Anda di halaman 1dari 29

Cerebrovascular Desease , Chronic Obstructive

Pulmonary Disease dan Collitis Ulserative

Kelompok 2 :

Ai Epa N
Neng Riris Ariska
Rima Ferdila R
Tasya Kamila W
Trisna Lindayani
Widia Sukmawati
CEREBROVACULER DEASEASE
Latar Belakang

Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2013 oleh kementrian Kesehatan


RI, 7% atau sebesar 1.236.825 orangmenderita stroke . Jawa Barat merupakan
provinsi dengan angka kejadian stroke terbanyak di indonesia yaitu sebesar
238.001 orang , atau 74% dari jumlah penduduknya. Selain itu penderita
ditemukan paling banyak pada kelompok umur 55-64 tahun. Laki-laki juga
lebih banyak mengidap stroke di Indonesia dibandingkan perempuan . Menurut
sampel Registation System ( SRS ) indonesia 2014, stroke merupakan penyakit
yang paling banyak di derita, yaitu sebesar 21,1% .
Definisi

Menurut WHO, Cerebrovaskuler Desease atau Stroke adalah gangguan fungsional otak
sebagian atau menyeluruh yang timbul secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari
24 jam, yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (WHO, 1998).

Stroke (berasal dari kata strike) berarti pukulan pada sel otak. Biasanya terjadi karena
adanya gangguan distribusi oksigen ke sel otak. Hal ini disebabkan gangguan aliran darah pada
pembuluh darah otak, mungkin karena aliran yang terlalu perlahan, atau karena aliran yang
terlalu kencang sehingga pecah (perdarahan), akhirnya sel-sel otak yang diurus oleh pembuluh
darah tersebut mati (Yatim F, 2005).
Klasifikasi Cerebrovascular Disease

Stroke dibagi menjadi dua jenis, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik.
1. Stroke Iskemik
Stroke iskemik terjadi bila pembuluh darah yang memasok darah ke otak tersumbat. Jenis
stroke ini yang paling umum, karena hampir 90% stroke adalah iskemik. Kondisi yang
mendasari stroke iskemik adalah penumpukan lemak yang melapisi dinding pembuluh darah
(aterosklerosis).
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh pembuluh darah yang bocor atau pecah di dalam atau di
sekitar otak sehingga menghentikan suplai darah ke jaringan otak yang ditujuerosis). Jenis-jenis
stroke hemoragik, yaitu Intracerebral Hemorrhage (perdarahan intraserebral) dan Subarachnoid
Hemorrhage (penrdarahan subarakhnoid).
Epidemiologi Penyakit Stroke
Stroke ditemukan pada semua golongan usia, namun sebagian besar akan dijumpai pada usia
diatas 55 tahun. Ditemukan kesan bahwa insiden stroke meningkat secara eksponensial dengan
bertambahnya usia, dimana akan terjadi peningkatan 100 kali lipat pada mereka yang berusia 80-
90 tahun. Insiden usia 80-90 tahun adalah 300/10.000 dibandingkan dengan 3/10.000 pada golongan
usia 20-40 tahun. Stroke banyak ditemukan dipria dibandingkan wanita. Variasi gender ini
bertahan tanpa pengaruh umur (Bustan, 2007).

Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke,
sekitar 2,5% atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat (Anonym,
2008). Stroke merupakan penyakit nomor 3 yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan
menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh nomor 1 di RS pemerintah diseluruh
penjuru Indonesia (Anonym, 2007).
Gejala Penyakit Stroke

Gejala stroke dapat diamati dari beberapa hal, yaitu :


