Anda di halaman 1dari 27

EVIDENCE BASED PRACTICE

LATIHAN RANGE OF MOTION (ROM) UNTUK


MENINGKATKAN KEKUATAN OTOT PADA PASIEN
STROKE DI RUANG RAJAWALI 2B RSUP Dr. KARIADI
SEMARANG

ARINA MA’RUFA
P1337420919110

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


DAN PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN – POLTEKKES KEMENKES
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stroke merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian
khusus dan dapat menyerang siapa saja dan kapan saja, tanpa memandang
ras, jenis kelamin, atau usia. Stroke adalah gangguan darah otak yang
menyebabkan defisit gangguan neurologis mendadak sebagai akibat iskemia
atau hemoragi sirkulasi saraf otak ( Sudoyo, 2009). Stroke merupakan salah
satu penyakit tidak menular yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Insidenya terus mengalami peningkatan, kurang lebih 15 juta orang setiap
tahun di seluruh dunia terserang stroke. Sebagian besar penderita stroke
berada di negara berkembang, termasuk Indonesia. Negara berkembang juga
menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke di seluruh dunia. Dua
pertiga dari penderita stroke terjadi di negara-negara berkembang. Terdapat
sekitar 13 juta korban stroke 1 baru setiap tahun, dimana sekitar 4,4 juta
diantaranya meninggal dalam 12 bulan. Angka kejadian stroke di Indonesia
meningkat tajam, bahkan saat ini Indonesia menempati urutan ketiga dengan
jumlah penderita stroke terbesar di Asia setelah penyakit jantung dan kanker
(Yastroki, 2009). Prevalensi stroke di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07
lebih tinggi dari tahun 2011 (0,03%) (Dinkes, 2013).
Stroke dapat berdampak pada barbagai fungsi tubuh, diantaranya adalah
defisit motorik berupa hemiparase. Stroke merupakan masalah kesehatan
utama di masyarakat. Kondisi abnormal pembuluh darah otak yang
dikarakteristikan oleh perdarahan didalam otak atau embolus atau thrombus
yang menyumbat di ateri, mengakibatkan iskemik jaringan tak yang pada
kondisi normal yang diperdarahi oeh pembuluh darah tersebut (Maria dkk,
2011)
Tanda dan gejala stroke yaitu adanya serangan defisit
neurologis/kelumpuhan fokal (hemiparesis), baal atau mati rasa sebelah badan
berkurang. Gejala lain yang muncul biasanya mulut mencong, bicara pelo,
sukar menelan, minum suka keselek, sulit berbahasa, bicara tidak lancar,
tidak memahami pembicaraan orang lain, tidak mampu membaca dan
menulis, tidak dapat berhitung, kepandaian menurun, menjadi pelupa,
penglihatan terganggu, tuli satu telinga atau pendengaran berkurang, menjadi
mudah tertawa dan menangis, berjalan menjadi sulit, banyak tidur, gerakan
tidak terkoordinir. Kelumpuhan tangan maupun kaki pada pasien stroke akan
mempengaruhi kontraksi otot. Berkurangnya kontraksi otot disebabkan
bekurangnya suplai darah ke otak belakang dan otak tengah, sehingga dapat
menghambat hantaran jaras-jaras utama antara otak dan medula spinalis, dan
secara total menyebabkan ketidak mampuan sensorik motorik yang abnormal.
Berkurangnya suplai darah pada pasien stroke salah satunya diakibatkan oleh
arterosklerosis. Dinding pembuluh akan kehilangan elastisitas dan sulit
berdistensi sehingga digantikan oleh jaringan fibrosa yang dapat merenggang
dengan baik. Menurunnya elastisitas dinding pemuluh darah mengakibatkan
terjadinya tahanan yang lebih besar pada aliran darah (Potter & Perry, 2009).
Penderita stroke perlu penanganan yang baik untuk mencegah kecacatan
fisik dan mental. Stroke pada penderita dewasa akan berdampak pada
menurunnya produktivitas dan bahkan terjadi beban pada orang lain.
Penderita post stroke membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkan dan
memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal akibat buruk dapat saja
terjadi cacat fisik, mental, ataupun sosial, untuk itu penderita stroke
membutuhkan program salah satunya mobilisasi persedian yaitu dengan
latihan range of motion.
Range of Motion (ROM) aktif adalah latihan yang diakukan untuk
mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan
menggerakan pesendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan
massa otot dan tonus otot. Latihan ROM adalah latihan gerakan sendi yang
memungkinkan terjadinya kontraksi dan peregangan otot, dimana klien
menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik
secara aktif ataupun pasif. Melakukan mobilisasi persendian dengan latihan
ROM dapat mencegah berbagai komplikasi seperti infeksi saluran
perkemihan, pneumonia aspirasi, nyeri karena tekanan, kontrakur,
tromboplebitis, dekubitus, sehingga mobilitas dini penting dilakukan secara
rutin dan kontinyu. Memberikan latihan ROM secara dini dapat
meningkatkan kekuatan otot dapat menstimulasi gerak sendi. Tujuan dari
latihan ROM yaitu untuk meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas
dan kekuatan otot, mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan,mencegah
kontraktur dan kekakuan pada sendi. Manfaat ROM untuk menentukan nilai
kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan pergerakan, memperbaiki
tonus otot, memperbaiki toleransi otot untuk latihan, mencegah terjadinya
kekakuan sendi, memperlancar sirkulasi darah.
Berdasarkan penjabaran tersebut penulis tertarik untuk melakukan
Evidence Based Nursing Practice (EBNP) berupa latihan Range of Motion
(ROM) dalam meningkatkan kekuatan otot pada pasein stroke di Ruang
Rajawali 2B RSUP Dr.Kariadi Semarang.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui respon pasien terhadap kekuatan otot dengan
penerapan Evidence Based Nursing Practice (EBNP) berupa latihan
Range of Motion (ROM) dalam mengatasi gangguan mobilitas fisik
pasien stroke di ruang Rajawali 2B RSUP Dr. Kariadi Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kekuatan otot sebelum dilakukan intervensi latihan
Range of Motion (ROM)
b. Mengetahui kekuatan otot setelah dilakukan intervensi latihan Range
of Motion (ROM)
c. Mengevaluasi respon pasien selama pemberian latihan Range of
Motion (ROM) terhadap kekuatan otot pasien stroke.
C. Manfaat
Dapat mengaplikasikan hasil Evidence Based Nursing Practice (EBNP)
khususnya studi kasus tentang pelaksanaan cara latihan gerak Range of
Motion (ROM) terhadap kekuatan otot pada pasien stroke.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Stroke
1. Definisi stroke
Stroke merupakan tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat
ganguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala- gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian,
tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler. Stroke juga dapat diartikan
sebagai gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran
darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam beberapa
detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda
yang sesuai dengan daerah yang terganggu sebagai hasil dari infark
cerebri (stroke iskemik) (Mardjono, 2009; WHO, 2014).
2. Klasifikasi Stroke
Menurut (AHA, 2015) Stroke secara umum terbagi menjadi dua
Jenis yaitu stroke hemoragi dan non hemoragi (iskemik). Stroke
hemoragi ialah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembulu darah
dalam otak yang terjadi di daerah tertentu sehingga memenuhi jaringan
otak, perdarahan ini disebabkan oleh adanya perdarahan di intra selebral
atau perdarahan subarakhroid. Adanya perdarahan ini akan menimbulkan
dampak berupa gejala neurogi karena adanya tekanan pada saraf dalam
tengkorak (AHA, 2015).
Stroke non hemoragi (iskemik) ialah suatu gangguan peredaran
darah otak yang terjadi karena adanya obstruksi atau adanya sumbatan
yang menyebabkan hipoksia di otak (AHA, 2015). Stroke jenis ini
biasa memeiliki tanda terjadi kelemahan (hemiparesis atau hemiplegia),
mual muntah, nyeri kepala (KIM, 2016)).
3. Etiologi Stroke
Menurut Smeltzer dan Bare (2010) penyebab terjadinya stroke
terbagi atas :
a. Trombosis yaitu adanya bekuan darah yang terjadi pada pembuluh
darah di otak dan leher. Penyebab paling umum dari stroke yaitu
arteriosklorosis selebral yang menyebabkan terjadinya trombosis.
b. Embolisme selebral adalah adanya material atau bekuan darah yang
berasal dari bagian tubuh lain dan dibawa ke otak. Embolus ini
terjadi karna adanya sumbatan pada arteri selebral tengah sehingga
merusak siklus selebral.
c. Iskemia adalah terjadinya penurunan suplai darah ke otak,
terjadi karena konstriksi atheroma di arteri.
4. Manifestasi Klinis Stroke
Manifestasi dari stroke iskemik dapat berupa hemiparesis
(kelemahan) dan hemiplegia (Kelumpuhan), kehilangan fungsi bicara dan
kehilangan kemampuan sensori. Dan pada proses ini terjadi hanya
