Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang memerlukan gerak dan berpindah tempat.

Aktivitas pergerakan normal sangat diperlukan untuk menunjang kegiatan sehari-

hari, maka diperlukan kematangan kemampuan. Hal tersebut sangat dipengaruhi

oleh kesimbangan, koordinasi, fleksibilitas , mobilitas, kekuatan, ketahanan otot,

kontrol neuromuskuler, kontrolpostural dan stabilitas postural (Kisner,2007).

Selain itu, pergerakan yang dilakukan secara volunteer maupun involunteer dapat

dipengaruhi oleh interaksi organisme dengan sekitarnya. Gangguan gerak pada

manusia daat disebabkan oleh beberapa penyakit dimana salah satunya stroke.

Stroke adalah penyakit multifaktorial dengan berbagai penyebab disertai

manifestasi klinis mayor, dan penyebab utama kecacatan dan kematian di negara-

negara berkembang (Saidi et al., 2010). World Health Organization (2006),

mendefinisikan stroke sebagai suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama

24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain

yang jelas selain vaskuler. Setiap tahun, kurang lebih 15 juta orang di seluruh

dunia terserang stroke. Tercatat di Amerika Serikat sekitar 5 juta orang pernah

mengalami stroke, sedangkan di Inggris sekitar 250.000 orang (WHO, 2010).

Stroke menyerang 35,8 % pasien usia lanjut dan 12,9 % pada usia yang lebih

muda. Jumlah total penderita stroke di Indonesia diperkirakan 500.000 setiap

1
tahun di Indonesia (Hasnawati et al., 2009). Dari jumlah itu, sekitar 2,5% atau

250.000 orang meninggal dunia, dan sisanya megalami cacat ringan maupun

berat. Pulihnya penyandang hemiparesis akan diawali dengan mampu duduk,

berdiri dan berjalansecara mandiri tanpa alat bantu (Gofir, 2009).

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskerdas) (2008), prevalensi stroke di

Indonesia pada tahun 2007 mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk dan pada

tahun 2011 stroke menjadi penyebab pertama kematian di Indonesia.

Kemungkinan meninggal akibat stroke adalah 30% - 35%, dan kemungkinan

mengalami kecacatan mayor adalah 35% - 40% (Wolf et al., 2000).

B. Definisi

Stroke menurut WHO adalah terjadinya gangguan fungsional otak

fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih

dari 24 jam akibat gangguan aliran darah otak.

Menurut Neil F Gordon, stroke merupakan gangguan potensial

yang fatal pada suplai darah bagian otak. Tidak ada satupun bagian tubuh

manusia yang dapat bertahan bila terdapat gangguan suplai darah dalam

waktu relatif lama sebab darah sangat dibutuhkan dalam kehidupan

terutama oksigen pengangkut bahan makanan yang dibutuhkan pada otak

dan otak dalah pusat control system tubuh termasuk perintah dari semua

gerakan fisik.

Stroke adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh

gangguan aliran darah dalam otak yang timbul secara mendadak dalam

2
beberapa detik atau secara cepat dalam beberapa jam dengan gejala atau

tanda-tanda sesuai dengan daerah yang terganggu.

Tidak ada satupun bagian tubuh manusia yang bertahan apabila

terdapat gangguan suplai darah dalam waktu relatif lama. Stroke dapat

disebabkan oleh sumbatan pembekuan darah, penyempitan pembuluh

darah, pembekuan dan penyempitan pembuluh darah atau pecahnya

pembuluh darah, semua ini menyebabkan kurangnya pasokan darah yang

memadai (Irfan, 2010)

C. Prevalensi

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional 2007, menurut Lyna,

800 dari 100.000 orang per tahun terkena stroke. DKI Jakarta diketahui

memiliki prevalensi tertinggi di Pulau Jawa, yaitu 12,5 persen.

Sementaraitu, rata-rata prevalensi nasional 8,3 persen.

Angka ini juga terus meningkat. Jika sebelumnya stroke

menyerang usia di atas 60 tahun, kini banyak orang berusia 40

tahunterkena stroke. Hal ini akan menyulitkan banyak keluarga di kota

besar karena biasanya yang terkena stroke menjadi tulang punggung

keluarga.

