Anda di halaman 1dari 10

STROKE

ESSAY

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Askep Gadar Non Trauma


Yang dibina oleh ibu Sulastyawati,S.Kep,Ns. M.Kep

Oleh
Dinda Risma Putri Anjarsari
1601470024

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
AGUSTUS 2019
STROKE

Stroke adalah penyakit serebrovaskular yang sering ditemukan di negara


maju, saat ini juga banyak terdapat di negara berkembang salah satunya di
negara Indonesia. Satu diantara enam orang di dunia akan terkena stroke.
Masalah stroke di Indonesia menjadi semakin penting karena di Asia menduduki
urutan pertama dengan jumlah kasusnya yang semakin banyak. Penyakit stroke
merupakan salah satu dari penyakit tidak menular yang masih menjadi masalah
kesehatan yang penting di Indonesia. Seiring dengan semakin meningkatnya
morbiditas dan mortalitas dalam waktu yang bersamaan, dimana di Indonesia
peningkatan kasus dapat berdampak negatif terhadap ekonomi dan produktivitas
bangsa, karena pengobatan stroke membutuhkan waktu lama dan memerlukan
biaya yang besar (Kemenkes, 2014).
Stroke adalah serangan otak yang timbul secara mendadak dimana
terjadi gangguan fungsi otak sebagian atau menyeluruh sebagai akibat dari
gangguan aliran darah oleh karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah
tertentu diotak, sehingga menyebabkan sel-sel otak kekurangan darah, oksigen
atau zat- zat makanan dan akhirnya dapat terjadi kematian sel-sel tersebut dalam
waktu relatif singkat. Stroke merupakan penyakit sistem persyarafan yang paling
sering dijumpai. Stroke bisa terjadi pada setiap tingkat umur. Sroke klinis merujuk
pada perkembangan neurologis defisit yang mendadak dan dramatis. Stroke
dapat didahului oleh banyak faktor pencetus dan seringkali yang berhubungan
dengan penyakit kronis yang menyebabkan masalah biasanya penyakit vascular
yang berhubungan dengan peredaran darah (Dourman, 2013).
Stroke penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit jantung
koroner dan kanker baik di negara maju maupun negara berkembang. Satu dari
10 kematian disebabkan oleh stroke (American Heart Association, 2014; Stroke
forum, 2015). Secara global, 15 juta orang terserang stroke setiap tahunnya, satu
pertiga meninggal dan sisanya mengalami kecacatan permanen (Stroke forum,
2015). Stroke merupakan penyebab utama kecacatan yang dapat dicegah
(Ralph et all, 2013).
Stroke saat ini harus dipandang sebagai kedaruratan medis selain serangan
jantung. Keterlambatan untuk mendapatkan pertolongan medis dapat
meningkatkan jumlah kematian dan kecacatan (Morton P., Fontaine D, dkk.
2012). Data yang didapat dari WHO tahun 2016, stroke membusnuh satu orang
setiap enam detik di dunia. Dengan perkiraan setiap tahun 15 juta orang
menderita stroke. Dimana lima juta penderita mengalami kematian dan lima juta
penderita stroke lainnya mengalami kecacatan (WHO, 2018).
Data dari Riskesdas tahun 2018 ditemukan prevalensi stroke di Indonesia
sebesar 10,9 per 1.000 penduduk. Stroke lebih banyak menyerang pada
penderita usia >75 tahun 50,2 per 1.000 penduduk, pada jenis kelamin laki-laki
11,0 per 1.000 penduduk, penduduk daerah perkotaan 12,6 per 1.000 penduduk,
tidak/belum pernah sekolah 21,2 per 1.000 penduduk dan tidak bekerja 21,8 per
1.000 penduduk (Riset Kesehatan Dasar, 2018).
Gejala klinis stroke yang timbul tergantung pada berat ringannya gangguan
pembuluh darah dan lokasi. Kejadian stroke diawali dengan gejala berupa muka
terasa tebal, telapak kaki dan tangan kebas/mati rasa, secara mendadak merasa
lemas di bagian lengan atau kaki terutama di satu sisi tubuh saja, kesulitan
berjalan, pusing, hilangnya keseimbangan/koordinasi tubuh secara mendadak,
kesulitan untuk berbicara, mengerti, atau bingung secara tiba-tiba, kesulitan
untuk melihat dengan satu atau dua mata secara mendadak, dan nyeri kepala
mendadak tanpa penyebab yang jelas (Powers WJ, Derdeyn CP, Biller J, dkk.
2015).
Gejala-gejala awal stroke tersebut perlu dikenali agar penanganan stroke
secara dini dapat dilakukan dengan baik dimulai dari penanganan prahospital
yang cepat dan tepat. Keberhasilan penanganan stroke akut dimulai dari
pengetahuan masyarakat dan petugas kesehatan, bahwa stroke merupakan
keadaan gawat darurat sehingga penanganan stroke dapat dilakukan secepat
mungkin. Penanganan stroke harus dilakukan secara dini oleh keluarga.
Keluarga diharapkan mempunyai pengetahuan dalam mengenali tanda awal
stroke sehingga dapat mengambil keputusan untuk segera membawa pasien ke
fasilitas kesehatan atau memanggil tim emergency (Powers WJ, Derdeyn CP,
Biller J, dkk. 2015).
Terdapat dua tipe utama dari stroke yaitu stroke iskemik akibat berkurangnya
aliran darah sehubungan dengan penyumbatan (trombosis, emboli), dan
hemoragik akibat perdarahan (WHO, 2014). Darah yang keluar dan menyebar
menuju jaringan parenkim otak, ruang serebrospinal, atau kombinasi keduanya
adalah akibat dari pecahnya pembuluh darah otak yang dikenal dengan stroke
hemoragik (Goetz, 2007).
Secara patologi stroke dibedakan menjadi sebagai berikut :
a) Stroke Hemoragik
Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang tidak
terkontrol di otak. Perdarahan tersebut dapat mengenai dan membunuh sel otak,
sekitar 20% stroke adalah stroke hemoragik. Jenis perdarahan (stroke
hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh darah otak, baik intrakranial
maupun subarakhnoid. Pada perdarahan intrakranial, pecahnya pembuluh darah
otak dapat karena berry aneurysm akibat hipertensi tak terkontrol yang
mengubah morfologi arteriol otak atau pecahnya pembuluh darah otak karena
kelainan kongenital pada pembuluh darah otak tersebut. Perdarahan
subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma congenital pembuluh arteri otak
di ruang subarakhnoidal (Misbach, 2007)10
b) Stroke Iskemik
Stroke iskemik terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba
terganggu oleh oklusi. Penyakit serebrovaskular iskemik terutama disebabkan
oleh trombosis, emboli dan hipoperfusi fokal, yang semuanya dapat
menyebabkan penurunan atau gangguan dalam aliran darah otak (CBF) yang
mempengaruhi fungsi neurologis akibat perampasan glukosa dan oksigen.
Sekitar 45% dari stroke iskemik disebabkan oleh trombus arteri kecil atau besar,
20% adalah emboli berasal, dan lain-lain memiliki penyebab yang tidak diketahui.
Stroke iskemik fokal disebabkan oleh gangguan aliran darah arteri ke daerah
tergantung dari parenkim otak oleh trombus atau embolus. Dengan kata lain,
stroke iskemik didefinisikan sebagai onset akut, (menit atau jam), dari defisit
neurologis fokal konsisten dengan lesi vaskular yang berlangsung selama lebih
dari 24 jam.
Stroke iskemik adalah penyakit yang kompleks dengan beberapa etiologi
dan manifestasi klinis. Dalam waktu 10 detik setelah tidak ada aliran darah ke
otak, maka akan terjadi kegagalan metabolisme jaringan otak. EEG menunjukkan
penurunan aktivitas listrik dan seacara klinis otak mengalami disfungsi (Nemaa,
2015). Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang
diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na+
K+ ATP-ase, sehingga membran potensial akan menurun. K+ berpindah ke
ruang ekstraselular, sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini
menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif (Wijaya, 2012).
Sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal depolarisasi membran
sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang
menyebabkan kematian jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi
menurun dibawah ambang batas kematian jaringan, yaitu bila aliran darah
berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram / menit. Akibat kekurangan oksigen
terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi enzim-enzim, karena
tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai
pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi
(Trent MW, 2011). Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan
kemudian penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah
iskemik.
Faktor Risiko terjadinya Stroke
Tidak dapat dimodifikasi, meliputi: usia, jenis kelamin, herediter, ras/etnik. Dapat
dimodifikasi, meliputi: riwayat stroke, hipertensi, penyakit jantung, diabetes
mellitus, Transient Ischemic Attack (TIA), hiperkolesterol, obesitas, merokok,
alkoholik, hiperurisemia, peninggian hematokrit (Mansjoer, 2000).
Penatalaksanaan stroke secara umum dilakukan untuk menurunkan angka
kesakitan, kecacatan dan kematian. Stroke yang terlambat mendapat
penanganan akan mengakibatkan kelumpuhan luas dan gangguan pada kognitif.
Seperempat dari jumlah penderita stroke iskemik yang dirawat di rumah sakit
adalah setelah enam jam serangan (Batubara S., Tat F, 2015). Efektifitas dari
tindakan akan semakin menurun jika semakin lama tenggang waktu antara
serangan stroke dan penanganan awal. Keberhasilan tindakan sangat
tergantung terhadap upaya meminimalkan keterlambatan untuk segera diantar
ke fasilitas kesehatan (Rachmawati D, Andarini S, Ningsih DK. 2017).
Terlambatnya penanganan terhadap kejadian stroke sekitar 83,9%
disebabkan oleh keterlambatan pra rumah sakit. Penyebab pertama
keterlambatan sebanyak 62,3% karena kurangnya pengetahuan keluarga
tentang faktor resiko dan peringatan gejala stroke sehingga menyepelekan
tanda-tanda dini stroke, keluarga dan penderita berharap gejala dan tanda akan
menghilang 2,7% serta sebanyak 7,1% penderita stroke yang tinggal sendiri,
penderita yang tinggal jauh dari sarana kesehatan/masalah demografi, serta
ketiadaan sarana transportasi dan masalah ekonomi (Fassbender K, Balucani K,
dkk. 2013).
Penelitian oleh Hariyanti menjelaskan bahwa peran keluarga dalam
penanganan awal kejadian stroke sangat membantu dalam mengatasi masalah
keterlambatan penanganan stroke. Ada beberapa tindakan yang dilakukan
keluarga pada saat kejadian stroke antara lain penderita langsung diantar
kerumah sakit agar segera mendapatkan penanganan, diantar terlebih dahulu ke
petugas kesehatan (dokter, perawat, bidan) maupun non petugas kesehatan
(tukang pijit, pengobatan herbal, paranormal) sebelum ke rumah sakit, ataukah
diantar ke petugas kesehatan dan non kesehatan tanpa dibawa ke rumah sakit
(Hariyanti T, Harsono, Prabandari YS. 2015).
Keterlambatan manajemen stroke akut dapat terjadi pada beberapa tingkat.
Pada tingkat populasi, hal ini dapat terjadi karena ketidaktahuan keluhan stroke
dan kontak pelayanan gawat darurat (Adams HP, Bruno A, dkk. 2013).
Keterlambatan pertolongan pada fase prahospital harus dihindari dengan
pengenalan keluhan dan gejala stroke bagi pasien dan orang terdekat. Pada
setiap kesempatan, pengetahuan mengenai keluhan stroke, terutama pada
kelompok resiko tinggi (hipertensi, atrial fibrilasi, kejadian vaskuler lain dan
diabetes) perlu disebarluaskan. Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang
kurang tentang faktor resiko dan peringatan gejala stroke cenderung terlambat
memberikan penanganan awal terhadap stroke (Duque AS, Batalha V, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati didapatkan rata-rata
keterlambatan kedatangan penderita ke instalasi gawat darurat sekitar 23 jam 12
menit (87,9 %) setelah serangan stroke, hal ini dikarenakan keluarga pasien tidak
mengetahui jika stroke merupakan keadaan gawat darurat yang memerluhkan
pertolongan segera sehingga cenderung tidak segera diantar ke fasilitas
kesehatan atau mencari pertolongan. Keluarga diharapkan agar mempunyai
pengetahuan yang baik tentang peringatan gejala stroke, mampu mengenali dan
menginterpretasikan stroke dengan segera mengantar pasien ke fasilitas
kesehatan/mencari bantuan kesehatan, segera mengaktivasi layanan gawat
darurat (EMS) dan mengantar penderita ke instalasi gawat darurat (Rachmawati
D, Andarini S, Ningsih DK, 2017).
Pengalaman aktual dari tempat kerja peneliti didapatkan bahwa pasien yang
diantar ke Puskesmas atau rumah sakit kurang lebih enam jam bahkan sampai
satu atau dua hari setelah serangan stroke. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan
keluarga yang mengira bahwa itu hanya gejala lemas pada anggota gerak dan
keluarga tidak mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan.
Range of motion (ROM) atau biasa dikenal dengan rentang gerak adalah
latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan
otot, dimana klien menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai gerakan
normal baik secara aktif ataupun pasif (Anonimity, 2010 dalam Koniyo, 2011).
Berbagai intervensi untuk meningkatkan kekuatan otot telah dikembangkan
melalui penelitian. Beberapa penelitian tersebut dilakukan untuk membuktikan
manfaat dari berbagai intervensi tersebut dalam meningkatkan kekuatan otot.
Intervensi yang pernah diteliti antara lain fisioterapi, latihan mobilisasi dini, latihan
motor imagery, serta latihan rentang gerak sendi (range of motion).
Penelitian tentang “Pengaruh fisioterapi terhadap kekuatan otot
ekstremitas pada penderita stroke” oleh Muhammad, ika, wirastuti (2009)
menunjukkan hasil bahwa fisioterapi berpengaruh terhadap kekuatan otot
ekstremitas pada penderita stroke. Penelitian lain yaitu oleh Sarah, bambang,
wara (2007) dalam penelitiannya tentang “Pengaruh latihan ROM terhadap
fleksibilitas sendi lutut pada lansia” menunjukkan hasil bahwa latihan ROM dapat
meningkatkan fleksibilitas sendi lutut. Widyawati (2010) dalam penelitiannya
tentang “Pengaruh latihan rentang gerak sendi bawah secara aktif (active lower
range of motion exercise) terhadap tanda dan gejala neuropati diabetikum pada
penderita DM tipe II” menunjukan hasil bahwa latihan active lower range of
motion exercise berpengaruh terhadap kekuatan otot pada penderita DM tipe II
dengan komplikasi mikrovaskuler. Dan menurut Mohammad (2011) dalam
penelitiannya tentang “Pengaruh latihan motor imagery terhadap kekuatan otot
ekstremitas pada pasien stroke dengan hemiparesis” menunjukan hasil bahwa
latihan motor imagery berpengaruh terhadap kekuatan otot ekstremitas pada
pasien stroke dengan hemiparesis.

EVIDENSE BASE
Menurut Marlina tahun 2011 : sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh yang bermakna kekuatan otot sebelum dan sesudah tindakan ROM
pada pasien stroke iskemik. Rekomendasi hasil penelitian agar latihan ROM
yang dimodifikasi dapat diterapkan pada pasien stroke untuk meningkatkan nilai
kekuatan otot sehingga akan meningkatkan kemampuan pasien dalam
melakukan aktivitas sehari-hari serta dapat mencegah stroke berulang yang
berakibat kematian’
Menurut Kun Ika Nur Rahayu tahun 2014 : Mengingat bahaya dari penyakit
Stroke maka hal yang lebih penting adalah dengan melakukan pencegahan
dengan pengurangan berbagai faktor risiko, seperti hipertensi, penyakit jantung,
diabetes mellitus, hiperlipidemia, merokok, dan obesitas saat serangan stroke
pertama dapat mencegah serangan stroke berulang demikian diharapkan Rumah
Sakit bisa memberikan layanan keperawatan yang lebih prima dengan
meningkatkan pelaksanaan edukasi secara teratur dengan struktur yang lebih
baik terutama dengan menggunakan media yang bervariasi seperti penggunaan
booklet tentang pelaksanaan ROM dengan demikian kesadaran pasien dan
keluarga untuk mau dan mampu melakukan latihan Range Of Motion (ROM)
akan meningkat.

LEGAL ETIK
Menurut pendapat saya legal etik dalam pemberian ROM ,bahwa legal
etik adalah aspek aturan keperawatan alam memberikan asuhan keperawatan
sesuai lingkup wewenang dan tangung jawabnya pada berbabagai tatanan
pelayanan., termasuk hak dan kewajibannya yang diatur dalam undang-unang
keperawatan. Dilihat dari sisi legal dan etik sepertinya tidak ada yang melanggar
karena untuk terapi ini tidak ada efek samping yang terlalu besar dan juga untuk
terapi ROM ini juga merupakan terapi yang bisa dilakukan secara mandiri dan
tiak mengeluarkan biaya sehingga lebih efisien bila dilakukan oleh pasien.

Efek samping
Kontraindikasi dan hal-hal yang harus diwaspadai pada latihan ROM
a) Latihan ROM tidak boleh diberikan apabila gerakan dapat mengganggu
proses penyembuhan cedera.
1. Gerakan yang terkontrol dengan seksama dalam batas-batas gerakan
yang bebas nyeri selama fase awal penyembuhan akan
memperlihatkan manfaat terhadap penyembuhan dan pemulihan
2. Terdapatnya tanda-tanda terlalu banyak atau terdapat gerakan yang
salah, termasuk meningkatnya rasa nyeri dan peradangan
3. ROM tidak boleh dilakukan bila respon pasien atau kondisinya
membahayakan (life threatening) PROM dilakukan secara hati-hati
pada sendi-sendi besar, sedangkan AROM pada sendi ankle dan kaki
untuk meminimalisasi venous stasis dan pembentukan trombus
· Pada keadaan setelah infark miokard, operasi arteri koronaria, dan lain-
lain, AROM pada ekstremitas atas masih dapat diberikan dalam pengawasan
yang ketat

Manfaat
ROM bermanfaat untuk :
a. Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan
pergerakan
b. Mengkaji tulang, sendi,dan otot
c. Mencegah terjadinya kekakuan sendi
d. Memperlancar sirkulasi darah
e. Memperbaiki tonus otot
f. Meningkatkan mobilisasi sendi
g. Memperbaiki toleransi otot untuk latihan

kesimpulan
Rata-rata nilai kekuatan otot pasien stroke berbeda yang berarti bermakna
antara nilai kekuatan otot sebelum diberikan intervensi dengan nilai kemandirian
sesudah diberikan intervensi yang artinya bahwa latihan ROM dapat
meningkatkan nilai kekuatan otot pasien stroke. Pihak rumah sakit atau
pengelola pelayanan kesehatan hendaknya perlu mengadakan pelatihan tenaga
keperawatan secara terencana, dan berkesinambungan terkait dengan latihan
ROM, mewujudkan discharge planning program pada pasien stroke untuk
menjamin latihan dirumah, serta mengadakan program khusus memberikan
bimbingan dan latihan untuk keluarga cara-cara melakukan latihan ROM dirumah
pada pasien stroke, sebagai salah satu upaya mengurangi kecacatan dan
meningkatkan fungsi kemandirian pasien sehingga dengan demikian pasien
dapat melakukan aktivitas sehari-hari serta dapat memenuhi kebutuhan dasar.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/view/6407/0
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/viewFile/6407/5256
http://repository.ump.ac.id/3315/2/Wahyu%20Fitriyani%20BAB%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai