Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit degeneratif menjadi penyebab kematian terbesar di dunia hingga saat
ini. Stroke atau CVA (CerebroVaskuler Accident) adalah salah satu jenis penyakit
degeneratif yang menjadi penyebab utama kematian di Indonesia. Penderita stroke biasanya
mengalami gangguan mobilitas fisik atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik dari
satu atau lebih ekstermitas secara mandiri.
Hasil Riskesdas 2021 menunjukkan prevalensi penyakit tidak menular mengalami
kenaikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013, antara lain kanker, stroke, penyakit
ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi. Data Riskesdas 2020 prevalensi stroke
nasional 12,1 per mil, sedangkan pada Riskesdas 2019 prevalensi stroke 10,9 per mil,
tertinggi di Provinsi Jawa Timur (14,7 per mil), terendah di Provinsi Papua (4,1 per mil).
Diperkirakan setiap tahun di Indonesia terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke dan
sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal sedangkan sisanya mengalami cacat ringan
bahkan bisa menjadi cacat berat (Hanum & Lubis, 2017).
Serangan dari stroke ini lebih banyak dipicu karena adanya hipertensi yang
disebut dengan silent killer, diabetes melitus, obesitas dan berbagai gangguan aliran darah
menuju otak. Selain itu, faktor risiko terjadinya stroke juga dapat dipicu karena asupan lemak
yang tinggi dan kurangnya aktivitas fisik. Kadar kolesterol darah yang tinggi dipengaruhi
oleh seringnya mengkonsumsi makanan yang tinggi kolesterol. Masalah stroke di Indonesia
saat ini menjadi semakin mendesak baik stroke hemoragik maupun stroke non hemoragik.
Di Indonesia sendiri, penyakit stroke menempati urutan ketiga penyebab
kematian setelah penyakit jantung dan kanker. Faktor risiko yang sangat berperan dalam
timbulnya penyakit stroke adalah faktor risiko yang dapat dikontrol yaitu hiperkolesterol dan
hipokalemia. Hiperkolesterol dapat terjadi karena adanya gangguan metabolisme lemak yang
dapat menyebabkan peningkatan kadar lemak darah yang disebabkan oleh defisiensi enzim
lipoprotein, defisiensi reseptor LDL, kelainan genetika, serta penurunan kemampuan hati
dalam membersihkan kolesterol dalam darah. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah
kenaikan kadar kolesterol total, Low Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida serta
penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kejadian fraksi lipid di Indonesia dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan dengan kadar rata-rata kolesterol total pada wanita
dari 206,6 mg/dl menjadi 213,0 mg/dl dan pada laki-laki 199,8 mg/dl menjadi 204,8 mg/dl.

1
Selain hiperkolesterol, juga ada hipokalemia. Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit
yang paling sering terjadi. Rendahnya kadar kalium di dalam serum akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya fibriasi ventrikel yang pada akhirnya akan menimbulkan risiko
terjadinya penyakit stroke.
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa masih banyak kejadian
kasus stroke yang terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, perlu adanya penanganan khusus
agar dapat mengatasi masalah tersebut. Salah satunya adalah dengan memberikan asuhan gizi
kepada pasien stroke atau yang biasa disebut dengan Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT).
Proses Asuhan Gizi Terstandar adalah suatu metode pemecahan masalah yang sistematis,
yaitu Dietisien menggunakan cara berpikir kritis dalam membuat keputusan untuk menangani
berbagai masalah yang berkaitan dengan gizi, sehingga dapat memberikan asuhan gizi yang
aman, efektif dan berkualitas tinggi. PAGT dilakukan dengan menggunakan metode
International Dietetic & Nutrition Terminology (IDNT) selama 3 hari pada pasien stroke di
RSU Mitra Paramedika. Tujuan dari tatalaksana diet ini agar pemenuhan kebutuhan zat gizi
untuk perbaikan organ tubuh dapat terpenuhi dan mencegah peningkatan risiko penyakit
maupun komplikasi
B. Rumusan
Masalah Bagaimana Proses Asuhan Gizi Terstandar pada Pasien Stroke Infark dengan
Hiperkolesterol dan Hipokalemia di RSUD dr Harjono Ponorogo?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengkaji proses pelaksanaan Asuhan Gizi Terstandar pada Pasien Stroke
Infark dengan Hiperkolesterol dan Hipokalemia di RSUD dr Harjono
Ponorogo
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui ada tidaknya risiko malnutrisi berdasarkan hasil skrining
gizi pada pasien Stroke Infark dengan Hiperkolesterol dan
Hipokalemia di RSUD dr Harjono Ponorogo
b. Mengetahui hasil pengkajian gizi pasien Stroke Infark dengan
Hiperkolesterol dan Hipokalemia di RSUD dr Harjono Ponorogo
c. Mengetahui diagnosis gizi berdasarkan problem, etiology, sign and
symptoms pada pasien Stroke Infark dengan Hiperkolesterol dan
Hipokalemia di RSUD dr Harjono Ponorogo

2
d. Mengetahui tujuan dan preskripsi diet bagi pasien Stroke Infark
dengan Hiperkolesterol dan Hipokalemia di RSUD dr Harjono
Ponorogo
e. Mengetahui keberhasilan intervensi berdasarkan monitoring dan
evaluasi gizi pada pasien Stroke Infark dengan Hiperkolesterol dan
Hipokalemia di RSUD dr Harjono Ponorogo

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stroke
1. Definisi Stroke
Definisi Stroke
Stroke merupakan suatu penyakit yang terjadi ketika suplai darah ke
bagian otak terganggu. Gejala yang ditimbulkan bergantung pada bagian
otak mana yang terkena dan tingkat kerusakannya sehingga tingkat
pemulihannya sangat bervariasi.
Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun
global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan peredaran
darah otak berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya
pembuluh darah di otak. Otak yang seharusnya mendapat pasokan oksigen
dan zat makanan menjadi terganggu. Kekurangan pasokan oksigen ke otak
akan memunculkan kematian sel saraf (neuron). Gangguan fungsi otak ini
akan memunculkan gejala stroke (Junaidi, 2011).
Stroke adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan hilangnya fungsi
otak secara akut dan dapat menimbulkan kematian (WHO), 2014). Stroke
merupakan gangguan fungsi otak yang timbul mendadak karena terjadinya
gangguan peredaran darah otak yang menimbulkan kehilangan fungsi
neurologis secara cepat.
Dampak dari penyakit stroke ini yaitu keterbatasan aktivitas (Pinzon &
Asanti, 2010). Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa stroke adalah gangguan peredaran otak yang dapat mengakibatkan
fungsi otak terganggu dan bila gangguan yang terjadi cukup besar akan
mengakibatkan kematian pada sel saraf yang dapat membuat keterbatasan
dalam beraktivitas.
2. Klasifikasi Stroke
Berdasarkan patologinya dibagi menjadi 2 jenis stroke, yaitu

4
a. Stroke Iskemik (Infark/sumbatan) Stroke iskemik (infark) terdapat
pada 80% dari semua kasus stroke. Stroke jenis ini dapat terjadi
ketika suplai darah ke otak berhenti atau terganggu akibat adanya
penyumbatan arteri sehingga berakibat menghambat aliran darah otak.
Salah satu serangan stroke iskemik adalah TIA (trasient ischemic
attack) atau yang biasa disebut dengan mini-stroke. TIA terjadi ketika
suplai darah ke otak terputus untuk sementara (gangguan sesaat).
Gejala stroke ini sama dengan gejala stroke lainnya, tetapi
perbedaannya adalah TIA dapat pulih kembali dengan cepat atau
segera. Dalam istilah lain, berarti suatu episode dapat berlangsung
singkat dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam, tetapi
tidak lebih dari 24 jam. TIA sering merupakan peringatan akan
datangnya serangan stroke yang lebih parah.
b. Stroke Hemoragik (Perdarahan)
Stroke hemoragik (perdarahan) ini terdapat pada sekitar 20% dari
semua kasus stroke dengan risiko peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke infark
(iskemik). Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan di otak atau
sekitar otak akibat pecahnya pembuluh darah.
3. Patofisiologi Stroke
Penyakit stroke merupakan sebuah kondisi penurunan fungsi dan kemampuan
syaraf akibat menurunnya suplai darah ke otak yang disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti emboli, thrombus, hipertensi, arterioschlerosis, ateroma,
hiperlipidemia, diabetes melitus dan berbagai gangguan sirkulasi darah pada
umumnya. Pada intinya penyakit stroke ini disebabkan oleh tidak adekuatnya
aliran darah ke otak sehingga oksigen yang diangkut oleh haemoglobin
menjadi menurun, sementara oksigen berperan dalam proses pemecahan
glukosa menjadi energi. Akibat dari menurunnya suplai makanan tersebut, sel-
sel otak berpotensi mengalami kematian. Kematian sel-sel otak berpengaruh
terhadap penurunan fungsi dan kinerja Dari otak itu sendiri, otak memiliki 2
fungsi yaitu sensorik dan motorik. Akibat awal atau hal yang sering terjadi
tanda awal stroke adalah hemiparesis kontralateral (kelumpuhan separuh
anggota extremitas atas dan bawah yang bersilangan dengan hemisfer yang

5
terkena). Kesulitan yang muncul pertama kali tentu saja gangguan mobilitas
fisik atau ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
4. Etiologi Stroke
Etiologi Stroke Menurut Smeltzer dan Bare (2013), stroke biasanya
diakibatkan oleh salah satu dari empat kejadian dibawah ini, yaitu :
a. Trombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau
leher. Arteriosklerosis serebral adalah penyebab utama trombosis, yang
merupakan penyebab paling umum dari stroke. Secara umum,
trombosis tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara
sementara, hemiplegia, atau paresthesia pada setengah tubuh dapat
mendahului paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang dibawa
ke otak dari bagian tubuh yang lain. Embolus biasanya menyumbat
arteri serebral tengah atau cabangcabangnya yang merusak sirkulasi
serebral (Valante dkk, 2015).
c. Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak. Iskemia terutama
karena konstriksi atheroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak
(Valante dkk, 2015).
d. Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Pasien
dengan perdarahan dan hemoragi mengalami penurunan nyata pada
tingkat kesadaran dan dapat menjadi stupor atau tidak responsif.
5. Faktor Risiko Stroke Faktor risiko stroke dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Faktor risiko yang tidak dapat dikontrol, meliputi :
1) Usia
Penyakit stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Setalah berumur 55 tahun, risiko stroke iskemik meningkat 2
kali lipat tiap dekade. Sedangkan penderita yang berumur
antara 70-79 tahun banyak menderita perdarahan intracranial.
Pada saat umur bertambah kondisi jaringan tubuh sudah mulai
kurang fleksibel dan lebih kaku, termasuk pembuluh darah
(Farida, 2009).
2) Jenis Kelamin

6
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko stroke yang
tidak dapat dimodifikasi. Lebih tingginya kejadian stroke pada
laki-laki diduga karena jenis kelamin laki-laki berhubungan
dengan faktor risiko stroke lainnya yakni kebiasaan merokok
dan konsumsi alcohol (Wirasakti, 2012). Hormon juga
mempengaruhi laki-laki lebih banyak terkena stroke daripada
perempuan, karena laki-laki tidak memilki hormon estrogen
dan progesteron (Farida, 2009). Laki-laki yang berumur 45
tahun dan mampu bertahan hidup sampai 85 tahun, memiliki
kemungkinan terkena stroke sebesar 25 persen, sedangkan
risiko bagi wanita hanya 20 persen. Laki-laki cenderung
terkena stroke iskemik, sedangkan wanita lebih sering
menderita perdarahan subarachnoid dan kematiannya 2 kali
lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
3) Ras
Berdasarkan penelitian, orang negro Amerika cenderung
berisiko 1,4 kali lebih besar mengalami perdarahan
intraserebral (dalam otak) dibandingkan orang kulit putih.
Orang Jepang dan Afrika-Amerika cenderung mengalami
stroke perdarahan intrakranial, sedang orang kulit putih
cenderung terkena stroke iskemik, dan akibat sumbatan
ekstrakranial lebih banyak
4) Faktor Genetik
Orang yang memiliki riwayat stroke pada keluarga mempunyai
resiko lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan dengan
orang yang tanpa riwayat stroke pada keluarganya. Oleh karena
itu, sebaiknya dilakukan pengecekan tekanan darah secara rutin
untuk memperkecil resiko stroke.
b. Faktor risiko yang dapat dikontrol terdapat 2 tingkatan yaitu
1) Pada tingkatan pertama
faktor risiko stroke yang dapat dikontrol, dapat diurutkan dari
tingkat banyaknya kejadian seperti hipertensi, diabetes mellitus,
merokok, fibrilasi atrium dan disfungsi ventrikel kiri.
2) Pada tingkatan kedua

7
faktor risiko stroke yang dapat dikontrol yaitu terdiri dari
kolesterol, hiperlipidemia, asimtomatik karotid stenosis, sickle
cell disease, terapi hormon esterogen, diet, obesitas, alkohol,
migrain, dan hiperkoagulasi. Kebanyakan dari faktor risiko
yang tingkatan kedua ini, memiliki hubungan dengan
pengembangan faktor risiko tingkatan pertama, misalnya
obesitas merupakan faktor risiko untuk terjadinya hipertensi
dan diabetes (Goldstein dkk, 2010)
6. Penatalaksaan Diet
a. Preskripsi Diet
1) Energi cukup yaitu 25-45 kkal/kg BB, pada fase akut energi
diberikan 1100-1500 kkal/hari, dinaikkan bertahap sesuai
kondisi pasien.
2) Protein cukup yaitu 0,8-1,5 gr/kg BBI/hari (normal), jika ada
penyakit penyerta misalnya ginjal atau ensefalopati disesuaikan
dengan kondisi pasien.
3) Lemak cukup yaitu 20-35% dari kebutuhan energi total,
diutamakan sumber lemak jenuh yaitu kurang dari 10% dari
kebutuhan enrgi total. Untuk lemak omega 3 dianjurkan pada
pasien stroke trombosis.
4) Karbohidrat cukup 60-70 % dari energi total, diutamakan
karbohidrat komplek.
5) Kolesterol dibatasi < 200 mg f) Serat 25-30 gram/hari g)
Cairan 1500-2000 ml/hari (perhatikan kondisi edema, retriksi
cairan dan lain-lain).
6) Vitamin cukup, terutama vitamin A,C,E, sebagai anti oksidan
(sumber dari buah yang berwarna, hati sapi dll), asam folat, B12
untuk mencegah hiper homosisten yang dapat menyebabkan
proses aterosklerosis (sumber pada rumpt laut, hati ayam dll).
7) Mineral cukup, terutama mangan kalsium dan
kalium.Penggunaan natrium dibatasi dengan memberika garam
dapur maksimal ½ sdt/hari (setara dengan kurang lebih 2 gram
natrium)
b. Indikasi Pemberian Diet
8
Tahapan pemberian diet stroke dibagi menjadi 2 fase :
1) Fase akut (24-48 jam)
Diberikan kepada pasien dalam fase akut dengan kondisi
hemodinamik stabil. Makanan diberikan dalam bentuk cair
jernih, cair kental atau kombinasi yang diberikan secara oral
(tanpa penyulit disfagia) atau melalui selang (NGT, PEG, PEJ,
dan sebagainya) sesuai dengan kondisi klinis.
2) Fase pemulihan
Fase pemulihan adalah fase ketika pasien sudah melewati masa
akut, sudah sadar, dan masih dalam kondisi gangguan fungsi
menelan (disfagia)/tidak mengalami disfagia. Bentuk makanan
disesuaikan dengan kemampuan pasien (cair, saring, lunak atau
biasa).
7. Intervensi gizi pada disfagia : modifikasi tekstur makanan
Tabel 1. Tahap dan Konsistensi pada Disfagia

Fase Indikasi
Fase 1 Dapat diminum melalui sedotan, dapat diminum dari
cangkir jika disarankan atau disukai, meninggalkan
sisa tipis di bagian belakang sendo
Fase 2 Tidak dapat diminum melalui sedotan, dapat diminum
dari cangkir, meninggalkan sisa agak tebal di bagian
belakang sendok
Fase 3 Tidak dapat diminum melalui sedotan, tidak dapat
diminum dari cangkir, dapat diminum dengan sendok.

8. Bahan Makanana yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan


Tabel 2. Bahan Makanan yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan

Sumber Bahan Makanan yang Bahan Makanan yang Tidak


Dianjurkan Dianjurkan
Karbohidrat Maizena, tepung beras, Produk olahan yang dibuat
tepung hunkwe dan sagu dengan garam dapur, kue

9
telur manis dan gurih
Protein hewani Susu whole dan skim, telur Daging sapi dan ayam
ayam 3-4 buter / minggu berlemak, jeroan, otak hati,
ginjal, lidah, ikan banyak
duri, es krim, susu penuh,
sarden, keju, daging ikan dan
telur yang diawetkan dengan
garam, seperti daging asap,
ham, bacon. Dendeng abon,
ikan asin, ikan kaleng, kornet,
ebi, telur asin, telur pindang
dan sebagainya
Protein nabati Susu kedelai, sari kacang Pindakas dan semua produk
hijau olahan kacang yang
diawetkan dengan garam dan
digoreng
Lemak Minyak kelapa Margarin dan mentega biasa,
minyak kelapa dan santan
kental, krim dan produk
gorengan
Sayuran Sayuran yang menimbulkan
gas seperti nangka, sawi, kol,
kembang kol, lobak, daun
singkong, daun papaya dan
sayur mentah
Buah Sari buah (jeruk, papaya, Buah yang menimbulkan gas
tomat dan apel) seperti nangka dan durian.
Buah yang diawetkan dengan
garam seperti buah kaleng
dan asinan dalam jumlah
banyak
Bumbu Bumbu yang tajam seperti
cabai, merica dan cuka.

10
Bumbu yang mengandung
pengawet garam seperti
kecap, terasi, petis, tauco,
MSG, baking powder
Minuman Teh encer, sirup, air gula, Teh, kopi, coklat dalam
madu jumlah banyak dan kental

B. Hiperkolesterol
1. Definisi Hiperkolesterol
Hiperkolesterol merupakan suatu kondisi jumlah kolesterol darah melebihi
batas normal. Hiperkolesterol dapat terjadi karena adanya gangguan
metabolisme lemak yang dapat menyebabkan peningkatan kadar lemak darah
yang disebabkan oleh defisiensi enzim lipoprotein, defisiensi reseptor LDL,
kelainan genetika, serta penurunan kemampuan hati dalam membersihkan
kolesterol dalam darah. Gangguan yang terjadi pada darah disebabkan akibat
rendahnya tingkat kolesterol plasma atau High-density lipoprotein (HDL) pada
darah, yang dimana dapat menyebabkan terjadinya perkembangan peradangan
pada darah dan gangguan pada jantung. Kelainan fraksi lipid yang utama
adalah kenaikan kadar kolesterol total, Low Density Lipoprotein (LDL), dan
trigliserida serta penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL) (Laily,
2015).
2. Klasifikasi Kadar Kolesterol
Klasifikasi kolesterol dibagi menjadi dua yaitu kolesterol dan kadar kolesterol
(Yovina, 2012).
a. Jenis Kolesterol
1) Low Density Lipoprotein (LDL)
LDL disebut juga dengan kolesterol jahat karena kandungan
yang ada di dalam tubuh mencapai sekitar 60- 70%. LDL
berperan membawa kolesterol ke seluruh tubuh yang dibutuhkan
melalui jaringan dinding arteri. Jika LDL ini terlalu banyak
maka akan menimbun kolesterol pada arteri yang menyebabkan
terjadinya plak. Timbunan yang menempel pada dinding arteri
akan menyebabkan penyempitan arteri yang disebut dengan
aterosklerosis

