Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA Ny. S DENGAN STROKE NON HEMORAGIK (SNH)
DI RUANG RAJAWALI 2A RSUP DR. KARIADI SEMARANG

DISUSUN OLEH
ARUMDA KURNIASIH AZIZAH
NIM. P1337420619005

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN NERS


POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke menjadi salah satu masalah kesehatan utama bagi masyarakat. Hampir
di seluruh dunia stroke menjadi masalah yang serius dengan angka morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan angka kejadian penyakit
kardiovaskuler. Serangan stroke yang mendadak dapat menyebabkan kecacatan fisik
dan mental serta kematian, baik pada usia produktif maupun lanjut usia (Dewi &
Pinzon, 2016).
Stroke dapat dibedakan menjadi dua yaitu Stroke Hemoragik dan Stroke Non
Hemoragik. Stroke Non Hemoragik adalah stroke yang terjadi karena tersumbatnya
pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan
terhenti. Hampir 83% pasien mengalami stroke jenis ini. Stroke Non Hemoragik
dibedakan menjadi tiga yaitu Stroke Trombotik adalah proses terbentuknya thrombus
hingga menjadi gumpalan. Stroke Embolik adalah pembuluh arteri yang tertutup oleh
bekuan darah. Hipoperfusion Sistemik adalah gangguan denyut jantung yang
disebabkan oleh aliran darah ke seluruh bagian tubuh berkurang (Pudiastuti, 2011).
Masalah keperawatan yang muncul akibat stroke non hemoragik sangat
bervariasi tergantung dari luas daerah otak yang mengalami infark atau kematian
jaringan dan lokasi yang terkena. Salah satu masalah keperawatan yang muncul pada
pasien stroke non hemoragik yaitu gangguan kamunikasi verbal. Pasien stroke non
hemoragik yang mengalami gangguan komunikasi verbal berarti otak sebelah kiri
pasien mengalami gangguan (Johan & Susanto, 2018). Gangguan komunikasi setiap
pasien stroke berbeda – beda, ada yang sulit berbicara, sulit menangkap pembicaraan
orang lain, dapat berbicara tetapi kacau atau sulit diartikan, tidak dapat membaca dan
menulis, atau bahkan tidak dapat lagi mengenali bahasa isyarat yang dilakukan oleh
orang lain untuknya (Lanny Lingga, 2013). Gangguan komunikasi verbal merupakan
penurunan, perlambatan, atau ketidakmampuan untuk menerima, memproses,
mengirim dan atau menggunakan sistem simbol (PPNI, 2016).
Salah satu dampak apabila gangguan komunikasi verbal pada pasien Stroke
Non Hemoragik tidak diatasi yaitu akan manimbulkan kesalahpahaman antara pasien
dengan pelayan kesehatan, komunikasi tidak efektif dan berakibat pada
ketidakmampuan pasien untuk mengekspresikan keadaan dirinya dan dapat pula
berakibat lanjut pada penurunan harga diri pasien (Batticaca B. Fransisca, 2008).
Orang yang mengalami gangguan bicara atau afasia akan mengalami kegagalan dalam
berartikulasi. Artikulasi merupakan proses penyesuain ruangan supraglottal.
Penyesuaian ruangan di daerah laring terjadi dengan menaikkan dan menurunkan
laring. Hal tersebut yang akan mengatur jumlah transmisi udara melalui rongga mulut
dan rongga hidung melalui katup valofaringeal dan merubah posisi mandibula (rahang
bawah) dan lidah (Dody, Argo, & Kusuma, 2014).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada


pasien Stroke Non-Hemoragik di Ruang Rajawali 2A RSUP Dr. Kariadi
Semarang.

2. Tujuan khusus

Secara lebih khusus penelitian pada pasien Stroke Non-Hemoragik di Ruang


Rajawali 2A di RSUP Dr. Kariadi Semarang, bertujuan untuk:

a. Mengidentifikasi data hasil pengkajian pada pasien SNH.

b. Mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang dirumuskan pada pasien SNH


(Stroke Non-Hemoragik)

c. Mengidentifikasi intervensi yang direncanakan pada asuhan keperawatan pasien


Stroke Non-Hemoragik (SNH)

d. Mengidentifikasi implementasi yang dilakukan pada asuhan keperawatan


pasien Stroke Non-Hemoragik (SNH)

e. Mengidentifikasi hasil evaluasi pada asuhan keperawatan pasien Stroke Non-


Hemoragik (SNH)

C. Manfaat Penulisan
1. Manfaat teoritis
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan atau mengembangkan
ilmu keperawatan medikal bedah khususnya asuhan keperawatan pada pasien
Stroke Non-Hemoragik (SNH)
b) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber data bagi peneliti
berikutnya khususnya yang terkait dengan asuhan keperawatan pada pasien
Stroke Non-Hemoragik
2. Manfaat praktis
a. Bagi perawat diharapakan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
pedoman untuk memberikan asuhan keperawatan pada pasien Stroke
Non-Hemoragik (SNH).
b. Bagi management diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bagan
bagi kepala ruangan dalam melakukan monitoring atau suvervisi tentang
pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien Stroke Non-Hemoragik
(SNH)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Medis


A. Pengertian
Stroke non hemoragik ialah tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti (Nuratif & Kusuma,
2015). Adanya penumpukan aterosklerosis pada dinding pembuluh darah atau
bekuan darah yang menyumbat suatu pembuluh darah ke otak sehingga pasokan
oksigen dan nutrisi tidak dapat dikirim darah ke otak, kondisi seperti ini dapat
menimbulkan kerusakan sel otak (Wiwit, 2010).
Stroke non hemoragik dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis
serebral, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di
pagi hari (Wijaya & Putri, 2013). Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia
yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder
(Wijaya & Putri, 2013). Penyakit motor neuron ini dapat mengakibatkan
kehilangan konrol volunter serta disfungsi gerakan motorik yaitu, hemiplegia,
hemiparesis, dan menurunnya tonus otot abnormal (Wijaya & Putri, 2013).
B. Etiologi
Menurut Muttaqin (2008), terdapat beberapa keadaan yang dapat menyebabkan
terjadi stroke non hemoragik, diantara :
a. Trombosis Serebri : Trombosis Serebri adalah penyumbatan pembuluh darah
otak oleh thrombus yang dapat menyebabkan iskemik atau infark jaringan otak
sehingga timbul gejala disfungsi otak lokal dengan defisit neurologi (Winasis,
2007).
b. Emboli Serebri : Emboli Serebri adalah kondisi dimana aliran darah terhambat
karena benda asing (embolus), seperti bekuan darah didalam aliran darah yang
dapat menghambat pembuluh darah (Muttaqin, 2008).
c. Iskemia : Iskemia pada otak terjadi dimana pasokan darah pada arteri otak
terhambat sehingga mengakibatkan sel otak kekurangan oksigen dan dapat
berkembang menjadi kerusakan atau kematian sel otak (Winasis, 2007).
Stroke non hemoragik disebabkan karena adanya penyumbatan pada
pembuluh darah yang menuju ke otak. Sumbatan ini dapat disebabkan oleh
dua hal, yang pertama adalah karena adanya penebalan pada dinding
pembuluh darah yang disebut dengan atheroschlerosis dan bekuan darah yang
bercampur lemak yang menempel pada dinding pembuluh darah, yang dikenal
dengan istilah thrombus.Yang kedua adalah tersumbatnya pembuluh darah
otak oleh emboli, yaitu bekuan darah yang berasal dari thrombus di jantung
(Mulyatsih & Arizia, 2008).
C. Patofisiologi
Ketidakadekuatan sirkulasi aliran darah yang terjadi pada penyakit stroke non
hemoragik disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu trombosis dan emboli. Stroke
non hemoragik yang disebabkan oleh thrombosis terjadi karena adanya
aterosklerosis yaitu mengerasnya pembuluh darah dan berkurangnya elastisitas
dinding pembuluh darah sehingga mengakibatkan penyempitan pada arteri
(Sudoyo, 2009). Trombosit selanjutnya akan melekat pada permukaan plak
bersama dengan fibrin, perlekatan trombosit secara perlahan akan
mengakibatkan membesarnya ukuran plak sehingga terbentuk trombus
(Sudoyo, 2009).
Faktor berikutnya yaitu adanya emboli dimana pembuluh darah otak
mengalami penyumbatan oleh bekuan darah, lemak, dan udara yang pada
umumnya berasal dari thrombus (Mutaqqin, 2008). Trombus dan emboli didalam
pembuluh darah akan terlepas dan terbawa hingga terperangkap dalam pembuluh
darah distal, lalu menyebabkan pengurangan aliran darah yang menuju ke otak
sehingga sel otak akan mengalami kekurangan nurisi dan juga oksigen, sel
otak yang mengalami kekurangan oksigen dan glukosa akan terjadi hipoksia
serebral sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak yang disebut
dengan umbra (Esther, 2010). Umbra itu sendiri dapat mengakibatkan gangguan
sistem motorik, sensorik, fungsi luhur, dan fungsi vegetatif. Gangguan system
motorik itu meliputi hemiplegi dan tetraplegia (Schmitz, 2008).
Menurut Smeltzer (2008), lokasi kerusakan gangguan sistem motorik
(hemiplegi) yaitu terjadi pada kawasan pyramidal sesisi. Sistem pyramidal atau
biasa yang disebut traktus kortikospinalis merupakan jalur neuron tunggal yang
keluar dari kortek serebri menuju ke medula spinalis tanpa membentuk sinaps.
Fungsi utama dari sistem ini adalah untuk melakukan gerakan volunter dan
gerakan terampil dibawah kontrol kesadaran. Sistem piramidal membawa input
dari area motorik primer, area premotor, areamotorik tambahan. Impuls yang
dimunculkan oleh kortek motorik berasal dari impuls yang diterima dari kortek
sensorik yang menerima stimulus astu rangsang yang diterima oleh sarafsensorik
yang berada di perifer. Serabut saraf piramidalis menyilang ke sisi yang
berlawanan pada medula oblongata. Apabila ada kerusakan pada kawasan
pyramidal maka kerusakan akan bersifat kontralateral. Kerusakan pyramidal sesisi
itu dapat menyebabkan hemiplegia yaitu paralisis pada salah satu sisi karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan atau hemiparesis yaitu kelemahan salah satu sisi
tubuh yang akan selalu diikuti dengan beberapa kelainan pada saraf lainnya,
diantaranya :
a. Kelainan syaraf ke-III (Okulomotorius) yaitu terjadi paralise musculus rectus
medialis dimana didapatkan bola mata tidak dapat digerakkan kearah nasal,
bayangan kontra lateral dari gambar sebenarrnya (bila melihat kearah yang
sehat), paralise musculus rectus superior dimana bola mata jatuh kebawah
abduksi minimal bola mata yang paralitik tidak dapat digerakkan keatas,
bayangan pada sisi kolateral bila bola mata menatap benda yang lebih tinggi
dari bidang mata, bila bola mata digerakkan keatas/kesamping bayangan akan
menjauh dari gambar sebenarnya, paralisis musculus rectus inferior
didapatkan bola mata tidak dapat di gerakkan kebawah dan samping. Posisi
bola mata terangkat dan berputar kedalam.
b. Kelainan pada saraf ke VI (Abdusen) yaitu paralise musculus lateralis
didapatkan bola mata pada lesi akan bersikap konvergensi, bola mata tidak
dapat digerakkan ke lateral, bayangan jatuh disebelah lateral dari benda
sebenarnya (bila melihat kearah lesi).
c. Kelainan saraf ke VII (Facialis) umumnya lesi terjadi pada capsula interna.
Dimana terjadi kerusakan untuk mengatur pergerakan otot-otot pada wajah
yang akan tertarik ke sisi yang sehat.
d. Kelainan saraf ke XII (Hipoglosus) biasanya sering terjadi pada perifer, maka
atrofi otot lidah dengan cepat.
Lokasi kerusakan gangguan motorik (tetraplegia) yaitu terjadi pada kawasan
pyramidal bilateral atau segmen C5. Lesi pada medulla spinalis pada segmen C5
dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot dibawah segmen C5 yaitu,
otot kedua lengan (C6-C8), otot thoraks, dan otot abdominal, serta otot tungkai
bawah. Kondisi yang terjadi disebut tetraplegia. Lesi pada segmen C5 juga akan
merusak lintasan asenden dan desenden lain sehingga motor neuron juga ikut
rusak, maka tingkat kelumpuhan ini bersifat Lower Motoric Neuron (LMN)
dimana terjadi plegiyang sifatnya flaccid karena lintasan somatosensorik dan
lintasan autonomy neurovegetatif asenden dan desenden terputus. Sehingga
berakibat pasien akan mengalami gangguan sensibilitas (tidak dapat merasakan
apa-apa) dan mengakibatkan rusaknya lintasan neurovegetatif yang menimbulkan
gangguan fungsi sistem urinaria yaitu terjadinya inkontinensia alvi atau
inkontinensia urin.
Lokasi kerusakan ketiga yaitu pada segmen lumbal yang menyebabkan
paraplegia sehingga didapatkan tanda hipertonia pada otot abdomen, reflek
dinding perut meningkat, kelumpuhan kedua tungkai secara lengkap. Apabila
kerusakan pada sistem saraf pusat yang mengatur fungsi motorik atau sistem
neuromuskuloskeletal itu terjadi, penderita akan mengalami kesulitan saat berjalan
karena mengalami gangguan pada kekuatan otot, keseimbangan dan koordinasi
gerak sehingga menyebabkan seseorang mengalami gangguan mobilitas fisik
(Nurarif, 2015).
D. Klasifikasi
a. Infeksi pernafasan, nyeri pada daerah tertekan, konstipasi dan
thromborflebitis
b. Nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi, deformitas dan terjatuh
c. Epilepsy dan sakit kepala
d. Hidrocepalus
E. Pemeriksaan
Terdapat beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk membantu
menegakan diagnosa pada pasien stroke (Muttaqin, 2008), diantaranya :

a. Pemeriksaan Diagnostik
1) Angiografi Serebri
Angiografi serebri adalah prosedur yang melibatkan pencintraan sinar-x
untuk menghasilkan gambar pembuluh darah otak. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi adanya gangguan atau penyakit pada pembuluh darah otak,
seperti aneurisma dan arterosklerosis (plak) (Windi, 2018).
2) Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi adalah pengambilan cairan serebrospinal untuk
pemeriksaan adanya penyakit pada otak dan tulang belakang (Suharsono,
2014).
3) CT Scan
CT scan adalah suatu teknik pemeriksaan diagnostik imaging atau
pencitraan yang menggunakan teknologi computer berbasis x-ray untuk
memdeteksi adanya kerusakan otak (Ardiyanto, 2014).
4) Magnetic Imaging Resonance (MRI)
Magnetic Imaging Resonance (MRI) adalah suatu teknik pemeriksaan
diagnostik imaging atau pencitraan yang menggunakan teknologi magnet
dan gelombang radio untuk mendapatkan hasil gambar organ lebih rinci
(Felayani, 2019).
5) USG Doppler
USG doppler adalah alat pemeriksaan kesehatan menggunakan
gelombang suara berfrekuensi tinggi untuk memantau kondisi aliran darah
dan pembuluh darah (Rodiani, 2019).
6) EEG
Elektroensefalografi adalah alat untuk merekam elektrik disepanjang kulit
kepala yang dihasilkan dari arus ion didalam neuro otak (Multajam, 2016).

b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Gula Darah Sewaktu
Pemeriksaan gula darah bertujuan untuk memeriksa kadar glukosa pada
tubuh yang biasanya digunakan untuk mendiagnosis dan memantau
penyakit diabetes (Kustaria, 2017)
2) Kreatinin Fosfokinase
Kreatinin fosfokinase (CPK) merupakan enzim yang ditemukan dalam
konsentrasi tinggi pada otot jantung dan otot rangka, dan dalam
konsentrasi rendah dalam pembuluh darah, jika konsentrasi CPK tinggi
dalam darah maka mengindikasikan ada cedera pada otak (Sari, 2018)
3) Kolesterol
Tes kolestrol disebut juka pemeriksaan profil lipid adalah pemeriksaan
medis berupa tes darah untuk mengukur jumlah total zat lemak(kolestrol
dan trigliserida) dalam darah (Listyaningrum, 2019)
4) Hematokrit
Hematokrit adalah kadar sel darah merah dalam darah yang dapat menjadi
pertanda ada tidaknya penyakit tertentu (Mayangsari, 2017).
F. Penatalaksanaan
a. Pengobatan Farmakologis
Penatalaksanaan stroke non hemoragik dapat dilakukan dengan pengobatan
konservatif dan pengobatan pembedahan (Muttaqin, 2008)
1) Pengobatan Konservatif
- Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin
intraarterial.
- Pemberian antitrombosit karena trombosit memainkan peran
sangat penting dalam pembentukan thrombus dan embolisasi.
Antiagregasi thrombosis seperti aspirin dapat diberikan untuk
digunakan sebagai penghambat reaksi pelepasan agregasi
thrombosis yang terjadi setelah ulserasi atheroma.
- Antikoagulan dapat diberikan untuk mencegah terjadinya atau
memberatnya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam
system kardiovaskular.
2) Pengobatan Pembedahan
- Endosteroktomi karotis dilakukan dengan tujuan untuk membentuk
kembali arteri karotis, yaitu dengan membuka arteri karotis di leher.
- Revaskularisasi merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan
dengan tujuan untuk memperbaiki aliran darah arteri coroner yang
tersumbat atau menyempit sehingga darah bisa mengalir lancer
kembali.
- Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.

