ARINA MA’RUFA
P1337420919110
A. Latar Belakang
Stroke merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian
khusus dan dapat menyerang siapa saja dan kapan saja, tanpa memandang
ras, jenis kelamin, atau usia. Stroke adalah gangguan darah otak yang
menyebabkan defisit gangguan neurologis mendadak sebagai akibat iskemia
atau hemoragi sirkulasi saraf otak ( Sudoyo, 2009). Stroke merupakan salah
satu penyakit tidak menular yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Insidenya terus mengalami peningkatan, kurang lebih 15 juta orang setiap
tahun di seluruh dunia terserang stroke. Sebagian besar penderita stroke
berada di negara berkembang, termasuk Indonesia. Negara berkembang juga
menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke di seluruh dunia. Dua
pertiga dari penderita stroke terjadi di negara-negara berkembang. Terdapat
sekitar 13 juta korban stroke 1 baru setiap tahun, dimana sekitar 4,4 juta
diantaranya meninggal dalam 12 bulan. Angka kejadian stroke di Indonesia
meningkat tajam, bahkan saat ini Indonesia menempati urutan ketiga dengan
jumlah penderita stroke terbesar di Asia setelah penyakit jantung dan kanker
(Yastroki, 2009). Prevalensi stroke di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07
lebih tinggi dari tahun 2011 (0,03%) (Dinkes, 2013).
Stroke dapat berdampak pada barbagai fungsi tubuh, diantaranya adalah
defisit motorik berupa hemiparase. Stroke merupakan masalah kesehatan
utama di masyarakat. Kondisi abnormal pembuluh darah otak yang
dikarakteristikan oleh perdarahan didalam otak atau embolus atau thrombus
yang menyumbat di ateri, mengakibatkan iskemik jaringan tak yang pada
kondisi normal yang diperdarahi oeh pembuluh darah tersebut (Maria dkk,
2011)
Tanda dan gejala stroke yaitu adanya serangan defisit
neurologis/kelumpuhan fokal (hemiparesis), baal atau mati rasa sebelah badan
berkurang. Gejala lain yang muncul biasanya mulut mencong, bicara pelo,
sukar menelan, minum suka keselek, sulit berbahasa, bicara tidak lancar,
tidak memahami pembicaraan orang lain, tidak mampu membaca dan
menulis, tidak dapat berhitung, kepandaian menurun, menjadi pelupa,
penglihatan terganggu, tuli satu telinga atau pendengaran berkurang, menjadi
mudah tertawa dan menangis, berjalan menjadi sulit, banyak tidur, gerakan
tidak terkoordinir. Kelumpuhan tangan maupun kaki pada pasien stroke akan
mempengaruhi kontraksi otot. Berkurangnya kontraksi otot disebabkan
bekurangnya suplai darah ke otak belakang dan otak tengah, sehingga dapat
menghambat hantaran jaras-jaras utama antara otak dan medula spinalis, dan
secara total menyebabkan ketidak mampuan sensorik motorik yang abnormal.
Berkurangnya suplai darah pada pasien stroke salah satunya diakibatkan oleh
arterosklerosis. Dinding pembuluh akan kehilangan elastisitas dan sulit
berdistensi sehingga digantikan oleh jaringan fibrosa yang dapat merenggang
dengan baik. Menurunnya elastisitas dinding pemuluh darah mengakibatkan
terjadinya tahanan yang lebih besar pada aliran darah (Potter & Perry, 2009).
Penderita stroke perlu penanganan yang baik untuk mencegah kecacatan
fisik dan mental. Stroke pada penderita dewasa akan berdampak pada
menurunnya produktivitas dan bahkan terjadi beban pada orang lain.
Penderita post stroke membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkan dan
memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal akibat buruk dapat saja
terjadi cacat fisik, mental, ataupun sosial, untuk itu penderita stroke
membutuhkan program salah satunya mobilisasi persedian yaitu dengan
latihan range of motion.