D. Etiologi

3
Stroke hemoragik terjadi karena salah satu pembuluh darah di otak

pecah atau robek keadaan penderita stroke hemoragik umumnya lebih

parah dibandingkan stroke non hemoragik.

Terdapat dua macam bentuk stroke yaitu stroke iskemik dan stroke

hemoragik. Stroke iskemik merupakan 80% dari penyebab stroke,

disebabkan oleh gangguan pasokan oksigen dan nutrisi ke sel-sel otak

akibat bentukan trombus atau emboli. Keadaan ini dapat diperparah oleh

terjadinya penurunan perfusi sistemik yang mengaliri otak. Sedangkan

stroke hemoragik intraserebral dan subarakhnoid disebabkan oleh

pecahnya pembuluh darah kranial (Smith et al., 2005).

E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik pada pasien stroke pada umumnya mengalami

kelemahan pada salah satu sisi tubuh dan kesulitan dalam berbicara atau

16 memberikan informasi karena adanya penurunan kemampuan kognitif

atau bahasa (Fagan and Hess, 2008).

Sebagian besar kasus stroke terjadi secara mendadak, sangat cepat

dan menyebabkan kerusakan otak dalam beberapa menit (completed

stroke). Kemudian stroke menjadi bertambah buruk dalam beberapa jam

sampai 1-2 hari akibat bertambah luasnya jaringan otak yang mati (stroke

in evolution). Perkembangan penyakit biasanya (tetapi tidak selalu)

diselingi dengan periode stabil, dimana perluasan jaringan yang mati

berhenti sementara atau terjadi beberapa perbaikan. Gejala stroke yang

4
muncul pun tergantung dari bagian otak yang terkena. Beberapa gejala

stroke meliputi perubahan tingkat kesadaran (somnolen, sopor, koma),

sakit kepala yang terjadi ketika berbaring, bangun dari tidur,

membungkuk, batuk, dan terjadi secara tiba-tiba, muntah, pandangan

ganda, kesulitan berbicara atau memahami orang lain, kesulitan menelan,

kesulitan menulis atau membaca, perubahan gerakan, biasanya pada satu

sisi tubuh, seperti kesulitan menggerakkan salah satu bagian tubuh, atau

penurunan keterampilan motoric dan mengalami kelemahan pada anggota

gerak.

F. Prognosis

Prognosis stroke dapat dilihat berdasarkan hasil pemeriksaan

penunjang, seperti pemeriksaan gula darah sewaktu dan differential count.

Ada sekitar 30%-40% penderita stroke yang masih dapat sembuh secara

sempurna asalkan ditangani dalam jangka waktu 6 jam atau kurang dari

itu. Hal ini penting agar penderita tidak mengalami kecacatan. Kalaupun

ada gejala sisa seperti jalannya pincang atau berbicaranya pelo, namun

gejala sisa ini masih bisa disembuhkan.

Sebagian besar penderita stroke baru datang ke rumah sakit 48-72

jam setelah terjadinya serangan. Bila demikian, tindakan yang perlu

dilakukan adalah pemulihan. Tindakan pemulihan ini penting untuk

mengurangi komplikasi akibat stroke dan berupaya mengembalikan

keadaan penderita kembali normal seperti sebelum serangan stroke.

5
Upaya untuk memulihkan kondisi kesehatan penderita stroke

sebaiknya dilakukan secepat mungkin, idealnya dimulai 4-5 hari setelah

kondisi pasien stabil. Tiap pasien membutuhkan penanganan yang

berbeda-beda, tergantung dari kebutuhan pasien. Proses ini membutuhkan

waktu sekitar 6-12 bulan.

G. Faktor Resiko

Sejumlah faktor memberikan konstribusi terjadinya serangan

stroke pertama. Faktor risiko stroke secara umum di bedakan menjadi

faktor risiko yang tidak bisa diubah (non-modifiable risk factors)

termasuk didalamnya antara lain : usia, jenis kelamin, suku bangsa,

riwayat keluarga, faktor genetik, dan berat badan lahir rendah, dan faktor

risiko yang dapat diubah (modifiable risk factor), diantaranya: hipertensi

arterial, TIA, stroke sebelumnya, bruit karotis asimtomatik, penyakit

jantung, ateromatosis arkus aorta, diabetes mellitus, dislipidemia,

merokok, konsumsi alkhohol, peningkatan fibrinogen, peningkatan

homosistein, kadar folat serum rendah, peningkatan antibodi

antikardiolipin, kontrasepsi oral dan obesitas. (Saenger AK, Christenson

RH, 2010).

6
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Pasien berinisial Ny. Fu, berusia 61 tahun, beragama Islam.

Dirujuk ke okupasi terapi dengan diagnosis medis hemipharese dextra e/c

post stroke. Diagnosis okupasi terapi Ny. Fu mengalami kesulitan dalam

reach dan release benda yang berada diatas karena kelemahan anggota

gerak atas kanan akibat post stroke. Saat ini Ny. Fu tinggal bersama suami

dan satu anaknya. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari beliau dibantu

oleh orang sekitar atau keluarganya. Sisi dominan Ny. Fu sebelah kanan.

II. DATA SUBYEKTIF

A. Data Hasil Observasi

Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 10 Juli 2017 penampilan

Ny. Fu rapi dan terlihat bersih. Ia mampu berjalan tegak ataupun

menumpu dengan tumpuan yang sama pada kedua kakinya. Ketika

diajak bicara Ny. Fu kurang kooperatif karena terkadang tidak

merespon dengan body language ,tidak berekspresif atau memiliki

afek datar dan sering kali pandangannya kosong. Sensori tactile dan

proprioseptif belum baik.

7
B. Data Screening

Berdasarkan hasil dari data medis Ny. Fu mengalami hemiphareses

dextra e/c post stroke karena hipertensi. Beliau mengalami

kelemahan pada sisi tubuh sebelah kanan sehingga mengalami

gangguan pada aktivitas sehari-harinya dalam memegang dan

merasakan benda yang ada ditangannya. Selain itu pasien mengalami

afasia broca akibat post stroke yang dialaminya.

Dari hasil anamnesis pada tanggal 17 Juli 2017 dalam riwayat

keluarga pasien tidak ada yang memiliki stroke dan hipertensi.

Riwayat yang diderita Ny. Fu memiliki riwayat penyakit jantung

(cardiac disease). Dalam melakukan ativitas sehari-harinya beliau

tidak dapat melakukannya secara mandiri, karena mengalami

keterbatasan LGS (lingkup gerak sendi) dan KO (kekuatan otot)

dalam menggerakkan anggota gerak atas sebelah kanan. Ny. Fu juga

mengalami keterbatasan dalam komunikasi dengan orang orang

disekitar.

C. Initial Assessment

a) Screening Test

Dari hasil screening test yang dilakukan pada tanggal 10

Juli 2017 ditemukan problem pasien yaitu kekuatan otot dan

endurance pada anggota gerak kanan Ny. Fu lemah terlihat

8
ketika pasien diminta untuk mengangkat tangannya dan

mempertahankan posisi tangannya namun pasien belum bisa.

Beliau belum mampu memahami instruksi yang diberikan

terlihat ketika Ny. Fu diminta untuk memindahkan balok

terkadang pasien tidak melakukan apa yang diinstruksikan dari

terapis. Sensori tactile dan proprioseptif belum bagus terlihat

ketika pasien diperintahkan untuk mengambil atau memegang

balok belum dapat merasakan balok tersebut. Ny. Fu sudah

mampu melakukan gerakan grasp dan pincing namun pada

saat gerakan pincing pasien melakukannya belum kuat. Ny. Fu

sudah mampu menggerakkan tangannya keatas setinggi bahu.

b) Screening Task

Dari hasil screening task, Ny. Fu mampu mengambil balok

yang diberikan terapis dengan gradasi ketinggian namun ketika

pasien membawa balok tersebut belum mampu membawanya

sampai ketempat tujuan atau memasukkannya kedalam

keranjang lebih sering terjatuh ditengah jalan karena lemahnya

sensori tactile dan proprioseptif. Faktor lain Ny. Fu juga belum

mampu menggenggam dengan kuat, untuk pincingnyapun

pasien belum mampu merasakannya. Ketika pasien diminta

untuk menjepitkan jepitan jemuran pasien masih dibantu oleh

tangan kirinya untuk menjepitkan jemuran tersebut.