b. Pengobatan Nonfarmakologis

Dalam pengobatan non farmakologis dapa dilakukan tindakan terapi fisik,


okupasi, wicara dan psikologi, serta telaah social dalam membantu
memulihkan keadaan pasien (Nurarif dan Kusuma, 2015).
1) Fase akut Terapi yang bisa diberikan kepada pasien yaitu, seperti berikut:
 Letakan kepala pasien pada posisi 30o, kepala dan dada pada satu
bidang, ubah posisi tidur setiap 2 jam.
 Bebaskan jalan nafas, beri terapi oksigen 1-2 liter/menit sampai
didapatkan analisa gas darah.
 Monitor jantung dan tanda-tanda vital, pemeriksaan EKG .
 Evaluasi status cairan dan elektrolit.
 Kontrol kejang jika ada dengan pemberian antikonvulsan, dan
cegah resiko injury.Lakukan pemasangan NGT untuk mengurangi
kompresi lambung dan pemberian makanan .
 Cegah emboli paru dan tromboplebitis dengan antikoagulan.
 Monitor tanda-tanda neurologi seperti tingkat kesadaran, keadaan
pupil, fungsi sensorik dan motorik, nervus kranial dan refleks.
2) Tahap rehabilitasi
Salah satu terapi yang dapat diberikan pada pasien stroke dalam masa
rehabilitasi adalah dengan memberikan terapi Range of Motion (ROM).
Range of Motion (ROM) adalah latihan yang dapat dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiki tingkat kemampuan pergerakan sendi
untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2009).
Melakukan ROM dapat membantu untuk meningkatkan dan
mempertahankan kekuatan otot, mempertahankan fungsi jantung, dan
mencegah berbagai komplikasi seperti nyeri karena tekanan, kontraktur,
tromboplebitis, dan dekubitus (Potter & Perry, 2009). Memberikan terapi
mobilisasi perlu dilakukan sedini mungkin agar dapat meningkatkan
kekuatan otot karena dapat membantu pemulihan fisik yang lebih cepat
dan optimal. Serta dapat mecegah terjadinya kontraktur dan memberikan
dukungan psikologis pada pasien streoke beserta keluarganya (Gofir,
2009).
Range Of Motion dibagi menjadi dua yaitu ROM aktif dan pasif.
ROM aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh pasien dengan
menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan
membimbing pasien dalam melaksanakan pergerakan sendiri secara
mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (pasien aktif).
Sedangkan ROM pasif merupakan latihan pergerakan dimana pasien
tidak dapat menggerakkan persendiannya secara mandiri melainkan di
gerakan orang lain dalam hal ini dapat dilakukan oleh perawat, terapis,
keluarga pendamping yang menggerakkan persendian pasien sesuai
rentan geraknya (Indrawati, 2008). Dalam tulisan ini fokus yang
diamatati yaitu pemberian terapi ROM pasif pasa pasien stroke.
Berdasarkan hasi penelitian Anggraini, dkk (2018) dengan judul
“Pengaruh ROM (Range of Motion) Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas
Pada Pasien Stroke Non Hemoragik” yang melakukan penelitian dengan
menggunakan terapi ROM pasif pada pasien stroke menunjukan adanya
peningkatan kekuatan otot dan kemampuan fungsional secara signifikan.
Idealnya terapi ROM pasif ini dilakukan sekali sehari dengan melakukan
gerakan sebanyak 10 hitungan. Latihan dilakukan dengan waktu 30
menit , dimulai dengan latihan secara perlahan dan betahap. Usahakan
untuk mencapai gerakan penuh tapi jangan memaksakan gerakan pada
pasien. Hentikan gerakan apabila pasien merasa nyeri, dan segera
konsultasikan ke tenaga kesehatan apabila berlanjut. Lakukan terapi
dengan hati-hati sera lihat respon pasien setelah terapi dilakukan
(Anggraini, dkk 2018).
Selain itu, posisi yang tepat bagi penderita stroke juga sangat penting.
Penderita stroke mengalami kelemahan serta kekakuan yang biasanya
membutuhkan untuk memperoleh kesejajaran tubuh yang tepat selama
berada di tempat tidur atau tempat duduk. Menurut Potter & Perry (2010),
banyak alat bantu yang dapat digunakan untuk mempertahankan
kesejajaran tubuh klien, diantaranya :
 Gunakan bantal untuk membantu mempertahankan kesejajaran tubuh
klien. Bantal tebal untuk diletakan di bawah kepala klien untuk
meningkatkan fleksi. Gunakan bantal tipis di bawah bagian ketiak
untuk membantu menyangga bahu yang jatuh dan di bagian tubuh yang
menonjol tidak adekuat untuk melindungi kulit dan jaringan akibat
tekanan.
 Papan kaki atau footboard dapat digunakan dengan meletakannya
tegak lurus dengan matras, sejajar dan menyentuh permukaan baawah
kaki. Papan kaki ini digunakan untuk mencegah footdrop dengan
mempertahankan kaki dalam posisi dorsifleksi.
 Trochanter roll dapat digunakan untuk mencegah rotasi luar pada
tungkai ketika klien berada dalam posisi supine. Selimut ini diletakan
di bawah bokong dan kemudian digulung berlawanan dengan jalan
jarum jam.
 Gulungan tangan atau hand roll digunakan untuk mempertahankan ibu
jari sedikit adduksi dan berada berlawanan dengan jari jari.
 Pembebat peregelangan tangan atau hand wrist splints adalah
pembentuk untuk mempertahankan kesejajaran ibu jari yang tepat
dengan sedikit adduksi dan pergelangan tangan sedikit dorsifleksi
 Trapeze bar adalah alat bantu berbentuk segitiga yang dapat turun
dengan aman di atas kepala yang diraih di tempat tidur. Hal ini
memungkinkan klien dapat menarik dengan ektremitas atasnya untuk
memudahkan memindahkan klien dari tempat tidur ke kursi roda atau
untuk melakukan latihan lengan atas.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan yaitu menilai informasi yang dihasilkan dari
pengkajian skrining untuk menentukan normal atau abnormal yang nantinya akan
dipertimbangkan dalam kaitannya dengan diagnosis yang berfokus masalah atau
resiko. Pengkajian terdiri dari dua yaitu pengkajian skrinning dan pengkajian
mendalam.Keduanya membutuhkan pengumpulan data, keduanya mempunyai
tujuan yang berbeda.
Pengkajian skrinning adalah langkah awal pengumpulan data. Pengkajian
mendalam lebih fokus, memungkinkan perawat untuk mengeksplorasi informasi
yang diidentifikasi dalam pengkajian skrinning awal, dan untuk mencari petunjuk
ambahan yang mungkin mendukung atau menggugurkan bakal diagnosis
keperawatan (NANDA, 2018). Terdapat 14 jenis subkategori data yang harus
dikaji yakni respirasi, sirkulasi, nutrisi dan cairan, eliminasi, aktivitas dan
istirahat, neurosensori, reproduksi dan seksualitas, nyeri dan kenyamanan,
integritas ego, pertumbuhan dan perkembangan, kebersihan diri, penyuluhan dan
pembelajaran, interaksi sosial, keamanan dan proteksi (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2017). Pengkajian pada pasienstroke non hemoragik (SNH) menggunakan
pengkajian mendalam mengenai risiko perfusi serebral tidak efektif, dengan
kategori Fisiologis dan subkategori Sirkulasi.(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
Pengkajian dilakukan sesuai dengan factor risiko yaitu keabnormalan masa
protrombin dan/atau masa tromboplastin parsial, penurunan kinerja ventrikel kiri,
arterosklerosis aorta, diseksi arteri, fibrilasi atrium, tumor otak, stenosis karotis,
miksoma atrium, aneurisma serebri, koagulapati(mis.anemia sel sabit), dilatasi
kardiomiopati, koagulasi intravaskuler diseminata, embolisme, cedera kepala,
hiperkolesteronemia, hipertensi, endocarditis infektif, katup prosetektik mekanis,
stenosis mitral, neoplasma otak, infark miokard akut, sindrom sick sinus,
penyalahgunaan zat, terapi tombolitik,dan efek samping tindakan(mis tindakan
operasi)(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian kinis mengenai respons
klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik
yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan pada pasien
stroke non hemoragik salah satunya gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan
gangguan neuromuscular ditandai dengan mengeluh sulit menggerakkan
