Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di dunia dengan laju


mortalitas 18 - 37 % untuk stroke pertama dan 62 % untuk stroke berulang,
artinya penderita stroke berulang memiliki resiko kematian dua kali lebih besar
dibandingkan penderita stroke pertama. Tingginya insiden kematian pada
penderita stroke maupun stroke berulang perlu mendapatkan perhatian khusus
karena diperkirakan 25 % orang yang sembuh dari stroke pertama akan
mendapatkan stroke berulang dalam kurun waktu 1 - 5 tahun.1
Diperkirakan terdapat 800.000 kasus stroke primer atau sekunder yang
terjadi setiap tahun di Amerika Serikat dengan mayoritas stroke primer (yaitu
sekitar 600.000). Kasus Stroke di Amerika Serikat terutama disebabkan karena
infark iskemik (87%), diikuti oleh perdarahan primer (10%), dan perdarahan
subaraknoid (3%). Insidensi kasus stroke meningkat bersama dengan pertambahan
usia yaitu sekitar dua kali lipat setiap peningkatan satu dekade kehidupan.2
Tingginya angka kejadian stroke bukan hanya di negara maju saja, tapi juga
menyerang negara berkembang seperti Indonesia karena perubahan tingkah laku
dan pola hidup masyarakat. Diperkirakan setiap tahun sekitar 500.000 penduduk
Indonesia terkena serangan stroke, sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan
sisanya mengalami cacat berat ataupun ringan.3
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Yayasan Stroke Indonesia pada
tahun 2012, masalah stroke semakin penting dan mendesak karena kini jumlah
penderita stroke di Indonesia terbanyak dan menempati urutan pertama di Asia.
Jumlah yang disebabkan oleh stroke menduduki urutan kedua pada usia diatas 60
tahun dan urutn kelima pada usia 15-59 tahun.4
Bagi pasien yang telah mendapat serangan stroke, intervensi rehabilitasi
medis sangat penting untuk mengembalikan pasien pada kemandirian mengurus
diri sendiri dan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari tanpa menjadi beban

1
bagi keluarganya. Perlu diupayakan agar pasien tetap aktif setelah stroke untuk
mencegah timbulnya komplikasi tirah baring dan stroke berulang (secondary
prevention). Komplikasi tirah baring dan stroke berulang akan memperberat
disabilitas dan menimbulkan penyakit lain yang bahkan dapat membawa kepada
kematian.5
Dengan pelayanan rehabilitasi medis yang tepat, 80% penderita stroke yang
tetap hidup dapat berjalan tanpa bantuan, 70% dapat menguasai atau melakukan
aktifitas mengurus diri sendiri dan 30% dapat kembali bekerja. Terdapat dua pola
besar dalam program rehabilitasi stroke yaitu pola tradisional yang menggunakan
pendekatan unilateral dan pola neurodevelopmental yang menggunakan
pendekatan bilateral.6
Berikut akan dilaporkan sebuah laporan kasus rehabilitasi medik pada
penderita hemiparesis dextra et causa stroke iskemik di RS Wahidin Sudirohusodo
Makassar.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Stroke
Definisi stroke yang paling banyak diterima secara luas bahwa stroke
adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis yang
berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun
global yang berlangsung lebih dari 24 jam, yang tidak disebabkan oleh sebab lain
selain penyebab vaskuler. Gejala neurologis fokal adalah gejala-gejala yang
muncul akibat gangguan di daerah yang terlokalisir dan dapat teridentifikasi.
Misalnya, kelemahan unilateral akibat lesi di traktus kortikospinalis. Gangguan
non fokal/global misalnya adalah terjadinya gangguan kesadaran sampai koma.7

