Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN DENGAN STROKE NON HEMORAGIK

OLEH:

PUTU ADHELINA ISWARA DEVI


NIM. 219012779

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2022
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN STROKE NON HEMORAGIK

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Stroke non hemoragik ialah tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti (Nurarif & Kusuma, 2015).
Stroke non hemoragik pada dasarnya disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang
akhirnya menyebabkan terhentinya pasokan dan glukosa ke otak (Sudoyo, 2014). Stroke
non hemoragik dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral, biasanya
terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak
terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya
dapat timbul edema sekunder (Wijaya & Putri, 2013). Menurut Padila (2012), stroke
non hemoragik adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak
terjadi akibat pembentukan trombus di arteri cerebrum atau emboli yang mengalir ke
otak dan tempat lain di tubuh. Jadi, dari beberapa pengertian stroke di atas dapat
disimpulkan stroke non hemoragik adalah adalah gangguan cerebrovaskular yang
disebabakan oleh tersumbatnya pembuluh darah akibat penyakit tertentu seperti
aterosklerosis, trombus dan embolus.
2. Epidemiologi/Insidensi Kasus
Menurut hasil Riskesdas (2018) prevalensi kejadian stroke berdasarkan diagnosis
dokter pada penduduk dengan usia ≥ 15 tahun di Indonesia meningkat dari yang
sebelumnya di tahun 2013 sebesar 7 permil penduduk menjadi 10,9 permil per
penduduk di Indonesia. Prevalensi stroke (permil) pada penduduk umur ≥ 15 tahun
berdasarkan diagnosis dokter menurut karakteristik jenis kelamin terbanyak dialami
oleh laki-laki yaitu sebesar 11,0 permil. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian dari
Nasution (2013) dimana sebagian besar kasus dijumpai pada orang-orang yang berusia
di atas 40 tahun dan lebih banyak diderita laki-laki daripada perempuan. Faktor resiko
terjadinya stroke non hemoragik, antara lain hipertensi, diabetes mellitus (DM),
penyakit jantung, hiperkolesterolemi, dan riwayat merokok.
3. Penyebab/Etiologi
Penyebab dari stroke non hemoragik dapat dibedakan menjadi 2 yaitu stroke
trombotik dan stroke embolik. Stroke trombotik terjadi ketika gumpalan darah
(trombus) terbentuk disalah satu arteri yang memasok darah ke otak. Gumpalan tersebut
disebabkan oleh deposit lemak (plak) yang menumpuk di arteri dan menyebabkan aliran
darah berkurang (aterosklerosis) atau kondisi arteri lainnya. Stroke embolik terjadi
ketika gumpalan darah atau debris lainnya menyebar dari otak dan tersapu melalui aliran
darah. Jenis gumpalan darah ini disebut embolus. Stroke embolik berkembang setelah
oklusi arteri oleh embolus yang terbentuk di luar otak (Haryono & Utami, 2019).
Menurut Setiati dkk. (2014) trombosis yang menuju pada penurunan atau oklusi
pada aliran darah akibat proses oklusi local pada pembuluh darah. Oklusi aliran darah
terjadi karena perubahan karaktreristik pada pembuluh darah serta pembentukan
bekuan. Patologi vaskuler yang paling sering penyebab trombosis adalah aterosklerosis,
dimana terjadi deposisi material lipid dan adesi trombosit yang mempersempit lumen
pembuluh darah.
Faktor resiko adalah hal-hal yang meningkatkan kecenderungan seseorang untuk
mengalami stroke. Penelusuran faktor resiko penting dilakukan agar dapat menghindari
dan mencegah serangan stroke. Ada dua faktor resiko yang mempengaruhi stroke non
hemoragik diantaranya faktor resiko yang dapat dikontrol dan faktor resiko yang tidak
dapat dikontrol (Indrawati et al., 2016).
Faktor resiko yang dapat dikontrol yaitu :
a. Pernah terserang stroke, seseorang yang pernah mengalami stroke, termasuk
TIA (Transient Ischemic Attack), rentan terserang stroke berulang. Seseorang
yang pernah mengalami TIA akan sembilan kali lebih beresiko mengalami
stroke dibandingkan yang tidak mengalami TIA.
b. Hipertensi, merupakan faktor risiko tunggal yang paling penting untuk stroke
iskemik maupun stroke perdarahan. Pada keadaan hipertensi, pembuluh darah
mendapat tekanan yang cukup besar. Jika proses tekanan berlangsung lama,
dapat menyebabkan kelemahan pada dinding pembilih darah sehingga
menjadi rapuh dan mudah pecah. Hipertensi juga dapat
menyebabkan arterosklerosis dan penyempitan diameter pembuluh darah
sehingga mengganggu aliran darah ke jaringan otak.
c. Penyakit jantung, beberapa penyakit jantung, antara lain fibrilasi atrial (salah
satu jenis gangguan irama jantung), penyakit jantung koroner, penyakit
jantung rematik, dan orang yang melakukan pemasangan katup jantung
buatan akan meningkatkan resiko stroke. Stroke emboli umumnya disebabkan
kelainan-kelaianan jantung tersebut.
d. Diabetes melitus (DM), seseorang dengan diabetes melitus rentan untuk
menjadi ateroklerosis, hipertensi, obesistas, dan gangguan lemak darah.
Seseorang yang mengidap diabetes melitus memiliki resiko dua kali lipat
dibandingkan mereka yang tidak mengidap DM.
e. Hiperkolesterolemia, dapat menyebabkan arterosklerosis yang dapat memicu
terjadinya penyakit jantung koroner dan stroke itu sendiri.
f. Merokok, perokok lebih rentan terhadap terjadinya stroke dibandingkan
mereka yang bukan perokok. Hal tersebut disebabkan oleh zat nikotin yang
terdapat di dalam rokok membuat kerja jantung dan frekuensi denyut jantung
serta tekanan darah meningkat. Nikotin juga mengurangi kelenturan arteri
yang dapat menyebabkan aterosklerosis.
g. Gaya hidup, diet tinggi lemak, aktivitas fisik kurang, serta stres emosional
dapat meningkatkan risiko terkena stroke. Seseorang yang sering
mengonsumsi makanan tinggi lemak dan kurang melakukan aktivitas fisik
rentan mengalami obesitas, diabetes melitus, aterosklerosis, dan penyakit
jantung. Seseorang yang sering mengalami stres emosional juga dapat
mempengaruhi jantung dan pembuluh darah sehingga berpotensi
meningkatkan resiko serangan stroke.
Sedangkan faktor-faktor resiko stroke yang tidak dapat dikontrol yaitu:
a. Usia, resiko mengalami stroke meningkat seiring bertambahnya usia. Resiko
semakin meningkat setelah usia 55 tahun. Usia terbanyak terkena serangan
stroke adalah usia 65 tahun ke atas. Dari 2065 pasien stroke akut yang dirawat
di 28 rumah sakit di Indonesia, 35,8% berusia diatas 65 tahun dan 12,9%
kurang dari 45 tahun.
b. Jenis kelamin, stroke menyerang laki-laki 19% lebih banyak dibandingkan
perempuan
c. Ras, stroke lebih banyak menyerang dan menyebabkan kematian pada ras
kulit hitam, Asia, dan kepulauan Pasifik, serta Hispanik dibandingkan kulit
putih. Pada kulit hitam diduga karena angka kejadian hipertensi yang tinggi
serta diet tinggi garam.
d. Genetik, resiko stroke meningkat jika ada orang tua atau saudara kandung
yang mengalami stroke atau TIA (Transient Ischemic Attack).

4. Gejala klinis
Menurut Tarwoto (2013), manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau bagian
mana yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi kolateral. Pada
stroke hemoragik, gejala klinis meliputi:
a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparese) atau hemiplegia
(paralisis) yang timbul secara mendadak yang terjadi akibat adanya kerusakan
pada area motorik di korteks bagian fronta. Kerusakan ini bersifat
kontralateral, artinya jika terjadi kerusakan pada hemisfer kanan maka
kelumpuhan otot pada sebelah kiri. Pasien juga akan kehilangan kontrol otot
vulenter dan sensorik sehingga pasien tidak dapat melakukan ekstensi
maupun fleksi.
b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan yang terjadi karena
kerusakan system saraf otonom dan gangguan saraf sensorik.
c. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma), terjadi
akibat perdarahan, kerusakan otak kemudian menekan batang otak atau
terjadinya gangguan metabolik otak akibat hipoksia.
d. Afasia (kesulitan dalam bicara) adalah defisit kemampuan komunikasi bicara,
termasuk dalam membaca, menulis dan memahami bahasa. Afasia terjadi jika
terdapat kerusakan pada area pusat bicara primer yang berada pada hemisfer
kiri middle sebelah kiri. Afasia dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Afasia motorik atau ekspresif: terjadi jika area pada area Broca, yang
terletak pada lobus frontal otak. Pada afasia jenis ini pasien dapat
memahami lawan bicara tetapi pasien tidak dapat mengungkapkan dan
kesulitan dalam mengungkapkan bicara.
2) Afasia sensorik: terjadi karena kerusakan pada area Wernicke, yang
terletak pada lobus temporal. Pada afasia sensori pasien tidak dapat
menerima stimulasi pendengaran tetapi pasien mampu mengungkapkan
pembicaraan. Sehingga respon pembicaraan pasien tidak nyambung atau
koheren.
3) Afasia global: pada afasia global pasien dapat merespon pembicaraan
baik menerima maupun mengungkapkan pembicaraan.
e. Disatria (bicara cedel atau pelo) merupakan kesulitan bicara terutama dalam
artikulasi sehingga ucapannya menjadi tidak jelas. Namun demikian, pasien
dapat memahami pembicaraan, menulis, mendengarkan maupun membaca.
Disartria terjadi karena kerusakan nervus cranial sehingga terjadi kelemahan
dari otot bibir, lidah dan laring. Pasien juga terdapat kesulitan dalam
mengunyah dan menelan.
f. Gangguan penglihatan (diplopia) dimana pasien dapat kehilangan penglihatan
atau juga pandangan menjadi ganda, gangguan lapang pandang pada salah
satu sisi. Hal ini terjadi karena kerusakan pada lobus temporal atau parietal
yang dapat menghambat serat saraf optik pada korteks oksipital. Gangguan
penglihatan juga dapat disebabkan karena kerusakan pada saraf cranial III, IV
dan VI.
g. Disfagia atau kesulitan menelan terjadi karena kerusakan nervus cranial
IX. Selama menelan bolus didorong oleh lidah dan glottis menutup kemudian
makanan masuk ke esophagus.
h. Inkontinensia, baik bowel maupun bladder sering terjadi karena terganggunya
saraf yang mensarafi bladder dan bowel.
i. Vertigo, mual, muntah, nyeri kepala yang terjadi karena peningkatan tekanan
intrakranial, edema serebri.
5. Patofisiologis terjadinya penyakit
Otak sangat tergantung pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan oksigen.
Jika aliran darah ke setiap bagian otak terhambat karena trombus dan embolus, maka
mulai terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otak. Kekurangan selama 1 menit dapat
mengarah pada gejala yang dapat pulih seperti kehilngan kesadaran. Selanjutnya
kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan nekrosis
mikroskopik neuron-neuron. Area nekrotik kemudian disebut infark. Kekurangan
oksigen pada awalnya mungkin akibat iskemia miokardium (karena henti jantung atau
hipotensi) atau hipoksia karena akibat proses anemia dan kesukaran untuk bernafas.
Stroke karena embolus dapat merupakan akibat dari bekuan darah, udara, plaque,
ateroma fragmen lemak. Jika etiologi stroke adalah hemoragik maka faktor pencetus
adalah hipertensi. Abnormalitas vaskuler, aneurisma serabut dapat terjadi ruptur dan
dapat menyebabkan hemoragik (Murtiningsih, 2019).
Pada stroke trombosis atau metabolik maka otak akan mengalami iskemia dan
infark sulit ditentukan. Ada peluang dominan stroke akan meluas setelah serangan
pertama sehingga dapat terjadi edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) dan kematian pada area yang luas. Prognosisnya tergantung pada daerah otak
yang terkena dan luasnya saat terkena. Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi
dimana saja di dalam arteri-arteri yang membentuk sirkulasi arteria karotis interna dan
sistem vertebrobasilar dan semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah
ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian
jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark
didaerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut (Murtiningsih, 2019).
Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai
daerah tersebut. Proses patologi yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai
proses yang terjadi didalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya
dapat berupa:
a. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti aterosklerosis dan
trombosis, robeknya dinding pembuluh darah atau peradangan.
b. Berkurangnya perfusi akibat gangguan aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah
c. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal
dari jantung atau pembuluh ekstrakranium
d. Rupture vascular didalam jaringan otak atau ruang subarachnoid
(Murtiningsih, 2019).

6. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Menurut Wijaya & Putri (2013), pemeriksaan penunjang pada penyakit stroke
antara lain :
a. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan,
obstruksi arteri, oklusi/ruptur.
b. Elektro encefalography (EEG)
Mengidentifikasi masalah didasarkan pasa gelombang otak atau mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
c. Sinar x tengorak
Menggambar perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan
dari masa yang luas, klasifikasi karotis interna terdapat pada trombus serebral.
Klasifikasi parsial dinding, aneurisma pada perdarahan sub arachnoid.
d. Ultrasonography Doppler
Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis/aliran
darah/muncul plaque/arteriskerosis)
e. CT-Scan
Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark.
f. MRI
Menunjukkan adanya tekanan abnormal dan biasanya ada thrombosis, emboli
dan TIA, tekanan meningkat dan cairan mengandung darah menunjukkan
hemorargi subarachnois/perdarahan intracranial.
g. Pemeriksaan Foto Thorax
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran
ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada
penderita stroke, menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah
berlawanan dari massa yang meluas.
h. Pemeriksaan Laboratorium
Pungsi lumbal : Tekanan normal biasanya ada thrombosis, emboli dan TIA.
Sedangkan tekanan yang meningkat dan cairan yang mengandung darah
menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid atau intracranial.

Kadar protein total meningkat pada kasus thrombosis sehubungan dengan


proses inflamasi.
i. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula
darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur- angsur
turun kembali.
7. Therapy/Tindakan Penanganan
Penatalaksanaan stroke iskemik/non hemorargik :
a. Terapi Umum
1) Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu
bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila
homodynamic sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri
oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika
perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik,
kemudian dicari penyebabnya. Jika kandung kemih penuh, sebaiknya
dikosongkan dengan kateter intermittent).
2) Berikan nutrisi dengan cairan isotonic, kristaloid atau koloid 1500- 2000
mL dan elektrolit sesuai kebutuhan. Hindari cairan mengandung glukosa
atau salin isotonic. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi
menelannya baik. Jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran
menurun, dianjurkan melalui selang nasogastric.
3) Kadar gula darah >150 mg % harus dikoreksi sampai batas gula darah
150 mg % dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama.
Hipoglikemia (kadar gula darah <60 mg% atau 80mg% dengan gejala)
diatasi segera dengan dekstrosa 40% IV sampai kembali normal dan
harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatas
dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu
segera diturunkan.
b. Terapi Khusus
Ditunjukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan
antikoagulan,atau yang dianjurkan dengan trombolitik rr-PA
(recombinant tissue Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen
neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika didapatkan afasia).
8. Komplikasi
Menurut Hariyanto & Sulistyowati (2015), komplikasi pada stroke antara lain :
a. Peningkatan tekanan intracranial.
b. Disritmia jantung.
c. Kontraktur.
d. Immobilisasi yang dapat menyebabkan infeksi pernapasan, decubitus, dan
konstipasi.
e. Paralisis yang dapat menyebabkan nyeri kronis, resiko jatuh, atropi.
f. Kejang akibat kerusakan atau gangguan pada listrik otak.
g. Nyeri kepala kronis seperti migrain.
h. Malnutrisi.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan upaya
untuk pengumpulan data secara lengkap dan sistematis mulai dari pengumpulan data,
identitas dan evaluasi status kesehatan klien (Tarwoto, 2013). Hal-hal yang perlu dikaji
antara lain:
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (dominan terjadi pada usia lanjut), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Alasan klien yang sering muncul untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien
sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan
atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada
tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsif dan koma.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif
dan kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta
dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan
obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian
dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan
tindakan selanjutnya.
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus,
atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya,
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran
Biasanya pada pasien stroke mengalami tingkat kesadaran pasien
mengantuk namun dapat sadar saat dirangsang (somnolen), pasien acuh
tak acuh terhadap lingkungan (apati), mengantuk yang dalam (sopor),
sopor coma, hingga penrunan kesadaran (coma), dengan GCS
< 12 pada awal terserang stroke. Sedangkan pada saat pemulihan
biasanya memiliki tingkat kesadaran letargi dan compos mentis dengan
GCS 13-15.
2) Tanda-tanda Vital
a) Tekanan darah: Biasanya pasien dengan stroke non hemoragik
memiliki riwayat tekanan darah tinggi dengan tekanan systole >
140 dan diastole > 80. Tekanan darah akan meningkat dan menurun
secara spontan. Perubahan tekanan darah akibat stroke akan kembali
stabil dalam 2-3 hari pertama.
b) Nadi: Nadi biasanya normal 60-100 x/menit.
c) Pernafasan: Biasanya pasien stroke non hemoragik mengalami
gangguan bersihan jalan napas.
d) Suhu: Biasanya tidak ada masalah suhu pada pasien dengan stroke
non hemoragik
3) Rambut
Biasanya tidak ditemukan masalah rambut pada pasien stroke non
hemoragik
4) Wajah
Biasanya simetris, wajah pucat. Pada pemeriksaan Nervus V
(Trigeminus) : biasanya pasien bisa menyebutkan lokasi usapan dan pada
pasien koma, ketika diusap kornea mata dengan kapas halus, pasien akan
menutup kelopak mata. Sedangkan pada nervus VII (facialis) : biasanya
alis mata simetris, dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi,
mengerutkan hidung, menggembungkan pipi, saat pasien
menggembungkan pipi tidak simetris kiri dan kanan tergantung lokasi
lemah dan saat diminta mengunyah, pasien kesulitan untuk mengunyah.
5) Mata
Biasanya konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor,
kelopak mata tidak oedema. Pada pemeriksaannervus II (optikus):
biasanya luas pandang baik 90°, visus 6/6. Pada nervus III
(okulomotorius): biasanya diameter pupil 2mm/2mm, pupil kadang
isokor dan anisokor, palpebral dan reflek kedip dapat dinilai jika pasien
bisa membuka mata. Nervus IV (troklearis): biasanya pasien dapat
mengikuti arah tangan perawat ke atas dan bawah. Nervus VI (abdusen):
biasanya hasil yang di dapat pasien dapat mengikuti arah tangan perawat
ke kiri dan kanan.
6) Hidung
Biasanya simetris kiri dan kanan, terpasang oksigen, tidak ada
pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksaan nervus I (olfaktorius):
kadang ada yang bisa menyebutkan bau yang diberikan perawat namun
ada juga yang tidak, dan biasanya ketajaman penciuman antara kiri dan
kanan berbeda dan pada nervus VIII (vetibulokoklearis):
biasanya pada pasien yang tidak lemah anggota gerak atas, dapat
melakukan keseimbangan geraktangan – hidung.
7) Mulut dan gigi
Biasanya pada pasien apatis, sopor, sopor coma hingga coma akan
mengalami masalah bau mulut, gigi kotor, mukosa bibir kering. Pada
pemeriksaan nervus VII (facialis): biasanya lidah dapat mendorong pipi
kiri dan kanan, bibir simetris, dan dapat menyebutkan rasa manis dan
asin. Pada nervus IX (glossofaringeus): biasanya ovule yang terangkat
tidak simetris, mencong kearah bagian tubuh yang lemah dan pasien
dapat merasakan rasa asam dan pahit. Pada nervus XII (hipoglosus) :
biasanya pasien dapat menjulurkan lidah dan dapat dipencongkan ke kiri
dan kanan, namun artikulasi kurang jelas saat bicara.
8) Telinga
Biasanya sejajar daun telinga kiri dan kanan. Pada pemeriksaan nervus
VIII (vestibulokoklearis): biasanya pasien kurang bisa mendengarkan
gesekan jari dariperawat tergantung dimana lokasi kelemahan dan pasien
hanya dapat mendengar jika suara dan keras dengan artikulasi yang jelas.
9) Leher
Pada pemeriksaan nervu X (vagus): biasanya pasien stroke non
hemoragik mengalami gangguan menelan. Pada pemeriksaan kaku kuduk
biasanya (+) dan bludzensky 1 (+).
10) Paru-paru
Inspeksi : biasanya simetris kiri dan kanan
Palpasi : biasanya fremitus sama antara kiri dan kanan Perkusi :
biasanya bunyi normal sonor
Auskultasi : biasanya suara normal vesikuler
11) Jantung
Inspeksi : biasanya iktus kordis tidak terlihat Palpasi : biasanya iktus
kordis teraba Perkusi : biasanya batas jantung normal
Auskultasi : biasanya suara vesikuler
12) Abdomen
Inspeksi : biasanya simetris, tidak ada asites Palpasi : biasanya tidak
ada pembesaran hepar Perkusi : biasanya terdapat suara tympani
Auskultasi : biasanya bising usus pasien tidak terdengar
Pada pemeriksaan reflek dinding perut, pada saat perut pasien
digores, biasanya pasien tidak merasakan apa-apa.
13) Ekstremitas
a) Atas
Biasanya terpasang infuse bagian dextra atau sinistra. Capillary
Refill Time (CRT) biasanya normal yaitu < 2 detik. Pada
pemeriksaan nervus XI (aksesorius) : biasanya pasien stroke non
hemoragik tidak dapat melawan tahanan pada bahu yang diberikan
perawat. Pada pemeriksaan reflek, biasanya saat siku diketuk tidak
ada respon apa-apa dari siku, tidak fleksi maupun ekstensi (reflek
bicep (-)). Sedangkan pada pemeriksaan reflek Hoffman tromner
biasanya jari tidak mengembang ketika diberi reflek (reflek Hoffman
tromner (+)).
b) Bawah
Pada pemeriksaan reflek, biasanya pada saat pemeriksaan
bluedzensky 1 kaki kiri pasien fleksi (bluedzensky (+)). Pada saat
telapak kaki digores biasanya jari tidak mengembang (reflek
babinsky (+)). Pada saat dorsal pedis digores biasanya jari kaki juga
tidak berespon (reflek Caddok (+)). Pada saat tulang kering digurut
dari atas ke bawah biasanya tidak ada respon fleksi atau ekstensi
(reflek openheim (+)) dan pada saat betis di remas dengan kuat
biasanya pasien tidak merasakan apa-apa (reflek Gordon (+)). Pada
saat dilakukan treflek patella biasanya femur tidak bereaksi saat
diketukkan (reflek patella (+)).
h. Aktivitas dan Istirahat
1) Gejala : merasa kesulitan untuk melakukann aktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia), merasa mudah lelah, susah
untuk beristirahat (nyeri atau kejang otot).
2) Tanda : gangguan tonus otot, paralitik (hemiplegia), dan terjadi
kelemahan umum, gangguan pengelihatan, gangguan tingkat kesadaran.
i. Sirkulasi
1) Gejala : adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipertensi postural.
2) Tanda : hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme atau
malformasi vaskuuler, frekuensi nadi bervariasi dan disritmia.
j. Integritas Ego
1) Gejala : Perasaan tidak berdaya dan perasaan putus asa
2) Tanda : emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan
gembira, kesulitan untuk mengekspresikan diri.
k. Eliminasi
1) Gejala : terjadi perubahan pola berkemih
2) Tanda : distensi abdomen dan kandung kemih, bising usus negatif.
l. Makanan atau Cairan
1) Gejala : nafsu makan hilang,mual muntah selama fase akut, kehilangan
sensasi pada lidah dan tenggorokan, disfagia, adanya riwayat diabetes,
peningkatan lemak dalam darah
2) Tanda : kesulitan menelan dan obesitas.
m. Neurosensori
1) Gejala : sakit kepala, kelemahan atau kesemutan, hilangnya rangsang
sensorik kontralateral pada ekstremitas, pengelihatan menurun, gangguan
rasa pengecapan dan penciuman.
2) Tanda : status mental atau tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada
tahap awal hemoragik, gangguan fungsi kongnitif, pada wajah terjadi
paralisis, afasia, ukuran atau reaksi pupil tidak sama, kekakuan, kejang.
n. Kenyamanan atau Nyeri
1) Gejala : sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda
2) Tanda : tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot
o. Pernapasan
1) Gejala : merokok
2) Tanda : ketidakmampuan menelan atau batuk , hambatan jalan napas,
timbulnya pernapasan sulit dan suara nafas terdengar ronchi.
p. Keamanan
Tanda : masalah dengan pengelihatan, perubahan sensori persepsi terhadap
orientasi tempat tubuh, tidak mampu mengenal objek, gangguan berespon,
terhadap panas dan dingin, kesulitan dalam menelan.