9
III. KERANGKA ACUAN / METODE

Kerangka acuan yang digunakan dalam kasus ini yaitu NDT

(Neuro Developmental Treatment) dengan metode Brunnstrom karena dari

kondisi yang dialami oleh Ny. Fu mengalami gangguan saat melakukan

aktivitas reach, carry, dan release terkadang tidak merasakan yang dapat

mengakibatkan benda yang dibawanya terjatuh. Dengan menerapkan

metode ini diharapkan pasien mampu melakukan gerakan volunter.

Metode brunnstrom dengan cara membangkitkan pola sinergis dengan

menggunakan reaksi asosiasi. (sumber: http://medshisof.tumblr.com).

Metode Brunnstrom yang bertujuan penekanan pada pola sinergis

yang berkembang selama masa pemulihan kondisi hemiplegic, pendekatan

ini mengacu pada perkembangan sinergi fleksor dan ekstensor selama

masa pemulihan. Dengan tujuan untuk meningkatkan aktifasi sinergis dari

pergerakan otot, serta pelatihannya akan membantu memfasilitasi

pergerakan volunter otot. (sumber: O'Sullivan, S.B. Stroke: Motor

Function. Philadelphia: F.A. Davis Company. 2007)

IV. DATA OBJEKTIF

Berdasarkan pemeriksaan untuk evaluasi awal pasien pada hari

kamis, 17 Juli 2017 diperoleh hasil bahwa Ny. Fu sedang mengalami

program terapi dari fisioterapi, okupasi terapi dan terapi wicara di RSUP

Dr. Sardjito, Yogyakarta.

10
Berdasarkan pemeriksaan menggunakan blangko FIM diperoleh

hasil pasien sudah mampu dalam mobilitas. Namun, pasien masih

membutuhkan bantuan penuh dalam makan, minum dan mandi.

Berdasarkan pemeriksaan menggunakan blangko status fungsional

pada sub mobilitas di bed dan transfer lifting pasien mampu melakukannya

dengan mandiri kecuali pada saat membawa suatu benda pasien masih

membutuhkan bantuan minimal kepada orang lain. Untuk opsi makan dan

minum pasien masih membutuhkan bantuan maksimal atau penuh. Pada

saat berpakaian pasien masih membutuhkan bantuan minimal tergantung

dengan pakaian yang akan beliau pakai dan alas kaki. Menurut hasil

pemeriksaan tersebut disimpulkan bahwa pasien mengalami gangguan

ADL (activity daily living) karena kelemahan pada AGA kanan.

Dari pemeriksaan menggunakan blangko Fugl Meyer Ny. Fu

memiliki total skor untuk ektremitas atas 27 point dari 66 point. Pasien

masih mengalami kesulitan dalam menggerakan ektremitas atas untuk

beberapa gerakan seperti adduksi shoulder dan internal rotasi, ekstensi

elbow secara full ROM (range of motion).

V. IDENTIFIKASI PROBLEM

A. Aset

Ny. Fu mampu menggerakkan anggota gerak atas setinggi bahu, ia

juga mampu memahami instruksi yang diberikan oleh terapis. Ny. Fu

juga sudah mampu melakakukan gerakan grasping walaupun belum

11
kuat. Pasien sudah bisa menunjukkan ekspresinya sedikit ketika

melakukan kesalahan dalam melakukan instruksi pasien akan

tertawa.

B. Limitasi

Limitasi pada Ny. Fu belum dapat mempertahankan posisi yang

diperintahkan oleh terapis, ketika diminta untuk mengambil balok

setinggi bahu pasien dapat mengambilnya namun hanya diawal

perintah saja selanjutnya kekuatannya menjadi menurun. Sensori

tactile dan proprioseptif Ny. Fu belum bagus terlihat ketika pasien

diminta untuk membawa balok berpindah dari tempat A ke tempat B

sering terjatuh apabila beliau tidak melihat balok tersebut. Untuk

gerakan pincing Ny. Fu belum mampu menggerakkannya dengan

mandiri butuh bantuan dengan tangan kirinya.

VI. DIAGNOSIS OKUPASI TERAPI

Pasien kesulitan melakukan aktivitas mengambil dan menaruh

benda diatas karena endurance aggota gerak atas sebelah kanannya masih

lemah akibat hemiphsareses dextra e/c post stroke.

