Anda di halaman 1dari 61

Praktikum kbk

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kecemasan merupakan respon normal dalam menghadapi stres, namun sebagian orang dapat
mengalami kecemasan yang berlebihan sehingga mengalami kesulitan dalam mengatasinya. Secara
klinis, seseorang yang mengalami masalah kecemasan dibagi dalam beberapa kategori, yaitu
gangguan cemas (anxiety disorder), gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety
disorder/GAD), gangguan panik (panic disorder), gangguan fobia (phobic disorder) dan gangguan
obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder) (National Institute of Mental Health (NIMH),
2013).
Jumlah penderita gangguan kecemasan mencapai 5% dari jumlah penduduk dunia.
Perbandingan penderita gangguan kecemasan pada wanita dan pria adalah 2 banding 1.
Diperkirakan 2%-4% penduduk dunia pernah mengalami gangguan kecemasan (Sjahrir, 2008).
Penelitian di Uganda, Afrika menyatakan prevalensi gangguan kecemasan sebesar 26,6 % dengan
wanita lebih tinggi dari pria, yaitu 29,7% pada wanita dan 23,1% pada pria (Catherine Abbo, et al.,
2013). Wanita cenderung menggunakan emosinya untuk memecahkan suatu masalah. Mekanisme
koping ini yang diduga menjadi penyebab mengapa prevalensi wanita lebih tinggi dari pria (McLean,
C.P., Emily R. A., 2009).
Penelitian di Asia didapatkan prevalensi gangguan kecemasan selama satu tahun berkisar
antara 3,4% sampai 8,6% (Stein, 2009). Penelitian di Indonesia didapatkan prevalensi gangguan
kecemasan 14% (Hidayat, 2010). Kecemasan yang berlebihan dapat mengganggu kondisi psikis dan
mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari sehingga produktivitas seseorang akan menurun
atau berkurang (NIMH, 2013). Penelitian di Royal Holloway, London University menyatakan bahwa
kecemasan juga berdampak negatif terhadap fungsi kognitif seseorang (Miguel, 2012). 2 Kecemasan
juga diketahui sebagai salah satu faktor risiko tension-type headache (Bellini et al., 2013). Penelitian
yang dilakukan oleh Francomichele (2000) di Italia menemukan adanya hubungan angka kejadian
tension-type headache (TTH) yang disebabkan gangguan psikis yaitu kecemasan dan depresi.
Penelitian didapatkan prevalensi gangguan psikis berupa depresi dan kecemasan pada penderita
TTH lebih tinggi dibandingkan penderita migren (Francomichele, et al., 2000).
Tension-type Headache (TTH) merupakan kondisi nyeri pada bagian depan (frontalis) dan
belakang kepala (occipitalis). Kontraksi otot bagian kepala dan leher merupakan mekanisme
penyebab nyeri. Kontraksi otot tersebut dapat dipicu oleh faktor-faktor psikogenik yaitu stres,
kecemasan, depresi dan penyakit lokal pada kepala dan leher. Pasien umumnya akan mengalami
nyeri kepala sehari-hari yang dapat menetap selama beberapa bulan atau tahun. (Lionel, 2007).
Tension-type headache adalah jenis sakit kepala yang hampir pernah diderita semua orang.
Tension-type headache tidak begitu serius namun dapat menimbulkan kesulitan untuk
beraktivitas normal sehari-hari. Beberapa orang yang menderita TTH merasa terganggu dan
memerlukan penanganan medis ketika bertambahnya frekuensi serangan (World Headache
Alliance, 2009). Tension-type Headache dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia. Penelitian
Rasmussen et al., 59% dari populasi pernah mengalami TTH selama 1 hari atau kurang dari 1 hari
perbulannya. Wanita lebih banyak dari pria dengan perbandingan 1.5:1. Penelitian tersebut juga
melaporkan bahwa risiko untuk terjadinya migren maupun TTH lebih tinggi pada penduduk yang
berpendidikan dan berpendapatan rendah (Sjahrir, 2008).
Penelitian di negara Brazil menyebutkan prevalensi sakit kepala yang pernah dialami penduduk
Brazil didapatkan hasil yaitu 93% pada pria dan 99% pada wanita di beberapa daerah. Jenis nyeri
kepala yang paling sering 3 dialami yaitu TTH dengan prevalensi sebesar 69% pada laki-laki dan 88%
pada wanita (Asosiasi Medika Brasil, 2013). Penelitian di Indonesia tepatnya di poliklinik bagian
neurologi FK USU/RS H Adam Malik Medan, penderita TTH mencapai 78%, sedangkan di bagian
Neurologi FK UNPAD/RS Hasan sadikin mencapai 65% (Sjahrir, 2008).
Seseorang yang cemas memiliki kecenderungan untuk merasa tegang dan kesulitan untuk
rileks. Kontraksi otot yang terus menerus dikarenakan adanya rasa tegang mengakibatkan
terganggunya aliran darah ke otot. Gangguan aliran darah ini menyebabkan asam laktat
terakumulasi dan terlepasnya beberapa substansi penghasil nyeri pada kejadian TTH (Koji, 2002).
Penelitian `Steven, et al. menyatakan bahwa TTH memiliki hubungan dengan gangguan mood dan
kecemasan (Steven, 2006). Penelitian dengan metode cross sectional yang dilakukan Ettore, et al,.
mendapatkan hasil berbeda dalam penelitiannya, kecemasan lebih banyak di jumpai pada pasien
migren kronis daripada TTH (Ettore, 2010). Penelitian Stephen D, TTH tidak berhubungan dengan
kecemasan terutama TTH tipe episodik (Stephen, 1993). Data epidemiologis mengenai hubungan
kecemasan dengan tension-type headache sangat bermanfaat dalam penatalaksanaan TTH baik di
klinik maupun di masyarakat luas. Penelitian mengenai hal tersebut belum dilakukan di RSUD DR.
Moewardi Surakarta. Latar belakang tersebut menunjukan penelitian hubungan kecemasan dengan
tension-type headache masih mengalami kontroversi, sehingga penulis tertarik untuk meneliti lebih
lanjut di RSUD DR. Moewardi Surakarta. 4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang
telah dijelaskan dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Kecemasan banyak terjadi di
masyarakat dunia. 2. Kecemasan menimbulkan masalah bagi masyarakat dunia. 3. Kecemasan
menimbulkan Tension-type headache. 4. Tension-type headache banyak terjadi di masyarakat
dunia. 5. Hubungan kecemasan dengan tension-type headache masih kontroversi. 6. Penelitian
hubungan kecemasan dengan TTH belum pernah di lakukan di RSUD DR. MOEWARDI Surakarta.
Penulis merumuskan masalah sebagai berikut “Apakah ada hubungan kecemasan dengan tension-
type headache di poliklinik saraf RSUD DR. MOEWARDI Surakarta?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan
Umum Mengetahui apakah ada hubungan kecemasan dengan tension-type headache di RSUD DR.
MOEWARDI Surakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan tension-
type headache b. Mengetahui mekanisme kecemasan dapat menimbulkan tension-type headache.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
mengenai hubungan kecemasan dengan tension-type headache di RSUD DR. Moewardi Surakarta. 5
2. Manfaat Praktis a. Manfaat bagi peneliti 1) Sebagai salah satu syarat kelulusan untuk
menyelesaikan pendidikan program studi sarjana kedokteran di Universitas Muhammadiyah
Surakarta. 2) Menambah pengetahuan hubungan kecemasan dengan angka kejadian tension-type
headache. 3) Memberikan edukasi pada pasien TTH agar tidak mengalami gangguan kecemasan. b.
Manfaat bagi masyarakat Penelitian ini di harapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai
penanganan kecemasan yang mengakibatkan TTH sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
penderita. c. Manfaat bagi ilmu pengetahuan Diharapkan penelitian ini sebagai langkah awal untuk
penelitianpenelitian yang lebih luas di masyarakat, dengan membedakan faktor risiko dan
mempertimbangkan latar belakang subyek yang berbeda.

Landasan teori

Generalized anxiety disorder 

atau yang disingkat GAD, adalah kondisi kesehatan mental yang menyebabkan penderitanya sering
merasakan rasa cemas yang tak terkontrol.

Perlu diketahui, GAD sendiri berbeda dari gangguan kecemasan biasa. GAD akan membuat penderitanya
merasa cemas terhadap satu hal, selama beberapa kali dalam satu hari. Kecemasan ini bisa berlangsung
selama berbulan-bulan.

Parahnya, GAD bisa terjadi walaupun sang penderita tahu bahwa dirinya tidak memiliki alasan untuk
mencemaskan suatu hal. Terkadang, penderita GAD juga bisa merasakan perasaan cemas, tapi tidak
mampu mengutarakan apa yang membuat mereka cemas.

Perasaan cemas tak terkontrol akibat GAD ini bisa berdampak buruk pada hubungan dan kehidupan
sehari-hari.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang
pernah dialami oleh setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari
kehidupan sehari-hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana
seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun
wujudnya (Sutardjo Wiramihardja, 2005:66). Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa
hampir setiap orang pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi
normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan bisa muncul
sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi (Savitri
Ramaiah, 2003:10). Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fitri Fauziah & Julianti Widuri,
2007:73) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan
merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru
atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup.
Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan,
apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam
kehidupannya. Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental
yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan 11 mengatasi suatu
masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya
tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis
dan psikologis (Kholil Lur Rochman, 2010:104). Namora Lumongga Lubis (2009:14)
menjelaskan bahwa kecemasan adalah tanggapan dari sebuah ancaman nyata ataupun
khayal. Individu mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang.
Kecemasan dialami ketika berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan yang akan terjadi.
Sedangkan Siti Sundari (2004:62) memahami kecemasan sebagai suatu keadaan yang
menggoncangkan karena adanya ancaman terhadap kesehatan. Nevid Jeffrey S, Rathus
Spencer A, & Greene Beverly (2005:163) memberikan pengertian tentang kecemasan
sebagai suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan
tegang yang tidak menyenangkan, dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Kecemasan adalah rasa khawatir , takut yang tidak jelas sebabnya. Kecemasan juga
merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakkan tingkah laku, baik tingkah laku yang
menyimpang ataupun yang terganggu. Keduaduanya merupakan pernyataan, penampilan,
penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan tersebut (Singgih D. Gunarsa, 2008:27).
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa kecemasan adalah rasa
takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat mengancam yang dapat menyebabkan
kegelisahan karena adanya 12 ketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa
sesuatu yang buruk akan terjadi. 2. Gejala-gejala Kecemasan Kecemasan adalah suatu
keadaan yang menggoncangkan karena adanya ancaman terhadap kesehatan. Individu-
individu yang tergolong normal kadang kala mengalami kecemasan yang menampak,
sehingga dapat disaksikan pada penampilan yang berupa gejala-gejala fisik maupun mental.
Gejala tersebut lebih jelas pada individu yang mengalami gangguan mental. Lebih jelas lagi
bagi individu yang mengidap penyakit mental yang parah. Gejala-gejala yang bersifat fisik
diantaranya adalah : jari tangan dingin, detak jantung makin cepat, berkeringat dingin,
kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak nyenyak, dada sesak.Gejala yang bersifat
mental adalah : ketakutan merasa akan ditimpa bahaya, tidak dapat memusatkan perhatian,
tidak tenteram, ingin lari dari kenyataan (Siti Sundari, 2004:62). Kecemasan juga memiliki
karakteristik berupa munculnya perasaan takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang
tidak jelas dantidak menyenangkan. Gejala-gejala kecemasan yang muncul dapat berbeda
pada masing-masing orang. Kaplan, Sadock, & Grebb (Fitri Fauziah & Julianti Widury,
2007:74) menyebutkan bahwa takut dan cemas merupakan dua emosi yang berfungsi
sebagai tanda akan adanya suatu bahaya. Rasa takut muncul jika terdapat ancaman yang
jelas atau nyata, berasal dari lingkungan, dan tidak menimbulkan konflik bagi individu.
Sedangkan kecemasan muncul jika bahaya berasal dari dalam diri, tidak jelas, atau
menyebabkan konflik bagi individu. 13 Kecemasan berasal dari perasaan tidak sadar yang
berada didalam kepribadian sendiri, dan tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau
keadaan yang benar-benar ada. Kholil Lur Rochman, (2010:103) mengemukakan beberapa
gejala-gejala dari kecemasan antara lain : a. Ada saja hal-hal yang sangat mencemaskan hati,
hampir setiap kejadian menimbulkan rasa takut dan cemas. Kecemasan tersebut merupakan
bentuk ketidakberanian terhadap hal-hal yang tidak jelas. b. Adanya emosi-emosi yang kuat
dan sangat tidak stabil. Suka marah dan sering dalam keadaan exited (heboh) yang
memuncak, sangat irritable, akan tetapi sering juga dihinggapi depresi. c. Diikuti oleh
bermacam-macam fantasi, delusi, ilusi, dan delusion of persecution (delusi yang dikejar-
kejar). d. Sering merasa mual dan muntah-muntah, badan terasa sangat lelah, banyak
berkeringat, gemetar, dan seringkali menderita diare. e. Muncul ketegangan dan ketakutan
yang kronis yang menyebabkan tekanan jantung menjadi sangat cepat atau tekanan darah
tinggi. Nevid Jeffrey S, Spencer A, & Greene Beverly (2005:164) mengklasifikasikan
gejala-gejala kecemasan dalam tiga jenis gejala, diantaranya yaitu : a. Gejala fisik dari
kecemasan yaitu : kegelisahan, anggota tubuh bergetar, banyak berkeringat, sulit bernafas,
jantung berdetak kencang, merasa lemas, panas dingin, mudah marah atau tersinggung. 14 b.
Gejala behavioral dari kecemasan yaitu : berperilaku menghindar, terguncang, melekat dan
dependen c. Gejala kognitif dari kecemasan yaitu : khawatir tentang sesuatu, perasaan
terganggu akan ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan, keyakinan bahwa
sesuatu yang menakutkan akan segera terjadi, ketakutan akan ketidakmampuan untuk
mengatasi masalah, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, sulit berkonsentrasi. 3.
Faktor-faktor Penyebab Kecemasan Kecemasan sering kali berkembang selama jangka
waktu dan sebagian besar tergantunga pada seluruh pengalaman hidup seseorang.
Peristiwaperistiwa atau situasi khusus dapat mempercepat munculnya serangan kecemasan.
Menurut Savitri Ramaiah (2003:11) ada beberapa faktor yang menunujukkan reaksi
kecemasan, diantaranya yaitu : a. Lingkungan Lingkungan atau sekitar tempat tinggal
mempengaruhi cara berfikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini
disebabkan karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan
keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak
aman terhadap lingkungannya. b. Emosi yang ditekan Kecemasan bisa terjadi jika individu
tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal
ini, terutama 15 jika dirinya menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang
sangat lama. c. Sebab-sebab fisik Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat
menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi seperti misalnya
kehamilan, semasa remaja dan sewaktu pulih dari suatu penyakit. Selama ditimpa kondisi-
kondisi ini, perubahan-perubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan. Zakiah Daradjat (Kholil Lur Rochman, 2010:167) mengemukakan
beberapa penyebab dari kecemasan yaitu : a. Rasa cemas yang timbul akibat melihat adanya
bahaya yang mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dekat dengan rasa takut, karena
sumbernya terlihat jelas didalam pikiran b. Cemas karena merasa berdosa atau bersalah,
karena melakukan hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani. Kecemasan
ini sering pula menyertai gejala-gejala gangguan mental, yang kadang-kadang terlihat dalam
bentuk yang umum. c. Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk.
Kecemasan ini disebabkan oleh hal yang tidak jelas dan tidak berhubungan dengan apapun
yang terkadang disertai dengan perasaan takut yang mempengaruhi keseluruhan kepribadian
penderitanya. Kecemasan hadir karena adanya suatu emosi yang berlebihan. Selain itu,
keduanya mampu hadir karena lingkungan yang menyertainya, baik 16 lingkungan keluarga,
sekolah, maupun penyebabnya. Musfir Az-Zahrani (2005:511) menyebutkan faktor yang
memepengaruhi adanya kecemasan yaitu a. Lingkungan keluarga Keadaan rumah dengan
kondisi yang penuh dengan pertengkaran atau penuh dengan kesalahpahaman serta adanya
ketidakpedulian orangtua terhadap anak-anaknya, dapat menyebabkan ketidaknyamanan
serta kecemasan pada anak saat berada didalam rumah b. Lingkungan Sosial Lingkungan
sosial adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan individu. Jika individu
tersebut berada pada lingkungan yang tidak baik, dan individu tersebut menimbulkan suatu
perilaku yang buruk, maka akan menimbulkan adanya berbagai penilaian buruk dimata
masyarakat. Sehingga dapat menyebabkan munculnya kecemasan. Kecemasan timbul karena
adanya ancaman atau bahaya yang tidak nyata dan sewaktu-waktu terjadi pada diri individu
serta adanya penolakan dari masyarakat menyebabkan kecemasan berada di lingkungan
yang baru dihadapi (Patotisuro Lumban Gaol, 2004: 24). Sedangkan Page (Elina Raharisti
Rufaidah, 2009: 31) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan
adalah : a. Faktor fisik Kelemahan fisik dapat melemahkan kondisi mental individu sehingga
memudahkan timbulnya kecemasan. 17 b. Trauma atau konflik Munculnya gejala
kecemasan sangat bergantung pada kondisi individu, dalam arti bahwa pengalaman-
pengalaman emosional atau konflik mental yang terjadi pada individu akan memudahkan
timbulnya gejala-gejala kecemasan. c. Lingkungan awal yang tidak baik. Lingkungan adalah
faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi kecemasan individu, jika faktor tersebut
kurang baik maka akan menghalangi pembentukan kepribadian sehingga muncul gejala-
gejala kecemasan. 4. Jenis-jenis Kecemasan Kecemasan merupakan suatu perubahan
suasana hati, perubahan didalam dirinya sendiri yang timbul dari dalam tanpa adanya
rangsangan dari luar. Mustamir Pedak (2009:30) membagi kecemasan menjadi tiga jenis
kecemasan yaitu : a. Kecemasan Rasional Merupakan suatu ketakutan akibat adanya objek
yang memang mengancam, misalnya ketika menunggu hasil ujian.Ketakutan ini dianggap
sebagai suatu unsur pokok normal dari mekanisme pertahanan dasariah kita. b. Kecemasan
Irrasional Yang berarti bahwa mereka mengalami emosi ini dibawah keadaankeadaan
spesifik yang biasanya tidak dipandang mengancam. 18 c. Kecemasan Fundamental
Kecemasan fundamental merupakan suatu pertanyaan tentang siapa dirinya, untuk apa
hidupnya, dan akan kemanakah kelak hidupnya berlanjut. Kecemasan ini disebut sebagai
kecemasan eksistensial yang mempunyai peran fundamental bagi kehidupan manusia.
Sedangkan Kartono Kartini (2006: 45) membagi kecemasan menjadi dua jenis kecemasan,
yaitu : a. Kecemasan Ringan Kecemasan ringan dibagi menjadi dua kategori yaitu ringan
sebentar dan ringan lama.Kecemasan ini sangat bermanfaat bagi perkembangan kepribadian
seseorang, karenakecemasan ini dapat menjadi suatu tantangan bagi seorang individu untuk
mengatasinya.Kecemasan ringan yang muncul sebentar adalah suatu kecemasan yang wajar
terjadi padaindividu akibat situasi-situasi yang mengancam dan individu tersebut tidak dapat
mengatasinya, sehingga timbul kecemasan. Kecemasan ini akan bermanfaat bagi individu
untuk lebihberhati-hati dalam menghadapi situasi-situasi yang sama di kemudian
hari.Kecemasan ringan yang lama adalah kecemasan yang dapat diatasi tetapi karena
individu tersebut tidak segera mengatasi penyebab munculnya kecemasan, maka kecemasan
tersebutakan mengendap lama dalam diri individu. b. Kecemasan Berat Kecemasan berat
adalah kecemasan yang terlalu berat dan berakar secara mendalam dalam diriseseorang.
Apabila seseorang mengalami kecemasan 19 semacam ini maka biasanya ia tidakdapat
mengatasinya. Kecemasan ini mempunyai akibat menghambat atau
merugikanperkembangan kepribadian seseorang. Kecemasan ini dibagi menjadi dua yaitu
kecemasanberat yang sebentar dan lama.Kecemasan yang berat tetapi munculnya sebentar
dapat menimbulkan traumatis padaindividu jika menghadapi situasi yang sama dengan
situasi penyebab munculnya kecemasan.Sedangakan kecemasan yang berat tetapi
munculnya lama akan merusak kepribadian individu. Halini akan berlangsung terus menerus
bertahun-tahun dan dapat meruak proses kognisiindividu. Kecemasan yang berat dan lama
akan menimbulkan berbagai macam penyakitseperti darah tinggi, tachycardia (percepatan
darah), excited (heboh, gempar). 5. Gangguan Kecemasan Gangguan kecemasan merupakan
suatu gangguan yang memiliki ciri kecemasan atau ketakutan yang tidak realistik, juga
irrasional, dan tidak dapat secara intensif ditampilkan dalam cara-cara yang jelas. Fitri
Fauziah & Julianty Widuri (2007:77) membagi gangguan kecemasan dalam beberapa jenis,
yaitu : a. Fobia Spesifik Yaitu suatu ketakutan yang tidak diinginkan karena kehadiran atau
antisipasi terhadap obyek atau situasi yang spesifik. b. Fobia Sosial Merupakan suatu
ketakutan yang tidak rasional dan menetap, biasanya berhubungan dengan kehadiran orang
lain. Individu menghindari situasi dimana dirinya dievaluasi atau dikritik, yang membuatnya
merasa terhina 20 atau dipermalukan, dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau
menampilkan perilaku lain yang memalukan. c. Gangguan Panik Gangguan panik memiliki
karakteristik terjadinya serangan panik yang spontan dan tidak terduga. Beberapa simtom
yang dapat muncul pada gangguan panik antara lain ; sulit bernafas, jantung berdetak
kencang, mual, rasa sakit didada, berkeringat dingin, dan gemetar. Hal lain yang penting
dalam diagnosa gangguan panik adalah bahwa individu merasa setiap serangan panik
merupakan pertanda datangnya kematian atau kecacatan. d. Gangguan Cemas Menyeluruh
(Generalized Anxiety Disorder) Generalized Anxiety Disorder (GAD) adalah kekhawatiran
yang berlebihan dan bersifat pervasif, disertai dengan berbagai simtom somatik, yang
menyebabkan gangguan signifikan dalam kehidupan sosial atau pekerjaan pada penderita,
atau menimbulkan stres yang nyata. Sedangkan Sutardjo Wiramihardja (2005:71) membagi
gangguan kecemasan yang terdiri dari : a. Panic Disorder Panic Disorder ditandai dengan
munculnya satu atau dua serangan panik yang tidak diharapkan, yang tidak dipicu oleh hal-
hal yang bagi orang lain bukan merupakan masalah luar biasa. Ada beberapa simtom yang
menandakan kondisi panik tersebut, yaitu nafas yang pendek, palpilasi (mulut yang kering)
atau justru kerongkongan tidak bisa menelan, ketakutan akan mati, atau bahkan takut gila.
21 b. Agrophobia Yaitu suatu ketakutan berada dalam suatu tempat atau situasi dimana ia
merasa bahwa ia tidak dapat atau sukar menjadi baik secara fisik maupun psikologis untuk
melepaskan diri. Orang-orang yang memiliki agrophobia takut pada kerumunan dan tempat-
tempat ramai. 6. Dampak Kecemasan Rasa takut dan cemas dapat menetap bahkan
meningkat meskipun situasi yang betul-betul mengancam tidak ada, dan ketika emosi-emosi
ini tumbuh berlebihan dibandingkan dengan bahaya yang sesungguhnya, emosi ini menjadi
tidak adaptif. Kecemasan yang berlebihan dapat mempunyai dampak yang merugikan pada
pikiran serta tubuh bahkan dapat menimbulkan penyakitpenyakit fisik (Cutler, 2004:304).
Yustinus Semiun (2006:321) membagi beberapa dampak dari kecemasan kedalam beberapa
simtom, antara lain : a. Simtom suasana hati Individu yang mengalami kecemasan memiliki
perasaan akan adanya hukuman dan bencana yang mengancam dari suatu sumber tertentu
yang tidak diketahui. Orang yang mengalami kecemasan tidak bisa tidur, dan dengan
demikian dapat menyebabkan sifat mudah marah. b. Simtom kognitif Kecemasan dapat
menyebabkan kekhawatiran dan keprihatinan pada individu mengenai hal-hal yang tidak
menyenangkan yang mungkin terjadi. Individu tersebut tidak memperhatikan masalah-
masalah real yang 22 ada, sehingga individu sering tidak bekerja atau belajar secara efektif,
dan akhirnya dia akan menjadi lebih merasa cemas. c. Simtom motor Orang-orang yang
mengalami kecemasan sering merasa tidak tenang, gugup, kegiatan motor menjadi tanpa arti
dan tujuan, misalnya jari-jari kaki mengetuk-ngetuk, dan sangat kaget terhadap suara yang
terjadi secara tiba-tiba. Simtom motor merupakan gambaran rangsangan kognitif yang tinggi
pada individu dan merupakan usaha untuk melindungi dirinya dari apa saja yang dirasanya
mengancam. Kecemasan akan dirasakan oleh semua orang, terutama jika ada tekanan
perasaan ataupun tekanan jiwa. Menurut Savitri Ramaiah (2005:9) kecemasan biasanya
dapat menyebabkan dua akibat, yaitu : a. Kepanikan yang amat sangat dan karena itu gagal
berfungsi secara normal atau menyesuaikan diri pada situasi. b. Gagal mengetahui terlebih
dahulu bahayanya dan mengambil tindakan pencegahan yang mencukupi. Dari beberapa
pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada
situasi yang sangat mengancam karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang serta
ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Kecemasan tersebut ditandai dengan
adanya beberapa gejala yang muncul seperti kegelisahan, ketakutan terhadap sesuatu yang
terjadi dimasa depan, merasa tidak tenteram, sulit untuk berkonsentrasi, dan 23 merasa tidak
mampu untuk mengatasi masalah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
adalah, kecemasan timbul karena individu melihat adanya bahaya yang mengancam dirinya,
kecemasan juga terjadi karena individu merasa berdosa atau bersalah karena melakukan hal-
hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani. Dari beberapa gejala, faktor, dan
definisi diatas, kecemasan ini termasuk dalam jenis kecemasan rasional, karena kecemasan
rasional merupakan suatu ketakutan akibat adanya objek yang memang mengancam. Adanya
berbagai macam kecemasan yang dialami individu dapat menyebabkan adanya gangguan-
gangguan kecemasan seperti gangguan kecemasan spesifik yaitu suatu ketakutan yang tidak
diinginkan karena kehadiran atau antisipasi terhadap objek atau situasi yang spesifik.
Sehingga dapat menyebabkan adanya dampak dari kecemasan yang berupa simtom kognitif,
yaitu kecemasan dapat menyebabkan kekhawatiran dan keprihatinan pada individu
mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan yang mungkin terjadi. Individu tersebut tidak
memperhatikan masalah-masalah real yang ada, sehingga individu sering tidak bekerja atau
belajar secara efektif, dan akhirnya dia akan menjadi lebih merasa cemas. B. Narapidana
Anak 1. Pengertian Narapidana Anak Banyak pelanggaran hukum yang terjadi di
masyarakat. Baik pelanggaran hukum adat ataupun hukum negara. Setiap pelanggaran yang
24 dilakukan dalam hukum adat ataupun hukum negara mempunyai konsekuensi berupa
sanksi. Pelaku pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Saat ini, di masyarakat berkembang istilah lain untuk menyebut tahanan tindak pidana atau
warga binaan permasyarakatan yaitu narapidana anak, atau yang disebut sebagai anak didik
permasyarakatan. Berdasarkan Undangundang Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 1 tentang
Pemasyarakatan, maka yang dimaksud sebagai narapidana anak adalah anak yang
berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan (LP) anak
paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Romli Atmasasmita (Wagiati
Soetodjo, 2010:11) mendefinisikan sebagai suatu perbuatan atau tingkah laku seseotang
anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap
norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi anak
yang bersangkutan. Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa narapidana
anak adalah seorang anak yang melakukan tindak pidana dan menjalani pidana di Lembaga
Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. 2. Faktor-faktor yang
Memengaruhi Tindak Pidana Sebagai salah satu perbuatan yang menyimpang dari norma
pergaulan hidup manusia, kejahatan (tindak pidana) merupakan masalah sosial, yaitu
masalah ditengah - tengah masyarakat, dimana si pelaku dan korbannya adalah anggota
masyarakat juga. 25 Menurut Sofyan Willis (2005:93) kenakalan remaja yang mengarah
kepada tindak pidana disebabkan oleh faktor – faktor sebagai berikut: a. Faktor dari dalam
individu 1) Predisposing faktor Yaitu faktor - faktor yang memberi kecenderungan tertentu
terhadap perilaku remaja. Faktor tersebut dibawa sejak lahir, atau oleh kejadian-kejadian
ketika kelahiran bayi, yang disebut birth injury, yaitu luka di kepala ketika bayi ditarik dari
perut ibu. 2) Lemahnya Pertahanan Diri Yaitu faktor yang ada di dalam diri untuk
mengontrol dan mempertahankan diri terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan.
Lemahnya pertahanan diri disebabkan karena faktor pendidikan di keluarga. Hal tersebut
dimanfaatkan oleh orang yang bermaksud jahat untuk mempengaruhi anak melakukan
perilaku kejahatan seperti mencuri, memeras, membunuh dan lain-lain. b. Faktor yang
berasal dari lingkungan keluarga 1) Lemahnya Keadaan Ekonomi Keluarga Kondisi
perekonomian yang lemah menyebabkan indivdu tidak dapat memenuhi kebutuhan yang
diinginkanya. Kondisi ini mendorong individu untuk melakukan kejahatan seperti mencopet,
merampok, membunuh. 26 2) Keluarga tidak harmonis Ketidakharmonisan dalam keluarga
dapat menjadi penyebab tindak kejahatan. Pertengkaran antara orang tua biasanya terjadi
karena tidak adanya kesepakatan dalam mengatur rumah tangga, terutama masalah
kedisiplinan, sehingga membuat anak merasa ragu akan kebenaran yang harus ditegakkan
dalam keluarga. c. Faktor yang berasal dari lingkungan masyarakat Masyarakat dapat pula
menjadi penyebab munculnya kejahatan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya
pendidikan pada masyarakat. Minimalnya pendidikan bagi anggota masyarakat berpengaruh
pada cara orang tua dalam mendidik anaknya. Sehingga, orang tua tidak bisa memberi
pengarahan atau kontrol ketika anak mempunyai keinginan yang menjurus pada timbulnya
kejahatan. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, tampaknya semakin banyak para remaja
yang terlibat ataupun melibatkan dirinya dalam berbagai tindak pidana yang menyebabkan
keresahan sosial. Surbakti M.A (2009:299) mengemukakan beberapa faktor yang
mendorong para remaja terlibat tindak pidana antara lain : a. Tata Nilai Tata nilai keluarga
telah mengalami perubahan yang sedemikian hebat akibat kuatnya pengaruh materialisme
yang melanda hampir disemua keluarga. Dalam sistem tata nilai materialisme, siapa yang
memiliki materi dialah yang berhak mendapatkan penghormatan. Mereka sering kali 27
menggunakan kekuatan materi untuk memperoleh kekuasaan. Situasi ini sangat berpotensi
mendorong para remaja yang berasal dari keluarga yang lemah secara ekonomi kecewa dan
melakukan tindak pidana. b. Merosotnya budi pekerti Para remaja yang tidak memperoleh
didikan budi pekerti yang memadai atau tidak peduli dengan budi pekerti pasti mengalami
kesulitan dalam hal menghargai ketertiban dan ketentraman hidup bermasyarakat.
Sebaliknya, dia selalu ingin menciptakan kekacauan, kerisauan, dan keonaran. c.
Pengangguran Pengangguran dapat menyebabkan para remaja kehilangan kesempatan untuk
maju dan mengembangkan diri. Pengangguran juga bisa menyebabkan para remaja merasa
kehilangan harga diri dan kebanggaan karena menjadi beban ekonomi bagi keluarga,
masyarakat, dan negara. Tidak adanya kegiatan akibat pengangguran merupakan salah satu
faktor terbesar yang mendorong para remaja terlibat tindak pidana. d. Putus sekolah Pada
umunya, para remaja yang putus sekolah rentan sekali melakukan tindak pidana akibat
kekecewaan atau perasaan frustasi akibat hilangnya peluang untuk meraih masa depan yang
lebih baik. Pada penelitian ini peneliti menyimpulkan dari pendapat Sofyan Willis (2005:93)
bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab dilakukannya tindak pidana adalah faktor dari
dalam individu, yaitu: predisposing faktor, lemahnya pertahanan diri, dan kurangnya
keimanan dari dalam individu. Faktor yang 28 berasal dari lingkungan keluarga, antara lain ;
anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua, lemahnya keadaan ekonomi
keluarga serta keadaan keluarga yang tidak harmonis. Faktor dari lingkungan masyarakat,
minimalnya pendidikan bagi anggota masyarakat, serta kurangnya pengawasan pada anak,
dapat menjadi penyebab timbulnya tindak pidana pada anak. Selain itu, tindak pidana juga
dapat dipengaruhi beberapa faktor, diantarannya adalah: tata nilai dalam keluarga,
merosotnya budi pekerti, banyaknya pengangguran, dan banyaknya remaja yang putus
sekolah sehingga mendorong mereka untuk melakukan tindak pidana. 3. Tujuan Pemidanaan
Pemidanaan merupakan masalah yang sering menjadi sorotan masyarakat. (Petrus Irwan
Panjaitan & Wiwik Sri Widiarty, 2008:29) mengemukakan bahwa suatu hukuman
(pemidanaan) bertujuan untuk mencegah adanya pelanggaran hukum atau kejahatan. Dalam
hal ini, pemidanaan juga bertujuan untuk menekan kejahatan, dimana setelah seseorang
menjalani hukuman diharapkan tidak melakukan kejahatan kembali. Disamping itu, Jeremy
Bentham dalam (Petrus Irwan Panjaitan & Wiwik Sri Widiarty, 2008:30) memperkenalkan
“hedonistic calculus” menurutnya : “hedonistic calculus”,where by punishment would be
rendered in proportion to the seriousnees of the crime. He believed that criminal behaviour
would be effectively deterred by punishing an offender to the point where the pain of
punishment was slightly greater than the pleasure received from commiting the offence. The
same pleasure pain principle would also deter potential offender. Konsep “hedonistic
calculus” ini menunjukkan hukuman itu dibuat dalam ukuran yang serius. Ia yakin,
perbuatan jahat dapat dicegah melalui hukuman (pemidanaan) yang dijatuhkan kepada
seseorang narapidana. 29 Leden Marpaung, (2008:4) mengemukakan tujuan pemidanaan
adalah sebagai berikut : a. Menjerakan Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan pelaku atau
terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta
masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan
terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang serupa (generale preventie). b.
Memperbaiki pribadi terpidana Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan
selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga dia tidak akan mengulangi
perbuatannya kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna. c.
Membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya Membinasakan berarti menjatuhkan
hukuman mati, sedangkan membuat terpidana tidak berdaya dilakukan dengan menjatuhkan
hukuman seumur hidup. Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas
bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk menekan kejahatan, dimana setelah seseorang
menjalani hukuman diharapkan tidak melakukan kejahatan kembali. Selain itu, pemidanaan
juga bertujuan untuk menjerakan, karena dengan penjatuhan hukuman, diharapkan pelaku
atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. memperbaiki pribadi
terpidana, hal ini dilakukan dengan 30 tujuan agar terpidana merasa menyesal sehingga dia
tidak akan mengulangi perbuatannya kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik
dan berguna, membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya. C. Kecemasan
Menghadapi Masa Bebas Pada Narapidana Anak Setiap orang pasti pernah mengalami
kecemasan pada saat-saat tertentu, dan dengan tingkat yang berbeda-beda. Hal tersebut
mungkin saja terjadi karena individu merasa tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi
hal yang mungkin menimpanya dikemudian hari. Kecemasan merupakan suatu respon
terhadap situasi tertentu yang mengancam, yang ditandai dengan ketakutan yang berlebihan
pada sesuatu yang belum tentu terjadi. Seseorang mengalami kecemasan karena adanya
beberapa faktor yang mempengaruhi dirinya, yaitu karena adanya bahaya yang mengancam
dirinya, kecemasan karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-hal yang
berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani, dan kecemasan yang disebabkan oleh hal
yang tidak jelas yang disertai dengan perasaan takut. Beberapa ciri atau gejala yang
menimbulkan kecemasan yaitu, jantung berdetak kencang, mudah marah atau tersinggung,
badan terasa sangat lelah, khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan
terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang menakutkan
akan segera terjadi, dan sulit berkonsentrasi. Kecemasan juga banyak dialami oleh para
narapidana. Narapidana anak adalah seorang anak yang melakukan tindak pidana dan
menjalani pidana di 31 Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18
tahun. Seorang narapidana didera perasaan cemas karena dirinya merasa khawatir, akan
adanya bahaya yang mengancam dirinya setelah bebas nanti, serta adanya perasaan bersalah
dan berdosa karena telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma moral.
Adanya beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan seorang narapidana karena beberapa
faktor yaitu, lemahnya keadaan ekonomi dalam keluarga, sehingga menyebabkan seseorang
melakukan hal yang menjurus pada tindak pidana untuk mencukupi kebutuhannya.
Ketidakharmonisan dalam keluarga, serta banyaknya pengangguran, tidak adanya kegiatan
akibat pengangguran merupakan salah satu faktor terbesar yang mendorong para remaja
terlibat tindak pidana. Untuk mencegah banyaknya tindak kejahatan (tindak pidana)
pemerintah telah menjalankan suatu pemidanaan pada narapidana yang bertujuan untuk,
mencegah adanya pelanggaran hukum atau kejahatan, serta memperbaiki pribadi terpidana,
agar terpidana merasa menyesal sehingga dia tidak akan mengulangi perbuatannya kembali
kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna. Pemidanaan juga diharapkan
sebagai suatu usaha untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh narapidana, serta
menyelesaikan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Berdasarkan
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan menghadapi masa bebas pada narapidana
merupakan kecenderungan narapidana untuk memberikan reaksi terhadap situasi yang
mengancam setelah narapidana keluar dari Lembaga Permasyarakatan. 32 D. Pertanyaan
Penelitian 1. Apa saja faktor-faktor yang menjadi penyebab kecemasan narapidana dalam
menghadapi masa bebas? a. Lingkungan keluarga yang meliputi keadaan dan kondisi rumah
serta ketidakpedulian orangtua pada anak. b. Lingkungan sosial yang meliputi keadaan
lingkungan masyarakat sekitar yang dapat menyebabkan kecemasan pada narapidana. 2.
Bagaimanakah dampak kecemasan pada narapidana dalam menghadapi masa bebas? a.
Bagaimana dampak kecemasan yang meliputi simtom suasana hati yang berupa perasaan
akan adanya hukuman serta bahaya yang dirasa mengancam dirinya. b. Bagaimana dampak
kecemasan yang meliputi simtom kognitif yang berupa kekhawatiran terhadap hal-hal yang
mungkin terjadi. c. Bagaimana dampak kecemasan yang meliputi simtom motor yang berupa
selalu merasa tidak tenang, gugup, serta sulit untuk berkonsentrasi.

 Feeling wheel diagram

Oleh: Vincent Gaspersz, Lean Six Sigma Master Black Belt & Certified Management
System Lead Specialist
 

Langkah-langkah membaca Feeling Wheel (Roda


Perasaan):
Fungsi dari Roda Perasaan (Feeling Wheel) HANYA sebagai arah atau
petunjuk apa yang ingin kita merasakan setiap saat (terus-menerus)

1. Mengidentifikasi bagaimana perasaan kita pada saat sekarang atau


yang diinginkan akan terjadi secara terus-menerus. Perasaan yang
diinginkan itu merupakan GOAL (Sasaran). Misalnya kita ingin terus-
menerus merasa sedih, maka fokus saja pada lingkaran SAD (Sedih).

CATATAN: Banyak orang selalu menyatakan ingin merasakan kedamaian


(PEACEFUL) tetapi sadar atau tidak sadar selalu mempraktekan elemen-elemen
dalam lingkaran SEDIH (SAD).
Kalau saya pribadi (VG) ingin mempertahankan perasaan memiliki kemampuan
setiap saat (POWERFUL).

2. Karena target saya ingin merasakan POWERFUL setiap waktu secara


terus-menerus, maka saya akan berfokus pada lingkaran berwarna
hijau (POWERFUL).
3. Dari penetapan TARGET saya yang ingin agar perasaan selalu merasa
memiliki kemampuan (POWERFUL), maka saya akan mengendalikan
diri saya (CONTROLLABLE) agar membangun MINDSET, ATTITUDE,
HABITS untukCHARACTER.
4. Lihat semua elemen dalam lingkaran yang akan membentuk perasaan
TARGET (VG) yaitu: POWERFUL.
o Percaya Diri (Confident) agar menjadi Faithful (Sesuai
Kenyataan/Setia)
o Cerdas membedakan hal-hal mana yang penting dan tidak
penting (Discerning); kemudian HANYA berfokus pada hal-hal
yang penting saja (Important)
o Bernilai (Valuable) agar Dihargai orang lain (Appreciated)
o Bermanfaat (Worthwhile) agar dihormati orang lain (Respected)
o Berhasil (Successful) agar menjadi bangga dalam pengertian
positif (Proud)
o Membuat hal-hal yang Wooouuuwww (Surprised) secara sadar
(Aware) secara terus-menerus

Dari penjelasan singkat di atas, maka tampak jelas perasaan kita ditentukan
oleh pengendalian diri kita sendiri (CONTROLLABLE) BUKAN ditentukan oleh
situasi dan kondisi (UNCONTROLLABLE).
Setiap orang berhak untuk memilih secara sadar atau tidak sadar agar selalu
memiliki perasaan SEDIH (SAD), GILA dalam arti negatif (MAD),
TAKUT/NYALI CIUT (SCARED), DAMAI (PEACEFUL), GEMBIRA (JOYFUL),
atau merasa memiliki kemampuan (POWERFUL).
Pembelajaran singkat dan sederhana TETAPI hal ini yang sesungguhnya
dibutuhkan dalam praktek dunia nyata agar kita menjadi SUCCESS. Apalagi
Roda Perasaan (Feeling Wheel) ini ditambah dengan aplikasi Tujuh
Kebiasaan Manusia Efektif oleh Stephen Covey, maka akan membentuk
pribadi kita menjadi pribadi yang Ruuuaaarrr Biasa!
 Teori kepribadian
A. Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian 7ST Istilah "kepribadian" (kepribadian) berasal dari kata
latin "persona" yang berarti topeng atau kedok, yaitu tutup muka yang sering dipakai olch
pemain-pemain panggung, yang dimaksudkannya untuk ganti baju, watak, atau pribadi
seseorang. Bagi Bangsa Yunani, "persona" artinya bagaimana seseorang tampak pada orang
lain. Jadi masyarakat awam adalah tingkah laku yang ditempatkan dilingkungan sosial. Kesan
yang tentang diri yang diambil agar diambil oleh Lingkungan sosial (Alwisol, 2004. Hal: 8). Kartini
Kartono dan Dali Gulo (dalam Hall dan Lindzey, 1993. Hal: 95) adalah sifat dan tingkah laku yang
khas yang membedakannya dengan orang lain; integrasi karakteristik dari struktur-struktur,
pola tingkah laku, minat, pendirian, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang; Siapa saja
tahu tentang dirimu? Sulvivan (dalam Alwisol, 2004. Hal: 185). Terkait kepribadian sebagai pola
yang relatif diselesaikan dari interaksi-antar pribadi yng berulang, yang menjadi ciri kehidupan
manusia.
Gordon Allport memandang kepribadian sebagai organisasi yang dinamis di dalam
individu yang terdiri dari sistem-sistem psikofisis yang menentukan cara-menciptakan
yang khas dalam menyesuaikan diri dalam lingkungan. Sistem psikofiis terdiri dari
kebiasaan, sikap, nilai, kepercayaan, keadaan emosi, motif, dan sentimen (Hurlock,
1981. Hal: 524-525). Maksud dinamis pada pengertian ini adalah mungkin saja berubah-
ubah melalui proses pembelajaran atau melalui IBR pengalaman-pengalaman. Calvin S.
Hall dan Gardner Lindzey, 1993; Pandangan Jung tentang keinginan adalah prospektif
dalam arti bahwa ia melihat kedepan ke arah garis perkembangan sang pribadi dimasa
depan dan retrospektif dalam arti ia memperhatikan masa lampau (dalam Supratiknya).
Jung mengkonsepkan tipe panjang lebar yang disebut "ekstraversi" dan "intraversi".
Jung melihat pribadi ektrovert memiliki cara pandang objektif atau tidak pribadi tentang
dunia, sedangkan pribadi introvert pada hakikatnya merupakan cara subjektif atau
individu melihat segala sesuatu (Jess Feist & Gregoriy, 2008. Hal: 354). Kepribdian
menurut Eysenck (dalam Alwisol, 004. Hal: 319). kepribadian adalah keseluruhan pola
tingkah laku aktual potensi dari flora, ditentukan ditentukan dari keturunan dan
lingkungan. Pola tingkah laku yang dibuat dan dikembangkan melalui

ungsional dari empat sektor utama yang mengorganisir tingkah laku, sektor kognitif, sektor afcktif, dan
sektor somatik. Cattel (dalam Nuqul, 2006. Hal: 24) mengacu, kepribadian merupakan perkiraan tentang
apa yang dilakukan sescorang terhadap diskusi yang membahas. Sementara merut Jung dan Eysenck
kepribadian adalah totalitas segala macam psikis yang disadari dan juga tidak disadari atau disebut juga
sebagai "jiwa". Kesadaran sendiri memiliki pernn. Penting dalam berkomunikasi manusia dengan
dunianya. Sementara sikap jiwa olch Jung masih terpisah menjadi dua golongan yaitu kecenderungan
ekstrovert dan introvert (Suryabrata, 1993) Berdasarkan pengertian diatas, dapat disangkal
berhubungan dengan kepribadian dan tingkah laku yang khas yang dapat membedakan masing-masing
individu dengan masing-masing individu dalam menyesuikan diri dengan lingkungannya . 2. Faktor yang
Mempengaruhi Terbentuknya Kepribadian Kepribadian akan berkembang dan berubah-ubah. Namun,
dalam perkembangannya, semakin terbentuklah pola-pola yang khas, schingga merupakan ciri-ciri yang
unik bagi setiap individu. Pendapat Horton et. al., (1977) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
pengembangan kepribadian, dapat dikelompokkan menjadi dua faktor besar, yaitu faktor hereditas
(keturunan) dan faktor lingkungan (dalam Mangkunegara, 2005. Hal: 7).

Sclain mengutamakan pengalaman pengalaman-pcngalaman untuk sosialisasi formal, Horney


juga menjelaskan pengalaman-pengalaman tersebut dapat membantu pada neurosis. Menurut
kepribadian neurotik berkembangnya dari ketidakmampuan orang tua mengasuh saudara. Jika anak
dimasa kecilnya sering ditakut-takuti dan ditolak oleh anggota mana yang dia pertahankan dan
mendapatkan cinta, rasa aman, rasa cinta pertama dalam perjalanan, maka anak tersebut akan
mengembangkan landasan. Dan jika budaya mengembangkan tumbuh kompetitif maka anak ini akan
mengembangkan konsep yang tidak menantang, schingga sclanjutnya akan meningkatkan menantang
diri sendiri (dalam Yusuf dan Nurihsan, 2011: 27). Sementara Jung membagi dua faktor yang
membentuk kepribadian (dalam Hartati, dkk, 2004. Hal: 171-177), yaitu sebagai berikut: i. Faktor
Genetik Keturunan tantangan faktor genetis individu. Tinggi fisik, bentuk wajah, jenis kelamin,
temperamen, komposisi tubuh dan refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang
ditentukan oleh siapa saja dari orang tersebut, yaitu komposisi biologis, psikologis, dan psikologis yang
berasal dari individu.

ii. Faktor Lingkungan Kepribadian yang diubah oleh Lingkungan yang dihasilkan dari luar
individu tersebut. Faktor lain yang memberi prioritas cukup besar terhadap komposisi karakter di
lingkungan mana sescorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok
sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang bisa digunakan manusia. Faktor Lingkungan ini memiliki peran
dalam membentuk kepribadian sescorang. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan tentang
kepribadian yang dikembangkan dari genetik dan lingkungan yang dapat memengaruhi cara berfikir,
sikap, kecerdasan, dll. 3. Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert Setiap orang memiliki ciri-ciri
kepribadian yang berbeda satu dengan yang linnya. Secara umum, kepribadian individu digolongkan
menjadi dua sifat, yaitu: (1) introvert dan (2) ekstrovert. Individu yang memiliki sifat ekstrovert akan
lebih suka stres jika dihadapkan pada tingkat-perdebatan yang membuat dirinya terancam atau tertekan
dalam hubungan dengan manusia antar dengan ciri-ciri individu yang memiliki ciri-ciri ciri ekstrovert
(Wijono, 2011: 135). Menurut Friedman & Rosenman (1974) yang telah mengelompokkan kepribadian
ke dalam dua tipe yang berbeda dengan tipe A dan tipe B. Kedua tipe kepribadian tersebut akan berbcda
dalam

mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan mereka. Beberapa ciri yang dapat
dilihat dari dua tipe ini adalah individu yang mengerjakan tugas dengan cepat, memiliki komitmen
kompetitif, tidak sabar dengan cara apapun untuk mencapai tujuan yang diinginkan atat menyelesaikan
tugas yang kurang sesuai dengan waktu yang ditentukan, berorientasi pada pencapaian, dibahas,
dikembangkan, mudah stres, mudah tertekan, gesah-gesah, mudah gelisah, scring melepaskan, dan
berbicara ddengan penuh semangat (eksplosif). Lawan dari tipe ini adalah kepribadian tipe B yang
memiliki ciri-ciri rileks, tidak suka kesulitan, jarang marah, menggunakan banyak untuk kegiatan yang
disenangi, tidak mudah stres, tidak mudah iri, bekerja terus-menerus, bebas beban, dan mampu dengn
nada suara pelan dan bergeraknya lamban (dalam Wijono, 2011: 135). Lebih dari yang dikenal istilah
ekstrovert dan introvert dari psikiater Swiss bernama C. Jung, yang awalnya adalah salah satu teman
terdekat Freud. Namun kepribadian introvert ckstrovert Jung dikembangkan lebih lanjut melalui
mendetail oleh Eysenck (Eysenck, 1980. Hal: 10). Eysenck melaksanakan penyelidikannya yang pertama,
yaitu variabel yang dikumpulkan antara ekstroversi dan introversi (Suryabrata, 2006. HI: 293). Eysenck
dan Cattel mengkonsepkan superfaktor supertraits, yaitu ekstroversion (E) - introversion, fleksibilitas
emosional dan ketidakstabilitasan

cmosi (Neurotisme (N)), serta psikotisme (P) (Feist & Feist, 2008. Hal: 354). Jung
mengkonsepkan tipe panjang lebar yang discbut "ekstraversi" dan "introversi". Jung melihat pribadi
ckstrovert memiliki pandangan pandang objektif atau tidak pribadi tentang dunia, sementara pribadi
introvert pada hakikatnya merupakan cara subjektif atau individu melihat segala sesutu (Feist & Feist,
2008. Hal: 354). Memurut Carl Gustav Jung (1875-1961), kepribadian individu dapat diambil menjadi
dua bagian yang besar seperti berikut: Ekstrovert a. b. Introvert Jadi berdasarkan jiwanya, manusia
dapat digolongkan menjadi dua tipe, yaitu: a. Tipe kepribadian ekstrovert Menurut Suryabrata (1993),
orang-orang yang ekstrovert mengutamakan kepentingan dunia objektifnya, yaitu dunia luar percaya.
Orientasinya terutama tertuju keluar. Pikiran, perasaan serta tindakan-tindakannya lebih ditentukan
oleh Lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun non sosial. Dia menarik positif terhadap
masyarakatnya, ini sama artinya dengan hati terbuka, mudah bergaul, hubungan dengan orang lain
efisien. Lebih berbahaya bagi ekstrovert, ini adalah ikatan terhadap dunia luar, terlalu kuat, schingga

tenggelam dalam dunia objektifnya, menolak sendiri atau asing terhadap dunia subjektifnya
scndiri (dalam Nuqul, 2006. Hal: 29). Eysenck, mengemukakan tentang sescorang yang memiliki
tipe ektrovert akan memiliki karakteristik seperti berikut: mereka tergolong orang yang ramah, suka
bergaul, meyukai pesta, memiliki banyak teman, membutuhkan teman sering banyak bicara,
membendingkan pendapat mereka dengan pendapat orang lain seperti aksi dan persetujuan,
mudah mendapat teman dan setuju dlam kelompok baru, mengatakan apa yang mereka sukai
tertarik dengan orang-orang baru dengan mudah membantah dengan orang-orang yang tidk
diinginkannya. Mereka individu yang periang dan tidak memusingkan suatu masalah, optimis dan
ceria (dalam Atkinson, 1993. Hal: 370). Sedangkan menurut L. A. Pervin (dalam Nuqul, 2006. Hal:
30), yang menunjukkan sifat tipe kepribadian ekstrovert adalah sebagai orang yang ramah dalam
pergaulan, banyak teman, sangat membutuhkan kegembiraan, ceroboh, impulsif. Secara bebas
dirilis mudah marah, gelisah agresif, mudah menerima rangsang, berubah-ubah, impulsif. aktif.
optimis, suka bergaul, banyak bicara, mau bicara, menggampangkan lincah. riang. kepemimpinan.

Menurut Jung orang ckstrovcrt dipengauhi dunia objckti, Luar dirinya. Orientasi tertuju pada pikiran,
perasaan terdasarnya lebih ditentukan oleh lingkungan baik sosial maupun non sosial (Suryabrata, 2006.
Hal: 292). Dapat membantah orang yang berkepribadian ckstrovert adalah orang yang mudah bergaul
dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, schingga fikiran, perasaan dan tindakan-
tindakannya yang banyak menuntut pembohong dunia (obyektif) dari dunia dalam diri (subjektif). b.
Tipe kepribadian introvert mempertanyakan seseorang yang memiliki minat introvert akan memiliki
karakteristik antara lain: berminat dengan pikiran dan perasaannya sendiri, tampil dengan muka
pendiam dan tampak penuh pemikiran, biasanya tidak memiliki banyak teman, sulit membuat hubungan
baru, senang bergaul dan kesunyian, suka tidk suka dengan kunjungan yang tidak diharapkan, baik yang
dikeluarkan dari berkelompok. Berdasarkan teori Jung (dalam Eysenck, 2006. Hal: 293) yang
menyatakan beberapa ciri orang yang introvert, yaitu sebagian besar dalam konteks emosional atau
konflik, orang yang berkepentingan untuk menarik diri dan menyendiri. Lebih suka berfikir sendiri
tentang berbicaru dengan orang lain.

Mcreka berusaha berhati-hati, pcsimis, kritis dan selalu berusaha mempertahankan sifat-sifat
baik untuk diri sendiri schingga dengan sendirinya Mereka mengumpulkan banyak pengetahuan atau
mengembangkan bakat berdasarkan rata-rata dan mereka hanya dapat menunjukkan bakt mereka
dilingkungan yang menyenangkan. Orang introvert berada di puncaknya di dalam dirinya sendiri atau di
dalam kelompok kecil tidak asing. Menurut Eysenck (dalam Nuqul, 2006. Hal: 31) orang dengan tipe
kepribadian introvert memiliki sifat tenang, suka merawat diri sendiri, senang hati-hati, pemikir, kurang
percaya pada keputusan yang impulsif, lebih suka hidup teratur, suka murung, kuatir, kaku , sederhana,
pesimis, suka menyendiri, suka suka bergaul, pendiam, pasif, berhati-hati, tenggang hati, damai,
terkendali, dapat diandalkan, mengendalikan diri (Pelvin 1994). Dapat membedakan orang yang
berkepribadian intovert adalah orang yang tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitarnya, yang berfokus pada dunianya sendiri (subyektif) dari dunia luar (objektif). Menurut Jung,
bagi individu-individu yang memiliki sifat kepribadian yang sukar digolongkan sebagai introvert atau
ekstrovert, maka mereka dapat disifatkan sebagai ambivert. Ambivert memiliki trait-trai ekstrovert dan
introvert (Iriaz. Hal: 5).

TANXIETY DISORDER
(Memahami gangguan kecemasan: jenis-jenis, gejala, perspektif teoritis dan Penanganan)
Oleh :
Umniyah Saleh, S.Psi.,M.Psi.,Psikolog NIP: 19840223 2009122 004
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
 i

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat ALLAH SWT yang telah menganugerahkan nikmat
kekuatan, kesehatan, dan kesempatan sehingga makalah ini bisa terselesaikan dengan baik.
Tak lupa pula kita panjatkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad
SAW yang telah membimbing dan menjadi teladan dalam menuntut ilmu.
Makalah ini berisi informasi mengenai Anxiety Disorder (Gangguan Kecemasan) yang
merupakan salah satu bentuk gangguan psikologis yang dipelajari dalam Psikologi Abnormal.
Dalam tulisan ini, memuat penjelasan mengenai Gangguan Kecemasan, mulai dari pengertian,
gejala-gejala, perspektif teoritis yang menjelaskan gangguan tersebut, hingga bentuk
penanganan yang diberikan.
Penulis menyadari bahawa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena ini kami sangat senang dan terbuka untuk menerima umpan balik dari pembaca untuk
perbaikan makalah ini. Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian
makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu psikologi khususnya di bidang
Psikologi Abnormal.
Penulis
ii

DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
................................................................................................
i ................................................................................................
ii ................................................................................................ iii
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Tujuan ................................................................................................ 2
C. Manfaat ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
A. Kecemasan .............................................................................................. 3
1. Pengertian Kecemasan ...................................................................... 3
2. Ciri-ciri Kecemasan ........................................................................ 4
B. Tipe-Tipe Gangguan Kecemasan ........................................................... 5
1. Gangguan Panik .............................................................................. 5 1.1.
Pengertian ........................................................................... 5
1.2. Ciri Diagnostik ....................................................................... 6
1.3. Perspektif Teoritis .................................................................. 8
1.4. Penanganan ........................................................................... 11
2. Gangguan Cemas Menyeluruh ........................................................ 12
2.1. Pengertian ........................................................................... 12
2.2. Ciri Diagnostik ....................................................................... 13
2.3. Perspektif Teoritis .................................................................. 15
2.4. Penanganan ........................................................................... 18
3. Gangguan Obsesif Kompulsif .......................................................... 21 3.1.
Pengertian ........................................................................... 21
iii

3.2. Ciri Diagnostik ........................................................................ 22


3.3. Perspektif Teoritis .................................................................. 23
3.4. Penanganan ........................................................................... 26
4. Gangguan Fobia ................................................................................ 29
4.1. Pengertian ........................................................................... 29
4.2. Ciri Diagnostik ....................................................................... 31
4.3. Perspektif Teoritis .................................................................. 34
4.4. Penanganan ........................................................................... 39
5. Gangguan Stres Akut dan Stres Pasca Trauma ................................ 42
5.1. Pengertian ........................................................................... 42
5.2. Ciri Diagnostik ....................................................................... 44
5.3. Perspektif Teoritis .................................................................. 52
5.4. Penanganan ........................................................................... 54
BAB III PENUTUP............................................................................................. 58 Daftar Pustaka
................................................................................................ 59
iv

A. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN
Setiap hari manusia dihadapkan pada berbagai situasi atau kejadian yang dapat memicu
munculnya kecemasan. Misalnya ujian mendadak, presentasi tugas, terlambat masuk kelas,
deadline pekerjaan, dan sebagainya. Sebenarnya kecemasan adalah reaksi yang wajar yang
dapat dialami oleh siapapun, sebagai respon terhadap situasi yang dianggap mengancam atau
membahayakan. Namun jika kecemasan tersbut berlebihan dan serta tidak sesuai dengan
proporsi ancamannya, maka dapat mengarah ke gangguan yang akan menghambat fungsi
seseorang dalam kehidupannya.
Kaplan, Sadock dan dan Grebb (dalam Fausiah & Widury, 2007) menyatakan bahwa
kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang
normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan pengalaman baru atau yang belum pernah
dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Pada kadar yang rendah,
kecemasan membantu individu untuk bersiaga mengambil langkah-langkah mencegah bahaya
dan atau untuk memperkecil dampak bahaya tersebut. Kecemasan sampai pada taraf tertentu
dapat mendorong meningkatnya performa dan produktifitas. Misalnya cemas mendapat nilai
yang buruk, membuat seorang siswa belajar keras dan mempersiapkan diri menghadapi ujian.
Kecemasan seperti ini disebut facilitating anxiety. Namun apabila kecemasan sangat tinggi,
justru akan sangat mengganggu. Misalnya kecemasan berlebihan saat akan ujian, justru akan
membuat blocking dan tidak bisa menjawab pertanyaan. Hal ini disebut sebagai debilitating
anxiety.
1

Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan takut dan kehati-hatian atau
kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan (Davison,dkk 2004). Kaplan, Sadock &
Greb menyatakan bahwa „takut‟ dan „cemas‟ merupakan dua emosi yang berfungsi sebagai
tanda akan adanya bahaya. Rasa takut muncul jika terdapat ancaman yang jelas atau nyata,
berasal dari lingkungan, dan tidak menimbulkan konflik bagi individu. Sedangkan kecemasan
muncul jika bahaya berasal dari dalam diri, tidak jelas atau menyebabkan konflik bagi individu.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka makalah ini memberikan informasi penting
untuk memahami batasan-batasan yang jelas kapan kecemasan yang dialami dikatakan
sebagai sebuah gangguan, apa saja simptom atau gejala yang dimunculkan, apa saja jenisnya,
bagaimana perspketif teoritis menjelaskan mengenai terjadinya gangguan tersebut, serta upaya
penanganan apa yang dapat diberikan untuk mengatasi gangguan kecemasan.
B. TUJUAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk
a. Memberikan pemahaman mengenai pengertian gangguan kecemasan dan
symptom kecemasan (fisik, kognitif dan perilaku)
b. Memberikan pemahaman mengenai jenis-jenis gangguan kecemasan,
symptom yang menyertai setiap gangguan, perspektif teoritis dan penanganan
C. MANFAAT
Adapun manfaat makalah ini adalah:
a. Dapat menambah wawasan mengenai gangguan kecemasan mulai dari
pengertian, simptom, jenis-jenis, perspektif teoritis serta penanganannya. b. Dapat menjadi
referensi untuk proses pembelajaran psikologi abnormal
2

A. KECEMASAN (ANXIETY) 1. Pengertian Kecemasan


BAB II PEMBAHASAN
Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa
sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid,dkk 2005). Banyak hal yang harus dicemaskan,
misalnya kesehatan, relasi sosial, ujian, karir, kondisi lingkungan dan sebagaianya. Adalah
normal, bahkan adaptif, untuk sedikit cemas mengenai aspek-aspek hidup tersebut.
Kecemasan bermanfaat bila hal tersebut mendorong untuk melakukan pemeriksaan medis
secara reguler atau memotivasi untuk belajar menjelang ujian. Kecemasan adalah respon yang
tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak
sesuai dengan proporsi ancaman, atau sepertinya datang tanpa ada penyebabnya – yaitu bila
bukan merupakan respon terhadap perubahan lingkungan (Nevid, dkk 2005).
Gangguan kecemasan diklasifikasikan sebagai neurosis hampir sepanjang abad ke-19. Istilah
neurosis diambil dari akar kata yang berarti „suatu kondisi abnormal atau sakit dari sistem saraf‟
dan ditemukan oleh Cullen (Nevid, dkk, 2005) pada abad ke-18. Neurosis dilihat sebagai suatu
penyakit pada sistem saraf. Kemudian berganti dengan pengertian dari Freud pada abad ke-20.
Freud mengatakan bahwa tingkah laku neurotik terjadi karena adanya ancaman bahwa ide-ide
pembangkit kecemasan yang tidak dapat diterima akan muncul ke dalam alam sadar. Semua
gangguan ini mencerminkan usaha ego untuk mempertahankan dirinya sendiri melawan
kecemasan. Saat ini beberapa klini mengelompokkan masalah tingkah laku yang lebih ringan di
mana orang-orang yang dikelompokkan di neurosis relatif masih mempunyai kontak yang baik
dengan realitas sedangkan psikosis mempunyai ciri kehilangan kontak dengan realitas.
3

2. Ciri-ciri Kecemasan
Berikut ini dijelaskan ciri-ciri kecemasan (Nevid, dkk 2005):
2.1 Ciri – ciri fisik kecemasan
a. Kegelisahan, kegugupan
b. Tangan atau anggota tubuh bergetar
c. Banyak berkeringat
d. Telapak tangan berkeringat
e. Pening
f. Mulut atau kerongkongan terasa kering
g. Sulit berbicara
h. Sulit bernapas
i. Bernapaspendek
j. Jantung berdebar keras atau berdetak kencang
k. Suara yang bergetar
l. Jari-jari atau anggota tubuh menjadi dingin
m. Leher atau punggung terasa kaku
n. Sensasi seperti tercekik atau tertahan
o. Sakit perut atau mual
p. Sering buang air kecil
q. Wajah terasa memerah
r. Diare
2.2 Ciri – ciri Behavioral (perilaku) kecemasan
a. Perilaku menghindar
b. Perilaku melekat dan dependen
c. Perilaku terguncang
2.3 Ciri – ciri Kognitif dari kecemasan
a. Khawatir tentang sesuatu
b. Perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu
yang terjadi di masa depan
4

c. Keyakinan bahwa sesuatu yang buruk atau mengerikan akan segera terjadi, tanpa ada
penjelasan yang jelas
d. Terpaku pada sensasi tubuh
e. Sangat sensitif terhadap sensasi tubuh
f. Merasa terancam oleh orang atau peristiwa
g. Ketakutan akan kehilangan kontrol
h. Ketakutan akan ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah
i. Berpikir bahwa dunia akan runtuh
j. Berpikir bahwa semuanya sudah tidak bisa dikendalikan
k. Berpikir bahwa semuanya sangat membingungkan tanpa bisa diatasi
l. Khawatir terhadap hal sepele
m. Berpikir tentang hal yang mengganggu yang sama secara berulang-
ulang
n. Pikiran terasa campur aduk
o. Tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran negatif
p. Berpikir akan segera mati
q. Khawatir akan ditinggalkan sendiri
r. Sulit berkonsentrasi atau memusatkan perhatian
B. TIPE-TIPE GANGGUAN KECEMASAN 1. Gangguan Panik
1.1. Pengertian
Gangguan panik mencakup munculnya serangan panik yang berulang dan tidak terduga.
Serangan-serangan panik melibatkan reaksi kecemasan yang intens disertai dengan simtom-
simtom fisik, seperti jantung yang berdebar-debar, nafas cepat, nafas tersengal atau kesulitan
bernafas, banyak mengeluarkan keringat, dan terdapat rasa
5

1.2.
lemas dan pusing (Nevid, dkk, 2005). Suatu diagnosis gangguan panik didasarkan pada kriteria
sebagai berikut:
1) Mengalami serangan panik secara berulang dan tidak terduga
(sedikitnya dua kali.
2) Sedikitnya satu dari serangan tersebut diikuti oleh setidaknya
satu bulan rasa takut yang persisten dengan adanya serangan berikutnya atau merasa cemas
akan implikasi atau konsekuensi dari serangan (misalnya, takut kehilangan akal „menjadi gila‟
atau serangan jantung) atau perubahan tingkah laku yang signifikan (Nevid, dkk, 2005).
Gangguan panik biasanya dimulai pada akhir masa remaja sampai pertengahan usia 30-an
tahun. Perempuan mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengembangkan
gangguan panik (Nevid, dkk, 2005).
Ciri-ciri diagnostik
PPDGJ III menunjukkan pedoman diagnostik dari gangguan panik sebagai berikut (Maslim,
2013):
1) Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis gangguan
utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik
(F40,-)
2) Untuk diagnosis pasti harus ditemukan adanya beberapa kali
serangan anxietas berat (severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa sekitar satu bulan:
a. Pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara
objektif tidak ada bahaya
b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau
yang dapat diduga sebelumnya (unpredictable situations)
6

c. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada periode di antara
serangan-serangan panik (tetapi umumnya dapat terjadi juga “anxietas antisipatorik,” yaitu
anxietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi.
DSM-5 menunjukkan kriteria dianostik dari gangguan panik sebagai berikut (Maslim, 2013):
1)
Serangan panik tidak terduga berulang.
Serangan panik adalah sebuah gelombang ketakutan yang sangat
kuat akan ketidaknyamanan intens yang akan mencapai puncaknya dalam hitungan menit,
selama 4 menit (atau lebih). Gejala-gejala yang terjadi:
a. Jantung berdetak lebih cepat
b. Berkeringat
c. Gemetaran
d. Sensasi sesak nafas atau rasa tercekik
e. Perasaan tersedak
f. Terasa nyeri di dada dan tidak nyaman
g. Mual atau sakit perut
h. Perasaan pusing atau pingsan
i. Menggigil atau sensasi panas
j. Sensasi geli
k. Perasaan tidak sadar
l. Takut kehilangan kontrol atau “menjadi gila”
m. Takut mati
7

2) Setidaknya satu serangan telah diikuti dari satu bulan (atau lebih) dari satu atau kedua hal
berikut:
a. Khawatir tentang panik tambahan atau konsekuensinya (Seperti, kehilangan kontrol,
mengalami serangan jantung, “menjadi gila”)
b. Perubahan perilaku maladaptif yang signifikan terkait dengan serangan tersebut (contohnya,
perilaku yang dirancang untuk menghindari serangan panik, seperti menghindari latihan atau
siatuasi yang tidak biasa.
Penjelasan tambahan
1. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek psikologis suatu zat
(pengobatan) atau kondisi medis lainnya (misalnya,
hipertiroidisme, gangguan kardiopulmoner)
2. Gangguan ini tidak dijelaskan dengan baik sebagaimental
disfearedsocial situation, seperti dalam gangguan kecemasan sosial, sebagai respon atas
situasi atau objek fobia tertentu, seperti dalam fobia spesifik; sebagai respon atas obsesi,
seperti pada obsessive-compulsive disorder; sebagai respon atas ingatan event traumatik,
seperti pada gangguan stress pasca-trauma; atau sebagai respon untuk pemisahan dari
attachment figure, seperti dalam separation anxiety disorder.
1.3. Perspektif Teoritis 1.3.1. Perspektif Biologis
Gangguan panik dapat diturunkan dari kelurga. Dalam beberapa kasus, sensasi fisik yang
disebabkan oleh suatu penyakit dapat memicu beberapa orang mengalami gangguan panik.
Sebgaai contoh, sindrom penurunan katup kiri jantung menyebabkan jantung berdebar,
penyakit telinga bagian dalam
8
menyebabkan kepusingan yang dirasakan beberapa orang menakutkan dan memicu terjadinya
gangguan panik.
Dalam teori biologi, panik disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan dalam sistem
noradrenergic (neuron yang mengguakan norepinefrin sebagai neurotransmiter). Hasil dari
penelitian menemukan bahwa yohimbine, obat yang merangsang aktivitas dalam locus
ceruleus, dapat menghentikan seranga panic pada pasien gangguan panik. namun obat-obatan
yang menghambat pembakaran dalam locus cereleus ternyata tidak efektif untuk menangani
serangan panik. Aktivitas noradrenergik yang berlebihan dapat disebabkan oleh masalah dalam
neuron gamma- aminobutyric (GABA), yang secara umum menghambat aktivitas
noradrenergik .
Serangan panik juga berhubungan dengan pernapasan yang berlebihan atau disebut dnegan
hiperventilasi. Hiperventilasi mengaktivasi sistem saraf otonom, sekaligus memicu aspek-aspek
somatik yang tidak asing dalam suatu episode panik. Menghirup udara yang mengandung
karbon dioksida (CO2) lebih banyak dari biasanya dapat menimbulkan serangan panik di dalam
situasi laboratorium, reseptor CO2, yang terlalu sensitive dapat merangsang hiperventilasi. Dan
kemudian serangan panic. Dari hasil peneltian hanya ada satu dari 24 seranagn yang terjadi,
sehingga penelitian biologi mengenai hiperventilasi dianggap gagal.
1.3.2. Perspektif Psikologis
Perspektif psikodinamika menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu sinyal bahaya dimana
impuls-impuls yang mengancam yang sifatnya seksual atau agresif (membunuh) mendekat ke
taraf kesadaran. Untuk menghalau impuls-impuls
9

yang mengancam ini, ego mencoba untuk menghalangi atau mengalihkannya dengan
menggunakan mekanisme pertahanan diri (Nevid, dkk, 2005). Dalam gangguan panik, impuls
seksualatau agresif yang tidak dapat diterima mendekati batas-batas kesadaran dan ego
berusaha keras untuk melakukan mekanisme represi, sehingga menimbulkan konflik besar
yang pada akhirnya menimbulkan serangan panik. Panik akan menghilang jika impuls sudah
aman direpresi kembali.
Dari perspektif teori belajar, kecemasan diperoleh melalui proses belajar, terutama melalui
conditioning dan belajar observasional (Nevid,dkk 2005). Pembentukan gangguan panik
mungkin merupakan suatu bentuk dari classical conditioning (Bouton, Mineka & Barlow, 2001
dalam Nevid, dkk, 2005). Dalam pandangan ini, baik tanda eksternal (misalnya berada di
kerumunan orang banyak) maupun tanda internal (misalnya, palpitasi jantung dan pusing)
mungkin menjadi stimulus terkondisi (CSs) yang menumbuhkan perasaan panik karena telah
diasosiasikan dengan timbulnya serangan panik di masa lalu.
Teori kognitif menjelaskan bahwa cara berpikir yang terdistorsi dan disfungsional memegang
peranan penting dalam pengembangan gangguan kecemasan. Pendekatan ini memandang
bahwa penderita gangguan panik menganggap kecemasan sebagai sesuatu yang tidak dapat
dikendalikan dan tidak dapat diprediksi. Kemungkian lain bahwa gangguan panik terjadi pada
orang yang memiliki kecemasan tinggi. Kesalahan dalam menginterpretasi yang bersifat
merusak stimuli dapat mempengaruhi gangguan kepanikan. serangan panik tejadi apabila
merasakan sensasi fisik dan menginterpretasinya sebagai tanda-tanda datangnya kematian.
Hal tersebut dapat memicu kecemasan yang lebih besar lagi.
10

