Anda di halaman 1dari 29

PENGETAHUAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN STROKE DI

RUMAH

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH :

JEFRI LAIRA

NIM : 1714201143

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO


FAKULTAS KEPERAWATAN
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindroma akibat Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO) atau yang dikenal dengan
istilah stroke, merupakan penyebab utama kecacatan pada kelompok usia diatas 45 tahun. Stroke
sering menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan, ekonomi, sosial,
serta membutuhkan pananganan yang komprehensif, termasuk upaya pemulihan dalam jangka
lama bahkan sepanjang hidup pasien (Mulyatsih, 2010). Defenisi stroke menurut WHO dalam
Alrasyid (2011), adalah tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal
(atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang bisa
menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Di Amerika
Serikat, stroke merupakan penyebab kematian terbesar ketiga dan menyebabkan kematian 90.000
wanita dan 60.000 pria setiap tahun. Stroke merupakan penyebab kematian ketiga, dan penyebab
kecacatan utama pada orang dewasa di Amerika Serikat (National Stroke Association, 2000
dalam Alrasyid, 2011). Sebagai perbandingan, prevalensi stroke di Amerika Serikat adalah 3,4
persen per 100 ribu penduduk, di Singapura 55 persen per 100 ribu penduduk dan Thailand 11
persen per 100 ribu penduduk.

Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mil dan yang berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Jadi, sebanyak 57,9 persen penyakit stroke
telah terdiagnosis oleh nakes. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis nakes dan gejala
tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9‰), DI Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi Tengah
(16,6‰), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil dan di Sumatera Utara mencapai (10,3%).
Prevalensi stroke terlihat meningkat seiring peningkatan umur responden dan jumlah pasien
stroke sama banyak pada laki-laki dan perempuan (RISKESDAS, 2013). Sementara menurut
Yayasan Stroke Indonesia tahun 2008 menunjukkan setiap tahun 500.000 penduduk terkena
serangan stroke, dimanam25% atau 125.000 orang meninggal dunia dan sisanya cacat ringan
atau berat. Di Pematangsiantar angka kejadian stroke juga semakin meningkat setiap bulannya.
Salah satu data yang di dapatkan melalui survei awal ke Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar.
Dari 19 puskesmas yang terdapat di Kota Pematangsiantar total penderita stroke mulai dari bulan
Januari sampai dengan November tahun 2017 adalah 285 orang. Dimana 58 orang menderita
stroke hemoragik dan 227 orang lainnya menderita stroke non hemoragik. Kurang lebih dari ½
penderita stroke hemoragik ataupun non hemoragik mengalami cacat ringan hingga berat. Dan
penderita yang mengalami cacat ringan hingga berat dirawat di rumah oleh keluarga.
Meningkatnya angka kejadia kematian dan cacat ringan hingga berat akibat stroke
menjadikan keluarga harus ikut andil dalam perawatan pasien. Anggota keluarga pasien
mempunyai peranan penting dalam proses perawatan pasien. Keluarga membutuhkan informasi
bahwa rehabilitasi pasien stroke membutuhkan waktu beberapa bulan atau bahkan lebih, yang
harus memiliki kesabaran dan ketekunan pasien dan keluarga dengan kemajuan yang lambat
pada proses penyembuhan (Yastroki, 2011).

Defenisi menurut BKKBN (1992) dalam Setyowati (2008) keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak-anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu
dan anaknya . Keberadaan keluarga adalah hal yang paling penting dari semua pengobatan
manapun, semua orang ingin hidup dalam keadaan diterima dan disayangi oleh orang yang
dikenalnya, seperti juga penderita stroke (Badan Litbang Kesehatan, 2006). Pentingnya kesiapan
keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita stroke akan meningkatkan fungsi dan
peran keluarga dalam merawat klien di rumah. Peran keluarga dalam merawat klien stroke dapat
dipandang dari segi alasan keluarga sebagai unit pelayanan (Effendy, 1998: 39).

