Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

PENDAHULUA

A. Latar Belakang

Stroke didefinisikan sebagai gejala kerusakan atau serangan otak secara


mendadak yang disebabkan oleh iskemik maupun hemoragik di otak. Gejala
ini berlangsung 24 jam atau lebih pada umumnya terjadi akibat berkurangnya
aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau kematian (Widjaja, 2012).
Stroke adalah gangguan fungsional yang terjadi secara mendadak berupa
tanda-tanda klinis baik lokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24
jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan gangguan peredaran
darah ke otak, antara lain peredaran darah sub arakhnoid, peredaran intra
serebral dan infark cerebral (Israr 2008). Jumlah penderita stroke terus
meningkat setiap tahunnya, bukan hanya menyerang mereka yang berusia tua,
tetapi juga orang muda pada usia produktif (Anderson, 2008).

Menurut WHO setiap tahun 15 juta orang di seluruh dunia mengalami


stroke. Sekitar 5 juta menderita kelumpuhan permanen. Dikawasan Asia
Tenggara terdapat 4,4 juta orang mengalami stroke (WHO, 2010). Stroke
merupakan penyebab kematian kedua di dunia, sedangkan di amerika serikat
stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak setelah penyakit
kardiovaskuler dan kanker. Kasus stroke meningkat di negara maju seperti
Amerika, dimana kegemukan dan junk food telah mewabah. Setiap tahun,
hampir 700.000 orang Amerika mengalami stroke, dan stroke mengakibatkan
hampir 150.000 kematian. Amerika Serikat mencatat setiap 45 detik terjadi
kasus stroke, dan setiap 4 detik terjadi kematian akibat stroke (Kalim, 2011).

Di Indonesia, jumlah penderita stroke terbanyak dan menduduki urutan


pertama di Asia dan ke empat di dunia, setelah India, Cina, dan Amerika.
Berdasarkan data terbaru dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi
stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per
mil dan yang berdasarkan diagnosis gejala sebesar 12,1 per mil. Jadi

1
2

sebanyak 57,9% penyakit stroke telah terdiagnosis oleh nakes (Riskesdas


2013). Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes dan gejala tertinggi
terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), diikuti daerah Istimewa Yogyakarta
(16,9%) (RisKesDas, 2013).
Di kabupaten kebumen sendiri penyakit stroke menduduki peringkat ke-
4 dalam daftar penyakit tidak menular di Puskesmas dan Rumah Sakit di
kabupaten Kebumen, setelah Hipertensi, Diabetes Mellitus, dan Stroke
Hemoragik. Jumlah penderita penyakit stroke pada tahun 2015 sebanyak 137
penderita, dan meningkat setiap tahunnya. 78 penderita mengalami Stroke
Hemoragik, dan sisanya adalah Stroke Non Hemoragik. (Profil Kesehatan
Kabupaten Kebumen 2015).
Menurut (Amir Huda, 2015), Stroke Non Hemoragik mengakibatkan
beberapa masalah yang muncul, seperti Gangguan menelan, Nyeri akut,
Hambatan mobilitas fisik, Hambatan komunikasi verbal, Defisit perawatan
diri, ketidakseimbangan nutrisi, dan salah satunya yang menjadi masalah
yang menyebabkan kematian adalah gangguan perfusi jaringan cerebral.
Gangguan perfusi jaringan adalah suatu penurunan jumlah oksigen yang
mengakibatkan kegagalan untuk memelihara jaringan pada tingkat perifer.
Ketidakefektifan perfusi apabila tidak ditangani dengan segera akan
meningkatkan tekanan intra kranial. Sehingga penanganan utama pada pasien
ini adalah meningkatkan status O2 dan memposisikan pasien head up 15-30˚
(Kusuma, 2012). Oksigen merupakan salah satu komponen gas dan unsur
vital dalam proses metabolisme untuk mempertahankan kelangsungan hidup
seluruh sel tubuh (Imelda, 2009). Adanya kekurangan oksigen ditandai
dengan Hipoksia yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian
jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan (Anggraini dan Hafifah, 2014).
Pada gangguan perfusi serebral di jumpai adanya Peningkatan Tekanan
Intra Kranial (PTIK) dengan tanda klinis berupa nyeri kepala yang tidak
hilang-hilang dan semakin meningkat, penurunan kesadaran, dan untah
proyektil. PTIK merupakan kasus gawat darurat dimana cedera otak
3

irreversibel atau kematian dapat dihindari dengan intervensi tepat pada waktunya
(Hisam, 2013).
Penanganan kegawatan pada pasien gangguan perfusi serebral salah satunya
adalah melakukan pengontrolan PTIK yaitu dengan memberikan posisi kepala head
up (15-30˚). Pemberian posisi head up (15-30˚) dilakukan dengan tujuan untuik
meningkatkan venous drainage dari kepala selain itu elevasi kepala dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik dan dapat dikompromi oleh
tekanan perfusi serebral. Teori yang mendasari elevasi kepala ini adalah peninggian
anggota tubuh diatas jantung dengan vertical axis, akan menyebabkan cairan
cerebro spinal (CSS) terdistribusi dari cranial ke subarakhnoid spinal dan
memfasilitasi venus return serebral (Sunardi, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Satariyah (2012), didapatkan hasil bahwa ada
perbedaan bermakna antara tekanan darah dan nadi sebelum dan sesudah pemberian
posisi kepala head up (15-30˚) pada pasien dengan PTIK. Pemberian posisi ini
membutuhkan pemantauan ketat terhadap adanya perubahan TIK (Nyeri kepala,
tingkat kesadaran, denyut nadi, tekanan darah, dan suhu tubuh).
Peran petugas kesehatan sangat dibutuhkan, sebagai perawat harus mengkaji
dan memastikan bahwa tindakan medis telah dilakukan. Pemantauan peningkatan
TIK dan status respirasi pada pasien dengan Stroke Non Hemoragik penting
dilakukan oleh perawat untuk mencegah perluasan kerusakan otak. Sebagai salah
satu tindakan yang dapat dilakukan yaitu pemberian oksigenasi yang tepat dan
memposisikan kepala head up (15-30˚) untuk mencegah bahaya aliran balik vena ke
kepala.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan Asuhan
keperawatan, dan menganalisis hasil Asuhan keperawatan pada klien dengan
masalah keperawatan gangguan perfusi jaringan serebral pada pasien Stroke Non
Hemoragik.

Anda mungkin juga menyukai