VII. PROGNOSIS

A. Prognisis Klinis

12
Dubia ad sanam, artinya pasien memiliki prognosis medis tidak

tentu atau ragu- ragu namun cenderung sembuh atau membaik. Hal

tersebut tergantung dari tipe dan luasan serangan, age of onset serta

tingkat kesadaran.

B. Progonosis Fungsional

Prognosis fungsional stroke pada infark cukup baik karena tingkat

ketergantungan dalam ADL hanya 19% pada bulan pertama dan

meningkat sedikit (20%) sampai tahun pertama. Sekitar 30-60%

penderita stroke yang bertahan hidup menjadi bergantung dalam

beberapa aspek aktivitas hidup sehari-hari. Dari berbagai penelitian,

perbaikan fungsi neurologic dan fungsi aktivitas hidup pasca stroke

menurut waktu cukup bervariasi. Suatu penelitian menunjukkan

bahwa terdapat perbaikan fungsi paling cepat pada minggu pertama

dan menurun pada minggu ke-3 sampai 6 bulan pasca stroke.

Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan

yang terjadi pada penderita stroke. (sumber: document.tips, edi-

kurnawan 23 september 2015).

Pasien memiliki prognosis fungsional cukup baik, kelak akan

mampu merasakan sisir yang ia pegang dan mampu membawanya ke

kepala atau rambut.

VIII. CLINICAL REASONING

13
Ny. Fu mengalami kesulitan melakukan ADL yang melibatkan

dalam merasakan benda yang dipegang dan membawa sisir ke kepala atau

ke rambut karena kekuatan otot dan endurance anggota gerak atas sebelah

kanan belum kuat. Untuk mencapai kekuatan otot dan endurance yang

maksimal, long term goal untuk pasien mampu merasakan sisir yang

dipegang dan membawa sisir ke kepala atau rambut.

Dengan menggunakan metode Brunnstrom yang bertujuan

meningkatkan aktifasi sinergi dari pergerakan otot serta pelatihannya akan

membantu memfasilitasi pergerakan volunter otot. Penekanan pada pola

sinergis yang berkembang selama masa pemulihan kondisi hemiplegic,

pendekatan ini mengacu pada perkembangan sinergi fleksor dan ekstensor

selama masa pemulihan. (sumber : O'Sullivan, S.B. Stroke: Motor

Function. Philadelphia: F.A. Davis Company. 2007)

Dalam kasus ini untuk melatih gerakan volunter dapat

menggunakan media balok atau pegboard yang diameter dan teksturnya

digradasi, untuk meningkatkan endurance dan kekuatan ototnya dpat

menggunakan media balok atau pegboard yang digradasi tinggi.

IX. PROGRAM TERAPI

A. Tujuan :

1. Tujuan Jangka Panjang :

Pasien mampu merasakan sisir yang dipegang dan membawa

sisir ke kepala atau rambut dalam 8 kali sesi terapi.

14
2. Tujuan Jangka Pendek :

a. Tujuan Jangka Pendek 2.1 :

Pasien mampu merasakan benda yang dipegang dengan

posisi duduk selama 4 kali sesi terapi

b. Tujuan Jangka Pendek 2.2 :

Pasien mampu mampu memegang dan mengangkat

sisir dengan gradasi level ketinggian selama 4 kali sesi

terapi.

B. Strategi Pelaksanaan

1. Untuk Mencapai Tujuan Jangka Pendek 2.1

a. Adjunctive

Mobilisasi scapula, stretching aktif, pasif dan aktif

assisstive pada anggota gerak atas sebelah kanan, stimulasi

gerakan voluter.

b. Enabling

Latihan merasakan benda yang dipegang dengan

gradasi bentuk dan tektur benda. Dilakukan seminggu dua

kali dan setiap satu sesi terapi berdurasi 30 menit. Media

yang digunakan terbuat dari bahan yang tumpul dan tidak

membahayakan klien.

c. Purposeful

15
Pasien mampu merasakan benda yang dibawa.

Dilakukan seminggu dua kali dan setiap satu sesi terapi

berdurasi 30 menit. Media yang digunakan terbuat dari

bahan yang tumpul dan tidak membahayakan klien.

d. Keselamatan Diri dan Klien Occupation

Media yang digunakan tidak membahayakan pasien

karna bahan yang digunakan tidak mudah pecah dan

melukai pasien. Teksturnya halus.

e. Kerangka acuan yang dipakai dalam terapi

Dengan menekankan pola sinergis yang bertujuan

aktifasi sinergi dari pergerakan otot untuk memfasilitasi

timbulnya gerakan volunter. Dengan menggunakan media

balok dan pegsens box untuk latihan gerakan volunter.

2. Untuk Mencapai Tujuan Jangka Pendek 2.2

a. Adjunctive

Mobilisasi scapula, stretching aktif, pasif dan aktif

asistif pada anggota gerak atas sebelah kanan, stimulasi

gerakan volunter.

b. Enabling

16
Latihan meraih benda keatas dengan media balok

atau pegboard dengan gradasi ketinggian dari sejajar

dengan bahu lalu naik setinggi 10 cm dari bahu selama 4

kali sesi terapi. Dilakukan seminggu dua kali sesi terapi dan

setiap satu sesi terapi berdurasi 30 menit. Media yang

digunakan terbuat dari bahan yang tumpul dan tidak

membahayakan klien.

c. Purposeful

Pasien mampu merasakan, memegang dan

membawa sisir ke kepala ataupun ke rambut. Dilakukan

seminggu dua kali sesi terapi dan setiap satu sesi terapi

berdurasi 30 menit. Media yang digunakan terbuat dari

bahan yang tumpul dan tidak membahayakan klien.

d. Keselamatan Diri dan Klien Occupation

Media yang digunakan tidak membahayakan pasien

karna bahan yamg digunakan tidak mudah pecah dan

melukai pasien. Teksturnya halus.

e. Kerangka acuan yang dipakai

Dengan menekankan pola sinergis yang bertujuan

aktifasi sinergi dari pergerakan otot untuk memfasilitasi

17
timbulnya gerakan volunter. Dengan menggunakan media

balok dan pegsens box untuk latihan gerakan volunter.

X. RE-EVALUASI

A. Data Subjektif Hasil Re-evaaluasi

Setelah melakukan program terapi selama delapan kali sesi

terapi dengan frekuensi satu minggu dua kali dan durasi selama 30

menit pasien telah mengalami beberapa peningkata walaupun LTG

(Long Term Goal) belum tercapai. Peningkatan yang dialami Ny.

Fu ketika reaching dan release sejumlah 28 balok pada awalya

terjatuh sebayak 15 balok, lalu pada tanggal 14 Agustus 2017

mengalami peningkatan dari 28 balok tersebut yang terjatuh hanya

5 balok. Ketika latihan sensori menggunakan media jepit dengan

cara reaching menggunakan tangan kiri dan release menggunakan

tangan kanan, beliau mampu meletakan tanpa terjatuh dan

ketinggian yang tergradasi. Tidak seperti dua pertemuan

sebelumnya karna Ny. Fu mengalami kesulitan saat akan release

jepit kekeranjang yang ada di atas meja. Ny. Fu ketika melakukan

pinching dengan bantuan tangan kiri, namun pada tanggal 7

Agustus mampu melakukan gerakan pinching namun belum

kekuatan otot belum maksimal.

B. Data Objektif Hasil Re-evaluasi

18
Berdasarkan pemeriksaan menggunakan blangko FIM

diperoleh hasil pasien sudah mampu dalam mobilitas. Namun, pasien

masih membutuhkan bantuan penuh dalam makan, minum dan mandi.

Berdasarkan pemeriksaan menggunakan blangko status

fungsional pada sub mobilitas di bed dan transfer lifting pasien mampu

melakukannya dengan mandiri kecuali pada saat membawa suatu

benda pasien masih membutuhkan bantuan minimal kepada orang lain.

Untuk opsi makan dan minum pasien masih membutuhkan bantuan

maksimal atau penuh. Pada saat berpakaian pasien masih

membutuhkan bantuan minimal tergantung dengan pakaian yang akan

beliau pakai dan alas kaki. Menurut hasil pemeriksaan tersebut

disimpulkan bahwa pasien mengalami gangguan ADL (activity daily

living) karena kelemahan pada AGA kanan.