11
2) High Density Lipoprotein (HDL)
HDL disebut juga dengan kolesterol baik karena partikel
kolesterol HDL mencegah aterosklerosis dengan mengeluarkan
kolesterol dari tembok arteri dan membuang kolesterol ini
melalui hati sehingga dapat melindungi dari penyakit seperti
jantung dan stroke
b. Kadar Kolesterol Klasifikasi Berdasarkan NECP (National Cholesterol
EducationProgram)
Tabel 3. Nilai Kadar Kolesterol

Batas Kolesterol Total


Ideal < 200 mg/dl
Batas Tinggi 200 – 239 mg/dl
Tinggi > 240 mg/dl

3. Faktor – faktor yang menyebabkan kolesterol


a. Faktor Genetik
Hasil penelitian dari para ahli, faktor genetika yang merupakan faktor
yang dapat diturunkan, biasanya berpengaruh terhadap konsentrasi
HDL kolesterol dan LDL kolesterol di dalam darah seseorang.
Keluarga besar memiliki kadar kolesterol tinggi, kemungkinan
keturunannya memiliki kadar LDL kolesterol tinggi pun bisa terjadi
(Graha, 2010).
b. Faktor Usia
Semakin bertambahnya usia, aktivitas fisik seseorang cenderung
berkurangdan laju metabolisme secara alami akan berjalan semakin
lambat. Hal ini berkaitan dengan semakin melemahnya organ-organ
tubuh.
c. Penderita diabetes
Tingginya tingkat gula darah pada seseorang akan meningkatkan kadar
LDL kolesterol dalam darah, dan menurunkan kadar HDL. Penderita
diabetes yang memiliki kadar gula yang tinggi dapat memicu tubuhnya
untuk memiliki kadar LDL kolesterol yang tinggi. Akibatnya

12
penumpukan kolesterol di dalam darah pun akan semakin banyak dan
meningkatkan risiko memiliki kadar kolesterol di dalam tubuh dan
penyakit jantung (Nova, 2016).
d. Kebiasaan merokok Kebiasaan merokok memberikan pengaruh yang
jelek pada profil lemak, diantaranya konsentrasi yang tinggi pada LDL
kolesterol. Nikotin di dalam rokok merupakan salah satu zat yang
mengganggu metabolisme kolesterol di dalam tubuh (Soeharto, 2004,
Graha, 2010).
4. Manifestasi Klini
Pada permulaannya mungkin masih belum terlihat tanda dan gejalanya.
Apabila hal tersebut berlangsung lama maka dapat ditemukan sebagai berikut :
a. Pengendapan lemak pada tendon dan kulit atau yang biasa disebut
dengan xanthoma.
b. Hati dan limpa membesar yang dapat ditemukan pada pemeriksaan
palpasi.
c. Nyeri perut yang berat akibat adanya radang pankreas akibat dari
pengendapan trigliserida pada pankreas. Hal ini terjadi apabila kadar
trigliserida lebih atau sebesar 800 mg/dl.
d. Nyeri dada kiri pertanda mulai ada serangan jantung koroner karena
lembaran-lembaran kolesterol menyumbat pada pembuluh darah
jantung. Akan tetapi, apabila kadar kolesterol yang biasanya sudah
dirasakan dan sudah memasuki stadium yang cukup parah atau
semakin tinggi kadar kolesterolnya maka baru diperlihatkan gejala
sebagai berikut :
1) Sakit kepala terutama sangat dirasakan pada bagian tengkuk
dan kepala bagian belakang sekitar tulang leher bagian
belakang.
2) Merasa pegal hingga bagian pundak.
3) Sering merasakan cepat lelah.
4) Sendi terasa sakit.
5) Kaki terkadang membengkak.
6) Mudah mengantuk.
7) Merasakan vertigo atau migrain yang sering kambuh.

13
Gejala-gejala tersebut timbul karena disebabkan kurangnya
asupan oksigen, di dalam kadar kolesterol tinggi dapat
menyebabkan aliran darah menjadi kental sehingga oksigen
menjadi berkurang. Tetapi rasa sakit kepala dan timbulnya rasa
pegal tidak selalu menjadi tanda dan gejala yang spesifik yang
dapat diartikan bahwa seseorang menderita kolesterol.
Kolesterol tinggi baru dapat diketahui apabila seseorang
dinyatakan menderita penyakit seperti jantung koroner atau
stroke (Yovina, 2012).
C. Hipokalemia
1. Pengertian Hipokalemia
Hipokalemia merupakan keadaan dimana kadar kalium dalam tubuh berada di
bawah normal. Hipokalemia dapat terjadi karena kehilangan kalium dari dalam
tubuh maupun karena gerakan kalium ke dalam sel-sel. Hipokalemia adalah
keadaan konsentrasi kalium darah di bawah 3,5 mmol/L yang disebabkan oleh
berkurangnya jumlah kalium total tubuh atau adanya gangguan perpindahan
ion kalium ke dalam sel. Hipokalemia menyebabkan hiperpolarisasi dan tidak
responsifnya membran (Nathania, 2019). Gejala yang biasa dijumpai pada
pasien hipokalemia antara lain kelemahan otot, lelah, nyeri otot, denyut nadi
lemah dan tidateratur, pernapasan dangkal, hipotensi. Hipokalemia merupakan
kelainan elektrolit yang paling sering terjadi. Rendahnya kadar kalium di
dalam serum akan meningkatkan kemungkinan terjadinya fibriasi ventrikel
yang pada akhirnya akan menimbulkan risiko terjadinya penyakit stroke. Pada
pasien-pasien dengan hipokalemia, yang harus paling diperhatikan adalah
riwayat obat yang telah digunakan sebelumnya. Namun terjadinya penyakit
stroke itu sendiri akan menjadi suatu stressor yang menyebabkan perpindahan
kalium ke intrasel. Demikian pula pada keadaan serius yang mengakibatkan
kematian pada kegawatan neurologis seperti peningkatan tekanan intrakranial
yang dapat disebabkan oleh trauma kepala, infeksi intrakranial, ataupun tumor
susunan saraf pusat.
2. Patofisiologi
Hipokalemia Hipokalemia dapat disebabkan oleh keadaan kehilangan melalui
ginjal dan gastrointestinal, diet tidak adekuat, perpindahan transeluler
(perpindahan kalium dari serum kedalam sel) dan pengoobatan.

14
a. Kehilangan melalui ginjal dapat terjadi pada keadaan :
1) Renal tubular acidosis
2) Hiperaldosteronisme
3) Deplesi magnesium
4) Leukimia
b. Kehilangan melalui saluran gastrointestinal dapat terjadi pada
keadaan
1) Mual Muntah
2) Diare
3) Penggunaan enema atau pencahar
c. Efek pengobatan terhadap hipokalemia dapat terjadi pada pemberian
1) Diuretik (paling sering)
2) Beta-adrenergic agonists
3) Steroid
4) Theophylline
5) Aminoglikosida
d. Perpindahan kalium transeluler dapat terjadi akibat :
1) Insulin
2) Alkalosis
e. Diet yang tidak pernah adekuat dapat terjadi akibat
1) Malnutrisi
2) Asupan harian yang kurang
3) Pemberian nutrisi parentera
D. Skrining Gizi
Skrining adalah proses untuk mengetahui pasien berisiko malnutrisi atau tidak.
Tahapan pelayanan gizi rawat inap dilakukan dengan skrining gizi gizi terlebih dahulu yang
dilakukan oleh perawat ruangan dan penetapan preskripsi diet awal oleh dokter. Idealnya
skrining dilakukan pada pasien baru 1x24 jam setelah pasien masuk Rumah Sakit. Metode
skrining sebaiknya dilakukan secara singkat, cepat dan disesuaikan dengan kondisi dan
kesepakatan di masingmasing Rumah Sakit. Setelah dilakukan skrining gizi, kemudian
Dietisien melakukan langkah selanjutnya yaitu asuhan gizi sesuai dengan Proses Asuhan Gizi
Terstandar (Asosiasi Dietisien Indonesia, Persatuan Ahli Gizi dan Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2015).

15
BAB III
PROSES ASUHAN GIZI

Proses Asuhan Gizi Terstandar Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) adalah
suatu proses yang sistematis, penyelesaian masalah yang digunakan oleh profesional dietetik
untuk berpikir kritis dan membuat keputusan guna mengatasi masalah terkait gizi dan
menyediakan asuhan gizi yang aman, efektif, dan berkualitas tinggi (VHA, Handbook, 2014).
Proses asuhan gizi menggunakan lima langkah yang disebut dengan ADIME : Assesmen
(Pengkajian), Diagnosis Gizi, Intervensi Gizi, Monitoring, dan Evaluasi (Persatuan Ahli Gizi
Indonesia, Asosisasi Dietisien Indonesia, 2015).
A. Assesmen/Pengkajian
Gizi Proses pengkajian gizi merupakan metode pengumpulan, verifikasi, dan
interpretasi data yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi masalah terkait gizi, penyebab,
tanda dan gejalanya secara sistematik. Pengkajian gizi dikelompokkan dalam 5 kategori
yaitu: anamnesis riwayat gizi, data biokimia, pengukuran antropometri, pemeriksaan fisik
klinis, dan riwayat personal.
1. Anamnesis riwayat gizi
Anamnesis riwayat gizi meliputi data asupan makanan termasuk pola makan, diet saat
ini dan data lain yang terkait. Selain itu diperlukan data kepedulian pasien terhadap
gizi dan kesehatan, aktivitas fisik dan olahraga dan ketersediaan makanan di
lingkungan klien. Gambaran asupan makanan dapat digali melalui anamnesis
kualitatif dan kuantitatif. Anamnesis riwayat gizi secara kualitatif dilakukan untuk
memperoleh gambaran kebiasaan makan/pola makan sehari berdasarkan frekuensi
penggunaan bahan makanan. Anamnesis secara kuantitatif dilakukan untuk
mendapatkan gambaran asupan gizi sehari melalui recall 24 jam
2. Data biokimia

16
Data biokimia meliputi hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan yang berkaitan
dengan status gizi, status metabolik dan gambaran fungsi organ yang berpengaruh
terhadap timbulnya masalah gizi. Pengambilan kesimpulan dari data laboratorium
terkait masalah gizi yang harus selaras dengan data assesmen gizi lainnya seperti
riwayat gizi yang lengkap, termasuk penggunaan suplemen, pemeriksaan fisik, dan
lain sebagainya.
3. Pengukuran antropometri
Pengukuran antropometri merupakan pengukuran fisik pada individu. Antropometri
dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain pengukuran tinggi badan (TB) dan
berat badan (BB), dan panjang badan (PB). Pengukuran lain seperti lingkar lengan
atas (LLA), tebal lipatan kulit (skinfold), lingkar kepala, lingkar dada, lingkar
pinggang dan lingkar pinggul dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Penilaian
status gizi dapat dilakukan dengan membandingkan beberapa ukuran tersebut diatas
misalnya dengan Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu ratio berat badan (BB) terhadap
tinggi badan (TB).
4. Pemeriksaan fisik/klinis

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan klinis yang berkaitan
dengan gangguan gizi atau dapat menimbulkan masalah gizi. Pemeriksaan fisik terkait
gizi merupakan kombinasi dari tanda-tanda vital dan antropometri yang dapat
dikumpulkan dari catatan medik pasien serta wawancara.
5. Riwayat personal Data riwayat personal meliputi 4 area yaitu sebagai berikut :
a. Riwayat obat-obatan yang digunakan dan suplemen yang dikonsumsi.
b. Sosial budaya
Status sosial ekonomi, budaya, kepercayaan atau agama, situasi rumah,
dukungan pelayanan kesehatan dan sosial serta hubungan sosial.
c. Riwayat penyakit
Keluhan utama yang terkait dengan masalah gizi, riwayat penyakit
dulu dan sekarang, riwayat pembedahan, penyakit kronik atau risiko
komplikasi, riwayat penyakit keluarga, status kesehatan mental atau
emosi
d. Data umum pasien antara lain: umur, pekerjaan, dan tingkat
pendidikan.
B. Diagnosis Gizi

17
Diagnosis gizi adalah proses identifikasi dan memberi nama masalah gizi yang
spesifik karena profesi dietetik bertanggungjawab untuk merawatnya secara mandiri. Tujuan
penegakkan diagnosis gizi adalah mengidentifikasi adanya masalah gizi. Diagnosis gizi
dinyatakan dalam rumusan problem, etiology, sign and symptoms (PES). Berdasarkan
terminologi dalam International Dietetic and Nutrition Terminology (IDNT), terdapat 3
domain diagnosis gizi yaitu sebagai berikut
1. Domain intake adalah masalah aktual yang berhubungan dengan asupan energi, zat
gizi, cairan, substansi bioaktif dari makanan, baik yang melalui oral maupun
parenteral dan enteral.
2. Domain klinis adalah masalah gizi yang berkaitan dengan kondisi medis atau
fisik/fungsi organ.
3. Domain perilaku/lingkungan adalah masalah gizi yang berkaitan dengan pengetahuan,
perilaku/kepercayaan, lingkungan fisik, akses dan keamanan makanan.
C. Intervensi Gizi
Intervensi gizi adalah tindakan terencana yang dirancang untuk mengubah ke arah
positif dari perilaku, kondisi lingkungan terkait gizi atau aspek-aspek kesehatan individu
(termasuk keluarga dan pengasuh). Intervensi gizi memiliki 2 fungsi yaitu sebagai berikut:
1. Perencanaan intervensi
2. Dalam perencanaan terdapat 2 hal yang harus ditetapkan:
a. Tujuan intervensi gizi
Tujuan intervensi harus diuraikan secara jelas, terukur,
menggambarkan waktu dan mungkin dicapai sehingga dampak
intervensi dapat dinilai. Tujuan intervensi yang baik harus mampu
menjawab problem dalam rumusan diagnosis gizi
b. Terapi gizi dalam bentuk preskripsi gizi/diet
Preskripsi gizi/diet adalah pernyataan singkat mengenai anjuran asupan
energi dan atau zat gizi, air, atau makanan tertentu untuk pasien secara
individu berdasarkan standar rujukan, pedoman, kondisi medis pasien
dan diagnosis gizi.
D. Implementasi
Intervensi Implementasi adalah bagian kegiatan intervensi gizi yang dilakukan
nutrisionis-dietisien dalam melaksanakan dan mengomunikasikan rencana asuhan kepada
pasien dan tenaga kesehatan atau tenaga lain yang terkait. Dalam terminologi IDNT terdapat
4 domain yaitu sebagai berikut:

18
1. Pemberian makanan dan/zat gizi
2. Edukasi gizi
3. Konseling gizi
4. Koordinasi asuhan gizi
E. Monitoring dan Evaluasi Gizi
Monitoring gizi adalah kegiatan mengkaji ulang dan mengukur secara terjadwal
indikator asuhan gizi dari status pasien sesuai dengan kebutuhan yang ditentukan, diagnosis
gizi, intervensi dan outcome (hasil) asuhan gizi yang diberikan. Evaluasi gizi adalah kegiatan
membandingkan secara sistematik data-data saat ini dengan status sebelumnya, tujuan
intervensi gizi, efektivitas asuhan gizi secara umum dan/atau membandingkan dengan
rujukan standar. Terdapat 3 langkah kegiatan monitoring dan evaluasi gizi yaitu sebagai
berikut:
1. Monitoring perkembangan Monitoring perkembangan adalah kegiatan
mengamati perkembangan kondisi pasien/klien yang bertujuan untuk melihat
hasil yang terjadi sesuai yang diharapkan oleh klien maupun tim.
2. Mengukur hasil Kegiatan mengukur hasil yaitu mengukur
perkembangan/perubahan yang terjadi sebagai responden terhadap intervensi
gizi. Parameter yang harus diukur berdasarkan tanda dan gejala yang berasal
dari diagnosis.
3. Evaluasi hasil Berdasarkan ketiga tahapan kegiatan diatas akan didapatkan 4
jenis hasil, yaitu sebagai berikut:
a. Dampak perilaku dan lingkungan terkait gizi yaitu tingkat pemahaman,
perilaku, akses dan kemampuan yang mungkin mempunyai pengaruh
pada asupan makanan dan zat gizi.
b. Dampak asupan makanan dan zat gizi yang berasal dari berbagai
sumber, misalnya makanan, minuman, suplemen, dan melalui rute oral,
pipa maupun parenteral
c. Dampak terhadap tanda dan gejala fisik yang terkait gizi yaitu terkait
dengan pengukuran antropometri, data biokimia, dan parameter
pemeriksaan fisik klinis.
d. Dampak terhadap pasien terhadap intervensi gizi yang telah diberikan
pada kualitas hidupnya.
F. Landasan Teori

19
Stroke adalah gangguan peredaran otak yang dapat mengakibatkan fungsi otak
terganggu dan bila gangguan yang terjadi cukup besar akan mengakibatkan kematian pada sel
saraf yang dapat membuat keterbatasan dalam beraktivitas. Stroke dapat dipicu karena
adanya penyakit lain seperti hipertensi yang disebut dengan silent killer, diabetes melitus,
obesitas dan berbagai gangguan aliran darah menuju otak. Hiperkolesterol dan hipokalemia
merupakan faktor risiko yang dapat dikontrol dalam penanganan penyakit stroke.
Penanganan tersebut dilakukan dengan memberikan asuhan gizi. Asuhan gizi
diberikan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan zat gizi untuk perbaikan organ tubuh dan
mencegah peningkatan risiko penyakit maupun komplikasi. Skrining gizi merupakan langkah
awal sebelum dilakukannya Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT).
Metode skrining sebaiknya dilakukan secara singkat, cepat dan disesuaikan dengan
kondisi dan kesepakatan di masing-masing Rumah Sakit. Proses Asuhan Gizi Terstandar
(PAGT) harus dilakukan secara sistematis atau tersusun dengan baik yang dimulai dengan
menggunakan lima langkah yang disebut dengan ADIME : Assesmen (Pengkajian),
Diagnosis Gizi, Intervensi Gizi, Monitoring, dan Evaluasi. Langkahlangkah tersebut sangat
berkaitan dan merupakan sebuah siklus yang terus diulang sesuai dengan kondisi pada pasien.
Tahap pertama adalah assesmen/pengkajian gizi yang dikelompokkan dalam 5 kategori yaitu:
anamnesis riwayat gizi, data biokimia, pengukuran antropometri, pemeriksaan fisik klinis,
dan riwayat personal. Diagnosis gizi mengidentifikasi adanya masalah gizi. Tahap kedua
adalah penentuan diagnosis gizi yang dinyatakan dalam rumusan problem, etiology, sign and
symptoms (PES). Berdasarkan terminologi dalam International Dietetic and Nutrition
Terminology (IDNT), terdapat 3 domain diagnosis gizi yaitu domain intake, domain klinis
dan domain perilaku/lingkungan. Tahap ketiga adalah intervensi gizi yang memiliki 2 fungsi
yaitu perencanaan intervensi yang meliputi tujuan intervensi gizi dan terapi gizi dalam bentuk
preskripsi gizi/diet. Sedangkan untuk implementasi yang tercantum dalam terminologi IDNT
terdapat 4 domain yaitu pemberian makanan dan/zat gizi, edukasi gizi, konseling gizi, dan
koordinasi asuhan gizi. Tahap terakhir adalah monitoring dan evaluasi gizi. Terdapat 3
langkah kegiatan monitoring dan evaluasi gizi yaitu monitoring perkembangan, mengukur
hasil dan evaluasi hasi

20
BAB IV
STUDI KASUS

A. Metode
Studi kasus ini dilaksanakan dengan penelusuran peran asuhan gizi dalam mengatasi
Hemipareses Dekstra Susp.NHS pada pasien rawat inap di RSUD dr Harjono Ponorogo
Ruang Dahlia Pengamatan dilaksanakan selama 5 hari berturut-turut. Indikator yang
dievaluasi tingkat asupan menggunakan sesilisih makanan lengkap dan sisa makanan pasien,
data hasil pemeriksaan laboratorium dan hasil pemeriksaan fisik klinik diambil secara
sekunder dari rekam medik pasien
B. Hasil Studi Kasus
1. Anamese
Seorang pasien (Tn.O) dirawat dengan diagnosa medis sstroke Hemipareses
Dekstra. Usia 53 tahun. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien tibat- iba mengeluh
tidak bisa menggerakkan badan sebelah kanan sejak 5 hari yang lalu sebelum
masuk rumah sakit. Pada awal serangan stroke pasien mengalami kesulitan
menelan perlahan lahan mulai membaik sejak menjalani perawatan di RSUD
dr Harjono Ponorogo Ruang Dahlia . Pasien berbicara masih kurang jelas dan
bibir nampak kering. BAB Biasa, BAK lancer, mual (+) kadang-kadang,
muntah (-) dan nyeri pada kepala (+). Pasien belum bisa turun dari tempat
tidur. Jenis diet yang diberikan Diet stroke. Hasil asessment diagnosa gizi
pada pasien menunjukan bahwa pasien mengalami masalah gizi sebagai mana
pada tabel 1
2. Diagnosa gizi pasien Pasien Stroke Hemipareses Dekstra

21
Tabel I Diagnosa gizi pasien Pasien Stroke Hemipareses Dekstra

Simbol Problem Etiologi Symtom


NC-3.3 Berat badan Disebabkan karena IMT = 26,77kg/m
lebih/overweight pola makan salah Overweight (berat badan
lebih)
NC-2.2 Kelebihan intake Ketidak mampuan Hasil recall 24 jam
makanan dan dalam membatasi sebelum masuk rumah
minuman via oral makanan dan sakit : Asupan energi
minuman 118.4 %
NC-2.2 Perubahan nilai Gangguan fungsi GDS 351 mg/dl (N=110-
laboratorium terkait endokrin 200)
zat gizi khusus
NB-1.2 Kepercayaan/sikap Kebiasaan makan Tidak siap untuk
yang salah mengenai yang tidak sehat melaksanakan diet
makanan atau zat gizi

Tabel 1 menunjukan rangkuman diagnosa dari hasil asessment pada pasien selama
5 hari pengamatan. Diagnosa gizi bersifat dinamis sehingga peubahannya sangat cepat sesuai
respon pasien terhadap terapi gizi. Pada pasien terdapat empat (4) diagnosa gizi yang utama
dan dapat di perbaiki melalui asuhan gizi dalam bentuk intervensi gizi maupun edukasi gizi .
Pada pasien dilakukan pengamatan selama lima (5) hari berturut-turut. Hal yang dipantau
adalah Hasil pemeriksaan laboratorium, hasil pengukuran fisik klinik yang diambil secara
sekunder dari rekam medis pasien. Adapun hasil pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada
tabel 2.

Tabel 2 Nilai Rata-Rata Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien

Jenis pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai rujukan Keterangan


Dewasa normal
GDS 351 mg/dl 110-200 mg/dl Tinggi
Hemoglobin 12,1 g/dl 12-16 g/dl Normal
SGOT 14 U/L 9-25 U/L Norma
SGPT 21 U/L 7-30 U/L Normal
Asam urat 7,3 mg/dl 2,3-6,6 Tinggi

22
Kolestrol total 271 mg/dl 100-200 mg/dl Tinggi

Hasil penelusuran hasil pemeriksaan laboratorium selama dua (2) kali pemeriksaan
diperoleh rata-rata hasil pemeriksaan sebagaimana terdapat pada tabel 2 menunjukan bahwa
pasien mengalami peningkatan asam urat, Kadar Gula Darah Sewaktu dan kolestrol total.
Nilai laboratorium ini menunjukan bahwa kondisi pasien harus dalam pengawasan ahli gizi

Tabel 3 Hasil pemeriksaan Klinik pada Pasien


Data Hasil pengukuran Hasil pengukuran Nilai normal Keterangan
Keadaan Umum Lemah badan sebelah tidak ada gangguan Lemah
kiri gerak
Tekanan Darah 160/90 mmHg 120/20 mmHg Tinggi
Nadi 84 x/menit menit 60-100 x/menit

Grafik 1 : Gambaran rata- rata tingkat asupan energi dan zat gizi makro pada
pasien

Tingkat Asupan Energi dan Zat Gizi


Makro
90
85
80 80
70 70
65 66
60 60 60 62
58 57 58
56
50
40 43
40 42
39
38 39
30
20
10
2 3 4 5
0 1
1 2 3 4 5

Series2 ENERJI PROTEIN


LEMAK KARBOHIDRAT

Grafik 1 memberikan gambaran asupan pasien selama lima hari pengamatan.


Tingkat asupan energi dan zat gizi makro pasien pada dasarnya tidak pernah

23
sesuai kebutuhan atau 100 % asupan. Asupan pasien cenderung naik turun.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor psikologis dan terapi yang diterima pasien

BAB V
PENUTUP
A. Pembahasan

Salah satu terapi untuk dapat mengatasi penyakit tersebut ialah dengan terapi diet
yang dilakukan oleh tenaga gizi khususnya dietisien di rumah sakit. Penatalaksanaan diet saat
ini menggunakan Nutritional Care Proses (NCP) atau Proses Asuhan Gizi Terstandar
(PAGT). Terapi diet bertujuan untuk membantu pasien memenuhi kebutuhan gizinya
sehingga mencapai kondisi optimal guna mencegah kerusakan jaringan serta mengurangi
kerusakan jaringan tubuh.

Tujuan pemberian diet pada pasien stroke pada dasarnya untuk memberikan
makanan secukupnya dalam memenuhi kebutuhan gizi pasien; mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit; dikonsumsi pasien membantu menghilangkan retensi
garam atau air dalam jaringan tubuh dan menurunkan tekanan darah pasien serta
meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal. Dalam asuhan
gizi di rumah sakit dengan pola NCP tujuan ini akan dapat dicapai dengan optimal dimana
pasien dapat dilayani secara individu dan bersifat standar. Pada pasien asuhan gizi yang
dilaksanakan di rumah sakit sudah memenuhi kaidah asuhan gizi yang menganut NCP. Selain
mengacu pada hasil perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi pasien. Pada kasus ini juga
dilakukan asuhan gizi yang bersifat umum yaitu Cairan cukup, yaitu 2,6 L setara dengan 8
gelas/hari; Bentuk makanan yang diberikan yaitu makanan lunak sesuai dengan kondisi
pasien; Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering; Penggunaan gula murni dalam
minuman dan makanan tidak diperbolehkan, kecuali jumlahnya sedikit sebagai bumbu;

24
Vitamin dan mineral cukup serta Makanan utama 3x/hari dan selingan 3x/hari. Selain
intervensi gizi pada pasien juga diberikan intervensi edukasi gizi dengan tujuan Agar pasien
dan keluarga pasien; Mengerti tentang diet yang diberikan;

Dapat menjalani diet yang dianjurkan dengan baik; dan Mengerti tentang
makanan dan minuman yang dibatasi dan dianjurkan untuk dikonsumsi. Edukasi diberikan
pada keluarga pasien mengingat pasien masih belum memungkinkan untuk diberikan
edukasi. Pada pasien TN.O selain menderita stroke juga terjadi peningkatan kadar gula darah
sehingga ada dugaan bahwa pasien komplikasi Diabetes Mellitus, meskipun masih harus
dievaluasi dengan pemerksaan GDP (Gula darah Puasa). Diabetes dengan stroke memiliki
hubungan yang cukup erat, terutama apabila anda tidak mengendalikan diabetes yang
dimiliki. Penderita diabetes rentan terkena penyakit kardiovaskuler (termaksud jantung dan
stroke), dibandingkan dengan orang normal, mereka dengan diabetes memiliki resiko 1,5 kali
lebih besar untuk terserang stroke. Pada penderita diabetes, insulin yang seharusnya berperan
memasukan glukosa ke dalam sel tubuh, tidak bekerja dengan baik. Akibatnya, glokosa yang
seharusnya dipecah menjadi energi di dalam sel tubuh tetap berkumpul dalam pembuluh
darah bahkan ketika kadarnya sudah terlalu tinggi.

B. Kesimpulan
1. Hasil laboratorium menunjukkan tingginya kadar glokosa darah, asam urat dan
kolesterol total
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik/klinis pasien tetap dalam keadaan lemah
badan, tekanan darah pasien pada hari pertam tinggi yaitu 160/90 mmHg.
3. Asupan makan pada pasien belum baik, pasien tidak dapat menghabiskan
makanan yang diberikan dikarenakan kondisi pasien yang masih sangat lemah
jadi pasien belum mampu untuk makan sendiri dan masih harus dibantu saat
makan
C. Saran
1. Pemberian edukasi gizi kepada pasien dan keluarga pasien mengenai diet yang
diberikan (jenis diet, tujuan diet, syarat diet, makanan dianjurkan dan makanan
tidak dianjurkan) sebaiknya dilakukan setiap hari sehingga pasien dan
keluarga mengerti tentang diet yang diberikan.
2. Monitoring dan evaluasi tingkat konsumsi pasien dilaksanakan untuk setiap
kali makan untuk mengetahui keadaan pasien, sehingga dapat menentukan
perkembangan diet, dan asupan dari luar rumah sakit

25
DAFTAR PUSTAKA’

Almatsier, S. 2004. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
American Heart Association. (20017). The 2017 Guideline for The Prevention, Detection,
Evaluation, and Management of High Blood Pressure In Adults. Texas: American
Heart Association, pp 1 – 20.
Ariestiningsih, A. D. (2019). Asuhan Gizi Penyakit Hipertensi. Dalam: Supariasa IDN dan
Handayani D, Asuhan Gizi Klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
halaman 136 – 154.
Batubara, I., B. Tridaya and A. Pulungan (2010). Buku Ajar Endokrin Anak edisi 1, IDAI.
Bilous, R. and R. Donelly (2014). Buku Pegangan Diabetes. Jakarta, Bumi Media. Budianto,
A. K. (2009). Dasar – dasar Ilmu Gizi. Malang: UMM Pers.
Couch, S. C. dan Debra, A. K. (2008). Medical Nutrition Therapy for Hypertension. Dalam:
Mahan LK dan Sylvia ES, editor. Krause’s Food & Nutrition Therapy. 12 th ed.
St. Louis Missouri: Saunders Elsevier, pp. 865-877.
DeBeasi LC. (2006). Fisiologi Sistem Kardiovaskular. Dalam: Price SA dan Wilson LM,
Patofisiologi Konsep Klinis proses – proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, halaman 530 – 546.
James, P. A., Opasril, S., Carter, B.L., dkk. (2014). Evidence – Based Guideline for The
Management of High Blood Pressure in Adults: Report from The Panel members
Appointed to The Eighth Joint National Committee (JNC 8).
Kementerian Kesehatan RI. (2013a). Pedoman Teknis Penemuan dan Tata Laksana
Hipertensi. Direktorat Pengendalian PTM Subdit Pengendalian Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah. Jakarta: Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Pusat Data dan Informasi.
Micha, R., dkk. (2017). Etiologic effects and optimal intakes of foods and nutrients for risk of
cardiovascular diseases and diabetes: Systematic reviews and meta – analyses
from the Nutrition and Chronic Diseases Expert Group (NutriCoDE). PLoS ONE.
12 (4): e0175149.
26
PB Perkeni. (2015). Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia.
Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (2017). Jakarta Selatan.
Rahardjo P. (2007). Kaitan Antara Hipertensi dan Penyakit Ginjal. Dalam: Surat
kabar/majalah Republika. Universitas Indonesia
Supariasa. (2001). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Utama
Ahlsio, B., Britton, M., Murray. V & Theorell, T. (2008). Disablemen and quality of life after
stroke. Chinese Journal of Stroke, 34 (5), 49-55.
Ahmad, S. A. (2000). Stroke di Indonesia Cermin Dunia Kedokteran.
Harsono. (2011). Pencegahan stroke primer dan skunder. Handout.
Hidayat, A.A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknis Analisa Data. Jakarta,
Salemba Medika

27

Anda mungkin juga menyukai