Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN TUGAS

MATA KULIAH : OT PADA NEUROLOGI I

Disusun Oleh :

1. Dina Marlina R (P27228015077)


2. Greta Tias Triana (P27228015086)

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Menyelesaikan Mata Kuliah OT pada Neurologi I

PROGRAM STUDI DIV OKUPASI TERAPI

JURUSAN OKUPASI TERAPI


POLITEKNIK KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA
TAHUN 2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Prevalensi

Menurut Dinkes Provinsi Jawa Tengah (2012), stroke dibedakan

menjadi stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Prevalensi stroke

hemoragik di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07 lebih tinggi dari tahun

2011 (0.03%). Prevalensi tertinggi tahun 2012 adalah Kabupaten Kudus

sebesar 1,84%. Prevalensi stroke non hemoragik pada tahun 2012 sebesar

0,07% lebih rendah dibanding tahun 2011 (0,09%). Pada tahun 2012,

kasus stroke di Kota Sirakarta cukup tinggi. Kasus stroke hemoragik

sebanyak 1.044 kasus dan 135 kasus untuk stroke non hemoragik.

Berdasrkan data 10 besar penyakit terbanyak di indonesia tahun

2013, prevalensi kasus stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga

kesehatan sebesar 7.0 per mill dan 12,1 per mill untuk yang terdiagnosis

memiliki gejala stroke. Prevalensi kasus stroke tertinggi terdapat di

Provinsi Sulawesi Utara (10,8%) dan terendah di Provinsi Papua (2,3%),

sedangkan Jawa Tengah sebesar 7,7%. Prevalensi stroke antara laki-laki

dengan perempuan hampir sama (Kemenkes, 2013).

B. Etiologi

Menurut Adam dan Victor (2009) , penyebab kelainan pembuluh

darah otak yang dapat mengakibatkan stroke, antara lain :

1. Trombosis aterosklerosis

2. Transient iskemik

3. Emboli 4

4. Perdarahan hipertensi
5. Ruptur dan sakular aneurisma atau malformasi arterivena

6. Trombophlebitis serebral : infeksi sekunder telinga, sinus paranasal,

dan wajah

7. Kelaianan hematologi : antikoagulan dan thrombolitik, kelainan faktor

pembekuan darah, polisitemia, sickle cell disease, trombotik

trombositopenia purpura, trombositosis, limpoma intravaskular

8. Trauma atau kerusakan karotis dan arteri basilar

9. Angiopati amiloid

10. Kerusakan aneuriisma aorta

11. Komplikasi angiografi

C. Gambaran klinis

Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering di negara

mahju, setelah penyakit jantung dan kanker. Insidensi tahunan adalah 2

per 100 populasi. Mayoritas stroke adalah infark serebral.

Suplai darah ke otak berasal dari arteri karotis dam arteri

vertebrelis yang berasal dari medula spinalis. Ketika area otak kehilangan

atau terhentinya suplai darah, hal ini menjadi penyebab stroke. Penyebab

sroke didominasi oleh plak arterosklerotik yangterjadi pada satu atau lebih

arteri yang memberi cairan darah ke otak. Plak bisaanya mengaktifkan

mekanisme pembekuan darah dan menghasilkan bekuan untuk

membentuk dan menghambat arteri sehingga menyebabkan gangguan

perfusi pada atrea yang tersumbat.

Seiring dengan berjalannya waktu pemeriksaan penunjang yang

dilakukan pada pasien yang diduga mengalami stroke dan untuk

membedakan jenis stroke, pencitraan untuk membedakan lesi vaskular dan


non vaskular seperti tumor dan infeksi dan menentukan letak arteri yang

mengalami penyumbatan.

D. Prognosis

Ada sekitar 30%-40% penderita stroke yang masih dapat sembuh

secara sempurna asalkan ditangani dalam jangka waktu 6 jam atau kurang

dari itu. Hal ini penting agar penderita tidak mengalami kecacatan.

Kalaupun ada gejala sisa seperti jalannya pincang atau berbicaranya pelo,

namun gejala ini masih bisa di sembuhkan.

Sayangnya, sebagian besar penderita stroke baru datang ke rumah

sakit 48-72 jam setelah terjadinya serangan. Bila demikian, kita perlu

dilakukan adalah pemulihan. Tindakan pemulihan ini penting untuk

mengurangi komplikasi akibat stroke dan berupaya mengembalikan

keadaan penderita kembali normal seperti sebelum serangan stroke.

