Anda di halaman 1dari 49

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM

PERSYARAPAN STROKE HAEMMORAGIC


DENGAN KELEMAHAN OTOT PASCA STROKE HAEMMORAGIC

DISUSUSN OLEH :
1. Andi Setyawan
2. Cicih
3. Eka Nurul
4. Fitri
5. Saleh Gunawan
6. Yanto
7. Yosep Sukmara
8. Yulia Fransisca
9. Yulianah

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ( STIKES ) YATSI


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
TANGERANG
2018
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM
PERSYARAPAN STROKE HAEMMORAGIC
DENGAN KELEMAHAN OTOT PASCA STROKE HAEMMORAGIC

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke adalah penyakit multifaktorial dengan berbagai penyebab disertai manifestasi klinis
mayor, dan penyebab utama kecacatan dan kematian di negara-negara berkembang (Saidi,
2010). WHO mendefinisikan stroke sebagai suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau
lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler (WHO, 2006).
Stroke adalah penyakit yang diakibatkan oleh terganggunya aliran darah pada otak.
Stroke dapat dibagi menjadi stroke perdarahan (hemoraghic) dan stroke non perdarahan atau
yang biasa dikenal dengan tipe sumbatan (ischemic). Stroke non perdarahan atau stroke
iskemik adalah gangguan peredaran darah pada otak yang dapat berupa penyumbatan
pembuluh darah arteri sehingga menimbulkan infark (kematian jaringan). Umumnya terjadi
pada saat penderita istirahat. Tidak terjadi perdarahan dan kesadaran umumnya baik
(Yayasan Stroke Indonesia, 2006).

Stroke menduduki urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian setelah penyakit
jantung koroner dan kanker di negara-negara berkembang. Negara berkembang juga
menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke di seluruh dunia. Dua pertiga penderita
stroke terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Terdapat sekitar 13 juta korban
stroke baru setiap tahun, di mana sekitar 4,4 juta di antaranya meninggal dalam 12 bulan
(WHO, 2006). Di Indonesia, prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk.
Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam (16,6
per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8 per 1.000 penduduk). Menurut
Riskesdas tahun 2007, stroke, bersama-sama dengan hipertensi, penyakit jantung iskemik
dan penyakit jantung lainnya, juga merupakan penyakit tidak menular utama penyebab
kematian di Indonesia. Stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian utama
semua usia di Indonesia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009).
Menurut Davenport dan Dennis (2000), secara garis besar stroke dapat dibagi menjadi
stroke iskemik dan stroke hemoragik. Di negara barat, dari seluruh penderita stroke yang
terdata, 80% merupakan jenis stroke iskemik sementara sisanya merupakan jenis stroke
hemoragik.

Adapun faktor risiko yang memicu tingginya angka kejadian stroke adalah faktor yang
tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) seperti usia, ras, gender, genetik, dan
riwayat Transient Ischemic Attack atau stroke sebelumnya. Sedangkan faktor yang dapat
dimodifikasi (modifiable risk factors) berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung,
diabetes, obesitas, penggunaan oral kontrasepsi, alkohol, hiperkolesterolemia (PERDOSSI,
2004). Identifikasi faktor risiko stroke sangat penting untuk mengendalikan kejadian stroke
di suatu negara. Oleh karena itu, berdasarkan identifikasi faktor risiko tersebut maka dapat
dilakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan penyakit stroke, terutama untuk
menurunkan angka kejadian stroke.
Pasien stroke yang mengalami hemiparese yang tidak mendapatkan penanganan yang
tepat dapat menimbulkan komplikasi gangguan fungsional, gangguan mobilisasi, gangguan
aktivitas sehari hari dan cacat yang tidak dapat disembuhkan.
Pasien stroke yang mengalami kelemahan pada satu sisi anggota tubuh disebabkan oleh
karena penurunan tonus otot, sehingga tidak mampu menggerakkan tubuhnya. Immobilisasi
yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat, akan menimbulkan komplikasi berupa
abnormalitas tonus, orthostatic hypotension, deep vein thrombosis dan kontraktur (Garrison,
2003)
Gangguan sensoris dan motorik post stroke mengakibatkan gangguan keseimbangan
termasuk kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan lunak, serta gangguan kontrol
motorik dan sensorik.
Latihan Range Of Motion (ROM) pasif dan aktif mempengaruhi rentang sendi pada
ektremitas atas dan bawah pada pasien stroke. Latihan Range Of Motion (ROM) pasif dapat
menjadi alternatif untuk meningkatkan rentang sendi pada ektremitas atas dan bawah pada
pasien stroke.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun perumusan masalah yang dapat penulis simpulkan, yakni:
1. Apa yang dimaksud dengan Stroke?
2. Sistem organ apa yang terkait dengan penyakit Stroke?
3. Bagaimana perjalanan penyakit Stroke?
4. Apa pemeriksaan penunjang yang dapat ditegakkan dalam mendiagnosa
penyakit Stroke?
5. Apa komplikasi yang terjadi dari Stroke?
6. Bagaimana menangani kelemahan otot yang ditimbulkan pasca stroke
7. Apa itu pelatihan Range Of Motion (ROM)
8. Apa diagnosa dan intervensi keperawatan yang dapat diberikan kepada penderita
Stroke?

C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan Umum
1. Penulis mengetahui gambaran umum tentang penyakit Stroke dan penatalaksanaannya.
2. Mengetahui dan mampu melaksanakan salah satu cara penanganan kelemahan otot
pasca stroke dengan latihan peningkatan Range Of Motion (ROM excercise)
Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian Stroke;
b. Mengetahui sistem organ yang terkait Stroke;
c. Mengetahui teknik pelatihan peningkatan otot/ Range Of Motion (ROM excercise)
d. Mengetahui diagnosa serta intervensi yang dibutuhkan klien dengan Stroke;
D. METEDOLOGI PENULISAN
Dalam pembuatan makalah ini, penulis mengggunakan metode study literatur serta
pengumpulan informasi dari berbagai media pengetahuan. Selain itu, dengan menggunakan
analisis kasus yang diberikan oleh tutor.
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. STOKE / CEREBRO VASCULAIR ACCIDENT


A. Definisi
WHO mendefinisikan stroke sebagai suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler (WHO, 2006).
Stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral dan merupakan satu gangguan
neurologik pokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologik pada pembuluh
darah serebral misalnya trombosis, embolus, ruptura dinding pembuluh atau penyakit
vaskuler dasar, misalnya arterosklerosis arteritis trauma aneurisma dan kelainan
perkembangan (Price, 1995).
Stroke adalah penyakit multifaktorial dengan berbagai penyebab disertai manifestasi
klinis mayor, dan penyebab utama kecacatan dan kematian di negara-negara berkembang
(Saidi, 2010).
Gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan aleh karena gangguan peredaran darah
otak, dimana secara mendadak (beberapa detik) atau secara cepat (beberapa jam) timbul
gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal diotak yang terganggu (Djunaedi W,
1992).
Stroke merupakan penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal atau
global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut
menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak
lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan
lain lain (Riskesdas, 2013).

B. ANATOMI FISIOLOGI
Sistem saraf adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan
semua kegiatan aktivitas tubuh kita seperti berjalan, menggerakkan tangan,
mengunyah makanan dan lainnya. Sistem Saraf tersusun dari jutaan serabut sel saraf
(neuron) yang berkumpul membentuk suatu berkas (faskulum). Neuron adalah komponen
utama dalam sistem saraf.
Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu:
1. Pengatur / pengendali kerja organ tubuh,
2. Pusat pengendali tanggapan,
3. Alat komunikasi dengan dunia luar.
Sistem persarafan dibagi menjadi dua bagian : sistem saraf pusat (SSP) dan sistem
saraf perifer. SSP terdiri dari otak di dalam tengkorak dan medula spinalis yang menjalar
didalam kolimna vertebra dan memanjang ke otak. Pusat komunikasi di dalam SSP dan
berbagai saluran saraf memungkinakannya respon sadar atau tidak sadar terhadap stimulus
sensoris. Sistem saraf perifer di bentuk dan network saraf dan organ-organ
pengindra yang mendapat informasi dari seluruh tubuh dan meneruskan ke otak.

SEL SISTEM SARAF


1. Neuron
Setiap neuron terdiri dari satu badan sel yang didalamnya terdapat sitoplasma dan inti
sel. Dari badan sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu dendrit dan akson (neurit).
Dendrit berfungsi menangkap dan mengirimkan impuls ke badan sel saraf, sedangkan
akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke jaringan lain. Akson
biasanya sangat panjang. Sebaliknya, dendrit pendek.
Neuron bersifat heterogen, baik secara morfologis maupun fungsional, yang terdiri
atas sel kecil bulat yang menempati lapisan sel granula di serebelum hingga piramid
besar Betz pada korteks motorik primer. Berbagai perubahan morfologik dapat
ditemukan di neuron, dengan salah satu yang tersering adalah nekrosis koagulasi,
suatu perubahan yang paling sering terjadi berkaitan dengan cedera hipoksik-iskemik.
Seperti pada nekrosis koagulasi di tempat lain, nekrosis neuron ditandai dengan
hilangnya ribonukleoprotein sitoplasma dan denaturasi protein sitoskeleton,sehingga
terjadi eosinofilia sitoplasma yang mencolok (neuron merah) pada sendian yang
diwarnai dengan hemotoksilin dan eosin (H&E). Nekrosis koagulasi juga disertai oleh
perubahan nukleus yang identik dengan yang ditemukan pada organ lain, yaitu
kondensasi bahan inti (piknosis) dan hilangnya perwarnaan neukleus (kariolisis).
Bentuk kematian sel terpenting yang di bahas pada yakni, apoptosis, juga terjadi pada
sejumlah situasi pada SSP, termasuk perkembangan normal, beberapa bentuk cedera
hipoksik-iskemik, dan gangguan toksik tertentu. Apoptosis juga mungkin berperan
dalam proses berkurangnya sel pada penuaan dan pada penyakit neurodegeneratif
tertentu. Kromtolisis, suatu reaksi pada cedera akson, ditandai dengan dispersi
substansi Nissl dan membengkaknya sel badan neuron juga terjdi pada penyakit-
penyakit neurodegeneratif, seperti neurofibrially tangels pada penyakit Alzheimer dan
pembentukan badan lewy pada parkinsonisme. Akhirnya sejumlah agen infeksius
dapat menyebabkan terbentuknya badan inklusi ini dan perubahan struktural lainnya
akan di bahas secara lebih rinci dibagian selanjutnya pada bab ini dalam konteks
penyakit tempat badan inklusi tersebut terbentuk.
2. Astroit
Astroit adalah sel penunjang utama di otak dan memperlihatkan beberapa
perubahan reaktif yang tersering ditemukan, pada kasus cedera parenkim otak, atroit
merespon dengan membentuk jaringan padat prosecus, yang sedikit banyak analog
dengan jaringan parut fibrosa di bagian tubuh lain. Namun dengan beberapa fibroblas,
astoit tidak menghasilkan kolagen. Oleh karena itu,”jaringan parut” glia terutama
teridiri atas prosesus sitoplasma, dengan sedikit atau tanpa protein ekstrasel.
Sitoplasma mungkin membengkak sebagi respons terhadp cedera, sering disertai oleh
peningkatan sintesis protein fibrilar glia yang bersifat asam (glia fibrillaacudic protein
GFA) yaitu protein sitoskeleton utama bagi astroit sitoplasma disekitar neukleus ini
yang disebut astroit gemistositik (yunani=gemistos=”penuh”) tampak eonisofilik dan
mudah terlihat pada sediaan rutin. Serat Rosenthal adalah stuktur astroit lainnya. Pada
sediaan yang diwarnai H&E, serat ini tampak sebagai struktur yang eosinofilik terang
dengan kualitas hampir reflaktil. Serat resonthal berasal dari filamen GFAP yang
mengalami perubahan dan ditemukan pada sejumlah neoplasma tumbuh-lambat serta
pada beberapa penyakit nonneoplasma,seperti lesi kistik kronis dan malformasi
vaskular. Bebrapa gangguan metabolik tertentu, terutama gagal hati, menghasilkan
asroit nukleus besar pucat yang disebut glia Alzheimer tipe II. Akhirnya, bahan kaya-
glikoprotein yang disbut korpora amilasea sering menumpouk diproseus astoit sering
dengan penuaan. Pada sediaan yang diwarnai oleh H&E, korpora amilasea tampak
sebagi badan basofilik bulat yang berlapis-lapis konsentrik diregioyang kaya foot
proceseses astoit (misal, regio subependima, subpial, dan privaskuler), serta di dalam
kulomna dorsalis medula spinalis.
3. Oligodendrosit
Prosesus sitoplasma ologondendrogilia membungkus akson neuron untuk
membentuk meilin dengan cara serupa dengan sel Schwann di sistem saraf perifer.
Pada sediaan rutin, ologondendrogilia dikenal berdasarkan nukleusnya yang bulat kecil
yang mirip limposit dan tersusun dalam rangkain linier. Cedera pada sel
ologondendrogilia dan atau processusnya merupakan gambaran pada penyakit
demielinisasi didapat (misal, sklerosis multipel) dan juga ditemukan pada
leukodistropi (dibahas kemudian). Nukleus ologondendrogilia mungkin berisi badan
inklusi pada penyakit tertentu, seperti, leukoensefalopati multifokus progresif dan
beberapa gangguan neurodegeneratif.
4. Sel ependimal
Sel ependimal melapisi ventrikel serebrum dan berkaitan erat dengan sel kuboid
dengan sel kuboid yang terdapat di pleksus koroideus. Gangguan pada sel ependimal
sering berkaitan dengan ploriferasi lokal astroit subependimal yang menyebabkan
terjadinya ireguleritas kecil yang disebut granulasi ependimal dipermukaan ventrikel.
Bebrapa agen infeksius, terutama sitomegalovirus (CMV) dapat menyebabkan cedera
ependimal yang luas disertai terbentuknya badan inklusi intranukleus di sel ependimal.
5. Mikroglia
Meskipun bernama demikian, sekarang secara umum diterima bahwa mikroglia
berasal dari monosit darah dan bukan dari neural tube. Semakin banyak fungsi sel ini
sekarang telah dikietahui. Seperti pedanannya di luar SSP, mikroglia tampaknya
berfunmgsi sebagai sel penyaji antigen pada obanyak kondisi peradangan. Hampir
semua bentuk cedera SSP berkaitan dengan keberadaan sel mikroglia aktif, sel-sel ini
kemudian bertindak sebagai mikroglia aktif, sel-sel ini kemudin bertindak sebagai
makrofag aktif. Pada beukrosis jaringan dan penyakit demielinisasi makrofag aktif ini
akan menimbun banyak lemak intrasel sehingga berbentuk dengan sel sitoplasma
berbusa yang disebut sebagai gitter cells. Pada penyakit ini pada penyakit lain, nukleus
mikroglia mungkin menjadi panjang sehingga terbentuk sel batang, mikroglia juga
dapat beragregasi dalam kumpulan yang padat sebagai gangguan (misal, infeksi virus)
untuk membentuk nodul mikroglia dan mungkin dapat menelan neuron yang cedera
vdalam suatu proses yang dikenal sebagai neuronofagia.

C. ETIOLOGI
Stroke hemoragik terjadi bila pembuluh darah di dalam otak pecah. Otak sangat sensitif
terhadap perdarahan, dan kerusakan dapat terjadi dengan sangat cepat. Pendarahan di
dalam otak dapat mengganggu jaringan otak, sehinga menyebabkan pembengkakan,
mengumpul menjadi sebuah massa yang disebut hematoma. Pendarahan juga
meningkatkan tekanan pada otak dan menekan tulang tengkorak.
Stroke hemoragik dikelompokkan menurut lokasi pembuluh darah :
1. Intracerebral hemoragik, pendarahan terjadi di dalam otak.
2. Subarachnoid hemoragik, pendarahan di daerah antara otak dan jaringan tipis yang
menutupi otak.

Stroke hemoragik paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi, yang menekankan
dinding arteri sampai pecah. Penyebab lain terjadinya stroke hemoragik adalah :
1. Aneurisma, yang membuat titik lemah dalam dinding arteri, yang akhirnya dapat pecah.
2. Hubungan abnormal antara arteri dan vena, seperti kelainan arteriovenosa.
3. Kanker, terutama kanker yang menyebar ke otak dari organ jauh seperti payudara, kulit,
dan tiroid.
4. Cerebral amyloid angiopathy, yang membentuk protein amiloid dalam dinding arteri di
otak, yang membuat kemungkinan terjadi stroke lebih besar.
5. Kondisi atau obat (seperti aspirin atau warfarin).
6. Overdosis narkoba, seperti kokain.
Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke
otak sebagian atau keseluruhan terhenti. 80% stroke adalah stroke Iskemik. Stroke iskemik
ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Stroke Trombotik: proses terbentuknya thrombus yang membuat penggumpalan.
2. Stroke Embolik: Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
3. Hipoperfusion Sistemik: Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena
adanya gangguan denyut jantung.

D. PATOFISIOLOGI
Patofis dari struk haemoragik adalah hipertensi kronik menyebabkan pembuluh
arteriola yang berdiameter 100-400 mcmeter mengalami perubahan patologik pada
dinding pembuluh darah tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya
aneurisma tipe Bouchard.
Arteriol-arteriol dari cabang-cabang lentikulostriata, cabang tembus arteriotalamus
dan cabang-cabang paramedian arteria vertebro-basilar mengalami perubahan-perubahan
degeneratif yang sama. Kenaikan darah yang “abrupt” atau kenaikan dalam jumlah yang
secara mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama pada pagi hari
dan sore hari. Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut
sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besarakan merusak struktur anatomi otak dan
menimbulkan gejala klinik.
Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat merasuk
dan menyela di antara selaput akson massa putih tanpa merusaknya. Pada keadaan ini
absorbsi darah akan diikutioleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi. Sedangkan pada
perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian tekanan intrakranial dan
yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen
magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan
batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke
ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus
dan pons.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan
mengakibatkan peningian tekanan intrakranial dan mentebabkan menurunnya tekanan
perfusi otak serta terganggunya drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya
tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya
tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah
lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 %
pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara
30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 % tetapi volume darah 5 cc dan
terdapat di pons sudah berakibat fatal. (Jusuf Misbach, 1999).

E. PATHWAYS

F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Kinis pada stroke meliputi:
1. Hemiparesis dan hemiplagia
Hemiparesis (kelemahan) dari hemiplagia (paralisis) dari satu sisi tubuh dapat terjadi
setelah stroke. Defisit ini biasanya disebabkan oleh stroke pada arteri serebral anterior
atau arteri serebral medial, yang menyebabkan infark pada korteks frontal. Hemipegia
lengkap melibatkan setengah dari wajah dan lidah serta lengan dan kaki dari sisi lateral
tubuh. Infark di sisi kanan otak menyebabkan hemiplegia sisi kiri dan sebaliknya,
karena serabut saraf menyeberang di saluran piramida ketika rangsangan saraf berjalan
dari otak ke korda spinalis. Stroke menyebabkan hemiparesis atau hemiplegia yang
biasanya mempengaruhi area kortikal lain selain area motorik. Akibatnya, hemiparesis
dan hemiplegia sering disertai dengan manifestasi lain dari stroke, termasuk
kehilangan hemisensory, hemianopia, apraxia, agnosia, dan aphasia. Otot-otot dada
dan perut biasanya tidak terpengaruh karena mereka diinervasi dari kedua belahan
otak.
Ketika otot kelebihan kontrol volunternya kekuatan otot fleksi tidak seimbang.
Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan kontraktur serius. Sebagai contoh, lengan
terkena klien hemiplegic yang cenderung untuk rotasi internal dan adduksi karena otot
adduktor lebih kuat dari otot abductor. Siku, pergelangan tangan, dan jari juga
cenderung fleksi. Kaki cenderung dipengaruhi oleh rotasi eksternal pada sendi
panggul, fleksi di lutut dan plantar fleksi, dan supine di kaki.
1. Afasia
Afasia adalah defisit kemampuan berkomunikasi. Afasia mungkin melibatkan salah
satu atau semua aspek komunikasi, termasuk berbicara, membaca, menulis, dan
pemahaman bahasa lisan. Pusat pengaturan bahasa terletak di belahan otak kiri dan
diperdarahi oleh arteri serebri medial kiri.
a. Afasia Wernicke atau afasia sensorik merupakan gangguan pemahaman
komunikasi dimana kemampuan komunikasi hanya lancar mengeluarkan isi
pikiran, berbicara dengan memakai kalimat yang panjang namun yang
dibicarakan tidak mempunyai arti. Tetapi pada pasien afasia Wernicke tidak
mengerti pembicaraan orang lain. Akibatnya pada pasien tersebut terlihat tidak
nyambung kalau diajak bicara karena otak tidak mampu menginterpretasikan
pembicaraan orang lain walaupun pendengarannya baik. Afasia
Wernicke berhubungan dengan kerusakan pada Area Wernicke dan diakibatkan
infark pada lobus temporal otak. Pada tingkat sangat berat, perintah satu kata,
seperti “duduk!” atau “makan!”, juga tidak dipahaminya. Pasien tersebut hanya
mengerti bila dilakukan dengan gerakan, karena pengertian ini diterima otak
melalui penglihatan.
b. Afasia Broca atau afasia motorik merupakan ketidakmampuan berbicara.
Namun, penderita afasia Broca mengerti bila diperintah dan menjawab dengan
gerakan tubuh sesuai perintah itu. Afasia Broca berhubungan dengan kerusakan
di area Broca. Area Broca adalah bagian dari otak manusia yang terletak di gyrus
frontalis superior pada lobus korteks otak besar. Area Broca letaknya
berdampingan dengan area Wernicke. Karena kerusakan terjadi berdampingan
dengan pusat otak untuk pergerakan otot-otot tubuh, penderita juga lumpuh di
otot-otot tubuh sebelah kanan.
2. Disfagia
Menelan merupakan proses yang kompleks yang membutuhkan beberapa fungsi
saraf kranial. Mulut membuka (CN V: N. Irigeminus), menutup bibir (CN VII: N.
Pachialis), dan lidah yang bergerak (CN XII: N. Hipoglosus).Mulut merasakan rasa
dan banyaknya bolus makanan yang masuk (CN V dan VII) dan mengirim pesan ke
pusat menelan (CN V dan IX). Selama menelan, lidah mengerakkan bolus makanan
ke arah orofaring tersebut. Faring diangkat dan glotis menutup. Kontraksi otot-otot
faring mengangkut makanan dari faring ke esofagus. Peristaltik menggerakkan
makanan ke perut. Sebuah stroke di wilayah sistem vertebrobasilar menyebabkan
disfagia.
3. Dysarthria
Dysarthria adalah artikulasi tidak sempurna yang menyebabkan kesulitan dalam
berbicara. Penting untuk membedakan antara dysarthria dan aphasia. Dengan
dysarthria klien mengerti bahasa tetapi memiliki kesulitan mengucapkan kata-kata.
Tidak ada gangguan jelas dalam tata bahasa atau dalam konstruksi kalimat. Seorang
klien dysarthric dapat memahami komunikasi verbal dan dapat membaca dan
menulis (kecuali tangan dominan adalah lumpuh, tidak ada, atau terluka).
Dysarthria disebabkan oleh distidakfungsi nervus cranial dari penyumbatan
pembuluh darah di arteri vetebrobasilar atau percabangannya. Hal ini akan
menyebabkan kelemahan atau paralisis dari otot-otot bibir, lidah dan laring atau
kehilangan sensasi. Tambahan, klien dengan dysarthria akan mengalami kesulitan
dalam mengunyah dan menelan karena kehilangan control otak.
4. Apraxia
Apraxia adalah suatu kondisi yang mempengaruhi integrasi motorik secara
kompleks. Oleh karena itu apraxia dapat menyebabkan stroke di beberapa area otak.
Klien apraxia tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari, seperti memakai baju.
Klien dengan apraxia mampu mengkonseptualisasikan isi dari pesan yang akan
disampaikan ke otot tetapi impuls tersebut tidak dapat direkonstruksikan oleh otot.
5. Defisit Sensorik
Beberapa jenis perubahan sensori dapat diakibatkan oleh stroke dalam
perubahan sensorik dapat hasil dari stroke di area sensori dari lobus parietalis yang
disuplai oleh arteri serebral anterior atau medial. Defisit tersebut pada sisi
kontralateral tubuh dan sering disertai dengan hemiplegia atau hemiparesis. Sensasi
rasa sakit yang dangkal, sentuhan, tekanan, dan temperatur yang mempengaruhi
variasi tingkatan. Paresthesia digambarkan sebagai persisten, rasa sakit terbakar
berupa mati rasa, kesemutan, atau menusuk-nusuk, atau kepekaan yang meningkat.
Resiko jatuh sangat tinggi cenderung pada posisi kaki yang salah saat berjalan.

6. Perubahan Perilaku
Berbagai bagian dari otak membantu kontrol perilaku dan emosi. Korteks
serebral interpretasikan stimulus yang masuk. Daerah temporal dan limbik
memodulasi tanggapan emosional terhadap stimulus. Hipotalamus dan kelenjar
pituitary berkerja sama dengan dengan korteks motorik dan area bahasa. Otak dapat
dilihat sebagai modulator emosi, dan ketika otak tidak berfungsi sepenuhnya, reaksi
emosional dan tanggapan kekurangan modulasi ini.
Orang dengan stroke di otak kiri, atau dominan, hemisfer sering lambat, dan
tidak terorganisir. Orang dengan stroke di otak kanan, atau tidak dominan,
hemisfer sering impulsif, melebih-lebihkan kemampuan, dan memiliki rentang
perhatian menurun, yang meningkatkan risiko cedera. Infark pada lobus frontal dari
stroke di arteri serebral anterior atau medial dapat menyebabkan gangguan pada
memori, penilaian, berpikir abstrak, wawasan, hambatan, dan emosi. Klien mungkin
menunjukkan pengaruh yang datar, kurangnya spontanitas, dan pelupa.
Gejala-gejala yang tampak dengan TIA (Transient Ischemic Attack) sangat tergantung
pada pembuluh darah yang terkena:
1. Jika arteri karotis dan serebral yang terkena
a. Kebutaan pada satu matanya
b. Hemiplegi
c. Hemianestesia
d. Gangguan bicara
e. Kekacauan mental
2. Jika yang terkena arteri vertebrobasiler
a. Pening
b. Diplopia
c. Semutan
d. Kelainan penglihatan pada salah satu atau kedua bidang pandang
e. Disatria
3. Jika dilihat dari bagian hemisfer yang terkena
Stroke hemisfer kiri
a. Hemiparesis atau hemiplegia sisi kanan
b. Prilaku lambat dan sangat hati-hati
c. Kelainan bidang pandang kanan
d. Ekspresif, reseptif atau dispagia global
e. Mudah frustasi
Stroke hemisfer kanan
a. Hemifaresis atau hemiplegia sisi kanan
b. Defisit spasial-perseptual
c. Penilaian buruk
d. Memperlihatkan ketidaksadaran defisit pada bagian yang sakit oleh karenanya
mempunyai kerentanan untuk jatuh atau cidera lainnya
e. Kelainan bidang visual kiri (Hudak & Gallo, 1996)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
a. Peningkatan Hb & Ht terkait dengan stroke berat
b. Peningkatan WBC indikasi adanya infeksi endokarditis bakterialis.
c. Analisa CSF (merah) perdarahan sub arachnoid
d. Pungsi Lumbal
Menunjukan adanya tekanan normal, tekanan meningkat dan cairan yang mengandung
darah menunjukan hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra kranial. Kadar
protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses
inflamasi.
Pemeriksaan Radiologi
a. CT Scan: Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark
b. Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan atau obstruksi arteri
c. MRI: Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik ( masalah sistem arteri
karotis (aliran darah / muncul plak ) arteriosklerotik ).
d. EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
e. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
f. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah
yang berlawanan dari massa yang meluas; klasifikasi karotis interna terdapat pada
trombosis serebral ; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subarakhnoid. (Doenges E, Marilynn,2000 hal 292)

H. KOMPLIKASI
Selama menjalani perawatan di RS, pasien stroke dapat mengalami komplikasi akibat
penyakitnya. Komplikasi yang umum terjadi adalah bengkak otak (edema) yang terjadi
pada 24 jam sampai 48 jam pertama setelah stroke. Berbagai komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah sebagai berikut:
1. Kejang. Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke perdarahan. Kejadian
kejang umumnya memperberat defisit neurologik.
2. Nyeri kepala: walaupun hebat, umumnya tidak menetap. Penatalaksanaan
membutuhkan analgetik dan kadang antiemetik
3. Hiccup: penyebabnya adalah kontraksi otot-otot diafragma. Sering terjadi pada stroke
batang otak, bila menetap cari penyebab lain seperti uremia dan iritasi diafragma.
Selain itu harus diwaspadai adanya:
a. Transformasi hemoragik dari infark
b. Hidrosefalus obstruktif
4. Peninggian tekanan darah. Sering terjadi pada awal kejadian dan turun beberapa hari
kemudian.
5. Demam dan infeksi. Demam berhubungan dengan prognosa yang tidak baik. Bila ada
infeksi umumnya adalah infeksi paru dan traktus urinarius.
6. Emboli pulmonal. Sering bersifat letal namun dapat tanpa gejala. Selain itu, pasien
menderita juga trombosis vena dalam (DVT).
7. Abnormalitas jantung. Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, timbul bersama atau
akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita komplikasi
gangguan ritme jantung.
8. Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumonia. Dengan fluoroskopi ditemukan
64% penderita stroke menderita gangguan fungsi menelan. Penyebab terjadi
pneumonia kemungkinan tumpang tindih dengan keadaan lain seperti imobilitas,
hipersekresi dll.
9. Kelainan metabolik dan nutrisi. Keadaan undernutrisi yang berlarut-larut terutama
terjadi pada pasien umur lanjut. Keadaan malnutrisi dapat menjadi penyebab
menurunnya fungsi neurologis, disfungsi kardiak dan gastrointestinal dan abnormalitas
metabolisme tulang.
10. Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia. Akibat pemasangan kateter dauer, atau
gangguan fungsi kandung kencing atau sfingter uretra eksternum akibat stroke.
11. Perdarahan gastrointestinal. Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat
merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke. Dianjurkan
untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini.
12. Dehidrasi. Penyebabnya dapat gangguan menelan, imobilitas, gangguan komunikasi
dll.
13. Hiponatremi. Mungkin karena kehilangan garam yang berlebihan.
14. Hiperglikemia. Pada 50% penderita tidak berhubungan dengan adanya diabetes
melitus sebelumnya. Umumnya berhubungan dengan prognosa yang tidak baik.
15. Hipoglikemia. Dapat karena kurangnya intake makanan dan obat-obatan.

I. PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:
1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh
dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil
2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan
ogsigen sesuai kebutuhan
3. Tanda-tanda vital diusahakan stabil
4. Bed rest
5. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
6. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi
8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan
glukosa murni atau cairan hipotonik
9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat
meningkatkan TIK
10. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun
atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT
11. Penatalaksanaan spesifik berupa:
a. Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan, obat
hemoragik
b. Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan pembedahan,
menurunkan TIK yang tinggi
2. RANGE OF MOTION EXCERCICE
A. Definisi ROM
Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan
atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara
normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry,
2005).
Range of motion adalah gerakan dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi
yang bersangkutan (Suratun, dkk, 2008).
Latihan range of motion (ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan batas atau
batasan gerakan sendi yang normal dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan
ataupun untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal (Arif, M, 2008).

B. Klasifikasi latihan ROM


- Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di lakukan pasien dengan bantuan
perawat pada setiap-setiap gerakan.
- Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien
dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan
rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis
ekstermitas total (suratun, dkk, 2008).
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian
dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan
menggerakkan kaki pasien. Sendi yang digerakkan pada ROM pasif adalah persendian
tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu
melaksanakannya secara mandiri.
- Latihan ROM aktif adalah Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien
dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak
sendi normal. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan
cara menggunakan otot-ototnya secara aktif . Sendi yang digerakkan pada ROM aktif
adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri
secara aktif.
C. Prinsip Dasar Latihan ROM
1. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali sehari
2. ROM di lakukan berlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien.
3. Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur pasien, diagnosa,
tanda-tanda vital dan lamanya tirah baring.
4. Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan ROM adalah leher, jari, lengan,
siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.
5. ROM dapat di lakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-bagian yang
di curigai mengalami proses penyakit.
6. Melakukan ROM harus sesuai waktunya. Misalnya setelah mandi atau perawatan
rutin telah di lakukan.
D. Tujuan ROM
1. Mempertahankan atau memelihara fleksibilitas dan kekuatan otot
2. Memelihara mobilitas persendian
3. Merangsang sirkulasi darah
4. Mencegah kelainan bentuk, kekakuan dan kontraktur
5. Mempertrahankan fungsi jantung dan pernapasan
E. Manfaat ROM
1. Memperbaiki tonus otot
2. Meningkatkan mobilisasi sendi
3. Memperbaiki toleransi otot untuk latihan
4. Meningkatkan massa otot
5. Mengurangi kehilangan tulang
F. Indikasi ROM
• Stroke atau penurunan tingkat kesadaran
• Kelemahan otot
• Fase rehabilitasi fisik
• Klien dengan tirah baring lama
G. Jenis Gerakan
Macam-macam gerakan ROM, yaitu:
a. Fleksi, yaitu berkurangnya sudut persendian.
b. Ekstensi, yaitu bertambahnya sudut persendian.
c. Hiperekstensi, yaitu ekstensi lebih lanjut.
d. Abduksi, yaitu gerakan menjauhi dari garis tengah tubuh.
e. Adduksi, yaitu gerakan mendekati garis tengah tubuh.
f. Rotasi, yaitu gerakan memutari pusat dari tulang.
g. Eversi, yaitu perputaran bagian telapak kaki ke bagian luar, bergerak membentuk sudut
persendian.
h. Inversi, yaitu putaran bagian telapak kaki ke bagian dalam bergerak membentuk sudut
persendian.
i. Pronasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan bergerak ke
bawah.
j. Supinasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan bergerak keatas.
k. Oposisi, yaitu gerakan menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan
yang sama.
H. Macam-macam ROM
1) ROM tulang leher:
- Sentuhlah dagu ke dada
- Lihat arah langit-langit
- Sentuhlah telinga ke masing-masing bahu
- Sentuhlah dahu ke masinng-masung bahu
2) ROM tulang lumbal
- Sentuhlah kaki dengan jari-jari tangan
- Rentangkan ke arah belakang dengan lambat
- Rentangkan ke arah kiri dengan kanan
- Putar bahu ke arah kanan dan kiri
3) ROM siku
- Sentuhlah tangan ke bahu
- Luruskan siku
4) ROM tangan
- Bengkokan tangan ke arah baawh
- Bengkokan tangan ke arah atas
- Bengkokan tangan ke arah luar (kelingking)
- Bengkokoan tangan ke ibu jari
5) ROM panggul klien dalam posisi berbaring
- Tekuk lutut gerakkan ke arah dada
- Pertahankan kaki lurus gerakkan menjauhi dada
- Tengkurp, kaki diangkat
6) ROM lutut
- Bengkokan lutut
- Luruskan lutut
7) ROM angkle
- Gerakkan kaki ke atas
- Gerakkan kaki menuju lantai
- Berjalan dengan sisi luar kaki
- Berjalan dengan jari-jari kaki

Gambar 1 :gerakan ROM kepala Gambar 2 : gerakan ROM lengan


I. Gerakan ROM Berdasarkan Bagian Tubuh
Menurut Potter & Perry, (2005), ROM terdiri dari gerakan pada persendian sebagai
berikut :
1. Leher, Spina, Serfikal
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 45°
Ekstensi Mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 45°
Hiperektensi Menekuk kepala ke belakang sejauh rentang 40-45°
mungkin,
Fleksi lateral Memiringkan kepala sejauh mungkin rentang 40-45°
sejauh mungkin kearah setiap bahu,
Rotasi Memutar kepala sejauh mungkin dalam rentang 180°
gerakan sirkuler,

2. Bahu
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menaikan lengan dari posisi di samping rentang 180°
tubuh ke depan ke posisi di atas kepala,
Ekstensi Mengembalikan lengan ke posisi di rentang 180°
samping tubuh,
Hiperektensi Mengerkan lengan kebelakang tubuh, rentang 45-60°
siku tetap lurus,
Abduksi Menaikan lengan ke posisi samping di rentang 180°
atas kepala dengan telapak tangan jauh
dari kepala,
Adduksi Menurunkan lengan ke samping dan rentang 320°
menyilang tubuh sejauh mungkin,
Rotasi dalam Dengan siku pleksi, memutar bahu rentang 90°
dengan menggerakan lengan sampai ibu
jari menghadap ke dalam dan ke
belakang,
Rotasi luar Dengan siku fleksi, menggerakan rentang 90°
lengan sampai ibu jari ke atas dan
samping kepala,
Sirkumduksi Menggerakan lengan dengan lingkaran rentang 360°
penuh,

3. Siku
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakkan siku sehingga lengan rentang 150°
bahu bergerak ke depan sendi bahu dan
tangan sejajar bahu,
Ektensi Meluruskan siku dengan menurunkan rentang 150°
tangan,

4. Lengan bawah
Gerakan Penjelasan Rentang
Supinasi Memutar lengan bawah dan tangan rentang 70-90°
sehingga telapak tangan menghadap ke
atas,
Pronasi Memutar lengan bawah sehingga rentang 70-90°
telapak tangan menghadap ke bawah,

5. Pergelangan tangan
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakan telapak tangan ke sisi rentang 80-90°
bagian dalam lengan bawah,
Ekstensi Mengerakan jari-jari tangan sehingga rentang 80-90°
jari-jari, tangan, lengan bawah berada
dalam arah yang sama,
Hiperekstensi Membawa permukaan tangan dorsal ke rentang 89-90°
belakang sejauh mungkin,
Abduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke rentang 30°
ibu jari,
Adduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke rentang 30-50°
arah lima jari,

6. Jari- jari tangan


Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Membuat genggaman, rentang 90°
Ekstensi Meluruskan jari-jari tangan, rentang 90°
Hiperekstensi Menggerakan jari-jari tangan ke rentang 30-60°
belakang sejauh mungkin,
Abduksi Mereggangkan jari-jari tangan yang satu rentang 30°
dengan yang lain,
Adduksi Merapatkan kembali jari-jari tangan, rentang 30°

7. Ibu jari
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Mengerakan ibu jari menyilang rentang 90°
permukaan telapak tangan,
Ekstensi menggerakan ibu jari lurus menjauh dari rentang 90°
tangan,
Abduksi Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 30°
Adduksi Mengerakan ibu jari ke depan tangan, rentang 30°
Oposisi Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari
-
tangan pada tangan yang sama.

8. Pinggul
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Mengerakan tungkai ke depan dan rentang 90-120°
atas,
Ekstensi Menggerakan kembali ke samping rentang 90-120°
tungkai yang lain,
Hiperekstensi Mengerakan tungkai ke belakang rentang 30-50°
tubuh,
Abduksi Menggerakan tungkai ke samping rentang 30-50°
menjauhi tubuh,
Adduksi Mengerakan tungkai kembali ke
posisi media dan melebihi jika rentang 30-50°
mungkin,
Rotasi Memutar kaki dan tungkai ke arah
rentang 90°
dalam tungkai lain,
Rotasi luar Memutar kaki dan tungkai menjauhi
rentang 90°
tungkai lain,
Sirkumduksi Menggerakan tungkai melingkar -

9. Lutut
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Mengerakan tumit ke arah belakang rentang 120-130°
paha,
Ekstensi Mengembalikan tungkai kelantai, rentang 120-130°

10. Mata kaki


Gerakan Penjelasan Rentang
Dorsifleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari rentang 20-30°
kaki menekuk ke atas,
Plantarfleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari rentang 45-50°
kaki menekuk ke bawah,
11. Kaki
Gerakan Penjelasan Rentang
Inversi Memutar telapak kaki ke samping rentang 10°
dalam,
Eversi Memutar telapak kaki ke samping luar, rentang 10°

12. Jari-Jari Kaki


Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, rentang 30-60°
Ekstensi Meluruskan jari-jari kaki, rentang 30-60°
Abduksi Menggerakan jari-jari kaki satu rentang 15°
dengan yang lain,
Adduksi Merapatkan kembali bersama-sama, rentang 15°

Kriteria hasil pemeriksaan MMT (Manual Muscle Testing)


1. Normal (5) mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh, melawan gravitasi, dan
melawan tahanan maksimal.
2. Good (4) mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh, melawan gravitasi, dan
melawan tahanan sedang (moderat).
3. Fair (3) mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh dan melawan gravitasi tanpa
tahanan.
4. Poor (2) mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh tanpa melawan gravitasi.
5. Trace (1) tidak ada gerakan sendi, tetapi kontraksi otot dapat dipalpasi
6. Zero (0) kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi
(Warfield, Carol . 1996)

3. ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN SYSTEM


PERSYARAFAN STROKE HAEMMORAGIC DENGAN KELEMAHAN FUNGSI
OTOT PASCA STROKE HAEMMORAGIC
A. Pengkajian
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register,
diagnosa medis.
2) Keluhan utama
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan tidak
dapat berkomunikasi.
3) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien
sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan
kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan atau gangguan
fungsi otak yang lain.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma
kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan.
5) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes militus.

Pengumpulan Data
a. Aktivitas/istirahat:
Klien akan mengalami kesulitan aktivitas akibat kelemahan, hilangnya rasa, paralisis,
hemiplegi, mudah lelah, dan susah tidur.
b. Sirkulasi
Adanya riwayat penyakit jantung, katup jantung, disritmia, CHF, polisitemia. Dan
hipertensi arterial.
c. Integritas Ego.
Emosi labil, respon yang tak tepat, mudah marah, kesulitan untuk mengekspresikan
diri.
d. Eliminasi
Perubahan kebiasaan Bab. dan Bak. Misalnya inkoontinentia urine, anuria, distensi
kandung kemih, distensi abdomen, suara usus menghilang.
e. Makanan/cairan :
Nausea, vomiting, daya sensori hilang, di lidah, pipi, tenggorokan, dysphagia
f. Neuro Sensori
Pusing, sinkope, sakit kepala, perdarahan sub arachnoid, dan intrakranial. Kelemahan
dengan berbagai tingkatan, gangguan penglihatan, kabur, dyspalopia, lapang pandang
menyempit. Hilangnya daya sensori pada bagian yang berlawanan dibagian
ekstremitas dan kadang-kadang pada sisi yang sama di muka.
g. Nyaman/nyeri
Sakit kepala, perubahan tingkah laku kelemahan, tegang pada otak/muka
h. Respirasi
Ketidakmampuan menelan, batuk, melindungi jalan nafas. Suara nafas, whezing,
ronchi.
i. Keamanan
Sensorik motorik menurun atau hilang mudah terjadi injury. Perubahan persepsi dan
orientasi Tidak mampu menelan sampai ketidakmampuan mengatur kebutuhan nutrisi.
Tidak mampu mengambil keputusan.
j. Interaksi sosial
Gangguan dalam bicara, Ketidakmampuan berkomunikasi.

B. DiagnosisKeperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d aterosklerosis aortik. (Nanda,
Domain 4, 00201, hal. 252)
2. Hambatan komunikasi verbal b.d gangguan sistem saraf pusat. (Nanda Domain 5,
00051, hal. 278)
3. Defisit perawatan diri; mandi b.d kerusakan neuromuskular. (Nanda Domain 4, 00108,
hal. 258)
4. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskular. (Nanda Domain 4, 00085, hal.
232)
5. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan disfungsi neuromuskular (Nanda
Domain 4, 00032, hal. 243)
6. Risiko kerusakan integritas kulit b.d gangguan sirkulasi (Nanda, Domain 11, 00047,
hal. 426)
7. Risiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran (Nanda, Domain 11,
00039, hal. 407)
8. Risiko cedera berhubungan dengan hipoksia jaringan (Nanda, Domain 11, 00035, hal.
412)

C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosis Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
4 Hambatan mobilitas Setelah dilakukan Exercise therapy : ambulation
fisik b.d kerusakan tindakan 1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat
neuromuskular. keperawatan, respon pasien saat latihan
(Nanda Domain 4, diharapkan suplai
2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana
00085, hal. 232) aliran darah keotak ambulasi sesuai dengan kebutuhan
Setelah dilakukan lancar dengan
3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan
tindakan keperawatan kriteria hasil: dan cegah terhadap cedera
selama 3x24 jam, NOC : 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik
diharapkan klien dapat Mobility Level ambulasi
melakukan pergerakan 5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
fisik dengan kriteria 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara
hasil : mandiri sesuai kemampuan
7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs
8. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan

1. DX 1 Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d aterosklerosis aortik. (Nanda,


Domain 4, 00201, hal. 252)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan suplai aliran
darah ke otak lancar dengan kriteria hasil:
NOC :
Circulation status
Tissue Prefusion : cerebral
Kriteria Hasil :
a. Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :
· Tekanan sistol dandiastol dalam rentang yang diharapkan.
· Tidak ada ortostatikhipertensi.
· Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg).
b. Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:
· Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan.
· Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi.
· Memproses informasi.
· Membuat keputusan dengan benar.
c. Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran membaik,
tidak ada gerakan gerakan involunter
NIC :
Monitoring (Monitor tekanan intrakranial)
1. Berikan informasi kepada keluarga
2. Set alarm
3. Monitor tekanan perfusi serebral
4. Catat respon pasien terhadap stimuli
5. Monitor tekanan intrakranial pasien dan respon neurology terhadap aktivitas
6. Monitor jumlah drainage cairan serebrospinal
7. Monitor intake dan output cairan
8. Restrain pasien jika perlu
9. Monitor suhu dan angka WBC
10. Kolaborasi pemberian antibiotik
11. Posisikan pasien pada posisi semifowler
12. Minimalkan stimuli dari lingkungan
Terapi oksigen
1. Bersihkan jalan nafas dari secret
2. Pertahankan jalan nafas tetap efektif
3. Berikan oksigen sesuai intruksi
4. Monitor aliran oksigen, kanul oksigen dan sistem humidifier
5. Beri penjelasan kepada klien tentang pentingnya pemberian oksigen
6. Observasi tanda-tanda hipo-ventilasi
7. Monitor respon klien terhadap pemberian oksigen
8. Anjurkan klien untuk tetap memakai oksigen selama aktifitas dan tidur

2. DX 2 Hambatan komunikasi verbal b.d gangguan sistem saraf pusat. (Nanda Domain 5,
00051, hal. 278)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan klien mampu
untuk berkomunikasi lagi dengan kriteria hasil:
NOC:
Komunikasi: Mengekspresikan
1. Dapat menjawab pertanyaan yang diajukan perawat
2. Dapat mengerti dan memahami pesan-pesan melalui gambar
3. Dapat mengekspresikan perasaannya secara verbal maupun nonverbal
NIC:
Mendengar Aktif
1. Libatkan keluarga untuk membantu memahami atau memahamkan informasi dari dan
ke klien
2. Dengarkan setiap ucapan klien dengan penuh perhatian
3. Gunakan kata-kata sederhana dan pendek dalam komunikasi dengan klien
4. Dorong klien untuk mengulang kata-kata
5. Berikan arahan / perintah yang sederhana setiap interaksi dengan klien
6. Programkan speech-language terapi
7. Lakukan speech-language terapi setiap interaksi dengan klien

3. DX 3 Defisit perawatan diri; mandi b.d kerusakan neuromuskular. (Nanda Domain 4,


00108, hal. 258)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam, diharapkan kebutuhan mandiri
klien terpenuhi, dengan kriteria hasil :
NOC :
Self care : Activity of Daily Living (ADLs)
Kriteria Hasil :
1. Klien terbebas dari bau badan
2. Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs
3. Dapat melakukan ADLS dengan bantuan
NIC :
Self Care assistance : ADLs
1. Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.
2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri, berpakaian,
berhias, toileting dan makan.
3. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care.
4. Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai
kemampuan yang dimiliki. Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri
bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
6. Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan bantuan
hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
7. Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
8. Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-hari.
9.
4. DX 4 Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskular. (Nanda Domain 4, 00085,
hal. 232)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan klien dapat
melakukan pergerakan fisik dengan kriteria hasil :
NOC
Mobility Level
Kriteria Hasil :
1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah
4. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker)
NIC :
Exercise therapy : ambulation
1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
8. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

5. DX 5 Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan disfungsi neuromuskular (Nanda


Domain 4, 00032, hal. 243)
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan pola nafas pasien efektif
dengan kriteria hasil :
Menujukkan jalan nafas paten (tidak merasa tercekik, irama nafas normal, frekuensi nafas
normal,tidak ada suara nafas tambahan
NOC :
Respiratory status : Airway patency
Kriteria Hasil :
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu
(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal.
3. Tanda tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan
NIC :
Airway Management
1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10.Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
11.Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
12.Monitor respirasi dan status O2
Oxygen Therapy
1. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
6. DX 6 Risiko kerusakan integritas kulit b.d gangguan sirkulasi (Nanda, Domain 11, 00047, hal.
426)
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan pasien mampu mengetahui
dan mengontrol resiko dengan kriteria hasil :
NOC :
Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit
3. Perfusi jaringan baik
4. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
sedera berulang
5. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
NIC : Pressure Management
1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
2. Hindari kerutan padaa tempat tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
8. Monitor status nutrisi pasien
9. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
7. DX 7 Risiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran (Nanda, Domain 11,
00039, hal. 407)
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan tidak terjadi aspirasi pada
pasien dengan kriteria hasil :
NOC :
Aspiration control
Kriteria Hasil :
1. Klien dapat bernafas dengan mudah, tidak irama, frekuensi pernafasan normal
2. Pasien mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan mampumelakukan oral hygiene
3. Jalan nafas paten, mudah bernafas, tidak merasa tercekik dan tidak ada suara nafas abnormal
NIC:
Aspiration precaution
1. Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dan kemampuan menelan
2. Monitor status paru
3. Pelihara jalan nafas
4. Lakukan suction jika diperlukan
5. Cek nasogastrik sebelum makan
6. Hindari makan kalau residu masih banyak
7. Potong makanan kecil kecil
8. Haluskan obat sebelumpemberian
9. Naikkan kepala 30-45 derajat setelah makan
8. DX 8 Risiko cedera berhubungan dengan hipoksia jaringan (Nanda, Domain 11, 00035, hal. 412)
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan tidak terjadi trauma pada
pasien dengan kriteria hasil:
NOC :
Risk Kontrol
Kriteria Hasil :
1. Klien terbebas dari cedera
2. Klien mampu menjelaskan cara atau metode untukmencegah injuria tau cedera
3. Klien mampu menjelaskan factor resiko dari lingkungan/perilaku personal
4. Mampumemodifikasi gaya hidup untukmencegah injury
5. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
6. Mampu mengenali perubahan status kesehatan
NIC : Environment Management (Manajemen lingkungan)
1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien
dan riwayat penyakit terdahulu pasien
3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan perabotan)
4. Memasang side rail tempat tidur
5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien.
7. Membatasi pengunjung
8. Memberikan penerangan yang cukup
9. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
10.Mengontrol lingkungan dari kebisingan
11.Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
12.Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status kesehatan
dan penyebab penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, L.J. 2003. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC
2. Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
3. Johnson, M., et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). New Jersey: Upper Saddle River
4. Mc Closkey, C.J., et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). New Jersey: Upper Saddle
River
5. Herdman, T. Heather.et all. 2015. Panduan Diagnosis Keperawatan NANDA 2015-20017. Jakarta: EGC.
6. Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid Kedua. Jakarta: Media Aesculapius FKUI
7. Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta: Salemba
Medika
8. Smeltzer, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2. alih
bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta: EGC.
9. Tim SAK Ruang Rawat Inap RSUD Wates. 2006. Standard Asuhan Keperawatan Penyakit Saraf.
Yogyakarta: RSUD Wates Kabupaten Kulonprogo
10. Setyopranoto, Ismail. 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. Yogyakarta: Kepala Unit Stroke RSUP
Dr Sardjito/ Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas klien
Nama : Entjeng Sopiandi TN
TTL/Umur : 06 Agustus 1945/73 tahun 3 bulan 7 hari
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Kp. Mekar Luyu RT/RW 003/03, mekar Galih,
Terogong kidul, Kabupaten Garut
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Penanggung jawab : Surya Alam
No MedRek : 00125672
No Register : 18111330999
Tanggal pengkajian : 21 November 2018 Jam 12.30 WIB
2. Keluhan utama
Keluhan saat dikaji pasien datang dengan keluhan ekstrimitas kaku dan tidak mampu digerakan
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dan berbicara sedikit pelo.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien terkena serangan stroke 1 bulan sebelum masuk rumah sakit dan mendapatkan perawatan
di rumah sakit di garut, sebelumnya memang terdapat gejala kelumpuhan pada kedua ekstrimitas
atas bawah saat menjalani perawatan saat terkena serangan stroke 1 bulan lalu.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pasien menderita penyakit darah tinggi sejak 5 tahun lalu tidak terkontrolndan jarang berobat
rutin kecuali jika ada keluhan.
5. Riwayat penyakit keluarga
Orang tua pasien adalah penderita hipertensi dan DM
6. Pemeriksaan Fisik
- Tingkat Kesadaran
Kesadaran klien yaitu compos mentis (terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan reaksi
penglihatan, pendengaran dan perabaan normal).
- GCS :
M: 4
V:3
E:6
Nilai total 14
- Penampilan : Klien terlihat lemah
- Vital sign Tensi : 120/90 mmHg, suhu : 36,7° C, Nadi : 64 x/mnt, Respirasi : 24 x/mnt
a. Kepala
Bentuk Mesochepal, tidak ada luka dan jejas, rambut hitam, tidak ada oedem
b. Mata
Mata simetris kanan dan kiri, sclera tidak ikterik, konjungtiva anemis, kedua pupil miosis
diameter 4 mm, reflek pupil +/-.
c. Telinga
Kedua telinga simetris, tidak ada jejas, bersih, dan tidak ada serumen
d. Hidung
Tidakadakelainan bentuk, tidak ada secret di hidung, tidak ada napas cuping hidung
e. Mulut
Bibir tidak pucat, tidak Nampak cyanosis.
f. Leher
Tidak terdapat pembesaran kelenjar limfe dan tiroid, tidak terjadi kaku kuduk.
g. Dada
Bentuk dada simetris, kulit normal, tidakada kelainan
h. Abdomen
Bentuk simetris, tidak ada ascites, tidak teraba masa, palpasi teraba hepar,bising usus normal 12-
13 x/menit
i. Ekstrimitas atas
Pergerakan terbatas dengan adanya kelemahan otot, terpasang infus di lengan kiri.
j. Ekstrimitas bawah
Tidak ada odema, bentuk simetris, pergerakan terbatas karena kelemahan otot

1 2
1 1
Kekuatan ROM dengan skala MMT

Pengumpulan data
1. Aktivitas/istirahat:
Setelah menjalani perawatan akibat serangan stroke 1 bulan lalu, aktifitas pasien sebagian
dibantu oleh keluarga nya karena keterbatasan kekuatan ekstimitas karena kelumpuhan walaupun
setelah keluar dari perawatan pasien sudah rutin menjalani fisioterapi
2. Sirkulasi
Riwayat hipertensi yang tidak terkontrol sering membuat pasien merasa pusing tiba-tiba, tensi
pasien pun lebih sering di anggka yang tinggi
3. Integritas Ego.
Emosi labil, respon yang tak tepat, mudah marah, kesulitan untuk mengekspresikan diri.
4. Eliminasi
Tidak ada keluhan dari pasien kaitannya dengan pola eliminasi
5. Makanan/caitan :
Tidak ada keluhan soal makan pasien walau pun pasien saat ini menjalani diet dengan bubur atau
makanan yang lunak
6. Neuro Sensori
Pasien sering mengeluh Pusing, sakit kepala, kelemahan otot dengan berbagai tingkatan,
hilangnya daya sensori pada bagian yang berlawanan dibagian ekstremitas dan kadang-kadang
pada sisi yang sama di muka, berbicara pun sedikit pelo..
7. Nyaman/nyeri
Sakit kepala, perubahan tingkah laku kelemahan, tegang pada otak/muka
8. Respirasi
Tidak ada keluhan pasien kaitannya dengan sistem respirasi
9. Keamanan
Sensorik motorik menurun atau hilang mudah terjadi injury. Perubahan kekuatan otot membuat
keterbatasan aktifitas sehingga berisiko pada pasien mengalami injury.

7. Laboratorium
Hb 12 mmhg
Leuco 5600 dl
HT 37
Trombo 269
GDS 92 dl
SGOT/SGPT 15/11
Ureum 17
Cretinin 0,7
8. CT Scan : hasil pemeriksaan CT brain di dapat " lesi hipodens berbatas tidak tegas pada
parenkim cerebri daerah temporalis kiri d/d infark.
9. Pengobatan
- NBF dalam RL 500 cc/12 jam
- Citicolin inj 2x500 mg
- Ketorolac inj 3x1 amp
- Omz inj 2x1amp
10. Data focus
Data fokus Problem Etiologi
DS : klien mengatakan Domain 4 Actifity/Rest Hematoma cerebral
tangan dan kaki susah
untk digerakan Kelas 2 aktifitas /latihan
DO ; Vasospasme cerebral
- Ekstrimitas atas tidak
mampu melalukan rentang
gerak sampe 90°, Ischemia/infark cerebral
Ekstrimitas bawah tidak
mampu melakukan rentang
gerak sampe 100° (skala Deficit neurologis
Potter)
- Kekuatan ekstrimitas atas
2/1, ekstrimitas bawah 1/1 Kelemahan otot
(pengukuran MMT)

Gangguan aktifitas

DS : pasien mengaku Domain 5 : Hematoma cerebral


susah untuk mengucapkan perception/cognition
kata, lidah nya
sepertiterlipat Kelas 5 : comunication Vasospasme cerebral
DO : terdengar bicara pelo
dan tidak jelas
Ischemia/infark cerebral

Area Groca

Kerusakan Nervus VII dan


XII

Gangguan komunikasi
verbal

DS : pasien merasa sedikit Domain 4 : Activity/Rest Perdarahan sub arachnoid


sesak saat bernapas Kelas 4 : Inefective
breathing pattern
DO : Respirasi 24 x/menit Hematoma cerebral
Terpasang suplemen O2 4
l/mnt
TIK meningkat

Menekan pusat pernapasan

Sesak napas

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskular. (Nanda Domain 4, 00085, hal. 232)
Kerusakan mobilitas fisik
2. Kerusakan komunikasi verbal apasia berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke otak (Nanda
Domain 5, 00051, hal. 278)
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran (Nanda Domain 4, 00032, hal.
243)

C. RENCANA DAN IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Implementasi


Keperawatan Keperawatan
1 Kerusakan Joint Movement : NIC : • Memantau tingkat
mobilitas fisik b.d Active Mobility Level Exercise therapy : kemampuan
kerusakan - Self care : ADLs ambulation mobilisasi klien
neurovaskuler - Transfer performance - Monitoring vital • Memantau kekuatan
sign otot
Kriteria Hasil : sebelm/sesudah • Merubah posisi tiap 2
- Klien meningkat dalam latihan dan lihat jam
aktivitas fisik respon pasien saat • Memasang trochanter
- Mengerti tujuan dari latihan roll pada daerah yang
peningkatan mobilitas - Konsultasikan lemah
- Memverbalisasikan dengan terapi • Melakukan ROM
perasaan dalam fisik tentang pasif atau aktif sesuai
meningkatkan kekuatan rencana ambulasi kemampuan dan jika
dan kemampuan sesuai dengan TTV stabil
berpindah kebutuhan • Melibatkan keluarga
- Memperagakan - Bantu klien untuk dalam memobilisasi
penggunaan alat Bantu menggunakan klien
untuk mobilisasi tongkat saat
(walker) berjalan dan cegah • Mengkolaborasi:
terhadap cedera fisioterapi
- Ajarkan pasien • Melatih pasien dalam
atau tenaga pemenuhan
kesehatan lain kebutuhan ADLs
tentang teknik secara mandiri sesuai
ambulasi kemapuan
- Kaji kemampuan
pasien dalam
mobilisasi
- Latih pasien dalam
pemenuhan
kebutuhan
ADLs
secara mandiri
sesuai
kemampuan
- Dampingi dan
Bantu pasien saat
mobilisasi dan
bantu penuhi
kebutuhan ADLs
pasien.
- Berikan alat
Bantu jika klien
memerlukan
2 Kerusakan Setelah dilakukan - Libatkan 1. Mengevaluasi sifat
komunikasi verbal tindakan keperawatan, keluarga untuk dan beratnya afasia
b.d penurunan diharapkan klien membantu pasien, jika berat
sirkulasi ke otak mampu untuk memahami hindari memberi
berkomunikasi lagi /memahamkan isyarat non verbal
dengan kriteria hasil: informasi dari ke 2. Melakukan
- Dapat menjawab klien komunikasi dengan
pertanyaan yang - Dengarkan setiap wajar, bahasa jelas,
diajukan perawat ucapan klien sederhana dan bila
- Dapat mengerti dan dengan penuh perlu diulang
memahami pesan-pesan perhatian 3. Mendengarkan
melalui gambar - Gunakan kata-kata dengan tekun jika
- Dapat mengekspresikan sederhana dan pasien mulai
perasaannya secara pendek dalam berbicara
verbal maupun komunikasi dengan4. Berdiri di dalam
nonverba klien lapang pandang
- Dorong klien untuk pasien pada saat
mengulang kata- bicara
kata 5. Melatih otot bicara
- Berikan arahan / secara optimal
perintah yang 6. Melibatkan keluarga
sederhana setiap dalam melatih
interaksi dengan komunikasi verbal
klien pada pasien
- Programkan 7. Mengkolaborasi
speech-language dengan ahli terapi
teraphy wicara
- Lakukan speech-
language teraphy
setiap interaksi
dengan klien
3 Ketidakefektifan Setelah dilakukan NIC : 1. mengatur posisi tidur
pola napas tindakan perawatan, Airway pasien semi fowler
berhubungan diharapkan pola nafas Management 2. Membuka jalan napas
dengan disfungsi pasien efektif dengan • Buka jalan nafas, pasien dengan
neuromuskular kriteria hasil : guanakan teknik maneuver Cint Lift
Menujukkan jalan nafas chin lift atau jaw 3. Mengajarkan pasien
paten (tidak merasa thrust bila perlu batuk efektif untuk
tercekik, irama nafas • Posisikan pasien megeluarkan secret
normal, frekuensi nafas untuk 4. Melakukan fisioterapi
normal,tidak ada suara memaksimalkan dada
nafas tambahan ventilasi 5. Monitor respirasi tiap
NOC : • Identifikasi pasien 2 jam
Respiratory status : perlunya 6. Kolaborasi pemberian
Airway patency pemasangan alat suplemen O2 dengan
Kriteria Hasil : jalan nafas buatan konsentrasi 4 l/mnt
1. Mendemonstrasikan • Pasang mayo bila 7. Monitor kecemeasan
batuk efektif dan suara perlu pasien atas adanya
nafas yang bersih, tidak• Lakukan fisioterapi oksigenasi
ada sianosis dan dada jika perlu
dyspneu (mampu • Keluarkan sekret
mengeluarkan sputum, dengan batuk atau
mampu bernafas suction
dengan mudah, tidak
• Auskultasi suara
ada pursed lips) nafas, catat adanya
2. Menunjukkan jalan suara tambahan
nafas yang paten (klien
• Lakukan suction
tidak merasa tercekik,
pada mayo
irama nafas, frekuensi
• Berikan
pernafasan dalam
bronkodilator bila
rentang normal, tidak
perlu
ada suara nafas
abnormal. • Berikan pelembab
3. Tanda tanda vital udara Kassa basah
dalam rentang normal NaCl Lembab
(tekanan darah, nadi, • Atur intake untuk
cairan
pernafasanan mengoptimalkan
keseimbangan.
• Monitor respirasi
dan status O2

Oxygen Therapy
• Bersihkan mulut,
hidung dan secret
trakea
• Pertahankan jalan
nafas yang paten
• Atur peralatan
oksigenasi
• Monitor aliran
oksigen
• Pertahankan posisi
pasien
• 6Observasi adanya
tanda tanda
hipoventilasi
• Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap
oksigenasi.

D. Catatan perkembangan dan evaluasi


No Tanggal/Jam Evaluasi Paraf
DX
Tanggal : S : pasien mengatakan pergerakan ekstrimitas atas
21 Nov 2018 masih terasa kaku, ekstrimitas bawah juga
merasa
berat untuk digerakan, kesemutan
O : rentang nilai ROM ekstrimitas atas 1/2 dengan
1 skala MMT atau < 90° dengan skala Potter
A : masalah belum teratasi
Jam 14.00 P : intervensi dilanjutkan
Jam 14.05 - Memeriksa tanda vital
Jam 16.00 - Memberikan obat injeksi
Jam 16.30 - Merubah posisi pasien
- Melibatkan keluarga pasien dalam
- Melakukan ROM excercise
S : Pasien dan keluarga mengatakan bahwa
bicara pasien masih kurang jelas dan sedikit
pelo
O : Komunikasi pasien masih terbatas karena saat
berbicara opasien masih terdengar pelo
A : masalah belum teratasi
P : Tingkatkan Intervendi
2 Jam 14.00 - Menganalisa tingkat kejelasan bicara pasien
Jam 15.00 - Melatih N. VII dengan cara mengajak pasien untuk
lebih aktif dalam berbicara
Jam 16.00 - Memberikan obat suntik sesuai advis
Jam 17.00 - Melibatkan pasien dalam peningkatan durasi
berkomunikasi sehingga N. VII dan N XII pasien
lebih terlatih

S : pasien mengeluh sedikit sesak dan agak sulit


bernapas
O : Pola napas sedikit cepat, R : 24 x/mnt
A : Masalah belum teratasi
P : Tingkatkan Intervensi
Jam 15.00 - Memantau kebutuhan oksigen pasien
3 Jam 15.15 - Mengatur posisi tidur pasien
Jam 16.00 - Memberikan obat suntik atas advis
Jam 16.15 - Melanjutkan fisioterapi dada pada pasien
Jam 17.00 - Mengajarkan keluarga pasien dan keluarga tentang
batuk efektif dan tentang fisioterapi dada
Tanggal : S : Pasien mengatakan kesemutan sudah
22 Nov 2018 mulai berkurang, telapak tangan sudah
mulai lemas dan
mampu menggerakan jari-jari tangan
O : Rentang nilai ROM ekstrimitas atas 2/2
dengan skala MMT atau < 70-90° dengan skala
1 Potter ekstrimitas bawah mendekati 100°
dengan
skala potter
A : Masalah teratasi sebagian
P : Tingkatkan intervensi :
Jam 13.00 - Memeriksa tanda vital pasien
Jam 13.05 - Memonitor posisi infus pasien
Jam 14.00 - Memantau tingkat kemampuan mobilisasi klien
Jam 16.00 - Memberikan obat injeksi sesuai advis
- Melanjutkan Melatih pasien dalam teknik ROM
exercise.
Jam 17.00 - Memotivasi dan membantu pasien dalam
melakukan pemenuhan ADLs
S : Pasien dan keluarga mengatakan bahwa
bicara pasien mulai sedikit jelas dan
pelo berkurang
O : Komunikasi dan kalimat yang diucapkan pasien
sedikit lebih lancar
2 A : Masalah teratasi
P : Lanjutkan intervensi
Jam 15.00 - Menganalisa tingkat kejelasan bicara pasien
Jam 15.10 - Melatih N. VII dengan cara mengajak pasien untuk
lebih aktif dalam berbicara
Jam 16.00 - Memberikan obat suntik sesuai advis
Jam 17.00 - Melibatkan pasien dalam peningkatan durasi
berkomunikasi sehingga N. VII dan N XII pasien
lebih terlatih
S : Pasien mengeluh sesak berkurang
O : Pola napas normal, R : 20 x/mnt
A : Masalah teratasi
P : Lanjutkan Intervensi
Jam 14.00 - Memantau kebutuhan oksigen pasien
3 Jam 14.05 - Mengatur posisi tidur pasien
Jam 14.30 - Menurunkan konsentrasi oksigen nasal kanul
menjadi 2 l/mnt
Jam 16.00 - Memberikan obat suntik atas advis
Jam 17.00 - Melanjutkan fisioterapi dada pada pasien
Jam 17.00 - Mengajarkan keluarga pasien dan keluarga tentang
batuk efektif dan tentang fisioterapi dada
1 Tanggal : S : Pasien mengatakan kesemutan sudah hilang,
23 Nov 2018 telapak tangan sudah mulai lemas dan
mampu melipat jari-jari tangan
O : Rentang nilai ROM ekstrimitas atas 4/4
dengan skala MMT atau 80°
dengan skala Potter
ekstrimitas bawah mendekati 120°
dengan skala potter
A : Masalah teratasi sebagian
P : Tingkatkan intervensi :
Jam 14.00 - Memeriksa tanda vital pasien
- Memonitor posisi infus pasien
Jam 14.30 - Memantau tingkat kemampuan mobilisasi klien
Jam 16.00 - Memberikan obat injeksi sesuai advis
Jam 17.00 - Melanjutkan Melatih pasien dalam teknik ROM
exercise.
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari penyusunan makalah ini dapat di ambil satu kesimpulan bahwa penyakit stroke atau CVA
(Cerebro Vaskuler Accident) merupakan penyebeb kematian terbesar kedua setelah penyakit
jantung. Dalam kenyataan nya dijelaskan bahwa impact yang ditimbulkan dari kasus CVA
tersebut ternyata sangat lah luas
Hasil olah data dari pengkajian yang dulakikan dengan membandingkan dari studi literatur
ditemukan bahwa sekian banyak nya impact yang ditimbulkan ternyata bisa dilakukan
pencegahan atau bahkan dapat diatasi seandai nya mendapatkan penanganan yang baik
Dalam studi kasus ini didpatkan data dalam pengkajian bahwa pasien mengalami serangan CVA
yang ke dua sehingga pasien dan keluarga sudah mempunyai pengalaman dalam penanganan nya
sehingga pada serangan kali ini
Penulis menempatkan diagnosa keperawatan gangguan mobilitas fisik karena pada saat
dilakukan pengkajian pasien tidak mengalami hal yang lebih berat dikarenakan pengalaman dari
serangan CVA yang pertama, dan akhirnya masalah tersebut dapat teratasi seperti yang penulis
ungkap di awal bahwa ada beberapa masalah dari impact kasus CVA yang masih mungkin
teratasi.
Gangguan mobilitas fisik dapat terjadi karena adanya kerusakan dari cerebral, baik dari adanya
perdarahan arachnoid ataupun vasodilatasi cerebral yang mengakibatkan terjadinaya infark atau
ischemic di beberapa bagian cerebral.
Perencanaan keperawatan yang dilakukan dengan menggunakan teori keperawatan NANDA
aplikasi NIC dan NOC yang implementasi nya disesuaikan dengan kondisi pasien sehingga tidak
ditemukan kesenjangan.
Hasil akhir dari semua kegiatan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan menilai kondisi
pasien melalui catatan perkembangan setiap hari sebagai bahan evaluasi
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penyusunan makalah ini yang dilakukan dengan pengumpulan data melalui metode
ilmiah seperti observasi, studi literatur dan intervensi keperawatan disimpulkan bahwa impact
yang ditimbulkan dari serangan kasus CVA atau stroke sebenarnya dapat dicegah atau bahkan
mungkin bisa diatasi seandainya hal tersebut ditangani dengan benar. Yang diperlukan oleh
masyarakat sekarang ini adalah edukasi tentang apa dan bagaiman kasus Stroke atau CVA ini
terjadi sehingga masyarakat dapat mengantisipasi nya.
B. Saran
Sosialisasi tentang bahaya serangan kasus Stroke dan CVA perlu lebih ditingkatkan lagi
sebagai pengetahuan kepada masyarakat. Untuk itu penulis berharap dengan adanya penulisan
makalah ini, bisa dijadikan bahan rujukan dalam memberikan edukasi kepada masyarakat

Anda mungkin juga menyukai