Dari pemeriksaan menggunakan blangko Fugl Meyer Ny. Fu

memiliki total skor untuk ektremitas atas 28 point dari 66 point. Pasien

masih mengalami kesulitan dalam menggerakan ektremitas atas untuk

beberapa gerakan seperti adduksi shoulder dan internal rotasi, ekstensi

elbow secara full ROM (range of motion).

C. Kesimpulan dari Hasil Re-evaluasi

Ny. Fu mengalami sedikit peningkatan dalam kualitas

gerakan dan sensori. Hal ini dapat terlihat saat melakukan

memindah balok dari tangan kiri ke kanan lewat belakang kepala

19
sekarang sudah mampu melakukannya dengan sesekali terjatuh.

Kemudian saat latihan gerakan kanan kiri dengan media balok, saat

release beliau balok yang terjatuh tidak terlalu banyak dan

mengalami banyak penurunan jumlah yang terjatuh.

XI. RE-EVALUASI CLINICAL REASONING

Setelah mengikuti terapi selama delapan kali sesi terapi dengan

frekuensi satu minggu dua kali sesi dan durasi kurang lebih tiga puluh

menit, didapatkan sedikit peningakatan kualitas gerakan dan sensori

pasien. Pasien telah mencapai stg ( short term goal) yang pertama yaitu

mampu merasakan benda yang dipeganggnya. Hal ini dipengaruhi oleh

luasan dan letak serangan, age of onset dan tingkat kesadaran. Selain hal

tersebut, latihan yang konsekuen atau teratur juga dapat meningkatkan

kualitas gerakan karena terdapat aktifasi gerakan otot yang dapat

memfasilitasi gerakan volunter.

XII. FOLLOW UP

Perlu adanya tindak lanjut dari program ini, untuk dapat mencapai

LTG (Long Term Goal) dengan home programe latihan gerakan keatas,

mendorong kedepan, kebelakang dan merasakan benda yang dipegang.

Hal ini dapat dilakukan saat waktu luang,dengan repetisi lima kali tiap

gerakan dan frekuensi 3 kali sehari. Dengan banyak berlatih geraka maka

kualitas gerakan yang dihasilkan akan lebih baik.

20
21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Stroke merupakan gangguan fungsional otak fokal maupun global

secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat

gangguan aliran darah otak. Dengan berbagai faktor resiko yang menyertai,

seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, riwayat keluarga, faktor genetik,

dan berat badan lahir rendah hipertensi arterial, TIA, stroke sebelumnya, bruit

karotis asimtomatik, penyakit jantung, ateromatosis arkus aorta, diabetes

mellitus, dislipidemia, merokok, konsumsi alkhohol, peningkatan fibrinogen,

peningkatan homosistein, kadar folat serum rendah, peningkatan antibodi

antikardiolipin, kontrasepsi oral dan obesitas. Individu yang mengalami

stroke apabila sembuh ada yang masihmeningalkan keterbatasan dan ada

yang dapat sembuh total hal tersebut dipengaruhi oleh luasan dan letak

serangan ataulesi, age of onset dan tingkat kesadaran.

Individu yang sembuh dengan masih terdapat keterbatasan

memerlukan latihan agar dapat pulih walaupun tidak senormal dahulu.

Penatalaksanaan okupasi terapi pada pasien post stroke berbeda-beda

tergantung dari kondisi dan kebutuhan pasien. Metode Brunnstrom dapat

diterapkan pada pasien post stroke dengan penekanan pola sinergis bertujuan

untuk aktifasi gerakan otot yang dapat memfasilitasi gerakan volunter. Selain

22
mendapatkan penanganan dari okupasi terapi pasien post stroke

membutuhkan dokter syaraf, memori, fisioterapi dan terapi wicara.

B. Saran

Apabila mengalami serangan stroke, segera dilakukan pemeriksaan untuk

menentukan apakah penyebabnya bekuan darah atau perdarahan yang tidak

bisa diatasi dengan obat penghancur bekuan darah. Hal ini bertujuan untuk

mengurangi resiko yang lebih berat. Bagi pasien, keluarga, dan caregiver

diharapkan keluarga dapat membatasi untuk memberikan pasien bantuan

sehingga tingkat ketergantungan pasien berkurang. Sehingga kondisi tersebut

tidak memperburuk keadaan pasien.

23

Anda mungkin juga menyukai