B. Epidemiologi Stroke
Baik di negara maju maupun berkembang, beban yang ditimbulkan stroke
sangat besar. Stroke merupakan penyebab kematian kedua terbanyak di negara
maju dan ketiga terbanyak di negara berkembang. Berdasarkan data WHO tahun
2002, lebih dari 5,47 juta orang meninggal karena stroke di dunia. Dari data yang
dikumpulkan oleh American Heart Association tahun 2004 setiap 3 menit satu
orang meninggal akibat stroke.5
Di Amerika serikat, prevalensi kasus stroke diperkirakan berjumlah 3% dari
populasi seluruh orang dewasa, persentasi ini menunjukkan bahwa terdapat sekitar
tujuh juta individu di Amerika yang menderita penyakit stroke. Insidensi stroke
meningkat dnegan cepat seiring dengan pertambahan usia, yaitu menjadi dua kali
lipat untuk setiap dekade setelah usia 55 tahun. 2
Pada orang dewasa dengan kisaran usia 35-44 tahun, insidensi stroke yaitu
30-120 dari 100.000 orang per tahun. Pada kisaran usia 65-74 tahun, insidensi
stroke yaitu 670-970 dari 100.000 orang per tahun. Stroke dapat terjadi pada anak-
anak namun insidensinya sangat jarang yaitu 1-2,5 dari 100.000 orang per tahun.2
Tingginya angka kejadian stroke bukan hanya di negara maju saja, tapi juga
menyerang negara berkembang seperti Indonesia karena perubahan tingkah laku
dan pola hidup masyarakat. Diperkirakan setiap tahun sekitar 500.000 penduduk

3
Indonesia terkena serangan stroke, sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan
sisanya mengalami cacat berat ataupun ringan.3

C. Klasifikasi Stroke
Berdasarkan kelainan patologis stroke dibagi menjadi stroke hemoragik
dan stroke non-hemoragik. Stroke hemoragik dibagi menjadi perdarahan
intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Stroke non-hemoragik atau stroke
iskemik dibagi menjadi stroke akibat trombus, emboli serebri dan hipoperfusi
sistemik.7
Berdasarkan waktu terjadinya stroke dibagi menjadi Transient Ischemic
Attack (TIA), Reversible Ischemic Neurological Defisit (RIND), Stroke in
Evolution (Progressing Stroke), Complete Stroke. 7

D. Stroke Non Hemoragik


Stroke non hemoragik adalah sindroma klinis yang awalnya timbul
mendadak, progresi cepat berupa defisit neurologis fokal atau global yang
berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian yang
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Stroke non
hemoragik merupakan proses terjadinya iskemia akibat emboli dan trombosis
serebral biasanya terjadi setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi
hari dan tidak terjadi perdarahan. Namun terjadi iskemia yang menimbulkan
hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder.
Stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh emboli ekstrakranial
atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga dapat
diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses
yang mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade
iskemik yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.
Infark iskemik serebri sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis dan
arteriosklerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi
klinis dengan cara :

4
 Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi
aliran darah
 Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus dan
perdarahan aterm.
 Dapat terbentuk trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli.
 Menyebabkan aneurisma yaitu lemahnya dinding pembuluh darah atau
menjadi lebih tipis sehingga dapat dengan mudah robek.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah otak adalah keadaan pembuluh
darah, keadaan darah (viskositas darah, hematokrit, anemia), tekanan darah
sistemik, kelainan jantung.
Suplai darah ke otak dapat berubah pada gangguan fokal (trombus, emboli,
perdarahan, dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia
karena gangguan paru dan jantung).8

E. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa penyakit stroke perlu dilakukan anamnesis
yang sistematis dan serangkaian pemeriksaan yang menunjang diagnosa.
Anamnesis pada stroke meliputi identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga dan pengkajian
psikososisospiritual.9
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara sistematis dengan fokus
pemeriksaan pada fungsi otak dan dihubungkan dengan keluhan- keluhan pasien. 9
Keadaan umum pasien umumnya mengalami gangguan kesadaran dan
gangguan bicara yaitu sulit dimengerti, kadang tidak bisa bicara dan pada tanda-
tanda vital: tekanan darah meningkat, dan denyut nadi bervariasi. 9
Kualitas kesadaran pasien merupakan parameter yang paling mendasar
yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan pasien dan respons terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan.

5
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran pasien stroke biasanya berkisar pada
tingkat letargi, stupor, dan semikomantosa. 7,9
Pengkajian fungsi serebral meliputi status mental, fungsi intelektual,
kemampuan bahasa, lobus otak dan hemisfer. Pengkajian saraf kranial meliputi
saraf kranial I-XII. Pada beberapa keadaan stroke terjadi gangguan yang
diakibatkan oleh paralisis dari saraf- saraf kranial. 7,9
Pengkajian umum motorik diperlukan untuk menelai kemampuan
pergerakan dari pasien. Stroke adalah penyakit saraf motorik atas atau Upper
Motor Neuron (UMN) dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap
gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan, gangguan kontrol motor
volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada UMN di
sisi yang berlawanan dari otak. 7,9
Pemeriksaan refleks fisiologis meliputi pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal. Pada fase akut
refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks
fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis. 7,9
Pemeriksaan sistem sensorik dilakukan untuk menilai kemampuan
sensorik pasien. Pada pasien stroke dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi
dapat ditemukan ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Kehilangan
sensori karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih
berat, dengan kehilangan propiospsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan
gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual,
taktil, dan auditorius.10
Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan lumbal pungsi, CT-Scan
tanpa kontras, MRI kepala, laboratorium darah untuk melihat profil lipid dan
kolesterol, gula darah, agregasi trombosit dan fibrinogen serta melihat status
elektrolit, EKG dan ekokardiografi untuk mencari pencetus stroke akibat penyakit
jantung, dan foto thoraks. 7,9

F. Faktor Resiko

6
Terhambatnya aliran darah ke otak beberapa detik saja dapat menyebabkan
seseorang pingsan. Penyumbatan dan pecahnya pembuluh darah di otak bisa
menyebabkan sel-sel saraf di otak menjadi rusak dan mengakibatkan
kelumpuhan. Berbagai faktor bisa menyebabkan stroke: 11
a) Faktor yang tidak dapat dimodifikasi:
- Keturunan
- Jenis kelamin
- Umur
- Ras

b) Faktor yang dapat dimodifikasi:


- Hipertensi
- Penyakit jantung
- Diabetes mellitus
- Obesitas (kegemukan)
- Hiperkolesterol
- Faktor gaya hidup yang tidak sehat (alkohol, merokok, stress,
mendengkur)

G. Rehabilitasi Medik pada Penderita Stroke


Rehabilitasi adalah suatu program yang disusun untuk memberi
kemampuan kepada penderita yang mengalami disabilitas fisik atau penyakit
kronis, agar mereka dapat hidup atau bekerja sepenuhnya sesuai dengan
kapasitasnya. 6

Tahapan rehabilitasi pada penderita stroke dibagi menjadi tiga fase, yaitu :
 Rehabilitasi Stroke Fase Akut
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil, umumnya dalam
perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat biasa ataupun di unit stroke.
Dibandingkan dengan perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang dirawat di unit

7
stroke memberikan hasil yang lebih baik. Pasien menjadi lebih mandiri, lebih
mudah kembali dalam kehidupan sosialnya di masyarakat dan mempunyai
kualitas hidup yang lebih baik.5
 Rehabilitasi Stroke Fase Subakut
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan
diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan
penanganan rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien pulang
dengan gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya (sekitar 10%)
pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat berat dan memerlukan perawatan
dari orang lain sepenuhnya. Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa
yang bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi rehabilitasi agar dapat
kembali mencapai kemandirian yang optimal. Rehabilitasi pasien stroke fase
subakut dan kronis mungkin dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer.5
Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali untuk belajar
melakukan aktivitas dasar merawat diri dan berjalan. Dengan atau tanpa
rehabilitasi, sistim saraf otak akan melakukan reorganisasi setelah stroke.
Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang paling sering
digunakan atau tidak digunakan. Melalui rehabilitasi, reorganisasi otak yang
terbentuk diarahkan agar mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat
dicapai oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang lebih terarah
dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien mungkin. Hal tersebut dapat
tercapai melalui terapi latihan yang terstruktur, dengan pengulangan secara
kontinyu serta mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak.5
 Rehabilitasi stadium kronik.
Pada saat ini terapi kelompok telah ditekankan, dimana terapi ini biasanya
sudah dapat dimulai pada akhir stadium subakut. Keluarga pasien lebih banyak
dilibatkan, pekerja medik sosial, dan psikolog harus lebih aktif.

Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:


 Bila anggota gerak sisi yang terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak
sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak/beraktivitas menggunakan sisi yang

8
sehat, namun sedapat mungkin juga mengikutsertakan sisi yang diketahui
sakit. Pasien dan keluarga seringkali beranggapan salah, mengharapkan
sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan sendirinya dan pasien secara
otomatis bisa bergerak kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk
bila ada “kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila ekstremitas yang mengalami
sakit tidak pernah digerakkan sama sekali, presentasinya di otak akan
mengecil dan terlupakan.
 Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya merupakan gerak fungsional
daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan
meraih, memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak fungsional
mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian–bagian dari otak, baik area lesi
maupun area otak normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang
dibutuhkan. Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksi dan
ekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi saja. Apabila
akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa digunakan untuk
gerak fungsional, namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk
sirkuit yang baru.
 Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak
fungsional yang normal dan jangan biarkan menggunakan gerak abnormal.
Gerak normal artinya sama dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang
terkena masih terlalu lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya dengan
kriteria pasien masih menggunakan ototnya secara “aktif”. Bantuan yang
berlebihan membuat pasien tidak menggunakan otot yang akan dilatih (otot
bergerak pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien
mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot lain.
Ini akan memperkuat gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang memang
sudah ada dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan “tenaga” yang
diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan pemulihan pasien.

Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah


tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam

9
stabilitas duduk statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila pasien
telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak bersandar tanpa berpegangan
dalam kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas duduk
dinamik tercapai apabila pasien dapat mempertahankan posisi duduk sementara
batang tubuhnya.5
Selain latihan mobilisasi, rehabilitasi juga dengan menggunakan teknik
fisioterapi:6
 Terapi panas seperi sinar infrared atau hot packs untuk mengurangi nyeri,
relaksasi spasme otot superfisial dan meningkatkan aliran darah superfisial.
Micro Wave Diatherymy (MWD), Short Wave Diathermy (SWD), Ultra
Sound Diathermy (USD).
 Terapi listrik atau Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)
untuk menghilangkan nyeri dan spasme otot.
 Teknik masase merupakan terapi fisik tertua dan termurah. Pada indikasi
dan teknik yang tepat, hasil trapeutik sangat nyata. Digunakan untuk
menghilangkan nyeri otot dan tendon, spasme otot, adhesi jaringan kutan
dan subkutan serta relaksasi.
 Hidroterapi adalah terapi fisik dengan menggunakan sifat-sifat fisik air.
Manfaat air di dalam terapi latihan terlihat dari efek buoyancy air yang akan
mengurangi efek gravitasi pada bagian manapun dari tubuh sehingga
terdapat penurunan aktifitas tubuh dan latihan tidak disertai rasa nyeri.

Terapi okupasi bertujuan untuk mengembangkan kecakapan/ keterampilan


penderita untuk mencapai kehidupan yang produktif serta untuk mengatasi
masalah- masalah yang ada dalam hidup serta lingkuungan mereka masing-
masing. Terapi okupasi pada pasien stroke mencakup latihan:6
 Aktifitas kehidupan sehari-hari (makan, mandi, berpakaian, dan eleminasi)
 Latihan prevokasional
 Proper Body Mechanism
 Latihan dengan aktifitas.

10
Terapi ortotik prostetik dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan
mencegah atau mengoreksi kecacatan pasien. Digunakan alat bantu seperti tripod,
quadripod, dan walker. 6
Terapi wicara adalah suatu tindakan atau usaha penyembuhan mengenai
kelainan bahasa, suara, dan bicara. 6
Psikolog melakukan evaluasi dan mengobati gangguan mental akibat
penyakit, untuk meningkatkan motivasi serta berusaha mengatasi penyakitnya. 6
Petugas sosial medik memberikan bantuan kepada pasien demi menghadapi
masalah sosial yang mempengaruhi pasien dalam hubungan dengan penyakit dan
pasien. 6

11
BAB III
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. MP
Umur : 64 tahun
Tanggal Periksa : 12 Februari 2016

2. ANAMNESIS
Keluhan utama : Kelemahan sisi kanan tubuh
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merupakan pasien stroke iskemik dengan gejala hemiparese dextra.
Pada tanggal 11-1-2016, pasien telah menjalani operasi untuk penyakit stroke nya.
Namun setelah operasi, pasien masih membutuhkan penanganan dari rehabilitasi
medik sehingga pasien dirujuk ke bagian instalasi rehabilitasi medik.
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat operasi NHS

3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 158/99 mmHg
Nadi : 65x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,5°
Status motorik : 5/5/4/4
Reflek patologis : -/-/-/-

4. RESUME
Laki-laki, 64 tahun dengan keluhan kelemahan pada sisi kanan tubuh. Operasi
untuk NHS sudah dilakukan, namun setelah operasi dibutuhkan tindakan lebih

12
lanjut untuk menangani gejala kelemahan yang masih ada. Pasien kemudian
dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk ditangani.

Diagnosis klinis : Hemiparesis dextra et causa stroke iskemik


Diagnosis etiologi : Stroke Non Hemoragik
Diagnosis topis : Subkortikal
Diagnosis fungsional : Impairment : Hemiparesis dextra
Disability : Gangguan AKS
Handicap :-

5. PROGRAM REHABILITASI MEDIK


1. Fisioterapi
Evaluasi :
- Kelemahan pada sisi kanan tubuh
- Gangguan AKS
- Vertigo
- Gangguan gait
Program :
a. Infra red (IR) pada sisi kanan tubuh
b. Endurance Exercise tingkat moderate
c. TENS
d. Deep breathing
e. Latihan gait

2. Terapi Okupasi
Evaluasi :
- Kelemahan sisi kanan tubuh
- Gangguan AKS
Program :
Latihan AKS dengan aktivitas dan ketrampilan

13
Latihan motorik halus

3. Ortotik Prostetik
Evaluasi :
- Kelemahan sisi kanan tubuh
Program :
Pada saat ini belum ada program

4. Terapi Wicara
Evaluasi :
- Baik
Program :
Pada saat ini belum ada program

5. Psikologi
Evaluasi :
- Kontak dan pengertian baik
Program :
a. Memberi dukungan agar penderita menjalani terapi dengan baik

6. Sosial Medik
Evaluasi :
- Tinggal di rumah permanen 1 lantai dengan WC duduk
- Biaya hidup sehari-hari cukup
- Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS
Program :
a. Pada saat ini belum ada program

6. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam

14
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Adientya G, Handayani F. Stress pada kejadian stroke. Jurnal Nursing


Studies. 2012;1(1):183-8.
2. Ovbiagele B, Nguyen-Huynh MN. Stroke epidemiology: Advancing our
understanding of disease mechanism and therapy. Neurotherapeutics.
2011;8:319-29.
3. Ovina Y. Yuwono. Hubungan Pola Makan, Olahraga, dan Merokok
terhadap Prevalensi Stroke. The Jambi Medical Journal Vol 1. No 1.
2013;1-3.
4. Yastroki Tangani Masalah Stroke di Indonesia. [Internet]2012. [diakses 12
Agustus 2014] Available on http://www.yastroki.or.id/read.php?id=20.
5. Wirawan RP. Rehabilitasi stroke pada pelayanan kesehatan primer. Majalah
Kedokteran Indonesia. 2009;59(2):61-71.
6. Sengkey LS. Angliadi LS. Mogi TI. Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Medik. 2006;1-60.
7. Gofir A. Manajemen stroke: Evidence based medicine. Yogyakarta. Pustaka
Cendekia Press. 2009.
8. Goetz CG. Cerebrovascular Diseases. In: Goetz: Textbook of Clinical
Neurology, 3rd ed. Philadelpia: Saunders. 2007.
9. Utami P. Solusi Sehat Mengatasi Stroke. Jakarta : Gramedia.2009;5-6
10. Steven A. Health Care Needs Assesment. United Kingdom: Redcliffe
Publishing. 2004;150.
11. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Guidline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Jakarta. 2007.
12. Sinaki M. Dorsher PT. Rehabilitation After Stroke. In: Basic Clinical
Rehabilitation Medicine. Philadelpia: Mosby. 1993;87-8.

16

Anda mungkin juga menyukai