DISUSUSN OLEH :
1. Andi Setyawan
2. Cicih
3. Eka Nurul
4. Fitri
5. Saleh Gunawan
6. Yanto
7. Yosep Sukmara
8. Yulia Fransisca
9. Yulianah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke adalah penyakit multifaktorial dengan berbagai penyebab disertai manifestasi klinis
mayor, dan penyebab utama kecacatan dan kematian di negara-negara berkembang (Saidi,
2010). WHO mendefinisikan stroke sebagai suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau
lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler (WHO, 2006).
Stroke adalah penyakit yang diakibatkan oleh terganggunya aliran darah pada otak.
Stroke dapat dibagi menjadi stroke perdarahan (hemoraghic) dan stroke non perdarahan atau
yang biasa dikenal dengan tipe sumbatan (ischemic). Stroke non perdarahan atau stroke
iskemik adalah gangguan peredaran darah pada otak yang dapat berupa penyumbatan
pembuluh darah arteri sehingga menimbulkan infark (kematian jaringan). Umumnya terjadi
pada saat penderita istirahat. Tidak terjadi perdarahan dan kesadaran umumnya baik
(Yayasan Stroke Indonesia, 2006).
Stroke menduduki urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian setelah penyakit
jantung koroner dan kanker di negara-negara berkembang. Negara berkembang juga
menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke di seluruh dunia. Dua pertiga penderita
stroke terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Terdapat sekitar 13 juta korban
stroke baru setiap tahun, di mana sekitar 4,4 juta di antaranya meninggal dalam 12 bulan
(WHO, 2006). Di Indonesia, prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk.
Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam (16,6
per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8 per 1.000 penduduk). Menurut
Riskesdas tahun 2007, stroke, bersama-sama dengan hipertensi, penyakit jantung iskemik
dan penyakit jantung lainnya, juga merupakan penyakit tidak menular utama penyebab
kematian di Indonesia. Stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian utama
semua usia di Indonesia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009).
Menurut Davenport dan Dennis (2000), secara garis besar stroke dapat dibagi menjadi
stroke iskemik dan stroke hemoragik. Di negara barat, dari seluruh penderita stroke yang
terdata, 80% merupakan jenis stroke iskemik sementara sisanya merupakan jenis stroke
hemoragik.
Adapun faktor risiko yang memicu tingginya angka kejadian stroke adalah faktor yang
tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) seperti usia, ras, gender, genetik, dan
riwayat Transient Ischemic Attack atau stroke sebelumnya. Sedangkan faktor yang dapat
dimodifikasi (modifiable risk factors) berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung,
diabetes, obesitas, penggunaan oral kontrasepsi, alkohol, hiperkolesterolemia (PERDOSSI,
2004). Identifikasi faktor risiko stroke sangat penting untuk mengendalikan kejadian stroke
di suatu negara. Oleh karena itu, berdasarkan identifikasi faktor risiko tersebut maka dapat
dilakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan penyakit stroke, terutama untuk
menurunkan angka kejadian stroke.
Pasien stroke yang mengalami hemiparese yang tidak mendapatkan penanganan yang
tepat dapat menimbulkan komplikasi gangguan fungsional, gangguan mobilisasi, gangguan
aktivitas sehari hari dan cacat yang tidak dapat disembuhkan.
Pasien stroke yang mengalami kelemahan pada satu sisi anggota tubuh disebabkan oleh
karena penurunan tonus otot, sehingga tidak mampu menggerakkan tubuhnya. Immobilisasi
yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat, akan menimbulkan komplikasi berupa
abnormalitas tonus, orthostatic hypotension, deep vein thrombosis dan kontraktur (Garrison,
2003)
Gangguan sensoris dan motorik post stroke mengakibatkan gangguan keseimbangan
termasuk kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan lunak, serta gangguan kontrol
motorik dan sensorik.
Latihan Range Of Motion (ROM) pasif dan aktif mempengaruhi rentang sendi pada
ektremitas atas dan bawah pada pasien stroke. Latihan Range Of Motion (ROM) pasif dapat
menjadi alternatif untuk meningkatkan rentang sendi pada ektremitas atas dan bawah pada
pasien stroke.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun perumusan masalah yang dapat penulis simpulkan, yakni:
1. Apa yang dimaksud dengan Stroke?
2. Sistem organ apa yang terkait dengan penyakit Stroke?
3. Bagaimana perjalanan penyakit Stroke?
4. Apa pemeriksaan penunjang yang dapat ditegakkan dalam mendiagnosa
penyakit Stroke?
