adalah yang memiliki efek
samping segera. Nitroprusid dan labetalol hidroklorida intravena memiliki efek
vasodilatasi segera dengan waktu kerja yang pendek, sehingga banyak digunakan
pada awal klinis. Efek pada kebanyakan obat antihipertensi diperkuat oleh
deuretik. Pemantauan tekanan darah yang sangat ketat dan status kardiovaskuler
pasien penting dilakukan selama penanganan dengan obat ini. Penurunan tekanan
16
darah secara mendadak dapat terjadi dan memerlukan tindakan segera untuk
mengembalikan tekanan darah ke batas normal. ( Brunner & Suddarth:908 )
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Bila diagnosa krisis hipertensi telah ditegakkan maka TD perlu segera
diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah : Rawat di ICU, pasang
femoral intra arterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada indikasi ).
Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.
Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik. Tentukan penyebab krisis hipertensi,
singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis hipertensi, tentukan adanya
kerusakan organ sasaran. Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya
tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah
klinis yang menyertai dan usia pasien.
Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak
kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48
jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic
aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang
didapat.
Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan
dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal
ini harus dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu,
misal : dissecting anneurysma aorta. TD secara bertahap diusahakan mencapai
normal dalam satu atau dua minggu.
3. Diet sehat penderita krisis hipertensi
Pengaturan menu bagi penderita hipertensi selama ini dilakukan dengan
empat cara, yakni diet rendah garam, diet rendah kolesterol dan lemak terbatas,
diet rendah serat,dan diet rendah energi (bagi yang kegemukan).
Cara diet tersebut bertambah satu dengan hadirnya DASH (Dietary
Approach to Stop Hipertension) yang merupakan strategi pengaturan menu yang
lengkap. Prinsip utama dari diet DASH adalah menyajikan menu makanan
dengan gizi seimbang terdiri atas buah-buahan, sayuran, produk-produk susu
17
tanpa atau sedikit lemak, ikan, daging unggas, biji-bijian, dan kacang-kacangan.
Porsi makanan tergantung pada jumlah kalori yang dianjurkan untuk dikonsumsi
setiap harinya. Jumlah kalori tergantung pada usia dan aktifitas. Menu yang
dianjurkan dalam diet DASH untuk yang berat badannya normal mengandung
2.000 kalori yang dibagi dalam tiga kali waktu makan (pagi, siang, malam).
4) Disability
Tingkat kesadaran
Gerakan ekstremitas
GCS ( Glasgow Coma Scale )
Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya
5) Eksposure
Tanda-tanda trauma yang ada. ( Muslicha : 45-46 )
c. Dasar Data Pengkajian
1) Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan, letih, napas pendek, gaya hidup monoton
Tanda : frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, Takipnea
2) Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskuler
Tanda : Kenaikan TD, hipotensi postural, takhikardi, perubahan warna
kulit, suhu dingin
3) Integritas Ego
Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue perhatian,
tangisan yang meledak, otot muka tegang, pernapasan menghela,
peningkatan pola bicara
4) Eliminasi
Gejala : gangguan ginjal saat ini atau yang lalu
5) Makanan/Cairan
Gejala : makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi
garam, lemak dan kolesterol
Tanda : BB normal atau obesitas, adanya edema
6) Neurosensori
Gejala : keluhan pusing/pening, sakit kepala, berdenyut sakit kepala,
berdenyut, gangguan penglihatan, episode epistaksis
19
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan O2 otak menurun
b. Perubahan pola napas berhubungan dengan Penurunan ekspansi paru
c. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kelemahan anggota gerak
d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik
3. Intervensi
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan O2 otak menurun
Tujuan : gangguan perfusi jaringan dapat diatasi
Kriteria : fungsi sensorik dan motoric membaik
b. Perubahan pola napas berhubungan dengan Penurunan ekspansi paru
20
4. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan adalah dengan pasien yang mengalami pola napas
tidak normal dan tidak efektif. Pasien merupakan sumber evaluasi hasil dari
respons terbaik bagi asuhan keperawatan, Namun perawat harus mengevaluasi
efektivitas intervensi keperawatan dengan membandingan tujuan, Evaluasi
perubahan yang dialami oleh pasien.
tak bermyelin. Kehilangan selaput myelin pada GBS membuat konduksi saltatori
tidak mungkin terjadi, dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga
mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat
diterima oleh otot yang terserang. Karena banyak syaraf yang terserang termasuk
syaraf immune sistem maka sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan
tidak diperintahakan dia akan mengeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-
tempat yang tidak diinginkan. Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan
berhenti menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya.
Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi influenza saluran
pernapasan. Pada saat inilah kita merasa nafas tersumbat seperti orang Flu. Setelah
nafas tersumbat di dalam tubuh terjadi reaksi autoimun, yakni sistem kekebalan tubuh
sendiri yang menyerang bagian dari ujung ujung saraf. Pada saat inilah terjadi
kesemutan. Karena kesemutan atau Parestesia itu timbul bila terjadi gangguan Pada
serabut saraf. Pada penderita GBS yang akut, kesemutan tidak hanya pada tangan
tetapi bisa menjalar ke kaki hingga ke perut.
Itulah sebabnya penyakit GBS ini bisa menyebabkan kelumpuhan, bahkan bisa
juga menyebabkan kematian apabila Perusakan saraf pernafasan sudah mencapai akar
saraf di leher sehingga pasien kesulitasn bernafas dan menyebabkan kematian
mendadak. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi olehrespon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnyayang paling sering infeksi virus.
Akson mielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibandingkan akson tidak
bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput
(nodus Ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel akson dengan cairan
ekstraselular. Membran sangat permiabel pada nodus tersebut, sehingga konduksi
menjadi baik. Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak
pada nodus Ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat
melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat.
24
4. Dekubitus.
5. Gagal nafas dan masalah yang berhubungan dengan gangguan ventilator.
6. Aspirasi cairan gaster dan kemudian dapat terjadi pneumonia. Dikarenan HCl
lambung tinggi maka membuat pasien mual ataupun muntah dan saat terjadi
aspirasi dan saraf pada epiglotis tidak bisa bekerja dengan baik karena terjadi
kelumpuhan maka membuat cairan asam lambung masuk ke paru-paru
sehingga mengakibatkan pneumonia.
7. Bacterial pneumonia.
8. Thrombosis vena dalam dan embolus pulmonal.
9. Cardiac arrhythmia.
10. Hipotensi.
11. Sepsis.
12. Kolaps pernapasan atau kardiovaskuler dapat menyebabkan kematian.
Takut bila ingin berdiri, Jongkok susah berdiri, Merasa cemas takut tak
sembuh, Agak sesak nafas, Tidur susah dan gelisah, Susah menelan dan
tenggorokan sakit
Data Objektif : Suhu badan 380 C, Badan diraba terasa dingin, Pucat,
Empat ekstremitas lemas atau paralisis, Pernafasan tidak teratur, Pasien
pasif, Takikardi, Tekanan darah meningkat dan berfluktuasi, Flushing
karena gangguan vasomotor, Hypersekresi saliva dan bronkhus, Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit.
c. Riwayan penyakit dahulu : predisposis keluhan sekarang meliputi pernah
terjadi ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas), infeksi gastrointestinal,
dan tindakan pembedahan. Atau pemakaian obat-obat kortikosteroid,
pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi
pemakaian antibiotik).
d. Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi atau
kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.
e. Pengkajian Psikososial : gunanya untuk memperoleh persepsi yang jelas
menganai status emosi, kognitif dan perilaku klien. Dan juga koping pasien
dalam menilai respon emosi terhadap penyakit yang diderita dan perubahan
peran klien danlam keluarga dan masyarakat. Apakah timbul ketakutan
akan kecacatan, cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan gangguan citra tubuh.
2. Pemeriksaan
Adapun pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien GBS adalah :
1) Pemeriksaan 6B
a. B1 (Breathing).