1. Serangan kecil atau serangan awal stroke biasanya diawali dengan daya ingatmenurun dan
sering kebingungan secara tiba-tiba dan kemudian menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Adanya serangan neurologis fokal berupa kelemahan atau kelumpuhan lengan, tungkai atau
salah satu sisi tubuh.
3. Melemahnya otot (hemiplegia), kaku dan menurunnya fungsi sensorik.
4. Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi
tubuh seperti baal, mati rasa sebelah badan, terasa kesemutan.
5. Rasa perih bahkan seperti rasa terbakar dibagian bawah kulit.
6. Gangguan penglihatan seperti hanya dapat melihat secara parsial ataupun tidak dapat
melihat keseluruhan karena penglihatan gelap dan pandangan ganda sesaat.
7. Menurunnya kemampuan mencium bau dan mengecap.
8. Berjalan menjadi sulit dan langkahnya tertatih-tatih bahkan terkadang mengalami
kelumpuhan total
Faktor Resiko penyakit
stroke

1. Usia 7. Penyakit Jantung


2. Jenis Kelamin 8. Obesitas
3. Ras / Bangsa 9. Hiperkolesterolemia
4. Hereditas 10. Merokok
5. Hipertensi 11. Alkohol
6. Diabetes Melitus 12. Stress
Pencegahan Penyakit Stroke
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di Indonesia, upaya yang
dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke yaitu :

1. Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke bagi
individu yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan primordial dapat dilakukan
dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok
terhadap stroke dengan membuat poster yang dapat menarik perhatian masyarakat.

2. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko stroke bagi
individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat bebas
stroke.
Lanjutan
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke. Pada
tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke tidak berlanjut
menjadi kronis.

4. Pencegahan Tersier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita stroke agar
kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi ketergantungan pada
orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan tersier dapat
dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial.
Diagnosis Penyakit Stroke

Cara deteksi adanya kelumpuhan otot wajah akibat gangguan saraf facialis yang lainnya
adalah dengan mengamati ada tidaknya kelumpuhan otot-otot wajah seperti kesulitan dalam
menutup kelopak mata, gangguan rasa pengecap, gangguan pendengaran (hiperakusis).

Diagnosis stroke biasanya ditegakkan berdasarkan perjalanan penyakit dan hasil


pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan lokasi kerusakan pada otak.
Ada dua jenis teknik pemeriksaan imaging (pencitraan) untuk mengevaluasi kasus stroke atau
penyakit pembuluh darah otak (Cerebrovaskuler Desease/CVD), yaitu Computed Thomography
Scanning (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaginng (MRI).
Penatalaksanaan Penyakit Stroke
Dalam perjalanan penyakitnya, stroke memiliki beberapa fase yang perlu diperhatikan dalam
tatalaksana pengobatan. Fase atau tahapan proses sejak stroke akut sampai fase ke kehidupan
sehari-hari adalah sebagai berikut (Junaidi, 2004):

1. Fase akut berlangsung antara 4-7 hari. Tujuan pada fase ini adalah pasien selamat dari serangan
stroke.

2. Fase stabilisasi, berlangsung antara 2-4 minggu. Tujuan pada fase ini adalah pasien belajar lagi
keterampilan motorik yang terganggu dan belajar penyesuaian baru untuk mengimbangi
keterbatasan yang terjadi.

3. Rehabilitasi, yang bertujuan untuk melanjutkan proses pemulihan untuk mencapai perbaikan
kemampuan fisik, mental, sosial, kemampuan bicara dan ekonomi.

4. Fase ke kehidupan sehari-hari, dimana pasien harus menghindari terulangnya stroke akut.
CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE

Pengertian

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan sekumpulan


penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan
resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaraan patofisiologi
utamanya. Bronkhitis kronis, emfisema paru, dan asma bronkial
membentuk satu kesatuan yang disebut Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD).(Sylvia Anderson Price, 2005)
Epidemiologi

Global
Epidemiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive pulmonary disease di
seluruh dunia tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan berkisar antara 7-19%. The Burden of
Obstructive Lung Disease (BOLD) mengungkapkan angka prevalensi global adalah 10.1%. Pria ditemukan
memiliki prevalensi 8.5% dan wanita 8.5%. Angka prevalensi bervariasi di berbagai daerah di dunia. Kota
Cape Town di Afrika Selatan memiliki angka prevalensi tertinggi, yaitu 22.2% pada pria dan 16.7% pada
wanita. Kota Hannover di Jerman memiliki angka prevalensi terendah, yaitu 8,6% pada pria dan 3.7% pada
wanita.
Angka kematian karena PPOK di seluruh dunia diperkirakan mencapai 3 juta kematian pada tahun 2015.
Ini berarti sekitar 5% dari seluruh kematian di dunia. Lebih dari 95% kematian karena PPOK terjadi pada
Negara berpenghasilan rendah dan sedang.
Indonesia

Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukkan bahwa prevalensi
PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%.[6] Pada tahun 2015 saja, dapat dilihat bahwa penduduk
berusia 15 tahun keatas yang mengkonsumsi rokok sebesar 22,57% di perkotaan dan 25,05%
di pedesaan. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai 76
batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan. Hal ini menunjukkan tingginya angka perokok
di Indonesia yang merupakan faktor risiko utama PPOK.
Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru
Obstruksi Kronik
(PPOK) adalah :

1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu,asap,dan gas-gas kimiawi akibat kerja
4. Riwayat infeksi saluran nafas
5. Bersifat genetik yaitu difisiensi α-1 antitripsin merupakan
predisposisi untuk
berkembangnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik dini.
(mansjoer, 2001)
Patofisiologi
Pada bronkitis kronik terjadi penyempitan saluran nafas.
Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan
menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, saluran pernafasan kecil yang
berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit. Berkelok-kelok, dan
berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel goblet.
Saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi
kelenjar mukus. Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas
disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru. (Mansjoer, 2001)
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah :

1. Batuk

2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.

3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas


(mansjoer, 2001)
Penatalaksanaan
1. penatalaksana medis
penatalaksanaan medis dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah:
a. Berhenti merokok harus menjadi prioritas.
b. Bronkodilator (β-agonis atau antikolinergik) bermanfaat pada 20-40%
kasus.
c. Pemberian terapi oksigen jangka panjang selama >16 jam
memperpanjang usia pasien dengan gagal nafas kronis (yaitu pasien
dengan PaO2 sebesar 7,3 kPa dan FEV 1 sebesar 1,5 L).
d. Rehabilitasi paru (khususnya latihan olahraga) memberikan manfaat
simtomatik yang signifikan pada pasien dengan pnyakit sedang-berat.
e. Operasi penurunan volume paru juga bisa memberikan perbaikan dengan
meningkatkan elastic recoil sehingga mempertahankan patensi jalan nafas. (Davey,
2002)
2. Penatalaksanaan keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah:


a. Mempertahankan patensi jalan nafas
b. Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas
c. Meningkatkan masukan nutrisi
d. Mencegah komplikasi, memperlambat memburuknya kondisi
e. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan program
pengobatan (Doenges, 2000)
Komplikasi
Komplikasi dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah:
1. Bronkhitis akut
2. Pneumonia
3. Emboli pulmo
4. Kegagalan ventrikel kiri yang bersamaan bisa memperburuk
PPOK stabil (Lawrence M. Tierney, 2002)
COLLITIS ULSERATIVE
LATAR BELAKANG
Kolitis ulserativa adalah peradangan akut atau kronik pada kolon (usus besar). Karena peradangan itu,
terjadi kram perut, demam, dan diare berdarah. Peradangan itu dimulai di rektum atau kolon sigmoid (ujung
bawah dari usus besar) dan kemudian menyebar ke sebagian atau seluruh bagian usus besar. Pada bagian yang
meradang akan terjadi pembengkakan. Kolitis di derita oleh siapa pun dan pada umur berapa pun. Tapi biasanya
mulai diderita pada umur 15-30 tahun dan bisa juga di atas 50 tahun.
                 Kolitis banyak ditemukan di Amerika dan Eropa dengan kondisi penderitaan pasien makin lama makin
berat. Insiden kolitis ulseratif di Amerika utara yaitu 10-12 kasus per 100.000 tiap tahun, onset terjadi pada usia 15-
25 tahun, dimana insiden pada wanita lebih besar daripada laki-laki. Di Asia termasuk Indonesia prevalensi dan
insiden kolitis masih rendah namun cenderung meningkat. Meluasnya penggunaan alat endoskopi membuat pasien
kolitis di Indonesia, lebih banyak ditemukan. Penelitian yang dilakukan salah satu RS di Jakarta mendapatkan
hampir 20% kasus kolitis dari 107 pasien datang dengan keluhan diare kronik non infeksi. Insiden kolitis ulseratif
6,8% dan penyakit Cohrn 5,5%.
PENGERTIAN
Kolitis adalah radang pada kolon. Radang ini disebabkan akumulasi cytokine yang
mengganggu ikatan antar sel epitel sehingga menstimulasi sekresi kolon, stimulasi sel goblet untuk
mensekresi mucus dan mengganggu motilitas kolon. Mekanisme ini menurunkan kemampuan
kolon untuk mengabsorbsi air dan menahan feses ( Tilley et al, 1997).
   Kolitis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain infeksi akut atau kronik oleh
virus, bakteri, dan amoeba, termasuk keracunan makanan. Kolitis dapat juga disebabkan
gangguan aliran darah ke daerah kolon yang dikenal dengan kolitis iskemik. Adanya penyakit
autoimun dapat menyebabkan kolitis, yaitu kolitis ulseratif dan penyakit Cohrn. Kolitis limfositik
dan kolitis kolagenus disebabkan beberapa lapisan dinding kolon yang ditutupi oleh sel-sel limfosit
dan kolagen. Selain itu, kolitis dapat disebabkan zat kimia akibat radiasi dengan barium enema
yang merusak lapisan mukosa kolon, dikenal dengan kolitis kemikal.
ETIOLOGI
 
 Kolitis bisa menjalar ke belakang sehingga menyebabkan proktitis. Penyebab dari kolitis ada beberapa macam antara
lain ( Tilley et al, 1997) :

- Infeksi :  Trichuris vulpis, Ancylostoma sp, Entamoeba histolytica, Balantidium coli, Giardia spp,
Trichomonas spp, Salmonella spp, Clostridium spp, Campylobacter spp, Yersinia enterolitica, Escherichia
coli, Prototheca, Histoplasma capsulatum, dan Phycomycosis.
- Faktor familial/genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripadaorang kulit
hitam dan orang Cina, dan insidensinya meningkat (3sampai 6 kali lipat) pada orangYahudi dibandingkan dengan orangnon 
Yahudi. 
KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebab dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Kolitis infeksi, misalnya: 
shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitisamebik, kolitis pseudomembran, kolitis karena
virus/bakteri/parasit.
b. Kolitis non-infeksi, misalnya :
kolitis ulseratif, penyakit  Crohn’s kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis
non-spesifik (simple colitis).
Patofisiologi
Suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare hebat, demam tinggi, sakit perut
dan peritonitis (radang selaput perut). Selama serangan, penderita tampak sangat sakit. Yang lebih
sering terjadi adalah serangannya dimulai bertahap, dimana penderita memiliki keinginan untuk buang
air besar yang sangat, kram ringan pada perut bawah dan tinja yang berdarah dan berlendir.
Jika penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon sigmoid, tinja mungkin normal atau keras dan
kering. Tetapi selama atau diantara waktu buang air besar, dari rektum keluar lendir yang mengandung
banyak sel darah merah dan sel darah putih. Gejala umum berupa demam, bisa ringan atau malah
tidak muncul. Jika penyakit menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang air besar
sebanyak 10-20 kali/hari.
Penderita sering mengalami kram perut yang berat, kejang pada rektum yang terasa nyeri,
disertai keinginan untuk buang air besar yang sangat. Pada malam haripun gejala ini tidak berkurang.
Tinja tampak encer dan mengandung nanah, darah dan lendir. Yang paling sering ditemukan adalah
tinja yang hampir seluruhnya berisi darah dan nanah.
EPIDEMIOLOGI
 
