OLEH:
4. Gejala klinis
Menurut Tarwoto (2013), manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau bagian
mana yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi kolateral. Pada
stroke hemoragik, gejala klinis meliputi:
a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparese) atau hemiplegia
(paralisis) yang timbul secara mendadak yang terjadi akibat adanya kerusakan
pada area motorik di korteks bagian fronta. Kerusakan ini bersifat
kontralateral, artinya jika terjadi kerusakan pada hemisfer kanan maka
kelumpuhan otot pada sebelah kiri. Pasien juga akan kehilangan kontrol otot
vulenter dan sensorik sehingga pasien tidak dapat melakukan ekstensi
maupun fleksi.
b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan yang terjadi karena
kerusakan system saraf otonom dan gangguan saraf sensorik.
c. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma), terjadi
akibat perdarahan, kerusakan otak kemudian menekan batang otak atau
terjadinya gangguan metabolik otak akibat hipoksia.
d. Afasia (kesulitan dalam bicara) adalah defisit kemampuan komunikasi bicara,
termasuk dalam membaca, menulis dan memahami bahasa. Afasia terjadi jika
terdapat kerusakan pada area pusat bicara primer yang berada pada hemisfer
kiri middle sebelah kiri. Afasia dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Afasia motorik atau ekspresif: terjadi jika area pada area Broca, yang
terletak pada lobus frontal otak. Pada afasia jenis ini pasien dapat
memahami lawan bicara tetapi pasien tidak dapat mengungkapkan dan
kesulitan dalam mengungkapkan bicara.
2) Afasia sensorik: terjadi karena kerusakan pada area Wernicke, yang
terletak pada lobus temporal. Pada afasia sensori pasien tidak dapat
menerima stimulasi pendengaran tetapi pasien mampu mengungkapkan
pembicaraan. Sehingga respon pembicaraan pasien tidak nyambung atau
koheren.
3) Afasia global: pada afasia global pasien dapat merespon pembicaraan
baik menerima maupun mengungkapkan pembicaraan.
e. Disatria (bicara cedel atau pelo) merupakan kesulitan bicara terutama dalam
artikulasi sehingga ucapannya menjadi tidak jelas. Namun demikian, pasien
dapat memahami pembicaraan, menulis, mendengarkan maupun membaca.
Disartria terjadi karena kerusakan nervus cranial sehingga terjadi kelemahan
dari otot bibir, lidah dan laring. Pasien juga terdapat kesulitan dalam
mengunyah dan menelan.
f. Gangguan penglihatan (diplopia) dimana pasien dapat kehilangan penglihatan
atau juga pandangan menjadi ganda, gangguan lapang pandang pada salah
satu sisi. Hal ini terjadi karena kerusakan pada lobus temporal atau parietal
yang dapat menghambat serat saraf optik pada korteks oksipital. Gangguan
penglihatan juga dapat disebabkan karena kerusakan pada saraf cranial III, IV
dan VI.
g. Disfagia atau kesulitan menelan terjadi karena kerusakan nervus cranial
IX. Selama menelan bolus didorong oleh lidah dan glottis menutup kemudian
makanan masuk ke esophagus.
h. Inkontinensia, baik bowel maupun bladder sering terjadi karena terganggunya
saraf yang mensarafi bladder dan bowel.
i. Vertigo, mual, muntah, nyeri kepala yang terjadi karena peningkatan tekanan
intrakranial, edema serebri.
5. Patofisiologis terjadinya penyakit
Otak sangat tergantung pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan oksigen.
Jika aliran darah ke setiap bagian otak terhambat karena trombus dan embolus, maka
mulai terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otak. Kekurangan selama 1 menit dapat
mengarah pada gejala yang dapat pulih seperti kehilngan kesadaran. Selanjutnya
kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan nekrosis
mikroskopik neuron-neuron. Area nekrotik kemudian disebut infark. Kekurangan
oksigen pada awalnya mungkin akibat iskemia miokardium (karena henti jantung atau
hipotensi) atau hipoksia karena akibat proses anemia dan kesukaran untuk bernafas.
Stroke karena embolus dapat merupakan akibat dari bekuan darah, udara, plaque,
ateroma fragmen lemak. Jika etiologi stroke adalah hemoragik maka faktor pencetus
adalah hipertensi. Abnormalitas vaskuler, aneurisma serabut dapat terjadi ruptur dan
dapat menyebabkan hemoragik (Murtiningsih, 2019).
Pada stroke trombosis atau metabolik maka otak akan mengalami iskemia dan
infark sulit ditentukan. Ada peluang dominan stroke akan meluas setelah serangan
pertama sehingga dapat terjadi edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) dan kematian pada area yang luas. Prognosisnya tergantung pada daerah otak
yang terkena dan luasnya saat terkena. Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi
dimana saja di dalam arteri-arteri yang membentuk sirkulasi arteria karotis interna dan
sistem vertebrobasilar dan semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah
ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian
jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark
didaerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut (Murtiningsih, 2019).
Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai
daerah tersebut. Proses patologi yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai
proses yang terjadi didalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya
dapat berupa:
a. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti aterosklerosis dan
trombosis, robeknya dinding pembuluh darah atau peradangan.
b. Berkurangnya perfusi akibat gangguan aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah
c. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal
dari jantung atau pembuluh ekstrakranium
d. Rupture vascular didalam jaringan otak atau ruang subarachnoid
(Murtiningsih, 2019).
6. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Menurut Wijaya & Putri (2013), pemeriksaan penunjang pada penyakit stroke
antara lain :
a. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan,
obstruksi arteri, oklusi/ruptur.
b. Elektro encefalography (EEG)
Mengidentifikasi masalah didasarkan pasa gelombang otak atau mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
c. Sinar x tengorak
Menggambar perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan
dari masa yang luas, klasifikasi karotis interna terdapat pada trombus serebral.
Klasifikasi parsial dinding, aneurisma pada perdarahan sub arachnoid.
d. Ultrasonography Doppler
Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis/aliran
darah/muncul plaque/arteriskerosis)
e. CT-Scan
Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark.
f. MRI
Menunjukkan adanya tekanan abnormal dan biasanya ada thrombosis, emboli
dan TIA, tekanan meningkat dan cairan mengandung darah menunjukkan
hemorargi subarachnois/perdarahan intracranial.
g. Pemeriksaan Foto Thorax
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran
ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada
penderita stroke, menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah
berlawanan dari massa yang meluas.
h. Pemeriksaan Laboratorium
Pungsi lumbal : Tekanan normal biasanya ada thrombosis, emboli dan TIA.
Sedangkan tekanan yang meningkat dan cairan yang mengandung darah
menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid atau intracranial.
2. Diagnosa keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan stroke
non hemoragik adalah (PPNI, 2016):
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan embolisme.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (iskemia).
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.
d. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakmampuan
menghidu dan melihat.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungandengangangguan neuromuskular.
f. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan penurunan
mobilitas.
g. Risiko jatuh dibuktikan dengan gangguan pengelihatan (mis.ablasio retina).
h. Gangguan komunikasi verbal berubungan dengan penurunan sirkulasi
serebral.
3. Rencana Keperawatan
NO Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi
hasil (SLKI) (SIKI)
1. Risiko Perfusi Setelah dilakukan Manajemen Peningkatan
Serebral Tidak Efektif tindakan keperawatan tekanan intrakranial
dibuktikandengan selama .... (I.06194)
Embolisme (D.0017). jam diharapkan perfusi 1.1 Identifikasi penyebab
serebral (L.02014) dapat peningkatan tekanan
adekuat/meningkat intrakranial (TIK)
dengan Kriteria hasil : 1.2 Monitor tanda gejala
1) Tingkat kesadaran peningkatan tekanan
meningkat intrakranial (TIK)
2) Tekanan Intra 1.3 Monitor status
Kranial (TIK) pernafasan pasien
Menurun 1.4 Monitor intake dan
3) Tidak ada tanda output cairan
tanda pasien gelisah. 1.5 Minimalkan stimulus
4) TTV membaik dengan menyediakan
lingkungan yang
tenang
1.6 Berikan posisi semi
fowler
1.7 Pertahankan suhu
tubuh normal
1.8 Kolaborasi pemberian
obat diuretik osmosis
2. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan dengan tindakan keperawatan (I.08238)
agen pencedera selama … jam 2.1 Identifikasi lokasi ,
fisiologis (iskemia) diharapkan tingkat nyeri karakteristik, durasi,
(D.0077). (L.08066) menurun frekuensi, kualitas,
dengan Kriteria Hasil : intensitas nyeri
1) Keluhan nyeri 2.2 Identifikasi skala nyeri
menurun. 2.3 Identifikasi respon
2) Meringis menurun nyeri non verbal
3) Sikap protektif 2.4 Berikan posisi yang
menurun nyaman
4) Gelisah menurun. 2.5 Ajarkan teknik
5) TTV membaik nonfarmakologis
untuk mengurangi
nyeri (misalnya
relaksasi nafas dalam)
2.6 Kolaborasi
pemberiananalgetik
5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Setiadi (2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan keperawatan
tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana
tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
Terdapa dua jenis evaluasi:
a. Evaluasi Formatif (Proses)
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan
evaluasi formatif ini meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah SOAP,
yakni subjektif, objektif, analisis data dan perencanaan.
1) S (subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan klien, kecuali pada klien
yang afasia
2) O (objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan oleh
perawat.
3) A (analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang dianalisis
atau dikaji dari data subjektif dan data objektif.
4) P (perencanaan) : Perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang dengan
tujuan memperbaiki keadaan kesehatan klien.
b. Evaluasi Sumatif (Hasil)
1) Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas
proses keperawatan selesi dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan
menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah
diberikan. Ada 3 kemungkinan evaluasi yang terkait dengan pencapaian
tujuan keperawatan (Setiadi, 2012), yaitu:
2) Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan perubahan
sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
3) Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau klien masih
dalam proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan perubahan pada
sebagian kriteria yang telah ditetapkan.
4) Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien hanya
menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali.
C. DAFTAR PUSTAKA
Haryono, R. & Utami, M.P.S. (2019). Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogyakarta: Pustaka
Baru Press.
Indrawati, L., Sari, W., & Dewi, C. S. (2016). Care Yourself STROKE cegah dan obati
sendiri. Jakarta: Penebar Swadaya.
Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda NIC NOC (Jilid 3). Yogyakarta: Mediaction.
Padila. (2012). Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika. PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI:
Jakarta Selatan.
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Denifisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta Selatan
Setiadi. (2012). Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Stiyohadi, B., Syam, A.F. (2014). Ilmu Penyakit
Dalam (Jilid 1). Jakarta: Interna Publishing.
Tarwoto & Wartonah. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: CV. Sagung Seto.
Wijaya, A.S & Putri, Y.M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.
NYERI AKUT
GANGGUAN MOBILITAS
FISIK
GANGGUAN
INTEGRITAS KULIT
DEFISIT NUTRISI