1.4. Penangangan
1.4.1. Penanganan Biologis
Penaganan biologis diberikan obat-obat antipanik. Beberapa obatan tersebut menunjukkan
keberhasilan sebagai penanganan biologi bagi penderita gangguan panic. Obat-obatan tersebut
mencakup antidpresan (seperti Selective Serotonin Re-uptake (SSRI), Serotonin and
Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRI), Trisiklik, Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs),
dan Noradrenaline andSpesifik Serotonergic Antidepressants (NASSAs) dan benzodiazepine
(seperti Alprazolam atau Xanax).
Pada sisi negatif pemberian obat-obatan dihentikan karena adanya efek samping seperti rasa
gugup, berat badan bertambah, serta denyut jantung dan tekanan darah yang meningkat
(Taylor dkk; dalam Davison, dkk 2004). Pada pemakaian benzodiazepine mmeberikan efek
kecanduan dan menghasilkan samping kognitif dan motorik, seperti berkurangnya ingatan dan
sulit dalam mengemudi. Walaupun hasilnya yang efektif, penanganan dengan obat-obatan
harus terus dilakukan dalam waktu yang tidak terbatas karena sintom-sintom selalu muncul
apapbila dihentikan (Fyer, Sabdberg, & Klein; dalam Davison, 2004).
1.4.2. Penanganan Psikologis
Penangan biologis dengan pemberian pemaparan pada terapi dapat berguna dalam gangguan
panik dengan agoraphobia. Beberapa studi menemukan bahwa efek pemaparan meningkat
saat pasien di dorong untuk rileks, namun tidak adanya manfaat tambahan dari relaksasi.
Penanganan psikologis terhadap gangguan panik telah berubah seiring berjalannya waktu.
Barlow dan rekan-rekannya
11

mengembangkan terapi pengendalian kepanikan (PCT-Panic Control Therapy) yang memiliki


tiga komponen, yaitu:
1) Training relaksasi.
2) Kombinasi intervensi behavioral kognitif dari Ellis dan
Beck.
3) Pemaparan dengan tanda-tanda internal yang emmicu
kepanikan. (Craske & Barlow; dalam Davison,dkk, 2004)
2. Gangguan Cemas Menyeluruh 2.1. Pengertian
Salah satu tipe spesifik yang diakui oleh PPDGJ III dan DSM-V sebagai salah satu gangguan
kecemasan adalah gangguan kecemasan menyeluruh atau generalized anxiety disorder. GAD
(generalized anxiety disorder) yaitu suatu gangguan kecemasan yang ditandai dengan
perasaan cemas yang umum dan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi dan keadaan
peningkatan keterangsangan tubuh. GAD ditandai dengan kecemasan yang persisten yang
tidak dipicu oleh suatu objek, situasi atau aktivitas yang spesifik, tetapi lebih merupakan apa
yang disebut Freud dengan “mengambang bebas” (free floating). GAD merupakan suatu
gangguan yang stabil, muncul pada pertengahan remaja sampai pertengahan umur dua
puluhan tahun dan kemudian berlangsung sepanjang hidup (Rapee dalam Nevid, dkk, 2005).
Gangguan ini muncul dua kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan pada laki-laki (APA
dalam dalam Nevid,dkk, 2005). Orang dengan GAD adalah pencemas yang kronis, mungkin
mereka mencemaskan secara berlebihan keadaan hidup mereka, seperti keuangan,
kesejahteraan anak-anak, dan hubungan sosial mereka. Anak- anak dengan gangguan ini
mencemaskan prestasi akademik, atletik, dan aspek sosial lain dari kehidupan sekolah. Ciri lain
yang terkait adalah:
12

merasa tegang, waswas, atau khawatir; mudah lelah; mempunyai kesulitan berkonsentrasi atau
menemukan bahwa pikirannya menjadi kosong; iritabilitas, ketegangan otot; dan adanya
gangguan tidur, seperti sulit untuk tidur, untuk terus tidur, atau tidur yang gelisah dan tidak
memuaskan (APA dalam Nevid, dkk, 2005).Meskipun GAD secara tipikal kurang intens dalam
respon fisiologisnya dibandingkan dengan gangguan panik, distress emosional yang
diasosiasikan dengan GAD cukup parah untuk menganggu kehidupan orang sehari-hari. GAD
sering ada bersama dengan gangguan lain seperti depresi atau gangguan kecemasan lainnya
seperti agoraphobia dan obsesif-kompulsif
2.2. Ciri-ciri diagnostik
Pedoman diagnostik untuk gangguan kecemasan menyeluruh menurut PPDGJ-III (F41.1)
(Maslim, 2013)
 Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap
hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol
pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya free floating atau mengambang).
 Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
a) Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di
ujung tanduk, sulit konsentrasi, dsb).
b) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak
dapat santai).
c) Over-aktivitas otonomi (kepala terasa ringan, berkeringat,
jantung berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb).
13

 Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan (reassurance)
serta keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol.
 Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnyadepresi,
tidak membatalkan diagnosis utama gangguan anxietas menyeluruh, selama haltersebut tidak
memenuhi kriteria lengkap dari episode depresi (F32), gankap dari episodedepresi (F32),
gangguan anxietas fobik (F40), gangguan panik (F41.0), gangguan obsesif-kompulsif (F42).
Kriteria Diagnostik menurut DSM-V (300.02), sebagai berikut:
 Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap hari, sepanjang hari,
terjadi sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan atau
aktivitas sekolah).
 Individu sulit untuk mengendalikan kecemasan dan kekhawatiran.
 Kecemasan diasosiasikan dengan 6 gejala berikut ini (dengan sekurang-kurangnya beberapa
gejala lebih banyak terjadi dibandingkan tidak selama 6 bulan terakhir), yaitu kegelisahan,
mudah lelah, sulit berkonsentrasi atau pikiran kosong, iritabilitas, ketegangan otot, dan
gangguan tidur (sulit tidur, tidur gelisah atau
tidak memuaskan).
 Kecemasan, kekhwatiran, atau gejala fisik menyebabkan distress
atau terganggunya fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
14

 Gangguan tidak berasal dari zat yang memberikan efek pada fisiologis (memakai obat-obatan)
atau kondisi medis lainnya (seperti hipertiroid).
 Gangguan tidak dapat dijelaskan lebih baik oleh gangguan mental lainnya (seperti kecemasan
dalam gangguan panik atau evaluasi negatif pada gangguan kecemasan sosial atau sosial
fobia, kontaminasi atau obsesi lainnya pada gangguan obsesif-kompulsif, mengingat kejadian
traumatik pada gangguan stress pasca traumatik, pertambahan berat badan pada anorexia
nervosa, komplin fisik pada gangguan gejala somatik atau delusi pada gangguan
schizophreniaor).
2.3. Perspektif Teoritis
Etiologi gangguan anxietas menyeluruh mencakup perspektif psikoanalisis,kognitif-behavioral,
dan biologis.
2.3.1. Pandangan Psikoanalisis
Teori psikoanalisis berpendapat bahwa sumber kecemasan menyeluruh (GAD) adalah konflik
yang tidak disadari antara ego dan impul-impuls id. Impuls-impuls tersebut, biasanya bersifat
seksual atau agresif, berusaha untuk mengekspresikan diri, namun ego tidak membiarkaan
karena tanpa disadari ia merasa takut terhadap hukuman yang akan diterima. Sumber
kecemasan sebenarnya yaitu hasrat-hasrat yang berhubungan dengan impuls- impuls id yang
ditekan dan berjuang untuk mengekspresikan diri selalu hadir. Dengan kata lain tidak ada cara
untuk menghindari kecemasan, jika seseorang meninggalkan id ia tidak lagi hidup, dengan
demikian orang tersebut hampir selalu mengalami kecemasan. Orang yang menderita
gangguan anxietas menyeluruh
15

(GAD) tidak mengembangkan tipe pertahanan sehingga selalu merasa cemas.


2.3.2. Pandangan Kognitif-Behavioral
Pemikiran utama teori kognitif behavioral tentang orang yang menderita anxietas menyeluruh
(GAD) adalah gangguan yang disebabkan oleh proses-proses berpikir yang menyimpang.
Orang- orang yang menderita GAD sering kali salah mempersepsikan kejadian-kejadian yang
biasa seperti menyeberang jalan merupakan sesuatu hal yang mengancam dan di kognisi
mereka terfokus pada antisipasi berbagai bencana pada masa mendatang (Beck dalam
Navison, Neale, & Kring, 2004). Perhatian para pasien GAD mudah terarah pada stimulus yang
mengancam (Mogg, Millar, & Bradley dalam Davison, dkk, 2004). Terlebih lagi pasien GAD
lebih terpicu untuk mengintrepetasi stimulus yang tidak jelas sebagai sesuatu yang mengancam
dan untuk menilai berbagai kejadian yang mengancam lebih mungkin terjadi pada mereka
(Butler &Mathews dalam Davison, dkk, 2004). Sensitivitas pasien GAD yang sangat tinggi
terhadap stimulus yang mengancam juga muncul bila stimulus tersebut tidak dapat diterima
secara sadar (Bradley dkk dalam Davison, dkk, 2004).
Pandangan kognitif lain diajukan oleh Borkovec dan para koleganya bahwa (Borkovec &
Newman dalam Davison, dkk, 2004) mereka memfokuskan pada gejala utama GAD, yaitu
kekhawatiranberdasarkan perspektif hukuman. Seseorang mungkin bertanya-tanya mengapa
ada orang yang sering merasa khawatir karena kekhawatiran dianggap sebagai kondisi negatif
yang seharusnya tidak mendorong pengulangan. Borkovec dan
16

para koleganya mengumpulkan bukti-bukti bahwa kekhawatiran sebenarnya merupakan


penguatan negatif; ia mengalihkan pasien dari berbagai emosi negatif sehingga diperkuat oleh
hasil yang positif bagi individu terkait.
Kunci untuk memahami posisi ini adalah menyadari bahwa kekhawatiran tidak menciptakan
banyak ketegangan emosional, sebagai contoh hal itu tidak menciptakan berbagai perubahan
fisiologis yang menyertai emosi, dan pada kenyatannya menghambat pemrosesan stimulasi
emosional. Dengan demikian, melalui rasa khawatir, orang-orang yang menderita GAD
menghindari berbagai citra yang tidak mengenakkan. dan sebagai konsekuensinya kecemasan
yang mereka rasakan terhadap berbagai citra tersebut tidak hilang. Salah satu kemungkinan
data yang menunjukkan bahwa penderita GAD menuturkan mengalami lebih banyak
pascatrauma yang mencakup kematian, cedera, atau penyakit. namun demikian, hal tersebut
bukan sesuatu yang mereka khawatirkan, kekhawatiran dapat mengalihkan para penderita GAD
dari berbagai citra pascatrauma yang menyakitkan.
2.3.3. Perspektif Biologis
Beberapa studi mengindikasikan bahwa GAD dapat memiliki komponen genetik. GAD sering
ditemukan pada orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan penderita gangguan ini,
dan terdapat kesesuaian yang lebih tinggi di antara kembar MZ dibanding kembar DZ. Namun
tingkat komponen genetik ini tampaknya rendah (Hettema, M. Neale & Kendler dalam Davison,
dkk, 2004).
17

Model neurobiologis yang paling umum untuk gangguan anxietas menyeluruh dilandasi oleh
pengetahuan mengenai cara kerja benzodiazepine, suatu kelompok obat-obatan yang sering
kali efektif untuk menangani kecemasan, para peneliti menemukan suatu reseptor dalam otak
untuk benzodiazepine yang berhubungan dengan neurotransmitter penghambat yaitu asam
gamma-aminobutyric (GABA). Pada reaksi ketakutan yang normal, neuron di seluruh otak
memicu dan menciptakan kecemasan. Proses tersebut juga merangsang sistem GABA, yang
menghambat aktivitas ini dan mengurangi kecemasan. GAD dapat disebabkan oleh kerusakana
dalam sistem GABA sehingga kecemasan tidak dapat dikendalikan. benzodiazepine dapat
mengurangi kecemasan dengan meningkatkan pelepasan GABA secara bersama, obat-obatan
yang menghambat sistem GABA memicu peningkatan kecemasan (Insell dalam Davison, dkk,
2004). Banyak hal yang masih harus dipelajari, namun pendekatan ini tampaknya ditakdirkan
untuk meningkatkan pemahaman kita terhadap kecemasan.
2.4. Penanganan
Seperti yang telah disebutkan bahwa GAD sulit ditangani dengan berhasil . Terapi mencakup
pendekatan Psikoanalisis, behavioral, kognitif, dan biologis.
2.4.1. Pendekatan psikoanalisis
Pendekatan Psikoanalisis memandang bahwa gangguan kecemasan menyeluruh berakar dari
konflik-konflik yang di tekan, sehingga penting untuk membantu pasien menghadapi sumber-
sumber konflik yang sebenarnya. penanganannya hampir sama
18

dengan penangan fobia. Suatu studi tanpa kontrol menggunakan intervensi psikodinamika yang
memfokuskan pada konflik interpersonal dalam kehidupan masa lalu dan masa kini pasien dan
mendorong cara lebih adaptif untuk berhubungan dengan orang lain. Pada saat ini, sama
dengan para terapi kognitif behavioral mendorong penyelesaian masalah sosial. Hasil-hasil
intervensi ini cukup mengembirakan dan pantas untuk diteliti lebih dalam dengan kontrol
eksperimental yang lebih baik, seperti kelompok kontrol tanpa penaganan dan kelompok kontrol
pembanding (Crits-Christoph dkk dalam Davison, dkk, 2004).
2.4.2. Pendekatan Behavioral
Para ahli klinis behavioral menangani kecemasan menyeluruh dengan berbagai cara. Jika
terapi menganggap kecemasan sebagai serangkaian respon terhadap berbagai situasi yang
dapat dindentifikasi, apa yang tampak sebagai kecemasan yang bebas mengalir dapat
diformulasi ulang pada satu fobia lebih atau kecemasan bersyarat. Kesulitannya yaitu
menemukan penyebab spesifik kecemasan yang diderita pasien semacam itu. Kesulitan ini
memicu para ahli klinis behavioral untuk memberikan penanganan yang lebih umum, seperti
training relaksasi intensif, dengan harapan bahwa belajar untuk rileks ketika merasa tegang
seiring mereka menjalani hidup akan mencegah kecemasan berkembang tanpa kendali (Barlov
dkk., 1084; Borkovec & Mathews, 1988;OSt, 1987b dalam Davison, dkk, 2004).
2.4.3. Pendekatan Kognitif
Jika suatu perasaan tidak berdaya tampakanya mendasari kecemasan pervasif, terapis
berorientasi akan membantu klien
19

menguasai keterampilan apapun yang dapat menumbuhkan perasaan kompoten, keterampilan


tersebut, termasuk asertivitas, dapat diajarkan melalui instruksi verbal, modeling, atau
pembentukan operant dan sangat mungkin kombinasi secara hati- hati dan ketiganya (Goldfried
& Davison dalam Davison, dkk, 2004).
Bukan suatu hal yang mengejutkan, teknik-teknik kognitif juga digunakan dalam penanganan
kekhawatiran kronis, komponen utama GAD. Kekhawatiran merupakan kejadian kognitif yang
memikirkan tentang berbagai kemungkinan yang menakutkan. Pendekatan Borkovec (a.l
Borkovec & Costello dalam Davison, dkk, 2004). mengombinasikan berbagai elemen Wolpe
Dan Beck, yaitu ia mendorong pemaparan bertingkat terhadap berbagai situasi yang
menyebabkan kekhawatiran seiring pasien mencoba menerapkan keterampilan relaksasi dan
analisis logis terhadap berbagai hal. Secara Kontras, Barlow dan rekan-rekannya lebih
menyukai pemaparan dalam waktu lama dan berlebihan terhadap sumber masalah kecemasan
berlebihan (Brown, O‟Leary & Barlow dalam Davison, dkk, 2004).
2.4.4. Pendekatan Biologis
Anxiolytic, jenis obat yang disebutkan untuk menangani fobia dan gangguan panik, mungkin
merupakan penanganan yang paling banyak digunakan untuk gangguan kecemasan
menyeluruh. Obat- obatan, terutama benzodiazepine, seperti Valium, Xanas, dan buspirone
(BuSpar), sering kali digunakan karena pervasivitas gangguan. Setelah diminum, obat-obatan
tersebut akan bekerja selama beberapa jam dalam berbagai situasi yang dihadapi.
20

Sejumlah studi double blind menegaskan bahwa obat-obatan tersebut memberi lebih banyak
manfaat bagi pasien GAD dibanding placebo (Apter & Allendalam Davison, dkk, 2004).
3. Gangguan Obsesif Kompulsif 3.1. Pengertian
Obsesif adalah pikiran, ide, atau dorongan yang intrusive dan berulang yang berada di luar
kemampuan seseorang untuk mengendalikannya. Obsesi dapat menjadi sangat kuat dan
persisten sehingga dapat menganggu kehidupan sehari-hari dan menimbulkan distress serta
kecemasan yang signifikan. Misalnya orang yang selalu bertanya tanpa berekesudahan apakah
pintu sudah dikunci atau tidak. Seseorang mungkin terobsesi dengan impuls untuk menyakiti
pasangannya. Seseorang dapat mempunyai berbagai macam gambaran mental seperti fantasi
berulang dari seseorang dari ibu muda bahwa anak-anaknya dilindas mobil dalam perjalanan
pulang kerumah. Contoh pola pikiran obsesif yaitu berpikir bahwa tangannya tetap kotor
walaupun dicuci berkali-kali, kesulitan untuk menghilangkaj pikiran bahwa seseorang dicintai
telah terbunuh, berpikir berulang-ulang bahwa pintu rumah ditinggalkan terbuka tanpa dikunci
dll. Secara klinis, obsesi yang paling banyak terjadi berkaitan dengan ketakutan akan
kontaminasi, ketakutan mengekspresikan impuls seksual atau agresif, dan ketakutan
hipokondrial akan disfungsi tubuh (Jenike, Baer, & Minichiello, 1986 dalam Nevid, dkk 2005).
Obsesi juga dapat berupa keragu-raguan ekstrem, prokrastinasi, dan ketidaktegasan.
Kompulsif adalah suatu tingkah laku yang repetitif (seperti mencuci tangan atau memeriksa
kunci) atau tindakan mentalritualistik (seperti berdoa atau mengulang kata tertentu) yang
dirasakan oleh seseorang sebagai suatu keharusan atau dorongan yang harus
21

3.2.
dilakukan (APA, 2000 dalam Nevid, 2005)). Kompulsif terjadi sebagai jawaban terhadap pikiran
obsesif dan muncul dengan cukup sering serta kuat sehingga menganggu kehidupan sehari-
hari atau menyebabkan distress yang signifikan. Contoh pola perilaku kompulsif yaitu
mengecek kembali pekerjaan secara berulang-ulang, terus menerus mencuci tangan supaya
bersih, mengecek kembali berulang- ulang saluran gas sebelum meninggalkan rumah.Mataix-
Cols, do Rosario-Campos dan Leckman (dalam Halgin dan Whitbourne, 2012) menyebutkan
bahwa terdapat empat dimensi utama dari simtom OCD. Keempat dimensi tersebut adalah
sebagai berikut
a. Obsesi yang diasosiasikan dengan kompulsi untuk memeriksa sesuatu;
b. Kebutuhan akan hal yang simetris dan meletakkan sesuatu sesuai dengan urutannya;
c. Obsesi terhadap kebersihan yang kemudian diasosiasikan dengan kompulsi untuk
membersihkan;
d. Perilaku individu yang menumpuk barang.
Ciri-ciri diagnostik
Adapun kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif kompulsif berdasarkan PPDGJ III (Maslim,
2013) sebagai berikut::
1. Gejala yang timbul merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas
penderita.
2. Gejala-gejala obsesif mencakup hal berikut:
a. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri
b. Sedikitnya ada 1 pikiran atau tindakan yang tidak berhasil
dilawan
22

c. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut bukan merupkan hal yang memberi kepuasan
atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari anxietas)
d. Gagasan atau impuls tersebut merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan
e. Ada kaitan antara gejala obsesif-kompulsif dengan depresi. Penderita OCD seringkali juga
menunjukkan gejala depresif begitupun sebaliknya.
3.3. Perspektif Teoritis
3.3.1. Perspektif Psikoanalisis
Dalam teori psikoanalisis, obsesif dan kompulsif dipandang sebagai hal yang sama, yang
disebabkan oleh dorongan instingtual, seksual, atau agresif yang tidak dapat dikendalikan
karena toilet training yang terlalu keras. Simtom- simtom yang muncul dianggap mencerminkan
hasil perjuangan antara id dan superego. Terkadang insting agresif id yang mendominasi atau
superego yang mendominasi. Sebagai contohketika pikiran obsesif untuk membunuh muncul,
saat itu dorongan id mendominasi. Namun jika superego lebih kuat maka pikiran obsesif untuk
membunuh tersebut tidak terjadi (Davison, dkk 2014). Psikoanalisa juga memandang bahwa
obsesi sevagai representasi dari merembesnya impuls-impuls tak sadar ke dalam kesadaran,
dan kompulsi adalah tindakan yang membantu untuk membuat impuls ini terepresi (Nevid, dkk,
2005). Alfred Adler memandang gangguan obsesif kompulsif sebagai akibat dari rasa tidak
kompeten. Adler percaya bahwa ketika anak-anak tidak didorong untuk mengembangkan suatu
perasaan kompeten oleh orang tua yang
23

terlalu memanjakan atau sangat dominan, mereka mengalami kompleks inferioritas dan secara
tidak sadar dapat melakukan ritual kompulsif untuk menciptakan suatu wilayah di mana mereka
dapat menggunakan kendali dan merasa terampil. Adler berpendapat bahwa tindakan kompulsif
memungkinkan seseorang sangat terampil dalam suatu hal, bahkan jika suatu hal itu hanya
berupa posisi menulis di meja (Davison, dkk 2014).
3.3.2. Perspektif Kognitif dan Behavioral
Teori behavioral menganggap kompulsif sebagai perilaku yang dipelajari yang dikuatkan oleh
reduksi rasa takut (Meyer & Chesser, 1970 dalam Davison, dkk 2014). Sebagai contoh,
mencuci tangan secara kompulsif dipandang sebagai respons-pelarian operant yang
mengurangi kekhawatiran obsesional dan ketakutan terhadap kontaminasi oleh kotoran dan
kuman. Ketidakmampuan untuk mengingat suatu tindakan secara akurat (seperti mematikan
kompor) atau membedakan antara perilaku aktual dan perilaku yang dibayangkan ("Mungkin
saya hanya berpikir telah mematikan kompor") dapat menyebabkan seseorang berulang kali
melakukan pengecekan.
Obsesi pasien penderita gangguan obsesif kompulsif biasanya membuat mereka cemas
(Rabavilas & Boulougouris 1974, dalam Davison 2014), sama halnya dengan pikiran yang agak
mengganggu pada orang-orang normal tentang stimuli yang penuh stres, misalnya film yang
menakutkan. Sebagian besar orang kadang-kadang memiliki pemikiran yang tidak diinginkan
yang memiliki kesamaan isi dengan obsesi. Pikiran
24

yang tidak menyenangkan ini bertambah ketika seseorang berada dalam kondisi stres. Individu
normal dapat menoleransi atau menghapus kognisi tersebut. Namun, bagi indvidu yang
menderita gangguan obsesif kompulsi pikiran-OCD juga dapat dipicu oleh keyakinan bahwa
memikirkan tentang kejadian yang berpotensi tidak menyenangkan membuat kejadian tersebut
lebih besar kemungkinannya untuk benar-benar terjadi (Nevid,dkk, 2005)
3.3.3. Perspektif Biologis
Encefalias, cedera kepala, dan tumor otak diasosiasikan dengan terjadinya gangguan obsesif-
kompulsif. Hal tersebut difokuskan pada area otak yang terpengaruh oleh trauma tersebut yaitu
lobus frontalis dan ganglia basalis, serangkaian nukleisub-kortikal termasuk caudate, putamen,
globus poallius,dan amygdala. Studi pemindaian dengan PET menunjukkan peningkatan
aktivasi pada lobus frontalis pasien OCD, mencerminkan kekhawatiran mereka yang berlebihan
terhadap pikirannya. Sedangkan pada ganglia basal yang merupakan suatu sistem yang
berhubungan dengan pengendalian perilaku motorik disebabkan oleh relevansinya dengan
kompulsif dan juga dengan hubungan antara OCD dan sindrom Tourette (Sheppard dkk., 1999
dalam Davison, dkk 2014).
OCD disebabkan oleh suatu sistem neurontransmitter yang berpasangan dengan serotonin bila
dipengaruhi antidepresan, sistem serotonin menyebabkan perbuahan pada sistem lain yang
merupakan lokasi sebenarnya dari efek terapeutik (Nevid,dkk 2005).
25

3.4. Penanganan
3.4.1. Terapi Psikoanalisis.
Terapi psikoanalisis untuk obsesi dan kompulsi mirip dengan untuk fobia dan kecemasan
menyeluruh, yaitu mengangkat represi dan memberi jalan pada pasien untuk menghadapi hal
yang benar-benar ditakutkannya. Karena pikiran yang mengganggu dan perilaku kompulsif
melindungi ego dari konflik yang di tekan merupakan target yang sulit untuk intervensi
terapeutik, dan prosedur psikoanalisis serta psikodinamika terkait tidak efektif untuk menangani
gangguan ini (Esman, 1989 dalam Davison, dkk 2014)
Salah satu pandangan psikoanalisis mengemukakan hipotesis bahwa keragu-raguan yang
tampak pada sebagian besar penderita obsesif-kompulsif berasal dari kebutuhan terhadap
kepastian benarnya suatu tindakan sebelum tindakan tersebut dilakukan (Salzman, 1985 dalam
Davison, dkk, 2014). Dengan demikian, pasien harus belajar untuk menoleransi ketidakpastian
dan kecemasan yang dirasakan semua orang seiring mereka menghadapi kenyataan bahwa
tidak ada sesuatu yang pasti atau dapat dikendalikan secara mutlak dalam hidup ini. Fokus
akhir dalam terapi tetap berupa berbagai penyebab simtom yang tidak disadari
3.4.2. Pendekatan Behavioral: Pemaparan dan Pencegahan Ritual (ERP- exposure and Ritual
Prevention).
Pendekatan behavioral yang paling banyak digunakan dan diterima paling banyak secara
umum untuk ritual kompulsif, yang dipeloporkan di Inggris oleh Victor Meyer
26

(1966) mengombinasikan pemaparan dengan pencegahan respons (ERP) (Rachman &


Hodgson, 1980 dalam Davison, 2014). Pendekatan tersebut baru-baru ini berganti nama yaitu
pemaparan dan pencegahan ritual untuk menggarisbawahi keyakinan magis yang dimiliki para
penderita OCD bahwa perilaku kompulsif mereka akan mencegah terjadinya hal-hal yang
menakutkan. Dalam metode ini (kadang disebut flooding) seseorang memaparkan dirinya pada
situasi yang menimbulkan tindakan kompulsif seperti memegang piring kotor-kemudian
menghindari untuk tidak melakukan ritual yang biasa dilakukannya- yaitu mencuci tangan.
Asumsinya adalah bahwa ritual tersebut merupakan penguatan negatif karena mengurangi
kecemasan yang ditimbulkan oleh suatu stimulus atau peristiwa dalam lingkungan seperti debu
di kursi. Mencegah seseorang melakukan ritual akan memaparkannya pada stimulus yang
menimbulkan kecemasan sehingga memungkinkan terhapusnya kecemasan tersebut.
Kadangkala pemaparan dan pencegahan ritual ini dilakukan melalui imajinasi, terutama jika
tidak memungkinkan untuk melakukannya secara nyata, contohnya, bila seseorang percaya
bahwa ia akan terbakar di neraka jika gagal melakukan ritual tertentu.
3.4.3. Terapi perilaku Rasional Emotif
Terapi perilaku rasional emotif untuk mengurangi OCD adalah membantu pasien
menghapuskan keyakinan bahwa segala sesuatu mutlak harus berjalan seperti yang mereka
inginkan atau bahwa segala tindakan yang mereka lakukan harus mutlak memberikan hasil
sempurna (Nevid, dkk 2005)
27

Dalam pendekatan ini, pasien didorong untuk menguji ketakutan mereka bahwa sesuatu yang
mengerikan akan terjadi jika mereka tidak melakukan ritual kompulsif Jelaslah, bagian tak
terpisahkan dalam terapi kognitif semacam itu adalah pemaparan dan pencegahan respons
(atau ritual), karena untuk mengevaluasi apakah tidak melakukan ritual kompulsif akan
memberikan konsekuensi yang mengerikan, pasien harus menahan diri untuk tidak melakukan
ritual tersebut.
3.4.4. Penanganan Biologis
Obat-obatan yang meningkatkan level serotonin seperti SSRI beberapa tricyclic, merupakan
penanganan biologis yang paling sering diberikan kepada pasien dengan gangguan obsesif-
kompulsif. Kedua kelompok obat-obatan tersebut telah memberikan hasil yang menguntungkan,
walaupun perlu dicatat bahwa suatu kajian terhadap penanganan farmakologis oleh dua
psikiater merendahkan pentingnya ERP sebagai pendekatan baris pertama (Rauch & Jenike,
1998 dalam Davison, 2004). Beberapa studi menemukan antidepresan tricyclic kurang efektif
dibandingkan ERP, dan suatu studi terhadap antidepresan menunjukkan perbaikan dalam ritual
kompulsif hanya pada pasien OCD yang juga menderita depresi. Dalam studi lain, manfaat
antidepresan tricyclic bagi OCD ternyata hanya berjangka pendek; penghentian obat ini memicu
90 persen tingkat kekambuhan, jauh lebih tinggi dibanding pada pencegahan respons (Pato
dkk., 1988 dalam Davison, dkk, 2004).
28

Masalah potensial dengan terapi obat adalah bahwa pasien kemungkinan menganggap
perbaikan klinis yang terjadi disebabkan oleh obat dan bukan karena sumber daya mereka
sendiri (Nevid,dkk, 2005). Terapi obat biasanya dikombinasikan dengan terapi kognitif-
behavioral. Beberapa bukti telah menunjukkan bahwa terapi obat tidak mengganggu efektivitas
dari penanganan kognitif-Behavioral (Bruce, 1996 dalam Nevid, dkk, 2005)
4. Gangguan Fobia 4.1. Pengertian
Kata fobia berasal dari bahasa Yunani phobos, berarti takut. Takut adalah perasaan cemas dan
agitasi sebagai respon terhadap ancaman. Gangguan phobia adalah rasa takut yang persisten
terhadap objek atau situasi yang tidak sebanding dengan ancamannya. Orang dengan
gangguan phobia tidak kehilangan kontak dengan realitas, mereka biasanya tahu bahwa
ketakutan mereka itu berlebihan dan tidak pada tempatnya (Nevid, dkk, 2005). Orang dengan
phobia mengalami ketakutan untuk hal-hal yang biasa yang untuk orang lain sudah tidak
difikirkan lagi, seperti naik elevator atau naik mobil di jalan raya. Fobia terdiri dari tiga tipe, yaitu
fobia spesifik, fobia sosial dan agoraphobia (Nevid, dkk, 2005)
Fobia spesifik adalah ketakutan yang beralasan dan disebabkan oleh kehadiran atau antisipasi
suatu objek atau situasi spesifik (Nevid, dkk 2005). DSM-V- membagi fobia berdasarkan
sumber ketakutannya, yaitu: Specific Phobia, Animal; Specific Phobia, Natural Environment;
Specific Phobia, Blood; Specific Phobia,Injection- Transfusion;Specific Phobia,Other Medical
Care; Specific Phobia ,Injury; Specific Phobia,Situational; Specific Phobia,Other.
29

Fobia sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan
keberadaan orang lain. Individu yang menderita fobia sosial biasanya mencoba menghindari
situasi yang membuatnya mungkin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau
berperilaku secara memalukan (Nevid, dkk, 2005). Fobia sosial dapat bersifat umum atau
khusus, tergantung rentang situasi yang ditakuti dan dihindari. Orang-orang dengan tipe umum
mengalami fobia ini pada usia yang lebih awal, lebih banyak komorbiditas dengan berbagai
gangguan lain, seperti depresi dan kecanduan alkohol, dan hendaya (gangguan) yang lebih
parah. Gangguan ansietas sosial cenderung menjadi lebih kronis jika penanganannya tidak
berhasil. Fobia sosial umumnya bermula pada masa remaja dan menghambat pembentukan
hubungan persahabatan dengan teman-teman sebaya.
Agoraphobia berasal dari bahasa Yunani yang berarti takut kepada pasar, yang sugestif untuk
ketakutan berada ditempat-tempat terbuka dan ramai (Nevid, dkk, 2005). Agoraphobia
melibatkan ketakutan terhadap tempat tempat atau situasi yang memberi kesulitan atau
membuat malu seseorang untuk kabur dari situ bila terjadi simptom simptom panik atau
serangan panik yang parah atau ketakutan kepada situasi dimana bantuan tidak bisa
didapatkan bila problem terjadi. Agoraphobia dapat terjadi bersamaan atau tidak bersamaan
dengan gangguan panik yang menyertai. Pada gangguan panik dengan agoraphobia, orang
hidup dengan ketakutan terjadinya serangan yang berulang dan menghindari tempat-tempat
umum. Orang orang dengan agoraphobia yang tidak punya gangguan panik dapat mengalami
sedikit simptom panik seperti pusing yang menghalangi mereka untuk keluar dari tempat
mereka.
30

4.2. Ciri-ciri diagnostik


PPDGJ dan DSM-V mencantumkan beberapa simptom yang menjadi landasan seseorang
menderita gangguan fobia. Simptom- simptom tersebut sebagai berikut (Maslim, 2013):
PPDGJ – III
F40.0 Agorafobia
Pedoman Diagnostik:
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b) Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam hubungan dengan)
setidaknya dua dari situasi berikut: banyak orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar
rumah, bepergian keluar rumah, dan bepergian sendiri; dan
c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol (penderita
menjadi “house-bound”).
F40.1 Fobia Sosial
Pedoman Diagnostik
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi sekunder dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b) Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu (outside the family
circle), dan
31

c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol.
 Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan agorafobia, hendaknya diutamakan
diagnosis agorafobia (F40.0).
F40.2 Fobia Khas (Terisolasi)
Pedoman Diagnostik
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b) Anxietas harus harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik tertentu (highly specific
situations), dan
c) Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.
Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak seperti halnya agorafobia dan
fobia sosial.
DSM-V
300.29 Fobia Spesifik Kriteria diagnosis:
a) Menandai ketakutan atau kecemasan terhadap suatu objek atau
situasi tertentu (terbang, ketinggian, binatang, jarum suntik,
darah).
b) Objek atau situasi fobia hampir selalu memancing ketakutan atau
kecemasan tiba-tiba.
c) Objek atau situasi fobia secara aktif dihindari atau diatasi dengan
ketakutan atau kecemasan yang kuat.
32

d) Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan bahaya sebenarnya yang ditimbulkan
oleh objek atau situasi tertentu dan pada konteks kultur sosial.
e) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut, biasanya berlangsung selama
6 bulan atau lebih.
f) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan gangguan-gangguan klinis yang
signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan, atau bidang penting lainnya.
g) Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh gejala dari gangguan mental lainnya,
seperti ketakutan, kecemasan, dan penghindaran terhadap situasi dibantu dengan gejala
seperti panik atau gejala ketidakmampuan lainnya (seperti pada agorafobia); objek atau situasi
yang berkaitan dengan obsesi (seperti pada gangguan obsesif-kompulsif); ingatan atas suatu
trauma (seperti pada gangguan stres pasca trauma); pemisahan dari rumah atau kasih sayang
seseorang (seperti pada gangguan kecemasan pemisahan); atau pada situasi sosial (seperti
pada gangguan kecemasan sosial).
300.23 Fobia Sosial
Kriteria diagnosis:
a) Menandai ketakutan atau kecemasan terhadap satu atau lebih
situasi sosial dimana individu terlihat oleh pengamatan yang mungkin dilakukan oleh orang lain.
Contohnya termasuk interaksi sosial (melakukan percakapan, bertemu orang asing), merasa
diamati (makan dan minum), dan tampil di depan orang lain (memberi pidato).
b) Individu merasa takut melakukan sesuatu jika menunjukkan gejala kecemasan akan
ditanggapi negatif (akan dipermalukan, menuju pada penolakan atau penyerangan orang lain).
33
c) Situasi sosial hampir selalu memancing ketakutan atau kecemasan.
d) Situasi sosial dihindari atau diatasi dengan ketakutan atau kecemasan yang tinggi.
e) Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan ancaman sebenarnya yang ditimbulkan
situasi sosial dan pada konteks kultur sosial.
f) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut, biasanya berlangsung selama
6 bulan atau lebih.
g) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan gangguan-gangguan klinis yang
signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan, atau bidang penting lainnya.
h) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut tidak termasuk kedalam efek psikologis
secara subtansi (penyalahgunaan obat-obatan, pengobatan) atau kondisi medis lainnya.
i) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tidak lebih baik dijelaskan oleh gejala dari
gangguan mental lainnya, atau gangguan spektrum autisme.
j) Jika kondisi medis lainnya (penyakit parkinson, obesitas, cacat dari luka bakar atau cidera)
ada, maka ketakutan, kecemasan, atau penghindaran jelas tidak terkait atau berlebihan.
4.3. Perspektif Teoritis
4.3.1. Teori Psikoanalisis
Freud menyatakan bahwa phobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang
disebabkan oleh impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti
yang ditakuti dan
34

dipindahkan ke objek atau situasi yang memiliki koneksi simbolik dengannya. Fobia adalah cara
ego untuk menghindari konfrontasi dengan masalah sebenarnya, yaitu konflik masa kecil yang
ditekan (Nevid, dkk 2005).
4.3.2. Teori Behavioral
Teori behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara berkembangnya fobia. Beberapa
tipe dalam pembelajaran mungkin berperan dalam berkembangnya fobia dalam diri individu.
Avoidance Conditioning menjelaskan fobia dalam perspektif
behavioral adalah reaksi atau respon avoidance yang telah dipelajari oleh individu. Salah satu
demontrasi yang dilakukan oleh Watson dan Rayner (Dalam Davison, dkk, 2014) mengenai
pengondisian terhadap suatu rasa takut atau fobia. Formulasi avoidance conditioning dilandasi
oleh dua faktor yang diajukan oleh Mcwrer (Dalam Davison, dkk, 2004) yang menyatakan
bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang saling berkaitan.
1) Melalui classical conditioning, seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral
(CS) jika stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara instrinsik menyakitkan
atau menakutkan (UCS).
2) Seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut dengan
melarikan diri atau menghindari CS. Jenis pembelajaran yang kedua ini diasumsikan sebagai
operant conditioning, respons dipertahankan oleh konsekuensi mengurangi ketakutan yang
menguatkan.
Modelling menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan fobia. Selain belajar untuk takut
terhadap sesuatu sebagai akibat dari pengalaman yang tidak menyenangkan, ketakutan juga
dapat dipelajari dengan meniru reaksi dari orang lain. berbagai macam perilaku,
35

termasuk respon-pespon emosional dapat dipelajari dengan menyaksikan suatu model.


Pembelajaran terhadap rasa takut dengan mengamati orang lain secara umum disebut sebagai
vicarious learning.Vicarious learning juga dapat terjadi melalui instruksi verbal, yaitu reaksi fobik
yang dapat dipelajari melalui deskripsi yang diberikan orang lain tentang apa yang mungkin
terjadi selain melalui observasi terhadap ketakutan orang lain.
Pembelajaran yang Dipersiapkan (Prepare Learning) merupakan fakta yang menunjukkan
bahwa stimulus tertentu yang netral atau stimuli yang dipersiapkan lebih mungkin dibandingkan
stimuli yang lain untuk menjadi stimuli yang dikondisikan secara klasik yang mungkin berperan
terhadap kecenderungan bahwa orang-orang hanya takut pada objek atau situasi tertentu
seperti laba-laba, ular, dan ketinggian serta tidak merasakannya pada objek lainnya seperti
domba. Beberapa ketakutan bisa saja sangat mencerminkan classical conditioning, namun
hanya pada stimuli yang secara fisiologis memang sensitive bagi suatu organisme. Eksperimen
pengondisian yang menunjukkan extinction rasa takut secara cepat mungkin menggunakan
berbagai CS yang tidak siap dihubungkan dengan UCS oleh organisme bersangkutan.
Diperlukan Diathesis. Beberapa orang yang memiliki pengalaman traumatis tidak mengalami
ketakutan yang menetap. Contohnya, 50% diantara orang-orang yang sangat ketakutan
terhadap anjing menuturkan pengalaman traumatis yang pernah mereka alami dengan anjing,
begitu juga dengan 50% diantara orang-orang yang tidak takut anjing. Perbedaan diantara dua
kelompok tersebut adalah kelompok fobik berfokus dan menjadi cemas terhadap kemungkinan
munculnya kejadian traumatis yang sama pada masa mendatang. Dengan demikian, diathesis
kognitif meyakini bahwa kejadian traumatis yang
36

sama akan terjadi pada masa mendatang mungkin merupakan suatu hal penting dalam
terbentuknya fobia. Kemungkinan diathesis psikologis lain adalah adanya riwayat yang
menunjukkan ketidakmampuan mengendalikan lingkungan.
Keterampilan Sosial yang Kurang dalam Fobia Sosial. Fobia sosial menganggap bahwa
perilaku yang tidak tepat atau kurangnya keterampilan sosial sebagai penyebab kecemasan
sosial. Pandangan tersebut menyatakan bahwa individu tidak pernah belajar cara berperilaku
agar individu tersebut merasa nyaman dengan orang lain, atau individu tersebut berulangkali
melakukan kecerobohan, kikuk dan secara sosial tidak kompeten, serta sering dikritik oleh
rekan-rekan sosial. Penemuan yang menguatkan model ini menunjukkan bahwa orang-orang
yang memiliki kecemasan sosial memang memiliki skor rendah dalam tingkat keterampilan
sosial dan orang-orang tersebut juga tidak mampu memberikan respon pada waktu serta
tempat yang tepat dalam interaksi sosial.Seseorang yang keterampilan sosialnya rendah
memiliki kemungkinan menciptakan situasi yang menakutkan bersama orang lain. sebagai
contoh, ketika individu tidak mengetahui cara merespon dengan sopan dan memicu situasi
interpersonal yang tidak menyenangkan, bahkan konflik yang menegangkan. Dapat diduga
bahwa hukuman yang diterima dari orang lain akan membuat orang tersebut lebih merasa takut
berinteraksi dengan orang lain.
4.3.3. Teori Kognitif
Pandangan kognitif mengenai kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfkus pada
proses berpikir manusia yang dapat berperan sebagai diathesis dan pikiran yang dapat
membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih besar untuk
menanggapi stimuli negative, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi
yang mengancam, dan mempercayai
37

bahwa kejadian negative memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang.
Isu utama dalam teori kognitif adalah kognisi menyebabkan kecemasan atau kecemasan yang
membentuk kognisi. Meskipun beberapa beberapa bukti eksperimental mengindikasikan bahwa
cara menginterpretasi stimuli dapatmenyebabkan kecemasan di laburatorium, namun tidak
diketahui apakah bias kognitif menjadi penyebab gangguan anxietas.
Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur lain dalam gangguan ini. rasa
taku yang menetap dari fakta bahwa ketakutan tersebut sesungguhnya tampak tradisional bagi
mereka yang mengalaminya. Fenomena ini dapat terjadi karena rasa takut melalui proses-
proses otomatis yang terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses awal
tersebut, stimulus dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang dapat
menghilangkan rasa takut tersebut.
4.3.4. Faktor-faktor Biologis yang Memengaruhi
Sistem saraf Otonom. Orang-orang yang mengalami fobia
sosial sering kali merasa takut bahwa wajah mereka akan memerah atau berkeringat secara
berlebihan di depan umum. Karena berkeringat dan memerahnya wajah dikendalikan oleh
sistem saraf otonom, aktivitas sistem saraf otonom yang berlebihan kemungkinan merupakan
suatu diathesis. Beberapa bukti tidak menunjukkan bahwa orang-orang yang menderita fobia
sangat berbeda dalam pengendalian berbagai bentuk aktivitas otonomik, walaupun saat berada
dalam situasi seperti berbicara di depan umum yang diharapkan akan terjadi perbedaan.
Orang-orang yang menderita fobia sosial yang sebelumnya menuturkan bahwa memerahnya
wajah secara actual tidak lebih memerah dibandingkan dengan orang-orang yang menderita
fobia sosial yang tidak menuturkan memerahnya wajah. Dengan demikian,
38

apabila aktivitas otonom yang berlebih memeliki relevansi dengan fobia sosial, rasa takut
terhadap konsekuensi aktivitas otonom mungkin merupakan hal yang lebih penting.
Faktor Genetik. Keluarga dekat memiliki gen yang sama dan memiliki kesempatan besar untuk
saling mengamati serta mempengaruhi sehingga dapat mengindikasikan peniruan langsung
dari satu anggota ke anggota keluarga lainnya. Walaupun terdapat beberapa alasan untuk
mempercayai bahwa faktor-faktor genetic mungkin berperan dalam etiologi fobia, hingga saat
ini belum ada bukti yang tegas menunjukkan sejauh mana peran faktor genetik dalam fobia
yang dialami oleh individu.
4.4. Penanganan
4.4.1. Pendekatan Psikoanalisis
Pada pendekatan psikoanalilis seperti halnya teori psikoanalisis yang memiliki banyak variasi,
demikian juga terapi psikoanalisis. Secara umum, semua penanganan psikoanalisis pada fobia
berupaya mengungkap konflik-konflik yang ditekan yang diasumsikan mendasari ketakutan
ekstrem dan karasteristik penghindaran dalam gangguan ini. Karena fobia dianggap simptom
dari konflik-konflik yang ada dibaliknya, fobia biasanya tidak secara langsung ditangani,
(Davison dkk, 2004).
Dalam berbagai kombinasi tradisi psikoanalisis menggunakan berbagai teknik yang
dikembangkan dalam tradisi psikoanalisis dalam membantu mengangkan represi. Dalam
asosiasi bebas analisis mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disebutkan pasien
terkait dengan setiap rujukan mengenai fobia. Analisis juga berupaya menemukan berbagai
petunjuk terhadap penyebab fobia yang ditekan dalam isi mimpi yang tampak jelas. Apa yang
diyakini analisis
39

mengenai penyebab yang ditekan tersebut tergantung pada teori psikoanalisis tertentu yang
dianutnya. Analisis ego kontemporer kurang menfokuskan pada riwayat insight dan lebih fokus
untuk mendorong pasien menghadapi fobia, (Davison dkk, 2014).
4.4.2. Pendekatan Behavioral
Desensitisasi sistematik merupakan terapi behavioral utama yang pertama kali digunakan
secara luas untuk menangani fobia (Wolpe, 1958., dalam Davison dkk, 2004). Individu yang
menderita fobia membayangkan serangkaian situasi yang semakin menakutkan sementara
berada dalam kondisi relaksasi mendalam (Davison dkk, 2004). Flooding adalah teknik
terapeutik dimana klien dipaparkan dengan sumber fobia dalam intensitas penuh. Rasa tidak
nyaman ekstrem menjadi bagian tak terhindarkan mengggunakan teknik ini, kecuali mungkin
menjadi jalan terakhir bila pemaparan secara bertingkat tidak mmbuahkan hasil. Pasien yang
menderita fobia darah dan penyuntikan sekarang ini didorong untuk mengencangkan otot
mereka, bukannya mengendurkan ketika menghadapi situasi yang mereka takuti. Mempelajari
keterampilan sosial dapat membantu mereka yang menderita fobia sosial yang tidak
mengetahui apa yang harus diucapkan atau dilakukan dalam berbagai situasi sosial. Beberapa
terapis behavioral mendorong pasien untuk berlatih peran atau melatih pertemuan interpersonal
didalam ruangan konsultasi atau kelompok terapi kecil (Turner, Beidel, & Cooley-Quille, 1995.,
dalam Davison dkk, 2004).
Modelling merupakan teknik lain yang menggunakan pemaparan terhadap berbagai situasi
yang ditakuti. Dalam terapi modelling, klien yang ketakutan melihat orang lain yang berinteraksi
dengan objek melalui film atau secara langsung fobik tanpa rasa takut, contohnya memegang
ular yang tidak berbisa atau mengusap-usap
40

anjing yang jinak. Menunjukan pada orang-orang yang mengalami kecemasan sosial
bagaimana mereka dapat berinteraksi dengan orang lain secara lebih baik merupakan bagian
yang tak terpisahkan dalam pelatihan keterampilan sosial(Davison dkk, 2004).
4.4.3. Pendekatan Kognitif
Terapi kognitif bagi fobia spesifik dipandang dengan skeptis kaarena karasteristik utama
penentu fobia. Rasa takut fobia diakui penderitanya sebagai rasa takut yang berlebihan atau
tidak beralasan. Jika penderita mengakui jika ia mengalami ketakutan pada sesuatu yang
berbahaya, apa yang dapat dilakukan terapi tersebut untuk mengubah pikiran si penderita.
Tidak ada bukti yang menunjukan bahwa hanya dengan menghapuskan keyakinan irasional
tanpa pemaparan dengan situasi yang dilakukan dengan mengurangi penghindaran fobik
(Davison dkk, 2004).
Secara kontras berkaitan dengan fobia sosial, metode kognitif semacam itu kadangkala
dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan sosial lebih menjanjikan. Mereka mungkin
dipersuasikan oleh terapis untuk menilai reaksi orang lain terhadap mereka secara akurat dan
untuk tidak terlalu bergantung pada persetujuan orang lain untuk mempertahankan perasaan
bahwa diri kita bermakna (Davison dkk, 2004).
4.4.4. Pendekatan Biologis
Dalam tahun-tahun terakhir obat-obatan yang pada awalnya dikembangkan untuk menangani
depresi (antidepresan) menjadi populer digunakan untuk menangani masalah anxietas,
termasuk fobia. Obat-obatan yang mengurangi kecemasan disebut sebagai sedatif, tranqilizer
atau anxiolitic (Davison dkk, 2004). Penggunaan obat- obatan tentunya memberikan efek
samping bila dikonsumsi dalam dosis yang berlebihan. Beberapa obat dapat menyebabkan
41

ketergantungan dan kematian bila melaglami overdosis serta mempengaruhi berat badan.
5. Gangguan stres Akut dan Gangguan Stres Pasca Trauma 5.1. Pengertian
Gangguan stres akut adalah suatu reaksi yang diperkirakan dari seseorang yang mengalami
suatu trauma yang sangat berat, saat ini individu membutuhkan jumlah dan jenis stres yang
berbeda untuk menimbulkan gangguan tersebut. Gangguan stress akut secara khas akan
menghilang setelah 1 hingga 2 minggu (apabila berlanjut), tetapi jika gangguan berlangsung
lebih dari sebulan, diagnosis perlu diubah menjadi gangguan stres pasca trauma.
Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah suatu reaksi maladaptif yang terjadi
pada bulan pertama sesudah pengalaman traumatis. Gangguan stres pasca trauma(post
traumatic stress disorder/PTSD) adalah reaksi maladaptive yang berkelanjutan terhadap suatu
pengalaman traumatis. ASD adalah faktor resiko mayor untuk PTSD karena banyak orang
dengan ASD yang kemungkinan mengembangkan PTSD (Harvey & Bryant dalam Nevid,dkk,
2005). Berlawanan dengan ASD, PTSD kemungkinan berlangsung berbulan- bulan, bertahun-
tahun, atau sampai beberapa dekade dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau
tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis (Zlotnick dkk dalam Nevid, dkk,
2005).
Hampir semua orang yang mengalami trauma mengalami stres, kadangkal hingga tingkat yang
sangat berat. Hal ini normal. Jika stressor menyebabkan kerusakan signifikan dalam
keberfungsian sosial dan pekerjaan selama kurang dari satu bulan, diagnosis yang
42

ditegakkan adalah gangguan stres akut. Walaupun beberapa orang dapat mengatasi gangguan
stress akut yang mereka alami, jumlah yang signifikan kemudian menderita PTSD (Brewin dkk
dalam Davison, dkk, 2004). Dimasukkannya stress berat dalam DSM sebagai faktor penyebab
signifikan PTSD dimaksudkan untuk menunjukkan pengakuan resmi bahwa penyebab PTSD
yang utama adalah peristiwa yang terjadi, bukan orang yang bersangkutan.
Pada ASD dan PTSD, peristiwa traumatis tersebut melibatkan kematian atau ancaman
kematian atau cedera fisik yang serius, atau ancaman terhadap keselamatan diri sendiri atau
orang lain. Respons terhadap ancaman tersebut mencakup perasaan takut yang intens,
perasaan tak berdaya, atau rasa ngeri (horor). Anak-anak dengan PTSD kemungkinan
mengalami ancaman ini dengan cara lain, misalnya dengan menunjukkan kebingungan atau
agitasi.
ASD dan PTSD memiliki ciri yang sama yaitu mengalami kembali peristiwa traumatis;
menghidari petunjuk atau stimuli yang diasosiasikan dengan peristiwa tersebut; mati rasa dalam
resposifitas secara umum atau dalam segi emosional; mudah sekali terangsang; gangguan
fungsi atau distress emosional yang penting. Perbedaan utama antara kedua gangguan
tersebut adalah pada ASD penekanannya ada pada disosiasi – perasaan asing terhadap diri
sendiri atau terhadap lingkungannya. Orang-orang dengan gangguan stress akut mungkin
merasakan terbengong-bengong atau dunia ini dirasakan sebagai suatu tempat dalam mimpi
atau suatu tempat yang tidak nyata. Dalam gangguan stress akut, orang mungkin juga tidak
dapat melaksanakan tugas-tugas yang perlu, misalnya mendapatkan bantuan medis atau
bantuan hukum yang diperlukan (APA dalam Nevid, dkk, 2005).
43

Dalam gangguan stres akut atau pascatrauma, peristiwa traumatis mungkin seakan dialami
kembali dalam berbagai macam cara. Mungkin dalam bentuk ingatan-ingatan yang intrusive,
mimpi- mimpi mengganggu yang berulang-ulang, dan perasaan bahwa peristiwa tersebut
memang terulang kembali (seperti “kilas balik” peristiwa tersebut). Pemaparan terhadap
peristiwa yang menyerupai pengalaman traumatis dapat menyebabkan distress psikologis yang
inrens. Orang-orang dengan reaksi stress traumatis cenderung untuk menghindari stimuli yang
membangkitkan ingatan terhadap trauma. Misalnya, mungkin mereka tidak mampu menghadapi
tayangan televisi tentang hal tesebut atau keinginan teman untuk membicarakannya. Mungkin
mereka mempunyai perasaan terasing atau terpisah dari orang lain. mereka mungkin
menunjukkan sikap kurang responsive terhadap dunia luar setelah peristiwa traumatis,
kehilangan kemampuan untuk menikmati aktifitas yang dahulu disukai atau kehilangan
perasaan mampu mengasihi.
5.2. Ciri-ciri diagnostik
5.2.1.
Stres Akut PPDGJ (F43.0)
 Harus ada kaitan waktu yang jelas antara terjadinya pengalaman stres yang luar biasa (fisik
atau mental) dengan onset dari gejala, biasanya beberapa menit atau segera setelah kejadian
 Selain itu ditemukan gejala-gejala :
a) Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya
berubah-ubah, selain gejala permulaan berupa keadaan “terpaku” (daze). Semua hal berikut
dapat terlihat depresi, ansietas, kemarahan , kecewa, overaktif dan
44

penarikan diri. Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi gambaran
klinisnya untuk waktu yang lama
b) Pada kasus yang dapat dialhkan dari lingkup stressor- nya, gejala-gejala dapat menghilang
dengan cepat (dalam beberapa jam)dalam hal dimana stres menjadi berkelanjutan atau tidak
dapat dialihkan gejala –gejala biasanya baru mereda setelah 24-48 jam dan biasanya hapir
menghilang setelah 3 hari.
 Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan mendadak dari gejala-gejala
pada individu yang sudah menunjukkan gangguan psikiatrik lainnya.
 Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang peranan dalam
terjadinya atau beratnya suatu reaksi stres akut.
DSM (308.3)
Kriteria Diagnostik:
A. Paparan terhadap kematian yang sebenarnya, cedera serius,
atau pelanggaran seksual yang serius dalam satu (atau lebih) hal berikut:
1) Langsung mengalami peristiwa traumatis
2) Menyaksikan, secara langsung, kejadian traumatik,
seperti yang terjadi pada orang lain.
3) Belajar bahwa kejadian tersebut terjadi pada anggota
keluarga dekat atau teman dekat.
4) Mengalami keterpaparan berulang atau ekstrem
terhadap rincian kejadian traumatis yang tidak
45

menyenangkan (misalnya, responden pertama yang mengumpulkan jenazah manusia, petugas


polisi berulang kali terpapar dengan rincian penganiayaan anak)
B. Kehadiran sembilan (atau lebih) dari gejala berikut dari salah satu dari lima kategori
gangguan, disosiasi mood negatif, penghindaran, dan gairah, diawali atau diperburuk setelah
peristiwa traumatis terjadi.
Gejala Intrusi (gangguan)
1) Ingatan berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari kejadian traumatis.
2) Mimpi buruk yang menyengat dimana konten dan / atau pengaruhnya terhadap mimpi
berhubungan dengan kejadian tersebut.
3) Reaksi disosiatif (mis, flashback) di mana individu merasa atau bertindak seolah-olah
peristiwa traumatis berulang (reaksi semacam itu dapat terjadi pada suatu kontinum, dengan
ekspresi paling ekstrem adalah hilangnya kesadaran akan lingkungan yang ada sekarang).
4) Intensor tekanan psikologis yang berkepanjangan atau reaksi fisiologis yang ditandai sebagai
respons terhadap isyarat eksternal eksternal yang melambangkan atau menyerupai aspek
kejadian traumatis.
Mood Negatif:
5) Ketidakmampuan yang terus-menerus untuk mengalami emosi positif (eginabilitas untuk
46

mengalami kebahagiaan, kepuasan, atau cinta


perasaan)
Gejala disosiatif:
6) Perasaan yang berubah tentang lingkungan seseorang atau diri sendiri (mis, melihat diri
sendiri dari sudut pandang orang lain, sedang dalam keadaan linglung melambat).
7) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari kejadian traumatis (biasanya karena
amnesia disosiatif dan tidak pada faktor lain seperti cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan
terlarang).
Gejala Menghindar
8) Upaya untuk menghindari kenangan, pikiran, atau perasaan yang menyedihkan tentang atau
terkait erat dengan kejadian traumatis.
9) Upaya untuk menghindari pengingat eksternal (orang, tempat, percakapan, aktivitas, objek,
situasi) yang membangkitkan pikiran kenangan yang menyedihkan, atau perasaan tentang atau
terkait erat dengan kejadian traumatis.
Gejala Gangguan
10) Gangguan tidur (misalnya, sulit jatuh atau tertidur,
tidur nyenyak).
11) Perilaku yang tidak enak dan ledakan kemarahan
(dengan sedikit atau tanpa provokasi) biasanya dinyatakan sebagai agresi verbal atau fisik
terhadap objek.
12) Hipervigilance
13) Permasalahan dengan konsentrasi
47

14) Respon mengejutkan berlebihan.


C. Durasi gangguan (gejala pada Kriteria B) adalah 3 hari
sampai bulan setelah terpapar trauma.
D. Gangguan tersebut menyebabkan gangguan atau
penurunan signifikan secara klinis di area kerja sosial,
pekerjaan, atau bidang penting lainnya.
E. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis zat
(misalnya obat atau alkohol) atau medical lainnya. Injeksi otot ringan dan tidak lebih baik
dijelaskan oleh kelainan psikotik singkat.
308.3F43.0) : Gangguan Stres Akut
5.2.2. Stres Pasca Trauma PPDGJ (F43.1)
 Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah
kejadian traumatis berat (masa laten berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan ,
jarang melampaui 6 bulan),
 Kemungkinan diagnosa masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian
dan onset gangguan melebihi 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak
didapat alternatif kategori gangguan lainnya
 Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didaoatkan bayang-bayang atau mimpi –mimpi
dari kejadian traumatik secara berulang-ulang kembali (flashback).
 Gangguan otonomil, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai
diagnosis, tetapi tidak khas.
48

 Suatu “sequele” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa misalnya saja
beberapa puluh tahun setelah bencana, diklasifikasikan dalam katagori F 62.0 (perubahan
kepribadian yang berlangsung setelah kejadian katas trofi
DSM (309.81)
Kriteria Diagnostik:
A. Paparan kematian aktual atau terancam, luka serius, atau
kekerasan seksual dalam satu (atau lebih) dari cara berikut:
1) Langsung mengalami kejadian traumatis.
2) Menyaksikan secara pribadi kejadian seperti yang
terjadi pada orang lain.
3) Belajar bahwa peristiwa traumatis terjadi pada anggota
keluarga dekat atau teman dekat. Dalam kasus keluarga atau calon keluarga kematian yang
sebenarnya atau terancam, acara tersebut pasti bersifat kekerasan atau tidak disengaja.
4) Mengalami keterpaparan berulang atau ekstrem terhadap rincian kejadian traumatis yang
tidak menyenangkan (misalnya responden pertama mengumpulkan sisa-sisa manusia; petugas
polisi berulang kali terpapar dengan rincian tentang pelecehan anak).
B. Kehadiran satu (atau lebih) gejala intrusi berikut yang terkait dengan kejadian traumatis,
dimulai setelah peristiwa traumatis.
1) Ingatan berulang, tidak disengaja, dan mengganggu
kenangan akan kejadian traumatis.
49

2) Mimpi buruk yang menyebalkan dimana konten dan / atau pengaruhnya terhadap mimpi
berhubungan dengan kejadian traumatis.
3) Reaksi disosiatif (misalnya kilas balik) di mana individu merasa atau bertindak seolah-olah
peristiwa traumatis berulang (Reaksi semacam itu dapat terjadi pada sebuah kontinum, dengan
ekspresi paling ekstrem menjadi hilangnya kesadaran akan lingkungan sekitarnya).
4) Tekanan psikologis yang intens atau dalam saat terpapar isyarat internal atau eksternal yang
melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatik
5) Reaksi fisiologis yang ditandai dengan isyarat internal atau eksternal yang melambangkan
atau menyerupai aspek peristiwa traumatik.
C. Penghindaran stimuli yang terus-menerus terkait dengan kejadian traumatis, dimulai setelah
peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh salah satu atau kedua hal berikut:
1) Penghindaran atau upaya untuk menghindari kenangan, pikiran, atau perasaan yang
menyusahkan. atau terkait erat dengan kejadian traumatis.
2) Penghindaran atau upaya untuk menghindari pengingat eksternal (orang, tempat,
percakapan, aktivitas, objek, situasi) yang membangkitkan kenangan, pikiran, atau perasaan
yang menyedihkan tentang atau terkait erat dengan peristiwa traumatis )
D. Perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati yang terkait dengan kejadian traumatis,
awal atau perburuk setelah
50

peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) hal berikut:
1) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari kejadian
traumatis (biasanya karena amnesia disosiatif dan bukan pada faktor lain seperti cedera kepala,
alkohol, atau obat- obatan terlarang)
2) Keyakinan negatif atau eksploitatif yang berlebihan terhadap diri sendiri, orang lain, atau
dunia (mis "Saya buruk", "Tidak ada yang bisa dipercaya", "Dunia ini benar-benar berbahaya",
"Seluruh sistem saraf saya hancur secara permanen").
3) Kognisi yang terus-menerus dan menyimpang tentang penyebab atau konsekuensi dari
kejadian traumatis yang menyebabkan individu menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain.
4) Keadaan emosional negatif yang terus-menerus (mis., Takut, ngeri, marah, bersalah, atau
malu)
5) Secara jelas mengurangi partisipasi insterestor dalam aktivitas signifikan
6) Perasaan atau detasemen atau keterasingan dari orang lain.
7) Ketidakmampuan terus-menerus untuk mengalami emosi positif (misalnya ketidakmampuan
untuk mengalami kebahagiaan, kepuasan, atau perasaan cinta).
E. Perubahan yang ditandai dalam reaktivitas rangsang dengan awal atau pemburukan
traumatis setelah kejadian traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) dari:
51

1) Perilaku yang tidak mudah marah dan ledakan kemarahan (dengan sedikit atau tanpa
provokasi) biasanya dinyatakan sebagai verbal. atau agresi fisik terhadap orang atau benda.
2) Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri
3) Hipervigilance
4) Respon mengejutkan yang berlebihan
5) Masalah dengan konsentrasi
6) Gangguan tidur (mis., Sulit tidur atau tidur atau tidur gelisah)
F. Durasi gangguan (kriteria B, C, D dan E lebih dari 1 bulan
G. Gangguan tersebut menyebabkan gangguan atau penurunan signifikan secara klinis di area
kerja sosial, pekerjaan, atau area
penting lainnya yang tidak berfungsi.
H. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis atau zat
(misalnya obat-obatan, alkohol) atau kondisi medis lainnya. 309.81 (F43.10): Posttraumatic
Stress Disorder tentukan Dengan gejala disosiatif (Depersonalisasi & Derealization) dengan
ekspresi tertunda.
5.3. Perspektif teoritis
5.3.1. Psikodinamika
Horowitz (Dalam Nevid, dkk, 2005)) menyatakan bahwa
ingatan tentang kejadian traumatik muncul secara konstan dalam pikiran seseorang dan sangat
menyakitkan sehingga secara sadar mereka mensupresinya (melalui distraksi, contohnya) atau
merepresinya. Orang yang bersangkutan diyakini mengalami semacam perjuangan internal
untuk mengintegrasikan trauma ke dalam keyakinannya tentang dirinya dan dunia agar dapat
menerimanya secara masuk akal.
52

5.3.2. Biologis
Penelitian pada orang kembar dan keluarga menunjukkan
kemungkinan diathesis genetik dalam PTSD (Hettema, Neale, & Kendler dalam Davison, dkk,
2004). Terlebih lagi, trauma dapat mengaktivasi sistem noradrenergik, meningkatkan level
norepinefrin sehingga membuat orang yang bersangkutan lebih mudah terkejut dan lebih cepat
mengekspresikan emosi dibanding kondisi normal. Konsisten dengan pandangan ini adalah
penemuan bahwa level norepinefrin lebih tinggi pada pasien penderita PTSDdibanding pada
kelompok control (Geracioti, dkk dalam Davison, Neale, dan Kring, 2004). Selain itu,
menstimulasi sistem noradrenergik menyebabkan serangan panic pada 70 persen dan kilas
balik pada 40 persen penderita PTSD; tidak ada satupun dari peserta kelompok kontrol yang
mengalami hal semacam ini (Southwick dkk dalam Davison, dkk, 2004). Terakhir terdapat bukti
mengenai meningkatnya sensivitas reseptor-reseptor noradrenergik pada penderita PTSD
(Bremner dkk dalam Davison, dkk, 2004).
5.3.3. Kognitif dan behavioral
Pemaparan menyebabkan berkurangnya simtom-simtom
dengan memungkinkan pasien menyadari sesuatu yang berlawanan dengan pemikiran-
pemikiran mereka yang salah satu yaitu bahwa (a) berada dalam situasi yang secara objektif
aman yang mengingatkan seseorang pada trauma merupakan sesuatu yang tidak berbahaya;
(b) mengingat trauma tidak sama dengan mengalaminya kembali; (c) kecemasan tidak dialami
tanpa batas ketika berada dalam situasi yang ditakuti atau ketika mengingat situasi tersebut,
namun justru berkurang bahkan tanpa melakukan penghindaran; dan (d) mengalami simtom-
53
simtom kecemasan / PTSD tidak lantas menyebabkan hilangnya kendali (Foa & Meadows
dalam Davison, dkk, 2004).
5.4. Penanganan
5.4.1. Debriefing Stress Insiden Kritikal
Debriefing Stress Insiden Kritikal adalah perilaku mengintervensi
dalam masa ketika orang-orang berada dalam fase akut periode pasca trauma. Perilaku
mengintervesi sebanyak mungkin korban selamat dalam 24 hingga 72 jam setelah terjadinya
peristiwa traumatik, tepat sebelum PTSD memilki kesempatan untuk berkembang, dan
mendorong mereka untuk mengkaji secara detail apa yang telah terjadi dan mengekspresikan
sekuat mungkin perasaan mereka tentang kejadian mengerikan tersebut (Bell dalam Davison,
dkk, 2004).
Menurut pendapat banyak ahli mngenai hasil terapeutik CISD dan berbagai prosedur terkait
tidak mendukung efektivitasnya dan cukup banyak penelitian mutakhir yang menunjukkan
bahwa pendekatan tersebut lebih banyak keburukannya daripada kebaikannya (Mayou dkk
dalam Davison, dkk, 2004). Kritik mendasar bahwa segera setalah terjadinya suatu bencana,
hal terbaik adalah para korban mendapatkan dukungan sosial yang biasanya diperileh dalam
keluarga serta komunitas mereka dan bahwa pemaksaan, bahkan jika dilakukan secara halus
dan dengan maksud baik yang dilakukan oleh orang asing tidak akan membantu, bahkan dapat
menganggu serta memberi efek buruk. Kritik lain pada CISD bahwa penderitaan merupakan
bagian normal kehidupan dan bahwa, setelah bencana, seseorang tidak perlu menghindar dari
rasa sakit dan duka cita, namun lebih memanfaatkan kejadian traumatic tersebut sebagai
kesempatan untuk mengahadapi berbagai krisis kehidupan yang tidak dapat dihindari dan
menemukan hikmah dibaliknya.
54

5.4.2. Pendekatan Kognitif dan Behavioral


Sebagaimana yang sudah diketahui, prinsip dasar terapi
perilaku berbasis pemaparan adalah cara terbaik untuk mengurangi atau menghapus rasa takut
adalh dengan menghadapkan orang bersangkutan dengan sesuatu yang paling ingin
dihindarinya. Diagnosis PTSD mencakup referensi mengani hal yang memicu masalah dan
biasanya kita mengetahui apa kejadiannya. Dengan demikian, keputusan tersebut merupakan
kepuusan taktis, yaitu bagaimana memaparkan pasien pada sesuatu yang menakutkan
baginya. Banyak teknik yang tekah digunakan. Walaupun demikian, melakukan terapi
pemaparan semacam itu merupakan hal yang sulit bagi pasien dan terapis karena melakukan
kajian ulang secara rinci terhadap kejadian yang menyebabkan trauma. Kondisi pasien untuk
sementara dapat lebih buruk pada tahap-tahap awal terapi, dan terapis sendiri dapat merasa
sedih ketika mereka mendengarkan penuturan tentang kejadian mengerikan yang dialami
pasien.
Pada tahun 1989, Shapiro mulai memublikasikan suatu pendekatan untuk menangani trauma
yang disebut dengan Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR). EMDR
dimaksudkan untuk dilakukan dengan cepat – sering kali hanya dilakukan satu atau dua kali
sesi – dan lebih efektif dibanding prosedur pemaparan standar. Dalam prosedur ini, pasien
membayangkan suatu situasi yang berkaitan dengan masalahnya, seperti kecelakaan mobil
yang mengerikan. Dengan tetap membayangkan kejadian tersebut, pasien memandang jari
terapis dan mengikutinya dengan pandangannya seiring terapis menggerakkannya maju
mundur kira-kira satu kaki di depan pasien. Proses ini berlangsung selama kurang lebih satu
menit atau sampai pasien menuturkan bahwa kengerian baying
55
tersebut telah berkurang. Kemudian terapis meminta pasien menceritakan semua pikiran
negatif yang muncul dalam pikirannya, sekali lagi dengan mengarahkan pandangannya pada
jari terapis yang terur bergerak. Terakhir, terapis mendorong pasien untuk berpikir secara lebih
positif, seperti “saya dapat mengatasi hal ini”, dan hal ini juga dilakukan sambil memandang jari
terapis yang bergerak. Namun, ada banyak sekali kontroversi mengenai teknik ini. Di satu sisi,
para pendukung AMDR berargumentasi bahwa mengombinasikan gerakan mata dengan pikiran
kejadian yang ditakuti menyebabkan pendekondisian atau pemrosesan ulang stimulus yang
menakutkan secara cepat. Di sisi lain studi menunjukkan bahwa gerakan mata tidak memberi
tambahan apapun pada hasil pemaparan itu sendiri. Dan bahwa klaim efektivitas dilandasi
berbagai eksperimen yang memiliki banyak kelemahan metodologis.
5.4.3. Pendekatan Psikoanalisis
Pendekatan psikodinamika dari Horowitz (dalam Davison, dkk,
2004) memiliki banyak kesamaan dengan penanganan yang telah disebutkan sebelumnya,
karena mendorong pasien untuk membahasa trauma dan memaparkan diri mereka pada
kejadian yang memicu PTSD. Namun, Horowitz menekankan cara trauma berinteraksi dengan
kepribadian pratrauma pasien, dan penanganan yang ditawarkannya juga memilki banyak
persamaan dengan berbagai pendekatan psikoanalitik lain, termasuk pembahasan mengenai
pertahanan dan analisis reaksi transferensi oleh pasien. Terapi kompleks ini memerlukan
verifikasi empiris. Beberapa studi terkendali yang dialkukan sejauh ini hanya memberikan
sedikit dukungan empiris mengani keefektivitasannya (Foa & Meadows dalam Davison, dkk,
2004).
56

5.4.4. Pendekatan Biologis


Berbagai obat-obatan psikoaktif telah digunakan untuk para
pasien PTSD. Termasuk antidepresan dan tranquilizer (rangkuman obta-obatan yang
digunakan untuk menangani seluruh gangguan anxietas. Mungkin penanganan yang paling
banyak digunakan adalah obat-ovatan anxiolytic yang diberikan oleh para praktisi medis.
Manun, obat-obatan mudah disalahgunakan, dan penghentian biasanya menyebabkan
kekambuhan. Pwnggunaan dalam jangka panjang dapat menyebabkan efek samping dan tidak
mengenakkan dan belum dapat dipahami sepenuhnya.
57

BAB III PENUTUP


Kecemasan merupakan suatu sensasi aprehensif atau takut yang menyeluruh yang bersifat
normal pada berbagai kondisi, namun dapat menjadi abnormal jika berlebihan dan tidak sesuai
dengan proporsi ancamannya. Pola-pola tingkah laku terganggu dimana kecemasan menjadi
ciri yang paling menonjol diberi label gangguan kecemasan. Ada beberapa jenis gangguan
kecemasan yaitu gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif,
gangguan fobia dan stres akut serta stres pasca trauma. Berbagai perspektif teoritis
menjelaskan mengenai terjadinya gangguan kecemasan ini, seperti perspektif psikoanalisa,
behavioral, kognitif, dan biologis. Perbedaan perspektif tersebut juga berdampak pada
perbedaan bentuk penanganan yang diberikan untuk mengatasi gangguan kecemasan.
58

DAFTAR PUSTAKA
Davison, G.C., Neale J.M., &Kring A.M. (2004). Psikologi Abnormal Edisi ke-9. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Halgin, Richard P. 2012. Psikologi Abnormal Perspektif Klinis pada Ggngguan Psikologis.
Jakarta: Salemba Humanika.
Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ- III dan DSM
5. Cetakan 2 Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. Jakarta: PT Nuh Jaya.
Nevid, J.S, Rathus, S.A., & Greene B. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
59

Hakikat Konseling
Konseling rasional emotif perilaku dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi
dan sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-
batas tujuan yang disusun secara bersama- sama oleh konselor dan konseli. Karakteristik
Proses Konseling Rasional Emotif Perilaku:
1) Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu
mengarahkan konseli dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
2) Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek kognitif
dari konseli dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
3) Emotif-ekspreriensial, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan juga
memfokuskan pada aspek emosi konseli dengan mempelajari sumber-sumber gangguan
emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan
tersebut.
4) Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya menyentuh
dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku konseli.
Kondisi Pengubahan
Tujuan
Tujuan umum Konseling rasional emotif perilaku yaitu membantu individu mengidentifikasi
sistem keyakinannya yang tidak rasional dan kemudian memodifikasinya agar menjadi lebih
rasional. Secara Konseling rasional emotif perilaku memusatkan perhatian pada upaya
membantu individu untuk belajar memperoleh keterampilan yang memudahkannya untuk
membentuk pikiran- pikiran yang lebih rasional, mengarahkan pada penerimaan diri dan
kebahagiaan yang lebih besar dan mendorong kesanggupan untuk dapat lebih menikmati
hidupnya (Prochaska & Norcross, 2007). Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang
merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-
was, rasa marah.

Tugas Konselor
Pertama, konselor perlu memperhatikan dan menunjukkan pada konseli bahwa masalah atau
kesulitan yang dihadapinya sangat berhubungan dengan keyakinan yang irasional dan
menunjukkan bagaimana konseli harus mengembangkan nilai dan sikapnya dengan mencoba
memberikan wawasan dengan menunjukkan istilah seperti: should, ought, dan must. Dalam hal
ini konseli harus belajar memisahkan keyakinan yang rasional dengan keyakinan irasional.
Kedua, setelah konseli menyadari keadaan diri yang sebenarnya, bahwa gangguan emosi
dalam dirinya disebabkan oleh sikap, persepsi dan penilaian terhadap dirinya yang tidak
rasional maka konselor menunjukan kepada konseli bahwa berpikir irasional adalah sumber
dan gangguan terhadap kepribadiannya, namun hal tersebut dapat diubah dengan membuat
dan mengubah keyakinannya dengan pandangan-pandangan baru yang logik dan rasional
Ketiga, Konselor mencoba mengarahkan konseli untuk untuk berpikir dan membebaskan ide-
ide yang irasional. Pada langkah ini konselor harus menolong konseli untuk memahami
hubungan antara ide-ide yang merusak dirinya sendiri dan pandangan yang tidak realistik yang
membawa ke arah proses menyalahkan diri sendiri.
Keempat, dalam proses konseling, konselor “menantang” konseli untuk mengembangkan
filosofi hidupnya yang rasional dan mencoba untuk menolak keyakinan-keyakinan irasional
(Seligman, 2006).
Tugas Konseli
Proses konseling dapat dipandang sebagai proses redukatif yang mana konseli belajar cara
mengaplikasikan pemikiran logis untuk memecahkannya. Pengalaman yang harus dimiliki
klien/konseli adalah pengalaman masa kini dan di sini (here and now experiences), dan
kemampuan konseli untuk mengubah pola berpikir dan emosinya yang salah.
Pengalaman utama konseli adalah mencapai pemahaman emosional atas sumber-sumber
gangguan yang dialaminya. Pada taraf pertama, konseli menjadi sadar bahwa ada anteseden
tertentu yang menyebabkan timbulnya irrasional belief. Taraf kedua, konseli mengakui
dirinyalah yang sekarang mempertahankan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang
irrasional. Taraf ketiga, konseli berusaha untuk menghadapi secara rasional-emotif,
memikirkannya, dan berusaha menghapus irrational belief dan mengggantinya dengan rational
belief.
Konseli yang telah memiliki keyakinan rasional terjadi peningkatan dalam hal: (1) minat kepada
diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi
terhadap pihak lain, (5) fleksibel, (6) menerima ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu
di luar dirinya, (8) penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima kenyataan.
Situasi Hubungan
Menutur Ellis, kehangatan pribadi, afeksi, dan hubungan pribadi antar konselor dan konseli
yang intens memiliki arti yang sekunder. Bagaimana pun hubungan yang baik antara konseli
dan konselor merupakan sesuatu yang sangat diharapkan. Konselor memainkan peran sebagai
model yang tidak terganggu secara emosional dan yang hidup secara rasional. Konselor juga
menjadi model orang yang berani bagi konseli dalam arti dia secara langsung mengungkapkan
sistem-sistem keyakinan konseli yang irasional tanpa takut kehilangan rasa suka dan
persetujuan dari konseli. Lebih dari itu, konseling REB menekankan toleransi penuh dan
penghormatan tanpa syarat dari terapis terhadap kepribadian konseli dalam arti konselor
menghindari sikap menyalahkan konseli. Sifat-sifat hubungan yang dianggap penting adalah:
1) Pertautan hubungan baik (good rapport)
2) Gaya hubungan dalam REB harus aktif, direktif, dan objektif
3) Hubungan REB menekankan pentingnya dull tolerance, dan uncanditioning positive regard.
4) Secara terus menerus konselor perlu menerima diri konseli sebagai seorang worthwhile
human being (manusia hidup berharkat dan bernilai), karena the client exist bukan karena the
client accomplishments.
Teknik-Teknik Konseling
Konseling REB dalam praktik terapinya memberi arahan adanya langkah konstruktif yang selalu
dipergunakan oleh konselor untuk melakukan perubahan pemikiran irrasional menjadi rasional
(Nelson-Jones, 2001; Parrot III, 2003; Prochaska & Norcross, 2007; Ellis, 2008). Dalam
praktiknya, Ellis merekomendasikan sejumlah teknik yaitu:
Mengajar dan Memberi Informasi. Teknik ini dipandang sebagai tindakan yang mana konselor
mengawal siswa untuk dapat membedakan antara pemikiran rasional dan pemikiran irrasional
dan memahami asal muasal terjadinya masalah. Melalui teknik ini, konselor (dengan berbagai
metode) mengajar siswa (1) membebaskan diri dari pandangan yang irasional sehingga mereka
dapat menentukan pilihan tingkah laku yang efektif dan terhindar dari adanya ancaman, (2)
menemukan cara-cara atau tindakan-tindakan yang lebih tepat untuk merespon keadaan
(realitas) sehingga siswa tidak terganggu oleh adanya realita yang dihadapi. Isi informasi yang
diajarkan oleh konselor adalah dinamika konsep

A-B-C-D-E yang dikaitkan dengan realitas yang dihadapi siswa, sehingga pemecahan masalah
dan pemilihan tingkah laku efektif yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman konselor dan
anggota dalam kelas dapat terjadi. Proses ini secara ekplisit dikenal sebagai proses “E”
(experiencing).
Mendiskusikan Masalah. Diskusi dalam konseling kelompok REBT diarahkan dengan
memanfaatkan pengalaman kelompok untuk mendukung informasi konselor. Para anggota
kelompok yang rasional cenderung akan memahami dan menjadikan informasi konselor
sebagai bagian pengalaman dan dipandang sebagai sumber pemecahan masalah dan
pemilihan tingkah laku yang efektif. Semua ini selanjutkan akan mereka kembangkan dengan
mengungkap pengalaman-pengalaman anggota kelompok secara simultan yang dalam
bahasan ini secara jelas disebut sebagai proses experiencing.
Mempropagandakan Berpikir Ilmiah. Ciri berpikir ilmiah adalah adanya obyek yang jelas
sistematis dan metodis. Obyek yang jelas ditandai oleh adanya realitas yang dihadapi oleh
siswa; sistematis dalam arti proses pemahaman dan obyek realistis dari pengalaman masing-
masing anggota siswa terungkap secara berurutan berada pada posisi sinergis. Dalam seting
ini, konselor juga mendorong siswa untuk menguji pandangannya dengan cara meninjau sebab-
sebab realita emosi yang terjadi pada dirinya, akibat-akibat yang terjadi dan mungkin terjadi.
Cara pandang yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah menjadi sangat penting dalam seting
ini. Diantara beberapa prinsip ilmiah, ada beberapa yang dapat dikemukakan: mendasarkan
pikiran dalam bentuk mengemukakan beberapa proposisi atau rumusan-rumusan logis, (2)
menguji rumusan logis ke dalam suatu kerangka berpikir yang melibatkan pengalaman (diri
sendiri atau orang lain) dan membuat prediksi-prediksi logis. Dalam prosesnya, seting ini dapat
terjadi perubahan-perubahan sistem keyakinan magis siswa, (Ellis, 1973) yang secara
sistematis timbul oleh karena keaktifan konselor, didaktif dan filosofis yang memancing tindakan
nyata siswa di waktu-waktu luar sekolah.
Mengkonfrontasikan dan Menantang. Setelah proses berpikir ilmiah berjalan dengan efektif,
selanjutnya siswa diharapkan dapat menantang dan menghadapi pemikiran irrasional. Itu dapat
lebih efektif jika siswa dapat menyadari sepenuhnya bahwa pemikiran irrasional yang selama ini
ia pertahankan justru akan merusak diri dan masa depannya, serta mereka berani
mengemukakan beberapa jalan pikiran yang benar, terhindar dari cara pandang irrasional serta
dapat mengemukakan kemungkinan jalan berpikir yang benar.
Modeling. Pemodelan atau modeling adalah metode untuk menghasilkan perilaku baru (Gazda,
1989, p. 93), atau prosedur dengan mana orang dapat belajar perilaku yang diharapkan melalui
pengamatan terhadap perilaku orang lain (Cormier dan Cormier,1985). Modeling efektif untuk
mengarahkan partisipan

untuk menata dirinya sendiri dengan cara melihat karakter atau kepribadian seseorang yang
kemudian dapat dimengerti oleh partisipan dan dipedomani sebagai sumber arah diri (Ellis,
2008).
Teknik-Teknik Emotif
Assertive Adaptive. Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan
konseli untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan.
Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri konseli.
Bermain Peran (role playing). Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang
menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian
rupa sehingga konseli dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran
tertentu.
Imitasi. Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu
dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
Teknik-teknik Behavioristik
Reinforcement. Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang
irrasional pada konseli dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dengan memberikan
reward ataupun punishment, maka konseli akan menginternalisasikan sistem nilai yang
diharapkan kepadanya.
Social Modeling. Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada konseli. Teknik
ini dilakukan agar konseli dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara
imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-
norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.
Teknik-teknik Kognitif
Home Work Assigments. Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas- tugas rumah untuk
melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola
tingkah laku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, konseli diharapkan dapat
mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak
logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek
kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan.
Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh konseli dalam
suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan
mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab,
kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri konseli
dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
Latihan Assertive. Teknik untuk melatih keberanian konseli dalam mengekspresikan tingkah
laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-
model sosial. Maksud utama teknik latihan asertif adalah: (a) mendorong kemampuan konseli
mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya; (b) membangkitkan
kemampuan konseli dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau
memusuhi hak asasi orang lain; (c) mendorong konseli untuk meningkatkan kepercayaan dan
kemampuan diri; dan (d) meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku
asertif yang cocok untuk diri sendiri.
Disputing Irrational Beliefs. Jika saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan, hal itu
bukanlah merupakan akhir dunia/kehidupan.
Doing Cognitive Homework. Menerapkan teori ABC dalam menghadapi masalah kehidupan
sehari-hari. Menempatkan diri dalam situasi yang berisiko untuk menantang keyakinan
membatasi diri (self -limiting). Menganti pernyataan- diri (self-statement) negatif dengan pesan
yang positif.
Tahap-Tahap Konseling
Menurut Corey (2012), pelaksanaan Konseling Rasional emotif perilaku, terdiri dari tiga
tahapan, yaitu initial stage, working stage dan final stage. Siklus terapi didasarkan atas
formulasi Dobson (2013) dan Ellis (2008), peneliti mengintegrasikan siklus tersebut dalam
tahapan Konseling emotif behavior, yaitu:
Initial Stage
Sesi pertama, bertujuan melakukan assesment sebagai baseline dari kondisi pra-konseling.
Assesment dilakukan, terhadap belive yang ditengarai mempengaruhi Activating event dan
consequence individu (konseli) tersebut, selanjutnya, dilakukan interpretasi dan pengujian belief
atau bisik diri, konseli yang bersifat rasional ataupun irasional.
Menurut Corey (2012), Belief (B) adalah keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri
individu terhadap suatu peristiwa yang mengarah pada respon activating event dan
consequence. Menurut Jose A. Corraliza (2008) belief adalah memiliki peran yang lebih besar
untuk mengubah lingkungan dibanding kebutuhan dan pengetahuan.
Pada sesi ini konselor harus dapat mengidentifikasi masalah secara spesifik, konseli
diperkenankan untuk menceritakan terlebih dahulu hal-hal yang

membuat mereka ingin mengikuti konseling dan masalah yang dialami, diskusi mengenai
harapan konseli membuat mereka lebih santai. Setelah diketahui semua keterkaitan dan
kedalaman dari masing-masing aspek, serta bentuk permasalahanya, konselor merumuskan
tujuan konseling yang akan dilaksanakan.
Working Stage
Setelah perumusan tujuan, dilakukan perencanaan dan perumusan treatment bersama dengan
konseli, serta dilakukan kontrak atau komitmen secara prosedural dan terjadwal. Pada tahap ini,
konseli diajak untuk menjalankan peran aktifnya dalam mengatasi permasalahan, konseli
dibantu untuk yakin bahwa pemikiran dan perasaan negatif tersebut dapat ditantang dan
diubah. Konseli mengeksplorasi ide-ide untuk menentukan tujuan-tujuan rasional. Konselor juga
mendebat pikiran irasional konseli (dispute) dengan menggunakan teknik-teknik konseling untuk
menantang validitas ide tentang diri, orang lain dan lingkungan sekitar.
Final stage
Menurut Corey (2012, p. 359), pada tahap ini pilihan kegiatan yang dilaksanakan oleh konselor
adalah:
1) Memberi dan menerima balikan
2) Memberi kesempatan untuk mempraktikan perilaku baru
3) Belajar lebih lanjut dari pengembangan perencanaan yang spesifik untuk mengaplikasikan
perubahan pada situasi diluar terapi (konseling)
4) Mempersiapkan untuk menghadapi adanya kemungkinan memburuk
5) Mendampingi dalam meninjau pengalaman dan pemaknaan bagi dirinya.
Tahap-tahap Konseling Rasional emotif perilaku seperti divisualkan pada
Gambar 3.

Kerangka Berpikir
Konseling Rasional Emotif Perilaku didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan
potensi pemikiran yang rasional maupun “lurus”, serta pemikiran irrasional atau “melenceng”.
Manusia memiliki predisposisi untuk self- preservation, berbahagia, berpikir, verbalisasi,
mencintai, komunikasi dengan orang lain, dan bertumbuh serta mengaktualisasi diri. Manusia
juga memiliki kecenderungan untuk merusak diri, menghindari pemikiran, penangguhan,
pengulangan kesalahan yang terus dilakukan, takhayul, intolerance, perfeksionisme, dan
menyalahkan diri, dan penghindaran dari aktualisasi potensi diri.
Ellis berasumsi bahwa manusia adalah mahluk yang berbicara pada diri sendiri, mengevaluasi
diri, dan memberikan dukungan pada diri sendiri. Manusia mengembangkan masalah
emosional dan tingkah lakunya apabila membuat kesalahan pilihan sederhana (hasrat untuk
cinta, persetujuan, sukses). Ellis juga menjelaskan bahwa individu memiliki kecenderungan
sejak lahir untuk tumbuh dan beraktualisasi, namun sering menyabotase kemajuannya sendiri
karena pola pengalahan diri yang dipelajari. Kerangka berpikir Konseling Rasional emotif
perilaku seperti divisualkan pada Gambar 4.

Tugas Konselor
Pertama, konselor perlu memperhatikan dan menunjukkan pada konseli bahwa masalah atau kesulitan
yang dihadapinya sangat berhubungan dengan keyakinan yang irasional dan menunjukkan bagaimana
konseli harus mengembangkan nilai dan sikapnya dengan mencoba memberikan wawasan dengan
menunjukkan istilah seperti: should, ought, dan must. Dalam hal ini konseli harus belajar memisahkan
keyakinan yang rasional dengan keyakinan irasional.

Kedua, setelah konseli menyadari keadaan diri yang sebenarnya, bahwa gangguan emosi dalam dirinya
disebabkan oleh sikap, persepsi dan penilaian terhadap dirinya yang tidak rasional maka konselor
menunjukan kepada konseli bahwa berpikir irasional adalah sumber dan gangguan terhadap
kepribadiannya, namun hal tersebut dapat diubah dengan membuat dan mengubah keyakinannya
dengan pandangan-pandangan baru yang logik dan rasional

Ketiga, Konselor mencoba mengarahkan konseli untuk untuk berpikir dan membebaskan ide-ide yang
irasional. Pada langkah ini konselor harus menolong konseli untuk memahami hubungan antara ide-ide
yang merusak dirinya sendiri dan pandangan yang tidak realistik yang membawa ke arah proses
menyalahkan diri sendiri.

Keempat, dalam proses konseling, konselor “menantang” konseli untuk mengembangkan filosofi
hidupnya yang rasional dan mencoba untuk menolak keyakinan-keyakinan irasional (Seligman, 2006).

Tugas Konseli
Proses konseling dapat dipandang sebagai proses redukatif yang mana konseli belajar cara
mengaplikasikan pemikiran logis untuk memecahkannya. Pengalaman yang harus dimiliki
klien/konseli adalah pengalaman masa kini dan di sini (here and now experiences), dan
kemampuan konseli untuk mengubah pola berpikir dan emosinya yang salah.
Pengalaman utama konseli adalah mencapai pemahaman emosional atas sumber-sumber
gangguan yang dialaminya. Pada taraf pertama, konseli menjadi sadar bahwa ada anteseden
tertentu yang menyebabkan timbulnya irrasional belief. Taraf kedua, konseli mengakui
dirinyalah yang sekarang mempertahankan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang
irrasional. Taraf ketiga, konseli berusaha untuk menghadapi secara rasional-emotif,
memikirkannya, dan berusaha menghapus irrational belief dan mengggantinya dengan rational
belief.
Konseli yang telah memiliki keyakinan rasional terjadi peningkatan dalam hal: (1) minat kepada
diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi
terhadap pihak lain, (5) fleksibel, (6) menerima ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu
di luar dirinya, (8) penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima kenyataan.
Situasi Hubungan
Menutur Ellis, kehangatan pribadi, afeksi, dan hubungan pribadi antar konselor dan konseli
yang intens memiliki arti yang sekunder. Bagaimana pun hubungan yang baik antara konseli
dan konselor merupakan sesuatu yang sangat diharapkan. Konselor memainkan peran sebagai
model yang tidak terganggu secara emosional dan yang hidup secara rasional. Konselor juga
menjadi model orang yang berani bagi konseli dalam arti dia secara langsung mengungkapkan
sistem-sistem keyakinan konseli yang irasional tanpa takut kehilangan rasa suka dan
persetujuan dari konseli. Lebih dari itu, konseling REB menekankan toleransi penuh dan
penghormatan tanpa syarat dari terapis terhadap kepribadian konseli dalam arti konselor
menghindari sikap menyalahkan konseli. Sifat-sifat hubungan yang dianggap penting adalah:
1) Pertautan hubungan baik (good rapport)
2) Gaya hubungan dalam REB harus aktif, direktif, dan objektif
3) Hubungan REB menekankan pentingnya dull tolerance, dan uncanditioning positive regard.
4) Secara terus menerus konselor perlu menerima diri konseli sebagai seorang worthwhile
human being (manusia hidup berharkat dan bernilai), karena the client exist bukan karena the
client accomplishments.
Teknik-Teknik Konseling

Konseling REB dalam praktik terapinya memberi arahan adanya langkah konstruktif yang selalu
dipergunakan oleh konselor untuk melakukan perubahan pemikiran irrasional menjadi rasional (Nelson-
Jones, 2001; Parrot III, 2003; Prochaska & Norcross, 2007; Ellis, 2008). Dalam praktiknya, Ellis
merekomendasikan sejumlah teknik yaitu:

Mengajar dan Memberi Informasi. Teknik ini dipandang sebagai tindakan yang mana konselor mengawal
siswa untuk dapat membedakan antara pemikiran rasional dan pemikiran irrasional dan memahami asal
muasal terjadinya masalah. Melalui teknik ini, konselor (dengan berbagai metode) mengajar siswa (1)
membebaskan diri dari pandangan yang irasional sehingga mereka dapat menentukan pilihan tingkah
laku yang efektif dan terhindar dari adanya ancaman, (2) menemukan cara-cara atau tindakan-tindakan
yang lebih tepat untuk merespon keadaan (realitas) sehingga siswa tidak terganggu oleh adanya realita
yang dihadapi. Isi informasi yang diajarkan oleh konselor adalah dinamika konsep

A-B-C-D-E yang dikaitkan dengan realitas yang dihadapi siswa, sehingga pemecahan masalah dan
pemilihan tingkah laku efektif yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman konselor dan anggota
dalam kelas dapat terjadi. Proses ini secara ekplisit dikenal sebagai proses “E” (experiencing).

Mendiskusikan Masalah. Diskusi dalam konseling kelompok REBT diarahkan dengan memanfaatkan
pengalaman kelompok untuk mendukung informasi konselor. Para anggota kelompok yang rasional
cenderung akan memahami dan menjadikan informasi konselor sebagai bagian pengalaman dan
dipandang sebagai sumber pemecahan masalah dan pemilihan tingkah laku yang efektif. Semua ini
selanjutkan akan mereka kembangkan dengan mengungkap pengalaman-pengalaman anggota
kelompok secara simultan yang dalam bahasan ini secara jelas disebut sebagai proses experiencing.

Mempropagandakan Berpikir Ilmiah. Ciri berpikir ilmiah adalah adanya obyek yang jelas sistematis dan
metodis. Obyek yang jelas ditandai oleh adanya realitas yang dihadapi oleh siswa; sistematis dalam arti
proses pemahaman dan obyek realistis dari pengalaman masing-masing anggota siswa terungkap secara
berurutan berada pada posisi sinergis. Dalam seting ini, konselor juga mendorong siswa untuk menguji
pandangannya dengan cara meninjau sebab-sebab realita emosi yang terjadi pada dirinya, akibat-akibat
yang terjadi dan mungkin terjadi. Cara pandang yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah menjadi
sangat penting dalam seting ini. Diantara beberapa prinsip ilmiah, ada beberapa yang dapat
dikemukakan: mendasarkan pikiran dalam bentuk mengemukakan beberapa proposisi atau rumusan-
rumusan logis, (2) menguji rumusan logis ke dalam suatu kerangka berpikir yang melibatkan
pengalaman (diri sendiri atau orang lain) dan membuat prediksi-prediksi logis. Dalam prosesnya, seting
ini dapat terjadi perubahan-perubahan sistem keyakinan magis siswa, (Ellis, 1973) yang secara sistematis
timbul oleh karena keaktifan konselor, didaktif dan filosofis yang memancing tindakan nyata siswa di
waktu-waktu luar sekolah.

Mengkonfrontasikan dan Menantang. Setelah proses berpikir ilmiah berjalan dengan efektif, selanjutnya
siswa diharapkan dapat menantang dan menghadapi pemikiran irrasional. Itu dapat lebih efektif jika
siswa dapat menyadari sepenuhnya bahwa pemikiran irrasional yang selama ini ia pertahankan justru
akan merusak diri dan masa depannya, serta mereka berani mengemukakan beberapa jalan pikiran yang
benar, terhindar dari cara pandang irrasional serta dapat mengemukakan kemungkinan jalan berpikir
yang benar.

Modeling. Pemodelan atau modeling adalah metode untuk menghasilkan perilaku baru (Gazda, 1989, p.
93), atau prosedur dengan mana orang dapat belajar perilaku yang diharapkan melalui pengamatan
terhadap perilaku orang lain (Cormier dan Cormier,1985). Modeling efektif untuk mengarahkan
partisipan

untuk menata dirinya sendiri dengan cara melihat karakter atau kepribadian seseorang yang kemudian
dapat dimengerti oleh partisipan dan dipedomani sebagai sumber arah diri (Ellis, 2008).

Teknik-Teknik Emotif

Assertive Adaptive. Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan konseli untuk
secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang
diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri konseli.

Bermain Peran (role playing). Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan
(perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga konseli
dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.

Imitasi. Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan
maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.

Teknik-teknik Behavioristik

Reinforcement. Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional
pada konseli dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dengan memberikan reward ataupun
punishment, maka konseli akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.

Social Modeling. Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada konseli. Teknik ini
dilakukan agar konseli dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi
(meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam
sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.

Teknik-teknik Kognitif
Home Work Assigments. Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas- tugas rumah untuk melatih,
membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang
diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, konseli diharapkan dapat mengurangi atau
menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-
bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan
latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan home work assigment yang
diberikan konselor dilaporkan oleh konseli dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik
ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab,

kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri konseli dan
mengurangi ketergantungannya kepada konselor.

Latihan Assertive. Teknik untuk melatih keberanian konseli dalam mengekspresikan tingkah laku-tingkah
laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial. Maksud
utama teknik latihan asertif adalah: (a) mendorong kemampuan konseli mengekspresikan berbagai hal
yang berhubungan dengan emosinya; (b) membangkitkan kemampuan konseli dalam mengungkapkan
hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain; (c) mendorong konseli untuk
meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri; dan (d) meningkatkan kemampuan untuk memilih
tingkah laku-tingkah laku asertif yang cocok untuk diri sendiri.

Disputing Irrational Beliefs. Jika saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan, hal itu bukanlah
merupakan akhir dunia/kehidupan.

Doing Cognitive Homework. Menerapkan teori ABC dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari.
Menempatkan diri dalam situasi yang berisiko untuk menantang keyakinan membatasi diri (self -
limiting). Menganti pernyataan- diri (self-statement) negatif dengan pesan yang positif.

Tahap-Tahap Konseling

Menurut Corey (2012), pelaksanaan Konseling Rasional emotif perilaku, terdiri dari tiga tahapan, yaitu
initial stage, working stage dan final stage. Siklus terapi didasarkan atas formulasi Dobson (2013) dan
Ellis (2008), peneliti mengintegrasikan siklus tersebut dalam tahapan Konseling emotif behavior, yaitu:

Initial Stage

Sesi pertama, bertujuan melakukan assesment sebagai baseline dari kondisi pra-konseling. Assesment
dilakukan, terhadap belive yang ditengarai mempengaruhi Activating event dan consequence individu
(konseli) tersebut, selanjutnya, dilakukan interpretasi dan pengujian belief atau bisik diri, konseli yang
bersifat rasional ataupun irasional.

Menurut Corey (2012), Belief (B) adalah keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu
terhadap suatu peristiwa yang mengarah pada respon activating event dan consequence. Menurut Jose
A. Corraliza (2008) belief adalah memiliki peran yang lebih besar untuk mengubah lingkungan dibanding
kebutuhan dan pengetahuan.
Pada sesi ini konselor harus dapat mengidentifikasi masalah secara spesifik, konseli diperkenankan
untuk menceritakan terlebih dahulu hal-hal yang

membuat mereka ingin mengikuti konseling dan masalah yang dialami, diskusi mengenai harapan
konseli membuat mereka lebih santai. Setelah diketahui semua keterkaitan dan kedalaman dari masing-
masing aspek, serta bentuk permasalahanya, konselor merumuskan tujuan konseling yang akan
dilaksanakan.

Working Stage

Setelah perumusan tujuan, dilakukan perencanaan dan perumusan treatment bersama dengan konseli,
serta dilakukan kontrak atau komitmen secara prosedural dan terjadwal. Pada tahap ini, konseli diajak
untuk menjalankan peran aktifnya dalam mengatasi permasalahan, konseli dibantu untuk yakin bahwa
pemikiran dan perasaan negatif tersebut dapat ditantang dan diubah. Konseli mengeksplorasi ide-ide
untuk menentukan tujuan-tujuan rasional. Konselor juga mendebat pikiran irasional konseli (dispute)
dengan menggunakan teknik-teknik konseling untuk menantang validitas ide tentang diri, orang lain dan
lingkungan sekitar.

Final stage

Menurut Corey (2012, p. 359), pada tahap ini pilihan kegiatan yang dilaksanakan oleh konselor adalah:

1) Memberi dan menerima balikan

2) Memberi kesempatan untuk mempraktikan perilaku baru

3) Belajar lebih lanjut dari pengembangan perencanaan yang spesifik untuk mengaplikasikan perubahan
pada situasi diluar terapi (konseling)

4) Mempersiapkan untuk menghadapi adanya kemungkinan memburuk

5) Mendampingi dalam meninjau pengalaman dan pemaknaan bagi dirinya.

Tahap-tahap Konseling Rasional emotif perilaku seperti divisualkan pada

Konseling Client Center

Pengertian konseling menurut para ahli :

        Menurut Division of Conseling Psychology dalam Prayitno, 2004, konseling merupakan suatu proses
untuk membantu individu menghadapi hambatan-hambatan perkembangan dirinya, dan untuk
mencapai perkembangan optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya, proses tersebut dapat terjadi
setiap waktu.
        Menurut Maclean, dalam Shertzer dan Stone, 1974 yang ditulis kembali dalam Prayitno, 2004,
konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan tatap muka antara seorang individu yang
terganggu oleh karena masalah-masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja
yang professional, yaitu orang yang telah terlatih dan berpengalaman dengan membantu orang lain
mencapai pemecahan-pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi.

        Menurut Mc. Daniel dalam eko13.wordpress.com, konseling adalah suatu pertemuan langsung
dengan individu yang ditujukan dalam pemberian bantuan kepadanya untuk dapat menyesuaikan
dirinya secara lebih efektif dengan dirinya sendiri dan lingkungan.

Terapi Client Centered dipelopori oleh Carl R . Rogers sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya
sebagai keterbatasan-keterbatasan mendasart dari psikoanalisis;

         Pada hakikatnya pendekatan Client Centered merupakan cabang khusus dari terapi Humanistik


yang menggaris bawahi tindakan mengalami klien berikut duni subjektif dan fenomenalnya.

         Individu memiliki kapasitas untuk membimbing, mengatur, mengarahkan, dan mengendalikan


dirinya sendiri apabila ia diberikan kondisi tertentu yang mendukung

         Individu memiliki potensi untuk memahami apa yang terjadi dalam hidupnya yang terkait dengan
tekanan dan kecemasan yang ia rasakan.

         Individu memiliki potensi untuk mengatur ulang dirinya sedemikian rupa sehingga tidak hanya
untuk menghilangkan tekanan dan kecemasan yang ia rasakan, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan
diri dan mencapai kebahagiaan.

4.      Tujuan Konseling Client Centered

Terdapat beberapa tujuan pendekatan terapi Client Centered yaitu sebagai berikut :

a.       Keterbukaan pada Pengalaman

Sebagai lawan dari kebertahanan, keterbukaan pada pengalamam menyiratkan menjadi lebih sadar
terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya.

b.      KepercayaanpadaOrganismeSendiri

Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri.
Dengan meningknya keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen
kepada dirinya sendiri pun muali timbul.

c.       Tempat Evaluasi Internal


Tempat evaluasi internal ini berkaitan dengan kepercayaan diri, yang berarti lebih banyak mencari
jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh
perhatian pada pusat dirinya dari pada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia
mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari dirinya sendiri. Dia
menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat
putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.

d.      Kesediaan untuk menjadi Satu Proses.

Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian merupakan lawan dari konsep diri sebagai produk.
Walaupun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula guna membangun keadaan
berhasil dan berbahagia, tapi mereka menjadi sadar bahwa peretumbuhan adalah suatu proses yang
berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan
kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa
revisi.

e.       Menciptakan suasana yang kondusif bagi klien untuk mengeksplorasi diri sehingga dapat mengenal
hambatan pertumbuhannya.

f.       Membantu klien agar dapat bergerak ke arah keterbukaan, kepercayaanyang lebih besar kepada
dirinya,keinginan untuk menjadi pribadi yang mandiri dan meningkatkan spontanitas hidupnya.

g.      Menyediakan iklim yang aman dan percaya dalam pengaturan konseling sedemikian sehingga
konseli, dengan menggunakan hubungan konseling untuk self-exploration, menjadi sadar akan
blok/hambatan ke pertumbuhan.

h.      Konseli cenderung untuk bergerak ke arah lebih terbuka, kepercayaan diri lebih besar, lebih sedia
untuk meningkatkan diri sebagai lawan menjadi mandeg, dan lebih hidup dari standard internal sebagai
lawan mengambil ukuran eksternal untuk apa ia perlu menjadi.

i.        Mampu memandirikan klien untuk mengatasi permasalahannya, serta membantu klien untuk
mencapai perkembangan yang optimal dalam hidupnya.

5.      Karakteristik Konseling Client Centered

 Berikut ini uraian ciri-ciri pendektan Client Centered dari Rogers :


a.       Client dapat bertanggungjawab, memiliki kesanggupan dalam memecahkan masalah dan memilih
perliku yang dianggap pantas bagi dirinya.

b.      Menekankan dunia fenomenal client. Dengan empati dan pemahaman  terhadap client, terapis
memfokuskan pada persepsi diri client dan persepsi client terhadap dunia.

c.       Prinsip-prinsip psikoterapi berdasarkana bahwa hasrat kematangan psikologis manusia itu berakar
pada manusia sendiri. Maka psikoterapi itu bersifat konstrukstif dimana dampak psikoteraputik terjadi
karena hubungan konselor dan client. Karena hal ini tidak dapat dilakukan sendirian (client).

d.      Efektifitas teraputik didasarkan pada sifat-sifat ketulusan, kehangatan, penerimaan nonposesif dan
empati yang akurat.

e.       Pendekatan ini bukanlah suatu sekumpulan teknik ataupun dogma. Tetapi berakar pada
sekumpulan sikap dan kepercayaan dimana dalam proses terapi, terapis dan client memperlihatkan
kemanusiawiannya dan partisipasi dalam pengalaman pertumbunhan. Client dapat bertanggungjawab,
memiliki kesanggupan dalam memecahkan masalah dan memilih perliku yang dianggap pantas bagi
dirinya.

6.      Peran dan Fungsi Konselor

Peran : Konselor berperan hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi yang memungkinkan klien
untuk bisa berkembang sendiri. Dalam proses konseling, peran konselor yaitu mempertahankan 3
kondisi inti yaitu menunjukkan sikap yang selaras dan keaslian, penerimaan tanpa syarat, dan
pemahaman empati yang tepat menghadirkan. Ketiga kondisi inti tersebut menghadirkan iklim kondusif
untuk mendorong terjadinya perubahan terapeutik dan perkembangan konseli. Jadi, konselor berperan
membantu klien dalam merefleksikan perasaan-perasaannya.

Fungsi : konselor berfungsi dalam membantu klien mengungkap dan menemukan pemecahan masalah
oleh dirinya sendiri. Dalam konseling non-direktif ada beberapa fungsi yang perlu dipenuhi oleh seorang
konselor. Fungsi yang dimaksud, sebagai berikut :

a.       Menciptakan hubungan yang bersifat permisif.

Menciptakan hubungan yang bersifat permisif, penuh pengertian, penuh penerimaan, kehangatan,
terhindar dari segala bentuk ketegangan, tanpa memberikan penilaian baik positif maupun negatif.
Dengan terciptanya hubungan yang demikian itu, secara langsung dapat melupakan ketegangan-
ketegangan, perasaan-perasaan, dan mempertahankan diri klien. Menciptakan hubungan permisif
bukan saja secara verbal tetapi juga secara nonverbal.

b.      Mendorong pertumbuhan pribadi

Dalam konseling non-direktif fungsi konselor bukan saja membantu klien untuk melepaskan diri dari
masalah-masalah yang dihadapinya, tetapi lebih dari itu adalah berfungsi untuk menumbuhkan
perubahan-perubahab yang fudamental (terutama perubahan sikap). Jadi, proses hubungan konseling di
sini adalah proses untuk membantu pertumbuhan dan pengembangan pribadi klien.

c.       Mendorong kemampuan memecahkan masalah.

Dalam konseling non-direktif, konselor berfungsi dalam membantu klien agar ia mengambangkan
kemampuan untuk memecahkan masalah. Jadi, dengan demikian salah satu potensi yang perli
dikembangkan atau diaktualisasikan diri klien adalah potensi untuk memecahkan masalahnya sendiri

7.      Hubungan Konselor dengan Klien

Konsep hubungan antara terapis dan client dalam pendekatan ini ditegaskan oleh pernyataan Rogers
(1961) “jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka orang lain akan menemukan dalam dirinya
sendiri kesanggupan menggunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, sehingga
perkembangan peribadipun akan terjadi. Ada enam kondisi yang diperlukan dan memadahi bagi
perubahan kepribadian :

a.       Dua orang berada dalam hubungan psikologis.

b.      Orang pertama disebut client, ada dalam keadaan tidak selaras, peka dan cemas.

c.       Orang kedua disebut terapis, ada dalam keadaan selaras atau terintegrasi dalam berhubungan.

d.      Terapis merasakan perhatian positif tak bersyarat terhadap client.

e.       terapis merasakan pengertian yang empatikterhadap kerangka acuan internal client dan berusaha
mengkomunikasikan perasaannya ini kepad terapis.

f.       Komunikasi pengertian empatik dan rasa hormat yang positif tak bersyarat dari terapis kepada
client setidak-tidaknya dapat dicapai.

Ada tiga ciri atau sikap terapis yang membentuk bagian tengan hubungan teraputik :

Pertama, Keselarasana/kesejatian. Konsep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah bagaimana terapis
tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terinytgrasi selama pertemuan terapi. Terapis bersikap
secara spontan dan terbuka menyatakan sikap-sikap yang ada pada dirinya baik yang positif maupun
negatif. Terapis tidak diperkenankan terlibat secara emosional dan berbagi perasaan-perasaan secara
impulsive terhadap  client. Hal ini dapat menghambat proses terapi. Jelas bahwa pendekatan client
centered berasumsi bahwa jika terapi selaras/menunjukkan kesejatiannya dalam berhubungan dengan
client maka proses teraputic bisa berlangsung.

Kedua, Perhatian positif tak bersayarat. Perhatian tak bersayarat itu tidak dicampuri oleh evaluasi atau
penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku client sebagai hal yang buruk atau baik.
Perhatian tak bersyarat bkan sikap “Saya mau menerima asalkan…..melainkan “Saya menerima anda apa
adanya”. Perhatian tak bersyarat itu seperti continuum. Semakin besar derajat kesukaan, perhatian dan
penerimaan hangat terhadap client, maka semakin besar pula peluang untuk menunjung perubahan
pada client.

Ketiga, Pengertian empatik yang akurat. Pada bagian ini merupakan hal yang sangat krusial, dimana
terapis benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna
mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif dari client. Konsep ini menyiratkan terapis memahami
perasaan-perasaan client yang seakan-akan perasaanya sendiri. Tugas yang makin rumit adalah
memahami perasaan client yang samar dan memberikan makna yang makin jelas. Tugas terapis adalah
membantu kesadaran client terhadap perasaan-perasaan yang dialami. Regers percaya bahwa apabila
terapis mampu menjangkau dunia pribadi client sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan
oleh client, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari client, maka perubahan yang
konstruktif akan terjadi.

Tahap – tahap Konseling

Proses-proses yang terjadi dalam konseling dengan menggunakan pendekatan Client Centered adalah
sebagai berikut :

a.       Konseling memusatkan pada pengalaman individual.

b.      Konseling berupaya meminimalisir rasa diri terancam, dan memaksimalkan dan serta menopang
eksplorasi diri. Perubahan perilaku datang melalui pemanfaatan potensi individu untuk menilai
pengalamannya, membuatnya untuk memperjelas dan mendapat tilikan pearasaan yang mengarah pada
pertumbuhan.

c.       Melalui penerimaan terhadap klien, konselor membantu untuk menyatakan, mengkaji dan
memadukan pengalaman-pengalaman sebelunya ke dalam konsep diri.

d.      Dengan redefinisi, pengalaman, individu mencapai penerimaan diri dan menerima orang lain dan
menjadi orang yang berkembang penuh.

e.       Wawancara merupakan alat utama dalam konseling untuk menumbuhkan hubungan timbal balik.
9.      Teknik – teknik Konseling

Teknik-teknik dalam pendekatan ini antara lain adalah :

a.       acceptance (penerimaan)

b.      respect (rasa hormat)

c.       understanding (pemahaman)

d.      reassurance (menentramkan hati)

e.       encouragementlimited questioning(pertanyaan terbatas

f.       reflection (memantulkan pernyataan dan perasaan)

Melalui penggunaan teknik-teknik tersebut diharapkan konseli dapat (1) memahami dan menerima diri
dan lingkungannya dengan baik; (2) mengambil keputusan yang tepat; (3) mengarahkan diri; (4)
mewujudkan dirinya

10.  Kelebihan dan Keterbatasan

Kelebihan

1.Pemusatanpadakliendanbukanpadakonselordalamkonseling

2.Iddentifikasidanpnekananhubungankonslingsebagaiwahanautamadalammengubahkepribadian

3.Lebihmenekankanpadasikapkonselordaripadateknik

4.Penekananemosi, perasaandanafektifalamkonseling

Keterbatasan

1.Sulitbagikonseloruntukbenar-benarbersifatnetraldalamsituasihubungan interpersonal

2.Tujuanuntuksetiapklienyaituuntukmemeksimalkandiri ,dirasaterlaluluas ,umumdanlonggarsehinggasuli


tuntukmenilaiindividu
3.Terlalumenekankanpadaaspekafektif,emosionl,perasaansebagaipenentuperilaku,
tetapimelupakanfaktorintelektif,kognitifdanrasional

4. Tujuanseharusnyaditetepkanolehklientapikadangkadangdibuattergantungkonselordanklien

1.      Pendekatan Konseling Analisis Transaksional

Transaksional maksudnya ialah hubungan komunikasi antara seseorang dengan orang lain. Adapun hal
yang dianalisis yaitu meliputi bagaimana bentuk cara dan isi dari komunikasi mereka. Dari hasil analisis
dapat ditarik kesimpulan apakah transaksi yang terjadi berlangsung secara tepat, benar dan wajar.
Bentuk, cara dan isi komunikasi dapat menggambarkan apakah seseorang tersebut sedang mengalami
masalah atau tidak.

Konseling analisis transaksional merupakan pendekatan konseling yang tergolong berorientasi kognitif.
Sebagai suatu pendekatan konseling, analisis transaksional memiliki karakteristik antara lain:

·         Konseling analisis transaksional lebih menitik beratkan perhatiannya pada faktor insight dan
pemahaman dalam membantu klien mencapai perubahan tingkah lakunya.

·         Proses konseling analisis transaksional bersifat aktif, direktif dan didaktif. Dalam hal ini konseling
merupakan proses belajar mengajar dimana konselor sebagai pembelajar dan klien sebagai pelajar.
Dalam proses tersebu konselor aktf mengajukan pertanyaan- pertanyaan tentang diri klin dan
interaksinya dengan orang lain, disamping itu ia mengarahkan proses tersebut agar tujuan yang telah
disepakati tercapai.
·         Konseling analisis transaksional pada dasarnya merupakan pendekatan yang dapat digunakan
dalam konseling individual akan tetapi sangat cocok untuk konseling kelompok.

·         Konseling analisis transaksional menekankan pentingnya kontrak dalam proses konseling, yaitu
kesepakatan antara konselor dengan klien yang mencerminkan adanya persamaan hak dan kewajiban
antara keduanya dalam mengelola proses konseling untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Tujuan utama dari terapi analisis transaksional dalam Sayekti Pujosuwarno (1993:27) adalah :

a)      Membantu klien untuk membuat keputusan-keputusan baru dalam mengarahkan atau mengubah
tingkah laku dalam kehidupannya.

b)      Memberikan kepada klien suatu kesadaran serta kebebasan untuk memilih cara-cara serta
keputusan-keputusan mengenai posisi kehidupannya serta menghindarkan klien dari cara-cara yang
bersifat deterministic.

c)      Memberikan bantuan kepada klien berupa kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipilih untuk
memantapkan dan mematangkan status egonya.

Di dalam analisis transaksional konselor berperan sebagai : membantu klien menemukan kemampuan
diri untuk berubah dengan membuat keputusan saat sekarang., membantu klien memperoleh alat yang
digunakan untuk mencapai perubahan, mendorong dan mengajar klien mendasarkan diri pada Status
Ego Dewasa-nya sendiri dari pada Status Ego Dewasa konselor, menciptakan lingkungan yang
memungkinkan klien dapat membuat keputusan-keputusan baru dalam hidupnya dan keluar dari
rencana kehidupan yang menghambat perkembangannya

BAB IV

Anda mungkin juga menyukai