Kelompok 2 :
Ai Epa N
Neng Riris Ariska
Rima Ferdila R
Tasya Kamila W
Trisna Lindayani
Widia Sukmawati
CEREBROVACULER DEASEASE
Latar Belakang
Menurut WHO, Cerebrovaskuler Desease atau Stroke adalah gangguan fungsional otak
sebagian atau menyeluruh yang timbul secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari
24 jam, yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (WHO, 1998).
Stroke (berasal dari kata strike) berarti pukulan pada sel otak. Biasanya terjadi karena
adanya gangguan distribusi oksigen ke sel otak. Hal ini disebabkan gangguan aliran darah pada
pembuluh darah otak, mungkin karena aliran yang terlalu perlahan, atau karena aliran yang
terlalu kencang sehingga pecah (perdarahan), akhirnya sel-sel otak yang diurus oleh pembuluh
darah tersebut mati (Yatim F, 2005).
Klasifikasi Cerebrovascular Disease
Stroke dibagi menjadi dua jenis, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik.
1. Stroke Iskemik
Stroke iskemik terjadi bila pembuluh darah yang memasok darah ke otak tersumbat. Jenis
stroke ini yang paling umum, karena hampir 90% stroke adalah iskemik. Kondisi yang
mendasari stroke iskemik adalah penumpukan lemak yang melapisi dinding pembuluh darah
(aterosklerosis).
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh pembuluh darah yang bocor atau pecah di dalam atau di
sekitar otak sehingga menghentikan suplai darah ke jaringan otak yang ditujuerosis). Jenis-jenis
stroke hemoragik, yaitu Intracerebral Hemorrhage (perdarahan intraserebral) dan Subarachnoid
Hemorrhage (penrdarahan subarakhnoid).
Epidemiologi Penyakit Stroke
Stroke ditemukan pada semua golongan usia, namun sebagian besar akan dijumpai pada usia
diatas 55 tahun. Ditemukan kesan bahwa insiden stroke meningkat secara eksponensial dengan
bertambahnya usia, dimana akan terjadi peningkatan 100 kali lipat pada mereka yang berusia 80-
90 tahun. Insiden usia 80-90 tahun adalah 300/10.000 dibandingkan dengan 3/10.000 pada golongan
usia 20-40 tahun. Stroke banyak ditemukan dipria dibandingkan wanita. Variasi gender ini
bertahan tanpa pengaruh umur (Bustan, 2007).
Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke,
sekitar 2,5% atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat (Anonym,
2008). Stroke merupakan penyakit nomor 3 yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan
menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh nomor 1 di RS pemerintah diseluruh
penjuru Indonesia (Anonym, 2007).
Gejala Penyakit Stroke
1. Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke bagi
individu yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan primordial dapat dilakukan
dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok
terhadap stroke dengan membuat poster yang dapat menarik perhatian masyarakat.
2. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko stroke bagi
individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat bebas
stroke.
Lanjutan
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke. Pada
tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke tidak berlanjut
menjadi kronis.
4. Pencegahan Tersier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita stroke agar
kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi ketergantungan pada
orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan tersier dapat
dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial.
Diagnosis Penyakit Stroke
Cara deteksi adanya kelumpuhan otot wajah akibat gangguan saraf facialis yang lainnya
adalah dengan mengamati ada tidaknya kelumpuhan otot-otot wajah seperti kesulitan dalam
menutup kelopak mata, gangguan rasa pengecap, gangguan pendengaran (hiperakusis).
1. Fase akut berlangsung antara 4-7 hari. Tujuan pada fase ini adalah pasien selamat dari serangan
stroke.
2. Fase stabilisasi, berlangsung antara 2-4 minggu. Tujuan pada fase ini adalah pasien belajar lagi
keterampilan motorik yang terganggu dan belajar penyesuaian baru untuk mengimbangi
keterbatasan yang terjadi.
3. Rehabilitasi, yang bertujuan untuk melanjutkan proses pemulihan untuk mencapai perbaikan
kemampuan fisik, mental, sosial, kemampuan bicara dan ekonomi.
4. Fase ke kehidupan sehari-hari, dimana pasien harus menghindari terulangnya stroke akut.
CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE
Pengertian
Global
Epidemiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive pulmonary disease di
seluruh dunia tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan berkisar antara 7-19%. The Burden of
Obstructive Lung Disease (BOLD) mengungkapkan angka prevalensi global adalah 10.1%. Pria ditemukan
memiliki prevalensi 8.5% dan wanita 8.5%. Angka prevalensi bervariasi di berbagai daerah di dunia. Kota
Cape Town di Afrika Selatan memiliki angka prevalensi tertinggi, yaitu 22.2% pada pria dan 16.7% pada
wanita. Kota Hannover di Jerman memiliki angka prevalensi terendah, yaitu 8,6% pada pria dan 3.7% pada
wanita.
Angka kematian karena PPOK di seluruh dunia diperkirakan mencapai 3 juta kematian pada tahun 2015.
Ini berarti sekitar 5% dari seluruh kematian di dunia. Lebih dari 95% kematian karena PPOK terjadi pada
Negara berpenghasilan rendah dan sedang.
Indonesia
Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukkan bahwa prevalensi
PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%.[6] Pada tahun 2015 saja, dapat dilihat bahwa penduduk
berusia 15 tahun keatas yang mengkonsumsi rokok sebesar 22,57% di perkotaan dan 25,05%
di pedesaan. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai 76
batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan. Hal ini menunjukkan tingginya angka perokok
di Indonesia yang merupakan faktor risiko utama PPOK.
Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru
Obstruksi Kronik
(PPOK) adalah :
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu,asap,dan gas-gas kimiawi akibat kerja
4. Riwayat infeksi saluran nafas
5. Bersifat genetik yaitu difisiensi α-1 antitripsin merupakan
predisposisi untuk
berkembangnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik dini.
(mansjoer, 2001)
Patofisiologi
Pada bronkitis kronik terjadi penyempitan saluran nafas.
Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan
menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, saluran pernafasan kecil yang
berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit. Berkelok-kelok, dan
berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel goblet.
Saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi
kelenjar mukus. Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas
disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru. (Mansjoer, 2001)
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah :
1. Batuk
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
- Infeksi : Trichuris vulpis, Ancylostoma sp, Entamoeba histolytica, Balantidium coli, Giardia spp,
Trichomonas spp, Salmonella spp, Clostridium spp, Campylobacter spp, Yersinia enterolitica, Escherichia
coli, Prototheca, Histoplasma capsulatum, dan Phycomycosis.
- Faktor familial/genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripadaorang kulit
hitam dan orang Cina, dan insidensinya meningkat (3sampai 6 kali lipat) pada orangYahudi dibandingkan dengan orangnon
Yahudi.
KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebab dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Kolitis infeksi, misalnya:
shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitisamebik, kolitis pseudomembran, kolitis karena
virus/bakteri/parasit.
b. Kolitis non-infeksi, misalnya :
kolitis ulseratif, penyakit Crohn’s kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis
non-spesifik (simple colitis).
Patofisiologi
Suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare hebat, demam tinggi, sakit perut
dan peritonitis (radang selaput perut). Selama serangan, penderita tampak sangat sakit. Yang lebih
sering terjadi adalah serangannya dimulai bertahap, dimana penderita memiliki keinginan untuk buang
air besar yang sangat, kram ringan pada perut bawah dan tinja yang berdarah dan berlendir.
Jika penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon sigmoid, tinja mungkin normal atau keras dan
kering. Tetapi selama atau diantara waktu buang air besar, dari rektum keluar lendir yang mengandung
banyak sel darah merah dan sel darah putih. Gejala umum berupa demam, bisa ringan atau malah
tidak muncul. Jika penyakit menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang air besar
sebanyak 10-20 kali/hari.
Penderita sering mengalami kram perut yang berat, kejang pada rektum yang terasa nyeri,
disertai keinginan untuk buang air besar yang sangat. Pada malam haripun gejala ini tidak berkurang.
Tinja tampak encer dan mengandung nanah, darah dan lendir. Yang paling sering ditemukan adalah
tinja yang hampir seluruhnya berisi darah dan nanah.
EPIDEMIOLOGI
Menurut data epidemiologi inflammatory bowel disease (IBD), usia puncak terjadi antara 15-25 tahun, 25-30%
diantaranya dengan Crohn's disease dan 20% kolitis ulseratif. Secara global, distribusi kejadian IBD lebih sering terjadi
di Amerika Utara, Inggris dan Skandinavia daripada di Eropa selatan, Asia dan Afrika.
Prevalensi Crohn's disease di Amerika Utara sebesar 319 per 100.000 orang, sedangkan di Eropa sebesar 322 per
100.000 orang. Sedangkan, prevalensi terjadinya kolitis ulseratif sebesar 249 per 100.000 orang di Amerika Utara dan
505 per 100.000 orang di Eropa.
Data epidemiologi Inflammatory Bowel Disease (IBD) di Indonesia masih sulit ditemukan, data didapatkan
berdasarkan laporan rumah sakit. Secara umum, kejadian kolitis ulseratif lebih banyak daripada Crohn's disease.
Berdasarkan jumlah kolonoskopi pada beberapa RS Nasional, didapatkan prevalensi IBD di RSCM dari 1541
kolonoskopi sebesar 8,3%, RSPAD Gatot Subroto dari 532 kolonoskopi sebesar 10,15%, RS Hasan Sadikin dari 192
kolonoskopi sebesar 9,89%, RSUP Dr Sardjito dari 269 kolonoskopi sebesar 44%, RSZA Banda Aceh dari 113
kolonoskopi sebesar 4,25%, RSAB/ PengCab PGI dari 325 kolonoskopi sebesar 5,23%, RS Syaiful Anwar dari 364
kolonoskopi sebesar 17%, RSUD Jambi dari 86 kolonoskopi sebesar 1,16% serta RS Usada Insani dari 166
kolonoskopi sebesar 26,5%.
PENATALAKSANAAN
1. Terapi farmakologi
Tujuan terapi farmakologi adalah untuk mengurangi morbiditas dan untuk mencegah komplikasi, dengan
pertimbangan terapi berikut ini.
a. Tumor necrosis factor (TNF) inhibitors.
Agen ini mencegah sitokin endogen dari mengikat ke reseptor permukaan sel dan mengarahkan aktivitas biologis.
b. Immunomodulators
Agen ini mengatur faktor-faktor kunci dari sistem kekebalan tubuh.
c. Antibiotik
Antibiotik belum terbukti memberikan keuntungan yang konsisten dari beberapa uji coba terkontrol untuk
pengobatan kolitis ulseratif aktif. Akan tetapi, biasanya diberikan pada dasar empiris pada pasien dengan kolitis yang
parah dan dapat membantu menghindari suatu infeksi yang mengancam jiwa.
d. Kortikosteroid
Digunakan dalam moderat hingga berat kasus aktif untuk induksi remisi. Agen ini tidak memiliki manfaat dalam
mencegah remisi; penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping.
2. Terapi bedah
Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan kolitis ulseratif untuk mengontrol dan mengobati gejala komplikasi.
Pembedaahan dilakukan sesuai dengan kondisi klinik individu. Beberapa jenis pembedahan pada kolitis ulseratif, meliputi : Subtotal
Colectomy with Ileostomy and Hartmann’s Pouch, Total Proctocolectomy with Ileostomy, Total Abdominal Colectomy with Ileal
Rectal Anastomosis, Total Proctocolectomy with Continent (Kock) Pouch, Total Proctocolectomy with Ileal Pouch Anal Anastomosis,
Anal Transition Zone Preservation, dan Doverting Ileostomy.
Pertimbangan untuk total kolektomi adalah sebagai berikut (Becker, 1999).
a. Refraktori penyakit dengan kegagalan terapi medis.
b. Terdapat bukti karsinoma atau dysplasia.
c. Pendarahan parah.
d. Kolitis fulminan tidak responsif terhadap pengobatan.
e. Megakolon toksik.
f. Perforasi.
g. Obstruksi dan striktur dengan kecurigaan untuk kanker.
h. Sistemik komplikasi dari obat, khususnya steroid.
i. Gagal tumbuh pada anak-anak
TERIMAKASIH