Upaya untuk memulihkan kondisi kesehatan penderrita stroke

sebaiknya dilakukan secepat mungkin, idealnya dimulai 4-5 hari setelah

kondisi pasien stabil. Tiap pasien membutuhkan penanganan yang

berbeda-beda, tergantung dari kebutuhan pasien. Proses ini membutuhkan

waktu 6-12 bulan.

Dalam menekan angka stroke berulang, hal-hal yang perlu

diperhatikan adalah mengetahui faktor risiko dan melakukan upaya-upaya,

baik dalam memodifikasi gaya hidup, menjalani terapi yang diperlukan

dan yang tidak kalah penting adalah melakukan pemeriksaan yang dapat

memberikan informasi optimal faktor risiko yang dimiliki seseorang untuk

terjadinya stroke ataupun stroke berulang. Serangan stroke ulang masih

sangat mungkin terjadi dalam kurun waktu 6 bulan pasca serangan stroke
yang pertama. Seorang yang menderita stroke umumnya akan kehilangan

sebagian atau seluruh fungsi tubuh tertentu. Suplai darah yang sempat

terhenti inilah yang menyebabkan tubuh tidak lagi berfungsi dengan baik.

Sehingga pasien stroke sangat bergantung pada orang-orang disekitarnya,

khususnya keluarga yang merupakan orang terdekat mereka. Keluarga

merupakan komponen penting dalam proses pemulihan seorang pasien

karena keluargalah yang paling mengetahui kondisi kesehatan pasien dan

menjadi bagian penting dalam proses pemulihan (Videbeck, 2001).


BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama / Inisial : Ny. P

Umur : 55 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Sisi dominan : Kiri

Alamat : Boyolali

B. DIAGNOSIS PASIEN

Diagnosis Medis : Stroke Hemiparese Dextra

Diagnosis Topis : Hemisphere Sinistra

Diagnosis Kausatif : Emboli otak

C. DATA SUBJEKTIF

Initial assessment :

Interview

Interview dengan pasien pada tanggal 19 Desember 2016 pasien sudah

5 tahun mengalami stroke, saat pertama stroke pasien merasa kaku pada

kaki dan tangan bagian kanan. Pasien sudah melakukan terapi berupa

terapi tradisional pijat, bekam, dan jamu di berbagai tempat.

Sebelum stroke pasien pernah menjalankan operasi 2x di rumah sakit

karema terdapat benjolan kista yang ada pada perutnya, selang satu tahun

pasien mengalami stroke, dan masuk RS selama 13 hari. Pasien juga

mempunyai riwayat hipertensi, asam urat serta batu ginjal. Pasien masih

mengkonsumsi obat.
Saat ditanya kegiatan keseharian, pasien hanya duduk diteras rumah

dan menonton televisi. Pasien dulunya seorang yang taat melaksanakan

sholat jamaah di masjid. Pasien pergi ke masjid dengan berjalan kaki

maupun naik sepeda, tetapi setelah sakit, pasien pergi ke masjid dengan

diantar oleh anaknya. Pasien aktif di pengajian yang ada di desanya, yang

di adakan 2x dalam satu minggunya. Pasien mengeluhkan sakit pada

kakinya. Ketika berjalan pasien merasa susah karena pasien berjalan

dengan menyeret kaki nya, dasar tumpuan nya lebar dan sulit untuk

membalikkan badan. Hingga kini pasien tidak bisa melaksanakan aktifitas

yang dulu pernah ia lakukan seperti pergi sholat ke masjid, pengajian,

mengunjungi tetangga dan pergi berdagang ke pasar. Pasien merasa sepi

karena sekarang ia hanya berdiam diri di rumah sendiri bersama

suaminya. Pasien ingin bisa berjalan dengan normal seperti dahulu.

Pasien memiliki suami yang bekerja disawah dan memiliki 3 orang

anak serta 5 cucu. Dua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di samping

rumahnya. Satu anaknya tinggal di Jakarta dan belum menikah.