Menurut data epidemiologi inflammatory bowel disease (IBD), usia puncak terjadi antara 15-25 tahun, 25-30%
diantaranya dengan Crohn's disease dan 20% kolitis ulseratif. Secara global, distribusi kejadian IBD lebih sering terjadi
di Amerika Utara, Inggris dan Skandinavia daripada di Eropa selatan, Asia dan Afrika.
Prevalensi Crohn's disease di Amerika Utara sebesar 319 per 100.000 orang, sedangkan di Eropa sebesar 322 per
100.000 orang. Sedangkan, prevalensi terjadinya kolitis ulseratif sebesar 249 per 100.000 orang di Amerika Utara dan
505 per 100.000 orang di Eropa.
Data epidemiologi Inflammatory Bowel Disease (IBD) di Indonesia masih sulit ditemukan, data didapatkan
berdasarkan laporan rumah sakit. Secara umum, kejadian kolitis ulseratif lebih banyak daripada Crohn's disease.
 
Berdasarkan jumlah kolonoskopi pada beberapa RS Nasional, didapatkan prevalensi IBD di RSCM dari 1541
kolonoskopi sebesar 8,3%, RSPAD Gatot Subroto dari 532 kolonoskopi sebesar 10,15%, RS Hasan Sadikin dari 192
kolonoskopi sebesar 9,89%, RSUP Dr Sardjito dari 269 kolonoskopi sebesar 44%, RSZA Banda Aceh dari 113
kolonoskopi sebesar 4,25%, RSAB/ PengCab PGI dari 325 kolonoskopi sebesar 5,23%, RS Syaiful Anwar dari 364
kolonoskopi sebesar 17%, RSUD Jambi dari 86 kolonoskopi sebesar 1,16% serta RS Usada Insani dari 166
kolonoskopi sebesar 26,5%.
PENATALAKSANAAN
1.      Terapi farmakologi
Tujuan terapi farmakologi adalah untuk mengurangi morbiditas dan untuk mencegah komplikasi, dengan
pertimbangan terapi berikut ini.
a.         Tumor necrosis factor (TNF) inhibitors.
Agen ini mencegah sitokin endogen dari mengikat ke reseptor permukaan sel dan mengarahkan aktivitas biologis.
b.        Immunomodulators
  Agen ini mengatur faktor-faktor kunci dari sistem kekebalan tubuh.
c.         Antibiotik
 Antibiotik belum terbukti memberikan keuntungan yang konsisten dari beberapa uji coba terkontrol untuk
pengobatan kolitis ulseratif aktif. Akan tetapi, biasanya diberikan pada dasar empiris pada pasien dengan kolitis yang
parah dan dapat membantu menghindari suatu infeksi yang mengancam jiwa.
d.        Kortikosteroid
Digunakan dalam moderat hingga berat kasus aktif untuk induksi remisi. Agen ini tidak memiliki manfaat dalam
mencegah remisi; penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping.
2.      Terapi bedah
Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan kolitis ulseratif untuk mengontrol dan mengobati gejala komplikasi.
Pembedaahan dilakukan sesuai dengan kondisi klinik individu. Beberapa jenis pembedahan pada kolitis ulseratif, meliputi : Subtotal
Colectomy with Ileostomy and Hartmann’s Pouch, Total Proctocolectomy with Ileostomy, Total Abdominal Colectomy with Ileal
Rectal Anastomosis, Total Proctocolectomy with Continent (Kock) Pouch, Total Proctocolectomy with Ileal Pouch Anal Anastomosis,
Anal Transition Zone Preservation, dan Doverting Ileostomy.
Pertimbangan untuk total kolektomi adalah sebagai berikut (Becker, 1999).
a.         Refraktori penyakit dengan kegagalan terapi medis.
b.        Terdapat bukti karsinoma atau dysplasia.
c.         Pendarahan parah.
d.        Kolitis fulminan tidak responsif terhadap pengobatan.
e.         Megakolon toksik.
f.         Perforasi.
g.        Obstruksi dan striktur dengan kecurigaan untuk kanker.
h.        Sistemik komplikasi dari obat, khususnya steroid.
i.          Gagal tumbuh pada anak-anak
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai