1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan kelainan metabolisme yang kronis terjadi defisiensi
insulin atau retensi insulin, di tandai dengan tingginya keadaan glukosa darah
(hiperglikemia) dan glukosa dalam urine (glukosuria) atau merupakan sindroma
klinis yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein sehubungan dengan kurangnya sekresi insulin secara
absolut / relatif dan atau adanya gangguan fungsi insulin.
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Mansjoer, 2000). Diabetes
mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan
kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes mellitus merupakan penyakit sistemis, kronis, dan multifaktorial yang
dicirikan dengan hiperglikemia dan hipoglikemia. ( Mary,2009).
2. Etiologi
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur, intoleransi
terhadap glukosa juga meningkat, jadi untuk golongan usia lanjut diperlukan batas
glukosa darah yang lebih tinggi daripada orang dewasa non usia lanjut.
Pada NIDDM, intoleransi glukosa pada lansia berkaitan dengan obesitas,
aktivitas fisik yang berkurang,kurangnya massa otot, penyakit penyerta,
penggunaaan obat-obatan, disamping karena pada lansia terjadi penurunan sekresi
insulin dan insulin resisten. Lebih dari 50% lansia diatas 60 tahun yang tanpa
keluhan, ditemukan hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal.
Intoleransi glukosa ini masih belum dapat dikatakan sebagai diabetes. Pada usia
lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan insulin terutama pada post reseptor.
Pada lansia cenderung terjadi peningkatan berat badan, bukan karena
mengkonsumsi kalori berlebih namun karena perubahan rasio lemak-otot dan
penurunan laju metabolisme basal. Hal ini dapat menjadi faktor predisposisi
terjadinya diabetes mellitus. Penyebab diabetes mellitus pada lansia secara umum
dapat digolongkan ke dalam dua besar :
a. Proses menua/kemunduran (Penurunan sensitifitas indra pengecap,
penurunan fungsi pankreas, dan penurunan kualitas insulin sehingga
insulin tidak berfungsi dengan baik).
b. Gaya hidup (life style) yang jelek (banyak makan, jarang olahraga,
minum alkohol, dan lain-lain.)
Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress juga dapat menjadi penyebab
terjadinya diabetes mellitus. Selain itu perubahan fungsi fisik yang menyebabkan
keletihan dapat menutupi tanda dan gejala diabetes dan menghalangi lansia untuk
mencari bantuan medis. Keletihan, perlu bangun pada malam hari untuk buang air
kecil, dan infeksi yang sering merupakan indikator diabetes yang mungkin tidak
diperhatikan oleh lansia dan anggota keluarganya karena mereka percaya bahwa hal
tersebut adalah bagian dari proses penuaan itu sendiri.
3. Klasifikasi
a. Diabetes melitus tipe I
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik melalui
proses imunologik maupun idiopatik. Karakteristik Diabetes Melitus tipe I:
1) Mudah terjadi ketoasidosis
2) Pengobatan harus dengan insulin
3) Onset akut
4) Biasanya kurus
5) Biasanya terjadi pada umur yang masih muda
6) Berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4
7) Didapatkan antibodi sel islet
8) 10%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
b. Diabetes melitus tipe II :
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.
Karakteristik DM tipe II :
1) Sukar terjadi ketoasidosis
2) Pengobatan tidak harus dengan insulin
3) Onset lambat
4) Gemuk atau tidak gemuk
5) Biasanya terjadi pada umur > 45 tahun
6) Tidak berhubungan dengan HLA
7) Tidak ada antibodi sel islet
8) 30%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
9) ± 100% kembar identik terkena
4. Patofisiologi
Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin
adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas. Bila insulin
tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat glukosa akan tetap
berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat.
Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan
predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu
oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin
itu sendiri.
Pada diabetes melitus tipe 2 yang sering terjadi pada lansia, jumlah insulin
normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang
sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi
meningkat
5. Manifestasi Klinis
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada lansia
umumnya tidak ada. Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang
ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau
bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan,
akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi
polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut. Sebaliknya yang sering mengganggu
pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah
dan saraf.
Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga
gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan
komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan
penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot
(neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan
lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering
ditemukan adalah :
a. Katarak
b. Glaukoma
c. Retinopati
d. Gatal seluruh badan
e. Pruritus Vulvae
f. Infeksi bakteri kulit
g. Infeksi jamur di kulit
h. Dermatopati
i. Neuropati perifer
j. Neuropati viseral
k. Amiotropi
l. Ulkus Neurotropik
m. Penyakit ginjal
n. Penyakit pembuluh darah perifer
o. Penyakit koroner
p. Penyakit pembuluh darah otak
q. Hipertensi
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam diabetes melitus terbagi menjadi 2, yakni :
penatalaksanaan secara medis dan penatalaksanaan secara keperawatan.
Penatalaksanaan secara medis adalah sebagai berikut:
a. Obat Hipoglikemik oral
1) Golongan Sulfonilurea / sulfonyl ureas
Obat ini paling banyak digunakan dan dapat dikombinasikan denagn obat
golongan lain, yaitu biguanid, inhibitor alfa glukosidase atau insulin. Obat
golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan produksi insulin oleh
sel- sel beta pankreas, karena itu menjadi pilihan utama para penderita DM
tipe II dengan berat badan yang berlebihan. Obat – obat yang beredar dari
kelompok ini adalah:
(a) Glibenklamida (5mg/tablet).
(b) Glibenklamida micronized (5 mg/tablet).
(c) Glikasida (80 mg/tablet).
(d) Glikuidon (30 mg/tablet).
2) Golongan Biguanid / Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi glukosa hati, memperbaiki
ambilan glukosa dari jaringan (glukosa perifer). Dianjurkan sebagai obat
tunggal pada pasien dengan kelebihan berat badan.
3) Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Mempunyai efek utama menghambat penyerapan gula di saluran
pencernaan, sehingga dapat menurunkan kadar gula sesudah makan.
Bermanfaat untuk pasien dengan kadar gula puasa yang masih normal.
b. Insulin
1) Indikasi insulin
Pada DM tipe I yang tergantung pada insulin biasanya digunakan Human
Monocommponent Insulin (40 UI dan 100 UI/ml injeksi), yang beredar
adalah Actrapid. Injeksi insulin juga diberikan kepada penderita DM tipe
II yang kehilangan berat badan secara drastis. Yang tidak berhasil dengan
penggunaan obat – obatan anti DM dengan dosis maksimal, atau
mengalami kontraindikasi dengan obat – obatan tersebut, bila mengalami
ketoasidosis, hiperosmolar, dana sidosis laktat, stress berat karena infeksi
sistemik, pasien operasi berat, wanita hamil dengan gejala DM gestasional
yang tidak dapat dikontrol dengan pengendalian diet.
2) Jenis Insulin
(a)Insulin kerja cepat Jenis – jenisnya adalah regular insulin, cristalin zink,
dan semilente.
(b)Insulin kerja sedang Jenis – jenisnya adalah NPH (Netral Protamine
Hagerdon)
(c)Insulin kerja lambat Jenis – jenisnya adalah PZI (Protamine Zinc
Insulin)
Sedangkan unuk penatalaksanaan secara keperawatan adalah sebagai berikut:
a. Diet
Salah satu pilar utama pengelolaan DM adalah perencanaan makan. Walaupun telah
mendapat tentang penyuluhan perencanaan makanan, lebih dari 50 % pasien tidak
melaksanakannya. Penderita DM sebaiknya mempertahankan menu diet seimbang,
dengan komposisi idealnya sekitar 68 % karbohidrat, 20 % lemak dan 12 % protein.
Karena itu diet yang tepat untuk mengendalikan dan mencegah agar berat badan
tidak menjadi berlebihan dengan cara : Kurangi kalori, kurangi lemak, konsumsi
karbohidrat komplek, hindari makanan yang manis, perbanyak konsumsi serat.
b. Olahraga
Olahraga selain dapat mengontrol kadar gula darah karena membuat insulin bekerja
lebih efektif. Olahraga juga membantu menurunkan berat badan, memperkuat
jantung, dan mengurangi stress. Bagi pasien DM melakukan olahraga dengan teratur
akan lebih baik, tetapi jangan melakukan olahraga yang berat – berat
7. Pemeriksaan Diagnostik
Glukosa darah sewaktu
a. Kadar glukosa darah puasa
b. Tes toleransi glukosa
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali
pemeriksaan:
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
8. Komplikasi
Komplikasi diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi akut dan kronis. Yang
termasuk dalam komplikasi akut adalah hipoglikemia, diabetes ketoasidosis (DKA),
dan hyperglycemic hyperosmolar nonketocic coma (HHNC). Yang termasuk dalam
komplikasi kronis adalah retinopati diabetic, nefropati diabetic, neuropati,
dislipidemia, dan hipertensi.
a. Komplikasi akut
1) Diabetes ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis adalah akibat yang berat dari deficit insulin yang berat pada
jaringan adipose, otot skeletal, dan hepar. Jaringan tersebut termasuk sangat sensitive
terhadap kekurangan insulin. DKA dapat dicetuskan oleh infeksi ( penyakit)
b. Komplikasi kronis:
1) Retinopati diabetic
Lesi paling awal yang timbul adalah mikroaneurism pada pembuluh retina. Terdapat
pula bagian iskemik, yaitu retina akibat berkurangnya aliran darah retina. Respon
terhadap iskemik retina ini adalah pembentukan pembuluh darah baru, tetapi
pembuluh darah tersebut sangat rapuh sehingga mudah pecah dan dapat
mengakibatkan perdarahan vitreous. Perdarahan ini bisa mengakibatkan ablasio
retina atau berulang yang mengakibatkan kebutaan permanen.
2) Nefropati diabetic
Lesi renal yang khas dari nefropati diabetic adalah glomerulosklerosis yang nodular
yang tersebar dikedua ginjal yang disebut sindrom Kommelstiel-Wilson.
Glomeruloskleriosis nodular dikaitkan dengan proteinuria, edema dan hipertensi.
Lesi sindrom Kommelstiel-Wilson ditemukan hanya pada DM.
3) Neuropati
Neuropati diabetic terjadi pada 60 – 70% individu DM. neuropati diabetic yang
paling sering ditemukan adalah neuropati perifer dan autonomic.
4) Displidemia
Lima puluh persen individu dengan DM mengalami dislipidemia.
5) Hipertensi
Hipertensi pada pasien dengan DM tipe 1 menunjukkan penyakit ginjal,
mikroalbuminuria, atau proteinuria. Pada pasien dengan DM tipe 2, hipertensi bisa
menjadi hipertensi esensial. Hipertensi harus secepat mungkin diketahuin dan
ditangani karena bisa memperberat retinopati, nepropati, dan penyakit
makrovaskular.
6) Kaki diabetic
Ada tiga factor yang berperan dalam kaki diabetic yaitu neuropati, iskemia, dan
sepsis. Biasanya amputasi harus dilakukan. Hilanggnya sensori pada kaki
mengakibatkan trauma dan potensial untuk ulkus. Perubahan mikrovaskuler dan
makrovaskuler dapat mengakibatkan iskemia jaringan dan sepsis. Neuropati,
iskemia, dan sepsis bisa menyebabkan gangrene dan amputasi.
7) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah di bawah 60 mg/dl, yang
merupakan komplikasi potensial terapi insulin atau obat hipoglikemik oral. Penyebab
hipoglikemia pada pasien sedang menerima pengobatan insulin eksogen atau
hipoglikemik oral.
Pathway
D. Tanda dan Gejala
1. Poliuria
2. Polidipsi
3. Penglihatan kabur
4. Lemah
5. Sakit kepala
6. Hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau >
pada saat berdiri)
7. Anoreksia, Mual, Muntah
8. Nyeri abdomen
9. Hiperventilasi
10. Perubahan status mental (sadar, letargik, koma)
11. Kadar gula darah tinggi (> 240 mg/dl)
12. Terdapat keton di urin
13. Nafas berbau keton
14. Bisa terjadi ileus sekunder akibat hilangnya K+ karena diuresis osmotic
15. Kulit kering
16. Keringat dingin
17. Pernapasan kussmaul ( cepat, dalam ) karena asidosis metabolik
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisa darah
Kadar glukosa darah bervariasi tiap individu
pH rendah (6,8 -7,3)
PCO2 turun (10 – 30 mmHg)
HCO3 turun (<15 mEg/L)
Keton serum positif, BUN naik
Kreatinin naik
Ht dan Hb naik
Leukositosis
Osmolalitas serum meningkat tetapi biasanya kurang dari 330
mOsm/l
2. Elektrolit dalam darah
Kalium dan Natrium dapat rendah atau tinggi sesuai jumlah cairan
yang hilang (dehidrasi).
Fosfor lebih sering menurun
3. Urinalisa
Leukosit dalam urin
Glukosa dalam urin
4. EKG gelombang T naik
5. MRI atau CT-scan
6. Foto thorax
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Pertahankan jalan nafas
Pada syok berat berikan oksigen 100% dengan masker
Jika syok berikan larutan isotonik (normal saline 0,9%) 20cc/kgBB
Bila terdapat penuruna kesadaran perlu pemasangan naso gastrik tube
untuk menghindari aspirasi lambung.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penilaian klinis awal : pemeriksaan fisik (BB, TD, tanda sidosis,
GCS, derajat dehidrasi), dan konfirmasi biokimia (analisa darah dan
urinalisa), (Dunger DB, 2004).
Pemantauan status volume cairan : pemeriksaan TTV (termasuk
memantau perubahan ortostatik pada tekanan darah dan frekuensi
jantung), pengkajian paru, dan pemantauan asupan serta haluan
cairan.
Pemantauan kalium
(Brunner and Suddart, 2002)
3. Penatalaksanaan Medis
Elekrtolit :
Kadar potasium mulai menurun saat diberikan insulin, oleh
karena itu pemberian potasium dimulai saat dimulainya
pemberian insulin, terkecuali pada penderita dengan kadar
potasium > 6,0 mEg/L, mereka yang anuri dan penderita gagal
ginjal kronik yang biasanya sudah disertai poatsium serum yang
tinggi. Potasium diiberikan dengan dosis 10 – 30 mEg/jam,
semakin rendah kadar potasium serum semakin besar dosis yang
diberikan sambil memantau kadar dalam serum. Kadar potasium
serum harus dipertahankan >3,5 mEg/L.
Pemberian sodium bikarbonat diberikan saat pH <7,0, kadar
bikarbonat <5,0 mEg/L, hiperkalemia berat >6,5 mEg/L.
Pemberian bikarbonat dosis 100 – 250 mEg dalam 100 – 250 ml
0,45%NaCl, diberikan antara 30 – 60 menit. Pemberian
bikarbonat harus disertai dengan pemantauan pH arteri, dan
dihentikan apabila pH >7,1.
(Adam JMF, 2002)
Rehidrasi : NaCl 0,9% atau NaCl 0,45% tergantung dari ada tidaknya
hipotensi dan tinggi rendahnya kadar natrium. Pada umumnya
diperlukan 1 – 2 liter dalam jam pertama, bila kadar glukosa <200
mg% maka perlu diberikan larutan ynag mengandung glukosa
(dektrosa 5% atau 10%).
Insulin : baru diberikan pada jam kedua. Sepuluh unit diberikan
bolus intravena, disusul dengan infus larutan insulin regular dengan
laju 2 – 5 U/jam. Sebaiknya larutan %U insulin dalam 50 ml NaCl
0,9%, bermuara dalam larutan untuk rehidrasi dan dapat diatur laju
tetesnya secara terpisah. Bila kadar glukosa turun sampai 200 mg/dl
atau kurang, laju insulin dikurangi menjadi 1 – 2 U/ jam dan larutan
rehidrasi diganti dengan glukosa 5%. Pada waktu pasien dapat makan
lagi, diberikan sejumlah kalori sesuai kebutuhan dalam beberapa
porsi. Insulin regular diberikan subkutan 3 kali sehari secara bertahap
sesuai kadar glukosa darah.
Pemberian antibiotika yang adekuat.
Pemberian oksigen : bila PO2 <80 mmhg.
Heparin : bila ada DIC atau bila hiperosmolar berat (>380 mOsm/L).
(Arif Mansjoer, 2001)
G. Komplikasi
1. ARDS (adult respiratory distress syndrome)
Patogenesis terjadinya hal ini belum jelas, kemungkinan akibat rehidrasi
yang berlebihan, gagal jantung kiri atau perubahan permeabilitas kapiler
paru.
2. DIC (disseminated intravascular coagulation)
3. Edema otak
Adanya kesadaran menurun disertai dengan kejang yang terjadi terus
menerus akan beresiko terjadinya edema otak.
4. Gagal ginjal akut
Dehidrasi berat dengan syok dapat mengakibatkan gagal ginjal akut.
5. Hipoglikemia dan hiperkalemia
Terjadi akibat pemberian insulin dan cairan yang berlebiahan dan tanpa
pengontrolan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d dilatasi lambung ditandai dengan
asidosis metabolik.
2. Gangguan pola nafas tidak efektif b/d peningkatan respirasi ditandai
dengan pernafasan kusmaul.
3. Gangguan keseimbangan cairan b/d dehidrasi ditandai dengan poliuri.
4. Gangguan keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
asidosis metabolik ditandai mual, muntah, anoreksia.
5. Gangguan persepsi sensori b/d viscositas mata turun ditandai dengan
penglihatan kabur.
6. Intoleransi aktifitas b/d dehidrasi ditandai dengan kelemahan dan sakit
kepala.
7. Resiko cedera b/d suplai O2 ke otak turun ditandai dengan kesadaran
menurun.
C. Rencana Tindakan
1. Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d dilatasi lambung ditandai
dengan asidosis metabolik.
Tujuan : Nyeri berkurang / hilang
KH : Nyeri berkurang hingga level terrendah
Intervensi :
a. Kaji nyeri, intensitas, karakteristik, skala, waktu
b. Monitor TTV
c. Anjurkan kurangi aktifitas yang dapat memperberat nyeri
d. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
e. Lakukan distraksi nyeri
f. Monitor keadaan umum klien
g. Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik
Rasional :
a. Mengidentifiakasi karakteristik nyeri merupakan faktor esensial
b. Observasi TTV dapat mengetaui keadaan umum klien
c. Penggunaan aktifitas dapat mengurangi nyeri
d. Nafas dalam adalah teknik relaxasi
e. Distraksi nyeri dapat menurunkan rangsangan nyeri
f. Keadaan umum klien dapat digunakan untuk indicator respon
g. Kolaborasi dapat mempercepat kesembuhan klien
2. Gangguan pola nafas tidak efektif b/d peningkatan respirasi
ditandai dengan pernafasan kusmaul
Tujuan : Pola nafas teratur
KH : Pertahanan pola nafas efektif, tampak rilex, frekuensi nafas
normal, nafas kusmaul.
Intervensi :
a. Kaji pola nafas tiap hari
b. Kaji kemungkinan adanya secret yang mungkin timbul
c. Kaji pernafasan kusmaul atau pernafasan keton
d. Pastikan jalan nafas tidak tersumbat
e. Baringkan klien pada posisi nyaman, semi fowler
f. Berikan bantuan oksigen
g. Kaji Kadar AGD setiap hari
Rasional :
a. Pola dan kecepatan pernafasan dipengaruhi oleh status asam basa,
status hidrasi, status cardiopulmonal dan sistem persyarafan.
Keseluruhan faktor harus dapat diidentifikasi untuk menentukan
faktor mana yang berpengaruh/paling berpengaruh
b. Penurunan kesadaran mampu merangsang pengeluaran sputum
berlebih akibat kerja reflek parasimpatik dan atau penurunan
kemampuan menelan
c. Paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui pernafasan yang
menghasilkan kompensasi alkalosis respiratorik terhadap keadaan
ketoasidosis. Pernafasn yang berbau keton berhubungan dengan
pemecahan asam ketoasetat dan harus berkurang bila ketosis harus
terkoreksi
d. Pengaturan posisi ekstensi kepala memfasilitasi terbukanya jalan
nafas, menghindari jatuhnya lidah dan meminimalkan penutupan
jalan nafas oleh sekret yang munkin terjadi
e. Pada posisi semi fowler paru – paru tidak tertekan oleh diafragma
f. Pernafasan kusmaul sebagai kompensasi keasaman memberikan
respon penurunan CO2 dan O2, Pemberian oksigen sungkup
dalam jumlah yang minimal diharapkan dapat mempertahankan
level CO2
g. Evaluasi rutin konsentrasi HCO3, CO2 dan O2 merupakan bentuk
evaluasi objektif terhadap keberhasilan terapi dan pemenuhan
oksigen
3. Gangguan keseimbangan cairan b/d dehidrasi ditandai dengan
poliuri
Tujuan : Kekurangan cairan teratasi
KH : TTV dalam batas normal, pulse perifer dapat teraba,
turgor kulit dan capillary refill baik , keseimbangan urin output, kadar
elektrolit normal
Intervensi :
a. Kaji riwayat pengeluaran berlebih : poliuri, muntah, diare
b. Pantau tanda vital
c. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membrana
mukosa
d. Ukur BB tiap hari
e. Pantau masukan dan pengeluaran, catat BJ Urine
f. Berikan cairan paling sedikit 2500 cc/hr
g. Kolaborasi
Berikan NaCl, ½ NaCl, dengan atau tanpa dekstrose
Pantau pemeriksaan laboraorium : Ht, BUN/Creatinin, Na, K
Berikan Kalium atau elektrolit IV/Oral
Berikan Bikarbonat
Pasang selang NG dan lakukan penghisapan
Rasional :
a. Memperkirakan volume cairan yang hilang. Adanya proses infeksi
mengakibatkan demam yang meningkatkan kehilangan cairan
IWL
b. Hipovolemia dapat dimanivestasikan dengan hipotensi dan
takikardi. Perkiraan berat ringannya hipovolemia dapat dibuat
ketika tekanan darah sistolik pasien turun lebih dari 10 mmHg
dari posisi berbaring ke posisi duduk/berdiri
c. Indikator tingkat hidrasi atau volume cairan yang adekuat
d. Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang
sedang berlangsung dan selanjtunya dalam pemberian cairan
pengganti
e. Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi
ginjal, dan keefektifan terapi yang diberikan
f. Mempertahankan hidrasi dan volume sirkulasi
g. Kolaborasi
Tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajad kekurangan
cairan dan respon pasien individual
Na menurun mencerminkan perpindahan cairan dari intrasel
(diuresis osmotik). Na tinggi mencerminkan dehidrasi berat
atau reabsorbsi Na akibat sekresi aldosteron. Hiperkalemia
sebagai repon asidosis dan selanjutnya kalium hilang melalui
urine. Kadar Kalium absolut tubuh kurang
Kalium untuk mencegah hipokalemia harus ditambahkan IV.
Kalium fosfat dapat diberikan untuk menngurangi beban Cl
berlebih dari cairan lain
Diberikan dengan hati-hati untuk memperbaiki asidosis
Mendekompresi lambung dan dapat menghilangkan muntah
4. Gangguan keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
asidosis metabolik ditandai mual, muntah, anoreksia
Tujuan : Nutrisi adekuat
KH : Klien mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat,
menunjukkan tingkat energi biasanya, berat badan stabil atau
penambahan sesuai rentang normal
Intervensi :
a. Pantau berat badan setiap hari atau sesuai indikasi
b. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan
dengan makanan yang dihabiskan
c. Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen/perut
kembung, mual, muntahan makanan yang belum dicerna,
pertahankan puasa sesuai indikasi
d. Berikan makanan yang mengandung nutrien kemudian upayakan
pemberian yang lebih padat yang dapat ditoleransi
e. Libatkan keluarga pasien pada perencanaan sesuai indikasi
f. Observasi tanda hipoglikemia
g. Kolaborasi :
Pemeriksaan GDA dengan finger stick
Pantau pemeriksaan aseton, pH dan HCO3
Berikan pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi
Berikan larutan dekstrosa dan setengah saline normal(0,45%)
Rasional :
a. Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat termasuk absorpsi
dan utilitasnya
b. Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan
terapetik
c. Hiperglikemia dan ggn keseimbangan cairan dan elektrolit dapat
menurunkan motilitas/fungsi lambung (distensi atau ileus
paralitik)yang akan mempengaruhi pilihan intervensi.
d. Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan
fungsi gastrointestinal baik
e. Memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan
nutrisi pasien
f. Hipoglikemia dapat terjadi karena terjadinya metabolisme
karbohidrat yang berkurang sementara tetap diberikan insulin , hal
ini secara potensial dapat mengancam kehidupan sehingga harus
dikenali
g. Kolaborasi:
Memantau gula darah lebih akurat daripada reduksi urine
untuk mendeteksi fluktuasi
Memantau efektifitas kerja insulin agar tetap terkontrol
Mempermudah transisi pada metabolisme karbohidrat dan
menurunkan insiden hipoglikemia
Larutan glukosa setelah insulim dan cairan membawa gula
darah kira-kira 250 mg/dl. Dengan mertabolisme karbohidrat
mendekati normal perawatan harus diberikan untuk
menhindari hipoglikemia
5. Gangguan persepsi sensori b/d viscositas mata turun ditandai
dengan penglihatan kabur
Tujuan : Klien mampu beradaptasi dengan situasi
keterbatasan sensori penglihatan.
KH : Klien mampu mengenal lingkungan secara maksimal.
Intervensi :
a. Kaji ketajaman penglihatan
b. Identifikasi perbedaan lapangan pandang.
c. Orientasikan klien dengan lingkungan sekitarnya
Rasional :
a. Mengetahui sejauh mana gangguan ketajaman yang timbul
b. Mengetahui jarak lapang pandang klien sehinga dapat
meminimalkan terjadinya cedera
c. Meminimalkan klien cedera terhadap barang – barang yang
berada di sekitarnya
6. Intoleransi aktifitas b/d dehidrasi ditandai dengan kelemahan dan
sakit kepala
Tujuan : Kelemahan terhadap aktifitas minimal
KH : Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap
aktifitas, mandiri dalam perawatan diri
Intervensi :
a. Monitor aktiitas, keluhan tentang kelemahan yang dirasakan
b. Evaluasi respon klien terhadap aktifitas
c. Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung
d. Anjurkan untuk mengurangi aktifitas, untuk menghemat energi
e. Dekatkan alat – alat dan kebutuhan klien
f. Diskusikan cara yang nyaman dalam perubahan posisi dari tidur,
duduk dan berdiri
g. Libatkan keluarga dalam perawatan dan pemenuhan kebutuhan
klien
Rasional :
a. Monitor aktifitas dan keluhan tentang kelemahan dapat
memudahkan intervensi berikutnya
b. Evaluasi respon terhadap aktifitas dapat diketahui sejauh mana
tingkat aktifitas klien
c. Lingkungan yang tenang dapat membuat klien nyaman
d. Pengurangan aktifitas dapat menghemat energi
e. Dengan didekatkannya alat – alat kebutuhan klien maminimalkan
terjadinya cedera
f. Perubahan posisi dapat meminimalkan terjadinya kram otot dan
membuat klien nyaman (meminimalkan nyeri kepala)
g. Keluarga sangat berpengaruh terhadap kesembuhan klien
7. Resiko cedera b/d suplai O2 ke otak turun ditandai dengan
kesadaran menurun
Tujuan : Tidak terjadi cedera
KH : Kesadaran composmentis, suplai O2 k otak terpenuhi
Intervensi :
a. Kaji tingkat kesadaran klien
b. Kaji faktor-faktor resiko yang mungkin timbul
c. Kaji tanda-tanda vital
d. Berikan lingkungan yang nyaman, bersih dan kering
Rasional :
a. Perubahan/dinamika derajad kesadaran dipengaruhi oleh level
dehidrasi, racun keton dan keseimbangan asam-basa sebagai
akumulasi gejala penyakit diabetik(hiperosmolar).
b. Resiko jatuh, resiko terluka dan resiko kerusakan jaringan kulit
merupakan hal yang perlu diperhatikan.
c. Tanda vital merupakan patokan umum kondisi dan keparahan
penyakit yang munkin muncul.
d. Resiko cidera dapat diakibatkan benda-benda tajam dan
berbahaya, adanya tempat tidur yang basah atau kotor serta tidak
rapi serta pengaman yang kurang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
2. Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan Vol.3. EGC:
Jakarta.