Inspeksi : didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi
pernapasan karena infeksi saluran pernapasan karena pada GBS
biasanya terjado penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya
fungsi otot-otot pernapasan.
29
f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli kondusif dan tuli persepsi.
g) Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah,
dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.
h) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Kemampuan mobilisasi leher baik.
i) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecap normal.
Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol
keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan.
Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga mengganggu
mobilitas fisik.
Pengkajian Reflek. Pemeriksaan reflek propunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
Pengkajian Sistem Sensorik. Parestesia (kesemutan kebas) dan
kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang
tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian
sensorik raba, nyeri, dan suhu.
d. B4 (Bladder).
Biasanya didapatkan berkurangnya volume pengeluaran urine,
hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung ke ginjal.
e. B5 (Bowel).
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis
menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah
serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via
oral menjadi berkurang.
f. B6 (Bone)
31
3. Diagnosa Keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan dan ancaman gagal napas.
2) Resiko Tinggi Penurunan Curah Jantung Berhubungan Dengan
Perubahan Frekuensi, Irama dan Konduksi Elektrikel.
3) Resiko Perubahan Nutrisi : Kurang Dari Kebutuhan Tubuh Berhubungan
Dengan Asupan Yang Tidak Adekuat.
4.Intervensi
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan dan ancaman gagal napas.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas
kembali efektif
Kriteria : secara subjektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-20 x/menit.
2) Resiko Tinggi Penurunan Curah Jantung Berhubungan Dengan
Perubahan Frekuensi, Irama dan Konduksi Elektrikel.
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi
Kriteria : stabilitas hemodinamik baik (tekanan darah dalam batas normal,
curah jantung kembali meningkat, input dan output sesuai, tidak
menunjukkan tanda disritmia)
3) Resiko Perubahan Nutrisi : Kurang Dari Kebutuhan Tubuh Berhubungan
Dengan Asupan Yang Tidak Adekuat.
Tujuan pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria : setelah dirawat klien tidak terjadi komplikasi penurunan asupan
nutrisi
32
5.Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan adalah dengan pasien yang mengalami sesak napas
dengan alat bantu. Pasien merupakan sumber evaluasi hasil dari respons terbaik
bagi asuhan keperawatan, Namun perawat harus mengevaluasi efektivitas
intervensi keperawatan dengan membandingan tujuan, Evaluasi perubahan yang
dialami oleh pasien.
2.4.3 Patofisiologi
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular,
maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin
akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan
bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini
menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir
(EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran
otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang
sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan
kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi,
astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam
penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran
presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena
kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar
sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat
dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung
oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena
dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara
radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik
kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda
cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan
34
bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi
akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot
mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan
kematian.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat
LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-
otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung
jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal,
dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang
menggantung.
Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali.
Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan
dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi
otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk
lagi³.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan
akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan
lendir.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan
dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau
mengalami eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi
selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas
dan infeksi yang disertai diare dan demam.
3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila
mereka berada dalam keadaan tegang.
36
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin,
suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat
lainnya.
2.4.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan
fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis.
Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai
timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes
diagnostik sebagai berikut:
1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat
berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90%
penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan
I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma
dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam
serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor
asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat
bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat
dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih
tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah
tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap
positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1
menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi
lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung
lebih lama dari 5 menit.
37
Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding
antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik.
Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan
miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis
lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia
timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting.
Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik
biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau
patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan
pemeriksaan EMG.
4. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan,
untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan
dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes
Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak
di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak
mata yang terkena menunjukkan ptosis.
6. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas
disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-
gejala menghilang dan tenaga membaik.
2.4.6 Terapi
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau
neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya
bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang
menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara
38
Tingkat kesadaran :
GCS :
TTV :
TD : ………… mmHg
N : ………… x/menit
S : ………… oC
RR : ………… x/menit
Pengkajian persistem
1) Sistem integumen
2) Kaji warna kulit, turgor kulit, kelembaban kulit, akral, kebersihan
rambut dan kuku.
3) Sistem penginderaan
4) Kaji bentuk mata, hidung, telinga, mukosa bibir, ada atau tidaknya lesi.
5) Sistem pernafasan
6) Kaji bentuk dada, irama dan frekuensi nafas.
7) Sistem cardiovaskuler
8) Kaji irama dan frekuensi denyut nadi
9) Sistem pencernaan
10) Biasanya klien mengalami kesulitan mengunyah dan menelan
11) Sistem perkemihan
12) Biasanya mengalami inkontinensia urine
13) Sistem muskuluskeletal
14) Biasanya klien mengalami kelemahan otot pada bagian tertentu.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi terjadinya gagal nafas b/d kelemahan otot-otot pernafasan
2. Gangguan mobilitas fisik b/d menurunnya otot-otot neuromuskular
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kesukaran
mengunyah dan menelan
42
3. Intervensi
1) Resiko tinggi terjadinya gagal nafas berhubungan dengan kelemahan otot-otot
pernafasan
Tujuan : Klien mudah untuk bernafas
Kriteria : - Nafas lancar
- Tidak terjadi kelainan nafas (bunyi nafas : ronchi, wheezing)
Intervensi :
a. Kaji status pernafasan dengan sering
R/ : untuk mendeteksi masalah-masalah sebelum timbul perubahan dalam
kadar gas darah arterial
b. Berikan terapi fisik dada termasuk drainase posturan, memobilisasi lendir
dan penghisapan
R/ : untuk membuang dan membersihkan lendir
c. Auskultasi bunyi nafas, catat ada atau tidaknya bunyi, suara tambahan
seperti ronkhi, wheezing
R/ : peningkatan resistensi jalan nafas dan atau akumulasi sekret akan
menganggu proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi
pernafasan
d. Tinggikan kepada tempat tidur letakkan pasien pada posisi duduk
R/ : meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk menurunkan kerja
pernafasan
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan menurunnya otot-otot
neuromuskular
Tujuan : Tidak adanya keterbatasan ruang gerak
Kriteria : - Klien mudah mobilisasi
- Otot-otot tidak kaku
- Mempertahankan integritas kulit
Intervensi :
a. Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan
menggunakan skala 0-5
43
4.Evauasi
Evaluasi yang dilakukan adalah status pernafasan pasien normal/abnormal,
aktifitas tanpa merasa lelah, dapat menelan dan mengunyah, dan dapay
berkmunikasi dan tidak merasa cemas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem saraf adalah suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan
saling berhubungan satu dengan lainnya. Sistem saraf mengkoordinasi, menafsirkan
serta mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan. Sistem tubuh yang
penting ini juga mengatur aktivitas sistem-sistem lainnya di dalam tubuh, sehingga
terjalinlah komunikasi antar berbagai sistem tubuh sehingga tubuh dapat berfungsi
sebagai unit yang harmonis.
Sistem saraf terdiri dari jutaan sel saraf yang sering disebut dengan neuron.
Neuron dikhususkan untuk menghantarkan dan mengirimkan pesan (impuls) yang
45
berupa rangsangan atau tanggapan. Setiap satu sel saraf (neuron) terdiri atas bagian
utama berupa badan sel saraf, dendrit, dan akson.
3.2 Saran
1. Agar dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi mahasiswa dan bagi
pembaca lainnya.
2. Dengan adanya beberapa keterbatasan dalam penyusunan makalah ini,
diharapkan kepada pembaca untuk menyampaikan kritik dan saran yang
membangun.
DAFTAR
44 PUSTAKA
http://vhychocolatenurse.blogspot.com/2012/04/askep-gadar-krisis-hipertensi
http://merinawidyastuti.blogspot.com/2016/03/guillane-barre-syndrome20html?m=1
46
http://thenicenurse.blogspot.com/2011/11/makalah -miastenia-gravis.html