5. Apa komplikasi yang terjadi dari Stroke?
6. Bagaimana menangani kelemahan otot yang ditimbulkan pasca stroke
7. Apa itu pelatihan Range Of Motion (ROM)
8. Apa diagnosa dan intervensi keperawatan yang dapat diberikan kepada penderita
Stroke?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan Umum
1. Penulis mengetahui gambaran umum tentang penyakit Stroke dan penatalaksanaannya.
2. Mengetahui dan mampu melaksanakan salah satu cara penanganan kelemahan otot
pasca stroke dengan latihan peningkatan Range Of Motion (ROM excercise)
Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian Stroke;
b. Mengetahui sistem organ yang terkait Stroke;
c. Mengetahui teknik pelatihan peningkatan otot/ Range Of Motion (ROM excercise)
d. Mengetahui diagnosa serta intervensi yang dibutuhkan klien dengan Stroke;
D. METEDOLOGI PENULISAN
Dalam pembuatan makalah ini, penulis mengggunakan metode study literatur serta
pengumpulan informasi dari berbagai media pengetahuan. Selain itu, dengan menggunakan
analisis kasus yang diberikan oleh tutor.
BAB II
TINJAUAN TEORI
B. ANATOMI FISIOLOGI
Sistem saraf adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan
semua kegiatan aktivitas tubuh kita seperti berjalan, menggerakkan tangan,
mengunyah makanan dan lainnya. Sistem Saraf tersusun dari jutaan serabut sel saraf
(neuron) yang berkumpul membentuk suatu berkas (faskulum). Neuron adalah komponen
utama dalam sistem saraf.
Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu:
1. Pengatur / pengendali kerja organ tubuh,
2. Pusat pengendali tanggapan,
3. Alat komunikasi dengan dunia luar.
Sistem persarafan dibagi menjadi dua bagian : sistem saraf pusat (SSP) dan sistem
saraf perifer. SSP terdiri dari otak di dalam tengkorak dan medula spinalis yang menjalar
didalam kolimna vertebra dan memanjang ke otak. Pusat komunikasi di dalam SSP dan
berbagai saluran saraf memungkinakannya respon sadar atau tidak sadar terhadap stimulus
sensoris. Sistem saraf perifer di bentuk dan network saraf dan organ-organ
pengindra yang mendapat informasi dari seluruh tubuh dan meneruskan ke otak.
C. ETIOLOGI
Stroke hemoragik terjadi bila pembuluh darah di dalam otak pecah. Otak sangat sensitif
terhadap perdarahan, dan kerusakan dapat terjadi dengan sangat cepat. Pendarahan di
dalam otak dapat mengganggu jaringan otak, sehinga menyebabkan pembengkakan,
mengumpul menjadi sebuah massa yang disebut hematoma. Pendarahan juga
meningkatkan tekanan pada otak dan menekan tulang tengkorak.
Stroke hemoragik dikelompokkan menurut lokasi pembuluh darah :
1. Intracerebral hemoragik, pendarahan terjadi di dalam otak.
2. Subarachnoid hemoragik, pendarahan di daerah antara otak dan jaringan tipis yang
menutupi otak.
Stroke hemoragik paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi, yang menekankan
dinding arteri sampai pecah. Penyebab lain terjadinya stroke hemoragik adalah :
1. Aneurisma, yang membuat titik lemah dalam dinding arteri, yang akhirnya dapat pecah.
2. Hubungan abnormal antara arteri dan vena, seperti kelainan arteriovenosa.
3. Kanker, terutama kanker yang menyebar ke otak dari organ jauh seperti payudara, kulit,
dan tiroid.
4. Cerebral amyloid angiopathy, yang membentuk protein amiloid dalam dinding arteri di
otak, yang membuat kemungkinan terjadi stroke lebih besar.
5. Kondisi atau obat (seperti aspirin atau warfarin).
6. Overdosis narkoba, seperti kokain.
Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke
otak sebagian atau keseluruhan terhenti. 80% stroke adalah stroke Iskemik. Stroke iskemik
ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Stroke Trombotik: proses terbentuknya thrombus yang membuat penggumpalan.
2. Stroke Embolik: Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
3. Hipoperfusion Sistemik: Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena
adanya gangguan denyut jantung.
D. PATOFISIOLOGI
Patofis dari struk haemoragik adalah hipertensi kronik menyebabkan pembuluh
arteriola yang berdiameter 100-400 mcmeter mengalami perubahan patologik pada
dinding pembuluh darah tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya
aneurisma tipe Bouchard.
Arteriol-arteriol dari cabang-cabang lentikulostriata, cabang tembus arteriotalamus
dan cabang-cabang paramedian arteria vertebro-basilar mengalami perubahan-perubahan
degeneratif yang sama. Kenaikan darah yang “abrupt” atau kenaikan dalam jumlah yang
secara mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama pada pagi hari
dan sore hari. Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut
sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besarakan merusak struktur anatomi otak dan
menimbulkan gejala klinik.
Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat merasuk
dan menyela di antara selaput akson massa putih tanpa merusaknya. Pada keadaan ini
absorbsi darah akan diikutioleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi. Sedangkan pada
perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian tekanan intrakranial dan
yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen
magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan
batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke
ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus
dan pons.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan
mengakibatkan peningian tekanan intrakranial dan mentebabkan menurunnya tekanan
perfusi otak serta terganggunya drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya
tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya
tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah
lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 %
pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara
30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 % tetapi volume darah 5 cc dan
terdapat di pons sudah berakibat fatal. (Jusuf Misbach, 1999).