2. Diagnosa keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan stroke
non hemoragik adalah (PPNI, 2016):
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan embolisme.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (iskemia).
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.
d. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakmampuan
menghidu dan melihat.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungandengangangguan neuromuskular.
f. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan penurunan
mobilitas.
g. Risiko jatuh dibuktikan dengan gangguan pengelihatan (mis.ablasio retina).
h. Gangguan komunikasi verbal berubungan dengan penurunan sirkulasi
serebral.
3. Rencana Keperawatan
NO Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi
hasil (SLKI) (SIKI)
1. Risiko Perfusi Setelah dilakukan Manajemen Peningkatan
Serebral Tidak Efektif tindakan keperawatan tekanan intrakranial
dibuktikandengan selama .... (I.06194)
Embolisme (D.0017). jam diharapkan perfusi 1.1 Identifikasi penyebab
serebral (L.02014) dapat peningkatan tekanan
adekuat/meningkat intrakranial (TIK)
dengan Kriteria hasil : 1.2 Monitor tanda gejala
1) Tingkat kesadaran peningkatan tekanan
meningkat intrakranial (TIK)
2) Tekanan Intra 1.3 Monitor status
Kranial (TIK) pernafasan pasien
Menurun 1.4 Monitor intake dan
3) Tidak ada tanda output cairan
tanda pasien gelisah. 1.5 Minimalkan stimulus
4) TTV membaik dengan menyediakan
lingkungan yang
tenang
1.6 Berikan posisi semi
fowler
1.7 Pertahankan suhu
tubuh normal
1.8 Kolaborasi pemberian
obat diuretik osmosis
2. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan dengan tindakan keperawatan (I.08238)
agen pencedera selama … jam 2.1 Identifikasi lokasi ,
fisiologis (iskemia) diharapkan tingkat nyeri karakteristik, durasi,
(D.0077). (L.08066) menurun frekuensi, kualitas,
dengan Kriteria Hasil : intensitas nyeri
1) Keluhan nyeri 2.2 Identifikasi skala nyeri
menurun. 2.3 Identifikasi respon
2) Meringis menurun nyeri non verbal
3) Sikap protektif 2.4 Berikan posisi yang
menurun nyaman
4) Gelisah menurun. 2.5 Ajarkan teknik
5) TTV membaik nonfarmakologis
untuk mengurangi
nyeri (misalnya
relaksasi nafas dalam)
2.6 Kolaborasi
pemberiananalgetik

3. Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi


berhubungan dengan tindakan keperawatan (I.03119)
ketidakmampuan selama … jam 3.1 Identifikasi status
menelan makanan diharapkan status nutrisi nutrisi
(D.0019). (L.03030) 3.2 Monitor asupan
adekuat/membaik dengan makanan
kriteria hasil: 3.3 Berikan makanan
1) Porsi makan ketika masih hangat
dihabiskan/meningkat 3.4 Ajarkan diit sesuai
2) Berat badan membaik yang
3) Frekuensi makan
membaik diprogramkan
4) Nafsu makan membaik 3.5 Kolaborasi dengan
5) Bising usus membaik ahli gizi dalam
6) Membran mukosa pemberian diit yang
membaik tepat

4. Gangguan persepsi Setelah dilakukan Minimalisasi Rangsangan


sensori berhubungan tindakan keperawatan (I.08241)
dengan selama … jam 4.1 Monitor fungsi sensori
ketidakmampuan diharapkan persepsi dan
menghidu dan melihat sensori (L.09083) persepsi:pengelihatan,
(D.0085). membaik dengan kriteria penghiduan,
hasil: pendengaran dan
1) Menunjukkan tanda pengecapan
dan gejala persepsi 4.2 Monitor tanda dan
dan sensori baik: gejala penurunan
pengelihatan, neurologis klien
pendengaran, makan 4.3 Monitor tanda- tanda
dan minum baik. vital klien
2) Mampu
mengungkapkan
fungsi persepsi dan
sensori dengan tepat.

5. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi


fisikberhubungan tindakan keperawatan (I.05173)
dengan gangguan selama … jam 5.1 Identifikasi adanya
neuromuskular diharapkan mobilitas keluhan nyeri atau
(D.0054). fisik (L.05042) klien fisik lainnya
meningkat dengan 5.2 Identifikasi
kriteria hasil: kemampuan dalam
1) Pergerakan melakukan
ekstremitas pergerakkan
meningkat 5.3 Monitor keadaan
2) Kekuatan otot umum selama
meningkat melakukan mobilisasi
3) Rentang gerak 5.4 Libatkan keluarga
(ROM) meningkat untuk membantu klien
4) Kelemahan fisik dalam meningkatkan
menurun pergerakan
5.5 Anjurkan untuk
melakukan pergerakan
secara perlahan
5.6 Ajarkan mobilisasi
sederhana yg bisa
dilakukan seperti
duduk ditempat tidur,
miring kanan/kiri, dan
latihan rentang gerak
(ROM).

6. Gangguan integritas Setelah dilakukan Perawatan integritas kulit


kulit/jaringan tindakan keperawatan (I.11353)
berhubungan dengan selama … jam 6.1 Identifikasi penyebab
penurunan mobilitas diharapkan integritas gangguan integritas
(D.0129). kulit/jaringan (L.14125) kulit
meningkat dengan 6.2 Ubah posisi tiap 2 jam
kriteria hasil : jika tirah baring
1) Perfusi jaringan 6.3 Anjurkan
meningkat menggunakan
2) Tidak ada tanda pelembab
tanda infeksi 6.4 Anjurkan minum air
3) Kerusakan yang cukup
jaringanmenurun 6.5 Anjurkan
4) Kerusakan lapisan meningkatkan asupan
kulit nutrisi
5) Menunjukkan 6.6. Anjurkan mandi dan
terjadinya proses menggunakan sabun
penyembuhan luka secukupnya.

7. Risiko jatuh Setelah dilakukan Pencegahan jatuh


dibuktikan dengan tindakan keperawatan (I.14540)
kekuatan otot selama … jam 7.1 Identifikasi faktor
menurun (D.0143). diharapkan tingkat jatuh resiko jatuh
(L.14138) menurun 7.2 Identifikasi faktor
dengan kriteria hasil: lingkungan yang
1) Klien tidak meningkatkan resiko
terjatuhdari tempat jatuh
tidur 7.3 Pastikan roda tempat
2) Tidak terjatuh saat tidur selalu dalam
dipindahkan keadaan terkunci
3) Tidak terjatuh saat 7.4 Pasang pagar
duduk pengaman tempat tidur
7.5 Anjurkan untuk
memanggil perawat
jika membutuhkan
bantuan untuk
berpindah
7.6 Anjurkan untuk
berkonsentrasi
menjaga
keseimbangan tubuh

8. Gangguan komunikasi Setelah dilakukan Promosi komunikasi:


verbal berhubungan tindakan keperawatan defisit bicara (13492)
denganpenurunan selama … jam 8.1 Monitor
sirkulasi serebral diharapkan komunikasi kecepatan, tekanan,
(D.0119). verbal (L.13118) kuantitas, volume dan
meningkat dengan diksi bicara
kriteria hasil: 8.2 Identifikasi perilaku
1) Kemampuan emosional dan fisik
bicarameningkat sebagai bentuk
2) Kemampuan komunikasi
mendengar dan 8.3 Berikan dukungan
memahami psikologis kepada
kesesuaianekspresi klien
wajah / tubuh 8.4 Gunakan metode
meningkat komunikasi alternatif
3) Respon prilaku (mis. Menulis dan
pemahaman bahasaisyarat/ gerakan
komunikasi membaik tubuh)
4) Pelo menurun 8.5 Anjurkan klien untuk
bicara secaraperlahan
4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Implementasi
merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana keperawatan
dilaksanakan melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan, pada tahap ini
perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam
rencana perawatan klien. Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif
terhadap biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien,
kemudian bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respons pasien
terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia
perawatan kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat
mengevaluasi dan merevisi rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan
berikutnya (Wilkinson, 2012). Komponen tahap implementasi antara lain:
a. Tindakan keperawatan mandiri.
b. Tindakan keperawatan edukatif
c. Tindakan keperawatan kolaboratif.
d. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan
keperawatan

5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Setiadi (2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan keperawatan
tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana
tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
Terdapa dua jenis evaluasi:
a. Evaluasi Formatif (Proses)
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan
evaluasi formatif ini meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah SOAP,
yakni subjektif, objektif, analisis data dan perencanaan.
1) S (subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan klien, kecuali pada klien
yang afasia
2) O (objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan oleh
perawat.
3) A (analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang dianalisis
atau dikaji dari data subjektif dan data objektif.
4) P (perencanaan) : Perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang dengan
tujuan memperbaiki keadaan kesehatan klien.
b. Evaluasi Sumatif (Hasil)
1) Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas
proses keperawatan selesi dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan
menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah
diberikan. Ada 3 kemungkinan evaluasi yang terkait dengan pencapaian
tujuan keperawatan (Setiadi, 2012), yaitu:
2) Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan perubahan
sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
3) Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau klien masih
dalam proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan perubahan pada
sebagian kriteria yang telah ditetapkan.
4) Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien hanya
menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali.
C. DAFTAR PUSTAKA

Hariyanto, A. & Sulistyowati, R. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah 1.


Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Haryono, R. & Utami, M.P.S. (2019). Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogyakarta: Pustaka
Baru Press.

Indrawati, L., Sari, W., & Dewi, C. S. (2016). Care Yourself STROKE cegah dan obati
sendiri. Jakarta: Penebar Swadaya.

Murtiningsih, D. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stroke Dengan Masalah


Keperawatan Defisit Perawatan Diri; Mandi Di RSUD Dr Hardjono Ponorogo. Tugas
Akhir (D3) thesis, Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda NIC NOC (Jilid 3). Yogyakarta: Mediaction.

Padila. (2012). Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika. PPNI.

2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. PPNI: Jakarta.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI:
Jakarta Selatan.

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Denifisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta Selatan

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_2018/
Hasil%20Riskesdas%202018.pdf – Diakses tanggal 02 Juni 2022.

Setiadi. (2012). Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Stiyohadi, B., Syam, A.F. (2014). Ilmu Penyakit
Dalam (Jilid 1). Jakarta: Interna Publishing.

Tarwoto & Wartonah. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: CV. Sagung Seto.

Wijaya, A.S & Putri, Y.M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.

Wilkinson, J. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 7. Jakarta: EGC.


Pathway

RESIKO PERFUSI SEREBRAL


TIDAK EFEKTIF

NYERI AKUT

RESIKO JATUH GANGGUAN PERSEPSI


SENSORI GANGGUAN
KOMUNIKASI VERBAL

GANGGUAN MOBILITAS
FISIK

GANGGUAN
INTEGRITAS KULIT

DEFISIT NUTRISI

Anda mungkin juga menyukai