ekstremitas,mengeluh nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa
cemas saat bergerak, kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun,
sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan fisik lemah.
Diagnosa keperawatan yang bisa ditegakkan dalam masalah aktivitas dan istirahat
adalah gangguan mobilitas fisik. Gangguan mobilitas fisik termasuk dalam
kategori fisiologis dan subkategori aktivitas dan istirahat (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2016).
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons
klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya, baik
yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan
untuk mengidentifikasi respons individu, keluarga atau komunitas terhadap situasi
yang berkaitan dengan kesehatan. Proses penegakan diagnosa (diagnostic process)
merupakan suatu proses yang sistemasis yang terdiri atas tiga tahap yaitu analisa
data, identifikasi masalah dan perumusan diagnosa. Diagnosis keperawatan
memiliki dua komponen utama yaitu masalah (problem) yang merupakan label
diagnosis keperawatan yang menggambarkan inti dari respons klien terhadap
kondisi kesehatan, dan indikator diagnostik yang terdiri atas penyebab,
tanda/gejala dan faktor risiko.
Diagnosis keperawatan dalam penelitian ini yaitu diagnosis risiko.Pada
diagnosis risiko tidak memiliki penyebab dan tanda/gejala, hanya memiliki faktor
risiko.Faktor risiko merupakan kondisi atau situasi yang dapat meningkatkan
kerentanan pasien mengalami masalah kesehatan.(Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
2017) Perumusan diagnosis dilakukan sesuai dengan masalah yang telah
diidentifikasi dengan menggunakan pola PE, yaitu problem sebagai masalah inti
dari respon klien terhadap kondisi kesehatannya, etiologi sebagai penyebab atau
factor risiko yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.(Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2017)
Masalah (problem) dalam diagnosis pada pasien Stroke Non Hemoragik yaitu
risiko perfusi serebral tidak efektif.Menurut Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI) risiko perfusi serebral tidak efektif masuk kedalam kategori
fisiologis dengan subkategori sirkulasi.Risiko perfusi serebral tidak efektif
merupakan kondisi berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke
otak.Penyebab (etiologi) disini digantikan dengan faktor risiko yang menimbulkan
masalah Risiko perfusi serebral tidak efektif yaitu keabnormalan masa protrombin
dan/atau masa tromboplastin parsial, penurunan kinerja ventrikel kiri,
arterosklerosis aorta, diseksi arteri, fibrilasi atrium, tumor otak, stenosis karotis,
miksoma atrium, aneurisma serebri, koagulapati(mis.anemia sel sabit), dilatasi
kardiomiopati, koagulasi intravaskuler diseminata, embolisme, cedera kepala,
hiperkolesteronemia, hipertensi, endocarditis infektif, katup prosetektik mekanis,
stenosis mitral, neoplasma otak, infark miokard akut, sindrom sick sinus,
penyalahgunaan zat, terapi tombolitik, dan efek samping tindakan(mis tindakan
operasi bypass).
3. Intervensi Keperawatan
Setelah diagnosa keperawatan dirumuskan, selanjutnya perawat menyusun
perencanaan yang merupakan sebuah langkah perawat dalam menetapkan tujuan
dan kriteria/hasil yang diharapkan bagi klien dan merencanakan intervensi
keperawatan. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa dalam membuat
perencanaan perlu mempertimbangkan tujuan, kriteria yang
diperkirakan/diharapkan, dan intervensi keperawatan (Andarmoyo, 2013).
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien stroke non
hemoragik dengan gangguan mobilitas fisik berdasarkan Nursing Interventions
Classification (NIC) (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013) yakni :
1) Terapi latihan: ambulansi
 Kaji tingkat kemampuan pasien dalam mobilisasi Mengkaji tingkat
kemampuan pasien dalam mobilisasi bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar kemampuan pasien dalam melakukan mobilisasi.
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas,
mudah, teratur, mempunyai tujuan memenuhi kebutuhan hidup sehat,
dan penting untuk kemandirian (Mubarak, 2008). Mobilisasi dibagi
menjadi dua yakni mobilisasi penuh dan mobilisasi sebagian.
Mobilisasi Penuh yakni dapat bergerak secara penuh dan bebas
sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran
sehari-hari. Mobilisasi Sebagian yakni bergerak dengan batasan jelas
dan tidak mampu bergerak dengan bebas karena dipengaruhi oleh
gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya.
 Monitoring vital sign sebelum dan sesudah latihan dan melihat respon
pasien saat latihan Pemeriksaan tanda vital terdiri dari pemeriksaan :
tekanan darah, frekuensi nadi, respirasi dan suhu. Rasionalnya
pemeriksaan vital signs berguna dalam mendeteksi atau pemantauan
masalah medis. Tekanan darah merupakan kekuatan darah mendorong
dinding arteri. Setiap kali jantung berdetak memompa darah melalui
arteri ke seluruh tubuh. tekanan darah normal seseorang dipengaruhi
oleh usia, dan aktivitas fisik yang dilakukan. Karena itu pemeriksaan
tekanan darah dilakukan ketika beristirahat paling tidak sekitar 15
menit setelah melakukan suatu aktifvitas fisik. Tekanan darah normal
yaitu 120/80 MmHg, suhu tubuh normal dapat berkisar antara 36,5
derajat C - 37,2 derajat C , denyut nadi normal untuk orang dewasa
sehat berkisar 60-100 denyut per menit. Denyut nadi dapat meningkat
dengan olahraga, penyakit, cedera, dan emosi. Tingkat Respirasi
adalah jumlah pernapasan seseorang per menit. Ketika memeriksa
pernapasan penting juga diperhatikan apakah seseorang memiliki
kesulitan bernapas. Pernafasan normal untuk orang dewasa sehat
antara 12-20 kali per menit. Selain itu dilakukan observasi terhadap
respon pasien saat dilakukannya terapi.
 Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien dan
keluarga Ambulasi dini adalah tahapan kegiatan yang dilakukan segera
pada pasien pasca operasi maupun stroke dimulai dari bangun dan
duduk sampai pasien turun dari tempat tidur dan mulai berjalan dengan
bantuan alat sesuai dengan kondisi pasien (Asmadi, 2008). Menurut
Asmadi (2008) manfaat ambulasi adalah mencegah dampak
immobilisasi. Jenis-jenis ambulansi yakni duduk diatas tempat tidur,
duduk ditepi tempat tidur, memindahkan pasien dari tempat tidur ke
kursi, membantu berjalan, memindahkan pasien dari tempat tidur ke
brancard, melatih berjalan dengan menggunakan alat bantu jalan.
Mengajarkan tenik ambulansi dan perpindahan yang aman kepada
pasien dan keluarga dapat dilakukan dengan cara menjelaskan prosedur
yang aman saat melakukan ambulansi, pemasangan pengaman kedua
sisi tempat tidur.
 Berikan alat bantu jika pasien membutuhkan Saat melakukan
mobilisasi jika pasien mengalami kesulitan atau membutuhkan bantuan
dapat diberikan alat bantu untuk mempermudah pasien dalam
melakukan mobilisasi. Alat-alat dalam pelaksanaan ambulansi yakni
ada kruk, canes (tongkat), dan walkers. Kruk adalah alat yang terbuat
dari logam atau kayu dan digunakan permanen untuk meningkatkan
mobilisasi serta untuk menopang tubuh dalam keseimbangan pasien.
Misalnya: Conventional, Adjustable dan lofstrand. Canes (tongkat)
yaitu alat yang terbuat dari kayu atau logam setinggi pinggang yang
digunakan pada pasien dengan lengan yang mampu dan sehat. Meliputi
tongkat berkaki panjang lurus (single stight-legged) dan tongkat
berkaki segi empat (quad cane). Walkers yaitu alat yang terbuat dari
logam mempunyai empat penyangga yang kokoh digunakan pada
pasien yang mengalami kelemahan umum, lengan yang kuat dan
mampu menopang tubuh.
 Ajarkan pasien begaimana merubah posisi dan memberikan bantuan
jika diperlukan. Mengajarkan pasien bagaimana cara untuk merubah
posisi sesuai dengan prosedur yang aman dan membantu jika pasien
mengalami kesulitan saat melakukan perubahan posisi
2) Terapi Latihan : Mobilitas (pergerakan) sendi
 Berikan latihan ROM Latihan ROM adalah latihan yang dilakukan
untuk memperbaiki atau mempertahankan tingkat kesempurnaan
kemampuan menggerakkan persendian secara normal dan lengkap
untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2010).
Selain itu, latihan ini juga sebagai salah satu bentuk intervensi
fundamental perawat yang dapat dilakukan untuk keberhasilan regimen
terapeutik bagi penderita dan dalam upaya pencegahan terjadinya
kondisi cacat permanen pada penderita stroke.
 Prinsip dasar latihan ROM yakni, ROM harus diulang sekitar 8 kali
dan dikerjakan minimal 2 kali sehari, ROM di lakukan berlahan dan
hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien, dalam merencanakan
program latihan ROM, perhatikan umur pasien, diagnosa, tanda-tanda
vital dan lamanya tirah baring, bagian-bagian tubuh yang dapat di
lakukan latihan ROM adalah leher, jari,lengan, siku, bahu, tumit, kaki,
dan pergelangan kaki, ROM dapat di lakukan pada semua persendian
atau hanya pada bagian-bagian yang di curigai mengalami proses
penyakit, Melakukan ROM harus sesuai waktunya. Misalnya setelah
mandi atau perawatan rutin telah di lakukan.
4. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan komponen dari proses keperawatan
yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2010). Pengertian
tersebut menekankan bahwa implementasi adalah melakukan atau menyelesaikan
suatu tindakan yang sudah direncanakan pada tahapan sebelumnya.
5. Evaluasi
Evaluasi Keperawatan adalah aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan, dan
terarah, ketika pasien dan professional kesehatan menentukan kemajuan pasien
menujun pencapaian tujuan/hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan.
Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP ( Subjektif,
Objektif, Assessment, Planing ). Adapun komponen SOAP yaitu S (subjektif)
adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari pasien setelah tindakan
diberikan, O (objektif) adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan,
penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan, A
(assessment) adalah membandingkan antara informasi subjektif dan objektif, P
(planning) adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan
hasil analisa (Dermawan, 2012).
BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal Pengkajian : 8 September 2021
Jam : 15.00 WIB
Ruang : Ruang Rajawali 2A
A. BIODATA
Nama Pasien : Ny. Sawitri
Tanggal lahir/Umur : 31 Desember 1953/68 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Kristen Katolik
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Kota Semarang
Tanggal Masuk : 2 September 2021
Jam : 19.30 WIB
Diagnosa Medis : SNH (Stroke Non-Hemoragik)
No.RM : C575xxx
Penanggung Jawab
Nama : Tn. B
Umur : 31 tahun
Hubungan Dengan Pasien : Anak
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Kota Semarang
B. Keluhan Utama
Pasien mengalami penurunan kesadaran
C. Riwayat Keperawatan
1. Riwayat Keperawatan Sekarang
Pasien pukul 08.00 WIB sulit dibangunkan, tidak bangun dengan rangsangan
suara maupun nyeri, sebelumnya pasien mengeluh pusing dan badan tidak
enak. Kemudian pasien di bawa ke IGD RSDK dicek lab dan CT scan kepala.
Saat di IGD pasien GDSnya yaitu 21 mg/dl, kemudian pasien diberi D40% fl.
Pasien berangsur sadar tetapi bicaranya pelo, mulut merot ke kanan, tubuh sisi
kanan lebih lemah disbanding kiri. Pasien hanya mampu melawan gravitasi
namun tidak lama jatuh.
2. Riwayat Keperawatan Dahulu
Pasien mengatakan sekitar 2 tahun yang lalu pernah menjalani kontrol luka
DM yang ada di kakinya karena di amputasi dan hipertensi.
3. Riwayat Keperawatan Keluarga
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien tidak mempunyai penyakit yang
menular dan menurun seperti TBC, DM, HIV dan hipertensi.
D. Pengkajian Model Konseptual
1. Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan
Pasien mengatakan bahwa kesehatan itu sangat penting, ketika pasien sakit
seperti ini, pasien tidak bisa melakukan aktivitas seperti ibu rumah tangga
biasanya. Pasien mengatakan lebih baik segera ke Rumah Sakit daripada
menggunakan pengobatan tradisional jika sudah terjadi kegawat daruratan.
Pasien tidak memiliki alergi terhadap obat.
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Sebelum sakit :
Pasien mengatakan bahwa makan teratur 3 kali sehari dengan porsi sekali
makan yaitu 1 porsi. Pasien selalu menghabiskan makanannya. Pasien
mengatakan biasanya minum sebanyak 4-8gelas dalam sehari. Pasien tidak
memiliki alergi apapun.
Setelah sakit :
Pasien mengalami perubahan berat badan. Asupan makan dalam 2minggu
terakhir cukup, pasien mengalami mual ringan. Status Gizinya yaitu berisiko
malnutrisi
3. Pola Eliminasi
Sebelum sakit :
Pasien mengatakan bahwa pasien BAB 1-2 kali dalam sehari. Konsistensi
lunak, warna kuning dan tidak mengalami konstipasi. Pasien mengatakan
BAK 5-6 kali dalam sehari. Urine berwarna kuning jernih.
Setelah sakit :
Pasien mengatakan bahwa pasien BAB 1 kali dalam sehari, konsistensi feses
lembek, berwarna kuning dan memiliki bau yang khas. Pasien BAK 3 kali
dalam sehari dengan jumlah 200 cc
4. Pola Istirahat dan tidur
Sebelum sakit :
Pasien mengatakan bahwa pasien tidur selama 8jam. Saat pasien tidur merasa
nyaman serta tidak mudah terbangun.
Setelah sakit :
Pasien mengatakan bahwa pasien tidur selama 8 jam. Pasien masih memiliki
waktu tidur yang cukup
5. Pola Aktivitas dan Latihan
Sebelum sakit :
Pasien mengatakan bahwa pasien tidak mengalami gangguan aktivitas
sebelum sakit. Pasien dapat melakukan kegiatan sehari-hari tanpa harus
dibantu orang lain dan alat bantu
Setelah sakit :
Pasien mengatakan bahwa kondisi tubuh pasien tidak memungkinkan untuk
aktivitas seperti biasanya. Aktivitasnya dibantu menggunakan alat bantu dan
dibantu oleh keluarga.
6. Pola Peran dan Hubungan
Ny. S di rumah berperan sebagai seorang ibu. Ny. S memiliki suami dan tiga
seorang anak. Mereka tinggal bersama di dalam satu rumah. Hubungan klien
dengan keluarga, sodara bahkan tetangga sendiri sangat baik.
7. Pola persepsi sensori
Tidak ada gangguan pada indra pengecapan, pembauan maupun perabaan serta
ada indra penglihatannya tetap normal.
8. Pola persepsi diri/konsep diri
Pasien dalam kondisi yang khawatir.
9. Pola Seksual dan reproduksi
Pasien mengatakan tidak ada gangguan seksual dan reproduksi pada dirinya.
10. Pola mekanisme koping
Sebelum sakit :
Pasien mengatakan ketika ada masalah selalu terbuka dengan anggota
keluarganya dan diselesaikan secara baik-baik.
Sesudah sakit :
Pasien mengatakan ketika sakitpun masih terbuka dengan keluarganya seperti
ketika pasien mengalami keluhannya. Pasien ingin segera sembuh dan pasien
merasa sedih karena tidak bisa menjalankan aktivitasnya seperti biasa.
11. Pola nilai dan kepercayaan
Sebelum sakit :
Pasien beragama kristen katolik, selalu menjalankan ibadahnya yang sudah
menjadi kewajibannya dan selalu bersyukur.
Sesudah sakit :
Pasien melaksanakan kewajibannya yaitu beribadah dan meminta kesembuhan
untuk penyakitnya. Pasien selalu sabar dalam menghadapi penyakit ini.
E. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum :
Tampak sakit
2. Kesadaran :
Compos Mentis (E : 4, V: 5, M: 6)
3. TTV
Suhu tubuh : 36,0 °C
Nadi : 60x/menit
Tekanan darah : 158/78 mmHg
Pernafasan : 20x/menit
Tinggi Badan : 165 cm
Berat badan : 60kg
4. Pemeriksaan Kepala dan leher

a. Kepala dan Rambut


1. Bentuk kepala : Bulat, simetris
Tulang kepala : Tidak ada benjolan
Kulit kepala : Bersih
2. Rambut
Penyebaran : Merata
Warna : hitam dan putih
3. Wajah
Struktur wajah : Simetris
Warna kulit : Kuning langsat
b. Mata
1. Kelengkapan dan Kesimetrisan : Mata lengkap dan simetris
2. Kelopak mata/palepebra : Frekuensi reflek berkedip simetris
3. Kornea mata : Jernih
4. Konjungtiva dan sclera : Tidak ada anemia
5. Pupil dan iris : Simetris
6. Tekanan bola mata : Simetris
7. Pbi 3mm/3mm RC +/+
c. Hidung
1. Cuping hidung : Normal dan simetris
2. Lubang hidung : Bersih
3. Tulang hidung dan septum nasi : Normal dan simetris
4. Tidak terdapat polip dan sinusitis, fungsi penciuman baik
d. Telinga
Daun telinga simetris, fungsi pendengaran baik, tidak ada lesi
e. Mulut
Mukosa bibir lembab, gusi dan gigi bersih, lidah bersih, tidak terdapat
pembesaran tongsil, tidak terdapat sariawan, fungsi pengecapan baik.
f. Leher
1. Tiroid : Tidak ada pembesaran
2. Suara : Pelan
3. Kelenjar lympe : Tidak ada pembesaran
4. Denyut nadi karotis : Teraba jelas dan teratur
5. Pemeriksaan thorax PA Semierect
- COR : CTR > 50%
Apeks jantung bergeser ke laterocaudal
- PULMO : coracan vaskuler tampak meningkat, tampak bercak pada lapangan
tengah bawah paru kanan
- Tampak penebalan hillus kanan, cenderunglimfadenopaty
- Hemidiafragma kanan setinggi costa 9 posterior
- Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip
6. Pemeriksaan MSCT kepala tanpa kontras
- Tampak lesi hipodens pada corona radiate kanan kiri, nucleus lentiformis kanan
dan white matter lobus parietal kiri
- Tidak tampak lesi hiperdens densitas perdarahan pada intra-extraaxial
- Tampak klasifikasi fisiologis pada glandula pineal dan plexus choroideus
ventrikel lateral kanan kiri
- Differensiasi subtansia alba dan substansia grisea tampak normal
- Ventrikel lateral kanan kiri, III dan IV tampak normal
- Cisterna perimesencephalic dan basalis tampak melebar
- Tak tampak midline shifting
- Batang otak dan cerebellum baik
7. Pemeriksaan ekstremitas
Ekstremitas atas : kiri terdapat infus RL, tidak ada edema, ekstremitas
atas lemas sehingga mengganggu kegiatan.
Ekstremitas bawah : tidak ada edema, ekstremitas bawah lemas dan salah
satu kaki diamputasi sehingga mengganggu aktifias.
8. Pemeriksaan Integumen
Kebersihan : Kulit bersih
Kehangatan : Akral hangat
Warna : Kuning langsat
Turgor : dapat kembali sebelum2 detik
Kelembaban : Kering
Kelainan pada kulit/lesi : Tidak ada lesi
9. Pemeriksaan saraf kranialis
- I Olfaktorius : Pasien dapat membedakan bau
- II Optikus : Tidak ada gangguan penglihatan
- III Okulomotor : Dilatasi reaksi pupil normal, terjadi pengecilan pupil
ketika ada pantulan cahaya
- IV Troklearis : Tidak ada gangguan dalam pergerakan bola mata
- V Trigeminalis : Sedikit ada gangguan pada saat mengunyah
- VI Abdusens : Tidak dapat menggerakan bola mata ke samping
- VII Fasiali : Terdapat gangguan pada saat bicara, bicaranya pelo
- VIII Vestibulokoklear : Tidak ada gangguan pendengaran
- IX Glosofaringeus : Terdapat kesulitan menelan
- X Vagus : Tidak ada gangguan
- XI Asesorius Spinal : Anggota badan sebelah kanan susah digerakan dan
dapat mengangkat bahu sebelah kiri
- XII Hipoglosus : Respon lidah tidak baik, klien tidak bias menggerakan
lidah dari sisi yang satu ke sisi yang lain. Terdapat
kesulitan menelan
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 10 g/dl 13.5 – 17.5
Leukosit 9.8 ribu/ul 4.5 – 11.0
Trombosit 408 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 3.06 juta/ul 4.50 – 5.90
HEMOSTASIS
PPT/K 13,7/14,7 -
PPTK/K 25,7/30,7 -
SGOT 27 -
SGPT 11 -
KIMIA KLINIK
Glukosa darah sewaktu 399 mg/dl 60 – 140
Creatinine 3.0 mg/dl 0.6 – 1.3 H
Ureum 90 mg/dl 15-39 H
Bilirubin total 0,32 -
Bilirubin indirek 0,09 -
Bilirubin direk 0,23 -
ELEKTROLIT
Natrium darah 137 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 5.0 mmol/L 3.3 – 5.1
Chlorida darah 108 mmol/L 98 - 106

G. PROGRAM TERAPI
Jenis Terapi Dosis Golongan & Fungsi &
Kandungan Farmakologi

- Cairan IV : Golongan obat bebas Pengganti cairan


Nacl 0,9%/500 Kandungan natrium tubuh
ml klorida
20 tpm
Injeksi Ranitidine 50mg/12j H2 Bloker Mengatasi dan
(Intravena) am mencegah rasa
panas perut

Injeksi vitamin 1 ampul / Golongan obat bebas Digunakan untuk


B12 (Intravena) 12jam Klasifikasi Obatnya membantu
Vitamin B Kompleks mengatasi anemia
perniosa.

Aspilet 80 mg/24 Golongan obat Digunakan untuk


jam po antiplatelet mengencerkan
darah dan
mencegah
penggumpalan
darah
Amlodipine 10 mg/24 Golongan obat Menurunkan
jam antihipertensi dan tekanan darah
antagonis kalsium

Paracetamol 500 mg/ 8 Golongan analgesic Meredakan rasa


jam po nyeri ringan hingga
sedang akibat sakit
kepala

Atorvastatin 20 Golongan obat Menurunkan kadar


mg/24jam penghambat HMG- kolesterol dalam
CoA reductase darah
Ciprofloxacin 500 Golongan antibiotic Mengobati infeksi
mg/24 kuinolon akibat dari bakteri
jam po

Terapi Interna
Sub KGH :
Bic- Nat 500 mg/ 8 Golongan elektrolit Mengatasi asidosis
jam metabolic, urine
yang terlalu asam
dan asam lambung
berlebih
Asam Folat 1 mg/24 Vitamin Pembentukan sel
jam darah merah
Kandesartan 4 mg/ Obat resep Untuk pengobatan
24jam tekanan darah
tinggi
Terapi Interna Untuk
Sub endokrin : menurunkan kadar
- Insulin sc gula darah dalam
(Lantus)
- Glikuidon 15 mg/12
jam

I. DAFTAR MASALAH/PROBLEM LIST


NO TANGGAL/JA DATA FOKUS ETIOLOGI MASALAH
M
1. 8 September DS : Risiko perfusi Hipertensi
2021 Keluarga pasien serebral tidak
mengatakan bahwa efektif
pasien sulit untuk (D.0017)
berbicara. Bicaranya
terkadang tidak
nyambung.
DO :
TD : 190/80 mmHg,
RR: 20x/ menit,
S: 36,4o C
N : 80x/menit

2. 8 September DS : Gangguan Penurunan


2021 Pasien mengatakan Mobilitas kekuatan otot
jika beraktivitas selalu Fisik
dibantu dengan alat
bantu yaitu kruk dan
di tuntun oleh
keluarga
DO :
- Rentang gerak
pasien terganggu
- KU = tampak sakit
berat
- GCS = E4M6V5
- TTV :
TD = 160/77
HR = 60x/menit
RR = 20x/menit
S = 36,5
SpO2 = 97% room air
3. 8 September DS : Nyeri akut (D. Agen pencedera
2021 - Pasien mengatakan 0077) fisiologis
nyeri
P : Nyeri dirasakan
ketika bergerak
Q : Nyeri seperti
teriris iris
R : Nyeri dibagian
jempol kaki kanan
bekas operasi
S : Skala 4
T : Nyeri hilang
timbul
DO :
- KU : lemah
- Kesadaran :
Compomentis
- TTV
D : 160/90 mmHg
N : 78x/menit
RR : 20x/menit
S : 36,50C
SpO2 : 99%
- Terpasang infus
ekstremitas kanan :
NaCl 0,9%
- Pasien tampak
meringis dan gelisah

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Risiko perfungsi serebral tidak efektif (D.0017-SDKI) b.d hipertensi
2. Gangguan mobilitas fisik (D.0054-SDKI) b.d penurunan kekuatan otot
3. Nyeri akut (D. 0077) b.d agen pencedera fisiologis
III. RENCANA KEPERAWATAN/NURSING CARE PLAN
NO TANGGAL DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI TTD
KEPERAWATA
N
1. 8 Risiko Setelah dilakukan Manajemen
Peningkatan
Septembe perfungsi asuhan keperawatan
Tekanan Intrakanial
r 2021 serebral tidak selama 3x24jam (I.06194)
a. Monitoring TTV
efektif klien melaporkan
b. Hindari
(D.0017-SDKI) perfusi serebral
penggunaan/pem
b.d hipertensi dengan kriteria
berian cairan IV
hasil :
Hipotonik
a. Tingkat kesadaran
c. Pertahankan suhu
meningkat
tubuh normal
b. Kecemasan
menurun
c. Tekanan darah
sistolik dan diastolik
membaik
d. Pelo menurun
e. Kemampuan
berbicara meningkat

2. 8 Gangguan Setelah dilakukan Dukungan mobilisasi


Septembe mobilitas fisik asuhan keperawatan (I.05173)
r 2021 (D.0054-SDKI) dukungan mobilisasi a. Melakukan
b.d selama 3x24jam, TTV
penurunan diharapkan mobilitas
b. Identifikasi
kekuatan otot fisik pasien
adanya nyeri
gangguan meningkat dengan
atau keluhan fisik
neuromuscule kriteria hasil :
lainnya.
r a. Pergerakan
c. Libatkan
ekstremitas
keluarga untuk
meningkat.
membantu
b. Kekuatan otot
pasien dalam
cukup
meningkatkan
meningkat. pergerakan
c. Nyeri menurun d. Jelaskan tujuan
d. Kelemahan fisik dan prosedur
cukup menurun. mobilisasi.
3. 8 Nyeri akut b.d Setelah dilakukan a. Melakukan TTV
Septembe agen tindakan b. Identifikasi
r 2021 pencedera keperawatan selama lokasi,
fisiologis 2 x 24 jam masalah karakteristikk,
keperawatan nyeri durasi,
akut dapat teratasi frekuensi,
dengan kriteria : kualitas,
a. Melaporkan nyeri intensitas nyeri
terkontrol c. Identifikasi
meningkat skala nyeri
b. Kemampuan d. Identifikasi
mengenali pengetahuan
penyebab nyeri dan keyakinan
meningkat tentang nyeri
c. Dukungan orang e. Berikan teknik
terdekat non
meningkat farmakologis
untuk
mengurangi
rasa nyeri
f. Jelaskan
strategi
meredakan
nyeri anjurkan
teknik non
farmakologis
untuk
mengurangi
rasa nyeri
g. Kolaborasi
analgetik jika
perlu.

IV. IMPLEMENTASI

NO TGL/JAM DIAGNOSA IMPLEMENTASI RESPON TTD


1. 9/9/2021 Dx. 1 Memonitor TTV DS :
05.00 WIB Keluarga
mengatakan
pasien tekanan
darah tinggi dan
pusing
DO :
Suhu tubuh:
36,5°C
Nadi : 90x/menit
TD :150/60
mmHg
RR : 23x/menit
Dx. 2 Memonitor TTV DS :
Pasien
mengatakan
ketika
beraktivitas
dibantu oleh
keluarga
DO :
Suhu tubuh:
36,5°C
Nadi : 90x/menit
TD :150/60
mmHg
RR : 23x/menit

Dx. 3 Memonitor TTV DS :


Pasien
mengatakan nyeri
kepala
DO :
Suhu tubuh:
36,5°C
Nadi : 90x/menit
TD :150/60
mmHg
RR : 23x/menit

2. 9/9/ 2021 Dx. 1 Menghindari DS : -


11.00 WIB pemberian cairan IV DO :
Hipotonik Pasien terpasang
infus NaCl 0.9%
dengan 20 tpm

Dx. 2 Melibatkan keluarga DS :


untuk membantu Pasien
pasien dalam mengatakan
meningkatkan aktivitasnya
pergerakan ketika ke kamar
mandi dibantu
oleh keluarga
DO :
Keluarga selalu
membantu
aktivitas pasien

Dx. 3 1.Mengidentifikasi DS :
lokasi, karakteristikk, Pasien
durasi, frekuensi, mengatakan
kualitas, intensitas nyeri di bagian
nyeri kepala
2. Mengidentifikasi DO :
skala nyeri Pasien tampak
meringis
kesakitan
Skala Nyeri : 4
3. 10/9/2021 Dx.1 Mempertahankan DS :
05.36 suhu tetap normal Pasien
mengatakan
bahwa suhu
badannya tidak
panas
DO :
Suhu : 36 ℃

Dx. 2 Mengedukasi pasien DS :


tentang pentingnya Pasien
postur tubuh yang mengatakan
benar untuk paham tentang
mencegah kelelahan penjelasan
informasi
pentingnya
postur tubuh
yang benar
DO :
Pasien dan
keluarga sangat
antusias ketika
diberikan edukasi
a. Berikan teknik
Dx. 3
non DS :
farmakologis Pasien
untuk mengatakan
mengurangi nyerinya sudah
rasa nyeri berkurang
b. Jelaskan strategi DO :
meredakan Pasien tampak
nyeri anjurkan lebih nyaman
teknik non dengan
farmakologis berkurangnya
untuk nyeri di kepala
mengurangi
rasa nyeri

5. 11/09/202 Dx. 1 Memonitor TTV DS :


1 Pasien
06.00 mengatakan
kondisinya
cenderung sudah
membaik
DO :
- TD : 135/80
mmHg
- Nadi :
87x/menit
- Suhu : 36.5℃
- RR : 20x/menit
Dx. 2 Identifikasi adanya DS :
nyeri dan keluhan Pasien
fisik lainnya mengatakan
sudah tidak ada
keluhan
DO :
Pasien tampak
lebih nyaman
dengan
kondisinya yang
sekarang

V. EVALUASI
TGL/ JAM MASALAH KEPERAWATAN CATATAN PERKEBANGAN TTD
11/09/2021 Risiko perfungsi serebral S:
Pukul 11.00 tidak efektif (D.0017-SDKI) Pasien mengatakan sudah bisa
b.d hipertensi berbicara sedikit-sedikit

O:
- KU : sedang
- Kesadaran : composmentis
- TD : 149/90 mmHg
- N : 90x/menit
- RR : 20x/menit
- S : 36,40C
- spO2 : 98%
- GDS : 205

A:
Masalah teratasi
P:
Intervensi dihentikan
11/09/2021 Gangguan mobilitas fisik S:
Pukul 11.00 b.d penurunan kekuatan Pasien mengatakan aktivitasnya
WIB otot masih dibantu oleh keluarga dan alat
bantu

O:
- Kelemahan fisik cukup
menurun.
- Nyeri menurun
- TD : 149/90 mmHg
- N : 90x/menit
- RR : 20x/menit
- S : 36,40C
- spO2 : 98%
- GDS : 205
A:
Masalah keperawatan teratasi
sebagian

P:
Lanjutkan intervensi keperawatan
- Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
11/09/2021 Nyeri akut b.d agen S:
pencedera fisiologis - Pasien mengatakan nyeri
pada kepala berkurang
P : Nyeri dirasakan ketika
berdiri
Q : Nyeri seperti digigit
semut
R : Nyeri dibagian kepala
S : Skala 2
T : Nyeri hilang timbul
O:
- KU : sedang
- TD : 149/90 mmHg
- N : 90x/menit
- RR : 20x/menit
- S : 36,40C
- spO2 : 98
- Terpasang inf RL 20 tpm
- GDS : 205
- keluhan nyeri menurun
- meringis menurun
- gelisah menurun

A : Masalah teratasi sebagian

P : Lanjutkan intervensi
- identifikasi skala nyeri.
- Identifikasi respon nyeri non
verbal
- Identifikasi factor yang
memperberat dan
memperingan nyeri
- Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyeri

Anda mungkin juga menyukai