Anda di halaman 1dari 22

“PROPOSAL PENELITIAN”

Hubungan Tingkat Kecemasan Mempengaruhi Kualitas Tidur Penderita


Asma Bronkial

OLEH :
HARROLD STEWARD BUDIKASE

NIM ;
(1714201153)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA


FAKULTAS KEPERAWATAN
MANADO
2020
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Kecemasan digambarkan sebagai perasaan takut yang tidak menyenangkan dan


keprihatinan mengenai masa yang akan datang, biasanya disebabkan oleh hal yang tidak
jelas dan tidak dapat dipahami serta sering disertai dengan gejala fisiologis (David,2003).
Kecemasan merupakan gejala yang normal pada manusia namun dapat menjadi patologis
apabila gejala yangtimbul bersifat menetap dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu
yang dapat mengganggu kelangsungan hidup individu (Chaplin, 2006). Gejala kecemasan
terdiri dari dua komponen yaitu psikis / mental yang meliputi kecemasan itu sendiri, atau
yang biasa disebut dengan khawatir atau was-was dan komponen yang kedua adalah fisik
yang meliputi jantung berdebar, nafas menjadi cepat, mulut kering, keluhan lambung, tangan
dan kaki terasa dingin dan otot menjadi tegang. Kecemasan sering terjadi di masyarakat dan
sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari.Individu yang mengalami kecemasan
dapat menggaggu sistem homeostasis dan fungsi individunya, Sehingga perlu penyesuaian
diri yang baik agar kecemasan tersebut dapat dengansegera teratasi dan ditanggulangi
(Maramis, 2005).

Gangguan kecemasan mempengaruhi 40 juta orang dewasa usia 18 tahun dan lebih tuasekitar
18 % di Amerika. Prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan
diIndonesia berdasarkan data Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 sebesar
11,6% daripopulasi orang dewasa (Riskesdas, 2007). Kecemasan dapat terjadi akibat suatu
kelainan medis.Kelainan medis yang dapat menyebabkan kecemasan adalah kelainan
neurologis, kelainan jantung dan pembuluh darah, kelainan endokrin, kelainan pernafasan
seperti asma bronkhial danpenyakit paru obstruktif menahun.

Kecemasan dapat diakibatkan suatu kelainan medis seperti Asma Bronkhial


(SelanjutnyaAsma Bronkhial disebut dengan Asma) sehingga akan memperburuk serangan.
Asma yangdisertai dengan kecemasan dapat menyebabkan perubahan secara fisik maupun
psikologis yangakhirnya mengaktifkan syaraf otonom dimana detak jantung meningkat,
tekanan darah naik, danfrekuensi nafas semakin meningkat (Santoso, 2007).

Asma merupakan masalah kesehatan dunia,diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan
derajat penyakit yang ringan sampai berat.Penderita asma di dunia menurut WHO
diperkirakan mencapai 100-150 juta dan setiap tahun jumlahnya akan terus bertambah
sebanyak 180.000 orang (Depkes, 2009).
Di Indonesia,penduduk yang menderita asma diperkirakan sekitar 5-7%.di provinsi Jawa
Tengah, kasus asmabronkial pada tahun 2006 sebesar 41,99 per 1000 penduduk. sedangkan
kasus asma bronkhial didaerah semarang pada tahun 2010 mencapai 51 kasus (DKK
Semarang, 2010).

Asma bronkhial dapat terjadi pada semua usia tetapi serangan awal lebih banyak muculpada
anak-anak. Asma Bronkhial bila terjadi pada orang-orang yang berusia diatas 65 tahun dapat
menyebabkan masalah kesehatan yang serius karena pada usia lanjut terjadi penurunansecara
perlahan fungsi tubuh dan menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki
danmempertahankan struktur fungsi normalnya (Darmojo, Hadi, 2009).

Penurunan fungsi paru dantimbulnya gejala di malam hari seperti batuk, sesak, serta
keterbatasan aliran udara danhiperesponsif jalan nafas merupakan bagian dari gejala klinis
asma. Peningkatan obstruksi jalannafas merupakan yang mendasari timbulnya gejala malam.
Hampir 75 % penderita asmaterbangun dari tidurnya akibat timbulnya gejala malam dan
sekitar 40 % merasakan gejala malamtiap hari (Astuti, Yusuf, Antariksa, Ratnawati, 2011).

Tidur merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap orang. Pola tidur pada
usialanjut berbeda dengan usia muda (Prayitno, 2002). Perubahan pola tidur pada usia
lanjutdisebabkan oleh penurunan fungsi dari suprachiasmatic nucleus ( SCN ) di Hipotalamus
yangakan menyebabkan gangguan pada ritme sirkadian. Ritme sirkadian mengatur siklus
tidur, suhutubuh, aktivitas saraf otonom, aktivitas kardiovaskuler dan sekresi hormon. Faktor
yangmempengaruhi kerja SCN adalah cahaya, aktivitas sosial dan fisik. Ketika cahaya masuk
keretina maka sistem neuron fotoreseptor SCN akan teraktivasi kemudian SCN akan
merangsangpineal gland untuk mensekresikan melantonin yang dapat menimbulkan rasa
lelah sehinggaorang mengantuk dan tidur. Penurunan fungsi SCN berkaitan dengan
pertambahan usia seseorang(Endeshaw, Bliwise, 2006).

Perubahan tidur yang terjadi pada usia lanjut dapat mempengaruhi kualitas tidur.
Kualitastidur merupakan kemampuan untuk mempertahankan waktu tidur dan tidak diserartai
adanyagangguan tidur. Penilaian kualitas tidur berdasarkan 6 komponen yaitu kualitas tidur,
latensitidur, durasi tidur, kebiasaan tidur, gangguan tidur, disfungsi siang hari (Smith, 2007).
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian adalah “apakah
ada hubungan antara tingkat kecemasan mempengaruhi kualitas tidur penderita asma
bronkial?

C. Tujuan Peneliti

1. Tujuan umum

Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan mempengaruhi kualitas


tidur penderita asma bronkial usia lanjut

2. Tujuan Khusus
a. mengetahui tingkat kecemasan penderita asma brhonkial usia lanjut
b. mengetahui kualitas tidur penderita asma bronchial usia lanjut
c. mengetahui hubungan antara tingkat kecemasan mempengaruhi
kualitas tidur penderita asma bronchial usia lanjut

D. Manfaat Peneliti

a. Bagi institusi peneliti


manfaat bagi peneliti adalah pengetahuan dan wawasan mengenai hubungan
antara tingkat kecemasan mempengaruhi kualitas tidur penderita asma
brhonchial

b. Bagi peneliti selanjutnya


Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan penelitian
lebih lanjut mengenai hubungan antara tingkat kecemasan mempengaruhi
kualitas tidur penderita bronchial
BAB II
Tinjauan Teori

A. Konsep dasar kecemasan

1) Pengertian Kecemasan

Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang


menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau
tidak adanya rasa aman. perasaan yg tidak menentu tersebut pada umumnya tidak
menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan
psikologis (rochman,2010).

2) Tingkat kecemasan

semua orang pasti pernah mengalami kecemasan pada derajat tertentu, mengidentifikasi 4
tingkat kecemasan yaitu:

a) kecemasan ringan
kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari hari kecemasan dapat memotivasi
belajar serta kreatifias. tanda dan gejala antara lain: persepsi dan perhatian meningkat,
waspada, mampu mengatasi masalah secara efektif serta terjadi kemampuan belajar.
perubahan fisiologi ditandai dengan gelisah, sulit tidur.

b) kecemasan sedang
memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yg lain,
sehingga individu mengalami perhatian yg selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang
lebih terarah .Respon fisiologi : sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut
kering, gelisah.

c) Kecemasan berat
kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu cenderung untuk
memusatkan pada sesuatu yg terinci dan spesifik, serta tidak dapat berfikirtentang hal lain
semua perilaku ditunjukan untuk mengurangi ketegangan. tanda dan gejalanya adalah:
berfokus pada hal yg detail rentang perhatian sangat terbatas, tidak dapat belajar secara
efektif. pada tingkat ini individu mengalami sakit kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia,
takikardi, sering baba tau bak dan diare, secara emosi individu mengalami ketakutan serta
seluruh perhatian berfokus pada dirinya

d) Panik
pada tingkat panic dari kecemasan berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan terror,
karena mengalami kehilangan kendali, individu yg mengalami panic tidak dapat melakukan
suatu walaupun dengan pengarahan. tanda dan gejala nya adalah: tidak dapat focus pada
suatu kejadian (Ratih.2012)
3) faktor yang mempengaruhi kecemasan

faftor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah :

a) Faktor fisik

kelemahan fisik dapat melemahkan kondisi mental individu sehingga memudahkan


timbulnya kecemasan

b) Trauma dan konflik

munculnya gejala kecemasan sangat bergantung pada kondisi individudalam arti bahwa
pengalaman-pengalaman emosionalatau konflik mental yang terjadi pada individu akan
memudahkan timbulnya gejala-gejala kecemasan.

c) lingkungan yg tdikas baik

cara orang hidup di masyarakat juga sangat mempengaruhi pada timbulnya ansietas. individu
yang mempunyai cara hidpu sangat teratur yang mempunyai falsafah hidup yang jelas maka
pada umumnya lebih sukar mengalami ansietas.

4) Pengukuran Tingkat Kecemasan

Untuk mengukur tingkat kecemasan, peneliti menggunakan kuesioner dengan metode


Zung – Self Rating 12
Anxiety Scale. Zung – Self Rating Anxiety Scale (SAS) merupakan instrumen untuk
mengukur tingkat kecemasan. Penilaian berdasarkan skala Likert dari 1-4, dimana skor 4
menggambarkan hal negatif dengan penilaian : sangat jarang (1), kadang kadang (2), sering
(3), selalu (4). Dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan, yang terdiri
dari 5 gejala untuk sikap dan 15 pertanyaan untuk gejala somatis. Tingkat kecemasan di
kategorikan menjadi empat, yaitu : Normal, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan
nilai 25-44, Cemas ringan, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 45-59, Cemas
berat, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 60-74, Cemas ekstrim, jika hasil
penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 75-80
B. Tidur

1. Definisi Tidur

Tidur merupakan keadaan tidak sadar yang relatif lebih responsif terhadap rangsangan
internal. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya adalah pada keadaan tidur
siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons terhadap rangsangan eksternal. Otak
berangsur-angsur menjadi kurang responsif terhadap rangsang visual, auditori dan
rangsangan lingkungan lainnya. Tidur dianggap sebagai keadaan pasif yang dimulai dari
input sensoric walaupun mekanisme inisiasi aktif juga 13 mempengaruhi keadaan tidur.
Faktor homeostatik (faktor S) maupun faktor sirkadian (faktor C) juga berinteraksi untuk
menentukan waktu dan kualitas tidur (Susanne,2009). Tidur merupakan aktifitas yang
merupakan susunan saraf pusat, saraf perifer, endokrin, kardiovasakuler, respirasi, dan
muskuloskletal (Tarwoto W, 2006).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur

Faktor – faktor yang mempengaruhi tidur antara lain adalah (Alimul, 2006):

a. Penyakit

Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit yang memperbesar
kebutuhan tidur, misalnya : penyakit yang disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa) akan
memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan sakit
yang menjadikan pasien kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur (Widodo, 2009).

b. Latihan dan Kelelahan

Keletihan akibat akivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga
keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal ini terlihat pada seseorang yang telah
melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk
dapat tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek (Widodo, 2009).

c. Stres Psikologis

Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa. Hal tersebut terlihat
ketika seseorang yang memiliki masalah psikologis mengalami kegelisahan sehingga sulit
untuk tidu (dr Harry, 2009).

d. Obat

Obat juga dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi
proses tidur adalah jenis golongan obat diuretic menyebabkan seseorang menjadi isomnia,
anti depresan dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan syaraf simpatis yang
menyebabkan kesulitan untuk tidur, golongan beta bloker dapat berefek pada timbulnya
insomnia, dan golongan narkotik dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk
(RiaLina,2005).
e. Nutrisi

Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses tidur. Protein yang
tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena adanya trytophan yang merupakan
asam amino dari protein yang dicerna. Demikian juga sebaliknya, kebutuhan gizi yang
kurang juga dapat mempengaruhi proses tidur, bahkan terkadang sulit untuk tidur.

f. Lingkungan

Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga dapat mempercepat
terjadinya proses tidur.

g. Motivasi

Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang dapat
mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat
menimbulkan gangguan proses tidur (dr Brandon peters, 2006).

3. Kualitas tidur

Kualitas tidur adalah suatu keadaan dimana tidur yang dijalani seorang individu
menghasilkan kesegaran dan kebugaran ketika terbangun. Kualitas tidur mencakup aspek
kuantitatif seperti durasi tidur, latensi tidur, serta aspek subjektif seperti tidur dalam dan
istirahat (Khasanah & Hidayati, 2012). Menurut Hidayat dalam Khasanah & Hidayati
(2012), kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukan tanda-tanda
kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan
tidur dapat dibedakan menjadi tanda fisik dan tanda psikologis.Tanda – tanda fisik akibat
kekurangan tidur antara lain : ekspresi wajah (area gelap disekitar mata, bengkak di kelopak
mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan, tidak
mampu berkonsentrasi, terlihat tanda – tanda keletihan. Sedangkan tanda – tanda psikologis
antara lain : menarik diri, apatis, merasa tidak enak badan, malas, daya ingat menurun,
bingung, halusinasi, ilusi penglihatan dan kemampuan mengambil keputusan menurun.
Kualitas tidur dapat diukur menggunakan Pittsburg Quality
of Sleep Index (PSQI). Alat ini merupakan alat untuk menilai kualitas tidur. Alat ini terdiri
dari 19 poin pertanyaan yang berada di dalam 7 kompenen nilai dan 5 pertanyaan untuk
teman sekamar. 19 pertanyaan itu mengkaji secara luas faktor yang berhubungan dengan
tidur seperti durasi tidur, latensi tidur, dan masalah tidur. Setiap komponen skor memiliki
rentang nilai 0-3. Ketujuh komponen dijumlahkan sehingga terdapat skor 0-21, dimana skor
lebih tinggi dari 5 menandakan kualitas tidur yang buruk (Nancy W, 2006).
4. Tahapan Tidur

Tahapan tidur terdapat tidur tenang atau nonREM (non rapid eye movement) dan tidur aktif
atau REM, dengan penjelasan sebagai berikut :

a. Tidur NonREM

Tidur nonREM terdiri dari 4 tahap, dimana setiap tahapnya mempunyai ciri tersendiri. Pada
tidur tahap I terjadi bila merasakan ngantuk dan mulai tertidur. Jika telepon berbunyi atau ada
sesuatu sampai terbangun, sering kali tidak merasakan bahwa sebenarnya kita telah tertidur.
Gelombang listrik otak memperlihatkan ‘gelombang alfa’ dengan penurunan voltase. Tahap I
ini berlangsung 30 detik sampai 5 menit pertama dari siklus tidur. Tidur tahap II, seluruh
tubuh kita seperti berada pada tahap tidur yang lebih dalam. Tidur masih mudah
dibangunkan, meskipun kita benar-benar berada dalam keadaan tidur. Periode tahap II
berlangsung dari 10 sampai 40 menit. Kadang-kadang selama tahap tidur II seseorang dapat
terbangun karena sentakan tiba-tiba dari ekstremitas tubuhnya. Ini normal, kejadian sentakan
ini, sebagai akibat masuknya tahapan REM. Tahap III dan IV. Tahap ini merupakan tahap
tidur nyenyak. Pada tahap III, Orang yang tertidur cukup pulas, rileks sekali karena tonus otot
lenyap sama. Tahap IV mempunyai karakter : tanpa mimpi dan sulit dibangunkan, dan orang
akan binggung bila terbangun langsung dari tahap ini, dan memerlukan waktu beberapa menit
untuk meresponnya. Pada tahap ini, diproduksi hormone pertumbuhan guna
memulihkan tubuh, memperbaiki sel, membangun otot dan jaringan pendukung. Perasaan
enak dan segar setelah tidur nyenyak, setidaktidaknya disebabkan karena hormon
pertumbuhan bekerja baik. Tahapan NonREM mempunyai karakter sebagai berikut :
NonREM Tahap I kedaan ini masih dapat merespons cahaya, berlangsung beberapa menit,
aktivitas fisik menurun, tanda vital dan metabolisme menurun, bila terbangun terasa sedang
mimpi. NonREM Tahap II tubuh mulai relaksasi otot, berlangsung 10 – 20 menit, fungsi
tubuh berlangsung lambat, dapat dibangunkan dengan mudah. NonREM Tahap III adalah
awal dari keadaan tidur nyenyak, sulit di bangunkan, relaksasi otot menyeluruh, tekanan
darah menurun, berlangsung 15 – 30 menit. NonREM Tahap IV sudah terdapat tidur
nyenyak, sulit untuk di bangunkan, untuk restorasi dan istirahat, tonus otot menurun, sekresi
lambung menurun, gerak bola mata cepat (Tarwoto & Wartonah, 2006).
b. Tidur REM

Tahap tidur REM sangat berbeda dari tidur nonREM. Tidur REM adalah tahapan tidur yang
sangat aktif. Pola nafas dan denyut jantung tak teratur dan tidak terjadi pembentukan
keringat. Kadang-kadang timbul twitching pada tangan, kaki, atau muka, dan pada laki-laki
dapat timbul ereksi pada periode tidur REM. Walaupun ada aktivitas demikian orang masih
tidur lelap dan sulit untuk dibangunkan. Sebagian besar anggota gerak tetap lemah dan rileks.
Tahap tidur ini diduga berperan dalam memulihkan pikiran, menjernihkan rasa kuatir dan
daya ingat dan mempertahankan fungsi sel-sel otak. Siklus tidur pada orang dewasa biasanya
terjadi setiap 90 menit. Pada 90 menit pertama seluruh tahapan tidurnya adalah NonREM.
Setelah 90 menit, akan muncul periode tidur REM, yang kemudian kembali ke tahap tidur
NonREM. Setelah itu hampir setiap 90 menit tahap tidur REM terjadi. Pada tahap awal tidur,
periode REM sangat singkat, berlangsung hanya beberapa menit. Bila terjadi gangguan tidur,
periode REM akan muncul lebih awal pada malam itu, setelah kira-kira 30-40 menit. Orang
itu akan mendapatkan tidur tahap III dan IV lebih banyak. Selama tidur, tahapan tidur akan
berpindah-pindah dari satu tahap ke tahapan yang lain, tanpa harus menuruti aturan
yang biasanya terjadi. Artinya suatu malam, mungkin saja tidak ada tahap III atau IV. Tapi
malam lainnya seluruh tahapan tidur akan didapatkannya. Karakteristik tidur REM meliputi :
mata cepat tertutup dan terbuka, kejang otot kecil, otot besar imobilisasi, pernapasan tidak
teratur, kadang dengan apnea, nadi cepat dan ireguler, tekanan darah meningkat atau
fluktuasi, sekresi gaster meningkat, metabolisme meningkat, temperatur tubuh naik,
siklus tidur : sulit di bangunkan (Alimul, 2006).
5. Pola Tidur Normal

a. Bayi

Pada bayi baru lahir membutuhkan tidur selama 14-18 jam sehari, pernapasan teratur, gerak
tubuh 50% adalah tahap REM dan terbagi dalam 7 periode. Dan pada bayi tidur selama 12-14
jam sehari, sekitar 20-30% tidur REM, tidur lebih lama pada malam hari dan punya pola
terbangun sebentar (Asmadi, 2008).

b. Todler

Kebutuhan tidur pada Todler menurun menjadi 10-12 jam/hari, tahap REM 20-25%. Tidur
siang dapat hilang pada usia 3 tahun karena sering terbangun pada malam hari yang
menyebabkan mereka tidak ingin tidur pada malam hari (Asmadi, 2008).

c. Preschooler

Memerlukan waktu tidur 11-12 jam pada malam hari, tahap REM 20%. Bisa jadi anak usia 4-
5 mengalami kurang istirahat dan mudah sakit jika kebutuhan tidurnya kurang terpenuhi
(Asmadi, 2008).

d. Usia sekolah

Tidur antara 8-12 jam pada malam hari tanpa tidur siang, tahap REM berkurang sekitar 20%.
Anak usia 8 tahun membutuhkan waktu kurang lebih 10 jam setiap malam
(Asmadi, 2008).

e. Adolensia

Tidur 8-10 jam pada malam hari untuk mencegah kelemahan dan kerentanan terhadap
infeksi, tahap REM 20%. Pada remaja laki-laki mengalami Noctural Emission
(orgasme dan mengeluarkan cairan semen pada tidur malam hari) yang biasa kita kenal
dengan mimpi basah (Potter, 2005).
f. Dewasa muda

Pada masa ini umumnya mereka sangat aktif membutuhkan waktu tidur 7-8 jam/hari, tahap
REM 20%. Dewasa muda yang sehat membutuhkan cukup tidur untuk berpartisipasi dalam
kesibukan aktifitas karena jarang sekali mereka tidur siang (Asmadi, 2008).

g. Dewasa Akhir

Kebutuhan akan tidur kurang dari 6 jam/hari, tahap REM 20-25% dan tidur tahap IV
mengalami penurunan (Asmadi, 2008)
C. Asma Bronkhial
1. Pengertian Asma

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas dimana banyak sel berperan terutama
sel mast, esonofil, limfosit T macropag, neutropil dan sel epitel (Hariadi, 2010). Asma
merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan
kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran
napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas
(breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough)
terutama pada malam atau dini hari (GINA, 2006). Menurut National Heart Lung and
Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala asma berhubungan
dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran
pernapasan yang bervariasi derajatnya.

2. Patofisiologi
Asma merupakan obstruksi jalan napas yang reversibel. Obstruksi tersebut dapat disebabkan
oleh faktor berikut, seperti penyempitan jalan napas; pembengkakan membran pada bronki;
pengisian bronki dengan mucus kental. Beberapa penderita mengalami respon imun yang
buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) menyerang sel-sel mast
dalam paru yang menyebabkan pelepasan sel-sel mast, seperti histamin dan prostaglandin.
Pelepasan ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme,
pembengkakan membran mukosa, pembentukan mukus berlebihan (Smeltzer & Bare, 2006).

3. Klasifikasi Asma

a. Berdasarkan berat ringan gejala


Asma dapat dibagi dalam 3 tahap menurut berat ringannya gejala, yaitu asma intermitten,
asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat (Tabrani , 2010).
b. Berdasarkan serangan asma
Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang menyebabkan gangguan aliran
udara serta mempunyai dampak terhadap pengobatan. Serangan asma ringan timbul kadang-
kadang, tidak terdapat atau ada hiperreaktivitas bronkus yang ringan. Serangan asma
persisten timbul sering dan terdapat hiperreaktivitas bronkus. Penderita asma berat
mempunyai saluran pernafasan yang sensitif, berisiko tinggi untuk mengalami eksaserbasi
tiba-tiba yang berat dan mengancam jiwa (Maj Kedokteran Indonesia, 2008).
Derajat penyakit asama ditentukan berdasarkan gabungan penilaian gambaran klinis, jumlah
penggunaan agonis β2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi
awal pasien. Pembagian derajat penyakit asma adalah sebagai berikut :

1) Intermitten

Gejala kurang dari 1 kali/minggu. Serangan singkat. Gejala nokturnal tidak lebih dari 2
kali/bulan (≤ 2 kali). FEV1≥80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai terbaik

individu. Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%.

2) Persisten ringan

Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari. Serangan dapat mengganggu
aktivitas dan tidur. Gejala nokturnal >2 kali/bulan. FEV1≥80% predicted atau PEF ≥ 80%
nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%.

3) Persisten sedang

Gejala terjadi setiap hari. Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur. Gejala nokturnal >
1 kali dalam seminggu. Menggunakan agonis β2 kerja pendek setiap hari. FEV1 60-80%
predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.

4) Persisten berat

Gejala terjadi setiap hari. Serangan sering terjadi. Gejala asma nokturnal sering terjadi. FEV1
≤ predicted atau PEF ≤ 60% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.

4. Tanda dan Gejala

Kejadian utama pada serangan asma adalah obstruksi jalan napas secara luas yang merupakan
kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa karena sumbatan mukus. Tanda
serangan asma yang dapat kita ketahui adalah napas cepat, merasa cemas dan ketakutan, tak
sanggup bicara lebih dari 1-2 kata setiap kali tarik napas, dada dan leher tampak mencekung
bila tarik napas, bersin-bersin, hidung mampat atau hidung ngocor, gatal-gatal tenggorokan,
susah tidur, turunnya toleransi tubuh terhadap aktivitas (Hadibroto, 2010).

Tiga gejala (Trias Asma) yang sering muncul pada asma adalah sesak napas, napas bunyi/
wheezing, batuk-batuk terutama malam hari. Tingkat keparahan serangan asma tergantung
pada tingkat obstruksi saluran napas, kadar saturasi oksigen, pembawaan pola napas,
perubahan status mental, dan bagaimana tanggapan penderita terhadap status pernapasannya
(Smeltzer & Bare, 2006).
5. Faktor Resiko Asma

Beberapa faktor resiko timbulnya asma bronkial telah diketahui secara pasti, antara lain:
riwayat keluarga, tingkat sosial ekonomi rendah, etnis, daerah perkotaan, letak geografi
tempat tinggal, memelihara anjing atau kucing dalam rumah, terpapar asap rokok. Secara
umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, factor resiko yang
berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor resiko yang
berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan asma yang disebut trigger faktor
atau faktor pencetus

Adapun faktor resiko pencetus asma bronkial

antara lain:

a. Asap Rokok

Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok itu sendiri maupun orang-orang
yang terkena asap rokok. Suatu penelitian di Finlandia menunjukkan bahwa orang dewasa
yang terkena asap rokok berpeluang menderita asma dua kali lipat dibandingkan orang yang
tidak terkena asap rokok Studi lain menunjukkan bahwa seseorang penderita asma yang
terkena asap rokok selama satu jam, maka akan mengalami sekitar 20% kerusakan fungsi
paru. Pada anak-anak, asap rokok akan memberikan efek lebih parah dibandingkan orang
dewasa, ini disebabkan lebar saluran pernafasan anak lebih sempit, sehingga jumlah nafas
anak akan lebih cepat dari orang dewasa. Akibatnya, jumlah asap rokok yang masuk ke
dalam saluran pernapasan menjadi lebih banyak dibanding berat badannya. Selain itu, karena
sistem pertahanan tubuh yang belum berkembang, munculnya gejala asma pada anak-anak
jauh lebih cepat dibanding orang dewasa (Ramaiah, 2006).

Secara umum tipe perokok di bagi menjadi beberapa kategori yakni tipe perokok yang
berhubungan dengan udara atau asap yang dihirup, tipe perokok berdasarkan jumlah rokok
yang dikonsumsi dalam 1 hari, dan tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan diri.
Berdasarkan udara atau asap yang dihirup, perokok dikategorikan menjadi: Perokok pasif
yakni mereka yang tidak merokok, tetapi berada di sekeliling perokok dan menghirup asap
rokok yang dihembuskan oleh perokok. Perokok aktif, yakni mereka yang menghisap rokok
secara langsung Adapun berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi, tipe perokok
dikategorikan menjadi ; Perokok sangat berat, adalah jika mengkonsumsi rokok lebih dari 31
batang perhari, Perokok berat yakni mereka yang merokok sekitar 21-30 batang perhari,
Perokok sedang adalah perokok yang menghabiskan rokok 11-21 batang perhari, dan
Perokok ringan yang merokok sekitar 10 batang/hari (Basyir 2005).

b. Tungau Debu Rumah

Tungau debu adalah penyebab paling umum diseluruh dunia. Alergi tungau lebih sering
terjadi di kota dan Negara berkembang. Hal ini terjadi karena rumah modern dan penggunaan
teknik insulasi memuningkankan tungau hidup lebih baik (Elek Media, 2007). Asma bronkial
dikaitkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau debu. Tungau debu akan
mengeluarkan feses yang dilapisi protein pada setiap butir partikelnya. Yang menyebabkan
reaksi alergi bagi penderita asma apabila masuk ke dalam saluran nafas. Ketika tungau ini
mati, tubuhnya yang membusuk bercampur dengan debu rumah tangga (Elek Media, 2007).
Tungau debu rumah memiliki ukuran 0,1 – 0,3 mm dan lebar 0,2 mm biasanya terdapat di
tempat-tempat atau benda-benda yang banyak mengandung debu Misalnya : debu yang
berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan,
juga dari tumpukan

c. Binatang Peliharaan

Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menjadi
sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan pada
bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat
kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan serangan asma,
terutama dari burung dan hewan menyusui karena bulu akan rontok dan terbang mengikuti
udara (Wibisono, 2010).

d. Jenis Makanan

Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun
penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokontriksi pada 2% - 5%
anak dengan asma (Ramaiah, 2006). Meskipun hubungan antara sensitivitas terhadap
makanan tertentu dan perkembangan asma masih diperdebatkan, tetapi bayi dan anak-anak
yang sensitif terhadap makanan tertentu atau menderita enteropathy atau colitis karena alergi
makanan tertentu akancenderungmenderita asma Beberapa makanan penyebab alergi
makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry,
mangga, durian berperan menjadi pencetus seranga asma (Gershwin, 2006). Makanan produk
industri dengan pewarna buatan (misal: tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin
(monosodium glutamat-MSG) juga bisa memicu serangan asma. Makanan yang terutama
sering mengakibatkan reaksi yang fatal adalah kacang, ikan laut dan telor (Gershwin, 2006).
Penelitian di Arab Saudi membandingkan makanan pengidap asma dengan tidak asma. Anak
Arab Saudi yang tinggal di daerah perkotaan banyak menunjukkan gejala nafas berbunyi atau
mengi. Anak-anak ini sering bersantap di gerai-gerai makanan cepat saji dan secara
signifikan kurang mendapatkan asupan makanan tradisional, termasuk sayuran, susu,
makanan yang kaya serat, vitamin dan mineral (Sundaru, 2006).

e. Perabot Rumah Tangga

Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus, bakteri,
jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds (VOC), combustion products (CO1, NO2,
SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan VOC berasal
dari semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik, Hairspray, deodorant, pewangi ruangan,
segala sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent)
seperti thinner. Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi,
furnitur, karpet (Ramaiah, 2006). Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan
terjadinya iritasi pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya
respilable dust disamping menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat menyebabkan reaksi
peradangan paru.
f. Perubahan Cuaca

Kondisi cuaca seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat menyebabkan asma
lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan
badai dan meningkatnya konsentrasi partikel alergenik (Ramaiah, 2006). Dimana partikel
tersebut dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan tekanan
atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas dan pengeluaran lendir yang berlebihan.
Ini umum terjadi ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang
kering dan dingin menyebabkan sesak di saluran pernafasan (Ramaiah, 2006).

g. Riwayat Penyakit Keluarga

Genetik merupakan faktor pendukung timbulnya asma. Bakat alergi merupakan hal yang
diturunkan, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Bakat alergi
ini membuat penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpapar factor
pencetus. Penderita biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi
(Hariadi, 2010). Apabila kedua orang tua memiliki riwayat penyakit asma maka hampir 50%
dari anak-anaknya memiliki kecenderungan asma, sedangkan jika hanya salah satu orang
tuanya yang menderita asma maka kecenderungannya hanya 35%. Lebih kurang 25%
penderita penyakit asma, keluarga dekatnya juga menderita asma, meskipun asmanya tidak
aktif lagi, diantara keluarga penderita asma 2/3 memperlihatkan test alergi positif (Sundaru,
2006). Resiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat
lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu riwayat atopi.
Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu
orangtua yang terkena mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi
sekitar 50% jika kedua orang tua asmatisk. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot,
tingkat stabilitas bronkokontriksi pada olahraga ada pada kembar identik, tetapi tidak pada
kembar dizigot (Sundaru, 2006). Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma
dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap
tungau debu rumah (Wibisono, 2010).
BAB III
Kerangka teori, Kerangka Konsep, Hipotesis, dan definisi operasional

A. Kerangka teori

Pasien asma

Tingkat Kecemasan Kualitas tidur

1. Ringan Faktor’’ yg mempengaruhi tidur:


2. Sedang 1. penyakit
3. Berat 2. Latihan dan kelelahan
4. Panik 3. Stres psikologis
4.Obat
5. Nutrisi
6. Lingkungan
7. Motivitas

B. Kerangka konsep

Variabel independen Variabel Dependen


Tingkat Kecemasan Kualitas Tidur

1. Ringan 1. Baik
2. Sedang 2. Buruk
3.Berat
4. Panik
C. Hipotesis penelitian
Ho : Tidak terdapat hubungan antara tingkat kecemasan mempengaruhi kualitas tidur pada
penderita asma bronkial

Ha : Terdapat hubungan antara tingkat kecemasan mempengaruhi kualitas pada penderita


asma Bronkial

D. Definisi operasional

NO VARIABEL DEFINISI VARIABEL SKALA ALAT UKUR KRITERIA


1. Kecemasan Kecemasan adalah Ordinal Kuesioner a. Ringan :
kondisi jiwa yang 20-44
penuh dengan ketakutan
dan kekhawatiran dan b. Sedang :
ketakutan akan apa yg 45-59
mungkin terjadi, baik
berkatian dengan c. Berat :
permasalahan yang 60-74
terbatas maupun hal-hal
yang aneh d. Panik :
75-80

2. Kualitas Tidur Kualitas tidur adalah Ordinal Kuesioner a. kualitas


Kemampuan setiap tidur
orang untuk Baik ≤ 5
mempertahankan
keadaan tidur dan untuk b. Kualitas
Mendapatkan tahap tidur
tidur REM dan NREM Buruk > 5
Yang pantas
BAB IV
Metode Penelitian

A. Jenis penelitian

penelitian ini menggunakan kuanitatif non eksperimental dengan metode korelasional dengan
menggunakan pendekatan cross sectional. dimana variable bebas adalah tingkat kecemasan
dan variable terkait adalah kualitas tidur.

B. Waktu dan tempat penelitian


1. Waktu penelitian
2. Tempat penelitian

C. Populasi dan sampel


1. Populasi penelitian

populasi dalam penelitian ini adalah seluruh org yg ada di tempat penelitian yaitu 73 org
2. Sampel penelitian

pengambilan sampel sebesar 30 sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu pemilihan
subjek berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang berkaitan dengan karakteristik

D. kriteria sampel
1. kriteria siklusi
a) klien bersedia menjadi responden
b) klien dapat melakukan komunikasi

E. Sumber data
1. Data primer
data primer merupakn data yg diperoleh peneliti melalui pengambilan dalam bentuk kuisioner

2. Data sekunder
data sekunder merupakan data yang di peroleh peneliti pada instansi pemerintah/swasta yang
menjadi objeck penelitian
F. Instrumen penelitian
Untuk mendukung penelitian ini maka digunakan instrument yaitu
kueisioner, Terdapat dua jenis kuesioner yang diberikan kepada responden, yaitu
Untuk mengukur tingkat kecemasan dan mengukur kualitas tidur, kedua kuisioner saling
terkait agar nantinya hasilnya menjadi tingkat kecemasan mempengaruhi kualitas tidur
penderita asma bronchial.

G. Analisa data
1) Analisis univariat
analisa data ini dilakukan terhadap tiap variabel dari penelitian dan pada umumnya dalam
analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentasi dari tiap variable, adapun variable
yg dianalisis adalah tingkat kecemasan dan kualitas tidur pasien asma.

2) Analisis Bivariat
analisis yg dilakukan terhadap kedua variable yg diduga berhubungan atau berkolerasi. yaitu
untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecemasan mempengaruhi kualitas tidur penderita
asma bronkial

H. Etika penelitian
Dalam melakukan penelitian, penelitian perlu adanya rekomendasi dari pihak lain dengan
mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian, setelah mendapatkan
persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika
yg meliputi :

1. Informed Concent
Lembar penelitian ini di berikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi criteria
dan disetai judul penelitian, Bila responded menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap
menghormati hak-hak responden.

2. Anomimity
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi
lembaran tersebut dibreikan kode.

3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti. Hanyakelompok data tertentu yang
akan dilaporkan sebagai hasil peneliti
DAFTAR PUSTAKA

Alimul H, Aziz.2006, Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba


Medika.

Arikunto,S.2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta.Rineka Cipta

Asmadi.2008. Konsep Dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.Jakarta.Salemba Medika

Azizah, Lilik.M. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta : Graha Ilmu

Carpendio, LJ. (2000). Buku Saka Diagnosa Keperawatan Edisi 8, ahli bahasa
Ester M, EGC, Jakarta

Depkes R.I (2009). Pedoman pengendalian penyakit asma

GINA (Global Initative For Asthma).(2006),. Pocket Guide For Asthma Management
and Prevesion In Children.

Ghufron M. Nur dan Wati S, Rini.2012,Cara Tepat Menghilangkan Kecemasan anda


Yogyakarta : Galang Press

Hawari,D.2008.Manajement Stress,Cemas,dan Depresi. Jakarta. FKUI

Lestari, Pemi L (2009). Riset. Perbedaan kualitas tidur pekerja shif saat menjalani
Shift pagi dengan shift malam pada PT. Kobame propertindo.
Universitas Indonesia.

Maulida. 2011.Test Reliabilitas dan Validitas Indeks Kualitas Tidur Dari pittsburg
(PSQI) Versi Bahasa Indonesia Pada Lansia. Yogyakarta : Universtas
Gajah Mada

Prayiton. 2002. Gangguan Pola Tidur pada kelompok Usia Lanjut dan
penatalaksanaannya. Bagian ilmu kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran
Trisakti. januari- April 2002, Vol. 21 No. 1

Ramaiah, Savitri. 2006 Asma Mengetahui Penyebab Gejala Dan cara


Penanggulangannya. Jakarta : Bhuan Iilmu Populer

Sundaru H, Sukamoto. (2006) Asma Bronkial , Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Stuart, Gail W.2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai