Anda di halaman 1dari 74

TUGAS BIOLOGI ORAL – 6

ORAL MOTOR DISORDER

(Definisi, Etiologi, Patofisiologi, Dampak)

Oleh :

Anggi Putri Yustiana 04031181621014

Annisa Anindya 04031281621027

Angelina Natalia Ricardo 04031281621033

Euginia Yosephine 04031381621042

Muhammad Yusuf Diansyah 04031381621063

Dosen Pembimbing :

Drg. Pudji Handayani, Sp.PM.

Drg. Shanti Chairani, M.Si.

PENDIDIKAN DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
ORAL MOTOR DISORDER

Oral motor disorder adalah gangguan fungsi bibir, lidah, rahang dan pipi yang
mempengaruhi fungsi stomatignatik. Oral motor disorder adalah gangguan gerak dan dapat
diklasifikasikan menjadi gangguan “hiperkenetik” dan “hipokinetik”. Gangguan hipokinetik
tidak menimbulkan rasa sakit. Sebaliknya, hiperkinetik dapat menimbulkan rasa sakit.

1. Stroke
Stroke adalah istilah mengenai cedera serebrovaskular, yang disebabkan karena
berhentinya darah yang kaya oksigen ke otak secara mendadak. Hal ini dapat menyebabkan
nekrosis pada jaringan otak dan memungkinkan terjadinya kematian. Adapun beberapa
orang yang sembuh dari penyakit ini tetapi memiliki fungsi motorik, berbicara dan kognitif
yang lemah. Stroke adalah penyebab utama kecacatan di Amerika Serikat, sekitar 5% dari
populasi yang berusia lebih dari 65 tahun, 1 orang diantaranya menderita stroke.

 Epidemiologi
- Insidensi dan Prevalensi
Meskipun insiden stroke telah menurun, hal ini tetap menjadi salah satu masalah
kesehatan yang paling berpengaruh di Amerika Serikat. Setiap tahun di Amerika
Serikat, sekitar 700.000 orang mengalami stroke, baik atau serangan berulang.
Berarti, terdapat 1 orang baru yang terserang stroke setiap menitnya, dan 75% orang
sembuh dari stroke yang mereka alami. Sekitar 4,5 juta orang yang hidup pada tahun
2001 sembuh dari stroke. Apabila dikaitkan dengan ras, Orang Afrika-Amerika
memiliki resiko 38% lebih tinggi mengalami serangan stroke baru daripada orang
kulit putih. Berdasarkan jenis kelamin, serangan stroke40.000 lebih banyak terjadi
pada wanita daripada pria setiap tahunnya.
Stroke adalah penyebab kematian nomor tiga (setelah penyakit jantung dan
kanker) di Amerika Serikat, 275.000 orang Amerika meninggal karena stroke setiap
tahun. Orang Afrika-Amerika dan minoritas ras lain di Amerika Serikat memiliki
angka kematian akibat stroke yang lebih tinggi daripada orang kulit putih. Risiko
kematian akibat stroke pada orang Afrika-Amerika yang berusia 35-74 tahun 2-3 kali
lebih besar daripada orang kulit putih non-Hispanik. Orang Afrika-Amerika yang
tinggal di Selatan dan Barat Laut, serta seseorang dengan jenis kelamin laki-laki
beresiko lebih tinggi terserang stroke. Penduduk asli Amerika dan penduduk asli
Alaska juga berisiko lebih tinggi terserang stroke. Risiko stroke meningkat seiring
bertambahnya usia, rata-rata 28% orang yang terserang stroke berusia lebih muda dari
65 tahun. Peluang terkena stroke sebelum usia 70 adalah 1 banding 20 untuk kedua
jenis kelamin. Sebanyak 4,7 jutapenderita stroke tinggal di Amerika Serikat, dan pada
praktek dokter gigi, diantara 2000 pasien dewasa terdapat 31 pasien yang sedang
mengalami atau pernah mengalami stroke.

- Etiologi
Stroke disebabkan oleh gangguan suplai darah dan oksigen ke otak akibat
iskemia atau perdarahan. Stroke iskemik juga dapat terjadi akibat penyumbatan
pembuluh darah otak oleh emboli.
Penyakit serebrovaskular adalah faktor utama yang berhubungan dengan stroke.
Aterosklerosis dan penyakit jantung (infark miokard, fibrilasi atrium) meningkatkan
risiko stroke trombolik dan emboli, sedangkan hipertensi merupakan faktor risiko
paling berperan pada stroke hemoragik intraserebral. Faktor-faktor tambahan yang
meningkatkan risiko stroke yaitu, terjadinya short-term ischemic attack, adanya
riwayat stroke, makanan yang tinggi lemak, obesitas dan peningkatan kadar lemak
darah, aktivitas fisik, hipertensi yang tidak terkontrol, kelainan jantung, diabetes
mellitus, peningkatan kadar homosistein, peningkatan hematokrit, peningkatan
antibodi antifosfolipid, perokok tembakau berat, peningkatan usia (risiko meningkat
dua kali lipat setiap dekade setelah 65 tahun), dan penyakit periodontal. Peningkatan
risiko stroke hemoragik juga terjadi dengan penggunaan fenilpropanolamin, agonis
alfa-adrenergik.

- Patofisiologis dan Komplikasi


Perubahan patologis yang berhubungan dengan stroke disebabkan oleh infark
serebral, perdarahan intraserebral, atau perdarahan subaraknoid. Infark serebral paling
sering disebabkan oleh trombus aterosklerotik atau emboli yang berasal dari jantung.
Tingkat keparahan infark ditentukan oleh sejumlah faktor, seperti lokasi terjadinya
penyumbatan pembuluh darah, besarnya ukuran sumbatan pada pembuluh darah,
durasi terjadinya penyumbatan pembuluh darah, dan sirkulasi kolateral. Produksi dan
sirkulasi sitokin proinflamasi, terjadinya agen pembekuan darah, dan peradangan
arteri berkontribusi dalam agregasi platelet. Kelainan neurologis merupakan pengaruh
dari eksitotoksisitas, akumulasi radikal bebas, inflamasi, kerusakan mitokondria dan
DNA, dan apoptosis daerah yang disuplai oleh arteri yang nekrosis.
Penyebab paling umum dari perdarahan intraserebral adalah hypertensive
atherosclerosis, yang menyebabkan mikroaneurisma pada arteri (Gambar 1).
Pembuluh darah “the circle of Willis” sering kali ikut terpengaruh (Gambar 2).
Pecahnya mikroaneurisma di dalam jaringan otak menyebabkan terjadinya
ekstravasasi darah, yang berfungsi menggantikan jaringan otak dan menyebabkan
peningkatan volume intrakranial hingga kompresi jaringan yang menyebabkan
berhentinya pendarahan. Stroke hemoragik juga dapat disebabkan oleh perdarahan
subaraknoid. Penyebab paling umum dari perdarahan subaraknoid adalah pecahnya
aneurisma sakular pada bifurkasi arteri serebral utama.

Gambar 1. Infrak serebral pada individu yang menderita hipertensi kronis.


Gambar 2. Aneurisma pada middle cerebral artery.

Stroke dapat menyebabkan kematian, yang terjadi pada 8% dari individu


mengalami stroke iskemik dan 38%-47% dari individu yang mengalami stroke
hemoragik dalam waktu satu bulan setelah serangan pertama dari stroke tersebut.
Secara keseluruhan, sekitar 23% pasien meninggal dalam 1 tahun. Tingkat kematian
berhubungan langsung dengan jenis stroke yang diderita, 80% pasien meninggal setelah
mengalami perdarahan intraserebral, 50% setelah perdarahan subarakhnoid, dan 30%
setelah penyumbatan pembuluh darah utama oleh trombus. Kematian akibat stroke
biasanya tidak terjadi secara mendadak, tetapi mungkin terjadi berjam-jam, berhari-
hari, atau bahkan berminggu-minggu sejak serangan stroke awal.

Jika pasien mengalami kesembuhan, ada kemungkinan besar mengalami defisit


neurologis atau kecacatan berdasarkan berbagai tingkat keparahan dan lamanya waktu
penangan dari stroke. Pasien yang sembuh 10% pulih tanpa gangguan, 50% mengalami
cacat ringan, 15%-30% mengalami cacat permanan dan membutuhkan perawatan
khusus, dan 10%-20% memerlukan perawatandi rumah sakit. Sekitar 50% yang
sembuh dari periode akut (6 bulan pertama) masih dapat bertahan hidup dalam kurun
waktu 7 tahun.

Jenis kecacatan yang dialami pasien tergantung pada besarnya sumbatan pada
pembuluh darah, lokasi infark atau perdarahan. Kecacatan meliputi paralisis unilateral,
mati rasa, gangguan sensorik, disfasia, kebutaan, diplopia, linglung, dan disartria.
Pengembalian fungsi motorik tidak dapat diprediksi dan biasanya berlangsung dengan
lambat, selama beberapa bulan. Bahkan setelah dilakukan perawatan, sering kali pasien
masih kesulitan berjalan, kesulitan mempergunakan tangan, atau sulit berbicara. Stroke
juga dapat menyebabkan terjadinya dimensia.

 Gambaran Klinis
- Tanda dan Gejala
Mengenal tanda dan gejala stroke serta tahapan terjadinya stroke dapat
mengarahkan seseorang untuk mengambil tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa.
Empat kejadian yang berhubungan dengan stroke adalah (1) transient (short-term)
ishchemic attack (TIA), (2) reversible neurological ischemic deficit (RIND), (3) stroke-
in-evolution, dan (4) the complete stroke. Peristiwa ini ditentukan oleh durasinya.
TIA adalah stroke "kecil (ringan)" yang disebabkan oleh gangguan sementara
suplai darah ke area otak yang terlokalisasi. TIA sering menyebabkan mati rasa pada
wajah, lengan, atau kaki pada satu sisi tubuh (hemiplegia), kelemahan, kesemutan, mati
rasa, atau gangguan fungsi bicara yang biasanya berlangsung kurang dari 10 menit.
Umumnya, serangan stroke besar (berat) didahului oleh satu atau dua TIA dalam
beberapa hari setelah serangan stroke pertama.
RIND adalah defisit neurologis yang mirip dengan TIA tetapi tidak menghilang
dalam waktu 24 jam,akhirnya terjadi masa penyembuhan.
Stroke-in-evoluion adalah kondisi neurologis yang disebabkan oleh
penyumbatan atau pendarahan serebral arteri, di mana defisit terjadi selama beberapa
jam dan terus memburuk selama periode observasi. Tanda-tanda stroke seperti
hemiplegia, kehilangan fungsi bicara sementara atau kesulitan dalam berbicara atau
memahami pembicaraan, hilangnya fungsi penglihatan sementara atau dalam jangka
waktu yang cukup lama, terutama pada satu mata (diperparah dengan terjadinya
migrain), linglung yang tidak dapat dijelaskan, tubuh yang tidak seimbangan, atau dapat
jatuh secara tiba-tiba.
Pemeriksaan klinis setelah terjadinya stroke bervariasi sesuai dengan lokasi dan
keparahan cedera pada otak, seperti gangguan bahasa, hemiplegia, dan paresis, suatu
bentuk kelumpuhan yang berhubungan dengan hilangnya fungsi sensorik dan memori
dan melemahnya daya motorik.
Tabel di bawah ini memperlihatkan perbedaan pola sikap antara kerusakan otak
bagian kanan dibandingkan dengan kerusakan otak bagian kiri. Tertulis bahwa
kebanyakan pasien stroke masih mempunyai fungsi intelektual yang baik, walaupun
sebagian besar orang dengan stroke pada bagian kanan berpengaruh pada penurunan
kognitif.

- Temuan Laboratorium
Pasien yang diduga menderita stroke biasanya menjalani berbagai uji
laboratorium dan diagnostik untuk menghindari kondisi yang dapat mempengaruhi
perubahan neurologis, seperti diabetes mellitus, uremia, abses, tumor, alkoholisme
akut, dan perdarahan ekstradural. Uji laboratorium seperti urinalisis, kadar gula
darah, hitung darah lengkap, laju endap eritrosit, tes serologis untuk sifilis, kadar
kolesterol dan lipid darah, radiografi dada, dan elektrokardiogram. Berbagai
kelainan dapat diungkapkan oleh hasil tes ini, tergantung pada jenis dan tingkat
keparahan stroke dan faktor-faktor penyebabnya. Penusukan pada lumbar juga
dapat dilakukan oleh dokter untuk memeriksa darah atau protein dalam cairan
serebrospinal (CSF) dan untuk mengubah tekanan CSF yang akan menyebabkan
pendarahan subarachnoid. Doppler blood flow, EEG, angiografi serebral, CT (4),
dan MRI, merupakan difusi dan perfusi otak, penting untuk menentukan luas dan
lokasi cedera arteri.
Gambar 4. Gambaran CT-Scan dari otak menunjukkan cedera serebrovaskular
yang terletak pada otak tengah hingga lobus temporal.

 Manajemen Dental
- Pertimbangan Medis
Tugas utama dokter gigi yaitu mencegah dan mengidentifikasi individu yang
menunjukkan tanda dan gejala stroke. Pasien dengan riwayat hipertensi, congestive
heart failure, diabetes mellitus, riwayat stroke atau TIA, dan pasien dengan usia
lanjut cenderung lebih mudah mengalami stroke, dan infark miokard. Resiko
terjadinya stroke meningkat ketika faktor-faktor tersebut juga mengalami
peningkatan. Dokter gigi harus mampu menilai tingkat risiko pasien, memberikan
penjelasan agar pasien mau melakukan perawatan medis, dan menghilangkan atau
mengendalikan semua faktor risiko yang memungkinkan terjadinya serangan
stroke.

Penilaian risiko dalam proses pengambilan keputusan mengenai waktu dan


jenis perawatan gigi yang akan diberikan. Misalnya, seorang pasien yang
mengalami stroke atau TIA memiliki risiko lebih besar daripada orang yang belum
pernah mengalami stroke. Bahkan sepertiga dari penderita stroke akan mengalami
serangan berulang dalam 1 bulan sejak serangan awal, dan risiko tetap meningkat
setidaknya selama 6 bulan. Meskipun risiko menurun setelah 6 bulan, risiko tetap
ada, 14% dari individu yang sembuh dari stroke atau TIA mengalami kekambuhan
dalam 1 tahun. Konsultasi medis dan rujukan ke dokter wajib dilakukan.

Manajemen Dental Pasien Stroke


1) Indetifikasi Faktor resiko
o Hipertensi
o Gagal jantung
o Diabetes Mellitus
o Serangan Iskemik
o Lansia ≥75 tahun
o Peningkatan kolestrol darah atau tingkat lemak
o Arterosklerosis koronal
o Merokok
2) Menganjurkan kontrol resiko stroke
3) Riwayat stroke
4) Waktu perawatan dilakukan pada pagi hari

Pasien yang mengkonsumsi obat kumarin atau antiplatelet berisiko mengalami


perdarahan abnormal. Status antikoagulasi kumarin diamati dengan international
normalized ratio(INR). Nilai INR kurang atau sama dengan 3,5 dapat diterima
untuk menjalani prosedur perawatan gigi invasif dan noninvasif. Jika INR lebih dari
3,5 dan dilakukan perawatan invasif, perdarahan dapat terjadi, dan dokter harus
mengkonsultasikan penurunan dosis antikoagulan. Dalam kasus-kasus ini,
penurunan dosis antikoagulan direkomendasikan daripada penghentian terapi
antikoagulan. Metronidazole dan tetrasiklin dapat meningkatkan INR dengan
menghambat metabolisme Coumadin, oleh karena itu, penggunaan obat ini secara
bersamaan harus dihindari.
Efek aspirin dan dipyridamole pada agregasi platelet diamati dengan platelet
function analyzer (PFA)-100. Hasil yang tidak normal harus dikonsultasinkan
dengan dokter. Nyeri pasca operasi harus diatasi dengan obat yang mengandung
asetaminofen.
Perawatan untuk pasien yang rentan terhadap stroke atau pasien dengan riwayat
stroke biasanya melakukan perawatan dengan cepat,dan rasa stress dapat dihinndari
dengan melakukan pada pagi hari. Tekanan darah harus selalu dipantau,
pengendalian rasa sakit sangat penting. Anestesi lokal dengan epinefrin 1: 100.000
atau 1: 200.000 dapat digunakan dalam jumlah yang sesuai (≤ 4 mL). Gingival
retraction cord menggunakan epinefrin tidak boleh digunakan.
Pasien yang mengalami tanda-tanda atau gejala-gejala stroke di ruangan
perawatan harus diberi oksigen. Pasien harus segera dibawa menuju rumah sakit
terdekat (perawatan harus cepat ketika merawat pasien mengalami stroke akut).
Dokter gigi harus ingat bahwa pasien yang terserang stroke memiliki perasaan
sedih, kehilangan, dan depresi dan harus diperlakukan dengan lembut.

- Modifikasi Rencana Perawatan


Modifikasi mungkin diperlukan untuk pasien dengan kecacatan yang
mengalami kesulitan menjaga kebersihan mulut dengan adekuat. Untuk pasien-
pasien ini, bridgework (gigi tiruan jembatan) bukanlah pilihan yang baik. Prostesa
cekat mungkin lebih disarankan daripada protesa lepasan. Semua restorasi harus
dilakukan dan mudah dibersihkan. Dianjurkan untuk menggunakan sikat gigi
mekanik atau sikat gigi bergagang besar. Flossing harus dilakukan dengan bantuan
orang terdekat dan harus diinstruksikan tentang bagaimana dan kapan hal ini harus
dilakukan. Disarankan melakukan aplikasi topikal fluor dan menggunakan obat
kumur klorheksidin.

- Komplikasi dan Manifestasi Oral


Tanda yang terjadi setelah stroke dapat dilihat dengan jelas melalui cara
bicaranya yang cadel, langit-langit yang lemah, atau kesulitan menelan. Setelah
terserang stroke, kesulitan dalam berbicara atau ketidakmampuan berbicara,
kelumpuhan unilateral otot orofasial, dan hilangnya rangsangan sensorik dari
jaringan mulut dapat terjadi. Lidah menjadi lemah, dengan beberapa lipatan, dan
mungkin menyimpang pada ekstrusi. Disfagia terjadi bersamaan dengan kesulitan
mengelola makanan padat dan cair. Pasien dengan kerusakan otak ssebelah kanan
mengakibatkan kelumpuhan pada sisi sebaliknya. Makanan dan sisa-sisanya dapat
menumpuk di sekitar gigi, di bawah lidah, atau di lipatan alveolar. Pasien perlu
belajar membersihkan gigi atau gigi palsu hanya dengan satu tangan, atau mereka
mungkin memerlukan bantuan orang lain untuk menjaga kebersihan mulut, jika
tidak karies, penyakit periodontal, dan halitosis mungkin terjadi.

2. Epilepsi
Epilespi adalah isitilah yang merujuk pada sekelompok gangguan yang ditandai dengan
penyakit kronis yang rekuren, perubahan tiba-tiba pada fungsi neurologik (seizure),
perubahan kesadaran, atau pergerakan yang tidak teratur yang disebabkan aktivitas elektrik
yang abnormal dan spontan di otak. Seizure dapat berupa kejang (yaitu disertai dengan
manifestasi oral) atau dapat terjadi dengan perubahan lain pada fungsi neurologik (yaitu,
sensoris, kognitif, dan emosional).
Pada 1800-an, tulisan Hughlings Jackson tentang epilepsi menyimpulkan bahwa
"Kejang hanyalah gejala, dan hanya menyiratkan bahwa adanya pelepasan jaringan saraf
yang okasional, berlebihan, dan tidak teratur." hal ini telah terbukti akurat tetapi hanya
terbatas karena terjadi dalam banyak bentuk selain kejang umum tonik-klonik. Banyak
kejadian epilepsi bersifat fokal, terbatas, dan tidak konvensional.
Saat ini, "epilepsi" menunjukkan sekelompok kondisi kronis yang manifestasi
utamanya kejang epilepsi. Kejang ditandai dengan episode diskrit yang cenderung berulang
dan sering tidak dipicu, di mana gerakan, sensasi, perilaku, persepsi, dan kesadaran
terganggu. Gejala dihasilkan oleh pelepasan neuron temporer yang berlebihan, yang
dihasilkan dari penyebab intrakranial atau ekstrakranial.
Meskipun gejala kejang diperlukan untuk diagnosis epilepsi, tidak semua kejang
menyiratkan epilepsi. Kejang dapat terjadi pada banyak penyakit medis atau neurologis,
termasuk stres, kurang tidur, demam, penggunaan alkohol atau obat, dan sinkop.

 Epidemilogi
- Insidensi dan Prevalensi
Sekitar 10% dari populasi setidaknya akan mengalami epileptic seizure satu kali
dalam hidupnya dan 2% hingga 4% akan mengalami seizure rekuren yang terjadi
pada waktu-waktu tertentu disepanjang hidupnya. Secara keseluruhan, insidensi
seizure yaitu sekitar 0.5%. seizure paling sering terjadi pada masa anak-anak, di
mana sekitar 4% anak-anak setidaknya pernah mengalami seizure di 15 tahun
pertama hidupnya. Sebagian besar anak-anak dapat mengatasi gangguan ini. 4 dari
1000 anak tidak dapat mengatasi gangguan ini dan memerlukan perawatan medis.
Seizure juga dapat terjadi pada usia lanjut, dengan estimasi insiden per tahun sekitar
134 per 100.000. Gangguan cerebrovaskular merupakan faktor yang mendasari
terjadinya seizure pada usia lanjut. Dalam praktik kedokteran gigi, dari 2000 pasien
dewasa diprediksi terdapat sekitar 2 hingga 5 pasien pernah mengalami seizure.

- Etiologi
Lebih dari setengah kasus epilepsi bersifat idiopatik. Vaskular (gangguan
cerebrovaskular) dan kelainan tumbuh-kembang (cavernous malformation),
neoplasma intrakranial (gliomas), dan trauma kepala menjadi faktor penyebab dari
35% kasus pada usia dewasa. Penyebab lainnya ialah hipoglikemia, penghentian
obat, infeksi, dan febrile illness (contohnya meningitis, encephalitis). Seizure yang
terjadi karena kondisi genetik seperti down syndrome, tuberous sclerosis, dan
neurofibromatosis dan seringkali diasosiasikan dengan beberapa kelainan genetik
yang menyebabkan terjadinya disfungsi pada neuronal channel.
Seizure kadang-kadang dapat ditimbulkan oleh rangsangan tertentu. Sekitar 1
dari 15 pasien melaporkn bahwa seizure terjadi setelah terpapar oleh cahaya yang
berkedip-kedip, suara yang monoton, musik, atau suara bising. Keadaan sinkop dan
kurangnya suplai oksigen ke otak juga menjadi faktor pemicu terjadinya seizure.

- Patofisiologi dan Komplikasi


Kejadian yang mendasari terjadinya epileptic seizures ialah adanya pelepasan
neuron fokal yang berlebihan yang menyebar ke daerah inti thalamus dan batang
otak. Penyebab dari aktivitas elektrik yang abnormal ini belum diketahui secara
pasti, meskipun sejumlah teori telah dikemukakan. Hal ini termasuk perubahan
fungsi sodium channel, perubahan potensial membran neuron, perubahan transmisi
sinaptik, penurunan jumlah inhibitor neuron, peningkatan eksitabilitas neuron, dan
penurunan ambang elektrik untuk aktivitas epileptik. Selama terjadinya seizures,
darah mengalami hipoksia dan terjadi asidosis laktat.
Sekitar 60% hingga 80% dari pasien dengan epilepsi mencapai kontrol penuh
atas keadaan seizure yang dialaminya dalam 5 tahun; sisanya hanya mencapai
kontrol yang buruk atau kontrol parsial. Masalah yang signifikan pada pasien
epilepsi salah satunya ialah dalam hal kepatuhan (memastikan bahwa pasien
tersebut meminum obat secara teratur). Masalah ini biasa terjadi karena mereka
mengonsumsi obat sepanjang hidupnya bahkan meskipun mereka tidak merasakan
gejala. Komplikasi seizure terdiri dari trauma pada kepala, leher, dan mulut di mana
trauma terjadi akibat pasien terjatuh saat mengalami serangan, selain itu, pasien
juga mengalami aspiration pneumonia. Seizure yang terjadi cukup sering dan parah
seringkali diasosiasikan dengan perubahan fungsi mental, kebodohan, argumentasi
dan meningkatnya risiko kematian mendadak (sekitar 1 dari 75 orang dalam
kelompok ini meninggal setiap tahun).

 Status Epilepticus
Komplikasi akut yang serius dari epilepsi (khususnya tonic-clonic) yaitu apabila
terjadinya seizures yang berulang dalam waktu singkat tanpa adanya periode
pemulihan terlebih dahulu, yang disebut status epilepticus. Kondisi ini paling sering
disebabkan oleh penghentian medikasi antikonvulsan secara mendadak atau
penyelahgunaan substansi akan tetapi dapat juga dipicu oleh infeksi, neoplasma, dan
trauma. Status epilepticus merupakan suatu kegawatdaruratan medis. Pasien
mengalami hipoksia serius dan asidosis selama kejadian ini dan mengalami kerusakan
otak permanen ataupun kematian. Pasien dengan epilepsi juga mengalami peningkatan
kematian secara mendadak dan kematian akibat kecelakaan.

 Gambaran Klinis
- Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis dari kejang generalized tonic-clonic (grand mal seizure)
adalah klasik. Aura (perubahan sensorik sesaat yang menyebabkan adanya bau yang
tidak biasa atau gangguan penglihatan) mengawali terjadinya kejang pada sepertiga
pasien. Sikap lekas marah merupakan sinyal penanda lainnya. Setelah adanya tanda
aura, pasien secara tiba-tiba akan mengalami “epileptic cry” (disebabkan oleh
spasme pada otot difragma) dan segera kehilangan kesadaran. Fase tonic terdiri dari
kekakuan otot secara menyeluruh, dilatasi pupil, bola matanya bergulir ke atas dan
ke sisi kanan-kiri, serta kehilangan kesadaran. Selain itu, napas juga dapat berhenti
karena terjadinya spasme pada otot pernapasan. Hal ini diikuti oleh aktivitas clonic
yang terdiri dari gerakan ayunan anggota gerak tubuh yang tidak terkoordinasi,
penutupan rahang secara paksa, dan goyangan kepala. Terjadinya seizure tidak
lebih dari 90 detik, lalu, gerakan berhenti, otot rileks, dan kemudian kesadaran
kembali secara bertahap, yang disertai dengan pingsan, sakit kepala, linglung, dan
mental dulling. Pasien perlu istirahat atau tidur beberapa jam untuk memulihkan
kemampuan fisik dan kognitifnya.

- Temuan Laboratori
Diagnosis epilepsi umumnya didasarkan pada riwayat terjadinya seizure dan
abnormal electroencephalogram (EEG). Seizure menghasilkan pola gelombang
yang runcing dan tajam (spike and sharp wave pattern) pada EEG. Serial rekaman
mengenai kurangnya waktu tidur yang dapat menyebabkan seizure dapat membantu
menegakkan diagnosis. Prosedur diagnosis lainnya yang sangat berguna dalam
mengesampingkan penyebab lain dari seizure yang terdiri dari computed axial
tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), single-photon emission
computed tomography (SPECT), lumbar puncture, serum chemistry profile, dan
toxicology screening.

 Manajemen Dental
- Pertimbangan Medis
Tahap pertama dalam manajemen pasien epilepsi yang mengidap epilepsi
adalah mengidentifikasi. Hal ini dilakukan paling baik dengan didasarkan pada
riwayat medis pasien dan dengan melakukan diskusi dengan pasien atau anggota
keluarga. Ketika pasien epilepsi telah diidentifikasi, praktisi dokter gigi harus
mempelajari riwayat seizure seperti tipe seizure, usia onset, penyebab (jika
diketahui), obat yang digunakan saat ini dan digunakan secara teratur, frekuensi
mengunjungi dokter, tingkat kontrol terhadap seizure, frekuensi terjadinya seizure,
kapan terakhir terjadinya seizure, dan faktor pendukung lainnya yang diketahui.
Selain itu, riwayat cedera sebelumnya yang diasosiasikan dengan seizure dan
perawatannya yang mungkin dapat membantu.
Untungnya, sebagian besar pasien epilepsi dapat mengontrol keadaan seizure
yang dialaminya dengan baik saat menggunakan obat antikonvulsan oleh karena
itu, dapat menerima perawatan rutin secara normal. Dalam beberapa kasus, riwayat
penyakit dapat menggambarkan derajat aktivitas seizure berupa tingkat keparahan
dari gangguan seizure tersebut yang tidak memberikan respon yang positif terhadap
anti-konvulsan. Pada pasien ini, disarankan untuk melakukan konsultasi dengan
dokter terlebih dahulu sebelum menjalani perawatan gigi. Pasien dengan kontrol
penyakit yang kurang baik memerlukan antikonvulsan dan obat sedatif tambahan
seperti arahan dokter yang merawatnya.
Pasien yang menggunakan antikonvulsan mungkin mengalami efek toksik dari
obat-obatan ini, oleh karena itu, dokter gigi sebaiknya menyadari manifestasinya.
Selain itu, efek samping lainnya yang sering terjadi ialah alergi yang terdiri dari
kemerahan, erythema multiforme, atau yang lebih parah, seperti sindrom Steven-
Jhonson. Phenytoin, carbamazepine, dan valproic acid dapat menekan sumsum
tulang belakang, leukopenia, dan trombositopenia, yang menyebabkan terjadinya
peningkatan insidensi infeksi mikroba, lambatnya proses penyembuhan,
pendarahan gingiva dan pendarahan pasca operasi. Valproic acid dapat mengurangi
agregasi platelet yang memicu terjadinya pendarahan spontan dan petekie.

Manajemen Dental pada Pasien Epilepsi

1. Identifikasi pasien berdasarkan riwayatnya


a. Jenis seizure
b. Usia saat terjadinya seizure
c. Penyebab seizure (jika diketahui)
d. Medikasi
e. Frekuensi mengunjungi dokter (nama dan nomor telepon)
f. Derajat kontrol seizure
g. Frekuensi terjadinya seizure
h. Waktu terkahir terjadinya seizure
i. Faktor pemicu yang diketahui
j. Riwayat terjadinya seizure yang berkaitan dengan trauma

2. Ketentuan perawatan normal: seizure yang terkontrol dengan baik tidak


menimbulkan masalah perawatan dental.

3. Apabila riwayat terjadinya seizure masih dipertanyakan atau seizure tidak


terkontrol dengan baik, lakukan konsultasi dengan dokter sebelum melakukan
perawatan dental pada pasien di mana perawatan yang akan dilakukan mungkin
memerlukan modifikasi tertentu.

4. Berhati-hati terhadap efek samping dari anti-konvulsan, yang terdiri dari:

a. Rasa kantuk
b. Cara berpikir yang lambat
c. Pusing
d. Ataxia
e. Gangguan pada sistem pencernaan
f. Tanda-tanda alergi (kemerahan, erythema multiforme)
Kecenderungan terjadinya pendarahan pada pasien yang diresepkan valproic acid
5.
(Depakene) atau carbamazepine (Tegretol) sebagai akibat dari terganggunya fungsi
platelet – Pretreatment platelet function analyer (PFA)-100; apabila tidak normal,
konsultasikan dengan dokter.

6. Manajemen grand mal seizure

a. Kemungkinan penempatan ligated mouth prop pada awal prosedur.


b. Bagian belakang dental chair yang mendukung posisi pasien untuk
terlentang.

7. Manajemen seizure

a. Membersihkan daerah
b. Posisikan pasien ke arah samping untuk menghindari aspirasi
c. Hindari menggunakan tongue blade yang empuk
d. Pembatas yang bekerja secara pasif

8. Setelah seizure

a. Pemeriksaan cedera yang traumatik


b. Penghentian perawatan, mengatur perujukan pasien

Propoxyphene dan erythromycin sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang


menggunakan carbamazepine karena terganggu oleh metabolisme carbamazepine,
yang mana dapat memicu meningkatnya kadar toksik dari obat antikonvulsan.
Aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) sebaiknya tidak berikan pada
pasien yang menggunakan valproic acid karena mereka dapat menyebabkan
menurunnya agregasi platelet yang menyebabkan terjadinya pendarahan.

- Manajemen Seizure
Meskipun tindakan preventif yang tepat telah dilakukan oleh dokter gigi dan
pasien, namun, masih ada kemungkinan di mana pasien epilepsi dapat mengalami
generalized tonic-clonic convulsion di klinik dental. Tindakan preventif seperti
pengetahuan akan riwayat penyakit pasien, menjadwalkan kunjungan pasien pada
jam tertentu setelah mengonsumsi antikonvulsan, menggunakan mouth prop,
melepaskan gigi tiruan, dan melakukan diskusi dengan pasien tentang pentingnya
menyatakan kondisi aura sesegera mungkin apabila mulai merasakan gejalanya.
Dokter gigi sebaiknya juga waspada terhadap kondisi pasien yang mudah marah
sebagai salah satu gejala terjadinya seizure. Apabila waktu pada tahap premonitory
mencukupi, berikan lorazepam sebanyak 0.5 hingga 2 mg secara sublingual atau 2
sampe 10 mg diazepam secara intravena.
Apabila pasien telah mengalami seizure di dental chair, hal pertama yang harus
dilakukan adalah melindungi pasien dan mencegah terjadinya cedera. Tidak perlu
memindahkan pasien ke lantai. Sebagai gantinya, jauhkan instrumen kedokteran
gigi yang ada di sekitar pasien dan atur posisi dental chair menjadi terlentang. Jalan
napas pasien harus dipertahankan dengan baik. Pembatas pasif sebaiknya
digunakan untuk mencegah terjadinya cedera yang mungkin terjadi apabila pasien
terkena benda di dekatnya atau terjatuh dari dental chair.
Apabila menggunakan mouth prop, maka sebaiknya alat dimasukkan ke dalam
mulut sebelum perawatan dimulai. Hindari memasukkan mouth prop selama pasien
mengalami seizure karena hal itu dapat menyebabkan kerusakan pada gigi ataupun
jaringan lunak mulut pasien.
Seizure umumnya tidak berlangsung lebih dari beberapa menit. Setelah itu,
pasien akan tertidur dengan nyenyak.dan sulit dibangunkan. Berikan oksigen dan
mouth suction serta pertahankan jalan napas selama fase ini. Selain itu, dokter
sebaiknya memposisikan tubuh pasien sedikit menyamping, untuk mengontrol jalan
napas pasien dan untuk meminimalisir aspirasi sekresi. Dalam beberapa menit,
kesadaran pasien akan pulih akan tetapi, pasien akan mengalami linglung, bingung,
dan gugup. Sakit kepala merupakan ciri yang paling menonjol selama periode ini.
Apabila pasien tidak memberikan respon selama beberapa menit, di mana seizure
diasosiasikan dengan kadar serum glukosa yang rendah maka diperlukan
penambahan glukosa.
Apabila terjadi generalized tonic-clonic seizure maka hindari untuk
melanjutkan perawatan dental, meskipun pemeriksaan akan cedera yang
berkelanjutan harus dilakukan, seperti pemeriksaan akan fraktur ataupun laserasi.
Pada kasus avulsi gigi atau fraktur gigi, maka upaya yang harus dilakukan ialah
menemukan gigi atau fragmen gigi tersebut untuk menghindari terjadinya aspirasi.
Rontgen dada perlu dilakukan untuk menemukan fragmen gigi yang hilang.
Apabila seizure terjadi secara berkepanjangan (status epilepticus) atau
berulang, maka sekitar 4-8 mg lorazepam intravena (0.05 – 0.1 mg/kg) atau 10 mg
diazepam, sangat efektif untuk mengendalikannya. Apabila seizure terjadi lebih
dari 15 menit, sebaiknya dokter gigi memberikan akses secara intravena,
mengulang pemberian lorazepam dengan dosis yang sama, memberikan
fosphenytoin dan melakukan aktivasi sistem kegawatdaruratan medis (EMS).

- Pertimbangan Rencana Perawatan


Apabila gingiva mengalami pembesaran yang disebabkan oleh penggunaan
fenitoin, maka pasien harus meningkatkan kebersihan rongga mulutnya. Di mana
hal ini perlu dilakukan dengan sering mengunjungi dokter gigi untuk melakukan
monitoring. Apabila pembesaran gingiva terjadi secara signifikan, maka lakukan
pembedahan untuk mengatasinya.
Gambar 5. Pembersaran gingiva akibat konsumsi obat fenitoin.

Apabila terdapat gigi yang hilang maka sebaiknya dilakukan penggantian


dengan gigi tiruan untuk mencegah tersangkutnya lidah pada daerah edentulus
selama terjadinya seizure. Umumnya, protesa cekat atau implant cenderung lebih
disukai oleh pasien di mana pemilihan jenis logam yang akan digunakan untuk jenis
protesa all metal harus dipertimbangkan dengan baik untuk meminimalisir
kemungkinan terjadinya fraktur. Selain itu, protesa lepasan juga seringkali
digunakan oleh pasien epilepsi di mana pasien lebih menyukai basis berbahan
logam dibandingkan basis yang terbuat dari akrilik secara keseluruhan.

3. Seizure Disorder
 Epidemiologi dan Etiologi
Seizure merupakan suatu kejadian paroksismal yang disebabkan oleh pelepasan
hipersinkron yang abnormal dan berlebihan dari agregat neuron pada saraf pusat.
Sedangkan, istilah epilepsi dideskripsikan sebagai suatu kelompok gangguan
neurologis yang dikarakteristikkan dengan aktivitas seizure yang bersifat rekuren.
Insiden terjadinya epilepsi di negara berkembang, rata-rata 50 per 100.000 orang per
tahun (sekitar 1% populasi Amerika Serikat) dan lebih banyak terjadi pada bayi dan
orang usia lanjut.
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam mengelompokkan sindrom
epilepsi, diantaranya genetik, usia onset, dan mekanisme patofisiologi penyakit. Focal,
generalized, dan unknown seizure merupakan tiga kategori utama aktivitas seizure yang
digunakan dalam praktik klinis.
Kategori focal seizure terdiri dari partial seizure di mana kategori ini
merupakan tipe aktivitas seizure yang berasal dari dalam jaringan yang dibatasi oleh
satu hemisphere dan manifestasi klinisnya bergantung pada daerah asalnya. Partial
seizure dicirikan dengan dua aktivitas yang terjadi secara bersamaan pada neuron
agregat, yaitu frekuensi ledakan yang tinggi dari potensial aksi dan hipersinkronisasi.
Sedangkan, generalized seizure berasal dari kedua cerebral hemosphere secara
bersamaan dan memiliki ciri khas klinis yang membantu dalam menegakkan
diagnosisnya. Patofisiologi yang tipe ini dikaitkan dengan kepekaan rangsang neuron
yang abnormal dan rendahnya pemahaman terhadap rangsangan tersebut. Tidak adanya
seizure (petit mal) merupakan salah satu tipe generalized seizure yang
dikarakteristikkan dengan terjadinya secara mendadak, hilangnya kesadaran tanpa
kehilangan body tone dan dapat juga disertai dengan ritme osillatory yang abnormal
yang terjadi selama tidur yang disebabkan oleh hubungan sirkuit antara thalamus dan
korteks. Tonic-clonic seizure (grandmal) merupakan generalized seizure yang terjadi
dengan gambaran klinis yang dramatik, terutama terjadinya tonic contracture dan
pergerakan otot clonic yang tidak terkoordinasi. Tipe generalized seizure lainnya ialah
atypical absence seizure, atonic seizure, dan myoclonic seizure. Tipe-tipe seizure yang
tidak dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi manapun disebut sebagai unknown
seizure.
Onset dari aktivitas seizure dapat terjadi di setiap titik kehidupan seseorang dan
etiologinya biasanya bervariasi bergantung pada usia pasien. Seizure yang umumnya
muncul pada masa akhir bayi dan awal masa anak-anak seperti febrile seizure tanpa
disertai dengan keterlibatan infeksi pada sistem saraf pusat, hal ini biasanya terjadi
antara usia 3 bulan dan 5 tahun dan puncak insiden pada usia antara 18 dan 24 bulan.
General seizure yang terisolasi dan non-rekuren pada usia dewasa biasanya disebabkan
oleh berbagai faktor penyebab seperti gangguan metabolisme, toksin, efek obat-obatan,
hipotensi, hipoglikemia, hipotermia, uremia, enselopati hepatik, overdosis obat-obatan,
dan penghentian obat-obatan. Penyakit cerebrovascular menyebabkan sekitar 50%
kasus epilepsi yang baru terjadi pada pasien dengan usia di atas 65 tahun. Etiologi lain
yang lebih sering terjadi pada individu-individu yang memiliki gangguan neurologis
seperti pasein cerebral palsy dan autisme.

 Manifestasi Klinis
- Focal Seizure (Partial Seizure)
Simple partial seizure menggambarkan adanya penghentian kerja neuron yang
berasal dari lokus kortikal yang berbeda, seperti korteks motorik lobus frontalis,
atau pada struktur subkortikal, dan secara umum tidak diasosiasikan dengan
hilangnya kesadaran. Simple partial seizure terdiri dari aktivitas clonic, yang mana
merupakan sentakan cepat yang juga disertai dengan fenomena somato-sensoris,
kerusakan atau perubahan visual, dan adanya gejala secaea auditoris, olfaktoris, dan
gustatoris. Seizure tipe ini dapat menyebar secara progresif ke area yang lebih luas
pada korteks motorik, di mana dapat menyebabkan Jacksonian march, yang
merupakan fenomena yang dikarakteristikkan dengan adanya keterlibatan otot-otot
eksterimitas secara berurutan.
Complex partial seizure, merupakan tipe seizure yang paling sering terjadi pada
orang dewasa yang mengidap epilepsi, yang menyebabkan penurunan atau
hilangnya kesadaran. Sebagian besar fokus dari tipe seizure ini berasal dari lobus
frontalis inferior dan lobus temporalis, yang menyebabkan pasien tampak linglung
dan adanya halusinasi audioris dan visual. Seizure seringkali dimulai dengan aura
(tanda akan adanya aktivitas seizure yang akan datang) yang terdiri dari adanya rasa
takut, detachment, dan adanya suara-suara atau bau-bau tertentu. Pasien mengalami
seizure secara otomatis, di mana menunjukkan perilaku yang tertentu yang terjadi
secara otomatis seperti mengunyah dan menampar bibir serta perilaku kekerasan
lainnya.

- Generalized Seizure
Absent seizure dikarakteristikkan dengan hilangnya kesadaran selama beberapa
detik tanpa kehilangan body tone. Selain itu, kedutan halus pada wajah dan kedipan
mata yang cepat sering terjadi tanpa adanya aktivitas klinis pada otot secara
menyeluruh. Pasien yang menderita absence seizure tampak “melamun” meskipun
mereka seringkali memiliki kemampuan untuk terus melakukan aktivitas motorik
atau aktivitas intelektual yang telah dimulai setelah aktivitas seizure telah berhenti.
Secara umum tidak ada postical confusion pada pasien yang menderita absence
seizure. Absence seizure umumnya mulai terjadi pada masa kanak-kanak dan
hingga 90% pasien dengan tipe ini mengalami remisi secara spontan sebelum usia
dewasa.
Tonic-clonic seizure terjadi secara tiba-tiba baik disertai dengan aura ataupun
tidak. Pasien yang kehilangan kesadaran, sementara seluruh otot mengalami
kontraksi secara terpaksa, dan berhenti antara 20 dan 40 detik. Kontraksi otot laring
dan ekspirasi yang kuat menghasilkan erangan yang keras, yang dikenal sebagai
“epilectic cry”. Pasien seringkali menjadi sianotik selama fase tonic sekunder
selama menutup mulut hingga ekspirasi lanjutan yang kuat pula. Fase clonic diikuti
dengan rhytmically jerking di seluruh tubuh selama satu periode yang biasanya
berlangsung tidak lebih dari satu menit. Pada fase postical, pasien dapat bersikap
tidak responsif selama beberapa menit hingga beberapa jam, kemudian pasien akan
sadar secara perlahan-lahan dan tidak mengingat kejadian sebelumnya. Cedera fisik
yang terjadi akibat terjatuh dan kejang otot serta adanya bukti kosongnya kandung
kemih, tergigitnya lidah atau aspirasi pneumonia sering dialami selama fase
postictal. Kesadaran pasien akan pulih secara bertahap dan seringkali mengeluhkan
rasa lelah dan sakit kepala setelah terjadinya tonic-clonic seizure. Generalized
tonic-clonic seizure dapat reda secara spontan atau dapat pula mengalami muncul
kembali tanpa pasien sadari. Kondisi ini disebut sebagai generalized convulsive
status epilepticus dan dianggap sebagai keadaan darurat medis karena sejumlah
pasien memiliki gejala yang serius seperti cedera fisik, disfungsi kardiorespirasi,
gangguan metabolisme dan kerusakan neurologi yang bersifat ireversibel.
Photosensitivity epilepsy dikarakteristikkan dengan aktivitas seizure yang
disebabkan oleh stimulus secara visual seperti stroboscope illumination, flickering
sunlight, dan pola hitam-putih dengan kontras yang tinggi. Photosensitivity epilepsy
menyebabkan generalized tonic clonic, partial, myoclonic, dan atypical absence
seizure.

 Diagnosis
Tujuan utama memeriksa pasien dengan aktivitas epilepsi yang baru terjadi
adalah untuk menentukan apakah episode yang dilaporkan adalah benar seizure, untuk
menentukan penyebab dari seizure dengan mengidentifikasi faktor resiko yang
memungkinkan dan kejadian yang menjadi pemicu, serta untuk menentukan kebutuhan
akan terapi obat antiepilepsi (AED) selain pengobatan bagi penyakit utamanya.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting karena penegakkan diagnosis seizure
hanya dapat didasarkan pada penemuan klinis. Pemeriksaan neurologi lengkap
diperlukan oleh semua pasien yang menderita seizure yang terdiri dari pemeriksaan
fungsi saraf kranial, penilaian status mental, dan pemeriksaan fungsi motorik.
Pemeriksaan darah seperti hitung darah lengkap, elektrolit, glukosa, magnesium, dan
kalsium dilakukan secara rutin untuk mengidentifikasi penyebab metabolik dari
aktivitas seizure tersebut. Screening test lainnya yang juga berguna sseperti toxin screen
untuk mengidentifikasi aktivitas seizure karena obat-obatan dan lumbar puncture untuk
mengesampingkan berbagai etiologi yang infeksius.
Seluruh pasien yang diduga menderita seizure harus menjalani pemeriksaan
brain imaging untuk menentukan ketidaknormalan struktur sistem saraf pusat ataupun
penyebab patologisnya. MRI merupakan suatu modalitas diagnosis pilihan yang
digunakan untuk mendeteksi hippocampal sclerosis, malformasi dari perkembangan
kortikal, malformasi jaringan vaskuler, tumor, dan kerusakan korteks dapatan, di mana
semuanya merupakan etiologi dari gangguan seizure. Functional imaging, seperti studi
kedokteran nuklir dan MRI fungsional, dapat membantu dalam melokalisir
ketidaknormalan struktural fokal dan adanya rencana untuk menjalani operasi. CT
berguna untuk memeriksa kalsifikasi intrakranial, fraktur tulang tengkorak, dan dugaan
adanya infeksi pada sistem saraf pusat, akan tetapi tidak sejelas MRI.
EEG merupakan salah satu alat diagnostik yang penting bagi pasien yang
diduga menderita seizure dan membantu dalam mengklasifikasikan gangguan seizure
dan untuk menentukan jenis AED, apabila diindikasikan. Pengukuran aktivitas elektrik
otak pada pasien EEG dan adanya aktivitas elektrik yang abnormal, berulang, dan
berirama yang terjadi secara tiba-tiba dan terminasi selama kejadian klinis (seperti pola
spike-wave) dapat membantu dalam menegakkan diagnosis seizure.

 Pertimbangan Kesehatan Mulut


Pasien dengan gangguan seizure secara rutin dievaluasi dan diatur
permasalahan dentalnya. Populasi pasien ini sering menderita cedera fisik, seperti
trauma dental dan fasial, dibandingkan dengan orang sehat. Selain itu, pasien dengan
epilepsi menunjukkan status kesehatan mulut dan gigi yang buruk dibandingkan dengan
orang sehat dengan usia yang sama pada penelitian jangka panjang ini. Evaluasi
lengkap dari pasien dengan gangguan seizure diperlukan sebelum memulai perawatan
gigi untuk menentukan stabilitas kondisi dan tempat yang tepat untuk perawatan.
Penting bagi dokter untuk menilai jenis kejang, penyebab kejang, frekuensi kejang,
pemicu kejang yang diketahui, tanda-tanda sebelum terjadinya kejang, dan riwayat
cedera terkait dengan kejang. Jika pasien menunjukkan tanda-tanda gangguan seizure
tak terkendali atau seizure yang parah, dibutuhkan konsultasi dengan dokter yang
merawat pasien dan atau ahli neurologi. Pasien dengan seizure tak terkendali atau
seizure yang parah tidak disarankan mengunjungi praktek dokter gigi pribadi, namun
lebih disarankan untuk mengunjungi rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan gigi
rutin. Pasien dengan implan VNS tidak memerlukan antibiotik profilaksis sebelum
prosedur perawatan gigi invasif. Dianjurkan untuk tidak menggunakan perangkat gigi
dengan diatermi untuk pasien ini karena dapat mengganggu fungsi VNS.
Saat melakukan perawatan gigi, lebih baik untuk menghindari pemicu kejang
yang diketauhi dari pasien. Pasien dengan seizure yang tidak terkendali sering kali
memiliki tanda bekas trauma intraoral, seperti gigi fraktur dan / atau laserasi jaringan
lunak. Pasien dengan penyakit yang tidak terkendali atau seizure yang disebabkan oleh
stres mungkin memerlukan obat penenang sebelum perawatan, hal ini harus ditentukan
dengan berkonsultasi dengan dokter pribadi pasien. Untuk meminimalkan risiko cedera
dan aspirasi selama perawatan gigi, penggunaan dental floss – alat pelindung mulut
(yang mudah diambil) dan rubber dam direkomendasikan. Pemakaian protesa logam
cekat lebih direkomendasikan dibandingkan protesa lepasan untuk mengurangi resiko
pergeseran dan aspirasi selama terjadinya seizure.
AED dapat menyebabkan diskrasia darah yang dapat memengaruhi perawatan
gigi. Beberapa AED, termasuk fenitoin, carbamazepine, dan asam valproik dapat
menyebabkan supresi sumsum tulang, leukopenia, trombositopenia, dan disfungsi
trombosit sekunder, yang kemungkinan mengakibatkan peningkatan terjadinya infeksi
akibat mikroba, keterlambatan penyembuhan, dan perdarahan gingiva dan perdarahan
pasca operasi. Pasien yang menggunakan obat-obatan ini mungkin memerlukan
pemeriksaan laboratorium sebelum perawatan gigi, termasuk hitung darah lengkap
dengan diferensial untuk menilai jumlah sel darah putih dan trombosit dan koagulasi
untuk menilai kemampuan pembekuan darah. Pasien yang mengkonsumsi
carbamazepine jangka panjang harus dievaluasi kadar serum darahnyanya sebelum
melakukan perawatan gigi karena kadar yang tidak memadai dapat menyebabkan
kontrol seizure yang tidak adekuat dan dosis berlebihan mempengaruhi
hepatotoksisitas. Aspirin dan NSAID harus dihindari sebagai obat anti nyeri setelah
perawatan pada pasien yang mengkonsumsi asam valporat karena dapat mengingkatkan
kemungkinan perdarahan. Tidak ada kontraindikasi untuk anestesi lokal, ketika
digunakan dalam batas wajar, pada pasien dengan gangguan seizure.
Gingival overgrowth adalah komplikasi oral yang sering ditemukan di antara
pasien dengan gangguan seizure yang menggunakan AED, terutama fenitoin.
Prevalensi rata-rata gingival overgrowht bervariasi dan dilaporkan diatas 50% pada
individu yang mengkonsumsi fenitoin. Permukaan anterior gingiva labial pada rahang
atas dan rahang bawah paling sering terkena dan dapat terlihat dalam 2 sampai 18 bulan
setelah mulai mengkonsumsi obat tersebut. Kondisi ini dihubungkan dengan
peningkatan jumlah fibroblas pada jaringan ikat di gingiva. Penelitian menunjukkan
bahwa fenitoin mengubah jalur pensinyalan molekul yang mengontrol degradasi
kolagen oleh fibroblas gingiva dan akumulasi kolagen yang menyebabkan gingival
overgrowth yang terbukti secara klinis. Inflamasi dapat memperburuk kondisi ini, oleh
karena itu, dianjurkan untuk sering membersihkan mulut dan sikat gigi menggunakan
sikat gigi mekanik untuk menjaga kebersihan mulut yang optimal. Beberapa dokter gigi
menyarankan penggunaan obat kumur chlorhexidine dan atau asam folat untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya inflamasi gingiva pada pasien dengan gangguan
seizure yang megalami gingival overgrowht. Pembedahan untuk mengurangi jaringan
gingiva diperlukan jika terjadi pertumbuhan yang berlebihan. Selain gingival
overgrowth, efek samping oral lainnya dari fenitoin yaitu perkembangan lesi intraoral
yang secara klinis menyerupai lesi lupus dan lip enlargement. Pengurangan aliran saliva
mungkin merupakan hasil dari penggunaan AED, dan alat kesehatan mulut diamati
dapat mengingkatkan karies gigi dan oral kandidiasis pada pasien yang
menggunakannya. Topikal flour disarankan untuk pasien dengan gangguan seizure
yang beresiko tinggi mengalami karies gigi, dan obat antifungal harus diresepkan jika
terjadi oral kandidiasis. Temuan oral tambahan pada pasien yang menggunakan AED
yaitu stomatitis, glositis, dan ulserasi.

4. Parkinson
Parkinson merupakan suatu penyakit neurodegeneratif progresif yang terjadi pada
neuron yang menghasilkan dopamin. Hilangnya neuron ini menyebabkan gangguan
motorik (tremor, kaku otot, bradikinesia, postur tubuh yang tidak stabil). Neuron
dopaminergik ditemukan pada jalur nigrostriatal otak. Sekitar 80% dopamin yang terdapat
pada neuron ini harus ditekan sebelum gejala dari penyakit ini muncul.
 Epidemiologi
- Insidensi dan Prevalensi
Parkinson merupakan penyakit pada sistem syaraf pusat yang menyerang
hingga 1 juta penduduk Amerika, atau sekitar 1 dari 300 orang penduduk Amerika
mengidap penyakit ini. Setiap tahunnya, penyakit ini didiagnosis pada 50.000
individu. Sekitar 1% dari populasi yang berusia lebih dari 50 tahun dan 2,5%
populasi yang berusia lebih dari 70 tahun menderita penyakit ini. Meningkatnya
fenomena penuaan di Amerika Serikat berkaitan erat dengan peningkatan frekuensi
parkinson di negara tesebut yang mencapai tiga - empat kali lipat yang diprediksi
hingga 50 tahun ke depan. Puncak usia onset parkinson yaitu usia antara 55 dan 66
tahun, akan tetapi terkadang penyakit ini dapat pula terjadi pada usia remaja.
Prevalensi terjadinya penyakit ini pada Laki-laki sedikit lebih sering daripada
wanita, dan tidak ada perbedaan ras yang signifikan dalam hal ini. Rata-rata, 6 dari
2000 pasien dewasa yang menjalani perawatan gigi menderita Parkinson.

- Etiologi
Penyakit Parkinson disebabkan oleh kematian dan penurunan neuron
dopaminergik di mana neuron ini dibentuk di substansia nigra dan dilepaskan di
caudate nucleus dan putamen (jalur nigrostriatal). Meskipun penyebab penyakit
Parkinson belum diketahui, akan tetapi berbagai faktor telah dikaitkan dengan
penyakit ini. Mutasi gen (seperti mutasi pada gen alpha-synuclein atau gen Parkin
yang berkontribusi pada degenarasi protein) berkontribusi kurang dari 10% kasus
ini. Penyebab lain seperti stroke, tumor otak, dan cedera kepala (seperti benturan
keras) yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel-sel di jalur nigrostriatal.
Paparan mangan, merkuri, karbon disulfida herbisida agrikultural tertentu
(rotenone), dan street heroin yang terkontaminasi dengan meperidine analog (1-
methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine) bersifat neurotokoksik dan dapat
meningkatkan gejala penyakit Parkinson. Selain itu, obat neurolepsis
(phenothiazines, butyrophenones) dapat menyebabkan gejala Parkinson dan
kekakuan otot.
Gambar 6. Penyakit parkinson. Orang sehat (atas) dan penderita parkinson (bawah).

- Patofisiologi dan Komplikasi


Penyakit Parkinson disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor genetik yang
menyebabkan terjadinya kerusakan pada protein pengganti yang dimediasi oleh
proteasom pada neuron yang mudah terpengaruh dan dapat menghasilkan
kumpulan protein bersifat toksik. Hal ini menyebabkan terjadinya degenerasi dan
menurunnya jumlah neuron pigmentasi utama dari substantia nigra dan adanya lesi
destruktif pada sirkuit dari sistem limbik, sistem motorik, dan sentral yang
meregulasi fungsi otonom. Kerusakan neuron menunjukkan perubahan pada
sitoskeleton neuron, yang tediri dari eosinophilic intraneuronal inclusion bodies
(dengan nama lain Lewy bodies) dan Lewy neurites di prosesus neuronal. Inclusion
bodies mengandung protein agregat padat dari presynaptic protein alpha-synuclein.
Perjalanan penyakit ini diperparah dengan adanya degenerasi otak di daerah
lainnya, seperti nukleus basalis kolinergik, di mana hal ini dapat menimbulkan
tekanan pada otak.
 Gambaran Klinis
- Tanda dan Gejala
Penyakit Parkinson menyebabkan terjadinya tremor (yang menurun ketika
melakukan aktivitas), kekakuan otot, dan melambatnya gerakan (bradikinesia,
berjalan dengan cara menyeret), serta facial impassiveness (ciri khas wajah
penderita Parkinson). Tremor merupakan suatu gerakan yang berirama dan halus,
yang dapat terlihat dengan jelas pada anggota ekstremitas saat sedang beristirahat.
Kekakuan tipe cogwheel (menurunkan kemampuan ayunan tangan dan seretan kaki
saat berjalan), postur tubuh yang membungkuk, goyang, tidak seimbang dan sering
terjatuh, juga merupakan ciri-ciri Parkinson. Selain itu, rasa nyeri (musculoskeletal,
sensoris [rasa terbakar, mati rasa, rasa geli], atau akathisia, yang dikenal sebagai
restless syndrom), hipotensi ortostatik, disfungsi otot dan kandung kemih yang
terjadi pada 50% pasien. Gangguan kognitif berupa memori dan konsentrasi terjadi
pada berbagai derajat keparahan tergantung pada luasnya kerusakan yang terjadi
pada simpul syaraf pada ganglia basalis korteks otak. Gangguan mood (depresi,
dysthymia, apatis, antietas), insomnia, dan kelelahan terjadi pada 40% pasien,
dimensia terjadi pada 20% pasien. Psikosis, berhubungan dengan obat
dopaminergik terjadi pada 20% pasien.
Gambar 7. Ciri-ciri penderita Parkinson. A: Wajah seperti memakai topeng, mata membelalak,
prosuduksi keringat belebih. B: Drooling. C: Berjalan dengan lahkah pendek, cepat, dan
ayunan lengan berkurang.

- Temuan Laboratori
Karena tidak ada uji diagnostik yang dapat mendeteksi penyakit Parkinson,
diagnosis membutuhkan riwayat penyakit secara keseluruhan, pemeriksaan klinis,
dan tes spesifik dan rontgen untuk menyingkirkan penyakit yang memiliki gejala
yang serupa, seperti Wilson's disease, arteriosclerotic pseudoparkinsonism,
multiple stem atrophy, dan progressive supranuclear palsy.

 Manajemen Dental
- Pertimbangan Medis
Dokter gigi yang merawat pasien dewasa berperan penting dalam mengenali
ciri-ciri dari penyakit Parkinson dan membuat rujukan ke dokter untuk memeriksa
kondisi pasien secara keseluruhan terutama apabila pasien menunjukkan ciri-ciri
penyakit ini. Setelah diagnosis ditegakkan, terdapat 2 hal yang menjadi fokus dokter
gigi dalam memberikan perawatan dental: (1) meminimalisir pengaruh buruk dari
kekakuan dan tremor, (2) mencegah terjadinya interaksi obat.
Karena kerusakan otot dan tremor berpengaruh dalam buruknya oral hygiene
pasien, dokter gigi harus mampu menilai kemampuan pasien dalam membersihkan
gigi dengan cara memperagakannya. Jika pasien tidak dapat memelihara oral
hygienenya dengan tepat di rumah, maka pasien harus dikenalkan dengan sikat gigi
curve Collis, sikat gigi mekanik, bantuan orang lain dalam menyikat gigi, atau obat
kumur chlorhexidine.
Walaupun tidak ada efek samping interaksi yang dilaporkan antara inhibitor
CMOT (tolcapone [Tasmar]; entacapone [Comtan]) dan epinefrin pada dosis yang
biasa digunakan dalam kedokteran gigi, hal ini berpotensi dapat menyebabkan
interaksi, dan disarankan untuk membatasi dosis epinefrin menjadi 2 carpule yang
mengandung 1:100.000 epinefrin (36 mg) pada pasien yang menggunakan inhibitor
COMT. Eritromisin tidak disarankan untuk pasien yang mengkonsumsi agonis
dopamin, pramipexole (Mirapex). Dokter harus menyadari bahwa obat-obatan
antiparkinson dapat berupa depresan SSP, dan obat penenang yang diresepkan oleh
dokter mungkin memiliki efek aditif.
Hipotensi dan kekakuan ortostatik sering terjadi pada pasien yang memiliki
penyakit Parkinson. Hipotensi ortostatik adalah efek samping yang berhubungan
dengan inhibitor COMT. Untuk mengurangi kemungkinan terjatuhnya pasien dari
dental chair, pasien harus dibantu saat naik ke dental chair dan turun dari dental
chair. Pada akhirnya, dental chair harus dinaikkan secara perlahan untuk
memungkinan reequilibration.

- Modifikasi Rencana Perawatan


Rencana perawatan untuk pasien dengan penyakit Parkinson memerlukan
modifikasi yang didasarkan pada kemampuan pasien untuk membersihkan rongga
mulut. Ketika mengkomunikasikan rencana perawatan dan saran lainnya, dokter
gigi harus berhadapan langsung dengan pasien agar dapat memberikan komunikasi
yang efektif dengan seseorang yang memiliki potensi gangguan kognitif.
Pasien harus menjalani perawatan gigi ketika obat yang dikonsumsi memiliki
efek maksimum (umumnya, 2 hingga 3 jam setelah meminumnya). Untuk
mengantisipasi apabila terjadi tremor, maka dokter gigi sebaiknya menggunakan
soft arm restrains atau melakukan prosedur sedasi sebelum memberikan perawatan
dental.

- Komplikasi dan Manifestasi Oral


Penyakit Parkinson seringkali dicirikan dengan keadaan mata yang melotot,
kelebihan saliva atau drooling, dan penurunan frekuensi berkedip dan menelan.
Kekakuan otot memicu gerakan otot berulang, sehingga menyulitkan pasien dalam
menjaga kebersihan mulut dengan adekuat. Sebaliknya, obat yang digunakan untuk
mengontrol penyakit ini (antikolinergik, dopaminergik, amantadin, dan L-dopa)
sering mengakibatkan terjadinya xerostomia, mual, dan tardive dyskinesia.
Penderita parkinson harus rutin mengunjungi dokter gigi dan tindakan khusus (sikat
gigi khusus — mis. sikat gigi Collis curve, sikat gigi mekanik) harus dilakukan
untuk menjaga kebersihan mulut secara adekuat. Jika pasien menderita xerostomia,
yang memungkinkan terjadinya disfagia dan retensi gigi tiruan buruk. Penggunaan
saliva artifsial bertujuan untuk meringankan gejala. Topical fluoride sebaiknya
digunakan pada pasien dengan xerostomia untuk mencegah karies gigi. Pengasuh /
babysitter pribadi pasien harus dilatih agar dapat membantu pasien dalam menjaga
kebersihan mulutnya.

5. Multiple Sclerosis
Multiple sclerosis adalah penyakit autoimun yang umumnya terjadi pada sistem saraf.
Hal ini ditandai dengan adanya demielinasi kronis yang terjadi secara terus menerus pada
neuron-neuron yang terdapat di saluran kortikospinalis di dua atau lebih daerah otak, 85%
pasien datang dengan gejala yang mengalami relaps dan remisi. Daerah demielinasi hanya
terjadi pada daerah white matter dari sistem saraf pusat dan terletak secara acak dan
multiple. Sedangkan, sistem saraf perifer tidak terkena penyakit ini.

Gambar 8. Multiple sclerosis. preventrikular "plak demielinasi" yang besar (wilayah gelap
di atas ventrikel kiri, panah hitam) dan “plak demielinasi” yang lebih kecil (panah putih)
lateral ke ventrikel kanan ditunjukkan pada bagian koronal otak pasien yang menderita
multiple sclerosis. (Courtesy Daron G. Davis, Lexington, Ky.)
 Epidemiologi
- Insidensi dan Prevalensi
Sekitar 380.000 orang di Amerika Serikat menderita multiple sclerosis;
prevalensinya sekitar 1 per 850 orang. Insiden multiple sclerosis telah meningkat
selama beberapa abad terakhir. Penyakit ini seringkali menyerang orang dewasa
muda yang berusia diantara 15 dan 50 tahun, di mana wanita dua kali lebih sering
terkena penyakit ini dibandingkan laki-laki. Prevalensi Multiple sclerosis tertinggi
yaitu pada daerah beriklim sedang (misalnya pada daerah dengan garis lintang utara
dan selatan), dan jarang terlihat di sepanjang garis khatulistiwa. Dokter gigi yang
telah menangani sekitar 2.000 pasien dewasa menduga bahwa 3 dari seluruh
pasiennya mengidap penyakit ini.

- Etiologi
Multiple sclerosis terjadi akibat proses inflamasi yang dimediasi oleh keadaan
autoimun di mana hal ini menyebabkan terjadinya demielinasi disertai cedera pada
akson saraf. Hingga saat ini, penyebab multiple sclerosis belum diketahui secara
pasti. Namun, hingga saat ini diketahui bahwa penyakit ini disebabkan oleh agen
infeksius. Beberapa abad lalu, beberapa mikroba (seperti: rabies, campak, herpes,
Chlamydia pneumoniae) diduga berkaitan erat dengan multiple sclerosis. Akan
tetapi, beberapa tahun terakhir, human herpes virus tipe 6 ditemukan di daerah
demielinasi aktif pada sistem saraf pusat pasien Multiple Sclerosis. Dihipotesiskan
bahwa virus neurotropik ini berkombinasi dengan faktor genetik inang sehingga
menghasilkan proses yang menyebabkan serangan yang dimediasi imun pada
mielin. Namun tidak semua orang yang terinfeksi human herpes virus tipe 6
mengalami multiple sclerosis, di mana hal ini menunjukkan adanya keterlibatan
faktor genetik dan faktor lingkungan lainnya. Konsisten dengan peran genetik,
tingkat kesesuaian antara kembar monozigot adalah 30%. Risiko meningkat ketika
human antigen leukocyte DR2 karier oleh orang Eropa utara.

- Patofisiologi dan Komplikasi


Demielinasi multiple sclerosis terjadi di daerah white matter yang tersebar di
otak. Kehilangan mielin berkisar mulai dari diameter 1 mm hingga beberapa
sentimeter. Daerah yang terkena penyakit menunjukkan inflamasi demielinasi dan
kerusakan akson dengan akumulasi makrofag, limfosit B dan T, dan sel plasma.
Secara khusus, T helper myelin reactive type 1 cells (Th1) yang menghasilkan
limfotoksin dan interferon serta gamma, akan tetapi hanya menghasilkan sedikit
interleukin 4 (IL-4) yang tampak pada daerah sentral dalam patogenesis penyakit
ini. Akibatnya, sitokin inflamasi dan imunoglobulin antimyelin turut serta dalam
proses pembentukkan lesi multiple sclerosis akut dan mendorong makrofag untuk
menyerang mielin. Hal ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada jaringan,
pembengkakan, serta kerusakan pada blood brain barrier. Area demielinasi atau
"plak" akan mengalami gangguan pada konduksi aksonnya sehingga, menyebabkan
kecacatan. Daerah demyelinisasi umumnya berupa saraf optik, periventrikular
cerebral white matter dan cervical spinal cord.
Komplikasi dari kerusakan akson yang disebabkan oleh multiple sclerosis
menyebabkan sekitar 50% pasien memerlukan bantuan orang lain, beberapa tahun
kemudian, sejak timbulnya gejala multiple sclerosis. Continued muscle atrophy
dapat menyebabkan pasien hanya terbaring di tempat tidur atau memerlukan
bantuan kursi roda Harapan hidup untuk pasien dengan multiple sclerosis sekitar
82,5% dari normal (sekitar 58 tahun).

 Gambaran Klinis
- Tanda dan Gejala
Tanda-tanda klinis pertama multiple sclerosis sering dimulai pada usia dewasa
muda. Tanda-tanda klinis bervariasi sesuai bagian CNS mana yang terlibat (motorik
atau daerah sensorik) dan sampai sejauh mana gangguan terjadi pada selubung
myelin. Gangguan pada fungsi visual (terkadang mengakibatkan kebutaan) dan
gerakan mata tidak normal (nystagmus dan double vision) adalah gejala yang paling
umum terlihat. Gangguan motor yang mempengaruhi cara jalan dan penggunaan
tangan (tidak terkoordinasi, spastisitas, kesulitan berjalan, kehilangan
keseimbangan dan vertigo, koordinasi atau pelemahan, tremor atau kelumpuhan
anggota badan) dan yang menyebabkan inkontinensia usus dan kandung kemih,
paresis kejang pada otot rangka (bicara tidak teratur atau tremor), dan gangguan
sensorik, termasuk kehilangan sentuhan, rasa sakit, suhu, dan propriosepsi (mati
rasa, pin dan sensasi tertusuk jarum), biasa terjadi. Kelelahan adalah gejala utama
(terjadi hingga 90%), dan memburuk pada sore hari. Gejala diperburuk oleh panas
(mandi air panas, paparan sinar matahari) dan dehidrasi dan umumnya muncul
beberapa hari sebelum stabil dan membaik beberapa minggu kemudian. Masalah
dengan konsentrasi juga terjadi. Hal khas yang terlihat yaitu onset dan rekurensi
penyakit selama beberapa tahun. Akan tetapi, hal ini masih dalam tahap penelitian
dan tergantung pada frekuensi serangan dan tingkat pemulihan. Ada empat kategori
yg digunakan untuk menggambarkan perjalanan penyakit: relaps-remitting (terjadi
pada 85% pasien), primary progressive, secondary progressive, dan progressive
relapsing. Pemulihan dalam kebanyakan kasus bersifat sementara karena
remyelinasi hanya bersifat sementara. Serangan berulang dapat menyebabkan
kerusakan fisik permanen; Namun, fungsi intelektual tetap utuh. Depresi dan
ketidakstabilan emosi umumnya juga menjadi gejala dari penyakit ini.

- Temuan Laboratorium
Diagnosis multiple sclerosis biasanya dibuat berdasarkan informasi yang
berasal dari riwayat, pemeriksaan klinis, CSF, potensi sensorik yang timbul, dan
magnetic resonance imaging (MRI) saat itu. Multiple sclerosis relapsing-remitting
didiagnosis ketika dua atau lebih serangan klinis terjadi pada pasien yang memiliki
dua atau lebih lokasi SSP yang terkena, atau lesi pada MRI baru muncul setelah
serangan klinis kedua. Penyakit ini juga didiagnosis setelah satu serangan klinis
ketika lesi pada MRI baru muncul.
- Scan MRI biasanya memperlihatkan beberapa daerah demyelinated hypodense
(plak) dalam materi (substansi) putih, biasanya dekat ventrikel (lihat Gambar 27-
10), batang otak cerebelum, dan saraf optik. CSF menunjukkan tanda-tanda
inflamasi tingkat rendah, dan kadar protein dan imunoglobulin meningkat pada 80%
hingga 90% pasien. Antibodi pada protein dasar myelin juga dapat dideteksi dalam
CSF. Penyebab destruksi mielin memperlambat kecepatan konduksi. Respon
konduksi terhadap rangsangan visual (potensi visual yang ditimbulkan) atau stimuli
somatosensori yang ditimbulkan biasanya tertunda dan berubah amplitudonya.

 Manajemen Dental
- Pertimbangan Medis
Dokter gigi berperan penting dalam membantu menegakkan diagnosis pada
pasien yang tidak diketahui mengidap multiple sclerosis. Pernyataan pasien
mengenai nyeri wajah yang abnormal (mimicking neuralgia trigeminal), mati rasa
pada ekstremitas, gangguan penglihatan, melemahnya otot-otot tubuh, diperlukan
dokter gigi untuk melakukan pemeriksaan neuromuskuler untuk mengenali
penyakit multiple sclerosis. Suatu penyakit harus dicurigai apabila penyakit
tersebut bersifat progresif, pasien berusia antara 20 dan 35 tahun, dan merasa lelah
pada sore hari. Setelah adanya gejala-gejala tersebut, maka sebaiknya pasien
tersebut harus dirujuk ke dokter spesialis saraf untuk menegakkan diagnosis.
Pasien yang mengalami sering mengalami kekambuhan sebaiknya menghindari
bentuk-bentuk perawatan gigi rutin. Perawatan gigi darurat dapat diberikan tetapi
bergantung pada jenis obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien.juga oleh obat yang
diminum pasien. Secara khusus, kortikosteroid bersifat imunosupresif, dan selama
prosedur bedah yang menyebabkan stres, pasien mungkin memerlukan peningkatan
dosis (lihat Bab 16). Harus dikonsultasikan ke dokter sebelum perawatan gigi
darurat diberikan kepada pasien ini.
Waktu optimal untuk merawat pasien dengan multiple sclerosis adalah selama
periode remisi. Perawatan gigi yang diberikan harus dipahami bahwa obat yang
diminum pasien ini dapat mempengaruhi praktik kedokteran gigi. Secara khusus,
antikolinergik (oxybutynin [Ditropan], tolterodine tartrate [Detrol]) dan
antidepresan trisiklik dapat menyebabkan mulut kering atau rasa terbakar yang
mungkin memerlukan bantuan penggunaan saliva pengganti. Jika bantuan
tambahan diperlukan, penggunaan pinus pilocar (lihat Lampiran C) dapat dilakukan
dengan sebelumnya berdiskusi dengan dokter.

- Modifikasi Rencana Perawatan


Perubahan rencana perawatan ditentukan oleh tingkat kelahan dan penurunan
fungsi motorik. Penderita yang menderita penyakit menetap ini dan sedikit
spastisitas atau kelemahan motorik dapat menerima perawatan dental rutin. Pasien
dengan penyakit lanjut lainnya mungkin memerlukan bantuan dalam menuju ke
dental chair, dan mungkin mengalami kesulitan dalam menjaga kebersihan rongga
mulut, dan merupakan kandidat yang buruk untuk prosedur rekonstruksi dan
prostetik. Karena kelelahan sering memburuk di sore hari, disarankan untuk
membuat janji pada pagi hari.

- Komplikasi dan Manifestasi


Manifestasi oral multiple sclerosis dilaporkan terjadi pada 2% hingga 3% dari
mereka yang terjangkit penyakit ini. Ciri ini dapat berfungsi sebagai gejala awal
multiple sclerosis. Ciri yang paling umum termasuk disartria, parestesia, mati rasa
pada struktur orofasial, dan trigeminal neuralgia. Disartria menyebabkan
pengucapan menjadi lambat, tidak beraturan dengan pemisahan suku kata yang
terpisah-pisah, seperti memindai dalam berbicara. Selama serangan berlangsung,
wajah pasien dapat mengalami paresthesia, dan otot-otot ekspresi wajah (terutama
periorbital) dapat terasa seperti berombak. Istilah myokymia digunakan untuk
menggambarkan gerakan otot yang tidak biasa yang menyerupai gerakan "bag of
worms." Disarankan untuk melakukan rujukan ke dokter jika kondisinya belum
terdiagnosis. Neuralgia trigeminal 400 kali lebih mungkin di antara individu dengan
multiple sclerosis dibanding di antara populasi umum lainnya. Pereda nyeri
neuralgia trigeminal dapat diperoleh menggunkan carbamazepine, clonazepam,
amitriptyline, atau operasi.

6. Tardive Dyskenia
Diskinesia adalah pada pergerakan otot secara tak sadar yang dapat berupa tremor
ringan hingga gerakan tak terkendali dari seluruh tubuh. Tardive dyskinesia (TD) adalah
bentuk dari dyskinesia, dimana terjadi gerakan tak terkendali dari wajah, bibir, lidah,
batang tubuh, dan ekstremitas akibat penggunaan obat antagonis dopaminergik
(antipsychotic drug [APD]) dalam jangka panjang. Namun, obat-obatan non-APD juga
dapat menyebabkan TD secara langsung maupun tidak langsung dengan mempengaruhi
neurotransmisi dopamin.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-V)
mengklasifikasikan TD sebagai gangguan pergerakan yang disebabkan oleh obat yang
dapat berkembang setelah penggunaan obat tertentu dalam jangka pendek maupun jangka
panjang, serta setelah penghentian, perubahan, atau pengurangan penggunaan obat
tersebut.

 Patofisiologi
Terdapat beberapa hipoetesis mengenai patofisiologi Tardive Dyskenia yaitu
blokade yang berkepanjangan dari reseptor dopamin post-sinaptik yang mengarah ke
supersensitivitas reseptor dopamin, penipisan gamma-aminobutyric acid (GABA),
defisiensi kolinergik, stres oksidatif, perubahan plastisitas sinaptik, neurotoksisitas, dan
rusaknya sinyal neuroadaptif.
Terjadinya blokade dopamin yang kronis mengakibatkan peningkatan respon
reseptor dopamin sehingga menghasilkan respons reseptor dopamin post-sinaptik yang
berlebihan terhadap dopamin. Selain itu, pemblokiran reseptor dopamin oleh
antidepresan menyebabkan terjadinya peningkatan sintesis dan metabolisme dopamin
di mana hal ini menyebabkan meningkatnya radikal bebas. Hal ini memicu terjadinya
stress oksidatif pada sel saraf.
Monoamin oksida (berupa enzim yang memetabolisme dopamin) beserta
dopamin dapat menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid dan perubahan enzim
antioksidan yang dapat menyebabkan kematian sel. Ganglia basal dan nukleus
subkortikal (striatum dan substantia nigra) dipersarafi oleh neuron dopamin sehingga
daerah ini sangat berisiko mengalami stress oksidatif dan mengalami tardive dyskenia.
Adanya dugaan bahwa faktor genetik juga menjadi salah satu faktor predisposisi
penyakit ini. Akan tetapi, faktor-faktor lainnya seperti lingkungan, usia, dan stress
oksidatif juga turut serta dalam menyebabkan penyakit ini. Pengaruh genetik terhadap
tardive dyskenia disebabkan oleh mutasi gen PIP5K2A. Mutasi pada gen ini
menyebabkan gen ini menjadi bersifat neurotoksisitas yang memicu terjadinya tardive
dyskenia.

 Etiologi dan Epidemilogi


Insidensi TD diperkirakan 2% -5% setiap tahun, dan kondisi ini terjadi pada 15-
30% pada mereka yang menggunakan APD dalam jangka panjang. Insidensi TD juga
dapat bergantung pada apakah APD tipikal (juga dikenal sebagai generasi pertama) atau
atipikal (juga dikenal sebagai generasi kedua) yang digunakan, dengan 32,4% kejadian
pada penggunaan APD tipikal dan 13,1% pada penggunaan APD atipikal. Dengan kata
lain penggunaan APD tipikal secara signifikan lebih terkait dengan TD dibandingkan
dengan penggunaan APD atipikal. Prevalensi TD lebih tinggi pada orang yang
menggunakan APD dalam periode waktu lama.

- Umur, Jenis Kelamin, dan Ras


Penggunaan APD tipikal dan atipikal, usia tua, jenis kelamin perempuan,
riwayat cedera otak atau demensia, gejala ekstrapiramidal awal, dan ras Afrika dan
Afrika-Amerika merupakan faktor-faktor risiko TD.
TD terjadi pada pasien muda dan tua. Sebuah studi tahun 2001 yang
mengungkapkan bahwa prevalensi TD akibat penggunaan APD tipikal pada remaja
jauh lebih rendah dibanding pada orang dewasa. Peningkatan resiko TD akibat
penggunaan APD atau obat untuk Parkinson di usia lanjut diakibatkan
meningkatnya neurodegenerasi terkait usia
Sebuah studi tahun 2004 mengungkapkan orang Amerika keturunan Afrika
lebih beresiko mengalami TD dibanding orang Amerika keturunan Eropa.
Sementara itu, studi tahun 2009 mengungkapkan bahwa Ras Asia memilki
prevalensi TD terkait penggunaan APD tipikal lebih rendah dibanding Ras
Kauskasia.
Berkenaan dengan jenis kelamin, kedua jenis kelamin rentan untuk mengalami
TD. Namun, insidensi TD lebih tinggi pada wanita. Sementara itu, wanita
pascamenopause memiliki risiko lebih tinggi terkena TD akibat kadar estrogen yang
berkurang, estrogen berfungsi untuk memodulasi dopamine-mediated behaviors
dan dapat menunjukkan efek antioksidan, yang dapat memproteksi tubuh dari TD.
Terdapat pengeculian untuk kasus TD yang terkait usia dalam insidensi sindrom
tardive, yang justru cenderung lebih sering terjadi pada pasien pria yang berusia
muda.
Go dkk mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan riwayat penyalahgunaan
obat, diabetes tipe 2, dan terapi electroconvulsiv dan resiko mengalami TD. Yassa
dkk menemukan bahwa prevalensi TD lebih tinggi pada individu yang merokok
meskipun terdapat penelitian lain yang mengungkapkan sebaliknya bahwa nikotin
justru dapat membantu meringankan gejala TD dan efek samping TD.

 Medikasi yang dapat Menyebabkan Tardive Dyskinesia


- Obat Antipsikotik
Obat anti-psikotik digunakan oleh pasien skizofrenia dan gangguan mental
serupa. Obat ini terdiri dari 2 jenis yaitu tipikal atau atipikal. APD tipikal
merupakan jenis yang paling berpotensi menyebabkan TD karena mengikat
reseptor dopamin D2 di mana hal ini menimbulkan berbagai efek samping yang
berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya TD. Butyrophenone tertentu seperti
haloperidol terbukti menyebabkan terjadinya dyskinesia dengan memicu masuknya
sitokin dan neurotransmitter proinflamasi. Sedangkan, potensi APD atipikal seperti
clozapine dan quetiapine dalam menyebabkan terjadinya TD tidak sebesar APD
tipikal.
APD atipikal berikatan lemah dengan reseptor dopamin D2 sehingga
menurunkan potensi TD. Akan tetapi, peranan APD atipikal baik dalam mengurangi
gejala TD ataupun meningkatkannya masih belum jelas. Meskipun APD atipikal
tidak serta merta mengurangi risiko TD, akan tetapi, sebagian besar praktisi
cenderung menyarankan agar pasien beralih dari APD tipikal ke APD atipikal untuk
mengurangi gejala TD. Namun, efektivitasnya masih belum bisa dipastikan secara
klinis. Selain itu, APD atipikal cenderung memiliki efek samping yang tidak
diinginkan, seperti penambahan berat badan dan sedasi.

- Agen Antikolinergik
Obat Antikolinergik seperti procyclidine digunakan untuk mengobati penyakit
paru obstruktif kronis, mengontrol fungsi kandung kemih, dan mengurangi gejala
penyakit Parkinson. Obat ini telah terbukti memperparah gejala TD dan merusak
fungsi kognitif. Namun, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 20 orang
pasien, 18 dari 20 pasien yang diresepkan antikolinergik menunjukkan adanya
peningkatan fungsi kognitif dan respons motorik di mana hal ini membuktikan
bahwa TD yang disebabkan oleh procyclidine bersifat reversible.

- Antidepresan
Antidepresan digunakan pada pasien depresi, cemas, gangguan obsesif-
kompulsif, dan attention deficit disorder serta digunakan untuk mengobati nyeri
kronis dan neuropatik. Secara umum, mekanisme kerja antidepresan adalah untuk
meningkatkan atau menstabilkan kadar monoamina (dopamin, serotonin, dan
norepinefrin) di otak. Prevalensi terjadinya TD yang disebabkan oleh antidepresan
lebih rendah dibandingkan APD. Namun, TD yang disebabkan oleh antidepresan
seringkali terjadi pada pasien lanjut usia dan cenderung mengalami komorbiditas.
Hal ini disebabkan oleh perubahan fungsi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
sekresi obat-obatan pada pasien lanjut usia sehingga paparan antidepresan jangka
panjang menyebabkan peningkatan akumulasi obat dan efek sampingnya.
Menurunnya efisiensi amine transmitter dan receptor signaling pada pasien
lanjut usia berkontribusi dalam menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.
Trazodone, doxepin, clomipramine, dan amitriptyline dapat menyebabkan
terjadinya TD pada pasien yang belum pernah mengonsumsi APD sebelumnya.
Gejala TD bergantung pada dosis obat dan dapat memburuk pada individu yang
memiliki riwayat penggunaan litium.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, SSRI dapat dikaitkan dengan TD.
Fluoxetine, khususnya, dapat menyebabkan TD atau gejala yang mirip dengan TD,
dan gejala-gejala ini dapat berlanjut hingga 1 tahun setelah penghentian
penggunaan obat. Pada kasus penggunaan sertraline (SSRI lain yang terkait dengan
TD), peningkatan usia adalah faktor risiko yang signifikan untuk perkembangan
gangguan ini, meskipun TD juga telah dilaporkan pada pasien remaja yang
menggunakan obat ini.
Monoamine oxidase inhibitor (MAOI) digunakan untuk mengobati depresi dan
penyakit Parkinson. MAOI menghambat metabolisme monoamina sehingga dapat
menyebabkan peningkatan atau stabilisasi kadar monoamina. 2 jenis monoamine
oksidase (MAO) yaitu tipe A (MAOA) dan tipe B (MAOB) yang diekspresikan
dalam hipotalamus, hippocampus, dan korteks cingulate. Sejumlah besar MAOB
(dan MAOA pada tingkat yang lebih rendah) diekspresikan dalam striatum dan
globus pallidus. Sedangkan, korteks hanya mengandung MAOA dalam kadar
tinggi. Tingginya MAOB yang diekspresikan pada daerah kaya dopamin (striatum),
maka MAOB seringkali diasosiasikan dengan TD.
Selegiline, MAOB inhibitor (mengurangi aktivitas enzim) yang selektif (hanya
mengikat MAOB) dan ireversibel (obat membentuk ikatan kovalen dengan enzim
yang tidak dapat diurungkan), diasosiasikan dengan TD ketika dikombinasikan
dengan LDOPA. Rasagiline, inhibir MAOB juga dikaitkan dengan TD, tetapi gejala
diskinesia yang terjadi lebih ringan dan dapat ditoleransi oleh pasien. Sedangkan,
Phenelzine, MAOI nonselektif (berikatan dengan MAOA dan MAOB) dan
ireversibel, berkorelasi kuat dengan TD.

- Antiemetik
Antiemetik diresepkan untuk nausea yang parah, refluks asam dan termasuk
antagonis dopamin, antagonis reseptor serotonin (5-HT3), antagonis neurokinin-1,
antihistamin, cannabinoid, benzodiazepin, dan antikolinergik.Metoclopramide
merupakan antagonis dopamin yang memiliki korelasi kuat dengan terjadinya TD.
Usia tua, jenis kelamin perempuan, riwayat diabetes mellitus, dan sedang
mengonsumsi metoklopramid selama lebih dari 12 minggu merupakan faktor risiko
yang dapat mengembangkan TD yang diinduksi metoklopramid.Metoclopramide
dikaitkan dengan respiratory dyskinesia dan dapat bermanifestasi pada TD dengan
gejala terengah-engah, pernapasan abnormal, dan gerakan esofagus yang tidak
teratur. Dalam sebuah uji klinis, penggunaan proklorperazin, APD yang dapat
digunakan untuk mengobati nausea dan vertigo, telah menghasilkan frekuensi TD
yang lebih tinggi daripada metoclopramide.

- Antikonvulsan
Agen antikonvulsan diresepkan untuk mengurangi kejang akibat epilepsi
dengan cara memblokir sodium channels atau meningkatkan fungsi GABA.
Diskinesia yang disebabkan antikonvulsan dianggap kurang terdiagnosis pada
pasien. Fenitoin juga terlibat dalam diskinesia dan penelitian juga telah
mengungkapkan dengan baik bahwa fenitoin terkait dengan TD.TD yang
disebabkan fenitoin paling sering dilaporkan pada anak-anak dan dewasa muda,
dengan 50% pasien berusia di bawah 20 tahun dan 20% lebih di atas 40 tahun.
Fenitoin memblok sodium channel, yang dapat menurunkan frekuensi berulang dari
potensi aksi yang berhubungan dengan epilepsi.Sebuah manuskrip tahun 1993 oleh
Harrison dkk berhipotesis bahwa penggunaan beberapa antikonvulsan sekaligus
dapat meningkatkan kemungkinan TD.Mereka berhipotesis bahwa fenitoin
terakumulasi di otak dengan penggunaan obat yang lebih lama dan pada konsentrasi
supratherapeutik dapat mengurangi masuknya kalsium dan dengan demikian
mengurangi pelepasan neurotransmitter dari neuron;berkurangnya kalsium dan
kalmodulin memengaruhi fosforilasi protein dan second messenger pathways;
mencegah peningkatan siklik adenosin monofosfat; dan meningkatkan konsentrasi
GABA.Bukti terbaru menunjukkan bahwa pada konsentrasi serum dan dalam
praktik klinis, fenitoin tidak mengubah GABA (baik presinaptik dan
postinaptik).Fenitoin juga dikaitkan dengan penurunan aktivitas
asetilkolinesterase.Bukti menunjukkan bahwa fenitoin dapat mempengaruhi
pensinyalan dopamin karena pasien dengan penyakit Parkinson yang sebelumnya
menerima fenitoin memiliki respons yang menurun terhadap LDOPA, meskipun
mekanisme pasti yang menyebabkan penurunan respons ini terjadi masih belum
jelas.

- Antihistamin
Antihistamin merupakan obat yang digunakan untuk mengobati gejala alergi
dengan memblokir reseptor histamin. TD disebabkan oleh penggunaan antihistamin
dalam jangka panjang. Penggunaan hydroxyzine dalam jangka panjang juga
dikaitkan dengan terjadinya TD. Pasien lanjut usia dengan riwayat penggunaan
fenotiazin (APD tipikal) memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk mengalami
TD setelah menggunakan hidroksizine.
Antihistamin dianggap sebagai obat yang harus digunakan dengan hati-hati
untuk penggunaan dalam jangka panjang. Ziprasidone merupakan APD atipikal
dengan afinitas yang tinggi untuk reseptor serotonin 2A dan dopamin D2 dan
cenderung menyebabkan TD selain itu, ziprasidone juga memiliki afinitas yang
tinggi terhadap reseptor adrenergik dan histamin. Hal ini menunjukkan bahwa
pemblokiran reseptor histamin dalam jangka panjang baik secara langsung dengan
antihistamin atau secara tidak langsung dengan APD dapat menyebabkan TD.

- Decongestants
Decongestant digunakan untuk mengobati gejala batuk dan flu dan terdiri dari
pseudoephedrie, phenylephrine atau derivat dari kedua obat tersebut. Obat-obatan
ini merupakan alpha-adrenergic agonist; di mana dapat meningkatkan mekanisme
obat norepinephrine dan epinephrine. Phenylpropanolamine adalah turunan
amfetamin yang digunakan sebagai obat peringan hidung tersumbat. Sebuah studi
tahun 1982 melaporkan distonia orofasial terjadi setelah penggunaan jangka
panjang dari dekongestan yang tidak dianjurkan. Antagonis alfa telah dikaitkan
dengan mengurangi diskinesia sehingga agonisalfa diharapkan akan memperburuk
gangguan pergerakan dan TD.

- Antimalaria
Berbagai agen antimalaria memiliki mekanisme aksi yang berbeda, sehingga
korelasinya dengan TD sulit dibedakan. Chloroquine adalah pengobatan pertama
yang digunakan untuk mencegah dan mengobati malaria. Obat ini bekerja dengan
memasuk ke sel darah merah pasien, berdifusi ke dalam sel parasit dan vakuola dan
mengakibakan peningkatkan pH serta menghambat proliferasi sel parasit internal.
Selain itu, juga menghambat biosintesis asam nukleat parasit. Amodiakuin dengan
mekanisme kerja yang serupa menyebabkan mekanisme kedua obat ini
menyebabkan terjadinya TD dengan mengganggu biosintesis neurotransmiter,
meskipun mekanisme ini kemungkinan tidak melibatkan sintesis protein yang
tergantung pada RNA. Hipotesis lain adalah demam yang berkaitan dengan malaria
dapat mengurangi jumlah amina otak (norepinefrin, dopamin, dan serotonin) karena
peningkatan suhu secara drastis yang disebabkan oleh malaria dan keadaan ini
diperparah oleh paparan antimalaria.

- Agen Antiparkinson
Agen antiparkinson digunakan untuk mengobati gejala penyakit Parkinson,
yang merupakan suatu gangguan neurodegeneratif jangka panjang yang
menyebabkan hilangnya kontrol motorik, hiangnya keseimbangan, kekakuan, dan
penurunan mental dan perilaku. Obat-obatan berfungsi dalam meningkatkan
dopamin dan mengurangi aktivitas asetilkolin di otak. L-DOPA merupakan salah
satu contohnya Sebagai prekursor dopamin, L-DOPA meningkatkan produksi
neuronal dopamin dan mengurangi gejala penyakit Parkinson.
L-DOPA induced dyskinesias (LID) terjadi pada pasien yang mengonsumsi
obat antiparkinson, terutama pasien yang baru mengidap penyakit Parkinson (50%
pasien 40-59 tahun vs 16% pasien 70 tahun), menunjukkan adanya aktivitas L-
DOPA di otak. Dosis L-DOPA yang lebih besar menyebabkan terjadinya TD dalam
waktu yang lebih lama dan lebih parah..
Pemberian L-DOPA yang tidak teratur dapat menyebabkan terjadinya dyskenia.
LID merupakan hasil dari disinhibisi korteks reseptor motorik primer; kelainan
pada alpha-2 adrenergic, serotonergic, cannabinoid, dan penularan opioid dan
kelainan pada protein FOS. Agen antikolinergik antiparkinson (trihexyphenidyl dan
orphenadrine) memblokir reseptor muskarinik asetilkolin dan mengurangi aktivitas
saraf kolinergik, yang memperbaiki ketidakseimbangan dopamin dan asetilkolin di
otak, terutama striatum. Keseimbangan dopamin dan asetilkolin diperlukan untuk
fungsi normal. Karena itu, ketidakseimbangan salah satu dari neurotransmiter ini
akan berdampak pada sistem lainnya. Eksperimen telah menunjukkan bahwa
asetilkolin dapat mempengaruhi keparahan gerakan abnormal pada TD.

- Anxiolytics
Anxiolytics adalah obat yang digunakan untuk mengobati kecemasan.
Barbiturat dan Benzodiazepin (agonis GABA) berfungsi untuk sedasi pada pasien
kejang, GABA adalah neurotransmitter penting dalam fungsi motorik sehingga
ketidakseimbangan antara GABA dan dopamin dapat mengakibatkan TD terkait
anxiolytics. Penghentian Benzodiazepi secara tiba tiba dapat menyebabkan
diskinesia. Meprobamate, sebuah karbamat yang berikatan dengan reseptor GABA,
digunakan untuk menginduksi sedasi dan mengurangi atau mengubah persepsi
nyeri. Karena meprobamate berikatan dengan GABA, TD kemungkinan terjadi
melalui mekanisme yang mirip dengan benzodiazepin.

- Amine Biogenik
Amine biogenik adalah molekul organik yang berasal dari asam amino yang
ditemukan di hampir semua makanan yang kita makan. Kategori molekul ini
termasuk monoamina seperti histamin, serotonin, norepinefrin, dopamin, dan
epinefrin. Amine tyramine biogenik ditemukan dalam keju yang sudah busuk,
daging yang diawetkan, makanan yang diasinkan atau difermentasi, alkohol, dan
cokelat. Individu yang menggunakan pengobatan MAOI jangka panjang sebagai
obat depresi perlu berhati-hati ketika mengkonsumsi makanan tyraminerich karena
tyramine dimetabolisme oleh MAOI. Penumpukan tyramine dalam darah dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah. Sementara TD tidak secara langsung
dikaitkan dengan peningkatan aliran darah, tekanan pada tubuh dari peningkatan
aliran darah mungkin cukup untuk menginduksi komplikasi lebih lanjut dengan cara
yang mirip dengan hubungan antara TD dan demam malaria dibahas sebelumnya.
Efek-efek ini, di samping akumulasi monoamina di otak dari perawatan MAOI,
dapat menyebabkan TD.

- Mood Stabilizers
Mood stabilizer digunakan untuk mengobati gangguan bipolar, borderline
personality disorder, dan gangguan schizoafektif. Termasuk lithium,
antikonvulsan, dan APD. Lithium merupakan elemen alami, tetapi digunakan dalam
bentuk garamnya untuk mengobati gangguan ini. Lithium mengurangi rangsang
neurotransmisi dan meningkatkan neurotransmisi inhibitor. Sementara terdapat
hubungan antara lithium dan TD,sedangkan insiden TD lebih banyak terjadi ketika
penggunaan lithium dikombinasikan dengan APD.
Bukti juga menunjukkan bahwa individu dengan gangguan bipolar yang
menggunakan APD lebih sensitif terhadap berkembangnya TD dibandingkan
dengan orang lain yang tidak menggunakan APD. Orang-orang ini cenderung
memilih APD dosis rendah, namun gejala TD muncul lebih cepat daripada pada
pasien dengan kondisi lain seperti skizofrenia dan depresi.
- Stimulan
Stimulan berfungsi untuk meningkatkan kewaspadaan, energi, dan konsentrasi.
Stimulan seperti kafein, nikotin, guarana,ginseng, amfetamin legal, efedrin, dan
amfetamin illicit dan metamfetamin telah dikaitkan dengan TD. Kafein merupakan
reseptor antagonis adenosin. Dosis tinggi kafein (1.000þ mg) dapat menyebabkan
seseorang mendapatkan gejala eksaserbasi TD meskipun dengan dosis rendah (100
mg) justru efektif mengurangi diskinetik. Penggunaan terus menerus pil diet
norpseudoephedrine sebagai penekan nafsu makan dapat menyebabkan sindrom
diskinetik bahkan setelah dihentikan. Penggunaan amfetamin illicit dan
metamfetamin dapat menimbulkan efek neurotoksik amfetamin pada dopaminergik
di area otak sehingga dapat menyebabkan diskinesia.

 Tardive Dyskenia dan Fungsi Stomatognatik


- Disfagia
Disfagia disebabkan oleh penutupan bibir yang tidak adekuat dengan gangguan
kontrol lidah yang abnormal yang mengakibatkan makanan jatuh sebelum
waktunya ke faring. Pada pasien TD didapati juga peningkatan disfagia ketika
gerakan tidak terkontrol yang timbul secara tiba – tiba terjadi yang disebabkan
karena penurunan fungsi penutupan katup epiglotis sehingga aspirasi sering terjadi.
Pasien mampu mempertahankan gerakan lidah, tetapi terkadang terdapat
gerakan lidah yang tiba- tiba terjadi pada dasar mulut. Disfagia dapat menurun
ketika obat yag digunakan oleh pasien dihentikan penggunaannya. Ini dibuktikan
dengan peningkatan penelanan yang baik secara subjektif maupun radiografi.
Pemberian benzhexol, digunakan secara bertahap hingga maksimum 21 mg per
hari. hal tersebut terbukti dapat meringankan ganguan penelanan pada pasien TD.

- Pengunyahan
Pasien yang menderita TD memiliki masalah dalam pengunyahan yang
biasanya dikaitkan dengan Bruxism .terjadinya gerakan tidak sadar yang biasanya
selama pasien beristirahat yang terjadi berulang ulang.
 Pencegahan
Tidak tersedia pengobatan yang disetujui FDA untuk TD serta penyebabnya
yang belum pasti. Solusi yang pasti adalah menghentikan obat-obatan tersebut jika
memungkinkan. Namun, menghentikan pengobatan secara tiba-tiba cenderung
menimbulkan gejala withdrawal yang dapat memfasilitasi onset TD atau withdrawal-
emergent diskinesia. Dyskinesia Identification System Condensed User Scale
(DISCUS) digunakan untuk menilai gerakan diskinetik dibanding mendiagnosisnya.
Skala memiliki 7 bagian yang harus terjawab: (1) gangguan gerakan penilaian wajah,
mata, mulut, bahasa,kepala / leher / batang, tungkai atas, dan tungkai bawah; (2)
memberi skor instruksi untuk menilai kelainan pergerakan (misalnya, 0 [tidak ada]
sampai 4 [parah] atau tidakdinilai); (3) tingkat kerjasama individu dengan pemeriksaan
(mis. tidak ada, sebagian, penuh); (4) jenis pemeriksaan dan tanggal (mis. baseline,
tahunan); (5) medikasi obat psikotropika saat ini; (6) evaluasi dokter; dan (7) komentar.
Beberapa penelitian telah mendukung kelebihan skala ini dan menyarankan bahwa
postur dan gerakan terpilih dapat diukur untuk memprediksi TD menggunakan
DISCUS.
Secara keseluruhan, pencegahan adalah metode terbaik untuk mencegah TD.
Sebelum memberikan pasien APD atau obat pemicu TD lainnya, dokter harus
mendiskusikan risiko dengan pasien dan meresepkan dosis serendah mungkin yang
terkait dengan TD.

 Medikasi dan Suplemen yang Digunakan untuk mengobati Tardive Dyskenia


Clozapine adalah antagonis reseptor serotonin dan dopamin yang merupakan
APD atipikal yang digunakan untuk mengobati skizofrenia.Clozapine sampai saat ini
dianggap sebagai obat terbaik yang direkomendasikan untuk pasien yang menderita
TD, karena clozapine telah dilaporkan dapat mengobati gejala TD.Clozapine telah
dikaitkan dengan TD; namun, insidensinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan
APD atipikal lainnya.Obat-obatan dengan mekanisme aksi yang sama seperti
quetiapine (antagonis striatal dopamin yang lemah) dan olanzapine (antagonis reseptor
dopamin dan serotonin), juga terbukti efektif dalam mengobati gejala TD.
Apomorphine adalah antagonis reseptor dopamin yang dapat diberikan bersamaan
dengan L-DOPA untuk mengurangi gejala diskinesia.
Analog Tetrabenazine. Tetrabenazine adalah inhibitor transporter monoamine
vesikular yang dapat mengurangi tingkat keparahan gejala TD.Namun, tetrabenazine
dimetabolisme harus sering diberikan.Analog tetrabenazine seperti valbenazine, a (+)-
α-isomer tetrabenazine, telah disetujui untuk uji klinis dalam pengobatan TD.Dalam
fase IIb uji klinis acak, paralel, double-blind, placebo-controlled dengan TD sedang
hingga berat, 67% pasien yang diobati dengan valbenazine dilaporkan ''much improve''
atau "very much improved" dalam Abnormal Involuntary Movement Scale score
Clonazepam. Meskipun beberapa benzodiazepin tertentu dapat menyebabkan
TD, bukti menunjukkan bahwa beberapa benzodiazepin mungkin bermanfaat dalam
mengobati TD.Sharma’s proposed guidelines untuk mengobati TD memasukan
clonazepam dan terbukti berhasil pada pasien yang menderita gejala TD dengan riwayat
penggunaan trifluoperazine (APD tipikal) jangka panjang , citalopram,
trihexyphenidyl, dan propranolol.Sebuah case report yang diterbitkan pada tahun 2001
terkait mengungkapkan bahwa penggunaan clonazepam 2 mg / hari selama 1 tahun
berhasil mengurangi gejala TD pada seorang wanita berusia 66 tahun
Propranolol. Propranolol adalah antagonis reseptor beta-adrenergik yang
digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, aritmia jantung, dan migrain.Sebuah
studi retrospektif pada 47 pasien dengan TD yang persisten selama 17 bulan setelah
penghentian APD mengungkapkan bahwa propranolol dosis rendah tampaknya
ditoleransi dengan baik pada populasi pasien ini, dan 64% dari pasien merasa ada
pengurangan gejala TD yang mereka derita.
Amantadine. Amantadine adalah antagonis reseptor glutamat nonkompetitif.
obat ini bekerja dengan meningkatkan pelepasan dopamin presinaptik dan memblokade
pengambilan kembali dopamin presinaptik. Amantadine telah terbukti efektif dalam
mengobati TD yang diinduksi L-DOPA pada pasien dengan penyakit Parkinson.
Branched-Chain Amino Acids. Branched-chain amino acid (BCAA) dilaporkan
dapat mengurangi gejala TD karena dapat menurunkan fenilalanin plasma dengan
merangsang sintesis protein dan pelepasan insulin.BCAA juga dapat mengurangi
akumulasi tirosin, asam amino lain dan prekursor penting untuk dopamin, yang
mereduksi sintesis dopamin dalam sistem saraf.Yang paling penting, BCAA juga
tampaknya efektif untuk mengurangi gejala TD pada pasien yang sedang mengonsumsi
obat APD atau pasien yang memiliki riwayat penggunaan APD.BCAA tersedia di
pasaran dalam sediaan bubuk rasa untuk dicampur dengan air, sehingga dapat menjadi
pengobatan yang bermanfaat, praktis, dan murah untuk mengobati TD.
Ginkgo Biloba. American Academy of Neurology merekomendasikan
clonazepam dan ginkgo biloba (ekstrak daun pohon ginkgo biloba) untuk digunakan
sebagai suplemen makanan guna meningkatkan fungsi kognitif dalam mengobati TD.
Obat dan Suplemen Antioksidan. Karena bukti yang menunjukkan bahwa stres
oksidatif dapat berkontribusi dalam mengobati TD, beberapa obat dan suplemen
antioksidan semakin banyak digunakan untuk mengobati TD seperti zonisamide, yi gan
san (ramuan Cina), levetiracetam, melatonin, asam lemak omega-3, piracetam,
resveratrol, vitamin B6, dan vitamin E.penelitian komprehensif pada obat-obatan ini
tersedia dalam jurnal review tahun 2015 oleh Lerner dkk.

 Gambaran klinis Tardive Dyskenia yang Memengaruhi Wilayah Orofasial


Pada pasien TD gerakan perioral adalah yang paling umum (mis., lidah, bibir,
rahang), maka digunakan istilah alternatif yaitu oral-lingual; orofacial; oro-bucco
fasial; dan mastikatori bukal-lingual diskinesia.
Di regio orofasial, TD bermanifestasi sebagai gerakan mengunyah berulang-
ulang yang terjadi pada otot-otot wajah dan pengunyahan, kadang-kadang dengan
mulut terbuka, mengeluarkan lidah (dikenal sebagai "fly-catcher tongue”), bibir
mengerucut, gerakan menghisap pipi. Gerakan ritmis bibir, pergeseran dagu dari sisi ke
sisi dan menjentikkan lidah merupakan pergerakan klasik bucco-lingual-facial
dyskinesia. Kebiasaan menggerakkan dagu dari sisi ke sisi biasanya dilakukan pula oleh
pasien dengan gigi palsu yang tidak pas.

 Implikasi Dental
Nyeri orofasial dapat terjadi akibat trauma kronis antara mukosa dan gigi tiruan
yang terjadi selama gerakan abnormal berulang rongga mulut dan lidah saat TD
melibatkan wilayah orofasial. Trauma gigi tiruan pada denture bearing tissue dan
pergerakan lidah berulang-ulang dengan struktur oral lainnya dapat menyebabkan nyeri
orofasial pada TD.
Keluhan rasa sakit yang melibatkan lidah (yang disebabkan oleh tardive
dyskinesia) juga dilaporkan melibatkan gigi dan langit-langit mulut. Kami
menyimpulkan bahwa rasa sakit ini mungkin akibat dari trauma yang mengenai lidah
yang terjadi secara berulang-ulang. Gerakan lidah ke permukaan palatal secara berulang
juga dapat menyebabkan lepasnya epitel mukosa serta dapat mengganggu fungsi bicara
dan makan.
Dalam beberapa kasus TD, kesulitan pemakaian gigi palsu dihasilkan dari
gerakan mengunyah mulut dan rahang yang terus menerus sehingga kesulitan untuk
mendapatkan cetakan denture bearing tissue pada pasien dengan TD (ketika ada
keterlibatan daerah orofasial). TD tidak hanya membuat penggunaan prostesa lepasan
menjadi lebih sulit, dapat juga membuat komunikasi dan makan menjadi sulit. Prosedur
dental sederhana terbukti sulit untuk dokter bedah mulut. Ekstraksi dan operasi
pencabutan gigi yang diindikasikan bahkan harus dilakukan dengan anestesi
umum.Pasien kemudian dipulangkan dengan instruksi pasca operasi yang termasuk
resep NSAID untuk rasa sakit. Dan kunjungan selanjutnya dalma 15 hari untuk
konsultasi pasca operasi dengan kekhawatiran mengenai "dry socket." Pemeriksaan
klinis dan radiografi menunjukkan proses penyembuhan yang normal. Soket ekstraksi
diirigasi dengan chlorhexidinegluconate, dan pasien dipulangkan tanpa komplikasi.

7. Bell’s Palsy
Bell's palsy adalah kelumpuhan akut, ipsilateral, saraf wajah (CN VII) dari etiologi
yang tidak diketahui yang menyebabkan lemahnya platysma dan otot-otot ekspresi wajah.

Gambar 9. Bell’s palsy dengan hemiparalisis wajah bagian kanan


 Epidemiologi
Bell's palsy adalah gangguan paling umum yang mempengaruhi saraf wajah dan
bertanggung jawab untuk sekitar 80% dari semua mononeuropati wajah. Sindrom
Ramsey Hunt, merupakan komplikasi dari infeksi virus varicella-zoster, adalah
penyebab kedua kelumpuhan hemifacial. Studi epidemiologis melaporkan bahwa Bell's
palsy memengaruhi 11-40 orang per 100.000 setiap tahun, dengan onset puncak
biasanya antara usia 15 dan 50 tahun. Di Amerika Serikat saja, lebih dari 60.000 kasus
didiagnosis setiap tahun, dengan tingkat kejadian yang serupa dilaporkan di antara laki-
laki dan perempuan. Wanita hamil, sering selama trimester ketiga dan periode
postpartum awal, juga telah terbukti memiliki insiden dan risiko Bell’s palsy yang lebih
tinggi - hingga 3 kali lebih besar dibandingkan dengan populasi umum. Kelompok
rentan lainnya termasuk penderita diabetes, lansia, dan pasien dengan hipotiroidisme.

 Anatomi

Gambar 10. A: Diagram inerfasi motorik dari saraf wajah. B: Diagram parasimpatetik.

Pengetahuan tentang perjalanan dan fungsi saraf wajah (CN VII) sangat penting
untuk memahami patofisiologi Bell's palsy. Saraf memberikan persarafan motor eferen
ke otot-otot wajah, stapedius, dan posterior otot-otot digastrik. Selain itu, serabut
sensorik dan parasimpatis berjalan bersama saraf wajah. Serat parasimpatis ini
memasok kelenjar lacrimal melalui saraf petrosal superfisial yang lebih besar, dan
kelenjar submandibular melalui chorda tympani. Oleh karena itu tidak mengherankan
bahwa semua serat ini rentan terhadap kelumpuhan jika saraf wajah terkena.
CN VII memasuki tulang temporal di meatus akustik internal, berlanjut melalui
kanal fallopi, dan keluar melalui foramen stylomastoid. Bagian tersempit dari saluran
falopii adalah di ujung lateral kanalis auditorius internal. Mekanisme yang paling
mungkin dari Bell's palsy adalah proses inflamasi saraf wajah yang mengarah ke
kompresinya di sepanjang segmen sempit kanal fallopi ini. Peradangan ini awalnya
menyebabkan hilangnya sementara fungsi sensorik atau motorik, tetapi dapat
menyebabkan degenerasi saraf permanen kemudian.

 Mekanisme dan Etiologi


Mekanisme Bell's palsy telah menjadi bahan perdebatan sengit selama beberapa
dekade, dengan penyebab neuropati yang tersisa sulit dipahami meskipun ada beberapa
teori yang diajukan. Satu teori menggambarkan BP sebagai penyakit demielinasi akut,
yang mungkin memiliki mekanisme patogenik yang mirip dengan sindrom Guillain-
Barré. Telah disarankan bahwa mereka berdua mewakili neuritis demielinasi inflamasi
di mana BP dapat dianggap sebagai varian mononeuritik Guillain-Barré.
Berdasarkan laporan baru-baru ini, dugaan etiologi bisa disebabkan oleh
reaktivasi infeksi virus herpes laten di ganglia geniculate, dan migrasi mereka
selanjutnya ke saraf wajah. Virus herpes simpleks 1 (HSV-1) dan virus herpes zoster
(HZV) mungkin merupakan agen penyebab, dengan HZV diyakini sebagai virus yang
lebih agresif karena menyebar ke seluruh saraf melalui sel-sel satelit. Laporan-laporan
ini sesuai dengan temuan sebelumnya dari Murakami et al., Yang berhasil mengisolasi
DNA HSV-1 dari cairan endoneural saraf wajah dengan reaksi rantai polimerase (PCR)
selama fase akut Bell's palsy. Seperti yang disebutkan sebelumnya, literatur mendukung
gagasan peradangan yang dimediasi virus herpes simpleks yang mengarah ke kompresi
saraf dan fitur klinis seperti kelumpuhan wajah.
Baru-baru ini, vaksin intranasal influenza (flu) yang tidak aktif juga telah
dikaitkan dengan Bell's palsy. Mutsch et al. melakukan studi kasus-kontrol yang cocok
dengan case-series analysis, di mana mereka melihat apakah 773 pasien Bell's palsy
juga telah menerima vaksin flu. Setelah menyesuaikan variabel lain, mereka
melaporkan bahwa hubungan temporal dan spesifik yang kuat memang ada, risiko
mengembangkan Bell's palsy pada pasien yang menerima vaksin hampir 19 kali lipat
dibandingkan kelompok kontrol tanpa vaksin flu. Penelitian Mutsch menemukan
insiden puncak Bell's palsy pada 31 hingga 60 hari setelah vaksinasi. Dari data itu, telah
disarankan bahwa aktivasi Bell's palsy bukan karena efek racun langsung dari vaksin,
tetapi lebih merupakan gangguan autoimun atau reaktivasi HSV. Perlu dicatat bahwa
vaksin tidak lagi digunakan secara klinis. Juga tidak ada hubungan kelumpuhan dengan
vaksin flu parenteral.
Penyebab infeksi lainnya dari Bell's palsy seperti, adenovirus, virus Coxsackie,
cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, influenza, gondong, dan rubella. Rickettsia adalah
penyebab infeksi yang langka. Penyebab non-infeksi Bell's palsy yang langka termasuk
proses autoimun seperti Hashimoto's encephalopathy, iskemia dari aterosklerosis yang
mengarah ke edema saraf wajah, dan berasal dari keluarga dengan 4% hingga 8% dari
Bell's pasien palsy dilaporkan memiliki riwayat yag terkait dengan gen.

 Bell’s Palsy dan Fungsi Stomatognatik


- Bicara
Orang – orang dengan kelumpuhan wajah memiliki penurunan yang tidak
begitu signifikan terhadap kejelasan pengucapan, tetapi pasien Bell’s palsy lemah
dalam pengucapan konsonan labial khususnya “F”. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan oleh asimetri posisi bibir, sehingga sulit untuk menghasilkan aliran
udara lurus dan tajam melalui bibir, yang diperlukan dalam pengucapan huruf.

- Pengunyahan
Di antara individu dengan Bell’s palsy, hanya mengenai satu bagian yang
lumpuh sehingga menyebabkan pengunyahan unilateral dan lambat, pada sisi yang
tidak terkena retensi makanan di antara lengkungan gigi terjadi sangat sering
dikarenakan ketidakefisienan otot buccinator yang merupakan efek dari adanya
kelumpuhan pada satu sisi wajah.

- Penelanan
Tidak berfungsi dengan baiknya otot suprahyoid (posterior digastrik dan otot
stylohyoid) yang terletak di belakang mandibula yang dipersarafi oleh nervus
facialis. Orbicularis oris dan otot buccinator sangat penting untuk fase oral
menelan. Otot-otot ini dengan kuat menutup mulut untuk mencegah makanan
keluar, dan menahan makanan agar bersentuhan dengan gigi dan terjadi
penghancuran. Pada Bell's palsy, otot orbicularis oris dan buccinator tidak dapat
menahan penumpukan makanan pada sulcus anterior dan posterior. Akibatnya lebih
banyak makanan, terutama cairan, mengalir dari sisi bibir keluar rongga mulut.
Sehingga proses penelanan terjadi hanya sedikit.
 Diagnosis dan Pemeriksaan
Karena Bell’s palsy melibatkan saraf perifer wajah, seringkali terjadi gangguan
gerakan secara ipsilateral pada sisi wajah yang terkena, terkulainya daerah alis mata
dan sudut mulut, serta hilangnya lipatan nasolabial secara ipsilateral. Gejala terjadinya
Bell’s palsy yaitu adanya gerakan mata ke arah atas sebagai usaha kelopak mata untuk
menutup mata yang disebabkan oleh melemahnya fungsi orbicularis oculi di mana hal
ini merupakan tanda patognomonik.
Selain menyebarnya paralisis pada saraf wajah, Bell’s palsy dikarakteristikkan
dengan beberapa hal berikut, yaitu onset akut, di mana gejala akan tampak dalam
beberapa hari dan akan menetap selama 4 bulan. Berkembang dengan progresif dan
berkepanjangan, sering kambuh, dan tidak ada proses pemulihan yang menunjukkan
adanya proses neoplastik.
Bell’s palsy harus dibedakan dari paralisis fasial lainnya karena tingkat
kesalahan diagnosis yang terjadi sekitar 13-20%. Kondisi yang menyerupai Bell’s palsy
seperti neoplasma pada sistem saraf pusat, stroke, sindrom Guillain-Barre, sindrom
Ramsay Hunt, sindrom Melkersson-Rosenthal, penyakit Lyme, otitis media,
sarcoidosis, trauma pada saraf wajah, penyakit autoimun, seperti sindrom Sjogren, dan
penyakit metabolik seperti diabetes melitus. Bells’s palsy biasanya didiagnosis dengan
pengecualian, dan seluruh riwayat penyakit serta pemeriksaan fisik diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya ataupun lesi intrakranial. Fungsi telinga
harus diperiksa secara rutin dengan menggunakan tuning forks dan standard pneumatic
otoscopes. Bukti klinis adanya infeksi herpes zoster virus dapat membantu dalam
menegakkan diagnosis Bell’s palsy.
Modifikasi skala House-Brackmann merupakan alat klinis yang digunakan
untuk menentukan derajat paralisis wajah dan untuk memprediksi kemungkinan
terjadinya penyembuhan. Skala ini menilai ciri dan kesimetrisan wajah secara kasar
baik saat istirahat maupun selama melakukan gerakan. Penilaian mulai dari 1-6 dengan
yang terakhir ialah paralisis total. Pasien yang datang dengan beberapa gerakan wajah
yang dapat diamati dan incomplete paralysis diharapkan memiliki kesempatan untuk
sembuh. Sunnybrook facial grading system, Yanagihara grading system, dan Sydney
grading system menunjukkan daerah pilihan untuk skala House-Brackmann dan
kemiripan reliabilitas, meskipun skala House-Brackmann merupakan alat yang paling
sering digunakan dan diterima.
Pemeriksaan laboratorium dan rontgen secara tidak rutin diperlukan dalam
menegakkan diagnosis dan hanya direkomendasikan pada pasien yang mengalami
rekurensi atau apabila tidak terjadi perbaikan setelah 3 bulan menjalani terapi
pengobatan Bell’s palsy.
Pasien dengan Bell’s palsy direkomendasikan untuk dirujuk ke dokter ahli
neurologi atau ahli otolaringologi sesegera mungkin untuk menghindari timbulnya
kondisi neurologis yang lebih serius. Uji serologi untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya penyakit Lyme sangat penting di derah endemik. Bell’s palsy jarang terjadi pada
anak-anak dengan usia kurang dari 10 tahun, serta sekitar 50% dari kasus facial palsy
yang dilaporkan dalam kelompok ini disebabkan oleh penyakit Lyme.
Pemeriksaan Elektromiografi (EMG) dan konduksi pada saraf motorik wajah
dapat memberikan informasi mengenai viabilitas dari saraf yang terkena, sehingga
dapat membantu dalam menentukan jenis perawatan atau manajemen bedah yang
diperlukan oleh pasien. Studi Elektrodiagnostik ini memberikan informasi mengenai
jumlah potensial aksi yang dapat mempengaruhi kerja otot. Oleh karena itu, dari data
yang telah diperoleh, maka dokter gigi dapat mengestimasi jumlah akson yang hilang.
Pasien yang menunjukkan degenerasi akson yang lebih dari 90% sebaiknya menjalani
surgical decompression, sedangkan apabila degenerasi akson kurang dari 90% maka
prognosisnya akan baik. Sekitar 3 bulan pasca timbulnya gejala, maka jarum
elektromiografi dapat memberikan informasi mengenai tanda-tanda subklinis re-
inervasi, oleh karena itu, alat ini berperan sebagai indikator prognosis untuk menilai
kemungkinan pasien untuk sembuh.

 Manajemen
Karena penyebab pastinya masih belum diketahui, Bell's palsy tidak memiliki
pencegahan atau penyembuhan. Dengan demikian, upaya manajemennya dalam
setahun ini diarahkan untuk mengurangi peradangan saraf wajah dan atau mencegah
komplikasi kornea yang berasal dari paresis otot-otot wajah.
Melindungi kornea dari kekeringan dan lecet harus ditangani oleh dokter kepada
pasien melalui edukasi yang tepat. Kornea pasien dengan BP sangat berisiko menjadi
kering karena penutupan kelopak mata yang tidak sempurna dan penurunan produksi
air mata. Direkomendasikan pemberian resep tetes mata sebagai pelumas per jam dan
salep mata selama tidur. Sebagai tambahan, dokter harus siap untuk memberikan
dukungan psikologis pada tahap awal tatalaksana.
Baik terapi medis pilihan dan terapi optimal untuk Bell's palsy masih
dipertimbangkan, dengan beberapa randomized control trial (RCT) menunjukkan hasil
yang beragam. Dalam 2 dekade terakhir, penelitian banyak dilakukan, tidak hanya
menggunakan medikasi anti-herpetik, tetapi juga menggunakan teknik alternatif seperti
akupunktur dan terapi fisik. Pencarian untuk terapi alternatif ini dapat berasal dari data
awal yang gagal dalam menunjukkan efek signifikan obat dalam mengobati Bell's
palsy. Misalnya ulasan Cochrane dari 4 RCT yang dilakukan pada 2004, menunjukkan
kortikosteroid tidak lebih baik dari plasebo, dan review dari 3 percobaan lainnya pada
tahun yang sama juga menyimpulkan bahwa antivirus tidak memiliki efek dalam
menyembuhkan Bell's palsy.
Baru-baru ini, bukti meningkat mengenai dukungan penggunaan kortikosteroid
sebagai pengobatan pilihan. Penelitian memberikan hasil bahwa pasien yang menerima
pengobatan kortikosteroid mengalami penurunan yang signifikan dalam synkinesis
motorik selama follow up dibandingkan dengan rekan mereka lainnya.
Agen antivirus terhadap HSV juga telah banyak digunakan untuk mengobati
Bell's palsy, dan keefektifannya semakin diperdebatkan berdasarkan penelitian terbaru.
Beberapa penelitian tidak menemukan manfaat yang signifikan dari penggunaan terapi
antivirus dan kombinasi glukokortikoid. Baru-baru ini, meta-analisis jaringan dari 6
studi dengan total 1805 pasien dari tahun 1996 hingga 2008 menunjukkan bahwa
kombinasi kortikosteroid dengan antivirus memiliki manfaat yang luar biasa
dibandingkan kortikosteroid saja. Namun, karena temuan tidak mencapai signifikansi
statistik, penulis menyimpulkan bahwa prednison tetap menjadi pengobatan berbasis
bukti tunggal terbaik untuk Bell's palsy.
Literatur tidak menunjukkan konsensus untuk manfaat, atau indikasi untuk
operasi dalam perawatan Bell's palsy. Risiko yang terkait dengan dekompresi bedah
termasuk kejang, gangguan pendengaran unilateral, kebocoran CSF, dan cedera saraf
wajah. Karena itu dekompresi bedah pada saraf wajah tetap sangat kontroversial dan
hanya boleh dipertimbangkan dalam kasus refraktori, mengingat kualitas laporan yang
rendah dan tidak meyakinkan untuk digunakan. Meskipun disetujui penggunaannya
oleh beberapa penulis, akupunktur belum terbukti memiliki efek pada proses pemulihan
atau morbiditas jangka panjang dari Bell's palsy. Stimulasi saraf listrik adalah metode
yang diusulkan untuk mempercepat pemulihan pada pasien BP melalui stimulasi otot.
Studi lebih lanjut akan diperlukan untuk menilai penerapan klinis.

8. Cerebral Palsy
Cerebral palsy merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh kerusakan otak,
biasanya terjadi sebelum, selama atau segera setelah kelahiran. Cerebral palsy adalah
kelainan sistem saraf pusat (SSP) yang mempengaruhi gerakan, koordinasi, dan postur
tubuh secara permanen serta merupakan kelainan yang terjadi pada otak yang belum matur
(janin atau bayi yang sedang berkembang) di mana kelainan ini bersifat nonprogresif dan
tidak menular. Cerebral palsy tidak progresif dan tidak menular. CP juga tidak dapat
disembuhkan, meskipun edukasi, terapi dan teknologi terapan dapat membantu orang
dengan CP menjalani kehidupan yang produktif. Gangguan motorik CP seringkali disertai
gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi, perilaku, epilepsi serta masalah
muskuloskeletal sekunder.

 Epidemilogi
Census (2001) mengungkapkan bahwa lebih dari 21 juta orang di India
menderita salah satu jenis disabilitas. Salah satu bentuk disabilitas neuromuskuler yang
paling umum mempengaruhi anak-anak adalah cerebral palsy (CP), dengan insidensi
di seluruh dunia sekitar 2 hingga 2,5 per 1000 kelahiran.

 Etiologi

Faktor penyebab terjadinya cerebral palsy belum diketahui secara pasti. Sekitar
40-50% kasus CP diketahui penyebabnya sedangkan 30% kasus tidak diketahui
penyebabnya. Faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan CP terbagi menjadi penyebab
saat periode prenatal, perinatal, atau postnatal. Diperkirakan sekitar 70 hingga 80%
kasus CP berkaitan dengan faktor prenatal di mana asfiksia lahir bertanggung jawab
atas sejumlah kasus (sekitar 10%) dan sisanya disebabkan oleh kondisi pascanatal yang
dapat diidentifikasi.

Faktor risiko prenatal yang terkait dengan CP seperti hipoksia, kelainan genetik
dan kelainan metabolisme, multiple gestation, infeksi intrauterin, kelainan trombofilik,
paparan teratogenik, korioamnionitis, maternal fever, paparan racun, malformasi
struktur otak, terhambatnya pertumbuhan intrauterin, trauma abdomen, dan gangguan
pembuluh darah.
Faktor risiko perinatal yang berkaitan dengan CP seperti asfiksia, kelahiran
prematur (<32 minggu atau <2500 gram), blood incompatibility, infeksi pada janin, dan
kerusakan plasenta.
Faktor-faktor risiko pascanatal yang berkaitan dengan CP termasuk asfiksia,
kejang pada periode pascanatal, infark serebral, hiperbilirubinemia, sepsis, sindrom
gangguan pernapasan, penyakit paru-paru kronis, meningitis, perdarahan
intraventrikular, leukomalasia periventrikular, leukomalasia periventrikel, shaken baby
syndrome dan cedera kepala.

 Klasifikasi
Minear and the nomenclature and classification committee of the American
Academy of CP pada tahun 1956 menyajikan serangkaian skema klasifikasi potensial
yang tetap relevan selama bertahun-tahun. Sistem klasifikasi awal ini termasuk gejala
klinis yang luas dengan kategori untuk fisiologi (sifat kelainan motorik), topografi,
etiologi, fitur neuroanatomik, supplemental (associated) conditions, kapasitas
fungsional (keparahan) dan persyaratan terapi.
Pada tahun 1997, hallmark paper diterbitkan oleh Palisano dkk yang
menyediakan sistem klasifikasi baru untuk fungsi motorik kasar pada anak-anak dengan
CP yaitu gross motor function classification system (GMFCS). GMFCS ini memiliki
beberapa keterbatasan. Keterbatasan tersebut termasuk batas usia 12 tahun (sebelum
masa remaja) dan perlunya menggunakan penilaian tunggal untuk menggambarkan
kinerja rawat jalan anak di berbagai area dan jarak yang berbeda, menyebabkan
kecenderungan orang tua dan dokter untuk menilai anak berdasarkan kapasitas terbaik
yang mereka dapat lakukan dan bukan kinerja yang harus dilakukan karena terpaksa
menggunaan skala penilaian untuk memilih satu kategori. Masalah-masalah ini
dipertimbangkan dan ditangani dalam versi terbaru dari skala ini pada tahun 2007. The
GMFCS-expanded and revised (GMFCS-ER) merupakan GMFCS yang telah diperluas
serta direvisi dan memasukan anak-anak hingga usia 18 tahun. Klasifikasi menggunkan
sistem Gross Motoric Fungtional pada 5 level, dengan deskripsi keterampilan
disediakan untuk lima kelompok umur: kurang dari 2 tahun, 2 hingga 4 tahun, 4 hingga
6 tahun, 6 hingga 12 tahun dan akhirnya usia 12 hingga 18 tahun. Secara umum
disajikan dalam Gambar 1A hingga E.
Gambar 1A hingga E: Gross motor function classification system (GMFCS): (A) Tingkat I —
berjalan tanpa keterbatasan, (B) Tingkat II — berjalan dengan keterbatasan, (C) Tingkat III
— berjalan menggunakan hand-held mobility device, (D) Level IV — mobilitas dengan
keterbatasan yang menggunakan alat mobilitas bertenaga dan (E) Level V — diangkut dengan
kursi roda manual

The international classification of functioning (ICF) mengenai disabilitas dan


kesehatan dikembangkan oleh World Health Organization (WHO) dan disahkan
olehWorld Health Assemblypada Mei 2001. ICF mengkonseptualisasikan tingkat
fungsi seseorang sebagai interaksi dinamis antara kondisi kesehatan, lingkungan, dan
faktor pribadinya. ICF menggambarkan disabilitas sebagai disfungsi pada satu atau
lebih level ini: gangguan struktur tubuh (organ atau anggota badan) atau fungsi
(fisiologis atau psikologis), keterbatasan dalam aktivitas (pelaksanaan tugas atau
tindakan) dan keterbatasan partisipasi (keterlibatan dalam situasi kehidupan).
Pada tahun 2004, Graham dkk merancang functional mobility scale (FMS)
sebagai penilaian kinerja rawat jalan pada anak-anak dengan CP. Functional mobility
scale (FMS) adalah satu -satunya skala fungsional yang ada yang dapat
memperhitungkan fakta bahwa anak-anak dapat menunjukkan kemampuan rawat jalan
yang berbeda dan menggunakan alat bantu yang berbeda untuk berjalan di berbagai
jarak. FMS didapatkan melalui wawancara orang tua / pasien dan mengkategorikan
bantuan yang diperlukan (tidak ada, tongkat, kruk, alat bantu jalan, kursi roda) pada
anak berjalan untuk tiga jarak (5, 50 dan 500 yard, atau 5, 50 dan 500 m). Jarak tidak
diukur secara khusus, tetapi digunakan sebagai perkiraan untuk mewakili ambulasi
rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Rating diberikan untuk setiap kategori jarak
seperti yang diberikan dalam Gambar 2A sampai F. Rate C: Anak merangkak pada
jarak yang ditentukan; Rate N: Anak tidak dapat berjalan di jarak tertentu. Seorang anak
yang melakukan ambulasi secara independen untuk semua jarak dan pada semua jenis
permukaan akan diberi rating 6, 6 dan 6. FMS secara khusus membahas ambulasi dan
tidak dimaksudkan untuk menggantikan GMFCS, yang menilai mobilitas pada tingkat
yang lebih umum. FMS harus digunakan sebagai skala yang melengkapi GMFCS.

Functional mobility scale (FMS): (A) Peringkat 1 — menggunakan kursi roda, (B) Peringkat
2 — menggunakan alat bantu jalan atau frame, (C) Peringkat 3 — menggunakan kruk, (D)
Peringkat 4 — menggunakan tongkat, (E) Peringkat 5 — independen pada level permukaan
tertentu dan (F) Peringkat 6 — independen pada semua permukaan

Pada tahun 2006, Manual Ability Classification System (MACS) dirancang


untuk menggambarkan kinerja ekstremitas atas dalam kegiatan kehidupan sehari-hari
untuk anak-anak dengan CP. MACS juga dirancang sebagai skala lima kategori dan
levelnya meliputi:

 Level I: Menggunakan objek dengan mudah dan berhasil.


 Level II: Menggunakan sebagian besar objek tetapi dengan kualitas atau kecepatan
pencapaian yang agak berkurang.
 Level III: Menggunakan objek dengan kesulitan; butuh bantuan untuk menyiapkan
atau memodifikasi kegiatan.
 Level IV: Menggunaka pilihan objek terbatas yang mudah dikelola dalam situasi
yang disesuaikan.
 Level V: Tidak menggunakan objek dan memiliki kemampuan yang sangat terbatas
untuk menggunakannya bahkan untuk tindakan sederhana.

Pada tahun 2011, Communication Function Classification System (CFCS)


dirancang oleh Hidecker MJC, Paneth N dkk. Tujuan CFCS adalah untuk
mengklasifikasikan kinerja komunikasi sehari-hari dari seorang individu dengan CP ke
dalam salah satu dari lima level. Lima level tersebut meliputi:

 Level I: Penyampaian dan penerimaan yang efektif dengan mitra yang tidak dikenal
dan yang dikenal.
 Level II: efektif, tetapi penyampaian dan/atau penerimaan berjalan lebih lambat
dengan mitra yang tidak dikenal dan yang dikenal.
 Level III: Penyampaian yang efektif dan penerimaan yang efektif dengan mitra
yang dikenal.
 Level IV: Penyampaian dan / atau penerimaan yang tidak konsisten dengan mitra
yang dikenal.
 Level V: penyampaian dan penerimaan yang jarang efektif dengan mitra yang
dikenal.

 Diagnosis
Diagnosis CP tidak selalu mudah, tetapi diagnosis dini penting dalam hal
mengoptimalkan intervensi terapeutik. Observasi klinis dan laporan orang tua adalah
tahap awal dalam merumuskan diagnosis. Anak-anak yang secara parah terdampak,
atau yang memiliki faktor risiko diketahui, sering didiagnosis pada usia lebih dini
daripada anak-anak yang terdampak lebih ringan.
Tidak mungkin untuk mendiagnosis CP pada bayi kurang dari 6 bulan kecuali
pada kasus yang sangat parah. Riwayat kelahiran seringkali dapat menimbulkan
kecurigaan. Tanda-tanda utama yang secara kolektif dapat mengarah pada diagnosis CP
adalah delayed motor milestones, pemeriksaan neurologis yang abnormal, persistensi
refleks primitif dan abnormal postural actions.
Dalam banyak kasus, diagnosis CP tidak mungkin didapatkan sampai 12 bulan.
Pemeriksaan dan observasi berulang selama periode waktu tertentu mungkin
diperlukan dalam kasus-kasus ringan sebelum diagnosis dapat dibuat. Diagnosis
seringkali lebih mudah jika diketahui terdapat kerusakan otak yang didokumentasikan
dengan ultrasonografi kranial, computed tomography (CT) atau magnetic resonance
imaging (MRI).
Tes genetik dan tes metabolisme dilakukan jika ada bukti kerusakan atau
kompensasi metabolisme, dan riwayat keluarga dengan gangguan neurologis. Tes
untuk kebiasaan koagulopati (bleeding disorder) pada anak dengan stroke diperlukan.
Evaluasi lengkap anak dengan CP harus mencakup penilaian defisit terkait seperti
penglihatan, bicara dan pendengaran, profil sensorik, evaluasi oromotor, epilepsi dan
fungsi kognitif. Evaluasi ortopedi adalah sebuah keharusan karena ketidakseimbangan
dan kelenturan otot menyebabkan subluksasi / dislokasi pinggul, kelainan bentuk
equinus, kontraktur dan skoliosis.

 Manifestasi Dental
- Maloklusi
Tingkat prevalensi maloklusi telah dilaporkan antara 59 dan 92%, dengan sebagian
besar maloklusi diklasifikasikan sebagai Maloklusi Angles Class II dengan
peningkatan overjet dan overbite.Faktor risiko utama yang terkait dengan
keparahan maloklusi adalah CP, pernapasan mulut, bibir yang tidak kompeten dan
wajah panjang. Distribusi open bite semakin menurun dengan bertambahnya usia.
Pasien kejang mengalami peningkatan insidensi open bite. Tingkat maloklusi Kelas
II dan anterior open bite yang tinggi dapat dikaitkan dengan hipotonia otot orofasial
dengan postur lidah maju ke depan, refleks menelan yang buruk dan kebiasaan
mouth breathing yang sering.

- Traumatic Dental Injuries


Individu dengan CP memiliki prevalensi tinggi maloklusi Kelas II dengan gigi
insisivus maksila yang prominent, bibir yang tidak kompeten, kesulitan dalam
ambulasi dan peningkatan insidensi kejang, semua itu dapat menyebabkan trauma
dental pada individu dengan CP. Holan dkk menemukan adanya peningkatan
insidensi trauma dental pada populasi CP (57%). Terdapat penelitian lain yang
justru menemukan prevalensi lebih rendah (9,2-20%). Fraktur email dan dentin
adalah jenis cedera yang paling umum. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
prevalensi cedera dental traumatis pada individu dengan CP dan menerima
perawatan rehabilitasi adalah sama dibandingkan dengan orang yang tidak
disabilitas, tetapi mereka menerima lebih sedikit perawatan.

- Bruxism
Bruxism, kebiasaan menggerinda gigi adalah kejadian umum pada orang dengan
CP.Dalam kasus yang ekstrem, bruxism menyebabkan abrasi gigi dan permukaan
yang gigit datar. Prevalensi bruxisme yang tinggi pada individu yang menderita CP
telah dilaporkan dalam beberapa artikel. Ortega dkk menemukan bahwa bersamaan
dengan bruxism ada kebiasaan seperti pacifier-sucking, fingersucking, kebiasaan
menggigit objek dan tongue interpositioning. Minear WL berhipotesis bahwa
kebiasaan bruxism dalam populasi ini terkait dengan masalah dengan fungsi
dopamin dan tidak diatur oleh faktor lokal, seperti maloklusi. Hal ini menunjukkan
bahwa keausan gigi abnormal lebih erat kaitannya dengan tingkat perkembangan
mental yang rendah dengan tingkat keparahan CP. Tidak adanya propriosepsi dalam
periodonsium dibahas sebagai kemungkinan penyebab bruxism.

- Karies Gigi
Karies gigi merupakan penyakit multifaktor di mana berbagai faktor biologis,
ekonomi, budaya, lingkungan dan sosial saling berhubungan; insidensi karies pada
anak-anak dan remaja yang memiliki CP tinggi; sementara faktor-faktor yang
terkait dengan kejadian karies pada populasi CP mirip dengan yang mempengaruhi
populasi pada umumnya. Konsistensi makanan dan fungsi oromotor secara statistik
berpengaruh signifikan terhadap indeks DMF. Penilaian diukur untuk individu yang
mengalami gangguan parah, usia yang lebih muda, serta mereka yang diet cair.
Rehabilitasi, intervensi, dan pencegahan dini penting bagi individu-individu ini.

- Sialorrhea
Drooling saliva tampaknya merupakan konsekuensi dari disfungsi koordinasi
mekanisme menelan, yang mengakibatkan bertambahnya jumlah saliva di bagian
anterior rongga mulut dan keluarnya saliva dari mulut secara tidak disengaja.
drooling dapat menghasilkan efek negatif yang signifikan pada kesehatan fisik dan
kualitas hidup, terutama pada pasien dengan defek neurologis kronis. Tingkat
prevalensi sialore pada anak-anak yang mengalami CP dilaporkan berkisar antara
10 hingga 58%.

- Oral Hygiene
Kebersihan mulut yang buruk sering disebut sebagai masalah yang mempengaruhi
status kesehatan mulut individu yang menderita CP. Santos MT dkk
mengungkapkan bahwa semakin parah kerusakan neurologisnya maka semakin
sering refleks menggigit, dan akibatnya, semakin tinggi risiko penyakit mulut pada
populasi ini karena sulitnya menjaga kebersihan mulut yang adekuat.

- Erosi Dental
Sebagian besar gigi yang terkena dampak pada kelompok CP adalah molar atas
(54%), molar bawah (58%) dan insisivus atas (54%). Faktanya erosi gigi umum
terjadi pada pasien CP, dan dokter gigi harus waspada terhadap tanda-tanda awal
erosi gigi pada pasien cerebral palsy dan memberikan terapi pencegahan dan
rujukan yang tepat untuk diagnosis dan pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal untuk menghindari kerusakan permanen pada gigi.

- Defek Enamel
Sebagian besar defek email terletak secara simetris pada gigi insisivus dan molar
pertama decidui. Sekitar 42,4% anak-anak dengan defek email lahir prematur (<37
minggu) sedangkan hanya 23,2% dari mereka yang lahir pada usia kehamilan
normal. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam prevalensi
defek email yang ditemukan dalam kaitannya dengan berat lahir (p> 0,05).
Disimpulkan bahwa prevalensi tinggi pada defek perkembangan email ditemukan
pada anak-anak dengan CP. Prevalensi defek bervariasi dengan jenis gigi dan
dikaitkan dengan usia kehamilan.

- TMJ Disorder
Kehadiran CP, jenis kelamin laki-laki, keparahan maloklusi, mouth breathing dan
masa gigi bercampur diidentifikasi sebagai indikator risiko untuk tanda dan gejala
gangguan temporomandibular. Disimpulkan bahwa anak-anak dengan CP memiliki
peluang yang secara signifikan lebih besar untuk memiliki tanda dan gejala
gangguan temporomandibular.

 Cerebral Palsy dan Fungsi Stomatognatik


- Drooling
Selain gangguan motorik, keterbatasan kognitif, penurunan sensorik, lemah, dan
rasa nyeri (dalam berbagai tingkat keparahan) dapat mempengaruhi individu
dengan cerebral palsy. Selain itu, fungsi pengunyahan, bicara, dan penelanan juga
dipengaruhi. Gangguan pada lidah, pipi, dan bibir seringkali menyebabkan
terjadinya drooling yang berlebihan.
Hasil penelitian Miriam Yumi, dkk. (2016) menunjukkan bahwa ketika
dibandingkan dengan kelompok kontrol (kelompok sehat) pasien dengan cerebral
palsy menunjukkan adanya perbedaan nilai elektromiografi yang signifikan pada
seluruh otot (saat istirahat dan saat bekerja) antara pasien cerebral palsy dan
kelompok kontrol. Oleh karena itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien
cerebral palsy menunjukkan nilai abnormal pada semua situasi seperti saat istirahat,
saat membuka atau menutup mulut.

- Disfagia
Anak-anak dengan Cerebral Palsy memiliki masalah penelanan yang disertai
dengan drooling yang parah sebagai salah satu konsekuensinya. Pada pasien
cerebral palsy, disfagia seringkali dicirikan dengan masalah pada gerakan oral dan
fase penelanan faring yang lebih refleksif. Menurunnya kemampuan merencanakan
dan mengkoordinasi gerakan penelanan dengan ventilasi yang konsisten dengan
keterlibatan batang otak. Korelasi patologi klinis dengan perbedaan pola napas-
menelan dan memungkinkan risiko aspirasi.
Terjadinya drooling disebabakan oleh gangguan penelanan dan terjadi pada 10-
58% anak-anak dengan cerebral palsy. Beberapa bentuk perawatan terhadap
drooling pada anak-anak dengan cerebral palsy, seperti:
o Pada kasus posterior drooling (adanya akumulasi saliva di bagian atas lidah)
- < 3 tahun: terapi oral motorik, memberikan saran mengenai bahan
makanan yang dikonsumsi untuk menyelamatkan fungsi penelanan.
- > 4 tahun: terapi dengan botulinum toxin (kelenjar submandibula dan/atau
kelenjar parotis).
o Pada kasus anterior drooling (keluarnya saliva dari dalam mulut secara tidak
sengaja)
- < 3 tahun: terapi oral motorik untuk melatih keterampilan motorik
- 4 tahun: terapi dengan botulinum toxin (kelenjar submandibula)
 Perawatan Dental
- Akses Dental
Dalam ruang perawatan, lorong di area operasi harus direncanakan dengan
dimensi yang ditunjukkan pada gambar.

Ketika akan menemui anak-anak ini untuk pemeriksaan atau perawatan gigi,
dokter gigi harus mengetahui masalah yang dapat menyebabkan kesulitan dalam
pelaksanaanya dan bagaimana pendekatannya :

o Kekhawatiran: Banyak dari anak-anak ini tidak terbiasa bertemu orang asing
o Kesulitan komunikasi: Jika ada defek pada pendengaran, visual atau ucapan,
komunikasi di samping kursi dental harus dimodifikasi sesuai dengan keperluan.
o Kecerdasan rendah: hal ini dapat berkontribusi pada tinkat kesulitan untuk bekerja
sama.
o Konsentrasi yang buruk: Ini mungkin merupakan aspek yang berhubungan dengan
disfungsi otak, hal-hal kecil dapat mengganggu perhatian.
o Kejang: hal ini tidak umum terjadi dalam operasi dental karena anak akan menerima
obat untuk mengendalikan episode tersebut.
o Postur: Pasien ataksis perlu memiliki kursi yang sesuai untuk memberikan stabilitas
dan dukungan, sedangkan kejang dan athetoid membutuhkan lebih banyak
dukungan manual dan kontrol di kursi.
o Kemampuan untuk bekerja sama: Jika pasien dapat duduk di kursi dan membuka
mulutnya, ia dapat diperlakukan sebagai pasien normal. Mereka yang kurang dapat
mengontrol fisiknya membutuhkan bantuan lebih. konfidensi dan relaksasi dapat
mengatasi masalah pada beberapa pasien.

Kunjungan pertama: Dengan menjadwalkan pasien pada waktu yang ditentukan


(di awal hari / pagi hari) dan menyediakan waktu yang cukup untuk berbicara
dengan orang tua (atau wali) dan pasien sebelum memulai perawatan sehingga
dokter dapat membangun hubungan yang baik dengan mereka. Kunjungan pertama
atau kunjungan selanjutnya harus digunakan terutama untuk dokter gigi dan pasien
untuk berkenalan satu sama lain dan untuk membangun rasa saling percaya.
Pemeriksaan radiografi: Terkadang bantuan dari orang tua dan alat bantu dental
serta penggunaan alat imobilisasi mungkin diperlukan untuk mendapatkan film.
Panjang benang 18"(46 cm) dipasang melalui lubang yang dibuat di tab, untuk
memudahkan pengambilan film jika jatuh ke faring.
Posisi pasien: dental chair harus disesuaikan dengan hati-hati dan banyak dari
pasien ini lebih baik untuk dirawat dengan kursi yang melipat belakang untuk
memberikan posisi aman, terutama bagi mereka yang menderita ataksia. Pasien
dengan kejang yang melibatkan kepala dan leher akan membutuhkan lebih banyak
kontrol dan dukungan dan dapat duduk di lutut orang tua atau asisten dengan
bersandar di sisi bahu kanan.
Stabilisasi dan penjagaan postur pasien dapat dicapai melalui teknik-teknik
berikut:
o Posisi kepala dipertahankan di garis tengah oleh salah satu staf di atas
dukungan kepala (position device) yang terletak pada oksipital.
o Penjagaan organ atas yang bengkok dan disandingkan di garis tengah,
dengan bantuan tali Velcro.
o Penjagaan organ bawah yang bengkok dengan mengurangi sudut pinggul
menjadi 120º dengan menggunakan gulungan busa lembut sebagai alat
pemosisian, seperti penyangga di bawah lutut.
o Menjaga mulut terbuka dengan menggunakan alat mouth gate

Pada pasien dengan riwayat kejang, tindakan mendadak dapat memicu


kejang otot, sehingga tindakan yang disarankan harus dijelaskan dan anak
didorong untuk rileks terlebih dahulu. Mulut kemudian harus dibuka dengan
tekanan lembut oleh dokter gigi. Pelindung jari dapat digunakan dan yang
sederhana adalah bidal baja dengan tali atau rantai yang dipasang melalui
lubang yang dibor di dekat tepi untuk mencegah lepas dari mulut. Dianjurkan
untuk menggunakan cermin baja yang tidak akan pecah. Juga, kehati-hatian
harus dipertahankan ketika menggunakan instrumen tajam untuk menghindari
kerusakan pada jaringan lunak.

Untuk konservasi, penyangga mulut biasanya penting tetapi harus


diletakkan dengan kuat dan tidak dibiarkan dalam waktu yang cukup lama
karena otot-otot anak cepat lelah dan periode istirahat sangat penting. Tidak ada
alasan untuk anestesi lokal tidak boleh digunakan asalkan dapat diberikan
dengan aman. Penyemprotan air dan beberapa jenis alat suction sangat penting
karena pasien tidak dapat membilasnya dengan baik; retractor lidah bisa sangat
bermanfaat. Ketika menempatkan restorasi, mungkin sulit untuk menjaga area
kerja tetap kering, tetapi hal ini dapat dibantu dengan penggunaan rubber dam
clamp tanpa rubber damnya, untuk menahan gulungan kapas-wol di tempatnya,
dan memiliki kelebihan yaitu mudah untuk diaplikasikan dan diangkat. Clam
hanya dapat digunakan bersama dengan bantuan penyangga mulut.

Peralatan dental, baik ortodontik atau prostetik, hanya disarankan dalam


kasus-kasus disabilitas ringan dan tidak membahayakan. Setiap rencana
perawatan harus sederhana dan dalam batas toleransi bagi anak.

Praktek kesehatan mulut di rumah: Perawatan gigi di rumah harus dimulai


sejak bayi; dokter gigi harus mengajarkan orang tua untuk membersihkan gigi
insisive dengan lembut setiap hari dengan kain lembut atau sikat gigi bayi.
Untuk anak yang lebih besar yang tidak mau atau secara fisik tidak dapat bekerja
sama, dokter gigi harus mengajarkan orang tua atau wali teknik menyikat gigi
yang benar. Beberapa posisi yang paling umum digunakan untuk anak-anak
yang membutuhkan pertolongan dalam merawat kesehatan mulut sebagai
berikut :

o Anak yang berdiri atau duduk berada di depan orang dewasa sehingga
orang dewasa dapat menahan kepala anak dengan satu tangan saat
menggunakan tangan yang lain untuk menggosok gigi.
o Anak yang berbaring di sofa atau tempat tidur dengan kepala mengarah
ke belakang di pangkuan orang tua. Sama halnya dengan di atas, kepala
anak distabilkan dengan satu tangan, sementara gigi disikat dengan
tangan lainnya
o Kedua orang tua saling berhadapan dengan lutut saling bersentuhan.
Bokong anak diletakkan di pangkuan salah satu orang tua, dengan anak
menghadap orang tua itu, sementara kepala dan bahu anak berbaring di
lutut orang tua lainnya; ini memungkinkan orang tua pertama untuk
menyikat gigi.
o Pasien yang sangat sulit diatur dapat diisolasi di area terbuka dan
bersandar di brusher's lap. Pasien kemudian diimobilisasi oleh penolong
tambahan sementara orang yang lainnya menyikatkan gigi pasien. Jika
seorang anak tidak dapat diimobilisasi secara memadai oleh satu orang,
maka orang tua dan saudara kandung dapat diminta untuk membantu.
o Anak berdiri dan resistif ditempatkan di depan pengasuh sehingga orang
dewasa dapat menyelimuti kakinya di sekitar anak untuk menopang
tubuh sambil menggunakan tangan untuk menopang kepala dan
menyikat gigi.

Teknik yang sering direkomendasikan adalah metode scrub horizontal,


karena mudah dilakukan dan dapat menghasilkan hasil yang baik. Sikat gigi
listrik juga telah digunakan secara efektif oleh anak-anak disabilitas.

Selain kontrol kepala, hambatan umum untuk pembersihan mulut dan


perawatan gigi adalah gangguan tangan (yaitu pasien memegang tangan
pengasuh atau dokter gigi). Stabilisasi siku pasien dapat berkontribusi pada
pembersihan mulut, memberikan keamanan bagi pasien dan pengasuh dan
memungkinkan personel pendukung untuk membatasi pergerakan.

 Anestesi pada Pasien Cerebral Palsy


Anak-anak dengan CP datang untuk operasi dengan berbagai alasan, mulai dari
kondisi yang memerlukan bedah umum hingga yang memiliki intervensi khusus.
Prosedur-prosedur ini ditawarkan kepada pasien dengan kalangan luas dan dapat
diindikasikan untuk memperbaiki mobilisasi atau untuk memudahkan perawatan,
sesuai dengan tujuannya secara luas yaitu menatalaksana anak-anak dengan CP.
- Riwayat Medis: Sangat penting untuk mendapatkan riwayat medis yang akurat.
Suatu evaluasi untuk kondisi medis yang sudah ada sebelumnya harus dilakukan
sebelum melakukan tindakan terapeutik.

- Riwayat dental : Riwayat dental diperoleh dari wali atau orang tua yang membawa
pasien. Apa yang telah dilakukan di masa lalu dan bagaimana hal itu dilakukan
(dengan atau tanpa sedasi /anestesi umum) akan membantu memberi praktisi
pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana menatalaksana pasien.

- Kriteria untuk perawatan dental dengan anestesi umum: Pasien dengan kebutuhan
khusus memerlukan tingkat penilaian yang sama dengan pasien reguler.
Dokumentasi khusus tentang keberadaan karies, gigi yang tidak di restorasi,
impaksi, kalkulus yang membantu dalam merencanakan waktu untuk jadwal
perawatan dengan anestesi umum.
- Persetujuan: Formulir persetujuan untuk pemberian obat penenang dapat diberikan
kepada wali yang menemani pasien atau dikirim langsung ke wali / orang tua yang
sah jika wali / orang tua yang sah tidak hadir pada hari dilakukannya sedasi. Poin
yang perlu dicatat yaitu: Seberapa luas perawatan gigi yang perlu dilakukan?
Bisakah rencana perawatan pasien diselesaikan dalam satu sampai tiga kali
kunjungan dalam 2 jam sedasi atau akan mengambil perawatan dengan jumlah
waktu yang lebih lama? Seberapa mudah pasien ditatalaksana? Apakah pasien
cukup kooperatif untuk masuk ke dental chair dengan papoose board sendiri atau
dengan ajakan lembut oleh staf, atau apakah pasien agresif dan melakukan bahaya
fisik kepada anda, staf anda, atau dia /dirinya sendiri? Bagaimana kondisi medis
dan fisik pasien? Apakah pasien mengalami obesitas dan tidak dapat masuk ke
papoose board? Apakah pasien dianggap pasien ASA III dan bukan kandidat untuk
sedasi rawat jalan IV?

- Hari perawatan: Awalnya para wali diberi tahu mengenai tanggal sedasi dan diminta
untuk dapat melakukan panggilan telepon pada pagi itu. Informed consent
diterangkan, termasuk prosedur yang diusulkan dan opsi lainnya. Obat-obatan
intravena: Obat harus disetujui mengenai tingkat kenyamanan praktisi dan cocok
dengan sedang hal yang akan dilakukan dari perspektif perawatan dental dan
waktunya. Kategori umum dari obat yang digunakan untuk sedasi adalah
benzodiazepin, narkotika, propofol dan obat tambahan, seperti antisialagogue.

- Sedasi sadar : Nitrooksida dan oksigen melalui masker hidung merupakan obat lain
yang membantu dalam menenangkan pasien. Banyak cacat mental yang parah dan
mendalam tidak mentolerir masker di wajah mereka tanpa obat IV. Pada banyak
kesempatan, mereka yang memiliki tingkat kecacatan ringan hingga sedang akan
membiarkan masker ditempatkan dihidung terlebih dahulu jika fungsinya
dijelaskan. Jika awalnya masker hidung dapat ditoleransi, nitratoksida dan oksigen
dapat digunakan untuk menghilangkan rasa takut dan cemas dengan pemasangan
kateter IV. Oksigen akan meningkatkan saturasi oksigen darah, salah satu yang
tanda vital yang dipantau melalui oksimetri nadi, mengurangi kemungkinan
hipoksia. Jensen TM menemukan reduksi yang signifikan ketika pasien diberi
nitrooksida (70% nitrooksida, 30% oksigen murni).
- Radiografi: Jika radiografi perlu diambil, cara mudah nya adalah dengan sistem
Rinn X-ray (Dentsply Rinn, Elgin, Illinois). Radiograf ditempatkan di mulut pasien
seperti biasa. Tape digunakan untuk melindungi IV yang ditempatkan di garis
tengah leher pasien, secara vertikal melewati dagu pasien dan ke samping hidung
pasien. Mempertahankan jalan napas paten: Untuk beberapa alasan, hal ini penting
selama sedasi untuk melindungi jalan napas pasien. Pasien yang dibius terlentang
di dental chairdan berisiko terhirup bahan filling dental, puing-puing dari preparasi
gigi, gigi yang diekstraksi, atau kalkulus yang di scalling. Air liur dapat diproduksi
dalam jumlah yang banyak dan bisa mengalir kedalam juga, sehingga menyebabkan
batuk. Pertimbangan ketiga adalah penggunaan air untuk instrumen pendingin.
Throat shield harus selalu digunakan untuk melindungi jalan napas saat rubber dam
tidak digunakan dan harus sering diganti saat basah atau dipenuhi debris.

Evaluasi pasca operasi dengan obat penenang digunakan dihari yang sama, pasien
biasanya akan pulih dalam waktu singkat. Saat merawat pasien dengan perawatan
khusus yang mungkin tidak mematuhi atau menanggapi perintah verbal, lebih baik
untuk mengikat pasien di kursi papoose board sampai kesadaran pulih sepenuhnya
dan pasien bisa di ambulasi. Banyak pasien tidak toleran terhadap infus atau
monitor peringatan yang terpasang. Karena itu harus dilepas sebelumnya. Instruksi
tertulis pasca operasi diberikan, bersama dengan catatan tertulis mengenai
perawatan yang akan dilakukan, rekomendasi dental IV janji sedasi berikutnya
untuk melanjutkan perawatan atau untuk mengingatkan janji bertemu, segala obat
yang diresepkan, rekomendasi kebersihan mulut dan diagnosis dental.

Loyola-Rodriguez et al menyimpulkan bahwa anestesi umum (GA) dengan


sevoflurane, propofol dan sedasi sadar sangat baik untuk memberikan perawatan
dental pada pasien CP tanpa komplikasi pada sebagian besar pasien pasca operasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus NL. 2008. Dental management of the
medically compromised patient. 7th ed., Canada: Mosby.
2. Glick M. 2015. Burket’s OraL Medicine.12th ed.USA: People’s Medical Publishing
House.
3. Cornett EM, Novitch M, Kaye AD, Kata V, Kaye AM. Medication-Induced Tardive
Dyskinesia: A Review and Update. Ochsner J. 2017;17(2):162-174.
4. Chaubey S, Chaturvedi TP, Tripathi MN. Dental implications of tardive dyskinesia: a
concise review. Dysphrenia. 2012;3:126-8.
5. Sadowsky JM, Thomas E, Simmons RK, Edwards LP, Johnson CD. 4 Case Reports:
Dental Management of Patients with Drug Induced Tardive Dyskinesia (TD). J Dent
Health Oral Disord Ther. 2014;1(2): 00007.
6. Zandian A, Osiro S, Hudson R, et al. The neurologist's dilemma: a comprehensive
clinical review of Bell's palsy, with emphasis on current management trends. Med Sci
Monit. 2014;20:83-90. Published 2014 Jan 20. doi:10.12659/MSM.889876
7. Clark GT, Minakuchi H, Lotaif AC. Orofacial pain and sensory disorders in the elderly.
Dent Clin North Am. 2005 Apr;49(2):343-62.
8. Sehrawat N, Marwaha M, Bansal K, Chopra R. Cerebral palsy: a dental update. Int J
Clin Pediatr Dent. 2014;7(2):109-18.
9. Blanchet PJ, Parent MT, Rompré PH, Lévesque D. Relevance of animal models to
human tardive dyskinesia. Behav Brain Funct. 2012;8:12. Published 2012 Mar 9.
doi:10.1186/1744-9081-8-12
10. Gregory RP, Smith PT, Rudge P. Tardive dyskinesia presenting as severe dysphagia. J
Neurol Neurosurg Psychiatry. 1992;55(12):1203-4.
11. Movérare T, Lohmander A1, Hultcrantz M, Sjögreen L. Peripheral facial palsy: Speech,
communication and oral motor function. Eur Ann Otorhinolaryngol Head Neck Dis.
2017 Feb;134(1):27-31.
12. Gerratt BR, Goetz CG, Fisher HB. Speech abnormalities in tardive dyskinesia. Arch
Neurol. 1984 Mar;41(3):273-6.
13. Marion RM, Adriana T, Leopoldo NP, Euro BC, Jorge RP. Mastication, deglutition and
its adaptations in facial peripheral paralysis. Rev. CEFAC. 2013;15(2):402-410.
14. Srivanitchapoom P, Pandey S, Hallett M. Drooling in Parkinson's disease: a review.
Parkinsonism Relat Disord. 2014;20(11):1109-18.
15. Seçil Y, Aydogdu I, Ertekin C. Peripheral facial palsy and dysfunction of the
oropharynx. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2002 Mar;72(3):391-3.
Erasmus CE, van Hulst K, Rotteveel JJ, Willemsen MA, Jongerius PH. Clinical practice:
swallowing problems in cerebral palsy. Eur J Pediatr. 2012 Mar;171(3):409-14.

Anda mungkin juga menyukai