berselang beberapa menit, jam, hari. Ciri dari jenis ini adalah onsetnya
yang lambat tergantung pada ukuran trombus dan hasil sumbatan
apakah parsial atau total (Utomo,2008)
Berbeda dengan stroke iskemik pada stroke emboli menifestasinya
terjadi secara tiba-tiba dan tanpa adanya tanda peringatan awal.
Manifestasi umumnya pada stroke hemoragik yaitu sakit kepala hebat,
vertigo, serta kelupuhan. Arteri serebral media adalah tempat paling
sering yang terjadi stroke iskemik. Defisit yang terjadi juga dipengaruhi
apakah mengenai sisi tubuh yang dominan atau tidak. Derajat defisit
juga sangat beragam mulai dari gangguan ringan hingga kehilangan
kemampuan fungsional yang serius (Utomo, 2008).
5. Gangguan pada pasien stroke
a. Kehilangan fungsi motoric
Defisit ini biasanya terjadi disebabkan adanya gangguan pada arteri
anterior atau media yang menyebabkan infrak pada jalur motorik di
korteks bagian frontal, yang diawali dengan suplai oksigen ke
otak terganggu yang mengakibatkan hipoksia maka otak
mengalami perubahan metabolik, kerusakan permanen serta
kematian sel otak yang salah satunya merupakan kemampuan
fungsi gerak atau motorik (AHA, 2010). Dalam fungsi mototrik
khususnya pada kekuatan menggenggam memiliki beberapa bagian
yang harus dimaksimalkan atau dilatih yakni pegangan,dimensi otot
dominasi tangan,mencengkram,serta menggenggam (Irfan,
2012).
b. Gangguan komunikasi
Gangguan khususnya pada komunikasi berupa afasia. Afasia
melibatkan semua aspek dalam berkomunikasi yaitu bicara,
membaca, menulis dan memahami bahasa pembicaraan. Beberapa
jenis afasia yaitu (gangguan dalam memahami kata-kata), afasia
broca (gangguan dalam mengekspresikan kata-kata), dan
afasiaglobal (gangguan dalam memahami dan mengekspresikan
kata-kata)
c. Gangguan sensori
Gangguan fungsi sensori terjadi ketika ada jalur sensori yang
terganggu yang diakibatkan ketidak adekuatnya pada arteri
arterior dan media. Pada gangguan sensori ini biasanya timbul yaitu
gangguan hemisensoryloss (kehilangan sensasi satu sisi tubuh),
parastesia (adanya sensasi panas atau nyeri yang menetap, merasa
berat, mati rasa, gatal-gatal), dan proprioception (kemampuan untuk
mengkordinasikan bagian tubuh dengan lingkungan eksternal)
d. Gangguan fungsi perilaku dan emosional
Perunahan prilaku pasca stroke tergantung dari area otak yang
mengalami gangguan. Pasien dengan stroke pada otak kiri atau
hemisfer dominan maka prilakunya lambat, berhati- hati dan tidak
terorganisasi. Dan jika terjadi pada otak kanan hemisfer non
dominan maka prilakunya impulsif, menurunnya perhatian, dan
kurang mempertimbangkan risiko.
e. Disfungsi kandung kemih
Stroke dapat menyebabkan gangguan pada fungsi kandung kemih
dan percernaan. Gangguan ini terjadi ketika syaraf di kandung kemih
mengirimkan impuls ke otak untuk memberikan informasi tentang
kandung kemih telah terisi urin, tetapi karna terjadi gangguan di otak
makan terjadi gangguan pada berkemih.
6. Faktor Risiko Stroke
Menurut AHA (2015) secara garis besar faktor risiko pada stroke
terbagi atas dua faktor yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (tidak
dapat diubah) dan faktor yang dapat dimodifikasi (dapat diubah).
Genetik, ras, usia, serta jenis kelamin merupakan faktor yang tidak dapat
dimodifikasi, sedangkan pola hidaup atau kebiasaan sesorang ialah faktor
yang dapat dimodifikasi (WHO, 2014,: AHA, 2015).
7. Diagnosis Stroke
Diagnosis stroke dapat ditegakkan dengan melihat perjalan penyakit
serta hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan. Pada pemeriksaan fisik
membantu menentukan lokasi yang mengalami kerusakan pada otak.
Pemeriksaan penunjang juga adalah poin penting yaitu berupa
computed tomography (CT) Scan sebagai standar dan magnetic
resonance imaging (MRI). Diluar dari itu juga dilakukan angiografi
untuk mengevaluasi susunan pembuluh darah serebral melaluin
kapilaroskopi (Misbach, 2007). Bila tidak memungkinkan dilakukan
pemeriksaan CT Scan ataupun MRI maka penggunaaan sisiraj stroke
skor (SSS).
8. Faktor-faktor Pemulihan Neurologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemulihan neurologis diantaranya
yaitu umur/ usia, jenis stroke, jenis kelamin, dan faktor resiko
(Utomo, 2008).
a. Pasien yang memiliki umur yang lebih tua maka pemulihan