Observasi klinis

Berdasarkan hasil data observasi tanggal 19 Desember 2016 pasien

berpakaian rapi, bersih. Komunikasi pasien kurang baik, dikarenakan

kondisi stroke pasien yang sudah dideritanya selama 5 tahun ini dan akhir-

akhir ini mulai mengeluarkan air liur. Saat pertama bertemu, pasien

kooperatif walau bicaranya tidak jelas (pelo).

Cara berjalan pasien di seret dan terkadang dibantu oleh tongkat yang

terbuat dari bambu. Saat berjalan pasien masih belum seimbang dan masih

takut jika berjalan jauh tidak menggunakan tongkat. Postur pasien


membungkuk baik saat berjalan atau pun saat duduk di kursi atau duduk

di lantai. Pasien mengalami kesulitan saat membalikkan badan. Pasien

merasa takut saat akan duduk. Kuku dan kulitnya bersih, pasien mampu

menggosok gigi dengan kompensasi tangan kiri, kaki kanan pasien sedikit

varus.

Kondisi lingkungan pasien tampak tidak terawat karena banyak sampah

plastik yang berserakan di lantai dan debu yang tidak pernah disapu serta

berbau tidak sedap karena terdapat kandang sapi yang berda di halaman

disamping rumah pasien. Cara berjalan pasien di seret dan dibantu oleh

tongkat yang terbuat dari bambu, saat berjalan tampak membungkuk,

pinggul agak fleksi, dan dasar tumpuan lebar. Kebersihan kuku dan

kulitnya bersih,pasien mampu membersihkannya sendiri.

Screening test
Berdasarkan data hasil screening pasien memiliki hubungan cukup baik

dengan keluarganya, pasien sering diantar ketika ingin berkunjung

kerumah saudara dan ketika hendak pergi pengajian, dan pergi terapi.

Pasien dulu bekerja sebagai penjual tahu dan tauge di pasar. Cara bicara

pasien tidak jelas. Untuk self care pasien mampu melakukannya dengan

mandiri hanya saja pasien mengalami keterbatasan dalam berjalan. Untuk

aktifitas menyiapkan makanan, pasien membutuhkan bantuan anaknya.

Pasien mampu melakukan aktifitas makan, mandi, BAB & BAK, mencuci

pakaian secara mandiri. Hasil pemeriksaan tekanan darah klien relatif

tinggi, dengan rata-rata tekanan darah 150/110 mmHg.

Model treatment yang akan digunakan


Dalam treatment terapi ini digunakan kerangka acuan Bobath atau

Neuro Development Treatment. Metode Babath adalah suatu metode

terapi latihan pada stroke yang berasumsi bahwa penderita stroke seolah-

olah pasien stroke kembali pada usia bayi sehingga pertumbuhan dan

perkembangannya sesuai dengan pertumbuhan bayi normal. Oleh karena

itu stroke harus dilatih mulai dari posisi berbaring, miring, tengkurap,

merangkak, duduk, berdiri, seimbang dan berjalan.

Tujuan konsep NDT adalah memperbaiki dan mencegah postur dan

pola gerakan abnormal dan mengajarkan postur dan pola gerak yang

normal. Prinsip terapi dan penanganan pasien yaitu:

1. Simetris dalam sikap dan gerakan

2. Seaktif mungkin mengikuti sertakan sisi yang sakit pada segala

kegiatan.

3. Pemakaian gerakan-gerakan ADL dalam terapi.

4. Konsekuensi selama penanganan (ada tahap-tahap dalam terapi).

5. Pembelajaran bukan diarahkan pada gerakannya, tetapi pada perasaan

gerakan.

6. Terapi dilakukan secara individu

D. DATA OBJEKTIF
Berdasarkan hasil pemeriksaan tanggal 19 Desember 2016 pada area

ADL menggunakan instrumen assessment Functional Independent

Measurement diperoleh nilai 111/126. Hal ini menandakan bahwa pasien

mandiri penuh. Pada area self care yang terdiri dari makan (menyiapkan

makan) memperoleh nilai 4 karena pasien masih membutuhkan bantuan penuh

dalam menyiapkan makanan. Sedang untuk aktifitas makan pasien bisa


melakukannya secara mandiri. Pada aspek locomotion pasien mampu berjalan

mandiri tetapi sesekali membutuhkan bantuan tongkat yang terbuat dari

bambu. Untuk menaiki tangga pasien membutuhkan bantuan bambu. Pada

aspek komunikasi pasien memperoleh skor 2 pada komprehensif dan ekspresi.