Tanpa pendidikan pada keluarga untuk meningkatkan pengetahuan dalam merawat pasien
stroke dan mengorientasikan mereka pada perawatan untuk penderita stroke maka keluarga tidak
akan mengerti dalam memberikan perawatan yang memadai dan dibutuhkan oleh penderita
stroke. Keluarga perlu mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh penyakit stroke serta
kemungkinan komplikasi yang akan terjadi pasca stroke, kesembuhan pasien juga akan sulit
tercapai optimal jika keluarga tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki
kondisi penyakit pasien setelah terjadi stroke dan perawatan apa yang sebaiknya diberikan untuk
keluarganya yang mengalami stroke (Yastroki, 2011).
Dalam Parwati (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan keluarga dengan tindakan keperawatan terhadap pasien pasca stroke. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut diharapkan kepada anggota keluarga yang mempunyai penderita pasca
stroke dapat mencari tahu tentang tindakan perawatan yang baik terhadap penderita pasca stroke.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
“pengetahuan keluarga dalam merawat pasien stroke di rumah”.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana pengetahuan keluarga dalam merawat pasien stroke di rumah?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengidentifikasi pengetahuan keluarga dalam merawat pasien stroke di rumah
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat di pergunakan sebagai bahan bacaan/referensi bagi
mahasiswa S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan UNPI manado dan instansi
terkait untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya peran
keluarga dalam merawat pasien stroke.
2. Bagi Penelitian Keperawatan
Dapat menjadi bahan bacaan, bahan pertimbangan, bahan acuan penelitian lebih
lanjut dan sebagai data dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut, terkait dengan
masalah perawatan keluarga pada pasien stroke.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Stroke
a. Pengertian Stroke
Stroke atau disebut juga CVA (Cerebrovascular Accident) merupakan serangan yang
ditakuti namun sebagian besar belum memahaminya dengan pasti. Stroke adalah kerusakan
jaringan otak yang dikarenakan berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba
(Adib, 2009). Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi cepat,
berupa defisit neurologis fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau
langsung menimbulkan kematian. (Mansjoer, 2000).
b. Klasifikasi Stroke
1. Serangan iskemik transien (transient ischemic attack, TIA)
Adalah serangan mendadak yang berlangsung secara singkat. Individu dapat pulih
dalam waktu 24 jam. TIA sering menjadi peringatan bahawa stroke lain yang lebih serius
akan terjadi di kemudian hari. Defisit neurologis iskemik reversibel (reversible ischemic
neurologic deficit, RIND) sama seperti TIA kecuali bahwa gejala berlangsung selama
seminggu. Pindai otak dapat mengungkapkan bahwa telah terjadi infark pada otak.
2. Trombosis serebral
Pada kondisi yang paling sering menyebabkan CVA ini , bekuan darah atau
potongan plak menyumbat arteri yang menyuplai pusat otak vital, biasanya akibat
arteriosklerosis.
3. Emboli serebral
Bekuan darah terlepas dari trombus di area tubuh yang lain dan dibawa ke otak
lalu bekuan tersebut menyumbat pembuluh darah di otak dan menghentikan suplai darah
ke bagian otak. Trombosis serebral dan emboli serebral dapat menurunkan aliran darah
(oksigen) ke otak dan dapat disebut sebagai CVA iskemik.
4. Hemoragi atau aneurisme serebral
(CVA hemoragi) Arteri di otak pecah akibat arteriosklerosis, yang terus akan
memperlemah dinding aneurisma, hipertensi, atau meningkatan tekanan darah secara akut
dan berat. Akibatnya adalah ruptur dan hemoragik pembuluh darah.
c. Penyebab dan Faktor Resiko
1. Faktor Resiko Stroke
a) Usia : makin bertambah usia resiko stroke makin tinggi, hal ini berkaitan dengan
elastisitas pembuluh darah.
b) Jenis kelamin : laki-laki mempunyai kecenderungan lebih tinggi.
c) Ras dan keturunan : stroke lebih sering ditemukan pada kulit putih
d) Hipertensi : hipertensi menyebabkan aterosklerosis pembuluh darah serebral sehingga
lama-kelamaan akan pecah menimbulkan perdarahan. Stroke yang terjadi adalah
stroke haemoragik
e) Penyakit jantung : pada fibrilasi atrium menyebabkan penurunan cardiac output,
sehingga terjadi gangguan perfusi serebral.
f) Diabetes Melitus : penyakit pada DM terjadi gangguan vaskuler, sehingga terjadi
hambatan dalam aliran darah ke otak.
g) Polisitemia : kadar Hb yang tinggi (Hb lebih dari 16 mg/dl) menimbulkan darah
menjadi lebih kental dengan demikian aliran darah ke otak lebih lambat.
h) Perokok : rokok menimbulkan Plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga
terjadi aterosklerosis.
i) Alkohol : pada alkoholik dapat mengalami hipertensi, penurunan aliran darah ke otak
dan kardiak aritmia.
j) Peningkatan kolesterol : kolesterol dalam tubuh menyebabkan aterosklerosis dan
terbentuknya lemak sehingga aliran darah lambat.
k) Obesitas : pada obesitas kadar kolesterol darah meningkat dan terjadi hipertensi.
2. Penyebab Stroke
a) Trombisis
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti
disekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun
tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan
darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan gejala neurologis sering kali
memburuk pada 48 jam setelah thrombosis. Beberapa keadaan di bawah ini dapat
menyebabkan trombosis otak yaitu: aterosklerotik, hiperkoagulasi pada polisitemia,
arteritis (radang pada arteri), dan emboli.
b) Emboli
c) Hypoperfusi Global
d) Perdarahan Subarachnoid
e) Perdarahan Intracerebral
d. Patofisiologi
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuk Sirkulus Willisi (Gambar 1): arteria karotis interna dan sistem
vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke
jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian
jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di
daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin
terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang
mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah
yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa :
1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan trombosis,
robeknya dinding pembuluh, atau peradangan;
2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran 12 darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah;
3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung
atau pembuluh ekstrakranium; atau
4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid (Price et al, 2006).
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau bagian mana yang terkena , rata-rata
serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi kolateral. Pada stroke akut gejala klinis
meliputi :
a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah ( hemiparesis ) yang timbul secara
mendadak.
b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan.
c. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor atau koma).
d. Afasia (kesulitan dalam bicara)
e. Disatria ( bicara cadel atau pelo )
f. Gangguan penglihatan, diplopia
g. Vertigo, mual, muntah dan nyeri kepala

B. Konsep Pengetahuan
a. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melaui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over
behavior) (Notoadmodjo,2007). Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus
menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya
pemahamanpemahaman (Budiningsih,2005).
b. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Hendra (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan, diantaranya
yaitu:
1) Umur
Umur seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang
diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut
kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang.
2) Intelegensia
Intelegensia diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar berpikir abstrak
guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru. Perbedaan intelejensia dari
seseorang akan berpengaruh pula terhadap tingkat pengetahuannya.
3) Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan
seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi seseorang, dimana seseorang
dapat mempelajari hal-hal baik dan buruk tergantung pada sifat kelompoknya. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi pengetahuan diantaranya adalah:
a. Keluarga
Keluarga sangat menentukan dalam pendidikan, karena keluarga adalah lembaga
pendidikan yang pertama dalam lingkungan kehidupan seseorang.
b. Masyarakat
Masyarakat merupakan faktor eksternal yang juga mempengaruhi belajar
seseorang.Pengaruh ini terjadi karena keberadaannya yang berhubungan dengan
media masa, teman bergaul, dan bentuk kehidupan mesyarakat.
c. Pengaruh Teman Dekat/Teman
Pengaruh orang terdekat juga berperan dalam pengetahuan seseorang terhadap
sesuatu.
4) Sosial Budaya
Social budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang. Seseorang
memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang lain, karena hubungan
ini seseorang mengalami suatu proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan.
5) Pendidikan
Pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin baik
pula pengetahuannya.
6) Informasi
Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapatkan
informasi yang baik dari berbagai media misalnya TV, radio atau surat kabar maka hal itu
akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.
7) Pengalaman
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu suatu cara
untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat
digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan.
8) Pekerjaan
Pekerjaan mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang. Orang yang
menekuni suatu bidang tertentu, akan memiliki pengetahuan mengenai segala sesuatu
mengenai apa yang dikerjakannya.
9) Kesehatan
Sehat berarti keadaan fisik, mental dan sosial seseorang berfungsi secara optimal
dan seimbang. Keseimbangan ini akan terganggu jika seseorang sakit. Proses belajar akan
terganggu jika seseorang berada dalam keadaan yang tidak optimal baik fisik, mental
maupun sosial.
10) Perhatian
Jika perhatian seseorang rendah/kurang terhadap suatu materi, maka pemahaman
terhadap materi tersebut akan berkurang/menurun.
11) Minat
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang
berbagai kegiatan.Kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus menerus disertai
rasaa senang.Berbeda dengan perhatian yang sifatnya sementara.
12) Bakat
Bakat merupakan bagian dari kemampuan untuk belajar, kemampuan itu akan
terealisasi menjadi kecakapan nyata sesudah belajar atau berlatih.
13) Diskusi/percakapan
Diskusi juga mempengaruhi pengetahuan seseorang. Orang yang sering
berdiskusi akan lebih memiliki pengetahuan yang lebih mengenai hal/topik yang
didiskusikan. Bahkan akan muncul pengetahuan-pengetahuan baru yang sebelumnya
tidak kita mengerti.

C. Konsep Keluarga
a. Pengertian Keluarga
Menurut WHO (1969), keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling
berhubungan melalui pertalian darah, adopsi, atau perkawinan. Menurut Bergess (1962)
keluarga terdiri atas kelompok orang yang mempunyai ikatan
perkawinan,keturunan/hubungan sedarah atau hasil adopsi, anggota tinggal bersama
dalamsatu rumah, anggota berinteraksi dan berkomunikasi dalam peran sosial, serta
mempunyai kebiasaan/kebudayaan yang berasal dari nasyarakat, tetapi mempunyai
keunikan sendiri.
Keluarga merupakan sekumpulan orang yang di hubungkan oleh perkawinan,
adopsi dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang
umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan social dari individu-
individu yang ada di dalamnya terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan untuk
mencapai tujuan bersama (friedman, 1998).
Keluarga sebagai perkumpulan dua atau lebih dari dua individu yang tergabung
karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam
suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam peranannya masing- masing
dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. (Effendy, 1998)
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga
karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu
dengan lainnya, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan
suatu budaya (Bailon dan Maglaya, 1978) , dikutip dari Setyowati, 2008)
Dari pengertian keluarga diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa keluarga
adalah seperangkat bagian yang saling tergantung satu sama lain serta memiliki perasaan
beridentitas dan berbeda dari anggota dan tugas utama keluarga adalah memelihara
kebutuhan psikososial anggota-anggotanya dan kesejahteraan hidupnya secara umum.
b. Tipe Keluarga
Keluarga yang memerlukan pelayanan kesehatan berasal dari berbagai macam
pola kehidupan. Agar dapat mengupayakan peran serta keluarga dalam meningkatkan
derajat kesehatan maka perawat perlu mengetahui berbagai tipe keluarga. Menurut
Friedman (1998) Tipe keluarga ada 2 yaitu :
a) Tipe Keluarga Tradisional
1) Keluarga inti, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri,dan anak
(kandung atau angkat)
2) Keluarga besar, yaitu keluarga inti ditambah dengan keluarga lain yang mempunyai
hubungan darah, misalnya : kakek, nenek, keponakan, paman, bibi.
3) Keluarga “Dyad”, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami dan istri tanpa
anak.
4) “Single Parent”, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua (ayah/ibu)
dengan anak (kandung/angkat). Kondisi ini dapat disebabkan oleh perceraian atau
kematian.
5) “Single Adult”, yaitu suatu rumah tangga yang hanya terdiri seorang dewasa
(misalnya seorang yang telah dewasa kemudian tinggal kost untuk bekerja atau
kuliah).
b) Tipe Keluarga Non Tradisional
1) The unmarried teenege mother, yaitu keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama
ibu) dengan anak dari hubungan tanpa nikah.
2) The stepparent family, yaitu keluarga dengan orang tua tiri
3) Commune family, beberapa pasangan keluarga (dengan anaknya) yang tidak ada
hubungan saudara hidup bersama dalam satu rumah, sumber dan fasilitas yang
sama, pengalaman yang sama : sosialisasi anak dengan melalui aktivitas kelompok
atau membesarkan anaak bersama.
4) The non marital heterosexual cohibitang family, yaitu keluarga yang hidup bersama
dan berganti-ganti pasangan tanpa melalui pernikahan.
5) Gay and lesbian family, yaitu seseorang yang mempunyai persamaan sex hidup
bersama sebagaimana suami-istri (marital partners).
6) Cohibitng couple, yaitu orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan perkawinan
karena beberapa alasan tertentu.
7) Group-marrige family, yaitu beberapa orang dewasa menggunakan alatalat rumah
tangga bersama yang saling merasa sudah menikah, berbagi sesuatu termasuk
sexual dan membesarkan anaknya.
8) Group network family, yaitu keluarga inti yang dibatasi set aturan atau nilai-nilai,
hidup bersama atau berdekatan satu sama lainnya dan saling menggunakan barang-
barang rumah tangga bersama, pelayanan, dan tanggung jawab membesarkan
anaknya.
9) Foster family, yaitu keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga
atau saudara didalam waktu sementara, pada saat orang tua anak tersebut perlu
mendapatkan bantuan untuk menyatukan kembali keluarga yang aslinya.
10) Homeless family, yaitu keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan
yang permanen karena krisis personal yang dihubungkan dengan keadaan ekonomi
dan atau problem kesehatan mental.
11) Gang, yaitu sebuah bentuk keluarga yang destruktif dari orang-orang muda yang
mencari ikatan emosional dan keluarga yang mempunyai perhatian tetapi
berkembang dalam kekerasan dan kriminal dalam kehidupannya.
c. Struktur Keluarga
Menurut Friedman (1998) struktur keluarga terdiri atas :
a) Pola dan Proses Komunikasi Pola interaksi keluarga yang berfungsi : (1) bersifat
terbuka dan jujur, (2) selalu menyelesaikan konflik keluarga, (3) berpikiran positif, dan
(4) tidak mengulang-ulang isu dan pendapat sendiri.
Karakteristik komunikasi keluarga berfungsi untuk :
1. Karakteristik pengirim :
a) Yakin dalam mengemukakan sesuatu atau pendapat.
b) Apa yang disampaikan jelas dan berkualitas.
c) Selalu meminta dan menerima umpan balik.
2. Karakteristik penerima :
a) Siap mendengarkan.
b) Memberi umpan balik.
c) Melakukan validasi.
b) Struktur Peran
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi sosial
yang diberikan.Yang dimaksud dengan posisi atau status adalah posisi individu dalam
masyarakat misalnya sebagai suami, istri, anak, dan sebagainya. Tetapi kadang peran
ini tidak dapat dijalankan oleh masing-masing individu dengan baik. Ada beberapa
anak yang terpaksa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang
lain sedangkan orang tua mereka entah kemana atau malah berdiam diri dirumah.
c) Struktur Kekuatan
Kekuatan merupakan kemampuan (potensial dan aktual) dari individu untuk
mengendalikan atau mempengaruhi untuk merubah perilaku orang lain kearah positif.

d) Nilai-nilai keluarga
Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang secara sadar atau
tidak, mempersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai keluarga juga
merupakan suatu pedoman bagi perkembangan norma dan peraturan. Norma adalah
pola perilaku yang baik, menurut masyarakat berdasarkan sistem nilai dalam keluarga.
Budaya adalah kumpulan dari pola perilaku yang dapat dipelajari, dibagi, dan
ditularkan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah.
d. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) :
a) Fungsi Afektif
Fungsi afektif berhubugngan erat dengan fungsi internal keluarga, yang
merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan
psikososial. Keberhasilan melaksanakan fungsi afektif tampak pada kebahagiaan dan
kegembiraan dari seluruh anggota keluarga. Keluarga yang berhasil melaksanakan fungsi
afektif, seluruh anggota keluarga dapat mengembangkan konsep diri positif.
Menurut ( Murwani, 2007 ) komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam
melaksanakan fungsi afektif adalah :
1) Saling mengasuh; cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling mendukung antar
anggota keluarga, mendapatkan kasih sayang dan dukungan dari anggota yang lain.
Maka, kemampuannya untuk memberikan kasih sayang akan meningkat, yang pada
akhirnya tercipta hubungan yang hangat dan saling mendukung. Hubungan intim
didalam keluarga merupakan modal dasar dalam memberi hubungan dengan orang
lain diluar keluarga/masyarakat.
2) Saling menghargai. Bila anggota keluarga saling menghargai dan mengakui
keberadaan dan hak setiap anggota keluarga serta selalu mempertahankan iklim yang
positif, maka fungsi afektif akan tercapai.
3) Ikatan dan identifikasi ikatan keluarga dimulai sejak pasangan sepakat memulai hidup
baru. Ikatan antar anggota keluarga dikembangkan melalui proses identifikasi dan
penyesuaian pada berbagai aspek kehidupan anggota keluarga. Orang tua harus
mengembangkan proses identifikasi yang positif sehingga anakanak dapat meniru
tingkah la Fungsi afektif merupakan “sumber energi” yang menentukan kebahagiaan
keluarga. Keretakan keluarga, kenakalan anak atau masalah keluarga, timbul karena
fungsi afektif didalam keluarga tidak dapat terpenuhi.
b) Fungsi Sosialisasi
Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu,
yang menghasilkan interaksi sosial. Sosialisasi dimulai sejak manusia lahir. Keluarga
merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi. Keberhasilan perembangan
individu dan keluarga dicapai melalui interaksi atau hubungan antar anggota keluarga
yang diwujudkan dalam sosialisasi. Anggota keluarga belajar disiplin, belajar norma-
norma, budaya, dan perilaku melalui hubungan dan interaksi keluarga.
c) Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah sumber daya
manusia.Maka dengan ikatan suatu perkawinan yang sah, selain untuk memenuhi
kebutuhan biologis pada pasangan tujuan untuk membentuk keluarga adalah untuk
meneruskan keturunan.
d) Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh
anggoat keluarga seperti memenuhi kebutuhan akan makanan, pakaian, dan tempat
tinggal. Banyak pasangan sekarang kita lihat dengan penghasilan tidak seimbang antara
suami dan istri hal ini menjadikan permasalahan yang berujung pada perceraian. ku yang
positif dari kedua orang tuanya.
e) Fungsi Perawatan atau Pemeliharan Kesehatan
Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan
kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan atau merawat
anggota keluarga yang sakit.Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan
mempengaruhi status kesehatan keluarga.Kesanggupan keluarga melaksanakan
pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga yang
dilaksanakan.Keluarga yang dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup
menyelesaikan masalah kesehatan.
e. Tugas Kesehatan Keluarga
Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut : (Friedman, 1998)
a) Mengenal masalah kesehatan
b) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
c) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
d) Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat
e) Mempertahankan hubungan dengan ( menggunakan ) fasilitas kesehatan masyarakat.
f. Tugas Perkembangan Keluarga
Siklus kehidupan setiap keluarga mempunyai tahapan-tahapan. Seperti individu-
individu yang mengalami tahap pertumbuhan dan perkembangan yang berturut-turut,
keluarga juga mengalami tahap perkembangan yang berturut-turut.
Adapun tahap-tahap perkembangan menurut Duvall dan Miller dalam (Friedman, 1998)
adalah :
1. Tahap I : keluarga pemula perkawinan dari sepasang insan menandai bermulanya
sebuah keluarga baru dan perpindahan dari keluarga asal atau status lajang ke hubungan
baru yang intim.
2. Tahap II : keluarga sedang mengasuh anak dimulai dengan kelahiran anaknpertama
hingga bayi berusia 30 bulan .
3. Tahap III : keluarga dengan anak usian pra sekolah dimulai ketika anak pertama berusia
dua setengah tahun, dan berakhir ketika anak berusia lima tahun.
4. Tahap IV : keluarga dengan anak usia sekolah dimulai ketika anak pertama telah
berusia enam tahun dan mulai masuk sekolah dasar dan berakhir pada usia 13 tahun,
awal dari masa remaja.
5. Tahap V : keluarga dengan anak remaja dimulai ketika anak pertama melewati umur 13
tahun, berlangsung selama enam hingga tujuh tahun. Tahap ini dapat lebih singkat jika
anak meninggalkan keluarga lebih awal atau lebih lama jika anak masih tinggal
dirumah hingga berumur 19 atau 20 tahun.
6. Tahap VI : keluarga yang melepas anak usia dewasa muda, ditandai oleh anak pertama
meninggalkan rumah orang tua dan berakhir dengan “rumah kosong” ketika anak
terakhir meninggalkan rumah. Tahap ini dapat singkat atau agak panjang, tergantung
pada berapa banyak anak yang belum menikah yang masih tinggal dirumah. Fase ini
ditandai oleh tahun-tahun puncak persiapan dari dan oleh anak-anak untuk kehidupan
dewasa yang mandiri.
7. Tahap VII : orang tua usia pertengahan dimulai ketika anak terakhir meninggalkan
rumah dan berakhir pada saat pensiun atau kematian salah satu pasangan.
8. Tahap VIII : keluarga dalam masa pensiun dan lansia dimulai dengan salah stu atau
kedua pasangan memasuki masa pensiun, hingga salah satu pasangan meninggal dan
berakhir dengan pasangan lainnya meninggal dan tugas tumbuh kembang lansia pada
tahap ini adalah:
a) Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan
b) Menyesuaikan terhadap pendapatan yang menurun
c) Mempertahankan hubungan perkawinan
d) Menyesuaikan diri terhadap kehilangan pasangan
e) Mempertahankan ikatan keluarga antar generasi

D. Perawatan Stroke
a. Perawatan Pasien Stroke di Rumah
Menurut Batticaca (2008), penanganan dan perawatan penderita stroke di rumah
antara lain, berobat secara teratur ke dokter, tidak menghentikan atau mengubah dan
menambah dosis obat tanpa petunjuk dokter, meminta bantuan petugas kesehatan atau
fisioterapi untuk memulihkan kondisi tubuh yang lemah atau lumpuh, memperbaiki kondisi
fisik dengan latihan teratur di rumah, membantu kebutuhan klien, memotivasi klien agar
tetap bersemangat dalam latihan fisik, memeriksakan tekanan darah secara teratur, dan
segera bawa klien ke dokter atau rumah sakit jika timbul tanda dan gejala stroke.
Vallery (2006) dalam Agustina,dkk (2009) mengemukakan bahwa pasien dan
orang yang merawat/ keluarga perlu menyadari semua tantangan dan tanggung jawab yang
akan dihadapi sebelum meninggalkan rumah sakit atau fasilitas rehabilitasi lain. Kebutuhan
pasien pasca rawat dapat meliputi kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Mulyatsih E (2010) mengurutkan berbagai masalah yang mungkin dialami pasien
pasca stroke dan cara keluarga mengatasinya, berikut urutan dan cara mengatasinya:

1. Kelumpuhan/kelemahan
Sekitar 90% pasien stroke mengalami kelemahan atau kelumpuhan separo badan.
Kelemahan atau kelumpuhan sering kali masih dialami pasien sewaktu keluar dari
rumah sakit, dan biasanya kelemahan tangan lebih berat dari pada kaki. Apabila
sewaktu pulang kerumah pasien belum mampu bergerak sendiri, aturlah posisi pasien
senyaman mungkin, tidur terlentang atau miring kesalah satu sisi, dengan memberikan
perhatian khusus pada bagian lengan atau kaki yang lemah. Posisi tangan dan kaki yang
lemah sebaiknya diganjal dengan bantal, baik pada saat berbaring ataupun duduk
(mencegah terjadi edema dan memperlancar arus balik jantung). Sering melakukan
latihan gerak sendi untuk mencegah kekakuan pada tangan dan kaki yang lemah
minimal 2 kali sehari dan membantu pasien berlatih berjalan.
2. Mengaktifkan tangan yang lemah
Pada pasien yang masih mengalami kelemahan pada anggota gerak atas, beri
dukungan kepada pasien untuk mengaktifkan tangan yang lemah tersebut. Anjurkan
pasien makan, minum, mandi atau kegiatan harian menggunakan tangan yang lemah
dengan pengawasan keluarga atau pengasuh. Dengan mengaktifkan tangan yang lemah
akan memberikan stimulasi kepada sel sel otak untuk berlatih kembali aktifitas yang
dipelajari sebelum sakit.
3. Gangguan sensibilitas (pasien mengalami rasa kebas atau baal).
Selain mengalami kelemahan separo badan, sering kali pasien pasca stroke
mengalami gangguan sensibilitas atau hilang rasa separo badan. Untuk mengatasi
masalah ini, keluarga sebaiknya menghampiri dan berbicara dengan pasien dari sisi
tubuh yang lemah. Saat berkomunikasi pengasuh dapat menyentuh dan menggosok
dengan lembut tangan yang mengalami kelemahan. Kelurga dianjurkan memberikan
motivasi kepada pasien agar menggunakan tangan yang lemah sebanyak mungkin,
terutama saat melakukan aktifitas sehari-hari, dan keluarga atau pengasuh sebaiknya
menjauhkan dan menghindarkan pasien dari benda-benda yang berbahaya.

4. Gangguan berbicara dan berkomunikasi.


Bila stroke menyerang otak kiri dan mengenai pusat bicara, kemungkinan pasien
mengalami gangguan bicara atau afasia. Secara umum afasia terbagi dalam tiga jenis:
afasia motorik, afasia sensorik dan afasia global. Pasien afasia motoric ditandai dengan
ketidakmampuan pasien mengungkapkan atau mengekspresikan kata-kata, tetapi pasien
memahami apa yang dikatakan orang lain kepadanya. Sebaliknya, pasien sensorik tidak
memahami pembicaraan orang lain, tetapi dapat mengelurkan kata-kata. Akibatnya
pasien stroke dengan afasia sensorik terlihat tidak nyambung kalau di ajak berbicara.
Sedangkan bila kerusakan otak luas dan menyerang pusat ekspresi dan pusat pengertian
bicara di otak kiri, pasien akan mengalami afasia global. Pasien tidak mampu
memahami pembicaran orang lain dan tidak mampu mengungkapkan kata-kata secara
verbal. Hal yang harus dipahami oleh keluarga adalah, bahwa pasien afasia tetap
membutuhkan kesempatan untuk mendengar pembicaraan orang lain secara normal.
5. Gangguan menelan.
Gangguan menelan merupakan salah satu masalah kesehatan akibat serangan
stroke. Biasanya pasien menunjukkan gejala tersedak pada saat makan atau minum,
keluar nasi dari hidung, pasien terlihat tidak mampu mengontrol keluarnya air liur dari
mulut atau mengiler, memerlukan waktu yang lama untuk makan, dan tersisa makanan
di mulut setelah makan. Jika pasien stroke mengalami gangguan menelan, tempatkan
pasien pada pada posisi 90° pada waktu makan dikursi atau tempat tidur, pada saat
menelan, anjurkan pasien untuk menekuk leher dan kepala untuk mempermudah
menutup jalan napas ketika pasien menelan atau kepala menengok ke arah sisi yang
lemah takkala menelan. Gunakan sendok yang kecil dan tempatkan makanan pada
posisi yang sehat. Bila pasien masih terpasang selang atau NGT pada waktu pulang.
Selang NGT adalah selang yang dimasukkan kedalam lambung pasien melalui
hidung pasien, selang ini harus diganti secara periodic tergantung bahan selang, ada
yang setiap 7 hari, 30 hari atau bahkan 3 bulan. Pasien akan dilatih makan per oral
mulai dari makanan dengan konsistensi lunak atau semi padat, selanjutya bertahap
kebentuk yang lebih cair. Gunakan sendok jika pasien baru dilepaskan selang NGT dari
mulut, hal ini untuk mencegah pasien tersedak dikarenakan koordinasi otot lidah dan
mulut belum baik atau karena gangguan fungsi pusat menelan di otak.

6. Gangguan penglihatan.
Bila pasien mengalami gangguan lapang pandang, maka orientasikan atau
beritahu pasien tempat dan barang yang ada disekitar pasien. Dan dekatkan setiap
barang yang dibutuhkan pasien pada saat makan.
7. Gangguan buang air kecil.
Bagi pasien afasia yang mengalami inkontinensia, keluarga sebaiknya
menyediakan bel atau penanda lain yang mudah di jangkau oleh pasien. Keluarga juga
dapat mengantisipasi dengan cara menawarkan pasien untuk berkemih setiap dua jam
dan hindari minum pada malam hari agar pasien tidak mengompol. Jika pasien
memakai diapers dewasa, sebaiknya jaga agar diapers tidak penuh dan ganti sehari 2
sampai 3 kali. Keluarga juga perlu memperhatikan agar kulit disekitar kemaluan tetap
kering (tidak basah) agar tidak mudah lecet.
8. Gangguan buang air besar.
Masalah buang air besar pada pasien stroke bervariasi, seperti konstipasi (sulit
buang air besar), diare dan BAB tidak terasa. Masalah yang paling sering terjadi adalah
konstipasi, antara lain tirah baring yang lama, kurang aktifitas fisik, asupan kurang
serat, kurang minum, dan efek dari penggunaan obat. Keluarga dapat membantu pasien
agar tidak mengalami konstipasi dengan cara memotifasi pasien untuk bergerak aktif,
mengkonsunsi makanan tinggi serat, minum air putih minimal 2 liter, dan membiasakan
diri duduk di kloset setiap pagi, Pemakaian diapers dewasa sangat membantu, dalam
proses defekasi, segera mengganti dan membersihkan jika penderita selesai defekasi.
9. Kesulitan mengenakan pakaian
Berpakaian secara mandiri merupakan salah satu kegiatan yang harus dipelajari
kembali oleh pasien pasca stroke. Keluarga dapat membantu dan mengajarkan pasien
dalam mengenakan pakaian. Sebaiknya baju yang dikenakan pasien adalah kemeja,
karena dapat memudahkan pasien sewaktu mengenakannya. Begitu pula dengan celana,
jika keseimbangan pasien belum baik sewaktu memakai celana dalam posisi duduk,
pasien dapat mengenakannya dalam posisi tidur.

10. Gangguan memori


Pasien paska stroke kadang juga mengalami gangguan fungsi lihur berupa
gangguan memori dan daya ingat. Keluarga dapat melatih daya ingat pasien dengan
melihat album foto keluarga, teman dan kerabat atau gambar-gambar yang pernah
dikenal oleh pasien. Selain itu keluarga juga dapat mengorientasikan kembali
pemahaman pasien terhadap tempat, waktu dan orang.
11. Perubahan kepribadian dan emosi
Sebagian pasien pasca stroke dapat mengalami perubahan kepribadian dan emosi.
Hal ini terutama terjadi pada pasien stroke dengan afasia. Pasien afasia tidak mampu
mengungkapkan apa yang mereka inginkan, sehingga seringkali pasien menjadi
frustasi, marah, kehilangan harga diri dan emosi pasien menjadi labil. Keadaan ini pada
akhirnya menyebabkan pasien menjadi depresi. Untuk mengatasi hal tersebut, keluarga
dapat memberikan support mental dan selalu me-reorientasikan pasien pada realita.
Keluarga secara bersama-sama sebaiknya mengenal dan membuat pasien merasa jenuh
atau frustasi, dan bagaimana cara mengantisipasinya. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah melakukan kegiatan yang menyenangkan secara bersama-sama diluar
rumah atau keluarga mengikutsertakan pasien pada acara keluarga atau acara
keagamaan.
12. Kebersihan Diri
Penderita stroke juga memerlukan bantuan keluarga dalam memenuhi perawatan
diri. Kemunduran fisik akibat stroke menyebabkan kemunduran gerak fungsional baik
kemampuan mobilisasi atau perawatan diri (Pudjiastuti, 2003).
Penderita stroke yang tidak dapat bergerak harus sering digerakkan dan direposisi.
Hal yang perlu diperhatikan keluarga dalam perawatan kulit dapat meliputi perhatian
terhadap kondisi seprai tempat tidur penderita stroke harus terpasang kencang dan
perhatian terhadap bagian-bagian tubuh yang paling berisiko pada penderita yang hanya
dapat berbaring atau duduk di kursi roda, antara lain punggung bawah (sakrum), paha,
tumit, siku, bahu, dan tulang belikat (skapula).
Keluarga dapat menggunakan spons kering untuk membantali titik-titik tekanan
ini sekali sehari agar mencegah tertekannya saraf. Penderita stroke yang tidak dapat
minum tanpa bantuan harus membersihkan mulutnya dengan sikat lembut yang lembab
atau kapas penyerap sekitar satu jam. Perawatan mulut yang teratur sangat penting,
terutama untuk penderita yang sulit atau tidak dapat menelan (Edmund, 2007). Bagian
sekitar mata pasien juga perlu diperhatikan kebersihannya. Gunakan kain lembab yang
bersih untuk membersihkan kelopak mata pasien.
b. Prinsip Merawat Pasien Stroke dirumah
1. Menjaga kesehatan punggung pengasuh atau keluarga
Keluarga beresiko mengalami cidera otot lumbal atau cidera punggung ketika
mengangkat, memindahkan atau mengubah posisi pasien yang mengalami immobilisasi.
Untuk menghindari cidera punggung ini perlu diperhatikan :
a. Posisi beban, tinggi objek,berat maksimum dan posisi tubuh. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui apakah anda dapat melakukan sendiri atau butuh bantuan.
b. Mengangkat objek harus dari bawah pusat gravitasi, menempatkan kedua kaki sedikit
terbuka untuk memperbesar dukungan serta mempertahankan kesejajaran yang tepat
pada kepala dan leher dengan vertebra. Keluarga/pengasuh harus menjaga tubuh
untuk tetap tegak.
c. Berdiri sedekat mungkin dengan objek untuk mencapai pusat gravitasi yang lebih
dekat dengan objek.
2. Mencegah terjadinya luka dikulit pasien akibat tekanan
Pasien yang mengalami imobilisasi perlu dibalik dan diposisikan secara reguler,
bahkan pada malamhari. Hal ini bertujuan untuk mencegah luka akibat tekanan. Bagi
pasien yang hanya dapat berbaring atau duduk di kursi roda, bagian-bagian tubuh yang
paling beresiko antara lain adalah punggung bawah (sakrum), bokong, paha, tumit, siku,
bahu dan tulang belikat (skapula)
3. Mencegah terjadinya kekakua otot atau sendi
Untuk mencegah kekakuan sendi keluarga perlu melakukan berbagai hal,
misalnya mengubah posisi lengan dan tungkai setiap 1-2 jam sepanjang siang dan malam
hari, memijat tungkai yang lumpuh sekali atau dua kalli sehari, menggerakkan semua
sendi di tungkai yang lumpuh secara lembut dan perlahanlahan (yaitu harus menekuk 5-7
kali).
4. Mencegah terjadinya nyeri bahu
Nyeri bahu merupakan salah satu masalah yang paling sering terjadi pada pasien
stroke dialami oleh sekitar 1 dari 5 pasien dalam waktu 6 bulan setelah stroke
(Agustina,dkk 2009)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

A. Kerangka Konsep Penelitian


Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu
terhadap konsep yang lain dari masalah yang diteliti. Kerangka konsep didapatkan dari
konsep ilmu/teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang didapatkan di tinjauan
pustaka, sebagai ringkasan dari tinjauan pustaka yang dihubungkan dengan garis sesuai
dengan variabel yang diteliti.

Pengetahuan  Baik
keluarga merawat  Tidak Baik
pasien stroke

Skema : Kerangka Konsep Pengetahuan Keluarga dalam Merawat Pasien Stroke di Rumah
B. Hipotesis penelitian
Ho : Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga dalam merawat pasien
stroke di rumah.
Ha : Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga keluarga dalam merawat pasien
stroke di rumah.
C. Definisi Operasional
Untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variable yang akan diamati atau
di teliti, perlu sekali variable tersebut diberi batasan atau defenisi operasional. Defenisi
operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan
terhadap variable-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrument (alat ukur).

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional ukur
1. Pengetah Segala sesuatu Kuesioner Menggunakan Baik : Interval
uan Informasi yang kuesioner yang apabila

keluarga diketahui oleh terdiridari 20 responden


orang terdekat pertanyaan.
merawat mendapats
yang merawat Pertanyaan dibuat
pasien kor 16-20
pasien stroke. dalam bentuk
stroke dari 20
(suami, istri, anak multiple choice
pertanyaan
atau orang yang dengan dua hasilukur
masih memiliki Yaitu pengetahuan
Tidak baik:

Hubungan baik dan tidak baik. Apabila


keluarga). Pertanyaan dengan responden
jawaban benar diberi mendapat
skor 1 dan jawaban skor 0-15
salah diberi skor 0. dari 20
pertanyaan

Tabel : Definisi Operasinal Pengetahuan Keluarga dalam Merawat Pasien Stroke di Ruma
BAB

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Desain penelitian
deskriptif dilakukan terhadap sekumpulan objek yang biasanya bertujuan untuk melihat
gambaran fenomena. Pada umumnya digunakan untuk membuat penilaian terhadap suatu
kondisi dan penyelenggaraan suatu program dimasa sekarang.

B. Populasi, Sampel Penelitian, dan Teknik Sampling


a. Populasi Penelitian
Populasi menurut Polit dan Hungler (1999) target bersifat umum dan biasanya
pada penelitian klinis dibatasi oleh karakteristik demografis (meliputi jenis kelamin dan
usia). Dalam penelitian ini populasinya adalah keluarga yang merawat anggota
keluarganya yang menderita stroke di rumah.
b. Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek penelitian dan dianggap mewakili
populasi (Notoatmodjo, 2010). Sampel pada penelitian ini adalah keluarga dari pasien
stroke di rumah. Pengukuran sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
n : besar sampel
N : besar populasi
d: tingkat signifikansi (d= 10%)

Maka jumlah sampel pada penelitian ini adalah 73 orang responden. Namun saat
dilakukan penelitian terdapat beberapa keluarga yang menolak untuk berpartisipasi dan
menjadi responden dalam penelitian dan ada juga sampel yang tidak sesuai dengan kriteria
inklusi yang telah ditentukan oleh peneliti, dimana pasien merawat dirinya sendiri dan tidak
tinggal bersama keluarga. Maka peneliti hanya mendapatkan 65 orang sampel dalam
penelitian ini.

C. Kriteria Sampel
1) Kriteria Inklusi
a. Anggota keluarga bersedia untuk menjadi responden
b. Anggota keluarga pada saat penelitian berada dalam kodisi sehat
2) Kriteria Eksklusi
a. Anggota keluarga pada saat penelitian menolak untuk dikaji
b. Anggota keluarga pada saat penelitian tidak tinggal bersama keluarga

D. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah penyebaran kuesioner. Pada saat
pengumpulan data peneliti menjelaskan waktu, tujuan, manfaat, dan prosedur pelaksanaan
penelitian kepada calon responden dan yang bersedia berpartisipasi diminta untuk
menandatangani surat persetujuan sebagai responden/informed consent. Responden diminta
mengisi kuesioner yang diberikan oleh peneliti. Selama pengisian kuesioner responden diberi
kesempatan untuk bertanya pada peneliti bila ada pertanyaan yang tidak dipahami. Setelah
semua data terkumpul dari responden, maka peneliti akan melakukan analisa data.

E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk mengumpulkan
data (Notoatmodjo,2010). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jenis instrumen
penelitian berupa kuisioner yang berisi data demografi umur, alamat, jenis
kelamin,pendidikan terakhir, pekerjaan, penghasilan per bulan, hubungan dengan pasien,
asuransi kesehatan yang di pakai, lama pasien di rawat di rumah, jenis stroke yang di derita
pasien dan kode responden.

F. Analisa Data
a. Analisa Univariat
Analisa univariat digunakan untuk mencari distribusi frekuensi dan persentase dari
karakteristik responden, persepsi pasien pada layanan keperawatan dan harapan pasien
pada layanan keperawatan serta tingkat kepuasan pasien pada layanan keperawatan.

b. Analisa Bivariat
Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang melakukan analisis terhadap
hubungan 2 variabel (bivariat) yaitu variabel independen dan dependen. Analisis yang
digunakan yaitu dengan uji Chi Square dengan 95% CI untuk melihat ada tidaknya asosiasi
diantara kedua variabel (Sabri & Hastono, 2006).

G. Etika Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan rekomendasi dari institusi tempat penelitian.
Penelitian menggunakan etika sebagai berikut (Loiselle et al., (2004) dalam Palestin (2007):

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity) Peneliti
mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan informasi yang terbuka berkaitan
dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari
paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian (autonomy).
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy and
confidentiality) Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat terbukanya informasi
individu termasuk informasi yang bersifat pribadi, sehingga peneliti memperhatikan hak-
hak dasar individu tersebut.
3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness) Penelitian dilakukan secara
jujur, hati-hati, profesional, berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-faktor
ketepatan, keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis serta perasaan religius subyek
penelitian.
4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits)
Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian guna mendapatkan
hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subyek penelitian dan dapat
digeneralisasikan di tingkat populasi (beneficence). Peneliti meminimalisasi dampak yang
merugikan bagi subyek(nonmaleficence).

DAFTAR PUSTAKA

Irfan, M (2012). Fisioterapi bagi insan stroke Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rosjidi, C. H.
(2007). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan peredaran darah otak (GPDO) “STROKE”.
Yogyakarta: Ardana Media.

Rambe, A., S. (2010). Stroke: Sekilas tentang definisi, penyebab, efek, dan factor resiko.
Departemen Neurologi FK-USU, 195-198. Diakses pada tanggal 18 Januari 2018, dari
https://pdfs.semanticscholar.org/927b/cd 3194698d0603b55b23f3d1c4a4ea03a906.pdf.

Giovanni, R. S., Mieke, A. H. N. K., Winifred, K. (2016). Gambaran pengetahuan stroke pada
penderita dan keluarga di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic (eCl), 4 (2).
Diakses pada tanggal12 Desember 2017, dari https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/articl
e/view/14560.

Sonatha, B. (2012). Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap keluarga dalam pemberian
perawatan pasien pasca stroke. Diakses pada tanggal 15 Januari 2018, dari
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20309163S43198Hubungan%20tingkat.pdf.

Budiman., Riyanto, A. (2013). Kapita selekta kuesioner pengetahuan dan sikap dalam penelitian
kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Amelia, A. (2013). Hubungan pengetahuan keluarga tentang penyakit stroke dengan dukungan
keluarga dalam merawat pasien stroke di ruang rawat RA4 di RSUP H.ADAM MALIK Medan.
Diakses pada tanggal 20 Januari 2018, dari
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/39076.pdf.

Riset Kesehatan Dasar (2013). Kecenderungan prevalensi stroke pada umur >15tahun menurut
provinsi, 2007 dan 2013. Diakses pada tanggal 20 Januari 2018, dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf

Anda mungkin juga menyukai