neurologi akan lebih lama dibandingkan pasien yang memiliki usia
yang lebih muda hal ini dikarenakan semakin tua umur seseorang
maka fungsi organnya juga menurun (AHA, 2010)
b. Stroke non hemoragi tingkat pemulihannya lebih cepat
diabndingkan dengan stroke hemoragi, dilihat dari insiden bahwa
stroke hemoragi lebih sedikit dari stroke non hemoragi, namun dari
tingkat mortalitas lebih banyak stroke hemoragi (Utomo, 2008)
c. Secara spesifik jenis kelamin belum diketahui apakah
mempengaruhi pemulihan pasca stroke, namun dari kejadian stroke
penderita dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan
dengan penderita stroke yang berjenis kelamin perempuan (AHA,
2010).
d. Pasien pasca stroke yang dicurigai/ memiliki faktor resiko lebih
harus dikontrol untuk meminimalkan terjadinya stroke berulang.
Selain itu dengan adanya kontrol faktor resiko akan mempercepat
pemulihan pada pasien tersebut.
9. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat diberikan pada pasien dengan
stroke menurut (Pudiastuti, 2013) ialah :
a. Angiografi serebral pemeriksaan ini untuk menentukan
penyebab utama dari stroke seperti mendeteksi apakah terjadi
obstruksi arteri atau perdarahan.
b. Ultrasonografi Doppler untuk mengidentifikasi artiovena atau biasa
disebut dengan masalah sistem arteri pada karotis (munculnya plak).
c. CT Scan untuk menggambarkan terdapat edema, iskemia,
hematoma dan adanya infark.
d. Fungsi Lumbal untuk memeprlihatkan apakah terdapat tekanan
normal, hemoragik, malforasi arterial arterivena (MAV).
e. Sinar X untuk mengambarkan perubahan yang terjadi pada
kelenjar lempeng pineal yang berlawanan dari masa yang meluas.
f. EEG adalah menilai masalah yang didasarkan oleh gelombang otak
dan memeperlihatkan daerah lesi yang lebih jelas
10. Patofisiologi
Suplai oksigen ke otak sangatlah penting apabila terjadi hipoksia
seperti yang dialami oleh pasien stroke maka otak akan mengalami
perubahan metabolik, kerusakan permanen dan kematian sel otak hal ini
terjadi dalam 3-10 menit (AHA, 2010). Arteri selebral dan karotislah
pembuluh darah yang paling sering terkena serangan (Guyton & Hall,
2014)
Terjadinya gangguan pada peredaran darah di otak mengakibatkan
cedera otak yang terjadi dalam beberapa mekanisme yaitu pecahnya
dinding pembuluh darah yang akan mengakibatkan hemoragi, terjadinya
peneabalan pembuluh darah yang mengakibatkan penyempitan sehingga
aliran darah tidak adekuat yang selanjutnya menjadi iskemik, terjadinya
pembesaran sekelompok atau satu pembuluh darah yang akan
menekan jaringan otak (Smeltzer & Bare, 2010).
Terjadinya penyempitan pembuluh darah di otak bermula dari
perubahan pada aliran darah dan menjadi stenosis yang cukup hebat
sehingga melampaui batas krisis yang menjadikan pengurangan darah
secara drastis dan cepat. Obstruksi pada pembuluh darah arteri di otak
akan mengakibatkan reduksi disuatu area jaringan otak normal sehingga
masih mempunyai peredaran darah yang baik akan membatu supalai
darah melalui jalur anastomis. Perubahan pada bentuk akibat oklusi
pembuluh darah awalnya ialah gelap pada darah vena, dilatasi arteri,
penurunan kecepatan aliran darah (AHA, 2015).
11. Penatalaksanaan Stroke
Penatalaksanaan stroke terbagi atas 2 bagian besar yaitu fase akut
dan fase pasca akut. Fase akut biasanya saat keadaan medis belum
kembali stabil, namun lesi patologik sudah kembali pulih (Continuing
Medical Education, 2011). Pada fase ini tindakan keperawatan lebih
berfokus pada fungsi vital serta memfasilitasi perbaikan neuron. Menurut
Wirawan (2009) berakhirnya fase akut stroke yaitu 48 sampai 72 jam.
Prognosis buruk dipertimbangkan pada pasien yang masuk dalam
keadaan koma. Sedangkan sebaliknya pasien yang masuk dalam keadaan
sadar penuh memiliki atau dapat dipertimbangkan dengan prognosis yang
lebih diharapkan. Tindakan utama atau prioritas pada fase ini ialah
dengan mempertahankan jalan nafas dan ventilasi yang baik (Smeltzer &
Bare, 2010).
Fase pasca akut atau fase rehabilitasi stroke adalah fase
mengembalikan pada kondisi sebelum terserang stroke. pada fase ini
tujuan utama yang diinginkan ialah dapat mengoptimalkan kembali
kapasitas fungsional sehingga mampu melakukannya sendiri, penaganan
pada fase ini biasanya diberikan latihan atau terapi fisik (Smeltzer &
Bare, 2010).