Pasien berbicara tidak jelas (pelo) dan tidak berekspresi. Memerlukan bantuan

orang yang mengerti cara bicaranya untuk menerjemahkan apa yang pasien

ucapkan. Selanjutnya pada instrumen assessment Interest Checklist pasien

memiliki ketertarikan pada aktifitas melihat TV, jalan-jalan, berkebun dan

memasak. Namun, unruk aktifitas berkebun dan memasak pasien sudah tidak

tertarik lagi karena keadaan yang tidak memungkinkan dan sudah ada yang

membantu untuk memasak serta ada suami pasien yang berkebun menanam

bayam dan singkong di halaman rumah. Untuk aktifitas jalan-jalan, dulu

sebelum sakit pasien bisa melakukan aktifitas ini dengan baik dan mandiri dan

setelah sakit, pasien menginginkan bisa berjalan-jalan lagi seperti dulu kala.

Seperti pergi ke masjid, mengunjungi pengajian, mengunjungi saudara dan

tetangga.

E. ASSESSMENT

Rangkuman data subjektif dan objektif :

Pasein berinisial Ny. P mengalami stroke sejak 5 tahun yang lalu.

Pasien memiliki riwayat penyakit asam urat, hipertensi dan juga pernah

melakukan operasi kista 6 tahun yang lalu. Penampilan pasien cukup rapi.

Lingkungan fisik pasien tidak cukup baik karena banyak debu dan sampah

yang berserahan di dalam rumah serta lokasi kandang sapi yang bersada

tepat persis di sampan rumah pasien. Cara bicara pasien tidak jelas (pelo).

Cara berjalan pasien pun tidak seimbang dengan dasar tumpuan yang
lebar. Pasien mampu berjalan dengan mandiri tetapi terkadang pasien

berjalan dengan menggunakan alat bantu berupa tongkat yang terbuat dari

bamboo.

Hubungan interaksi pasien dengan keluarga maupun tetangga cukup

baik. Pasien memiliki 3 orang anak. 2 orang anaknya tinggal di samping

rumah pasien. Pasien dulunya adalah seorang pedagang tauge di pasar.

setiap harinya pasien pergi ke pasar Jebres menggendarai sepeda. Pasien

memiliki kebisaaan pergi ke masjid untuk melaksanakan ibadah sholat dan

untuk mengahdiri pengajian serta bertemu dengan teman-temannya.

Pada aktifitas sehari-hari pasien mampu melakukannya sendiri. Tetapi

segala aktifitasnya tidak bisa dilaksanakan dengan luwes dikarenakan cara

berjalan pasien yang tidak seimbang dan dengan tumpuan yang lebar.

Setiap harinya pasien selalu duduk diteras dan menonton TV saja. Pasien

juga membutuhkan bantuan penuh pada aktifitas menyiapkan makanan.

Makanan selalu disiapkan oleh anaknya. Untuk aktifitas makan, ia mampu

makan dengan mandiri 3 kali sehari pagi, siang dan malam.

Berdasarkan hasil pemeriksaan FIM (Functional Indepence

Measurement) diperoleh nilai 111/126 yang artinya pasien mandiri penuh.

Hasil pemeriksaan dengan menggunakan Interest Checklist, didapatkan

bahwa pasien memiliki ketertarikan untuk menonton TV dan ingin bisa

berjalan-jalan seperti dulu lagi.

Aset :

Interaksi sosial pasien bagus, pasien memiliki semangat yang tinggi,

pasien juga melakukan aktifitas ADL dengan mandiri. Pasien kooperatif.

Limitasi :
Komunikasi verbal pasien kurang jelas (pelo), Cara berjalan pasien di

seret dan dibantu oleh tongkat yang terbuat dari bambu, saat berjalan dan

duduk tampak membungkuk, pinggul agak fleksi, dan dasar tumpuan

lebar.

Prioritas masalah

Prioritas masalah pada kasus Ny. P adalah berjalan yang tidak

seimbang, susah berbelok dan dasar tumpuan yang lebar. Karena dengan

berjalan yang tidak seimbang, segala aktifitas yang dilakukannya akan

kesulitani. Dengan berjalan yang seimbang dan tanpa menggunakan alat

bnatu berupa tongkat akan sangat membantu pasien dalam melakukan

aktifitas sehari-hari seperti berjalan-jalan ke rumah tetangga, pergi ke

masjid untuk beribadah sholat dan pengajian yang dulu rutin pasien

lakukan. Dengan hal tersebut, pasien akan merasa senang karena dapat

bertemu dengan teman-temannya dan tidak berdiam diri di rumah.

Diagnosis OT

Berdasarkan ketiga area okupasi yaitu ADL, Produktifitas dan

Leissure. Pasien mengalami keterbatasan bada aspek menyiapkan

makanan dan aspek locomotion yaitu berjalan. Pada area produktifitas,

pasien tidak memiliki masalah karena pasien sudah tidak lagi bekerja.

Pasien hanya tinggal dirumah dan terkadang bermain bersama cucu nya.

pada area leisure, pasien menyukai kegiatan menonton TV. Kegiatan

tersebut dilakukan sehari-hari.

F. PERENCANAAN TERAPI

Tujuan Jangka Panjang (LTG)


Pasien mampu berjalan dengan seimbang untuk berkunjung ke rumah

tetangga secara mandiri tanpa alat bantu selama 10x sesi terapi.

Tujuan Jangka Pendek (STG)

a. Pasien mampu berjalan 6 meter dengan seimbang dan dengan postur

dan cara berjalan yang benar dalam 5x sesi terapi.

b. Pasien mampu berjalan-jalan dengan seimbang dihalaman rumah

dengan medan yang tidak rata (kerikil) dalam 5x sesi terapi.

Strategi / teknik

STG 1 : Pasien mampu berjalan 6 meter dengan seimbang dan

dengan postur dan cara berjalan yang benar dalam 5x sesi terapi

1. Adjunctive

Streching atau melakukan gerakan pada ekstremitas bawah.

Terapis meminta pasien untuk berbaring dengan posisi supinasi

dengan kedua tungkai diposisikan ekstensi. Terapis menggerakkan

ekstremitas bawah pasien mulai dari bagian distal ke proksimal

pada kaki yang sehat terlebih dahulu. Mulai dari dorsi fleksi dan

plantar fleksi, inversi dan eversi, fleksi knee, fleksi hip, internal

rotasi, eksternal rotasi, abduksi dan adduksi hip. Setelah itu terapis

melakukan hal yang serupa pada sisi yang sakit. Selanjutnya,

pasien melakukan kegiatan stretching tanpa digerakkan oleh

terapis. Terapis memberikan stabilisasi dengan cara menyangga

tungkai pasien karena kaki pasien belum terlalu kuat. Setelah itu,

pasien benar-benar menggerakkan secara mandiri dengan suprvisi

dari terapis.
Fungsinya adalah untuk melatih gerakan hip pada gerak

internal rotasi dan dan eksternal rotasi. Menggunakan teknik

rhytmic motion (menggerakkan dengan ritmis) bertujuan untuk

membantu inisiasi gerakan, meningkatkan koordinasi dan sense of

motion, mengajarkan gerakan pada hip dan knee.

Tujuan diberikan latihan seperti itu yaitu agar otot-otot tubuh

siap untuk menerima latihan yang akan diberikan dan supaya otot

menjadi rileks.

2. Enabling

Berjalan dengan mengikuti garis pada tali dan membawa gelas

plastik. Terapis menggunakan peralatan berupa tali, 2 buah meja

atau rak selevel dibawah dada dan 10 gelas yang masing-masing

berada di tangan terapis sebanyak 5 buah dan 5 buah lagi berada di

meja sebelah kanan. Pasien diposisikan berdiri dengan posisi

postur yang benar dan dasar tumpuan yang tidak lebar. Pasien

berada di ujung tali yang akan digunakan sebagai lintasan jalan.

Terapis menginstruksikan kepada pasien agar berjalan lurus

dengan seimbang dan postur yang benar mengikuti tali. Terapis

membantu jalan pasien agar mampu mencapai tujuan yang

diharapkan. Setelah pasien sampai pada ujung tali, pasien

diinstruksikan untuk menaruh gelas yang dipegang ke meja yang

berada dikanan pasien. Setelah itu, pasien diinstruksikan untuk

mengambil kembali gelas yang berbeda yang berada di meja kanan

lalu di letakkan di meja yang berada di sebelah kiri. Setelah itu


pasien diinstruksikan untuk kembali lagi ke awal lintasan tali dan

melakukan hal yang serupa.

Dalam 5x putaran, 2 putaran pertama terapis memberikan

stabilisasi kepada pasien berupa stau terapis memegang tangan

kanan dan terapis lain memegang tangan kiri. Putaran ke 3 dan ke

4 pasien hanya di sangga dan diberi bantuan minimal. Putaran

yang terakhir pasien melakukan sendiri dan terapis memberi

suprvisi. Pasien selalu diberi motivasi dan semangat agar pasien

merasa senang terhadap aktifitas. Terapis memberikan pujian

kepada pasien setiap kali pasien berhasil melakukan tugas nya.

pujian tersebut bisa menjadi reinforcement.

Tujuan diberikan aktivitas berjalan pada tali adalah untuk

mempersempit dasar tumpuan pasien. Aktifitas memindahkan

gelas bertujuan mencapai postur yang benar dan keseimbangan

dalam berjalan.

3. Purposeful

Pasien diminta untuk berjalan sejauh 6 meter untuk

menghidupkan lampu lalu dilanjutkan dengan menutup pintu,

dilakukan sebanyak 2 kali. Untuk memberikan simulasi pada

pasien berjalan dipermukaan datar.

STG 2 : Pasien mampu berjalan-jalan dengan seimbang dihalaman

rumah dengan medan yang tidak rata (kerikil) dalam 5x sesi terapi

1. Adjunctive
Streching atau melakukan gerakan pada ekstremitas bawah.

Terapis meminta pasien untuk berbaring dengan posisi supinasi

dengan kedua tungkai diposisikan ekstensi. Terapis menggerakkan

ekstremitas bawah pasien mulai dari bagian distal ke proksimal

pada kaki yang sehat terlebih dahulu. Mulai dari dorsi fleksi dan

plantar fleksi, inversi dan eversi, fleksi knee, fleksi hip, internal

rotasi, eksternal rotasi, abduksi dan adduksi hip. Setelah itu terapis

melakukan hal yang serupa pada sisi yang sakit. Selanjutnya,

pasien melakukan kegiatan stretching tanpa digerakkan oleh

terapis. Terapis memberikan stabilisasi dengan cara menyangga

tungkai pasien karena kaki pasien belum terlalu kuat. Setelah itu,

pasien benar-benar menggerakkan secara mandiri dengan suprvisi

dari terapis.

Fungsinya adalah untuk melatih gerakan hip pada gerak

internal rotasi dan dan eksternal rotasi. Menggunakan teknik

rhytmic motion (menggerakkan dengan ritmis) bertujuan untuk

membantu inisiasi gerakan, meningkatkan koordinasi dan sense of

motion, mengajarkan gerakan pada hip dan knee.

Tujuan diberikan latihan seperti itu yaitu agar otot-otot tubuh

siap untuk menerima latihan yang akan diberikan dan supaya otot

menjadi rileks.

2. Enabling

Terapi ini dilakukan di halam depan rumah. Terapis

menginstruksikan pasien untuk memindahkan gelas dari terapis

satu ke terapis dua setiap 5 langkah sekali. Posisi memindahkan


gelas adalah dengan gerakan letaral fleksi trunk ke kanan dank e

kiri. Terapis memberikan supervisi saja karena keterampilan

berjalan pasin sudah mulai seimbang.

Tujuan diberikan aktivitas memindahkan gelas setiap 5 kali

langkan adalah untuk mencapai postur yang benar dan

keseimbangan dalam berjalan.

3. Purposeful

Pasien diminta untuk berjalan-jalan dihalaman rumah ke kanan

dan kekiri untuk melihat-lihat kandang sapinya. Pasien diminta

juga untuk berjalan ke rumah anaknya yang terletak disamping

rumah pasien.

Frekuensi

Frekuensi terapi ini dilakukan 2 kali sesi terapi dalam satu minggu.

Durasi

Durasi dalam setiap kali sesi terapi diperlukan waktu 30 menit.

Media terapi

Media terapi yang digunakan adalah lantai, tali dan gelas plastic 10 buah.

HOME PROGRAM

Home program yang kami sarankan sesuai dengan kondisi pasien dan

ketertarikan pasien. Yang pertama adalah, terapis menginstruksikan agar

pasien berjalan-jalan didepan rumah pada pagi dan sore hari. Setelah itu,

bersama dengan anaknya, pasien mengantar anak dan cucunya yang

sekolah TK sampai ke gang samping rumah. Setelah pasien mandi, pasien

diminta untuk menyapu ruang tamu dan halaman depan pasien.

Selanjutnya ketika sholat dhuhur, pasien diminta untuk pergi ke mushola


dekat rumahnya untuk menunaikan ibadah sholat dhuhur seperti yang dulu

bisaa dilakukan. Semua aktifitas pada Home Program ini bertujuan untuk

mencapai LTG dan STG pasien. Jika pasien kooperatif terhadap program

yang diberikan, maka pasien akan cepat mencapai LTG. Aktifitas home

program ini selain untuk mencapai LTG, juga akan membuat hidup pasien

menjadi lebih bermakna. Dengan pasien bertemu dengan tetangganya,

maka pasien akan berbincang-bincang dan akan menjadi senang kembali

sepulangnya di rumah. Kesenangan ini akan terus menjadi motivasi bagi

pasien untuk melakukan terapi. Selain itu, kami juga mengedukasi

keluarga pasien yaitu suami dan anak-anak pasien untuk selalu

memberikan motivasi dan semangat kepada pasien agar bisa sembuh dan

tercapai apa yang pasien dan keluarga inginkan.


BAB III

RE-EVALUASI

Pasien berinisial Ny. P mengalami stroke sejak 5 tahun yang lalu. Pasien

tinggal bersama suaminya. Penampilan pasien cukup rapih dan kooperatif Setelah

dilakukan screening dan assessment pasien termasuk dalam kategori mandiri. Pasien

memiliki asset berupa motivasi dan semangat untuk sembuh. Limitasi pasien adalah

komunikasi verbal yang kurang jelas (pelo) dan cara berjalan yang diseret dan tidak

seimbang. Pasien memiliki ketertarikan dan keinginan untuk bisa berjalan dengan

normal lagi. Karena dengan berjalan dengan normal dan seimbang, pasien bisa pergi

ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat dan pengajian, mengunjungi rumah

keluarga dan tetangga. Hal tersebut bagi pasien penting karena dengan kegiatan itu

pasien bisa bertemu dengan banyak orang dan pasien akan merasa senang.

Terapi yang kami berikan meliputi, adjunctive, enabling, purposeful dan

occupation. Tujuan jangka panjang kami adalah pasien mampu berjalan dengan

seimbang untuk berkunjung ke rumah tetangga secara mandiri tanpa alat bantu selama

10x sesi terapi. Lalu ada beberapa tujuan jangka pendek, yang pertma adalah pasien

mampu berjalan 6 meter dengan seimbang dan dengan postur dan cara berjalan yang

benar dalam 5x sesi terapi. Tujuan jangka pendek yang kedua yaitu pasien mampu

berjalan-jalan dengan seimbang dihalaman rumah dengan medan yang tidak rata

(kerikil) dalam 5x sesi terapi.

Berdasarkan hasil terapi yang kami lakukan, kami belum mampu untuk

mencapai STG dan LTG. Ada beberapa faktor yang memengaruhi diantaranya adalah

pasien sudah mengalami stroke sejak 5 tahun yang lalu dan belum pernah diberi terapi

seperti fisioterapi dan okupasi terapi melainkan terapi tradisional. Usia pasien yang

sudah masuk ke usia lanjut sehingga kondisi fisik serta kognitif yang mengalami
penurunan. Selain itu, keadaan keluarga pasien yang pengetahuannya terhadap kondisi

stroke sangat minim. Keluarga pun kurang kooperatif terhadap sakit yang diderita

pasien. Keluarga hanya pasrah saja terhadap sakit yang diderita pasien. Hal ini akan

menjadi salah satu faktor penghambat pasien dan terapis dalam mencapai LTG.
REFERENSI

http://zahstraces.blogspot.co.id/2012/08/neuro-development-treatment-

ndt.html

Artha, I Gusti Putu.

Anda mungkin juga menyukai