E. PATHWAYS
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Kinis pada stroke meliputi:
1. Hemiparesis dan hemiplagia
Hemiparesis (kelemahan) dari hemiplagia (paralisis) dari satu sisi tubuh dapat terjadi
setelah stroke. Defisit ini biasanya disebabkan oleh stroke pada arteri serebral anterior
atau arteri serebral medial, yang menyebabkan infark pada korteks frontal. Hemipegia
lengkap melibatkan setengah dari wajah dan lidah serta lengan dan kaki dari sisi lateral
tubuh. Infark di sisi kanan otak menyebabkan hemiplegia sisi kiri dan sebaliknya,
karena serabut saraf menyeberang di saluran piramida ketika rangsangan saraf berjalan
dari otak ke korda spinalis. Stroke menyebabkan hemiparesis atau hemiplegia yang
biasanya mempengaruhi area kortikal lain selain area motorik. Akibatnya, hemiparesis
dan hemiplegia sering disertai dengan manifestasi lain dari stroke, termasuk
kehilangan hemisensory, hemianopia, apraxia, agnosia, dan aphasia. Otot-otot dada
dan perut biasanya tidak terpengaruh karena mereka diinervasi dari kedua belahan
otak.
Ketika otot kelebihan kontrol volunternya kekuatan otot fleksi tidak seimbang.
Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan kontraktur serius. Sebagai contoh, lengan
terkena klien hemiplegic yang cenderung untuk rotasi internal dan adduksi karena otot
adduktor lebih kuat dari otot abductor. Siku, pergelangan tangan, dan jari juga
cenderung fleksi. Kaki cenderung dipengaruhi oleh rotasi eksternal pada sendi
panggul, fleksi di lutut dan plantar fleksi, dan supine di kaki.
1. Afasia
Afasia adalah defisit kemampuan berkomunikasi. Afasia mungkin melibatkan salah
satu atau semua aspek komunikasi, termasuk berbicara, membaca, menulis, dan
pemahaman bahasa lisan. Pusat pengaturan bahasa terletak di belahan otak kiri dan
diperdarahi oleh arteri serebri medial kiri.
a. Afasia Wernicke atau afasia sensorik merupakan gangguan pemahaman
komunikasi dimana kemampuan komunikasi hanya lancar mengeluarkan isi
pikiran, berbicara dengan memakai kalimat yang panjang namun yang
dibicarakan tidak mempunyai arti. Tetapi pada pasien afasia Wernicke tidak
mengerti pembicaraan orang lain. Akibatnya pada pasien tersebut terlihat tidak
nyambung kalau diajak bicara karena otak tidak mampu menginterpretasikan
pembicaraan orang lain walaupun pendengarannya baik. Afasia
Wernicke berhubungan dengan kerusakan pada Area Wernicke dan diakibatkan
infark pada lobus temporal otak. Pada tingkat sangat berat, perintah satu kata,
seperti “duduk!” atau “makan!”, juga tidak dipahaminya. Pasien tersebut hanya
mengerti bila dilakukan dengan gerakan, karena pengertian ini diterima otak
melalui penglihatan.
b. Afasia Broca atau afasia motorik merupakan ketidakmampuan berbicara.
Namun, penderita afasia Broca mengerti bila diperintah dan menjawab dengan
gerakan tubuh sesuai perintah itu. Afasia Broca berhubungan dengan kerusakan
di area Broca. Area Broca adalah bagian dari otak manusia yang terletak di gyrus
frontalis superior pada lobus korteks otak besar. Area Broca letaknya
berdampingan dengan area Wernicke. Karena kerusakan terjadi berdampingan
dengan pusat otak untuk pergerakan otot-otot tubuh, penderita juga lumpuh di
otot-otot tubuh sebelah kanan.
2. Disfagia
Menelan merupakan proses yang kompleks yang membutuhkan beberapa fungsi
saraf kranial. Mulut membuka (CN V: N. Irigeminus), menutup bibir (CN VII: N.
Pachialis), dan lidah yang bergerak (CN XII: N. Hipoglosus).Mulut merasakan rasa
dan banyaknya bolus makanan yang masuk (CN V dan VII) dan mengirim pesan ke
pusat menelan (CN V dan IX). Selama menelan, lidah mengerakkan bolus makanan
ke arah orofaring tersebut. Faring diangkat dan glotis menutup. Kontraksi otot-otot
faring mengangkut makanan dari faring ke esofagus. Peristaltik menggerakkan
makanan ke perut. Sebuah stroke di wilayah sistem vertebrobasilar menyebabkan
disfagia.