Range of Motion (ROM) aktif adalah latihan yang diakukan untuk
mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan
menggerakan pesendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan
massa otot dan tonus otot. Latihan ROM adalah latihan gerakan sendi yang
memungkinkan terjadinya kontraksi dan peregangan otot, dimana klien
menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik
secara aktif ataupun pasif. Melakukan mobilisasi persendian dengan latihan
ROM dapat mencegah berbagai komplikasi seperti infeksi saluran
perkemihan, pneumonia aspirasi, nyeri karena tekanan, kontrakur,
tromboplebitis, dekubitus, sehingga mobilitas dini penting dilakukan secara
rutin dan kontinyu. Memberikan latihan ROM secara dini dapat
meningkatkan kekuatan otot dapat menstimulasi gerak sendi. Tujuan dari
latihan ROM yaitu untuk meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas
dan kekuatan otot, mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan,mencegah
kontraktur dan kekakuan pada sendi. Manfaat ROM untuk menentukan nilai
kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan pergerakan, memperbaiki
tonus otot, memperbaiki toleransi otot untuk latihan, mencegah terjadinya
kekakuan sendi, memperlancar sirkulasi darah.
Berdasarkan penjabaran tersebut penulis tertarik untuk melakukan
Evidence Based Nursing Practice (EBNP) berupa latihan Range of Motion
(ROM) dalam meningkatkan kekuatan otot pada pasein stroke di Ruang
Rajawali 2B RSUP Dr.Kariadi Semarang.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui respon pasien terhadap kekuatan otot dengan
penerapan Evidence Based Nursing Practice (EBNP) berupa latihan
Range of Motion (ROM) dalam mengatasi gangguan mobilitas fisik
pasien stroke di ruang Rajawali 2B RSUP Dr. Kariadi Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kekuatan otot sebelum dilakukan intervensi latihan
Range of Motion (ROM)
b. Mengetahui kekuatan otot setelah dilakukan intervensi latihan Range
of Motion (ROM)
c. Mengevaluasi respon pasien selama pemberian latihan Range of
Motion (ROM) terhadap kekuatan otot pasien stroke.
C. Manfaat
Dapat mengaplikasikan hasil Evidence Based Nursing Practice (EBNP)
khususnya studi kasus tentang pelaksanaan cara latihan gerak Range of
Motion (ROM) terhadap kekuatan otot pada pasien stroke.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stroke
1. Definisi stroke
Stroke merupakan tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat
ganguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala- gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian,
tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler. Stroke juga dapat diartikan
sebagai gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran
darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam beberapa
detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda
yang sesuai dengan daerah yang terganggu sebagai hasil dari infark
cerebri (stroke iskemik) (Mardjono, 2009; WHO, 2014).
2. Klasifikasi Stroke
Menurut (AHA, 2015) Stroke secara umum terbagi menjadi dua
Jenis yaitu stroke hemoragi dan non hemoragi (iskemik). Stroke
hemoragi ialah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembulu darah
dalam otak yang terjadi di daerah tertentu sehingga memenuhi jaringan
otak, perdarahan ini disebabkan oleh adanya perdarahan di intra selebral
atau perdarahan subarakhroid. Adanya perdarahan ini akan menimbulkan
dampak berupa gejala neurogi karena adanya tekanan pada saraf dalam
tengkorak (AHA, 2015).
Stroke non hemoragi (iskemik) ialah suatu gangguan peredaran
darah otak yang terjadi karena adanya obstruksi atau adanya sumbatan
yang menyebabkan hipoksia di otak (AHA, 2015). Stroke jenis ini
biasa memeiliki tanda terjadi kelemahan (hemiparesis atau hemiplegia),
mual muntah, nyeri kepala (KIM, 2016)).
3. Etiologi Stroke
Menurut Smeltzer dan Bare (2010) penyebab terjadinya stroke
terbagi atas :
a. Trombosis yaitu adanya bekuan darah yang terjadi pada pembuluh
darah di otak dan leher. Penyebab paling umum dari stroke yaitu
arteriosklorosis selebral yang menyebabkan terjadinya trombosis.
b. Embolisme selebral adalah adanya material atau bekuan darah yang
berasal dari bagian tubuh lain dan dibawa ke otak. Embolus ini
terjadi karna adanya sumbatan pada arteri selebral tengah sehingga
merusak siklus selebral.
c. Iskemia adalah terjadinya penurunan suplai darah ke otak,
terjadi karena konstriksi atheroma di arteri.
4. Manifestasi Klinis Stroke
Manifestasi dari stroke iskemik dapat berupa hemiparesis
(kelemahan) dan hemiplegia (Kelumpuhan), kehilangan fungsi bicara dan
kehilangan kemampuan sensori. Dan pada proses ini terjadi hanya
berselang beberapa menit, jam, hari. Ciri dari jenis ini adalah onsetnya
yang lambat tergantung pada ukuran trombus dan hasil sumbatan
apakah parsial atau total (Utomo,2008)
Berbeda dengan stroke iskemik pada stroke emboli menifestasinya
terjadi secara tiba-tiba dan tanpa adanya tanda peringatan awal.
Manifestasi umumnya pada stroke hemoragik yaitu sakit kepala hebat,
vertigo, serta kelupuhan. Arteri serebral media adalah tempat paling
sering yang terjadi stroke iskemik. Defisit yang terjadi juga dipengaruhi
apakah mengenai sisi tubuh yang dominan atau tidak. Derajat defisit
juga sangat beragam mulai dari gangguan ringan hingga kehilangan
kemampuan fungsional yang serius (Utomo, 2008).
5. Gangguan pada pasien stroke
a. Kehilangan fungsi motoric
Defisit ini biasanya terjadi disebabkan adanya gangguan pada arteri
anterior atau media yang menyebabkan infrak pada jalur motorik di
korteks bagian frontal, yang diawali dengan suplai oksigen ke
otak terganggu yang mengakibatkan hipoksia maka otak
mengalami perubahan metabolik, kerusakan permanen serta
kematian sel otak yang salah satunya merupakan kemampuan
fungsi gerak atau motorik (AHA, 2010). Dalam fungsi mototrik
khususnya pada kekuatan menggenggam memiliki beberapa bagian
yang harus dimaksimalkan atau dilatih yakni pegangan,dimensi otot
dominasi tangan,mencengkram,serta menggenggam (Irfan,
2012).
b. Gangguan komunikasi
Gangguan khususnya pada komunikasi berupa afasia. Afasia
melibatkan semua aspek dalam berkomunikasi yaitu bicara,
membaca, menulis dan memahami bahasa pembicaraan. Beberapa
jenis afasia yaitu (gangguan dalam memahami kata-kata), afasia
broca (gangguan dalam mengekspresikan kata-kata), dan
afasiaglobal (gangguan dalam memahami dan mengekspresikan
kata-kata)
c. Gangguan sensori
Gangguan fungsi sensori terjadi ketika ada jalur sensori yang
terganggu yang diakibatkan ketidak adekuatnya pada arteri
arterior dan media. Pada gangguan sensori ini biasanya timbul yaitu
gangguan hemisensoryloss (kehilangan sensasi satu sisi tubuh),
parastesia (adanya sensasi panas atau nyeri yang menetap, merasa
berat, mati rasa, gatal-gatal), dan proprioception (kemampuan untuk
mengkordinasikan bagian tubuh dengan lingkungan eksternal)
d. Gangguan fungsi perilaku dan emosional
Perunahan prilaku pasca stroke tergantung dari area otak yang
mengalami gangguan. Pasien dengan stroke pada otak kiri atau
hemisfer dominan maka prilakunya lambat, berhati- hati dan tidak
terorganisasi. Dan jika terjadi pada otak kanan hemisfer non
dominan maka prilakunya impulsif, menurunnya perhatian, dan
kurang mempertimbangkan risiko.
e. Disfungsi kandung kemih
Stroke dapat menyebabkan gangguan pada fungsi kandung kemih
dan percernaan. Gangguan ini terjadi ketika syaraf di kandung kemih
mengirimkan impuls ke otak untuk memberikan informasi tentang
kandung kemih telah terisi urin, tetapi karna terjadi gangguan di otak
makan terjadi gangguan pada berkemih.
6. Faktor Risiko Stroke
Menurut AHA (2015) secara garis besar faktor risiko pada stroke
terbagi atas dua faktor yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (tidak
dapat diubah) dan faktor yang dapat dimodifikasi (dapat diubah).
Genetik, ras, usia, serta jenis kelamin merupakan faktor yang tidak dapat
dimodifikasi, sedangkan pola hidaup atau kebiasaan sesorang ialah faktor
yang dapat dimodifikasi (WHO, 2014,: AHA, 2015).
7. Diagnosis Stroke
Diagnosis stroke dapat ditegakkan dengan melihat perjalan penyakit
serta hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan. Pada pemeriksaan fisik
membantu menentukan lokasi yang mengalami kerusakan pada otak.
Pemeriksaan penunjang juga adalah poin penting yaitu berupa
computed tomography (CT) Scan sebagai standar dan magnetic
resonance imaging (MRI). Diluar dari itu juga dilakukan angiografi
untuk mengevaluasi susunan pembuluh darah serebral melaluin
kapilaroskopi (Misbach, 2007). Bila tidak memungkinkan dilakukan
pemeriksaan CT Scan ataupun MRI maka penggunaaan sisiraj stroke
skor (SSS).
8. Faktor-faktor Pemulihan Neurologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemulihan neurologis diantaranya
yaitu umur/ usia, jenis stroke, jenis kelamin, dan faktor resiko
(Utomo, 2008).
a. Pasien yang memiliki umur yang lebih tua maka pemulihan
neurologi akan lebih lama dibandingkan pasien yang memiliki usia
yang lebih muda hal ini dikarenakan semakin tua umur seseorang
maka fungsi organnya juga menurun (AHA, 2010)
b. Stroke non hemoragi tingkat pemulihannya lebih cepat
diabndingkan dengan stroke hemoragi, dilihat dari insiden bahwa
stroke hemoragi lebih sedikit dari stroke non hemoragi, namun dari
tingkat mortalitas lebih banyak stroke hemoragi (Utomo, 2008)
c. Secara spesifik jenis kelamin belum diketahui apakah
mempengaruhi pemulihan pasca stroke, namun dari kejadian stroke
penderita dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan
dengan penderita stroke yang berjenis kelamin perempuan (AHA,
2010).
d. Pasien pasca stroke yang dicurigai/ memiliki faktor resiko lebih
harus dikontrol untuk meminimalkan terjadinya stroke berulang.
Selain itu dengan adanya kontrol faktor resiko akan mempercepat
pemulihan pada pasien tersebut.
9. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat diberikan pada pasien dengan
stroke menurut (Pudiastuti, 2013) ialah :
a. Angiografi serebral pemeriksaan ini untuk menentukan
penyebab utama dari stroke seperti mendeteksi apakah terjadi
obstruksi arteri atau perdarahan.
b. Ultrasonografi Doppler untuk mengidentifikasi artiovena atau biasa
disebut dengan masalah sistem arteri pada karotis (munculnya plak).
c. CT Scan untuk menggambarkan terdapat edema, iskemia,
hematoma dan adanya infark.
d. Fungsi Lumbal untuk memeprlihatkan apakah terdapat tekanan
normal, hemoragik, malforasi arterial arterivena (MAV).
e. Sinar X untuk mengambarkan perubahan yang terjadi pada
kelenjar lempeng pineal yang berlawanan dari masa yang meluas.
f. EEG adalah menilai masalah yang didasarkan oleh gelombang otak
dan memeperlihatkan daerah lesi yang lebih jelas
10. Patofisiologi
Suplai oksigen ke otak sangatlah penting apabila terjadi hipoksia
seperti yang dialami oleh pasien stroke maka otak akan mengalami
perubahan metabolik, kerusakan permanen dan kematian sel otak hal ini
terjadi dalam 3-10 menit (AHA, 2010). Arteri selebral dan karotislah
pembuluh darah yang paling sering terkena serangan (Guyton & Hall,
2014)
Terjadinya gangguan pada peredaran darah di otak mengakibatkan
cedera otak yang terjadi dalam beberapa mekanisme yaitu pecahnya
dinding pembuluh darah yang akan mengakibatkan hemoragi, terjadinya
peneabalan pembuluh darah yang mengakibatkan penyempitan sehingga
aliran darah tidak adekuat yang selanjutnya menjadi iskemik, terjadinya
pembesaran sekelompok atau satu pembuluh darah yang akan
menekan jaringan otak (Smeltzer & Bare, 2010).
Terjadinya penyempitan pembuluh darah di otak bermula dari
perubahan pada aliran darah dan menjadi stenosis yang cukup hebat
sehingga melampaui batas krisis yang menjadikan pengurangan darah
secara drastis dan cepat. Obstruksi pada pembuluh darah arteri di otak
akan mengakibatkan reduksi disuatu area jaringan otak normal sehingga
masih mempunyai peredaran darah yang baik akan membatu supalai
darah melalui jalur anastomis. Perubahan pada bentuk akibat oklusi
pembuluh darah awalnya ialah gelap pada darah vena, dilatasi arteri,
penurunan kecepatan aliran darah (AHA, 2015).
11. Penatalaksanaan Stroke
Penatalaksanaan stroke terbagi atas 2 bagian besar yaitu fase akut
dan fase pasca akut. Fase akut biasanya saat keadaan medis belum
kembali stabil, namun lesi patologik sudah kembali pulih (Continuing
Medical Education, 2011). Pada fase ini tindakan keperawatan lebih
berfokus pada fungsi vital serta memfasilitasi perbaikan neuron. Menurut
Wirawan (2009) berakhirnya fase akut stroke yaitu 48 sampai 72 jam.
Prognosis buruk dipertimbangkan pada pasien yang masuk dalam
keadaan koma. Sedangkan sebaliknya pasien yang masuk dalam keadaan
sadar penuh memiliki atau dapat dipertimbangkan dengan prognosis yang
lebih diharapkan. Tindakan utama atau prioritas pada fase ini ialah
dengan mempertahankan jalan nafas dan ventilasi yang baik (Smeltzer &
Bare, 2010).
Fase pasca akut atau fase rehabilitasi stroke adalah fase
mengembalikan pada kondisi sebelum terserang stroke. pada fase ini
tujuan utama yang diinginkan ialah dapat mengoptimalkan kembali
kapasitas fungsional sehingga mampu melakukannya sendiri, penaganan
pada fase ini biasanya diberikan latihan atau terapi fisik (Smeltzer &
Bare, 2010).
C. Prosedur Pelaksanaan
1. Tahap Awal
Memilih pasien untuk dijadikan responden berdasarkan kriteria inklusi
yaitu pasien stroke dengan gangguan mobilitas fisik.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pra Intervensi
1) Mendapatkan persetujuan pasien
2) Melakukan kontrak waktu
3) Memberikan kesempatan bertanya
4) Melakukan pengukuran kekuatan otot
b. Tahap Intervensi
Melakukan latihan Range of Motion (ROM) selama 2 kali dalam
sehari.
c. Post Intervensi
Melakukan pengukuran kekuatan otot kembali untuk mengetahui
kekuatan otot setelah intevensi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Data Umum Responden :
Nama Pasien : Tn. S
Umur : 52 tahun
Agama : Islam
Alamat : Pringapus
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Petani
Tanggal Masuk : 10 Agustus 2019
Tanggal Pengkajian : 12 Agustus 2019
Diagnosa Medis : Stroke
Nomor Register : C769xxx
Keluarga pasien mengatakan 5 hari sebelum dirawat di RSUP Dr.
Kariadi, pasien mendadak lemah keempat anggota gerak, masih bisa
digerakkan tetapi berat dan tidak dapat bicara tetapi pasien dalam kondisi
sadar dan mengerti perkataan orang lain. Lalu keluarga Tn. S membawa Tn. S
ke RS Ken Saras dan pasien dirawat di RS Ken Saras selama 5 hari.
Kemudian pada Sabtu 10 Agustus 2019 pasien dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi.
Tekanan darah 150/100 mmHg, nadi 84 x/menit, respiratory rate 20 x/menit,
suhu 36,6°C. Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 12 Agustus 2019
keluarga pasien mengatakan pasien mengalami kelemahan pada kedua tangan
dan kaki. Kemudian pasien diberikan intervensi latihan Range of Motion
(ROM) sehari dilakukan selama 2 kali pada pasien dalam 3 hari secara
teratur didapatkan hasil pasien dapat meningkat kekuatan ototnya walaupun
tidak terlalu signifikan. Kekuatan otot pasien menjadi bernilai 2 pada
ekstremitas bawah dan nilai 3 pada ekstremitas atas setelah dilakukan
intervensi. Hal ini dibuktikan dengan pasien dapat dilatih ROM pasif
walaupun pasien masih tampak berat menggerakkan kedua tangan dan kedua
kaki serta berdasarkan hasil observasi dan pengukuran kekuatan otot.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian sesudah diberikan latihan Range of Motion
(ROM) terdapat peningkatan kekuatan otot antara sebelum dan sesudah
diberikan latihan Range of Motion (ROM). Hasil ini senada dengan beberapa
penelitian yang terkait, meskipun waktu dan lama penelitian berbeda, akan
tetapi terdapat adanya pengaruh latihan range of motion terhadap kekuatan
otot pada pasien stroke.
Mekanisme Range of Motion yaitu akan merangsang neuron motorik
dengan pelepasan transmitter (asetil colin) untuk merangsang sel guna
mengaktifkan kalsium sehingga terjadi integritas protein. Jika kalsium dan
troponin C diaktifkan maka aktin dan myosin dipertahankan agar fungsi otot
skeletal dapat di pertahankan sehingga terjadi peningkatan tonus otot. Dalam
pemulihan anggota gerak yang mengalami kelemahan terdapat faktor yang
mempengaruhi peningkatan otot. Lama latihan tergantung pada stamina
pasien. Terapi latihan yang baik adalah latihan yang tidak melelahkan, durasi
tidak terlalu lama namun dengan pengulangan sesering mungkin. Latihan
gerak secara berulang membuat konsentrasi untuk melakukan gerakan
berulang dengan kualitas sebaik mungkin. Gerakan berulang kali dan terfokus
dapat membangun koneksi baru antara motor sistem dan mengaktifkan spinal
motorneuron adalah dasar pemulihan pada storke (Aini Nur, 2013).
Menurut Agustina, dkk (2013), mekanisme kontraksi dapat
meningkatkan otot polos pada ekstremitas. Latihan ROM pasif dapat
menimbulkan rangsangan sehingga meningkatkan aktivasi dari kimiawi
neuromuskuler dan muskuler. Rangsangan melalui neuromuskuler akan
meningkatkan rangsangan pada serat syaraf otot ekstremitas terutama syaraf
parasimpatis yang merangsang untuk produksi asetil cholin, sehingga
mengakibatkan kontraksi. Mekanisme melalui muskulus terutama otot polos
ekstremitas akan meningkatkan metabolism pada metakonderia untuk
menghasilkan ATP yang dimanfaatkan oleh otot polos ekstremitas sebagai
energy untuk kontraksi dan meningkatkan tonus otot polos ekstremitas.
Dari penelitian diatas peneliti berpendapat bahwa kekuatan otot
responden sesudah diberikan latihan ROM peningkatan ototnya belum cukup
signifikan, karena waktu pemberian intervensi hanya 3 hari dan pengulangan
pemberian intervensi kepada pasien tidak terlalu sering.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
dengan gangguan mobilitas fisik dengan cara membuat inovasi baru dalam
2. Bagi Institusi
stroke.
DAFTAR PUSTAKA