Anda di halaman 1dari 35

BAB II

KONSEP TEORITIS

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi CVA
Cerebro Vaskullar Accident (CVA) merupakan suatu kondisi di mana
seseorang mengalami pecahnya atau tersumbatnya pembuluh darah di otak
yang biasanya di sebabkan oleh beberapa faktor antara lain hipertensi,
diabetes, maupun hal lainnya. Dimana yang seharusnya otak mendapatkan
pasokan oksigen dan makanan ke otak tidak mendapatkan asupan hal ini
menyebabkan neuron yang berada di saraf mengalami kematian sehingga
mengganggu kinerja otak (Hartono et al., 2019).
Cerebro Vaskullar Accident (CVA) atau bisa dikenal sebagai stroke,
suatu penyakit neurologis yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah
otak secara mendadak yangmengakibatkan kelumpuhan anggota gerak,
gangguan bicara, proses berfikir, dan bentuk kecacatan yang lain akibat
gangguan fungsi otak (Okdiyantino dkk, 2019).
Stroke adalah terputusnya aliran darah ke otak, karena tersumbatatau
pecahnya pembuluh darah ke otak sehingga pasokan darah dan oksigen ke
otak berkurang yang dapat menyebabkan gangguan fisik atau disabilitas
(Ghani dkk, 2019).

2. Klasifikasi CVA
Menurut Hartono (2019), klasifikasi CVA sebagai berikut :
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
Defisit neurologisyang terjadi dalam durasi kurang dari 12 jam, sebagian
besar terjadi 5-30 menit. Serangan disebabkan karena adanya emboli dan
trombus lokal. Gejala akan hilang jika oklusi dikeluarkan atau dilarutkan
(sebagian atau seluruhnya).
b. Revesible Ischemic Neurologic Deficit
Gejala stroke berlangsung 24 jam hingga beberapa minggu. Pasien
mengalami kerusakan minimal, sedang atau tidak ada kerusakan
permanen.
c. Stroke in Evolution
Gejala berlangsung dari 24 jam dengan kerusakan neurologis yang
progresif, terdapat dari kerusakan neurologis.
d. Completed Stroke
Timbulnya kerusakan neurologis yang permanen, stroke ini dibagi
menjadi 4, yaitu :
1) Stroke Lakunar
Infark lakunar terjadi karena pembuluh halus hipertensive dan
menyebabkan sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa
jam atau kadang-kadang lebih lama. Merupakan infark yang terjadi
setelah oklusi aterotrombotik atau hialin lipid.
Penyebabnya : Microatheroma, Lipophyalinosis, Hipertensi sekunder
atau vaskulisis nekrosis fibrinoid, Hialin arterosklerosis, Amiloid
angiopathy.
2) Stroke Trombotik Pembuluh Besar
Sebagian besar pada stroke ini terjadi saat tidur, saat pasien relatif
mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Strokeini sering
berkaitan dengan lesi aterosklerosis yang menyebabkan penyempitan
atau stenosis dia erteria carotis interna atau yang lebih jarang
dipangkal arteria cerebri media atau ditaut arteria vertebralis dan
basilaris.
3) Stroke Embolik
Stroke embolik diklasifikasikan berdasarkan arteri yang terlibat
(misalnya stroke arteria vertebralis) atau asal embolus. Asal stroke
embolik dapat suatu arteri distal atau jantung.
4) Stroke Kriptogenik
Suatu keadaan dimana pasien mengalami oklusi mendadak pembuluh
intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas karena sumber
penyebabnya tersembunyi bahkan setelah dilakukan pemeriksaan
diagnostik dan evaluasi klinis yang ekstensif.

3. Etiologi CVA
Penyebab CVA dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu non-modifable dan
modifable.
a. Non-modifable
1) Usia
Resiko stroke meningkat seiring dengan pertambahan usia, dua kali
lipat lebih besar ketika seseorang berusia 55 tahun keatas, namun
stroke dapat terjadi pada semua usia.
2) Jenis kelamin
Stroke juga lebih umum terjadi pada laki-laki dari pada wanita, namun
lebih banyak wanita meninggal akibat stroke dari pada laki-laki.
3) Ras
Ras Afrika-Amerika (berkulit hitam) memiliki resiko yang lebih besar
mengalami stroke dari pada ras yang berkulit putih. Hal ini
berhubungan dengan tingginya insiden hipertensi, obesitas, dan DM
pada ras Afrika-Amerika.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga terhadap kejadian stroke, serangan TIA sebelumnya,
atau stroke sebelumnya juga meningkatkan resiko terjadinya stroke.
Orang tua yang pernah mengalami stroke dikaitkan dengan
peningkatan resiko tiga kali lipat kejadian stroke pada keturunannya.
5) Peningkatan tekanan karotis
Indikasi terjadinya artherosklerosis yang meningkatkan resiko
serangan stroke.
b. Modifable
Penyebab stroke modifable adalah faktor yang berpotensi dapat diubah
melalui perubahan gaya hidup dan tindakan medis, sehingga mengurangi
resko terjadinya stroke.
1) Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya stroke baik non
peradarahan atau perdarahan, dan juga menjadi faktor terjadinya
gangguan jantung yang menjadi penyebab munculnya emboli otak.
Hipertensi sangat berpengaruh pada peredaran darah otak, karena
menyebabkan terjadinya penebalan dan remodelling pembuluh darah
hingga memperkecil diameternya.
2) Penyakit jantung
Penyakit jantung meliputi fibrilasi atrial, infark miokard,
kardiomiopati, abnormalitas katup jantung, dan kelainan jantung
congenital juga termasuk kedalam faktor resiko stroke. Fibrilasi
atrium adalah faktor resikoyang paling penting diobati.
3) Diabetes Mellitus
DM merupakan faktor resiko yang penting terhadap kejadian sroke
dan meningkatkan resiko kejadian stroke pada semua usia. Individu
dengan diabetes mellitus memiliki resiko lima kali lebih besar
terserang stroke daripada individu yang tidak menderita DM.
4) Peningkatan kolesterol serum
Hiperlipidemia didefinisikan sebagai kondisi dimana kadar kolesterol
total lebih atau sama dengan 240 ml/dL. Kadar kolesterol yang tinggi
merupakan faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan
serebrovaskular.
5) Merokok
Merokok merupakan faktor resiko untuk stroke, karena dapat
meningkatkan efek terbentuknya thrombus dan pembentukan
arteroskleroosis pada pembuluh darah. Merokok meningkatkan
hampir dua sampai empat kali lipat resiko stroke.
6) Efek alkohol
Efek alkohol terhadap resiko stroke tergantung pada jumlah alkohol
yang dikonsumsi. Mengkonsumsi lebih dari 1-2 minuman beralkohol
setiap hari memiliki resiko tinggi terhadap hipertensi, yang juga
meningkatkan resiko menderita stroke.
7) Obesitas
Obesitas juga berkaitan dengan hipertensi, gula darah tinggi, dan
kadar lipid darah,dimana semuanya dapat meningkatkan resiko
terjadinya stroke.
8) Ketidakaktifan fisik
Hubungan ketidakaktifan fisik dan peningkatan resiko stroke sama
besar baik pada laki-laki maupun perempuan, tanpa memandang
etnis/ras. Manfaat aktifitas fisik yang rutin dilakukan baik ringan
maupun sedang dapat memberikan efek yang menguntungkan
terutama untuk menurunkan faktor resiko.
9) Diet
Pengaruh diet pada stroke belum diketahui dengan jelas, meskipun
diet tinggi lemak jenuh dan rendah konsumsi buah dan sayuran dapat
meningkatkan resiko stroke. Penggunaan obat-obatan terlarang,
terutama pengguanaan kokain telah dikaitkan dengan resiko stroke.
10) Sleep Apneu
Sleep apneu merupakan faktor independen untuk stroke dan dapat
meningkatkan resiko stroke atau kematian dua kali lipat.

4. Patofisiologi CVA
Otak manusia sangat sensitif terhadap kondisi penurunan atau
hilangnya suplai darah. Hipoksia dapat menyebabkan iskemik serebral
karena tidak seperti jaringan pada bagian tubuh lain misalnya otot, otak
tidak bisa menggunakan metabolisme anaerobik jika terjadi kekurangan
oksigen atau glukosa. Otak diperfusi dengan jumlah yang cukup banyak
dibanding dengan organ lain yang kurang vital untuk mempertahankan
metabolisme serebral. Iskemik jangka pendek dapat mengarah pada
penurunan sistem neurologis sementaraatau TIA.
Jika aliran darah tidak diperbaiki, terjadi kerusakan yang tidak dapat
diperbaiki, terjadi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada jaringan otak
atau infark bergantung pada lokasi dan ukuran arteri yang tersumbat dan
kekuatan sirkulasi kolateral ke arah yang disuplai. Iskemik dengan cepat
bisa mengganggu metabolisme. Kematian sel dan perubahan yang permanen
dapat terjadi dalam waktu 3-10 menit. Tingkat oksigen dasar pasien dan
kemampuan menkompensasi menentukan seberapa cepat perubahan yang
tidak bisa diperbaiki akan terjadi. Aliran darah dapat terganggu oleh
masalah perfusi lokal, seperti pada stroke atau gangguan stroke secara
umum, misalnya pada hipotensi atau henti jantung.
Tekanan perfusi serebral harus turun dua pertiga di bawah nilai
normal (nilai tengah tekanan arterial sebanyak 50 mmHg atau dibawahnya
dianggap nilai normal) sebelum otak tidak menerima aliran darah yang
adekuat. Dalam waktu yang singkat, pasien yang sudah kehilangan
kompensasi autoregulasi akan mengalami manifestasi dari gangguan
neurologis. Penurunan perfusi serebral biasanya disebabkan oleh sumbatan
di arteri serebral atau perdarahan intraserebral.
Sumbatan yang terjadi mengakibatkan iskemik pada jaringan otak
yang mendapatkan suplai dari darah arteri yang terganggu dan karena
adanya pembengkakan di jaringan sekelilingnya. Sel-sel dibagian tengah
atau utama pada lokasi stroke akan mati dengan segera setelah kejadian
stroke terjadi. Hal ini dikenal dengan istilah cedera sel-sel saraf primer
(primary neuronal injury). Daerah yang mengalami hipoperfusi juga terjadi
disekitar bagian utama yang mati. Bagian ini disebut penumbra ukuran dari
bagian ini tergantung pada sirkulasi kolateral yang ada. Sirkulasi kolateral
merupakan gambaran pembuluh darah yang memperbesar airkulasi
pembuluh darah utama dari perbedaan ukuran dan jumlah pembuluh darah
kolateral dapat menjelaskan tingkat keparahan manifestasi stroke yang
dialami seseorang (Joyce and Jane, 2018).
5. Pathways

Hipertensi/terjadi perdarahan

Peningkatan tekanan sistemik

Aneurisma

Perdarahan arakhnoid/ventrikel

Hematoma serebral

PTIK/herniasi serebral Resiko perfusi serebral tidak


efektif

Penurunan Penekanan saluran Vasospasme arteri


kesadaran pernafasan serebral/saraf serebral

Resiko Pola nafas tidak Ischemik/infark


aspirasi efektif
Defisit neurologis

Area Grocca Hemisfer kiri Hemisfer kanan

Kerusakan fungsi Nervus Hemiplegi/parase Hemiplegi/parase


VII dan Nervus XII kanan kiri

Gangguan komunikasi
verbal
Gangguan
Gangguan
mobilitas fisik
integritas kulit

Pathways 2.1 Stroke Haemoragic


Kolesterol, merokok, obesitas, Usia, penyakit bawaan, jenis
stress, life style kelamin

Arterosklerosis

TD meningkat Trombosis emboli Spasme pembuluh


darah

Pembuluh darah pecah Suplai darah tidak


adekuat di otak Nyeri kepala
(vertigo)
Volume intracranial
meningkat Hipoksia/iskemia
jaringan otak Nyeri akut

Resiko perfusi Gangguan


serebral tidak efektif mobilitas fisik

Gangguan
Vasodilatasi komunikasi verbal

Cidera/kongestif pada Defisit nutrisi


daerah otak

TIK meningkat

Penekanan batang otak Gangguan pernafasan Perubahan kesadaran,


pupil, TTV, dan pola nafas

Gangguan kardiovaskuler Bersihan jalan nafas


tidak efektif Bedrest

Kontraksi jantung terganggu


Dekubitus

Pathways 2.2 Stroke Non Haemoragic Gangguan integritas


kulit
6. Manifestasi Klinis CVA
Secara umum tanda dan gejala CVA berupa lemas mendadak di
daerah wajah, lengan atau tungkai, terutama disalah satu sisi tubuh,
gangguan penglihatan seperti ganda atau kesulitan melihat pada salah satu
atau kedua mata, bingung mendadak, tersandung saat berjalan, pusing,
hilangnya keseimbangan atau koordinasi, nyeri kepala mendadak tanpa
kasus yang jelas.
Menurut Soeharto (2018), manifestasi klinis dari CVA adalah sebagai
berikut :
a. Nyeri kepala yang sangat hebat menjalar ke leher dan wajah
b. Mual dan muntah
c. Kaku
d. Penurunan kesadaran
e. Hilangnya kekuatan (atau timbulnya gerakan canggung) di salah satu
bagian tubuh terutama di salah satu sisi, termasuk wajah, lengan atau
tungkai
f. Rasa baal (hilangnya sensasi) atau sensasi tidak lazim di suatu bagian
tubuh, terutama jika hanya salah satu sisi
g. Hilangnya penglihatan total atau parsial di salah satu sisi
h. Kerusakan motorik dan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan
motorik
i. Gangguan komunikasi seperti : disatria (kesulitan bicara), disfasia atau
afasia (kerusakan komunikasi/hilangnya fungsi bicara), apraksia
(ketidakmampuan melakukan tindakan)
j. Gangguan persepsi
k. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
l. Disfungsi kandung kemih
7. Komplikasi CVA
Komplikasi CVA menurut Ariani & April (2018), adalah sebagai berikut :
a. Komplikasi dini (0-48 jam pertama)
1) Edema serebri
Defisit neurologis cenderung memberat, dapat mengakibatkan tekanan
intrakranial, herniasi dan akhirnya menimbulkan kematian
2) Infark miokard, penyebab kematian mendadak pada stroke stadium
awal
b. Komplikasi jangka pendek (1-14 hari pertama)
1) Peneumonia : akibat monilisasi lama
2) Infark miokard
3) Emboli paru : cenderung 7-14 hari pasca stroke, seringkali pada saat
penderita mulai mobilisasi
4) Stroke rekuren : dapt terjadi setiap saat
5) Komplikasi jangka panjang stroke rekuren, infark miokard, gangguan
vaskular lain : penyakit vaskular perifer.

8. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Ariani & April (2018), pemeriksaan penunjang CVA adalah
sebagai berikut :
a. CT Scan bagian kepala, pada stroke non-haemoragic terlihat adanya
infark, sedangkan pada stroke haemoragic terlihat perdarahan
b. Pemeriksaan lumbal pungsi, pada pemeriksaan lumbal pungsi untuk
pemeriksaan diagnostik diperiksa kima citologi, mikrobiologi, dan
virologi. Disamping itu, dilihat pula tetesan cairan serebrospinal saat
keluar baik kecepatannya, kejernihannya, warna, dan tekanan yang
menggambarkan proses terjadi di intraspinal. Pada stroke non-
haemoragic akan ditemukan tekanan normal dari cairan serebrospinal
jernih. Pemeriksaan fungsi sisternal dilakukan bila tidak mungkin
dilakukan pungsi lumbal. Prosedur ini dilakukan dengan superfisi
neurolog yang berpengalaman.
c. Elektrokardiografi (EKG), untuk mengetahui keadaan jantung, dimana
jantung berperan dalam suplai darah ke otak
d. Elektro Enchephalografi (EEG), mengidentifikasi masalah berdasarkan
gelombang otak, menunjukkan area lokasi secara spesifik
e. Pemeriksaan darah, untuk mengetahui keadaan darah,kekentalan darah,
jumlah sel darah, penggumpalan trombosit yang abnormal, dan
mekanisme pembekuan darah
f. Angiografi serebral, membantu secara spesifik penyebab stroke seperti
perdarahan atau obstruksi arteri, memperlihatkan secara tepat letak oklusi
atau ruptur
g. Magnetik Resonansi Imagine (MRI), menunjukkan darah yang
mengalami infark, haemoragi, Malforasi Arterior Vena (MAV)
h. Ultrasonografi dopler, digunakan untuk mengidentifikasi penyakit MAV.

9. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis CVA menurut Ghani (2019) adalah :
a. Vasodilator untuk meningkatkan aliran cerebral
b. Anti agregasi trombolis : aspirin untuk menghambat reaksi pelepan
agregasi trombosis yang terjadi setelah ulserasi alteroma
c. Anti koagulan, untuk mencegah terjadinya atau memberatnya trombosis
atau emboli dari tempat lain ke sistem kardiovaskuler
d. Bila terjadi peningkatan TIK (dengan gejala : bradikardi, ketidakteraturan
pernafasan, peningkatan tekanan darah, muntah proyektil, TIK normal
<15 mmHg)
1) Hiperventilasi dengan ventilator sehingga PaCO2 30-35 mmHg
2) Osmeoterapi, antara lain :
a) Infus Manitol 20% 100 ml atau 0,25-0,5 g/KgBB/kali dalam waktu
15-30 menit, 4-6 kali/hari
b) Infus Gliserol 10% 250 ml dalam waktu 1 jam, 4 kali/hari
3) Posisi kepala head up (15-30⁰)
4) Menghindari mengejan saat BAB
5) Hindari batuk
10. Terapi Non Farmakologis
Menurut Ghani (2019) terapi yang harus dilakukan secara mandiri adalah
tindakan untuk menstabilkan Vital Sign, yang meliputi :
a. Mempertahankan saluran nafas agar tetap paten
b. Kontrol/monitoring tekanan darah
c. Posisi yang tepat, ubah posisi setiap 2 jam
d. Lakukan gerak pasif

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Menurut Tarwoto (2018) pengkajian keperawatan pada pasien CVA
meliputi :
a. Identitas
Anamnesis terdiri dari identitas pasien meliputi nama, usia, jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, no RM,
tanggal MRS, dan diagnosa medis
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering ditemukan pada pasien dengan
persyarafan seperti stroke adalah adanya penurunan kesadaran tiba-
tiba, disertai gangguan bicara dan kelemahan ekstremitas.
2) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke sering kali berlangsung secara mendadak pada saat
pasien melakukan aktivitasnya. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan
separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya
penurunan atau perubahan tingkat kesadaran dalam hal perubahan di
dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi,
sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsive
dan koma.
3) Riwayat penyakit dahulu
Adanya hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus,
penyakit jantung, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama
penggunaan obat antikoagulan yang sering digunakan pasien (obat-
obatan antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta). Adanya
riwayat merokok dan penggunaan alkohol.
4) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, DM, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : biasanya pasien lemah
2) Tanda-tanda vital :
a) Tekanan darah, meningkat, biasanya pada pasien stroke memiliki
riwayat hipertensi dengan tekanan systole >140 dan diastole >80
mmHg
b) Nadi, bervariasi biasanya nadi normal
c) Suhu, biasanya tidak terjadi masalah
d) Pernafasan, normal/kadang meningkat (pada pasien stroke
haemoragic terdapat gangguan bersihan jalan nafas)
d. Pemeriksaan Head to Toe
1) Kepala, biasanya tidak ditemukan masalah
2) Muka, umumnya tidak simetris, bell’s palsy, wajah pucat, alis mata
simetris
3) Mata, biasanya konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil
isokor, kelopak mata tidak oedem
4) Telinga, biasanya telinga simetris
5) Hidung, biasanya simetris dan tidak ada pernafasan cuping hidung
6) Mulut dan faring, biasanya pada pasien apatis, sopor, soporus coma
hingga coma akan mengalami masalah bau mulut, gigi kotor, mukosa
bibir kering
7) Leher, biasanya pada pasien stroke haemoragic mengalami gangguan
menelan
8) Thoraks
a) Paru
Inspeksi : simetris kanan dan kiri
Palpasi : vocal fremitus sama antara kanan dan kiri
Perkusi : biasanya bunyi normal (sonor)
Auskultasi : biasanya bunyi normal (vesikuler)
b) Jantung
Inspeksi : biasanya ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : biasanya ictus cordis teraba
Perkusi : biasanya batas jantung normal
Auskultasi : biasanya bunyi normal (vesikuler)
9) Abdomen
Inspeksi : biasanya simetris, tidak ada acites
Auskultasi : biasanya bising usus tidak terdengar
Palpasi : biasanya tidak ada pembesaran hepar
Perkusi : biasanya suara tympani
10) Ekstremitas
Atas dan bawah : keadaan rentang gerak biasanya terbatas, CRT
biasanya normal yaitu <2 detik
11) Genetalia
Terkadang terdapat inkontinensia atau retensi urine
e. Pemerikaan sistem tubuh
1) Sistem integumen
Jika pasien kekurangan oksigen kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan jelek. Di samping itu, perlu
juga dikaji tanda-tanda decubitus terutama pada daerah yang menonjol
karena pasien CVA mungkin bed rest.
2) Sistem neurologis
a) Tingkat kesadaran
Biasanya pada pasien stroke memiliki tingkat kesadaran
somnolen, apatis, soporus coma, hingga coma dengan GCS <12
pada awalnya terserang stroke. Sedangkan pada saat pemulihan
biasanya memiliki tingkat kesadaran letargi dan composmentis
dengan GCS 13-15.
b) Uji saraf cranial
 Nervus I (Olfaktorius)
Biasanya ada masalah pada penciuman, kadang ada yang bisa
menyebutkan bau yang diberikan perawat, namun ada juga yang
tidak, dan biasanya ketajaman penciuman antara kanan dan kiri
berbeda
 Nervus II (Optikus)
Gangguan hubungan visual parsial sering terlihat pada pasien
dengan hemiplegia kiri. Pasien mungkin tidak dapat memakai
pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
mencocokkan pakaian ke bagian tubuh. Biasanya lapang
pandang baik 90⁰, visus 6/6
 Nervus III (Okulomotoris)
Biasanya diameter pupil 2/2 mm, kadang pupil isokor dan
anisokor, palpebra dan refleks kedip biasanya dapat dinilai jika
pasien dapat membuka mata
 Nervus IV (Toklearis)
Biasanya pasien dapat mengikuti arah tangan perawat ke atas
dan ke bawah
 Nervus V (Trigeminus)
Biasanya pasien bisamenyebutkan lokasi usapan, dan pada
pasien koma ketika bagian kornea mata diusap dengan kapas
halus maka pasien akan menutup kelopak mata
 Nervus VI (Abdusens)
Biasanya pasien dapat mengikuti tangan perawat ke kanan dan
ke kiri
 Nervus VII (Facialis)
Biasanya lidah dapat mendorong pipi kiri dan kanan, bibir
simetris dan dapat menyebutkan rasa manis dan asin
 Nervus VIII (Auskustikus)
Biasanya pasien kurang bisa mendengarkan gesekan jari dari
perawat, tergantung dimana lokasi kelemahan dan pasien hanya
dapat mendengar jika suara keras dan dengan artikulasi yang
jelas
 Nervus IX (Glosofaringeus)
Biasanya ovule yang terangkat tidak simetris, mencong ke arah
bagian tubuh yang lemah dan pasien dapat merasakan asam dan
pahit
 Nervus X (Vagus)
Kemampuan menelan tidak baik, kesukaran membuka mulut
 Nervus XI (Asesorius)
Biasanya pasien stroke haemoragic tidak dapatmelawan tahanan
pada bahu
 Nervus XII (Hipoglosus)
Biasanya pasien dapat menjulurkan lidah dan dapat digerakkan
ke kanan dan ke kiri, namun artikulasi kurang jelas saat bicara
c) Fungsi motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan pada salah satu sisi
tubuh
d) Fungsi sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi
e) Refleks fisiologis
Pada pemeriksaan siku, biasanya saat siku ditekuk tidak ada
respon, tidak fleksi maupun ekstensi (refleks biseps (-)) dan pada
pemeriksaan trisep respon tidak ada fleksi dan supinasi (refleks
trisep (-))
f) Refleks patologis
 Refleks hoffman tromer biasanya jari tidak mengembang ketika
diberi refleks (refleks hoffman tromer (+))
 Pada saat telapakkaki digores biasanya jari tidak mengembang
(refleks babinsky (+))
 Pada saat dorsum pedis digores biasanya jari kaki juga tidak
berespon (refleks caddok (+))
 Pada saat tulang kering digurutdari atas ke bawah biasanya tidak
ada respon fleksi atau ekstensi (refleks openheim (+))
 Pada saat betis diremas dengan kuat biasanya pasien tidak
merasakan apapun (refleks gordon (+))
 Pada saat dilakukan refleks patella biasanya femur tidak
bereaksi saat diketukkan (refleks patella (+))
f. Pola fungsi kesehatan
Meliputi Activity Daily Living pasien serta fungsi persepsi pasien
terhadap kesehatan, seperti rasa nyeri, integritas ego, keamanan pasien
serta interaksi sosialnya.

2. Diagnosa
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif (D.0001)
b. Pola nafas tidak efektif (D.0005)
c. Resiko aspirasi (D.0006)
d. Resiko perfusi serebral tidak efektif (D.0017)
e. Gangguan komunikasi verbal (D.0119)
f. Gangguan mobilitas fisik (D.0054)
g. Gangguan integritas kulit (D.0129)
h. Nyeri akut (D.0077)
i. Defisit nutrisi (D.0019)

3. Intervensi
No Diagnosa Intervensi
.
1 Bersihan jalan nafas tidak Manajemen jalan nafas (I.01011)
efektif (D.0001) Observasi
- Monitor pola nafas (frekuensi,
kedalaman usaha nafas)
- Monitor bunyi nafas tambahan
(gurgling, mengi, wheezing,
ronchi kering)
- Monitor sputum (jumlah, wana,
aroma)
Terapeutik
- Berikan terapi nebulizer
- Posisikan semi fowler
- Berikan minum hangat
Edukasi
- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasikan dengan dokter
untuk pemberian bronkodilator,
ekspetoran, muolitik, jika perlu
2 Pola nafas tidak efektif Manajemen jalan nafas (L01011)
(D.0005) Observasi
- Monitor pola nafas (frekuensi,
kedalaman, usaha nafas)
- Monitor bunyi nafas tambahan
(misalnya gurgling, mengi,
wheezing, ronki)
Terapeutik
- Posisikan semi fowler atau fowler
Edukasi
- Ajarkan teknik batuk efektif.
- Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak ada
kontraindikasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,mukolitik. jika perlu
3 Resiko aspirasi (D.0006) Manajemen jalan napas (I.01018)
Observasi :
- Monitor tingkat kesadaran, batuk,
muntah, dan kemampuan menelan
- Monitor status pernapasan
Terapeutik :
- Periksa kepatenan selang
nasogastric sebelum memberi
asupan oral
- Posisikan semi fowler
- Lakukan penghisapan jalan napas
4 Resiko perfusi serebral tidak Pemantauan TIK (I.01698)
efektif (D.0017) Observasi
- Identifikasi penyebab peningkatan
TIK (mis: lesi menempati ruang,
gangguan metabolisme, edema
serebral, peningkatan tekanan
vena, obstruksi cairan
serebrospinal, hipertensi
intracranial idiopatik)
- Monitor peningkatan TS
- Monitor pelebaran tekanan nadi
(selisih TDS dan TDD)
- Monitor penurunan frekuensi
jantung
- Monitor ireguleritas irama napas
- Monitor penurunan tingkat
kesadaran
- Monitor perlambatan atau
ketidaksimetrisan respon pupil
- Monitor kadar CO2 dan
pertahankan dalam rentang yang
diindikasikan
- Monitor tekanan perfusi serebral
- Monitor jumlah, kecepatan, dan
karakteristik drainase cairan
serebrospinal
- Monitor efek stimulus lingkungan
terhadap TIK
Terapeutik
- Ambil sampel drainase cairan
serebrospinal
- Kalibrasi transduser
- Pertahankan sterilitas sistem
pemantauan
- Pertahankan posisi kepala dan
leher netral
- Bilas sistem pemantauan, jika
perlu
- Atur interval pemantauan sesuai
kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu

5 Gangguan komunikasi Promosi komunikasi : Defisit bicara


verbal (D.0119) (I.13492)
Observasi
- Monitor kecepatan, tekanan,
kuantitias, volume, dan diksi
bicara
- Monitor progress kognitif,
anatomis, dan fisiologis yang
berkaitan dengan bicara (mis:
memori, pendengaran, dan
Bahasa)
- Monitor frustasi, marah, depresi,
atau hal lain yang mengganggu
bicara
- Identifikasi perilaku emosional
dan fisik sebagai bentuk
komunikasi
Terapeutik
- Gunakan metode komunikasi
alternatif (mis: menulis, mata
berkedip, papan komunikasi
dengan gambar dan huruf, isyarat
tangan, dan komputer)
- Sesuaikan gaya komunikasi
dengan kebutuhan (mis: berdiri di
depan pasien, dengarkan dengan
seksama, tunjukkan satu gagasan
atau pemikiran sekaligus, 
bicaralah dengan perlahan sambal
menghindari teriakan, gunakan
komunikasi tertulis, atau meminta
bantuan keluarga untuk memahami
ucapan pasien)
- Modifikasi lingkungan untuk
meminimalkan bantuan
- Ulangi apa yang disampaikan
pasien
- Berikan dukungan psikologis
- Gunakan juru bicara, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan berbicara perlahan
- Ajarkan pasien dan keluarga
proses kognitif, anatomis, dan
fisiologis yang berhubungan
dengan kemampuan bicara
Kolaborasi
- Rujuk ke ahli patologi bicara atau
terapis

6 Gangguan mobilitas fisik Dukungan mobilisasi (I.05173)


(D.0054) Observasi
- Identifikasi adanya nyeri atau
keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik
melakukan pergerakan
- Monitor frekuensi jantung dan
tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
- Monitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi
Terapeutik
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi
dengan alat bantu (mis: pagar
tempat tidur)
- Fasilitasi melakukan pergerakan,
jika perlu
- Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi
- Anjurkan melakukan mobilisasi
dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan (mis: duduk
di tempat tidur, duduk di sisi
tempat tidur, pindah dari tempat
tidur ke kursi).
7 Gangguan integritas kulit Perawatan integritas kulit (I.11353)
(D.0129) Observasi
- Identifikasi penyebab gangguan
integritas kulit (mis: perubahan
sirkulasi, perubahan status nutrisi,
penurunan kelembaban, suhu
lingkungan ekstrim, penurunan
mobilitas)
Terapeutik
- Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah
baring
- Lakukan pemijatan pada area
penonjolan tulang, jika perlu
- Bersihkan perineal dengan air
hangat, terutama selama periode
diare
- Gunakan produk berbahan
petroleum atau minyak pada kulit
kering
- Gunakan produk berbahan
ringan/alami dan hipoalergik pada
kulit sensitive
- Hindari produk berbahan dasar
alkohol pada kulit kering

Edukasi
- Anjurkan menggunakan pelembab
(mis: lotion, serum)
- Anjurkan minum air yang cukup
- Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan
buah dan sayur
- Anjurkan menghindari terpapar
suhu ekstrim
- Anjurkan menggunakan tabir
surya SPF minimal 30 saat berada
diluar rumah
- Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun secukupnya
8 Nyeri akut (D.0077) Manajemen nyeri (I.08238)
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Idenfitikasi respon nyeri non
verbal
- Identifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan
nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
- Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan Teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi nyeri (mis:
TENS, hypnosis, akupresur,
terapi music, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, Teknik
imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis:
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Ajarkan tekhnik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
- Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
- Anjurkan menggunakan analgesik
secara tepat
- Ajarkan Teknik farmakologis
untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi dala pemberian
analgetik
9 Defisit nutrisi (D.0019) Manajemen nutrisi (I.03119)
Observasi
- Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi makanan yang
disukai
- Monitor asupan makanan
Terapeutik
- Berikan makanna tinggi kalori
dan protein
Edukasi
- Anjurkan posisi duduk, jika perlu
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan,
jika perlu

4. Implementasi
Merupakan tahap keempat dalam tahap proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang
telah direncanakan dalam rencana keperawatan. Dalam tahap ini, perawat
harus mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya fisik dan perlindungan
pada pasien, teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan,
pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami tingkat
perkembangan pasien.
Menurut Nursalam (2018), tindakan keperawatan mencakup tindakan
independen (mandiri) dan kolaborasi.
a. Tindakan mandiri adalah aktivitas keperawatan yang didasarkan pada
kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau
perintah dari petugas kesehatan lain
b. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan
bersama seperti dokter dan petugas kesehatan lainnya.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektuan untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,
rencana tindakan, dan pelaksanannya sudah berhasil dicapai (Nursalam,
2018).
Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP operasional :
S : Ungkapan perasaan dankeluhan yang dirasakan secara subyektif oleh
pasien setelah diberikan implementasi keperawatan
O : Keadaan obyektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat setelah
diberikan implementasi keperawatan
A : Merupakan analisis perawat setelah mengetahui respon subyektif dan
masalah pasien yang dibandingkan dengan kriteria dan standar yang telah
ditentukan mengacu pada tujuan rencana keperawatan
P : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis pada tahap
ini ada dua evaluasi yang dapat dilaksanakan oleh perawat.

C. KONSEP DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa : Bersihan jalan nafas tidak efektif (D.0001)
1. Definisi
Ketidakmampuan membersihkan secret atau obstruksi jalan nafas untuk
mempertahankan jalan nafas tetap paten.
2. Etiologi
Fisiologis :
a) Spasme jalan nafas
b) Hipersekresi jalan nafas
c) Disfungsi neuromuskuler
d) Benda asing dalam jalan nafas
e) Adanya jalan nafas buatan
f) Sekresi yang tertahan
g) Hiperplasia dinding jalan nafas
h) Proses infeksi
i) Respon alergi
j) Efek agen farmakologis (mis.anestesi)
Situasional :
a) Merokok aktif
b) Merokok pasif
c) Terpajan polutan

3. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala mayor
Subjektif : tidak tersedia
Objektif :
a) Batuk tidak efektif
b) Tidak mampu batuk
c) Sputum berlebih
d) Mengi, wheezing dan /atau ronkhi kering
e) Mekonium di jalan nafas pada neonatus

Tanda dan gejala minor


Subjektif :
a) Dispneu
b) Sulit bicara
c) Ortopneu
Objektif :
a) Gelisah
b) Sianosis
c) Bunyi nafas menurun
d) Frekuensi nafas berubah
e) Pola nafas berubah

4. Faktor yang Mempengaruhi


a) Gullian Bare Syndrome
Merupakan gangguan sistem saraf pusat yang dimediasi oleh respon
imun, beronset akut atau subakut, dan biasanya ditandai dengan
kelemahan progresif dari ekstremitas, dan arefleksia relative atau
komplit.
b) Sclerosis multiple
Merupakan penyakit kronis sistem saraf pusat. Penyakit ini biasanya
memperlihatkan gejala defisit neurologis, yang kemudian dalam
perjalanan penyakitnya cenderung tidak kembali seperti semula bahkan
semakin parah defisit yang dialami bahkan dapat menyebabkan
kecacatan. Manifestasi klinis sangat beragam, tergantung dari area
kerusakan yang dialaminya.
c) Myasthenia gravis
Merupakan gangguan autoimun pada muskuloskeletal dengan periode
intermiten yang menunjukkan kelemahan dan kelelahan otot. Sistem
saraf menghasilkan suatu enzim asetilkolin berfungsi untuk pergerakan
otot, terjadinya myasthenia gravis dengan antibodi tubuh yang
menyerang reseptor asetilkolin sehingga otot tidak mampu menerima
sinyal dari saraf dan mengakibatkan kelemahan.
d) Prosedur diagnostik (mis. Bronkoskopi. Transesophageal
Echocardiography/TEE)
Adanya benda asing dikarenakan prosedur diagnostik yang dimasukkan
kedalam tubuh melalui jalannafas seperti TEE damn Bronkoskopi
dimana dapat mempengaruhi proses jalan masuknya oksigen kedalam
paru-paru.
e) Depresi sistem saraf pusat
Gangguan ini dapat mempengaruhi seseorang secara psikologis, namun
juga memiliki potensi untuk mempengaruhi struktur fisik di otak.
Perubahan fisik ini biasanya berupa peradangan dan kurangnya asupan
oksigen hingga penyusutan otak.
f) Cedera kepala
Merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Pada penyakit cedera kepala, jaringan otak
akan mengalami kerusakan yang menyebabkan perubahan autoregulasi
oedem serebral yang mengakibatkan kejang lalu obstruksi jalan nafas.
g) Stroke
Kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke otak terputus akibat
penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah, sehingga terjadi kematian
sel-sel pada sebagian area di otak.
h) Kuadriplegia
Kelumpuhan pada tangan, badan, kaki, dan organ pelvis, yang
disebabkan oleh kerusakan pada saraf tulang belakang. Banyak masalah
yang dapat terjadi setelah cedera pada saraf tulang belakang. Beberapa
dari masalah meliputi hypotensi atau detak jantung yang sangat lambat.
Kemungkinan untuk kesulitan bernafas atau tidak dapat bernafas tanpa
bantuan.
i) Sindrome aspirasi meconium
SAM adalah sindrom atau kumpulan berbagai gejala klinis dan radiologis
akibat janin atau neonatus menghirup atau mengaspirasi meconium.
Sindrom aspirasi meconium dapt terjadi sebelum, selama, dan setelah
proses persalinan. Meconium yang terhirup dapat menutup sebagian atau
seluruh jalan nafas neonatus. Udara dapat melewati meconium yang
terperangkap dalam jalan nafas neonatus saat inspirasi. Meconium dapat
juga terperangkap dalam jalan nafas neonatus saat inspirasi sehingga
mengiritasi jalan nafas dan menyebabkan sulit bernafas.
j) Infeksi saluran nafas
Infeksi sinus, tenggorokan, saluran udara atau paru-paru yang biasanya
disebabkan oleh virus atau bakteri.

D. KONSEP TERAPI
Terapi 1 : Pemasangan Ventilator
1. Definisi
Ventilasi mekanik adalah suatu alat bantu mekanik yang berfungsi
memberikan bantuan nafas pasien dengan cara memberikan bantuan nafas
pasien dengan cara memberikan tekanan positif pada paru-paru melalui
jalan nafas, cara ini berfungsi untuk membantu sebagian atau seluruh proses
ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi (Carpio, 2019).
2. Manfaat
Menurut American Thoracic Society (2018), manfaat ventilator adalah :
a) Mengurangi kerja pernafasan
b) Meningkatkan kenyamanan pasien
c) Pemberian MV yang akurat
d) Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
e) Menjamin hantaran oksigen ke jaringan adekuat
f) Membantu kerja otot pernafasan
3. Langkah-langkah
Alat dan bahan :
a) Handscoon
b) Ambubag lengkap
c) Spuit untuk mengembangkan balon
d) Set Laringoskop dengan blade sesuai ukuran
e) Ventilator

Persiapan pasien dan keluarga :


a) Lakukan inform consent
b) Bila pasien sadar, beritahu tentang prosedur yang akan dilakukan
c) Atur posisi pasien agar memudahkan untuk melakukan prosedur

Prosedur pemasangan :
a) Sambungkan stop kontak dengan sumber listrik, nyalakan ventilator
dengan menekan tombol on
b) Pasang corogatet sesuai dengan kegunaan (anak/dewasa)
c) Isi humidifier dengan aquades steril, kemudian nyalakan dengan
menekan tombol on
d) Setting ventilator sesuai advis dokter mengenai mode, VT, Frekuensi
nafas, I:E ratio, FIO2, ASB, PEEP, dll
e) Sambungkan corogatet dengan endotrakeal yang terpasang pada pasien
f) Pastikan bahwa alat resusitasi dan perlengkapan ventilator berfungsi
dengan baik
g) Pastikan bahwa pasien selalu dimonitor fungsi pernafasan serta saturasi
oksigennya
h) Lakukan segala tindakan dengan memperhatikan teknik aseptic dan
universal precaution
i) Lakukan suction secara rutin
j) Pastikan humidifier berfungsi dengan baik, air yang tertampung dalam
water trap secara rutin harus dikosongkan
k) Ubah posisi pasien tiap 3 jam untuk postural drainage ataupun untuk
pengembangan paru-paru
l) Pastikan posisi tubing ventilator dalam keadaan tepat.

Terapi 2 : Suction
1. Definisi
Suction atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan jalan
nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang
adekuat dengan cara mengeluarkan secret pada pasien yang tidak mampu
mengeluarkannya secara mandiri (Sundana, 2018).
2. Manfaat
Menurut Twomey (2019), manfaat suction adalah :
a) Membersihkan lendir dan jalan nafas, sehingga patensi jalan nafas dapat
dipertahankan
b) Meningkatkan ventilasi pernafasan
c) Meningkatkan oksigenasi jaringan
d) Meminimalkan resiko atelektasis
e) Mencegah aspirasi pulmonal oleh cairan atau darah.
3. Langkah-langkah
Alat dan bahan :
a) Mesin penghisap portable/suction siap pakai
b) Kateter dengan port penghisap
c) Handscoon
d) Kom berisi cairan NaCl 0.9%
e) Kasa steril
f) Kertas tissue
g) Handuk atau perlak
h) Tong spatel, jika perlu
i) Stetoskop
j) Pelumas larut dalam air
k) Tabung oksigen/sentral

Persiapan pasien :
a) Menjelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan
b) Jaga privacy
c) Siapkan peralatan di samping tempat tidur pasien
d) Atur posisi pasien :
1) Pasien sadar : posisi semi fowler kepala miring ke satu sisi (oral
suction) dan posisi fowler dengan leher ekstensi (nasal suction)
2) Pasien tidak sadar : baringkan pasien dengan posisi lateralmenghadap
pelaksana tindakan (oral/nasal suction)
e) Auskultasi suara nafas
f) Pasang handuk pada bantal atau dibawah dagu

Prosedur tindakan :
a) Mencuci tangan
b) Meletakkan nierbeken di dekat pasien
c) Mengatur posisi pasien
d) Memasang handscoon
e) Hubungkan kateter dengan port penghisap pada selang suction
f) Nyalakan mesin, masukkan kateter penghisap ke ke dalam kom berisi
aquades/NaCl 0.9%
g) Masukkan ujung kateter secara perlahan ke dalam mulut/hidung samapi
kerongkongan dalam keadaan tidak menghisap
h) Tekan port penghisap, tarik kateter secara perlahan dengan arah diputar,
lama penghisapan tidak boleh lebih dari 10-15 detik untuk mencegah
hypoxia
i) Bersihkan kateter dengan cara memasukkan ujung kateter ke dalam kom
berisi NaCl 0.9% dengan di suction
j) Observasi respon pasien dan dengarkan bunyi nafas
k) Jika pasien sadar, anjurkan untuk bernafas dalam dan berikan oksigenasi
lebih dulu jika ingin mengulangi penghisapan pada pasien tidak sadar
l) Ulangi prosedur (g, h, i, j, dan k) sampai jalan nafas bebas dari secret
m)Matikan mesin dan lepaskan kateter dari selang penghisap
n) Rapikan pasien dan atur posisi yang nyaman
o) Bersihkan alat dan lepas handscoon
p) Mencuci tangan
q) Lakukan evalusi, auskultasi suara nafas dan bandingkan kondisi saluran
nafas sebelum dan sesudah dilakukan tindakan suction
r) Identifikasi ada atau tidaknya perbaikan respiratorik
s) Lakukan dokumentasi tindakan.

Anda mungkin juga menyukai