3. Dysarthria
Dysarthria adalah artikulasi tidak sempurna yang menyebabkan kesulitan dalam
berbicara. Penting untuk membedakan antara dysarthria dan aphasia. Dengan
dysarthria klien mengerti bahasa tetapi memiliki kesulitan mengucapkan kata-kata.
Tidak ada gangguan jelas dalam tata bahasa atau dalam konstruksi kalimat. Seorang
klien dysarthric dapat memahami komunikasi verbal dan dapat membaca dan
menulis (kecuali tangan dominan adalah lumpuh, tidak ada, atau terluka).
Dysarthria disebabkan oleh distidakfungsi nervus cranial dari penyumbatan
pembuluh darah di arteri vetebrobasilar atau percabangannya. Hal ini akan
menyebabkan kelemahan atau paralisis dari otot-otot bibir, lidah dan laring atau
kehilangan sensasi. Tambahan, klien dengan dysarthria akan mengalami kesulitan
dalam mengunyah dan menelan karena kehilangan control otak.
4. Apraxia
Apraxia adalah suatu kondisi yang mempengaruhi integrasi motorik secara
kompleks. Oleh karena itu apraxia dapat menyebabkan stroke di beberapa area otak.
Klien apraxia tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari, seperti memakai baju.
Klien dengan apraxia mampu mengkonseptualisasikan isi dari pesan yang akan
disampaikan ke otot tetapi impuls tersebut tidak dapat direkonstruksikan oleh otot.
5. Defisit Sensorik
Beberapa jenis perubahan sensori dapat diakibatkan oleh stroke dalam
perubahan sensorik dapat hasil dari stroke di area sensori dari lobus parietalis yang
disuplai oleh arteri serebral anterior atau medial. Defisit tersebut pada sisi
kontralateral tubuh dan sering disertai dengan hemiplegia atau hemiparesis. Sensasi
rasa sakit yang dangkal, sentuhan, tekanan, dan temperatur yang mempengaruhi
variasi tingkatan. Paresthesia digambarkan sebagai persisten, rasa sakit terbakar
berupa mati rasa, kesemutan, atau menusuk-nusuk, atau kepekaan yang meningkat.
Resiko jatuh sangat tinggi cenderung pada posisi kaki yang salah saat berjalan.
6. Perubahan Perilaku
Berbagai bagian dari otak membantu kontrol perilaku dan emosi. Korteks
serebral interpretasikan stimulus yang masuk. Daerah temporal dan limbik
memodulasi tanggapan emosional terhadap stimulus. Hipotalamus dan kelenjar
pituitary berkerja sama dengan dengan korteks motorik dan area bahasa. Otak dapat
dilihat sebagai modulator emosi, dan ketika otak tidak berfungsi sepenuhnya, reaksi
emosional dan tanggapan kekurangan modulasi ini.
Orang dengan stroke di otak kiri, atau dominan, hemisfer sering lambat, dan
tidak terorganisir. Orang dengan stroke di otak kanan, atau tidak dominan,
hemisfer sering impulsif, melebih-lebihkan kemampuan, dan memiliki rentang
perhatian menurun, yang meningkatkan risiko cedera. Infark pada lobus frontal dari
stroke di arteri serebral anterior atau medial dapat menyebabkan gangguan pada
memori, penilaian, berpikir abstrak, wawasan, hambatan, dan emosi. Klien mungkin
menunjukkan pengaruh yang datar, kurangnya spontanitas, dan pelupa.
Gejala-gejala yang tampak dengan TIA (Transient Ischemic Attack) sangat tergantung
pada pembuluh darah yang terkena:
1. Jika arteri karotis dan serebral yang terkena
a. Kebutaan pada satu matanya
b. Hemiplegi
c. Hemianestesia
d. Gangguan bicara
e. Kekacauan mental
2. Jika yang terkena arteri vertebrobasiler
a. Pening
b. Diplopia
c. Semutan
d. Kelainan penglihatan pada salah satu atau kedua bidang pandang
e. Disatria
3. Jika dilihat dari bagian hemisfer yang terkena
Stroke hemisfer kiri
a. Hemiparesis atau hemiplegia sisi kanan
b. Prilaku lambat dan sangat hati-hati
c. Kelainan bidang pandang kanan
d. Ekspresif, reseptif atau dispagia global
e. Mudah frustasi
Stroke hemisfer kanan
a. Hemifaresis atau hemiplegia sisi kanan
b. Defisit spasial-perseptual
c. Penilaian buruk
d. Memperlihatkan ketidaksadaran defisit pada bagian yang sakit oleh karenanya
mempunyai kerentanan untuk jatuh atau cidera lainnya
e. Kelainan bidang visual kiri (Hudak & Gallo, 1996)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
a. Peningkatan Hb & Ht terkait dengan stroke berat
b. Peningkatan WBC indikasi adanya infeksi endokarditis bakterialis.
c. Analisa CSF (merah) perdarahan sub arachnoid
d. Pungsi Lumbal
Menunjukan adanya tekanan normal, tekanan meningkat dan cairan yang mengandung
darah menunjukan hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra kranial. Kadar
protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses
inflamasi.
Pemeriksaan Radiologi
a. CT Scan: Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark
b. Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan atau obstruksi arteri
c. MRI: Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik ( masalah sistem arteri
karotis (aliran darah / muncul plak ) arteriosklerotik ).
d. EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
e. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
f. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah
yang berlawanan dari massa yang meluas; klasifikasi karotis interna terdapat pada
trombosis serebral ; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subarakhnoid. (Doenges E, Marilynn,2000 hal 292)
H. KOMPLIKASI
Selama menjalani perawatan di RS, pasien stroke dapat mengalami komplikasi akibat
penyakitnya. Komplikasi yang umum terjadi adalah bengkak otak (edema) yang terjadi
pada 24 jam sampai 48 jam pertama setelah stroke. Berbagai komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah sebagai berikut:
1. Kejang. Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke perdarahan. Kejadian
kejang umumnya memperberat defisit neurologik.
2. Nyeri kepala: walaupun hebat, umumnya tidak menetap. Penatalaksanaan
membutuhkan analgetik dan kadang antiemetik
3. Hiccup: penyebabnya adalah kontraksi otot-otot diafragma. Sering terjadi pada stroke
batang otak, bila menetap cari penyebab lain seperti uremia dan iritasi diafragma.
Selain itu harus diwaspadai adanya:
a. Transformasi hemoragik dari infark
b. Hidrosefalus obstruktif
4. Peninggian tekanan darah. Sering terjadi pada awal kejadian dan turun beberapa hari
kemudian.
5. Demam dan infeksi. Demam berhubungan dengan prognosa yang tidak baik. Bila ada
infeksi umumnya adalah infeksi paru dan traktus urinarius.
6. Emboli pulmonal. Sering bersifat letal namun dapat tanpa gejala. Selain itu, pasien
menderita juga trombosis vena dalam (DVT).
7. Abnormalitas jantung. Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, timbul bersama atau
akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita komplikasi
gangguan ritme jantung.
8. Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumonia. Dengan fluoroskopi ditemukan
64% penderita stroke menderita gangguan fungsi menelan. Penyebab terjadi
pneumonia kemungkinan tumpang tindih dengan keadaan lain seperti imobilitas,
hipersekresi dll.
9. Kelainan metabolik dan nutrisi. Keadaan undernutrisi yang berlarut-larut terutama
terjadi pada pasien umur lanjut. Keadaan malnutrisi dapat menjadi penyebab
menurunnya fungsi neurologis, disfungsi kardiak dan gastrointestinal dan abnormalitas
metabolisme tulang.
10. Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia. Akibat pemasangan kateter dauer, atau
gangguan fungsi kandung kencing atau sfingter uretra eksternum akibat stroke.
11. Perdarahan gastrointestinal. Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat
merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke. Dianjurkan
untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini.
12. Dehidrasi. Penyebabnya dapat gangguan menelan, imobilitas, gangguan komunikasi
dll.
13. Hiponatremi. Mungkin karena kehilangan garam yang berlebihan.
14. Hiperglikemia. Pada 50% penderita tidak berhubungan dengan adanya diabetes
melitus sebelumnya. Umumnya berhubungan dengan prognosa yang tidak baik.
15. Hipoglikemia. Dapat karena kurangnya intake makanan dan obat-obatan.
I. PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:
1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh
dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil
2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan
ogsigen sesuai kebutuhan
3. Tanda-tanda vital diusahakan stabil
4. Bed rest
5. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
6. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi
8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan
glukosa murni atau cairan hipotonik
9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat
meningkatkan TIK
10. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun
atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT
11. Penatalaksanaan spesifik berupa:
a. Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan, obat
hemoragik
b. Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan pembedahan,
menurunkan TIK yang tinggi
2. RANGE OF MOTION EXCERCICE
A. Definisi ROM
Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan
atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara
normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry,
2005).
Range of motion adalah gerakan dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi
yang bersangkutan (Suratun, dkk, 2008).
Latihan range of motion (ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan batas atau
batasan gerakan sendi yang normal dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan
ataupun untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal (Arif, M, 2008).
2. Bahu
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menaikan lengan dari posisi di samping rentang 180°
tubuh ke depan ke posisi di atas kepala,
Ekstensi Mengembalikan lengan ke posisi di rentang 180°
samping tubuh,
Hiperektensi Mengerkan lengan kebelakang tubuh, rentang 45-60°
siku tetap lurus,
Abduksi Menaikan lengan ke posisi samping di rentang 180°
atas kepala dengan telapak tangan jauh
dari kepala,
Adduksi Menurunkan lengan ke samping dan rentang 320°
menyilang tubuh sejauh mungkin,
Rotasi dalam Dengan siku pleksi, memutar bahu rentang 90°
dengan menggerakan lengan sampai ibu
jari menghadap ke dalam dan ke
belakang,
Rotasi luar Dengan siku fleksi, menggerakan rentang 90°
lengan sampai ibu jari ke atas dan
samping kepala,
Sirkumduksi Menggerakan lengan dengan lingkaran rentang 360°
penuh,
3. Siku
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakkan siku sehingga lengan rentang 150°
bahu bergerak ke depan sendi bahu dan
tangan sejajar bahu,
Ektensi Meluruskan siku dengan menurunkan rentang 150°
tangan,
4. Lengan bawah
Gerakan Penjelasan Rentang
Supinasi Memutar lengan bawah dan tangan rentang 70-90°
sehingga telapak tangan menghadap ke
atas,
Pronasi Memutar lengan bawah sehingga rentang 70-90°
telapak tangan menghadap ke bawah,
5. Pergelangan tangan
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakan telapak tangan ke sisi rentang 80-90°
bagian dalam lengan bawah,
Ekstensi Mengerakan jari-jari tangan sehingga rentang 80-90°
jari-jari, tangan, lengan bawah berada
dalam arah yang sama,
Hiperekstensi Membawa permukaan tangan dorsal ke rentang 89-90°
belakang sejauh mungkin,
Abduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke rentang 30°
ibu jari,
Adduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke rentang 30-50°
arah lima jari,
7. Ibu jari
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Mengerakan ibu jari menyilang rentang 90°
permukaan telapak tangan,
Ekstensi menggerakan ibu jari lurus menjauh dari rentang 90°
tangan,
Abduksi Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 30°
Adduksi Mengerakan ibu jari ke depan tangan, rentang 30°
Oposisi Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari
-
tangan pada tangan yang sama.
8. Pinggul
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Mengerakan tungkai ke depan dan rentang 90-120°
atas,
Ekstensi Menggerakan kembali ke samping rentang 90-120°
tungkai yang lain,
Hiperekstensi Mengerakan tungkai ke belakang rentang 30-50°
tubuh,
Abduksi Menggerakan tungkai ke samping rentang 30-50°
menjauhi tubuh,
Adduksi Mengerakan tungkai kembali ke
posisi media dan melebihi jika rentang 30-50°
mungkin,
Rotasi Memutar kaki dan tungkai ke arah
rentang 90°
dalam tungkai lain,
Rotasi luar Memutar kaki dan tungkai menjauhi
rentang 90°
tungkai lain,
Sirkumduksi Menggerakan tungkai melingkar -
9. Lutut
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Mengerakan tumit ke arah belakang rentang 120-130°
paha,
Ekstensi Mengembalikan tungkai kelantai, rentang 120-130°
Pengumpulan Data
a. Aktivitas/istirahat:
Klien akan mengalami kesulitan aktivitas akibat kelemahan, hilangnya rasa, paralisis,
hemiplegi, mudah lelah, dan susah tidur.
b. Sirkulasi
Adanya riwayat penyakit jantung, katup jantung, disritmia, CHF, polisitemia. Dan
hipertensi arterial.
c. Integritas Ego.
Emosi labil, respon yang tak tepat, mudah marah, kesulitan untuk mengekspresikan
diri.
d. Eliminasi
Perubahan kebiasaan Bab. dan Bak. Misalnya inkoontinentia urine, anuria, distensi
kandung kemih, distensi abdomen, suara usus menghilang.
e. Makanan/cairan :
Nausea, vomiting, daya sensori hilang, di lidah, pipi, tenggorokan, dysphagia
f. Neuro Sensori
Pusing, sinkope, sakit kepala, perdarahan sub arachnoid, dan intrakranial. Kelemahan
dengan berbagai tingkatan, gangguan penglihatan, kabur, dyspalopia, lapang pandang
menyempit. Hilangnya daya sensori pada bagian yang berlawanan dibagian
ekstremitas dan kadang-kadang pada sisi yang sama di muka.
g. Nyaman/nyeri
Sakit kepala, perubahan tingkah laku kelemahan, tegang pada otak/muka
h. Respirasi
Ketidakmampuan menelan, batuk, melindungi jalan nafas. Suara nafas, whezing,
ronchi.
i. Keamanan
Sensorik motorik menurun atau hilang mudah terjadi injury. Perubahan persepsi dan
orientasi Tidak mampu menelan sampai ketidakmampuan mengatur kebutuhan nutrisi.
Tidak mampu mengambil keputusan.
j. Interaksi sosial
Gangguan dalam bicara, Ketidakmampuan berkomunikasi.
B. DiagnosisKeperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d aterosklerosis aortik. (Nanda,
Domain 4, 00201, hal. 252)
2. Hambatan komunikasi verbal b.d gangguan sistem saraf pusat. (Nanda Domain 5,
00051, hal. 278)
3. Defisit perawatan diri; mandi b.d kerusakan neuromuskular. (Nanda Domain 4, 00108,
hal. 258)
4. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskular. (Nanda Domain 4, 00085, hal.
232)
5. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan disfungsi neuromuskular (Nanda
Domain 4, 00032, hal. 243)
6. Risiko kerusakan integritas kulit b.d gangguan sirkulasi (Nanda, Domain 11, 00047,
hal. 426)
7. Risiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran (Nanda, Domain 11,
00039, hal. 407)
8. Risiko cedera berhubungan dengan hipoksia jaringan (Nanda, Domain 11, 00035, hal.
412)
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosis Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
4 Hambatan mobilitas Setelah dilakukan Exercise therapy : ambulation
fisik b.d kerusakan tindakan 1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat
neuromuskular. keperawatan, respon pasien saat latihan
(Nanda Domain 4, diharapkan suplai
2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana
00085, hal. 232) aliran darah keotak ambulasi sesuai dengan kebutuhan
Setelah dilakukan lancar dengan
3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan
tindakan keperawatan kriteria hasil: dan cegah terhadap cedera
selama 3x24 jam, NOC : 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik
diharapkan klien dapat Mobility Level ambulasi
melakukan pergerakan 5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
fisik dengan kriteria 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara
hasil : mandiri sesuai kemampuan
7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs
8. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
2. DX 2 Hambatan komunikasi verbal b.d gangguan sistem saraf pusat. (Nanda Domain 5,
00051, hal. 278)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan klien mampu
untuk berkomunikasi lagi dengan kriteria hasil:
NOC:
Komunikasi: Mengekspresikan
1. Dapat menjawab pertanyaan yang diajukan perawat
2. Dapat mengerti dan memahami pesan-pesan melalui gambar
3. Dapat mengekspresikan perasaannya secara verbal maupun nonverbal
NIC:
Mendengar Aktif
1. Libatkan keluarga untuk membantu memahami atau memahamkan informasi dari dan
ke klien
2. Dengarkan setiap ucapan klien dengan penuh perhatian
3. Gunakan kata-kata sederhana dan pendek dalam komunikasi dengan klien
4. Dorong klien untuk mengulang kata-kata
5. Berikan arahan / perintah yang sederhana setiap interaksi dengan klien
6. Programkan speech-language terapi
7. Lakukan speech-language terapi setiap interaksi dengan klien
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas klien
Nama : Entjeng Sopiandi TN
TTL/Umur : 06 Agustus 1945/73 tahun 3 bulan 7 hari
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Kp. Mekar Luyu RT/RW 003/03, mekar Galih,
Terogong kidul, Kabupaten Garut
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Penanggung jawab : Surya Alam
No MedRek : 00125672
No Register : 18111330999
Tanggal pengkajian : 21 November 2018 Jam 12.30 WIB
2. Keluhan utama
Keluhan saat dikaji pasien datang dengan keluhan ekstrimitas kaku dan tidak mampu digerakan
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dan berbicara sedikit pelo.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien terkena serangan stroke 1 bulan sebelum masuk rumah sakit dan mendapatkan perawatan
di rumah sakit di garut, sebelumnya memang terdapat gejala kelumpuhan pada kedua ekstrimitas
atas bawah saat menjalani perawatan saat terkena serangan stroke 1 bulan lalu.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pasien menderita penyakit darah tinggi sejak 5 tahun lalu tidak terkontrolndan jarang berobat
rutin kecuali jika ada keluhan.
5. Riwayat penyakit keluarga
Orang tua pasien adalah penderita hipertensi dan DM
6. Pemeriksaan Fisik
- Tingkat Kesadaran
Kesadaran klien yaitu compos mentis (terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan reaksi
penglihatan, pendengaran dan perabaan normal).
- GCS :
M: 4
V:3
E:6
Nilai total 14
- Penampilan : Klien terlihat lemah
- Vital sign Tensi : 120/90 mmHg, suhu : 36,7° C, Nadi : 64 x/mnt, Respirasi : 24 x/mnt
a. Kepala
Bentuk Mesochepal, tidak ada luka dan jejas, rambut hitam, tidak ada oedem
b. Mata
Mata simetris kanan dan kiri, sclera tidak ikterik, konjungtiva anemis, kedua pupil miosis
diameter 4 mm, reflek pupil +/-.
c. Telinga
Kedua telinga simetris, tidak ada jejas, bersih, dan tidak ada serumen
d. Hidung
Tidakadakelainan bentuk, tidak ada secret di hidung, tidak ada napas cuping hidung
e. Mulut
Bibir tidak pucat, tidak Nampak cyanosis.
f. Leher
Tidak terdapat pembesaran kelenjar limfe dan tiroid, tidak terjadi kaku kuduk.
g. Dada
Bentuk dada simetris, kulit normal, tidakada kelainan
h. Abdomen
Bentuk simetris, tidak ada ascites, tidak teraba masa, palpasi teraba hepar,bising usus normal 12-
13 x/menit
i. Ekstrimitas atas
Pergerakan terbatas dengan adanya kelemahan otot, terpasang infus di lengan kiri.
j. Ekstrimitas bawah
Tidak ada odema, bentuk simetris, pergerakan terbatas karena kelemahan otot
1 2
1 1
Kekuatan ROM dengan skala MMT
Pengumpulan data
1. Aktivitas/istirahat:
Setelah menjalani perawatan akibat serangan stroke 1 bulan lalu, aktifitas pasien sebagian
dibantu oleh keluarga nya karena keterbatasan kekuatan ekstimitas karena kelumpuhan walaupun
setelah keluar dari perawatan pasien sudah rutin menjalani fisioterapi
2. Sirkulasi
Riwayat hipertensi yang tidak terkontrol sering membuat pasien merasa pusing tiba-tiba, tensi
pasien pun lebih sering di anggka yang tinggi
3. Integritas Ego.
Emosi labil, respon yang tak tepat, mudah marah, kesulitan untuk mengekspresikan diri.
4. Eliminasi
Tidak ada keluhan dari pasien kaitannya dengan pola eliminasi
5. Makanan/caitan :
Tidak ada keluhan soal makan pasien walau pun pasien saat ini menjalani diet dengan bubur atau
makanan yang lunak
6. Neuro Sensori
Pasien sering mengeluh Pusing, sakit kepala, kelemahan otot dengan berbagai tingkatan,
hilangnya daya sensori pada bagian yang berlawanan dibagian ekstremitas dan kadang-kadang
pada sisi yang sama di muka, berbicara pun sedikit pelo..
7. Nyaman/nyeri
Sakit kepala, perubahan tingkah laku kelemahan, tegang pada otak/muka
8. Respirasi
Tidak ada keluhan pasien kaitannya dengan sistem respirasi
9. Keamanan
Sensorik motorik menurun atau hilang mudah terjadi injury. Perubahan kekuatan otot membuat
keterbatasan aktifitas sehingga berisiko pada pasien mengalami injury.
7. Laboratorium
Hb 12 mmhg
Leuco 5600 dl
HT 37
Trombo 269
GDS 92 dl
SGOT/SGPT 15/11
Ureum 17
Cretinin 0,7
8. CT Scan : hasil pemeriksaan CT brain di dapat " lesi hipodens berbatas tidak tegas pada
parenkim cerebri daerah temporalis kiri d/d infark.
9. Pengobatan
- NBF dalam RL 500 cc/12 jam
- Citicolin inj 2x500 mg
- Ketorolac inj 3x1 amp
- Omz inj 2x1amp
10. Data focus
Data fokus Problem Etiologi
DS : klien mengatakan Domain 4 Actifity/Rest Hematoma cerebral
tangan dan kaki susah
untk digerakan Kelas 2 aktifitas /latihan
DO ; Vasospasme cerebral
- Ekstrimitas atas tidak
mampu melalukan rentang
gerak sampe 90°, Ischemia/infark cerebral
Ekstrimitas bawah tidak
mampu melakukan rentang
gerak sampe 100° (skala Deficit neurologis
Potter)
- Kekuatan ekstrimitas atas
2/1, ekstrimitas bawah 1/1 Kelemahan otot
(pengukuran MMT)
Gangguan aktifitas
Area Groca
Gangguan komunikasi
verbal
Sesak napas
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskular. (Nanda Domain 4, 00085, hal. 232)
Kerusakan mobilitas fisik
2. Kerusakan komunikasi verbal apasia berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke otak (Nanda
Domain 5, 00051, hal. 278)
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran (Nanda Domain 4, 00032, hal.
243)
Oxygen Therapy
• Bersihkan mulut,
hidung dan secret
trakea
• Pertahankan jalan
nafas yang paten
• Atur peralatan
oksigenasi
• Monitor aliran
oksigen
• Pertahankan posisi
pasien
• 6Observasi adanya
tanda tanda
hipoventilasi
• Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap
oksigenasi.
A. Kesimpulan
Dari penyusunan makalah ini yang dilakukan dengan pengumpulan data melalui metode
ilmiah seperti observasi, studi literatur dan intervensi keperawatan disimpulkan bahwa impact
yang ditimbulkan dari serangan kasus CVA atau stroke sebenarnya dapat dicegah atau bahkan
mungkin bisa diatasi seandainya hal tersebut ditangani dengan benar. Yang diperlukan oleh
masyarakat sekarang ini adalah edukasi tentang apa dan bagaiman kasus Stroke atau CVA ini
terjadi sehingga masyarakat dapat mengantisipasi nya.
B. Saran
Sosialisasi tentang bahaya serangan kasus Stroke dan CVA perlu lebih ditingkatkan lagi
sebagai pengetahuan kepada masyarakat. Untuk itu penulis berharap dengan adanya penulisan
makalah ini, bisa dijadikan bahan rujukan dalam memberikan edukasi kepada masyarakat