B. Range Of Motion (ROM)


1. Pengertian Range Of Motion (ROM)
Range Of Motion (ROM) adalah suatu latihan yang menggerakkan
persendian serta memungkinkan terjadinya kontraksi serta pergerakan
pada otot, dimana latihan ini dilakukan pada masing-masing bagian
persendian sesuai dengan gerakan gerakan normal baik secara pasif
ataupun aktif (Potter & Perry, 2010). ROM sendiri merupakan suatu
istilah baku untuk mengambarkan batasan/ besarnya gerakan pada bagian
sendi (Helmi, 2012). Latihan ROM sendiri terbukti dapat menstimulus
dalam meningkatkan kekuatan otot (Into & Omes, 2012)
Latihan ROM merupakan pergerakan atau aktivitas yang ditunjukkan
untuk memepertahankan kelenturan dan pergerakan dari tiap sendi. ROM
yang diprogramkan pada pasien stroke secara teratur terbukti berefek
positif baik dari segi fungsi fisik maupun fungsi psikologi. Fungsi fisik
yang diperoleh adalah memepertahankan kelenturan sendi, kemampuan
aktivitas dan fungsi secara psikologi dapat menurunkan prespsi nyeri
dan tanda-tanda depresi pada pasien pasca stroke.
Latihan ROM sendiri terbukti dapat meningkatkan kekuatan fleksi
pada sendi, persepsi nyeri, serta gejala-gejala depresi. Pada dasarnya
gerakan ROM terdapat pada 6 sendi utama yaitu siku, bahu, pinggul,
pergelangan tangan, pergelangan kaki dan lutut, gerakan ini meliputi
fleksi, ekstensi, adduction, internal, dan eksternalrotasi, dorsal serta
plantar fleksi.
Pemulihan fungsi ektremitas atas biasanya terjadi dalam rentang
waktu 4 minggu, latihan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan
fungsi ekstremitas atas yaitu menggenggam, mencengkram, bergerak,
dan melepaskan beban (Ghaziani et al., 2017).
2. Klasifikasi Range Of Motion (ROM)
Pengklasifikasi Range Of Motion (ROM) menurut Widyawati (2010)
terdiri dari ROM aktif, ROM aktif dengan bantuan dan ROM pasif. ROM
aktif ialah latihan yang dilakukan oleh pasien secara mandiri, pada
latihan ini pasien dipercaya dapat meningkatkan kemandirian serta
kepercayaan dirinya.
Latihan yang dilakukan secara mandiri oleh pasien dan hanya
dibantu oleh perawat atau keluarga saat pasien kesulitan melakukan suatu
gerakan disebut dengan ROM aktif dengan bantuan. Sedangkan ROM
pasif yaitu latihan yang dilakukan oleh pendamping seperti perawat atau
keluarga, pendamping berperan sebagai pelaku ROM atau yang
melakukan ROM terhadap pasien tersebut.
3. Indikasi Range Of Motion (ROM)
Indikasi dilakukkannya Latihan ROM menurut Padhila (2013) yaitu
pasien yang mengalami kelemahan otot, pasien dengan tahap rehabilitasi
fisik, dan pasien dengan tirah baring lama.
4. Kontra Indikasi Range Of Motion (ROM)
Kontra indikasi menurut Padhila (2013) yaitu pasien dengan
kelainan sendi atau tulang, pasien tahap mobilisasi karena kasus
jantung, dan pasien dengan sendi yang terinfeksi.
5. Prinsip Dasar Range Of Motion (ROM)
Menurut Suratun (2008) prinsip dalam pemberian ROM terdiri
atas 5 bagian yaitu :
a. Pelaksanaan ROM dapat dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari
b. ROM dilakukan secara perlahan serta tidak menimbulkan
kelelahan pada pasien
c. Dalam latihan ROM umur, diagnosa, tanda vital, serta faktor tirah
baring adalah hal yang harus di perhatikan
d. ROM dapat diberikan oleh tenaga kesehatan yang telah terlatih
khusunya pemberian ROM di lakukan oleh fisioterapi
e. Bagian-bagian yang dapat diberikan latihan ROM adalah leher, jari,
tangan, siku, bahu,tumit dan pergelangan kaki.
6. Langkah-langkah Range Of Motion (ROM)
Langkah-langkah Range Of Motion (ROM) merupakan latihan pada
sendi, selain pada ektremitas atas terdapat pula pada ektremitas bawah,
menurut Helmi (2013) beberapa bagian sendi yang dapat diberikan
latihan Range Of Motion (ROM) pada ektremitas bahwa yakni sebagai
berikut:
Gerakan pinggul dan panggul
a. Fleksi dan ekstensi lutut dan pinggul
1) Angkat kaki dan bengkokkan lutut
2) Gerakkan lutut ke atas menuju dada sejauh mungkin
3) Kembalikan lutut ke bawah, tegakkan lutut, rendahkan kaki
sampai pada kasur.
b. Abduksi dan adduksi kaki
1) Gerakkan kaki ke samping menjauh klien
2) Kembalikan melintas di atas kaki yang lainnya
c. Rotasikan pinggul internal dan eksternal
Putar kaki ke dalam, kemudian ke luar
Gerakkan telapak kaki dan pergelangan kaki
a. Dorsofleksi telapak kaki
1) Letakkan satu tangan di bawah tumit
2) Tekan kaki klien dengan lengan anda untuk
menggerakkannya ke arah kaki
b. Fleksi plantar telapak kaki
1) Letakkan satu tangan pada punggung dan tangan yang lainnya
berada pada tumit
2) Dorong telapak kaki menjauh dari kaki
c. Fleksi dan ekstensi jari-jari kaki
1) Letakkan satu tangan pada punggung kaki klien,
letakkan tangan yang lainnya pada pergelangan kaki
2) Bengkokkan jari-jari ke bawah
3) Kembalikan lagi pada posisi semula
d. Intervensi dan eversi telapak kaki
1) Letakkan satu tangan di bawah tumit, dan tangan yang lainnyadi
atas punggung kaki
2) Putar telapak kaki ke dalam, kemudian ke luar.

Langkah-langkah ROM menurut Padhila (2013) ektremitas atas


maupun ekstremitas bawah adalah predictor keberhasilan penanganan
setelah stroke. Pasien pada nilai parese yang rendah akan lebih lama
untuk kembali beraktifitas secara mandiri.

C. Konsep Dasar Kekuatan Otot


Otot merupakan alat gerak aktif, sebagai hasil kerja sama antara otot dan
tulang. Tulang tidak dapat berfungsi sebagai alat gerak jika tidakdigerakan
oleh otot, hal ini karena otot mempunyai kemampuan berkontraksi
(memendek / kerja berat & memanjang / kerja ringan) yang mengakibatkan
terjadinya kelelahan otot, proses kelelahan ini terjadi saat waktu ketahanan
otot ( jumlah tenaga yang dikembangkan oleh otot) terlampaui (Waters &
Bhattacharya 2009).
Pengertian kekuatan otot adalah kemampuan dari otot baik secara
kualitas maupun kuantitas mengembangkan ketegangan otot untuk melakukan
kontraksi (Waters & Bhattacharya 2009).
1. Pengukuran kekuatan otot
Perubahan struktur otot sangat bervariasi. Penurunan jumlah dan
serabut otot, atrofi, pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada
beberapa serabut otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan
penghubung dan lain-lain mengakibatkan efek negative. Efek tersebut
adalah penurunan kekuatan, penurun fleksibilitas, perlambatan waktu
reaksi dan penurunan kemampuan fungsional (Pudjiastuti &
Utomo, 2008).
Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang umumnya
dipakai untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain
mendiagnosa status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada
kemajuan yang diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya
apakah terjadi perburukan pada penderita. Penilaian tersebut meliputi :
(1) Nilai 0: paralisis total atau tidak ditemukan adanya kontraksi pada
otot
(2) Nilai 1: kontaksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus
otot, dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakan
sendi
(3) Nilai 2: otot hanya mampu mengerakkan persendian tetapi
kekuatannya tidak dapat melawan pengaruh gravitasi
(4) Nilai 3: dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan
pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang
diberikan pemeriksa
(5) Nilai 4: kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai dengan
kemampuan otot terhadap tahanan yang ringan
(6) Nilai 5: kekuatan otot normal.
Untuk mengetahui kekuatan atau kemampuan otot perlu dilakukan
pemeriksaan derajat kekuatan otot yang di buat ke dalam enam derajat
(0– 5 ) . Derajat ini menunjukan tingkat kemampuan otot yang berbeda-
beda.
Derajat 5 Kekuatan otot normal dimana seluruh gerakan dapat
dilakukan otot dengan tahanan maksimal dari proses yang
dilakukan berulang-ulang tanpa menimbulkan kelelahan.

Derajat 4 Dapat melakukan Range Of Motion (ROM) secara penuh


dan dapat melawan tahanan ringan

Derajat 3 Dapat melakukan ROM secara penuh dengan melawan


gaya berat (gravitasi), tetapi tidak dapat melawan tahanan.

Derajat 2 Dengan bantuan atau dengan menyangga sendi


dapat melakukan ROM secara penuh.

Derajat 1 Kontraksi otot minimal terasa/teraba pada otot


bersangkutan tanpa menimbulkan gerakan.

Derajat 0 Tidak ada kontraksi otot sama sekali.

Adapun cara untuk memeriksa kekutan otot dengan


menggunakan derajat kekuatan otot tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Pemeriksaan kekuatan otot ekstermitas atas.
a. Pemeriksaan kekuatan otot bahu.
Caranya:
1) Minta klien melakukan fleksi pada lengan ekstensi
lengan dan beri tahanan.
2) Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi
lengan, lalu beri tahanan.
3) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
b. Pemeriksaan kekuatan otot siku.
Caranya:
1) Minta klien melakukan gerakan fleksi pada siku dan beri
tahanan.
2) Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi siku,
lalu beri tahanan.
3) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
c. Pemeriksaan kekuatan otot pergelangan tangan.
1) Letakkan lengan bawah klien di atas meja dengan
telapak tangan menghadap keatas.
2) Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi telapak tangan
dengan melawan tahanan.
3) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
d. Pemeriksaan kekuatan otot jari-jari tangan
Caranya:
1) Mintalah klien untuk meregangkan jari-jari melawan
tahanan
2) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
2. Pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas bawah
a. Pemeriksaan kekuatan otot panggul.
Caranya:
1) Atur posisi tidul klien, lebih baik pemeriksaan dilakukan
dalam posisi supine.
2) Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi tungkai dengan
melawan tahanan.
3) Minta klien untuk melakukan gerakan abduktif dan adduksi
tungkai melawan tahanan.
4) Nilai kekuatan otot dengan menggunkan skala 0-5.
b. Pemeriksaan kekuatan otot lutut.
Caranya:
1) Minta klien untuk melakukan gerakn fleksi lutut
dengan melawan tahanan.
2) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
c. Pemeriksan kekuatan otot tumit.
Caranya:
1) Minta klien untuk melakukan gerakan plantarfleksi dan
dorsifleksi dengan melawan tahanan.
2) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
d. Pemeriksaan kekuatan otot jari-jari kaki.
1) Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi dan ekstensi
jari-jari kaki dengan melawan tahanan.
2) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Solusi yang Ditawarkan


P : Gangguan mobilitas fisik pasien stroke
I : Latihan Range of Motion (ROM)
C : Tidak ada pembanding / intervensi lain
O : Menurunnya gangguan mobilitas fisik (meningkatnya kekuatan otot)
T : dilakukan 2 kali dalam sehari

B. Target dan Luaran


Target yang akan mendapatkan perlakuan intervensi pada deskripsi kasus
ini yaitu pasien stroke dengan gangguan mobilitas fisik dan diberikan
intervensi latihan Range of Motion (ROM). Luaran dari deskripsi kasus ini
untuk mengetahui perlakuan yang dilakukan berdasarkan evidence based
practice, selanjutnya dilakukan observasi dari hasil pemberian latihan Range
of Motion (ROM) terhadap kekuatan otot.

C. Prosedur Pelaksanaan
1. Tahap Awal
Memilih pasien untuk dijadikan responden berdasarkan kriteria inklusi
yaitu pasien stroke dengan gangguan mobilitas fisik.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pra Intervensi
1) Mendapatkan persetujuan pasien
2) Melakukan kontrak waktu
3) Memberikan kesempatan bertanya
4) Melakukan pengukuran kekuatan otot
b. Tahap Intervensi
Melakukan latihan Range of Motion (ROM) selama 2 kali dalam
sehari.
c. Post Intervensi
Melakukan pengukuran kekuatan otot kembali untuk mengetahui
kekuatan otot setelah intevensi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Data Umum Responden :
Nama Pasien : Tn. S
Umur : 52 tahun
Agama : Islam
Alamat : Pringapus
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Petani
Tanggal Masuk : 10 Agustus 2019
Tanggal Pengkajian : 12 Agustus 2019
Diagnosa Medis : Stroke
Nomor Register : C769xxx
Keluarga pasien mengatakan 5 hari sebelum dirawat di RSUP Dr.
Kariadi, pasien mendadak lemah keempat anggota gerak, masih bisa
digerakkan tetapi berat dan tidak dapat bicara tetapi pasien dalam kondisi
sadar dan mengerti perkataan orang lain. Lalu keluarga Tn. S membawa Tn. S
ke RS Ken Saras dan pasien dirawat di RS Ken Saras selama 5 hari.
Kemudian pada Sabtu 10 Agustus 2019 pasien dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi.
Tekanan darah 150/100 mmHg, nadi 84 x/menit, respiratory rate 20 x/menit,
suhu 36,6°C. Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 12 Agustus 2019
keluarga pasien mengatakan pasien mengalami kelemahan pada kedua tangan
dan kaki. Kemudian pasien diberikan intervensi latihan Range of Motion
(ROM) sehari dilakukan selama 2 kali pada pasien dalam 3 hari secara
teratur didapatkan hasil pasien dapat meningkat kekuatan ototnya walaupun
tidak terlalu signifikan. Kekuatan otot pasien menjadi bernilai 2 pada
ekstremitas bawah dan nilai 3 pada ekstremitas atas setelah dilakukan
intervensi. Hal ini dibuktikan dengan pasien dapat dilatih ROM pasif
walaupun pasien masih tampak berat menggerakkan kedua tangan dan kedua
kaki serta berdasarkan hasil observasi dan pengukuran kekuatan otot.

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian sesudah diberikan latihan Range of Motion
(ROM) terdapat peningkatan kekuatan otot antara sebelum dan sesudah
diberikan latihan Range of Motion (ROM). Hasil ini senada dengan beberapa
penelitian yang terkait, meskipun waktu dan lama penelitian berbeda, akan
tetapi terdapat adanya pengaruh latihan range of motion terhadap kekuatan
otot pada pasien stroke.
Mekanisme Range of Motion yaitu akan merangsang neuron motorik
dengan pelepasan transmitter (asetil colin) untuk merangsang sel guna
mengaktifkan kalsium sehingga terjadi integritas protein. Jika kalsium dan
troponin C diaktifkan maka aktin dan myosin dipertahankan agar fungsi otot
skeletal dapat di pertahankan sehingga terjadi peningkatan tonus otot. Dalam
pemulihan anggota gerak yang mengalami kelemahan terdapat faktor yang
mempengaruhi peningkatan otot. Lama latihan tergantung pada stamina
pasien. Terapi latihan yang baik adalah latihan yang tidak melelahkan, durasi
tidak terlalu lama namun dengan pengulangan sesering mungkin. Latihan
gerak secara berulang membuat konsentrasi untuk melakukan gerakan
berulang dengan kualitas sebaik mungkin. Gerakan berulang kali dan terfokus
dapat membangun koneksi baru antara motor sistem dan mengaktifkan spinal
motorneuron adalah dasar pemulihan pada storke (Aini Nur, 2013).
Menurut Agustina, dkk (2013), mekanisme kontraksi dapat
meningkatkan otot polos pada ekstremitas. Latihan ROM pasif dapat
menimbulkan rangsangan sehingga meningkatkan aktivasi dari kimiawi
neuromuskuler dan muskuler. Rangsangan melalui neuromuskuler akan
meningkatkan rangsangan pada serat syaraf otot ekstremitas terutama syaraf
parasimpatis yang merangsang untuk produksi asetil cholin, sehingga
mengakibatkan kontraksi. Mekanisme melalui muskulus terutama otot polos
ekstremitas akan meningkatkan metabolism pada metakonderia untuk
menghasilkan ATP yang dimanfaatkan oleh otot polos ekstremitas sebagai
energy untuk kontraksi dan meningkatkan tonus otot polos ekstremitas.
Dari penelitian diatas peneliti berpendapat bahwa kekuatan otot
responden sesudah diberikan latihan ROM peningkatan ototnya belum cukup
signifikan, karena waktu pemberian intervensi hanya 3 hari dan pengulangan
pemberian intervensi kepada pasien tidak terlalu sering.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan serta diuraikan

pada pembahasan yang terpapar di bab 5, maka peneliti dapat memberikan

kesimpulan bahwa latihan Range of Motion (ROM) dapat meningkatkan

kekuatan otot pada pasien stroke.

B. Saran

1. Bagi Perawat / Rumah Sakit

Perawat diharapkan dapat meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien

dengan gangguan mobilitas fisik dengan cara membuat inovasi baru dalam

peningkatan kekuatan otot pasien stroke.

2. Bagi Institusi

Diharapkan penelitian ini dijadikan referensi dan digunakan bagi

mahasiswa untuk menambah pengetahuan di bidang kesehatan yaitu dengan

memberikan latihan Range of Motion (ROM) terhadap kekuatan otot pasien

stroke.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, C dkk. (2013). Pengaruh Latihan Range Of Motion (Rom) Terhadap


Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke di Irina F Neurologi Blu RSUP PROF.
DR. R. D. Kandoumanado. E-Journal Keperawatan Vol. 1 No. 1
Asmadi. (2008). Konsep Dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba
Medika.
Batticaca, Fransisca B. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Herdman, T. h. (2011). Nursing Diagnoses: Definitions and Classification. Wiley
Company, USA
Huda Nurarif, A dan Hardhi Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta:
MediAction.
Jabbar. (2012. Kekuatan Otot. Carolus Jakarta: Jurnal Ilmiah
Maria, dkk. (2011). Pengaruh Latihan Range of motion (ROM) terahadap
Kekuatan
Otot, Luas Gerak Sendi dan kemampuan Fungsional Pasien stroke di RS Sint.
Carolus Jakarta. Jurnal Ilmiah
Misbach, Jusuf. (2011). Stroke Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen.
Jakarta : Badan Penerbit FKUI
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Padila. (2013). Keperawatan Medikal Bedah.Yogyakarta : Nuha Medika.
Potter, Patricia A. & Perry, Anne Griffin. (2010). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan, Edisi 7. Jakarta: EGC
Potter, P. A & Perry, A. G. (2009). Buku Ajar Fundamental Keperawatan.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Rosiana, Pradasar. (2009). Rehabilitas Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer.
Vol. 59, Nomor 2 Jakarta : . Balai Penerbit FKUI.
Smeltzer C. Suzanne, Bare G. Brenda. (2010). Buku Ajar: Keperawatan Medika
Bedah. Edisi 8, Vol. 3. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai