Anda di halaman 1dari 13

DISKUSI TOPIK

PENYAKIT SEREBROVASKULAR
Dislokasi Sendi Temporo Mandibular Berulang Pada Pasien Paska Stroke

Disusun oleh :
drg. Winantu Yuli Asri / 1606926132
drg. Rumartha Putri Swari / 1606926100

Pembimbing:
Prof. Dr. dr. Salim Harris, Sp.S (K),FICA

MODUL PENDIDIKAN NEUROLOGI


PPDGS BEDAH MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
AGUSTUS 2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke merupakan penyakit serebrovaskular yang sering dijumpai dan merupakan


penyebab kematian nomor satu di dunia. Di Amerika Serikat, stroke merupakan penyebab
kematian terbesar ketiga. Selain menyebabkan kematian, stroke juga menyebabkan kecacatan
dan penyebab seseorang di rawat di rumah sakit dalam waktu yang lama.

Di Indonesia stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan permanen nomor


tiga. Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, prevalensi naik menjadi 12,1 persen setiap seribu
penduduk, meningkat jika dibandingkan tahun 2007 yang hanya 8,3 persen. Beberapa akibat
yang ditimbulkan meliputikelumpuhan di satu sisi yang berlawanan dengan letak lesi di otak,
gangguan penglihatan berupa defisit lapangan pandang, kesulitan berbicara dan memahami
pembicaraan ( afasia ), gangguan artikulasi kata-kata ( disatria ), gangguan persepsi, kelelahan,
depresi, emosi yang labil, gangguan memori, perubahan kepribadian. Di bidang kedokteran
gigi, komplikasi stroke yang sering dijumpai adalah menurunnya fungsi motorik dan tonus
otot-otot di persendian termporomandibular16. Terlebih lagi pasien stroke pada umumnya di
derita oleh orang lanjut usia yang cenderung edentulous pada gigi geligi nya dan seringkali
pula pasien mendapatkan perawatan prostodonsia yang kurang adekuat. Hal ini seringkali
menimbulkan dislokasi sendi temporomandibular yang berulang. Jika hal ini berlangsung terus
menerus maka akibat yang ditimbukan dan dampaknya bagi pasien dan keluarganya akan
bertambah luas.

1.2. Tujuan

Untuk mengetahui pentingnya evaluasi oral dan maksilofasial pada penderita stroke
sehingga kedepannya akan tercipta kolaborasi yang baik antara dokter gigi dan dokter saraf
guna mencegah komplikasi yang semakin luas pada pasien penderita stroke.

1.3 Manfaat
Dari hasil karya tulis ini diharapkan terjalin kolaborasi dan kerjasama yang baik dalam
penanganan kasus dislokasi sendi temporomandibular pada penderita stroke antara dokter gigi
dan dokter saraf dalam hal pencegahan dan penatalaksanannya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stroke

Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat akibat
gangguan otak fokal ( atau global ) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau
lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular1.
Insiden serangan stroke pertama sekitar 200 per 100.000 penduduk per tahun. Insiden stroke
meningkat seiring dengan pertambahan usia. Konsekuensinya, dengan semakin panjangnya
angka harapan hidup, termasuk di Indonesia, akan semakin banyak pula kasus stroke dijumpai.
Perbandingan antara penderita pria dan wanita hampir sama2

Prevalensi stroke berkisar 5-12 per 1000 penduduk 2, sedangkan penelitian lain menyebutkan
prevalensi dari berbagai jenis penyakit susunan saraf sebesar 800 per 100.0003. ada beberapa
macam klasifikasi stroke, salah satu yang sering digunakan adalah klasifikasi Marshall yang
membagi stroke menjadi :

I. Berdasarkan patologi anatomi dan


Penyebabnya
1. Stroke Iskemik
a. Transient Ischemic Attack
b. Trombosis serebri
c. Emboli serebri
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
b. Redarahan subarakhnoid
II. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu
1. Transient Ischemic Attack
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke
III. Berdasarkan sistem pembuluh darah
1. Sistem karotis
2. Sistem vertebro-basiler4
Otak mengontrol banyak hal yang berlangsung di tubuh kita. Kerusakan otak dapat
mempengaruhi pergerakan, perasaan, perilaku, kemampuan berbicara/berbahasa dan
kemampuan berpikir seseorang. Stroke dapat mengakibatkan gangguan beberapa bagian dari
otak, sedangkan bagian otak lainnya bekerja dengan normal. Pengaruh stroke terhadap
seseorang tergantung pada: 1.Bagian otak yang terkena stroke; 2.Seberapa serius stroke yang
terjadi; dan 3.Usia, kondisi kesehatan dan kepribadian penderitanya5
Beberapa akibat stroke yang sering dijumpai adalah 1. Kelumpuhan satu sisi tubuh. Ini
merupakan salah satu akibat stroke yang paling sering terjadi. Kelumpuhan biasanya terjadi di
sisi yang berlawanan dari letak lesi di otak, karena adanya pengaturanrepresentasi silang oleh
otak. Pemulihannya bervariasi untuk masing-masing individu; 2.Gangguan penglihatan.
Penderita stroke sering mengalami gangguan penglihatanberupa defisit lapangan pandang yang
dapat mengenai satu atau kedua mata. Hal ini menyebabkan penderita hanya dapat melihat
sesuatu pada satu sisi saja, sehingga misalnya ia hanya memakan makanan di sisi yang dapat
dilihatnya atau hanya mampu membaca tulisan pada satu sisi buku saja; 3. Afasia. Afasia
adalah kesulitan berbicara ataupun memahami pembicaraan. Stroke dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berbicara/berbahasa, membaca dan menulis atau untuk
memahami pembicaraan orang lain. Gangguan lain dapat berupa disatria, yaitu gangguan
artikulasi kata-kata saat berbicara; 4. Gangguan persepsi. Stroke dapat mengganggu persepsi
seseorang. Penderita stroke dapat tidak mengenali obyek-obyek yang ada di sekitarnya
atautidak mampu menggunakan benda tersebut; 5. Lelah. Penderita stroke sering mengalami
kelelahan. Mereka membutuhkan tenaga ekstra untuk melakukan hal-hal yang biasa dikerjakan
sebelumnya. Kelelahan juga dapat terjadi akibat penderita kurang beraktivitas,kurang makan
atau mengalami depresi; 6. Depresi. Depresi dapat terjadi pada penderita stroke. Masih
merupakan perdebatan apakah depresi yang terjadi merupakan akibat langsung dari kerusakan
otak akibat stroke atau merupakan reaksi psikologis terhadap dampak stroke yang dialaminya.
Dukungan keluarga akan sangat membantu penderita; 7. Emosi yang labil. Stroke dapat
mengakibatkan penderitanya mengalami ketidakstabilan emosi sehingga menunjukkan respons
emosi yang berlebihan atau tidak sesuai. Keluarga/pengasuh harus memahami hal ini dan
membantu meyakinkan penderita bahwa hal ini adalah hal yang lazim terjadi akibat stroke dan
bukan berarti ia menjadigila; 8. Gangguan memori. Penderita stroke dapat mengalami
gangguan memori dan kesulitan mempelajari dan mengingat hal baru; 9. Perubahan
kepribadian. Kerusakan otak dapat menimbulkan gangguan kontrol emosi positif maupun
negatif. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku penderita dan caranya berinteraksi dengan
lingkungannya. Perubahan perilaku ini dapat menimbulkan kemarahan keluarga/pengasuhnya.
Perubahan perilaku ini akan mengalami perbaikan seiring dengan pemulihan stroke5.
Faktor risiko stroke adalah faktor yang memperbesar kemungkinan seseorang untuk
menderita stroke. Ada 2 kelompok utama faktor risiko stroke. Kelompok pertama ditentukan
secara genetik atau berhubungandengan fungsi tubuh yang normal sehinggatidak dapat
dimodifikasi. Yang termasuk kelompok ini adalah usia, jenis kelamin, ras,riwayat stroke dalam
keluarga dan serangan Transient Ischemic Attack atau stroke sebelumnya. Kelompok yang
kedua merupakan akibat dari gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi. Faktor risiko utama
yang termasuk kelompok kedua adalah hipertensi, diabetes mellitus, merokok,hiperlipidemia
dan intoksikasi alkohol6
Adanya faktor risiko stroke ini membuktikan bahwa stroke adalah suatu penyakit yang
dapat diramalkan sebelumnya dan bukan merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja,
sehingga istilah cerebrovascular accident telah ditinggalkan. Penelitian epidemiologis
membuktikan bahwa pengendalian faktor risiko dapat menurunkan risiko seseorang untuk
menderita stroke2

2.2. Sendi Temporomandibular

Sendi temporomandibular adalah sendi synovial yang dalam hubungannya dengan


kelompok otot, memungkinkan rotasi mandibular dan translasi7-8. Translasi fisiologis
maksimum dalam TMJ terjadi ketika titik cembung terbesar dari kondilus mandibular
mencapai cembung terbesar dari eminensia artikular. Saat translasi melebihi batas fisiologi,
kondulus mandibular terlempar ke anterior dari eminensia articular. Beberapa penulis
menyebutkan perbedaan antara subluksasi sebagai perpindahan kondulus yang bisa di reduksi
sendiri oleh pasien dan dislokasi sebagai suatu perpindahan yang tak dapat direduksi sendiri
oleh pasien7-10

Saat dislokasi pada pasien terjadi semakin sering dan semakin memburuk, kondisi
dapat dikelompokkan menjadi dislokasi habitual, kronik atau rekuren9.. hal ini berhubungan
dengan peubahan anatomi artikulasi, kelemahan legamen sendi temporomandibular atau
kapsul sendi dan tejadi perubahan terhadap aktivitas otot7-10,12. Sendi 5rticular555bular
merupakan struktur anatomis yang rumit karena berhubungan dengan pengunyahan,
penelanan, bicara dan postur kepala. Sendi ini terdiri dari prosesus kondilus yang merupakan
bagian bergerak dan berartikulasi dengan eminensia artikularis yang membentuk aspek anterior
dari fossa glenoidalis. Di antara struktur tulang tersebut terdapat meniscus artikularis (diskus
artikularis) yang terbentuk dari jaringan ikat fibrous yang avaskuler dan tanpa persyarafan.11

Sendi terbagi menjadi dua kavitas yaitu kavitas superior yang terletak antara fossa
mandibula dan permukaan superior diskus, dan kavitas inferior yang terletak antara kondilus
mandibula dan permukaan inferior diskus. Permukaan dalam kavitas dikelilingi lapisan 6rticula
yang menghasilkan cairan 6rticula dan mengisi kedua kavitas sendi.11

Gambar 1. Anatomi sendi 6rticular666bular (kiri: pandangan 6rticula), (kanan:pandangan koronal). (A) Fibrokartilago (B) Cairan 6rticula (C)
Diskus artikularis (D) Lateral pterygoid ligament I Capsule joint (F) Fibrokartilago (G) Kondilus mandibula (H) Cairan 6rticula (I) Synovial
membrane (J) Meatus akustikus eksterna (K) Mandibular fossa11

2.3. Dislokasi Sendi Temporomandibular

Terdapat beberapa terminology yang berkaitan dengan dislokasi mandibular. Beberapa


kata kunci yang sering digunakan adalah 6rticular666b, dislokasi akut, dislokasi long standing,
dislokasi rekuren dan dislokasi habitual. Subluksasi mengganti istilah dislokasi jika pergeseran
kondilus ke anterior eminensia tidak menyeluruh (incomplete; partial dislocation) dan terjadi
reduksi spontan. Istilah dislokasi mengacu pada kondilus bergeser ke anterior eminensia
13-14
artikularis dan terfiksasi karena spasme otot-otot pengunyahan . Terdapat berbagai jenis
dislokasi yang dapat terjadi melalui mekanisme 6rticular atau 6rticular666. Jenis dislokasi
dibedakan berdasarkan letak 6rticula 6rticula terhadap fossa articularis tulang temporal, jenis
dislokasi yang pertama yaitu dislokasi anterior, pada dislokasi tipe ini terjadi perubahan posisi
6rticula menjadi anterior terhadap fossa articularis tulang temporal15

Dislokasi anterior biasanya terjadi akibat interupsi pada sekuens normal kontraksi otot
saat mulut tertutup setelah membuka dengan ekstrim. Muskulus masseter dan temporalis
mengangkat mandibula sebelum muskulus pterygoid lateral berelaksasi, mengakibatkan
7rticula mandibularis tertarik ke anterior ke tonjolan tulang dan keluar dari fossa temporalis.
Spasme muskulus masseter, temporalis, dan pterygoid menyebabkan trismus dan menahan
7rticula tidak dapat kembali ke fossa temporalis. Dislokasi jenis ini dapat terjadi unilateral atau
bilateral. Dislokasi anterior dapat dibedakan juga menjadi akut, kronik rekuren, atau kronik.
Dislokasi anterior yang akut terjadi akibat trauma atau reaksi distonik, namun biasanya
disebabkan oleh pembukaan mulut yang berlebihan seperti menguap, anestesi umum, ekstraksi
gigi, muntah, atau kejang, dislokasi ini juga dapat terjadi setelah prosedur endoskopik.
Dislokasi kronik rekuren disebabkan oleh mekanisme yang sama pada pasien akut dengan
7rticu risiko seperti fossa mandibularis yang dangkal (kongenital), kehilangan kapsul sendi
akibat riwayat disloasi sebelumnya, atau sindrom hipermobilitas, sedangkan dislokasi kronik
terjadi akibat dislokasi TMJ yang tidak ditangani sehingga 7rticula tetap berada dalam
posisinya yang salah dalam waktu lama, biasanya pada kasus ini dibutuhkan reduksi terbuka.15

Gambar 2. Reduksi Temporomandibular Joint Dislokasi


Tahapan dalam prosedur ini yaitu: operator berada didepan pasien, letakkan ibu jari
pada daerah retromolar pad (di belakang gigi molar terakhir) pada kedua sisi mandibula dan
jari jari yang lain memegang permukaan bawah dari mandibula perlu diperhatikan disini bahwa
operator harus melindungi jari jarinya dari gigitan pasien secara tiba tiba saat mandibula
direposisi yaitu dengan cara membungkus kedua ibu jari dengan kassa, berikan tekanan pada
gigi-gigi molar rahang bawah untuk membebaskan kondilus dariposisi terkunci didepan
eminensia artikulare, dorong mandibula kebelakang untuk mengembalikan keposisi
anatominya, reposisi yang berhasil ditandai dengan gigi-gigi kembali beroklusi dengan cepat
karena spasme dari otot masseter, pemasangan head bandage. Pasien diinstruksikan untuk tidak
membuka mulut terlalu lebar, head bandage dipertahankan selama tiga hari untuk mencegah
redislokasi.

Jenis dislokasi yang kedua yaitu dislokasi posterior yang biasanya terjadi akibat trauma
fisik langsung pada dagu dan Condylus mandibula tertekan ke posterior 8rticul mastoid. Jejas
pada meatus acusticus externum akibat 8rticula dapat terjadi pada dislokasi tipe ini. Jenis
dislokasi yang ketiga yaitu dislokasi superior dimana pada dislokasi jenis ini terjadi akibat
trauma fisik langsung pada mulut yang sedang berada dalam posisi terbuka. Sudut mandibula
pada posisi ini menjadi predisposisi pergeseran 8rticula 8rticul superior dan dapat
mengakibatkan kelumpuhan nervus fasialis, kontusio serebri, atau gangguan pendengaran.
Jenis yang terakhir adalah dislokasi lateral biasanya terkait dengan fraktur mandibula dimana
8rticula bergeser 8rticul lateral dan superior serta sering dapat dipalpasi pada permukaan
temporal kepala. Dislokasi pada sendi 8rticular888bular ditemukan 3% dari seluruh dislokasi
pada sendi yang pernah dilaporkan, dan tipe dislokasi ke anterior adalah yang paling sering
ditemukan.15

2.2. Dislokasi TMJ Pada Penderita Stroke dan Post Stroke

Pasien yang menderita stroke atau mempunyai riwayat stroke mengalami residual
motoric dan disfungsi kognitif16. Stroke ditandai dengan kehilangan fungsi neurologis secara
16-18
cepat yang disebabkan oleh gangguan dalam darah otak Cedera ini dapat menyebabkan
gangguan serius dalam sistem neurologis, seringkali mengakibatkan 8rticul sensorik, 8rticu
dan 8rticul permanen. Diantara gangguan 8rticul, ada perubahan tonus otot yang dapat
mempengaruhi pasien untuk terjadinya dislokasi TMJ yang berulang.12,16-18

Stroke dapat terjadi ketika aliran darah ke suatu area otak terganggu, tanpa pasokan
darah, sel-sel otak dengan cepat mulai mati. Efek stroke tergantung pada area yang terkena dan
mungkin termasuk kelumpuhan, masalah bicara, kehilangan ingatan atau kemampuan berpikir,
koma atau mati. Pada pasien stroke, kelemahan atau asynergia otot-otot mulut berhubungan
dengan lesi otak tertentu. Lesi pada cerebral otak dapat mengganggu fungsi pengunyahan
normal dan control volunteer bagian bolus, dan lesi kortikal termasuk area precentral dapat
mengakibatkan deklinasi kontralateral gerakan bibir, 9rticular99 faring dan keterlambatan
reflex menelan10,12,16-19

Menurut 9rticular terbaru, stroke lebih lazim pada orang tua, sekitar 70% dari penderita
stroke orang tua dan memiliki rahang yang edentulous dan lebih dari setengahnya menjalani
perbaikan prostetik yang tidak adekuat10,12,16-19.. Sebagai tambahan, pasien dengan stroke,
insiden terjadinya paska stroke seperti disfagia, hipoestesia, apraksia dan penurunan tonus otot
dengan konsekuensi penurunan 9rticul pergerakan mulut dan lidah. , lebih besar terjadi pada
penderita tanpa riwayat stroke. 10,12,16-19.
BAB III
PEMBAHASAN

Pada pasien stroke dapat terjadi gangguan pada 10rticula, kapsul dan kelainan otot hal
tersebut merupakan 10rticu predisposisi untuk kejadian dislokasi akut maupun kronik.
Kelainan oklusal dan hilangnya dimensi vertikal dapat juga berperan menimbulkan kelemahan
dan terjadinya dislokasi rekuren21. Dimensi vertikal salah satunya disebabkan dari hilangnya
gigi geligi akibat proses karies dan trauma.

Tatalaksana konservatif pada dislokasi sendi temporomandibular antara lain20:

1. Restriksi dalam membuka mulut dan dikombinasikan diet lunak


2. Penggunaan obat muscle relaxant
3. Penggunaan occlusal spint
4. Injeksi toksin botulinum pada otot mastikasi dan injeksi sclerotic agent

Tatalaksana bedah pada dislokasi sendi temporomandibular biasanya digunakan untuk


perawatan dislokasi mandibula rekuren. Tujuan tatalaksana bedah adalah untuk membatasi
pergerakan kaput kondilus ke anterior, antara lain dengan memposisikan diskus di anterior
kondilus, menambah ketinggian (augmentasi) eminensia artikularis dengan graft tulang
autogenous, osteotomi arkus zigomatikus dan selanjutnya difiksasi di medial 10rticular10
10rticular (down-fracturing), memasang bahan implant di dalam eminensia 10rticular,
capsular placation, memotong tendon temporalis, menyusun kembali tendon temporalis,
miotomi pterigoideus lateralis dan pendalaman fosa glenoidalis dengan pemotongan diskus.
Alternatif lain meliputi eminektomi dan kondilotomi22.
Berdasarkan referensi studi kasus yang dituliskan oleh Belmiro-Cavalcanti do Egito
Vasconcelos dan rekan pada jurnal berjudul Treatment of chronic mandibular dislocations by
eminectomy: Follow-up of 10 cases and literature review dilakukan evaluasi studi retrospektif
pada 10 pasien di Departemen oral dan maksilofasial Universitas Pernambuco Brazil 2007.
Dengan kriteria inklusi: pasien dengan episode kejadian dislokasi TMJ berulang 5 kali dalam
sebulan, tidak dapat menggerakkan rahang untuk tersenyum, makan atau berbicara serta
kegagalan dalam metode terapi konservatif seperti orientasi keterbatasan pergerakan rahang
dan penggunaan chin tape. Pemeriksaan radiografi yang dilakukan adalah panoramic dan CT
untuk menentukan ketinggian eminensia articular. Prosedur operasi yang dilakukan adalah
pendekatan preauricular dengan anastesia umum. Setelah lokasi eminensia terekspos dilakukan
pengurangan tulang dengan bur #703. Dilakukan pemeriksaan pergerakan rahang dan
dilakukan penyesuaian yang diperlukan. Hasil yang didapatkan adalah terdapat keluhan nyeri
pada 2 pasien, keluhan bunyi saat membuka dan menutup mulut, dan tidak ada yang
mengeluhkan paralisis dan rekurensi dislokasi mandibula.

Tabel 1. Data pasien yang dilakukan eminektomi berdasarkan usia, jenis kelamin, mukaan
mulut maksimal, keluhan nyeri, bunyi sebelum dan setelah tindakan operasi dan tindak lanjut
frekuensi luksasi

BAB IV

KESIMPULAN

Kejadian stroke dan kaitannya dengan gangguan sistem pengunyahan sangat erat
kaitannya. Adanya spasme otot pengunyahan dapat menjadi factor predisposisi terjadinya
dislokasi mandibula. Kondisi dislokasi mandibula yang berulang dan terjadi kronik dapat
menyebabkan gangguan pengunyahan, bicara, dan resiko terjadinya gagal nafas pada pasien
stroke.
Daftar Pustaka

1. Kelompok Studi Serebrovaskuler & Neurogeriatri Perdossi (KSSNP). 1999. Konsensus


Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia. Jakarta.
2. Hankey GJ. 2002. Stroke: Your Questions Answered. Edinburg: Churchill Livingstoke
3. MacDonald BK, Cockerell OC, Sander JWAS, Shorvon SD. 2000. The incidence and
lifetime prevalence of neurological disorders in a prospective community-based study
in the UK.Brain; 123: 665-676.
4. Misbach J. 1999. Stroke Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta: FKUI.
5. Heart and Stroke Foundation. 2003. Let’s Talk About Stroke: An InformationGuide for
Survivors and Their Families. Ottawa.
6. Bounameaux H, Cornuz J, Darioli R, Le Floch-Rohr J, Lyrer Ph, Mattle H, et.al. 1999.
Introduction to theManagement of Stroke. In: Bougousslavsky J. ed. Stroke Prevention
by the Practitioner. Cerebrovasc Dis 1999; 9 (suppl 4): 1-68
7. Shorey CW, Campbell JH. Dislocation of the temporomandibular joint. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol Oral Radiol Endod, 2000; 89(6): 662-668.
8. Akinbami BO. Evaluation of the mechanism and principles of management of
temporomandibular joint dislocation. Systematic review of literature and a proposed
new classification of temporomandibular joint dislocation. Head Face Med. 2011; 7:
10.
9. Cardoso AB, Vasconcelos BCE, Oliveira DM. Comparative study of eminectomy and
use of bone miniplate in the articular eminence for the treatment of recurrent
temporomandibular joint dislocation. Rev Bras Otorrinolaringol. 2005; 71(1): 32-7.
10. Collins DR, Hogan J, O’Neill D, McCormack PM. Temporomandibular joint (TMJ)
dislocation in association with stroke. Ir Med J. 1999. 92(1): 247.
11. Miloro M, Ghali GE, Larsen P, Waite P. Peterson’s Principles of Oral and Maxillofacial
Surgery. 2nd edition. Canada: BC Decker Inc. 2004.
12. Thilm ann AF, Fellows SJ, Ross HF. Biomechanical changes at the ankle joint after
stroke. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry. 1991; 54(2): 134-139
13. Merrill RG. Mandibular Dislocation. In: Keith, D.A (Ed). Surgery of The
Temporomandibular Joint. 4th ed. Boston: Blackwell Scientific Publications. 1988.
14. Norman JE. Dislocation. In: Norman, J.E and Bramley, P. (Ed). A Textbook and Colour
Atlas of The Temporomandibular Joint. Disease-Disorders-Surgery. London: Wolf
Medical Publications. 1990.
15. Thangarajah et al. Bilateral temporomandibular joint dislocation in a 29-year-old man:
a case reportJournal of Medical Case Reports 2010, 4: 263. Diakses dari
http://www.jmedicalcasereports.com/content/4/1/263, diunduh 1 November 2015
16. Mani S, Mutha PK, Przybyla A, Haaland KY, Good DC, Sainburg RL. Contralesional
motor deficits after unilateral stroke reflect hemisphere-specific control mechanisms.
Brain. 2013; 136(pt.4): 1288-303.
17. Schimmel M, Leemann B, Herrmann FR, Kiliaridis S, Schnider A, Müller
F.Masticatory function and bite force in stroke patients. J Dent Res. 2011; 90(2):230-4
18. Cook AS, Woollacott MH. Motor Control: Translating Research Into Clinical Practice.
Lippincott Williams & Wilkins; 2007
19. Schimmel M, Leemann B, Schnider A, Herrmann FR, Kiliaridis S, Müller F. Changes
in oro-facial function and hand-grip strength during a 2-year observation period after
stroke. Clin Oral Investig. 2013; 17(3): 867-76.
20. Essam Soussa and Magued Fahmy. “Non Surgical Treatment of TMJ Dislocation”. EC
Dental Science 3.2 (2015): 496-500.
21. Merrill RG. Mandibular Dislocation. In: Keith, D.A (Ed). Surgery of The
Temporomandibular Joint. 4th ed. Boston: Blackwell Scientific Publications. 1988.
22. Undt G, Kermer C, Rasse M. Treatment of Recurrent Dislocation of The
Temporomandibular Joint. Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 1997.
23.

Anda mungkin juga menyukai