Anda di halaman 1dari 70

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Kecemasan

1. Definisi Kecemasan

Pada dasarnya kecemasan adalah kondisi psikologis seseorang yang penuh

dengan rasa takut dan khawatir, dimana perasaan takut dan khawatir akan sesuatu

hal yang belum pasti akan terjadi. Kecemasan berasal dari bahasa Latin (anxius)

dan dari bahasa Jerman (anst), yaitu suatu kata yang digunakan untuk

menggambarkan efek negatif dan rangsangan fisiologis (Muyasaroh et al. 2020).

Menurut American Psychological Association (APA) dalam (Muyasaroh et al.

2020), kecemasan merupakan keadaan emosi yang muncul saat individu sedang

stress, dan ditandai oleh perasaan tegang, pikiran yang membuat individu merasa

khawatir dan disertai respon fisik (jantung berdetak kencang, naiknya tekanan

darah, dan lain sebagainya).

Berdasarkan pendapat dari (Gunarso, n.d, 2008) dalam (Wahyudi, Bahri,

and Handayani 2019), kecemasan atau anxietas adalah rasa khawatir, takut yang

tidak jelas sebabnya. Pengaruh kecemasan terhadap tercapainya kedewasaan,

merupakan masalah penting dalam perkembangan kepribadian. Kecemasan

merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakan. Baik tingkah laku normal

maupun tingkah laku yang menyimpang, yang terganggu, kedua-duanya

merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan terhadap

kecemasan itu. Jelaslah bahwa pada gangguan emosi dan gangguan tingkah laku,

kecemasan merupakan masalah pelik.


Menurut Kholil Lur Rochman ( 2010 : 104) dalam (Sari 2020), kecemasan

merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang

menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu

masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada

umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai

perubahan fisiologis dan psikologis. Anxiety atau kecemasan merupakan

pengalaman yang bersifat subjektif, tidak menyenangkan, menakutkan dan

mengkhawatirkan akan adanya kemungkinan bahaya atau ancaman bahaya dan

seringkali disertai oleh gejala-gejala atau reaksi fisik tertentu akibat peningkatan

aktifitas otonomik. (Suwanto 2015).

Selain itu menurut pendapat dari (Sumirta et al. 2019) dalam penelitian yang

berjudul “Intervensi Kognitif Terhadap Kecemasan Remaja Paska Erupsi Gunung

Agung”, mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan ketegangan, rasa tidak

aman, dan kekhawatiran yang timbul karena akan terjadi sesuatu yang tidak

menyenangkan, tetapi sebagian besar sumber penyebab tidak diketahui dan

manifestasi kecemasan dapat melibatkan somatik dan psikologis.

Kecemasan menurut (Hawari, 2002) adalah gangguan alam perasaan yang

ditandai dengan kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tetapi belum

mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh dan

perilaku dapat terganggu, tetapi masih dalam batas-batas normal (Candra et al.

2017).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa

kecemasan merupakan suatu perasaan takut dan khawatir yang bersifat lama pada
sesuatu yang tidak jelas (subjektif) atau belum pasti akan terjadi dan berhubungan

dengan perasaan yang tidak menentu dan tidak berdaya.

2. Tingkatan Kecemasan

Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu, Menurut

Peplau, dalam (Muyasaroh et al. 2020) mengidentifikasi empat tingkatan

kecemasan, yaitu :

a. Kecemasan Ringan

Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Kecemasan ini

dapat memotivasi belajar menghasilkan pertumbuhan serta kreatifitas. Tanda dan

gejala antara lain: persepsi dan perhatian meningkat, waspada, sadar akan

stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah secara efektif serta

terjadi kemampuan belajar. Perubahan fisiologi ditandai dengan gelisah, sulit

tidur, hipersensitif terhadap suara, tanda vital dan pupil normal.

b. Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang

penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu mengalami perhatian

yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Respon

fisiologi

: sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, gelisah,

konstipasi. Sedangkan respon kognitif yaitu lahan persepsi menyempit,

rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi

perhatiaannya.

c. Kecemasan Berat

Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu

cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak
dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi
ketegangan. Tanda dan gejala dari kecemasan berat yaitu : persepsinya sangat

kurang, berfokus pada hal yang detail, rentang perhatian sangat terbatas, tidak

dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, serta tidak dapat belajar secara

efektif. Pada tingkatan ini individu mengalami sakit kepala, pusing, mual,

gemetar, insomnia, palpitasi, takikardi, hiperventilasi, sering buang air kecil

maupun besar, dan diare. Secara emosi individu mengalami ketakutan serta

seluruh perhatian terfokus pada dirinya.

d. Panik

Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah,

ketakutan, dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang

mengalami panik tidak dapat melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.

Panik menyebabkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan

berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, kehilangan

pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika

berlangsung lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Tanda

dan gejala dari tingkat panik yaitu tidak dapat fokus pada suatu kejadian.

3. Faktor-Faktor Penyebab Kecemasan

Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian besar

tergantung pada seluruh pengalaman hidup seseorang. Peristiwa - peristiwa atau

situasi khusus dapat mempercepat munculnya serangan kecemasan. Menurut

Savitri Ramaiah (2003) dalam (Muyasaroh et al. 2020) ada beberapa faktor yang

menunujukkan reaksi kecemasan, diantaranya yaitu :

a. Lingkungan
Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir individu

tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya

pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat,

ataupun dengan rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak aman

terhadap lingkungannya.

b. Emosi Yang Ditekan

Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar

untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal ini, terutama jika dirinya

menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang sangat lama.

c. Sebab - Sebab Fisik

Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan

timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi seperti misalnya kehamilan

semasa remaja dan sewaktu terkena suatu penyakit. Selama ditimpa kondisi-

kondisi ini, perubahan-perubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat

menyebabkan timbulnya kecemasan.

Menurut (Patotisuro Lumban Gaol, 2004) dalam (Muyasaroh et al. 2020),

kecemasan timbul karena adanya ancaman atau bahaya yang tidak nyata dan

sewaktu-waktu terjadi pada diri individu serta adanya penolakan dari masyarakat

menyebabkan kecemasan berada di lingkungan yang baru dihadapi.

Sedangkan, menurut Blacburn & Davidson dalam (Ifdil and Anissa 2016),

menjelaskan faktor-faktor yang menimbulkan kecemasan, seperti pengetahuan

yang dimiliki seseorang mengenai situasi yang sedang dirasakannya, apakah

situasi tersebut mengancam atau tidak memberikan ancaman, serta adanya

pengetahuan
mengenai kemampuan diri untuk mengendalikan dirinya (seperti keadaan emosi

serta fokus ke permasalahannya).

4. Faktor-Faktor Penyebab Kecemasan Saat Pandemi Covid-19

Menurut dokter spesialis kesehatan jiwa yakni dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ. dalam

(Suminar 2020), kecemasan itu akibat ketidaktahuan dalam menghadapi sesuatu

yang baru (dalam hal ini: virus Corona). Covid-19 menimbulkan berbagai macam

reaksi bersamaan dengan kemunculannya, karena banyak hal baru yang


sebenarnya
tidak pernah terpikirkan dan itu menimbulkan kecemasan tersendiri. Menurut dr.

Jiemi masalah tersebut muncul karena terjadinya perubahan sistem secara tiba-tiba

akibat merebaknya virus Corona sehingga orang harus menyesuaikan secara

mendadak terhadap perubahan pola, yakni dari kondisi normal menjadi


kecemasan.
Kecemasan tersebut merupakan akibat dari beberapa hal berikut ini :

a. Isolasi Sosial, Kurangnya Interaksi, Gerakan Fisik Yang Terbatas

Jika emosi tersebut mengambil alih pikiran, perasaan dan perilaku hingga

merasakan penderitaan dan ketidakmampuan melakukan fungsi keseharian, maka

mungkin itu bisa menjadi tanda terjadi gangguan mental dan perlu mendapatkan

bantuan.

b. Faktor Psikologi

Seperti pola stresor yang berubah dan cara menghadapi stresor, gaya

berpikir seseorang, dan kemampuannya dalam beradaptasi serta faktor sosial

seperti sistem pendukung orang-orang dekat yang berada di sekitar.


5. Tanda dan Gejala Kecemasan

Menurut Jeffrey S. Nevid, dkk (2005: 164) dalam (Ifdil and Anissa 2016)

ada beberapa tanda-tanda kecemasan, yaitu :

a. Tanda-Tanda Fisik Kecemasan,

Tanda fisik kecemasan diantaranya yaitu : kegelisahan, kegugupan,, tangan

atau anggota tubuh yang bergetar atau gemetar, sensasi dari pita ketat yang

mengikat di sekitar dahi, kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dada,

banyak berkeringat, telapak tangan yang berkeringat, pening atau pingsan, mulut

atau kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit bernafas, bernafas pendek,

jantung yang berdebar keras atau berdetak kencang, suara yang bergetar, jari-jari

atau anggota tubuh yang menjadi dingin, pusing, merasa lemas atau mati rasa,

sulit menelan, kerongkongan merasa tersekat, leher atau punggung terasa kaku,

sensasi seperti tercekik atau tertahan, tangan yang dingin dan lembab, terdapat

gangguan sakit perut atau mual, panas dingin, sering buang air kecil, wajah terasa

memerah, diare, dan merasa sensitif atau “mudah marah”.

b. Tanda-Tanda Behavioral Kecemasan,


Tanda-tanda behavorial kecemasan diantaranya yaitu : perilaku menghindar,

perilaku melekat dan dependen, dan perilaku terguncang.

c. Tanda-Tanda Kognitif Kecemasan

Tanda-tanda kognitif kecemasan diantaranya : khawatir tentang sesuatu,

perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di

masa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi (tanpa

ada penjelasan yang jelas), terpaku pada sensasi ketubuhan, sangat waspada

terhadap sensasi ketubuhan, merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang

normalnya hanya sedikit atau tidak mendapat perhatian, ketakutan akan


kehilangan
kontrol, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, berpikir

bahwa dunia mengalami keruntuhan, berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa

dikendalikan, berpikir bahwa semuanya terasa sangat membingungkan tanpa bisa

diatasi, khawatir terhadap hal-hal yang sepele, berpikir tentang hal mengganggu

yang sama secara berulang-ulang, berpikir bahwa harus bisa kabur dari keramaian

(kalau tidak pasti akan pingsan), pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan,

tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu, berpikir akan segera mati

(meskipun dokter tidak menemukan sesuatu yang salah secara medis), khawatir

akan ditinggal sendirian, dan sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran.

Menurut Dadang Hawari (2006: 65-66) dalam (Ifdil and Anissa 2016),

mengemukakan gejala kecemasan diantaranya yaitu :

a. Cemas, khawatir, tidak tenang, ragu dan bimbang

b. Memandang masa depan dengan rasa was-was (khawatir)

c. Kurang percaya diri, gugup apabila tampil di muka umum (demam


panggung)

d. Sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain

e. Tidak mudah mengalah

f. Gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, gelisah

g. Sering mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir berlebihan

terhadap penyakit

h. Mudah tersinggung, membesar-besarkan masalah yang kecil (dramatisasi)

i. Dalam mengambil keputusan sering diliputi rasa bimbang dan ragu

j. Bila mengemukakan sesuatu atau bertanya seringkali diulang-ulang

k. Apabila sedang emosi sering kali bertindak histeris.


6. Dampak Kecemasan

Ketakutan, kekhawatiran dan kegelisahan yang tidak beralasan pada

akhirnya menghadirkan kecemasan, dan kecemasan ini tentu akan berdampak

pada perubahan perilaku seperti, menarik diri dari lingkungan, sulit fokus dalam

beraktivitas, susah makan, mudah tersinggung, rendahnya pengendalian emosi

amarah, sensitive, tidak logis, susah tidur. (Jarnawi 2020).

Menurut Yustinus (2006) dalam (Arifiati and Wahyuni 2019), membagi

beberapa dampak dari kecemasan ke dalam beberapa simtom, antara lain :

a. Simtom Suasana Hati

Individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya

hukuman dan bencana yang mengancam dari suatu sumber tertentu yang tidak

diketahui. Orang yang mengalami kecemasan tidak bisa tidur, dan dengan

demikian dapat menyebabkan sifat mudah marah.

b. Simtom Kognitif

Simtom kognitif yaitu kecemasan dapat menyebabkan kekhawatiran dan

keprihatinan pada individu mengenai hal yang tidak menyenangkan yang mungkin

terjadi. Individu tersebut tidak memperhatikan masalah yang ada, sehingga

individu sering tidak bekerja atau belajar secara efektif, dan akhirnya akan

menjadi lebih merasa cemas.

c. Simtom Motor

Orang-orang yang mengalami kecemasan sering merasa tidak tenang,

gugup, kegiatan motorik menjadi tanpa arti dan tujuan, misalnya jari kaki

mengetuk- ngetuk, dan sangat kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba.

Simtom motor merupakan gambaran rangsangan kognitif yang tinggi pada

individu dan
merupakan usaha untuk melindungi dirinya dari apa saja yang dirasanya

mengancam.

7. Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A)

Beberapa skala penelitian dikembangkan untuk melihat seberapa besar

tingkat kecemasan seseorang, salah satunya yaitu Hamilton Anxiety Rating Scale

(HARS), pertama kali dikembangkan oleh Max Hamilton pada tahun 1956. HARS

menggunakan serangkaian pertanyaan dengan jawaban yang harus diisi oleh

pasien sesuai dengan kondisi yang dirasakan oleh pasien tersebut. Jawaban yang

diberikan merupakan skala (angka) 0, 1, 2, 3, atau 4 yang menunjukan tingkat

gangguan dan setelah pasien menjawab sesuai apa yang dirasakannya, maka

hasilnya dapat dihitung dengan menjumlahkan total skor yang didapat dari setiap

soal (pernyataan) (Wahyudi et al. 2019).

HAM-A atau disebut juga HARS adalah salah satu skala peringkat pertama

yang dikembangkan untuk mengukur tingkat keparahan gejala kecemasan pada

orang dewasa, dan remaja, serta masih banyak digunakan saat ini baik dalam

pengaturan klinis dan penelitian. Skala terdiri dari 14 item, masing-masing

ditentukan oleh serangkaian gejala, dan mengukur kecemasan psikis (mental

agitasi dan tekanan psikologis) dan kecemasan somatik (keluhan fisik yang

berhubungan dengan kecemasan) (American Thoracic Society 2021).

Menurut (Kautsar, Gustopo, & Achmadi,2015) dalam (Wahyudi et al. 2019)

telah menyimpulkan validitas instrumen HARS ditunjukkan pada bagian

Corrected Item-Total Correlation seluruh soal memiliki nilai positif dan lebih

besar dari syarat 0.05, sedangkan reliabilitas ditunjukan dengan nilai Cronbach’s

Alpha adalah 0.793 dengan jumlah item 14 butir lebih besar dari 0.6, maka

kuisoner yang digunakan


terbukti reliabel (0.793>0.6). Sehingga HARS dianjurkan untuk mengukur

tingkat kecemasan.

Berdasarkan penelitian (Ramdan 2018) HAM-A versi bahasa Indonesia

memiliki sifat psikometri yang memuaskan dengan validitas dan reliabilitas,

sehingga dapat digunakan untuk mengukur kecemasan. Menurut (Clark &

Donovan, 1994) dalam (Ramdan 2018) penerjemahan HAM-A ke dalam versi

bahasa lain telah dilakukan beberapa kali dan mendapatkan hasil yang valid dan

reliabel. Dalam pengaturan penelitian klinis, HAM-A adalah ukuran yang andal

dan valid untuk penilaian kecemasan global pada populasi remaja.

Penilaian kecemasan berdasarkan HAM-A terdiri dari 14 item, meliputi :

a. Perasaan cemas (merasa khawatir, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri,

cepat marah, mudah tersinggung).

b. Ketegangan (merasa tegang, merasa lelah, merasa gelisah, merasa gemetar,

mudah menangis, tidak mampu untuk rileks, mudah terkejut).

c. Ketakutan (takut terhadap gelap, takut terhadap orang asing, takut bila

ditinggal sendiri, takut pada hewan, takut pada keramain lalu lintas, takut

pada kerumunan orang banyak).

d. Insomnia (kesulitan tidur, tidur tidak memuaskan, merasa lelah saat bangun,

mimpi buruk, terbangun tengah malam).

e. Intelektual (sulit berkonsentrasi, sulit mengingat).

f. Perasaan depresi (kehilangan minat, kurangnya kesenangan dalam hobi,

perasaan bersedih/depresi, sering terbangun dini hari saat tidur malam).

g. Gejala somatik (otot) (nyeri atau sakit otot, kedutan, otot terasa kaku, gigi

gemertak, suara tidak stabil, tonus otot meningkat).


h. Gejala sensorik (telinga terasa berdenging, penglihatan kabur, muka

memerah, perasaan lemah, sensasi ditusuk-tusuk).

i. Gejala kardiovaskuler (takikardi, palpitasi, nyeri dada, denyut nadi

meningkat, perasaan lemas/lesu seperti mau pingsan, denyut jantung serasa

berhenti sekejap).

j. Gejala pernapasan (nafas terasa sesak/dada terasa ditekan, perasaan tercekik,

sering menarik napas dalam, napas pendek/tersengal-sengal).

k. Gejala gastrointestinal (kesulitan menelan, nyeri perut, perut terasa

kembung, sensasi terbakar, perut terasa penuh, merasa mual, muntah, sulit

BAB/sembelit, kehilangan berat badan.

l. Gejala genitourinari (frekuensi berkemih meningkat, tidak dapat menahan

air seni, tidak datang bulan, darah haid lebih banyak dari biasanya).

m. Gejala otonom (mulut kering, muka kemerahan, muka pucat, sering

berkeringat, merasa pusing, kepala terasa berat, merasa tegang, rambut

terasa menegang).

n. Tingkah laku (gelisah, tidak tenang/mondar-mandir, tangan gemetar, alis

berkerut, wajah tegang, pernafasan cepat, wajah pucat, sering menelan

ludah, dll).

Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori

sebagai berikut :

0 = tidak ada gejala sama sekali

1 = ringan/satu gejala yang ada

2 = sedang/separuh gejala yang ada

3 = berat/ lebih dari separuh gejala yang ada


4 = sangat berat semua gejala ada

Penentuan derajat atau tingkat kecemasan dengan cara menjumlahkan skor

1- 14 dengan hasil antara lain :

Skor kurang dari 14 = tidak ada kecemasan

Skor 14-20 = kecemasan ringan

Skor 21-27 = kecemasan sedang

Skor 28-41 = kecemasan berat

Skor 42-56 = kecemasaan berat sekali (panik)

B. Konsep Dasar Covid-19

1. Angka Kejadian Covid-19

Berdasarkan data dari (World Health Organization 2021) melalui situs

daringnya, penyebaran kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di dunia per tanggal 3

Februari 2021 mencapai 103,362,039 orang, dengan angka kematian mencapai

2,244,713 orang. Kasus Covid-19 tertinggi berdasarkan wilayah berada di

Amerika, dengan total kasus positif mencapai 45.988.538 orang.

Penyebaran kasus Covid-19 di Indonesia menurut Pusat Data dan Informasi,

Kementerian Kesehatan melalui situs daringnya per tanggal 03 Februari 2021

yaitu sebanyak 1.111.671 orang terkonfirmasi positif Covid-19, dengan angka

kematian mencapai 30.770 orang dan 905.665 orang dinyatakan sembuh

(Kementerian Kesehatan RI 2021).

Berdasarkan data yang didapat dari (Dinas Kesehatan Provinsi Bali 2021),

Provinsi Bali menduduki peringkat ke-5 di Indonesia dengan angka kasus positif

Covid-19 mencapai 27.127 orang, angka kematian mencapai 702 orang dan

sebanyak 22.946 orang dinyatakan sembuh. Untuk kasus konfirmasi positif

Covid-
19 tertinggi di Indonesia berada di wilayah DKI Jakarta yang mencapai 117.462

orang, dengan angka kematian sebanyak 2.440 orang, dan 108.116 orang

dinyatakan sembuh.

Provinsi Bali sebagai salah satu pintu gerbang pariwisata di Indonesia

sangat rentan mengalami penambahan kasus Covid-19 bagi komunitas tertentu

dalam masyarakatnya (Putra et al. 2020). Berdasarkan data yang didapat dari

(Dinas Kesehatan Provinsi Bali 2021), kasus konfirmasi positif tertinggi di

Provinsi Bali yaitu berada di Kota Denpasar yang menduduki peringkat pertama

dengan angka kasus positif Covid-19 mencapai 7.904 orang, angka kematian

mencapai 143 orang, dan sebanyak 6.682 orang dinyatakan sembuh.

SMA Negeri 8 Denpasar adalah sekolah menengah atas yang terletak di

Kota Denpasar, tepatnya di Kecamatan Denpasar Utara, Kelurahan Peguyangan,

Desa Peguyangan Kaja dan termasuk wilayah kerja Puskesmas III Denpasar

Utara. Berdasarkan data dari (Dinas Kesehatan Kota Denpasar 2021), total kasus

positif Covid-19 berdasarkan kecamatan di Kota Denpasar adalah kasus tertinggi

berada di wilayah Denpasar Barat dengan total kasus positif Covid-19 sebanyak

5.957 orang kemudian disusul oleh Denpasar Utara dengan total kasus positif

yaitu 5.631 orang. Desa Peguyangan Kaja termasuk ke dalam Kelurahan

Peguyangan wilayah Kecamatan Denpasar Utara. Total kasus positif Covid-19 di

Kelurahan Peguyangan mencapai 192 orang. Sementara itu, Desa Peguyangan

Kaja total kasus positif mencapai 135 orang.

2. Definisi Covid-19

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-


2). SARS-CoV-2 merupakan virus corona jenis baru yang belum pernah

diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis virus corona

yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat

seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory

Syndrome (SARS) (Kementerian Kesehatan RI 2020b).

Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).

Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet

cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi

sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui (Kementerian Kesehatan

RI 2020a).

Virus SARS- CoV-2 merupakan virus RNA strain tunggal positif yang

menginfeksi saluran pernapasan. Penegakan diagnosis dimulai dari gejala umum

berupa demam, batuk dan sulit bernapas hingga adanya kontak erat dengan

negara- negara yang sudah terifinfeksi. Pengambilan swab tenggorokan dan

saluran napas menjadi dasar penegakan diagnosis penyakit Covid-19.

Penatalaksanaan berupa isolasi harus dilakukan untuk mencegah penyebaran lebih

lanjut (Yuliana 2020).

3. Tanda dan Gejala Covid-19

Tanda dan gejala umum infeksi Covid-19 antara lain adalah gejala gangguan

pernapasan akut seperti demam, batuk, dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata

5- 6 hari dengan masa inkubasi terlama 14 hari. Pada kasus yang parah, Covid-19

dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan

bahkan kematian. Tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian besar

kasus adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas

(Tosepu et al. 2020). Gejala-gejala Covid-19 seperti batuk atau demam bisa
terlihat mirip
dengan gejala-gejala flu atau batuk pilek, yang jauh lebih sering terjadi (Bender

2020).

Demam, kelelahan, dan batuk kering merupakan tanda-tanda umum infeksi

virus corona disertai dengan gejala seperti hidung tersumbat, pilek, dan diare pada

beberapa pasien. Karena beberapa pasien yang parah tidak mengalami kesulitan

bernapas yang jelas dan datang dengan hipoksemia. Dalam kasus yang parah,

dispnea dan atau hipoksemia biasanya terjadi setelah satu minggu setelah onset

penyakit, dan yang lebih buruk dapat dengan cepat berkembang menjadi sindrom

gangguan pernapasan akut, syok sepsis, asidosis metabolik yang sulit ditangani,

dan perdarahan dan disfungsi koagulasi, dan lain-lain. Pasien dengan kondisi sakit

ringan hanya mengalami demam ringan, kelelahan ringan dan sebagainya, tetap

tanpa manifestasi pneumonia (Safrizal et al. 2020).

4. Cara Penularan Covid-19

Virus ini ditularkan melalui kontak langsung dengan percikan air liur atau

droplet dari saluran napas orang yang terinfeksi (yang keluar melalui batuk dan

bersin), menyentuh permukaan yang terkontaminasi virus ini kemudian

menyentuh wajahnya (misalnya mata, hidung, mulut). Virus Covid-19 dapat

bertahan di atas permukaan benda selama beberapa jam tetapi dapat dibunuh

dengan disinfektan biasa (Bender 2020).

Orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang kontak

erat dengan pasien Covid-19 termasuk yang merawat pasien Covid-19

(Kementerian Kesehatan RI 2020a). Menurut (Putri 2020), kelompok resiko yang

paling rentan terkena Covid-19 ini adalah orang yang tinggal di daerah terpencil

yang mana sistem kesehatan dan akses ke layanan kesehatan masih terbatas.

Selain
itu menurut (Bender 2020), lansia dan orang dengan gangguan kesehatan kronis,

seperti diabetes dan penyakit jantung, tampaknya lebih berisiko mengalami

gejala- gejala yang parah.

C. Konsep Dasar Remaja SMA

1. Definisi Remaja SMA Sebagai Remaja Usia Pertengahan

Umumnya rentang usia remaja SMA di Indonesia adalah 15-18 tahun.

Berdasarkan Permendikbud No. 44 Tahun 2019, mengenai ketentuan dan syarat

PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) TK, SD, SMP dan SMA/SMK dijelaskan

bahwa usia maksimal masuk SMA adalah usia 21 tahun (Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan RI 2019). Secara global, masa remaja berlangsung antara umur

12-21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18

tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir

(Fatmawaty 2017). Berdasarkan batasan usia tahapan masa remaja tersebut, maka

usia remaja SMA termasuk pada tahapan masa remaja pertengahan yaitu usia 15 –

18 tahun.

Menurut Piaget, masa remaja atau “Adolescence” berasal dari bahasa latin

“Adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Apabila diartikan dalam

konteks yang lebih luas, akan mencakup kematangan mental, emosional, sosial

dan fisik (Hurlock, 1976:206) dalam (Jannah 2016).

Berdasarkan pendapat dari psikolog yakni G. Stanley Hall dalam (Jannah

2016) yang mengungkapkan bahwa “ Adolescence is a time of “storm and

stress”. Artinya, masa remaja adalah masa yang penuh dengan “badai dan tekanan

jiwa”, yaitu masa di mana terjadi perubahan besar secara fisik, intelektual dan

emosional pada seseorang yang menyebabkan kesedihan dan kebimbangan

(konflik) pada yang bersangkutan, serta menimbulkan konflik dengan


lingkungannya.
Masa remaja merupakan masa peralihan yang mulai berpikir kritis, namun

masih dipengaruhi oleh kondisi emosi yang masih labil. (Efrizal 2020). Masa

remaja berada pada batas peralihan kehidupan anak dan dewasa. Tubuhnya

tampak sudah “dewasa”, akan tetapi bila diperlakukan seperti orang dewasa

remaja gagal menunjukan kedewasaannya. Pengalamannya mengenai alam

dewasa masih belum banyak karena sering terlihat pada remaja adanya

kegelisahan, pertentangan, kebingungan, dan konflik pada diri sendiri. Bagaimana

remaja memandang peristiwa yang dialami akan menentukan perilakunya dalam

menghadapi peristiwa- peristiwa tersebut (Putro 2017).

Menurut (Fatmawaty 2017) perkembangan emosi pada masa remaja ini

cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan masa anak-anak. Hal tersebut dapat

terjadi dikarenakan remaja berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi

kondisi yang baru. Dalam perkembangan kepribadian seseorang, masa remaja

memiliki arti yang khusus, namun begitu masa remaja mempunyai tempat yang

tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan seseorang. Hal itu dikarenakan

remaja tidak termasuk golongan anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan

orang dewasa. Seorang anak masih belum selesai perkembangannya, orang

dewasa dapat dianggap sudah berkembang penuh. Sedangkan, remaja walaupun

sudah mulai berkembang namun belum mampu untuk menguasai fungsi fisik

psikisnya dengan baik.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa

remaja SMA adalah remaja yang umunya berusia 15-18 tahun yang termasuk ke

dalam tahapan masa remaja pertengahan, masa dimana terjadinya peralihan dari

kehidupan anak menuju dewasa, masa peralihan yang mulai berpikir kritis namun

masih dipengaruhi oleh kondisi emosi yang masih labil.


2. Ciri-Ciri Remaja SMA Sebagai Remaja Usia Pertengahan

Menurut (Gunarsa dan Mappiare) dalam (Putro 2017), menjelaskan ciri-ciri

remaja sebagai berikut :

a. Masa Remaja Awal.

Biasanya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dengan ciri-

ciri seperti tidak stabil keadaannya, lebih emosional, mempunyai banyak masalah,

merupakan masa yang kritis, mulai tertarik pada lawan jenis, munculnya rasa

kurang percaya diri, dan suka mengembangkan pikiran baru, gelisah, suka

berkhayal dan suka menyendiri.

b. Masa Remaja Madya (Pertengahan)

Biasanya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan ciri-ciri

seperti sangat membutuhkan teman, cenderung bersifat narsistik/kecintaan pada

diri sendiri, berada dalam kondisi keresahan dan kebingungan (karena

pertentangan yang terjadi dalam diri), berkenginan besar mencoba segala hal yang

belum diketahuinya, dan keinginan menjelajah ke alam sekitar yang lebih luas.

c. Masa Remaja Akhir

Ditandai dengan ciri-ciri seperti aspek-aspek psikis dan fisiknya mulai

stabil, meningkatnya berfikir realistis, memiliki sikap pandang yang sudah baik,

lebih matang dalam cara menghadapi masalah, ketenangan emosional bertambah,

lebih mampu menguasai perasaan, sudah terbentuk identitas seksual yang tidak

akan berubah lagi, dan lebih banyak perhatian terhadap lambang-lambang

kematangan.
3. Karakteristik Perkembangan Remaja SMA Sebagai Remaja

Usia Pertengahan

Salah satu karakteristik yang menonjol dari masa remaja adalah

ketidakstabilan emosi. Emosi merupakan sebuah dorongan yang memberikan

motivasi di sepanjang kehidupan manusia, dan emosi ini mempengaruhi aspirasi,

tindakan (actions), dan pemikiran seseorang (Pastey & Aminbhavi, 2006) dalam

(Rizkyta and Fardana 2017). Menurut Hurlock, remaja identik dengan emosi yang

mudah meledak-ledak dan kurang bisa terkendali. Meningginya emosi pada masa

remaja disebabkan oleh perubahan fisik dan kelenjar, dan juga faktor sosial yaitu

dari keadaan sosial yang mengelilingi remaja sehingga remaja berada di bawah

tekanan sosial dan dihadapkan pada kondisi baru (Rizkyta and Fardana 2017).

Remaja dituntut untuk bisa mengendalikan, mengelola, serta mengekspresikan

emosinya dengan cara yang tepat sehingga mampu menyesuaikan diri dengan

lingkungan sosialnya. Remaja yang matang secara emosi akan mampu

menyesuaikan diri dengan efektif dengan suasana orang lain serta mencari

keharmonisan dalam menjalin hubungan dengan orang lain (Nashukah &

Darmawanti, 2013) dalam (Rizkyta and Fardana 2017).

Emosi yang tidak stabil pada remaja dapat dikatakan sebagai emosi yang

belum matang. Seiring dengan bertambahnya usia, umumnya emosi seseorang

akan menjadi lebih baik dan lebih stabil. Maka, pada masa remaja akhir,

umumnya remaja telah memiliki emosi yang lebih stabil dan lebih matang bila

dibandingkan dengan masa remaja awal (Paramitasari & Alfian, 2012) dalam

(Rizkyta and Fardana 2017). Remaja SMA umumnya berusia 15-18 tahun yang

termasuk dalam masa remaja menengah. Masa ini berada di tengah antara masa

remaja awal dan


akhir sehingga aspek emosi pada masa ini mengalami transisi dari keadaan emosi

yang masih tidak stabil di masa remaja awal menuju kondisi emosi yang lebih

matang di masa remaja akhir. Oleh karena itu, biasanya emosi remaja masih

belum benar-benar stabil pada masa remaja menengah ini. (Rizkyta and Fardana

2017).

D. Penelitian Yang Relevan

Semakin melonjaknya kasus pandemi Covid-19 tentunya menimbulkan

berbagai kekhawatiran bagi seluruh lapisan masyarakat. Menurut (Achjar et al.

2021), dampak dari adanya pandemi Covid-19 ini tidak hanya dirasakan secara

fisik namun hal ini tentu saja juga mempengaruhi secara mental. Dampak

pandemi Covid-19 ini membuat orang harus bertahan di rumah, banyak yang

kehilangan pekerjaanya, dan sekolah yang ditutup membuat masyarakat merasa

tertekan terutama remaja yang terbiasa hidup produktif dengan kegiatan padat

tiba-tiba harus menyesuaikan diri dengan keadaan dimana belajar dan bekerja

dilakukan di rumah saja. Menjadi tidak produktif dan tidak dapat berinteraksi

dengan orang lain seperti sebelumnya membuat perasaan merasa sendiri

menimbulkan kekhawatiran. Berdasarkan data dari John Hopkins University,

terdapat sebanyak 38,7% remaja di China yang berusia 18 tahun keatas

mengalami tekanan psikologi dan 37,9% mengalami cemas dan panik selama

masa pandemi Covid-19 ini berlangsung. Laporan penelitian

Express Script di AmerikaSerikat

mengungkapkan bahwa adanya pandemi Covid-19 ini juga memberikan dampak

yang signifikan pada kesehatan mental banyak orang. Ini dibuktikan dengan

terjadinya peningkatan resep obat anti-kecemasan yang meningkat hingga 34,1%

dari pertengahan Februari hingga pertengahan Maret 2020, termasuk lonjakan dari
minggu ke minggu hampir 18%, dan menurut survei yang dilakukan oleh Kaisar
Family Foundation juga menunjukkan bahwa sekitar 45% orang mengatakan

khawatir atau mengalami stres dikarenakan virus corona (SARS- CoV-2) (Express

and Report 2020).

Masalah psikologis di Indonesia terkait pandemi Covid-19 yang dilaporkan

oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) melalui

situs daringnya pada tanggal 14 Mei 2020, dari 4010 pengguna swaperiksa,

sebanyak 64,8% pengguna swaperiksa PDSKJI mengalami masalah psikologis.

Masalah psikologis terbanyak ditemukan pada kelompok usia 17-29 tahun.

Masalah psikologis untuk kategori cemas sebanyak 65%. (PDSKJI 2020). Selain

itu, menurut data dari Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI 2018, prevalensi

gangguan mental emosional tahun 2018 di Indonesia yang terjadi pada remaja usia

15 tahun ke atas sebesar 9,8%, data ini menunjukkan adanya peningkatan dari

yang sebelumnya pada tahun 2013 hanya sebesar 6%. (Riskesdas 2018). Untuk di

Provinsi Bali tersendiri prevalensi usia diatas 15 tahun menunjukkan angka 4,4%

memiliki gangguan mental emosional, dan jika diakumulasikan, remaja yang

berusia 15-24 tahun yaitu sebesar 6,1% yang memiliki gangguan mental

emosional dengan salah satu gejalanya adalah kecemasan (Achjar et al. 2021).

Berdasarkan data yang diperoleh dari (Achjar et al. 2021) dalam penelitian

yang berjudul “Model "Aksi" Untuk Mewujudkan Gerakan Sehat Mental Dalam

Mengatasi Kecemasan Remaja”, penelitian ini dilakukan pada responden dengan

rentang usia 15 – 24 tahun di wilayah Denpasar, dalam penelitian tersebut

didapatkan data bahwa sebelum pengimplementasian model “AKSI” sebagai

gerakan sehat mental selama pandemi Covid-19, pengalaman kecemasan

terbanyak terjadi pada usia 20 - 24 tahun sebesar 60%. Ditemukan rata-rata

tingkat kecemasan
berada pada 22,8 yang merupakan tingkat kecemasan sedang dengan skor paling

rendah 17 yang tergolong kecemasan ringan dan skor tertinggi 33 yang tergolong

kecemasan berat.

Berdasarkan hasil penelitian yang juga telah dilakukan oleh (Fitria and Ifdil

2020) di daerah Padang, menunjukkan bahwa tingkat kecemasan remaja pada

masa pandemi Covid-19 berada pada kategori rendah sebesar 2,1%, kategori

sedang 43,9% dan kategori tinggi 54%. Kecemasan (ansietas) yang dialami

remaja ini akan berdampak pada ganguan tidur, dapat menyebabkan insomnia dan

masalah tidur lainnya (Sohat, Bidjuni, & Kallo, 2014) dalam (Fitria and Ifdil

2020).

B. Tinjauan Teori Dukungan Keluarga

1. Dukungan Keluarga
a. Pengertian Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga menurut Friedman (2013) adalah sikap,

tindakan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganya, berupa

dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan

dukungan emosional. Jadi dukungan keluarga adalah suatu bentuk

hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan

terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada yang

memperhatikan. Orang yang berada dalam lingkungan sosial yang

suportif umumnya memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan

rekannya yang tanpa keuntungan ini, karena dukungan keluarga dianggap


dapat mengurangi atau menyangga efek kesehatan mental individu.

Dukungan keluarga adalah bantuan yang dapat diberikan kepada

anggota keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasihat yang

mampu membuat penerima dukungan akan merasa disayang, dihargai,

dan tenteram. Dukungan ini merupakan sikap, tindakan dan penerimaan

keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang

bahwa orang yang bersifat mendukung akan selalu siap memberi

pertolongan dan bantuan yang diperlukan. Dukungan keluarga yang

diterima salah satu anggota keluarga dari anggota keluarga yang lainnya

dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat dalam sebuah

keluarga. Bentuk dukungan keluarga terhadap anggota keluarga adalah

secara moral atau material. Adanya dukungan keluarga akan berdampak

pada peningkatan rasa percaya diri pada penderita dalam menghadapi

proses pengobatan penyakitnya (Misgiyanto & Susilawati, 2014).

b. Bentuk dan Fungsi Dukungan Keluarga

Friedman (2013) membagi bentuk dan fungsi dukungan keluarga

menjadi 4 dimensi yaitu:

1) Dukungan Emosional

Dukungan emosional adalah keluarga sebagai tempat yang aman dan

damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan

terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi

dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan,

perhatian, mendengarkan dan didengarkan. Dukungan emosional

melibatkan ekspresi empati, perhatian, pemberian semangat,


kehangatan pribadi, cinta, atau bantuan emosional (Friedman, 2013).

Dengan semua tingkah laku yang mendorong perasaan nyaman dan

mengarahkan individu untuk percaya bahwa ia dipuji, dihormati, dan

dicintai, dan bahwa orang lain bersedia untuk memberikan perhatian

(Sarafino, & Smith 2011)

2) Dukungan Instrumental

Dukungan instrumental adalah keluarga merupakan sumber

pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya adalah dalam hal

kebutuhan keuangan, makan, minum, dan istirahat (Friedman, 2013).

3) Dukungan Informasional

Dukungan informasional adalah keluarga berfungsi sebagai pemberi

informasi, dimana keluarga menjelaskan tentang pemberian saran,

sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu

masalah. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan,

saran, petunjuk dan pemberian informasi (Friedman, 2013).

4) Dukungan Penilaian atau Penghargaan

Dukungan penghargaan atau penilaian adalah keluarga bertindak

membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan

validator identitas anggota keluarga diantaranya memberikan support,

penghargaan, dan perhatian (Friedman, 2013).

Sedangkan menurut Indriyani (2013) membagi dukungan keluarga

menjadi 3 jenis, yaitu:


1) Dukungan Fisiologis

Dukungan fisiologis merupakan dukungan yang dilakukan dalam

bentuk pertolongan-pertolongan dalam aktivitas seharihari yang

mendasar, seperti dalam hal mandi menyiapkan makanan dan

memperhatikan gizi, toileting, menyediakan tempat tertentu atau ruang

khusus, merawat seseorang bila sakit, membantu kegiatan fisik sesuai

kemampuan, seperti senam, menciptakan lingkungan yang aman, dan

lain-lain.

2) Dukungan Psikologis

Dukungan psikologis yakni ditunjukkan dengan memberikan

perhatian dan kasih sayang pada anggota keluarga, memberikan rasa

aman, membantu menyadari, dan memahami tentang identitas. Selain

itu meminta pendapat atau melakukan diskusi, meluangkan waktu

bercakap-cakap untuk menjaga komunikasi yang baik dengan intonasi

atau nada bicara jelas, dan sebagainya.

3) Dukungan Sosial

Dukungan sosial diberikan dengan cara menyarankan individu untuk

mengikuti kegiatan spiritual seperti pengajian, perkumpulan arisan,

memberikan kesempatan untuk memilih fasilitas kesehatan sesuai

dengan keinginan sendiri, tetap menjaga interaksi dengan orang lain,

dan memperhatikan norma-norma yang berlaku.

c. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (2013) ada bukti kuat dari hasil penelitian yang
menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif

menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak

yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian

daripada anak-anak yang berasal dari keluarga yang lebih besar. Selain

itu dukungan keluarga yang diberikan oleh orang tua (khususnya ibu)

juga dipengaruhi oleh usia. Ibu yang masih muda cenderung untuk lebih

tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih

egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua.

Friedman (2013) juga menyebutkan bahwa faktor yang

mempengaruhi dukungan keluarga adalah kelas sosial ekonomi meliputi

tingkat pendapatan atau pekerjaan dan tingkat pendidikan. Dalam

keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil

mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang

ada lebih otoritas dan otokrasi. Selain itu orang tua dan kelas sosial

menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang

lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial bawah. Faktor lainnya

adalah adalah tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan

kemungkinan semakin tinggi dukungan yang diberikan pada keluarga

yang sakit.

d. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan

Menurut Mubarak (dalam Misgiyanto & Susilawati, 2014) terdapat

hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan anggotanya

dimana peran keluarga sangat penting bagi setiap aspek perawatan

kesehatan anggota keluarga, mulai dari strategi-strategi hingga fase


rehabilitasi. Pernyataan ini berarti bahwa dukungan keluarga yang

meliputi sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita

sakit merupakan salah satu peran dan fungsi keluarga yaitu memberikan

fungsi afektif untuk pemenuhan kebutuhan psikososial anggota

keluarganya dalam memberikan kasih sayang (Friedman, 2013).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Romadoni (2016)

bahwa terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat

ansietas pasien pre operasi mayor disebabkan bahwa dukungan keluarga

dari pihak keluarga sangat dibutuhkan terhadap penderita sakit, anggota

keluarga sangat penting, sehingga anggota keluarga tersebut meras

nyaman dan dicintai apabila dukungan keluarga tersebut tidak adekuat

maka merasa diasingkan atau tidak dianggap oleh keluarga, sehingga

seseorang akan mudah mengalami ansietas dalam menjalani operasi.

e. Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan

Menurut Andarmoyo (2012) tugas kesehatan keluarga adalah sebagai

berikut:

1) Mengenal masalah kesehatan.

2) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat.

3) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit.

4) Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat.

5) Mempertahankan hubungan dengan menggunakan fasilitas kesehatan

masyarakat.

Menurut Donsu (2015) tugas keluarga adalah:


1) Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.

2) Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.

3) Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan

kedudukannya masing-masing.

4) Sosialisasi antar anggota keluarga.


5) Pengaturan jumlah anggota keluarga.

6) Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.

7) Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih

luas.

8) Membangkitkan dorongan dan semangat para anggota keluarga.

f. Instrumen Dukungan Keluarga

Untuk mengungkap variabel dukungan keluarga, dapat

menggunakan skala dukungan keluarga yang diadaptasi dan

dikembangkan dari teori Friedman yang telah dimodifikasi oleh

Nurwulan (2017). Aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur

dukungan keluarga adalah dukungan emosional, dukungan instrumental,

dukungan penilaian/penghargaan, dan dukungan informasional.

Tabel 1. Indikator Alat Ukur Dukungan Keluarga

No. Indikator
1. Dukungan emosional
2. Dukungan instrumental
3. Dukungan penilaian/
penghargaan
4. Dukungan informasional

Pada pengisian skala ini, sampel diminta untuk menjawab

pertanyaan yang ada dengan memilih salah satu jawaban dari beberapa
alternatif jawaban yang tersedia. Skala ini menggunakan skala model

likert yang terdiri dari pernyataan dari empat alternatif jawaban yaitu

1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3= sering , 4=selalu.

2. Kecemasan
a. Definisi Kecemasan

Menurut Stuart (2013) kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak

jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak

berdaya. Kecemasan merupakan suatu kondisi emosional yang ditandai

dengan rasa takut yang tidak jelas sumbernya. Ia diliputi oleh

kekhawatiran terhadap berbagai hal yang mungkin dialami dalam

perjalanan hidupnya (Surya, 2014). Sedangkan menurut Hawari (2016)

kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan

perasaan ketakutan dan khawatir yang mendalam dan berkelanjutan,

tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (masih baik),

kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian),

perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas normal.

Jadi berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan

bahwa kecemasan adalah perasaan takut dan khawatir yang menyebar

namun tidak jelas sumbernya dan biasanya berhubungan dengan berbagai

hal yang dialami dalam hidupnya.

b. Jenis-Jenis Kecemasan

Menurut Spielberger (dalam Safaria & Saputra, 2012) menjelaskan

kecemasan dalam dua jenis, yaitu:

1) Trait Anxiety
Yaitu adanya rasa khawatir dan terancam yang menghinggapi diri

seseorang terhadap kondisi yang sebenarnya tidak berbahaya.

kecemasan ini disebabkan oleh kepribadian individu yang memang

memiliki potensi cemas dibandingkan dengan individu yang lainnya.

2) State Anxiety

Merupakan kondisi emosional dan keadaan sementara pada diri

individu dengan adanya perasaan tegang dan khawatir yang dirasakan

secara sadar serta bersifat subjektif.

Sedangkan menurut Freud (dalam Olson & Hergenhahn, 2013)

membedakan 3 jenis kecemasan, yaitu :

1) Kecemasan Realitas

Disebabkan oleh sumber-sumber bahaya yang riil dan objektif di

lingkungan dan jenis kecemasan yang paling mudah diredakan

lantaran dengan bertindak sesuatu, maka persoalan memang akan bisa

selesai secara objektif.

2) Kecemasan Neurotik

Rasa takut bahwa impuls-impuls id akan mengatasi kemampuan ego

menangani, dan menyebabkan manusia melakukan sesuatu yang akan

membuatnya dihukum.

3) Kecemasan Moral

Rasa takut bahwa seseorang akan melakukan sesuatu yang

bertentangan dengan nilai-nilai superego sehingga membuatnya

mengalami rasa bersalah.

c. Aspek-Aspek Kecemasan
Stuart (2013) mengelompokkan kecemasan (anxiety) dalam respon

perilaku, kognitif, dan afektif, diantaranya;

1) Perilaku, diantaranya: gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi

terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung mengalami

cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal, inhibisi, melarikan

diri dari masalah, menghindar, hiperventilasi, dan sangat waspada.

2) Kognitif, diantaranya: perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa,

salah dalam memberikan penilaian, preokupasi, hambatan berpikir,

lapang persepsi menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun,

bingung, sangat waspada, keasadaran diri, kehilangan objektivitas,

takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut cedera

atau kematian, kilas balik, dan mimpi buruk.

3) Afektif, diantaranya: mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang,

gugup, ketakutan, waspada, kengerian, kekhawatiran, kecemasan, mati

rasa, rasa bersalah, dan malu.

Kemudian Shah (dalam Ghufron & Risnawita, 2014) membagi

kecemasan menjadi tiga aspek, yaitu:

1) Aspek fisik, seperti pusing, sakit kepala, tangan mengeluarkan

keringat, menimbulkan rasa mual pada perut, mulut kering, grogi, dan

lain-lain.

2) Aspek emosional, seperti timbulnya rasa panik dan rasa takut.

3) Aspek mental atau kognitif, timbulnya gangguan terhadap perhatian

dan memori, rasa khawatir, ketidakteraturan dalam berpikir, dan


bingung.

d. Rentang Respons Kecemasan

Gambar 1. Rentang Respons Kecemasan


Sumber: Stuart (2013)

1) Respons Adaptif

Hasil yang positif akan didapatkan jika individu dapat menerima dan

mengatur kecemasan. Kecemasan dapat menjadi suatu tantangan,

motivasi yang kuat untuk menyelesaikan masalah dan merupakan

sarana untuk mendapatkan penghargaan yang tinggi. Strategi adaptif

biasanya digunakan seseorang untuk mengatur kecemasan antara lain

dengan berbicara kepada orang lain, menangis, tidur, latihan, dan

menggunakan teknik relaksasi (Stuart, 2013)

2) Respons Maladaptif

Ketika kecemasan tidak dapat diatur, individu menggunakan

mekanisme koping yang disfungsi dan tidak berkesinambungan

dengan yang lainnya. Koping maladaptif mempunyai banyak jenis

termasuk

perilaku agresif, bicara tidak jelas isolasi diri, banyak makan, konsumsi

alkohol, berjudi, dan penyalahgunaan obat terlarang (Stuart, 2013)

Menurut Stuart (2013), ada beberapa tingkat kecemasan dan


karakteristiknya antara lain:

1) Kecemasan Ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari,

kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada dan

meningkatkan lapang persepsinya. Kecemasan ini dapat memotivasi

belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

2) Kecemasan Sedang

Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan

mengesampingkan yang lain. Ansietas ini mempersempit lapang

persepsi individu. Dengan demikian, individu mengalami tidak

perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area

jika diarahkan untuk melakukannya.

3) Kecemasan Berat

Sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu cenderung

berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir

tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi

ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk

berfokus pada area lain.

4) Tingkat Panik

Berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Hal yang rinci

terpecah dari proporsinya karena mengalami kehilangan kendali,

individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu

walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian

dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya


kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang

menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional.

e. Gejala Kecemasan

Hawari (2015) mengemukakan gejala kecemasan diantaranya:

1) Cemas, khawatir, tidak tenang, ragu dan bimbang,

2) Memandang masa depan dengan rasa was-was (khawatir),

3) Kurang percaya diri, gugup apabila tampil di muka umum (demam

panggung),

4) Sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain,

5) Tidak mudah mengalah, suka ngotot,

6) Gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, gelisah,

7) Sering mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir

berlebihan terhadap penyakit,

8) Mudah tersinggung, suka membesar-besarkan masalah yang kecil

(dramatisasi),

9) Dalam mengambil keputusan sering diliputi rasa bimbang dan ragu,

10) Bila mengemukakan sesuatu atau bertanya seringkali diulang-

ulang,

11) Kalau sedang emosi sering kali bertindak histeris.

f. Faktor-Faktor Kecemasan

Blackburn & Davidson (dalam Safaria & Saputra, 2012) menjelaskan

faktor-faktor yang menimbulakan kecemasan, seperti pengetahuan yang

dimiliki seseorang mengenai situasi yang sedang dirasakannya, apakah


situasi tersebut mengancam atau tidak memberikan ancaman, serta

adanya pengetahuan mengenai kemampuan diri untuk mengendalikan

dirinya (seperti keadaan emosi serta fokus kepermasalahannya).

Menurut Lutfa dan Maliya (dalam Nurwulan, 2017) faktor-faktor yang

mempengaruhi kecemasan operasi adalah sebagai berikut:

1) Faktor-Faktor Intrinsik, antara lain:

a) Usia Pasien

Gangguan kecemasan lebih sering terjadi pada usia dewasa dan

lebih banyak pada wanita. Menurut Stuart & Sundeen (dalam

Nurwulan, 2017) Sebagian besar kecemasan terjadi pada umur 21-

45 tahun.

b) Pengalaman

Menjelaskan bahwa pengalaman awal ini sebagai bagian penting

dan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian

hari. Apabila pengalaman individu tentang pengobatan kurang,

maka cenderung mempengaruhi peningkatan kecemasan saat

menghadapi tindakan pengobatan selanjutnya.

c) Konsep Diri dan Peran

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian

yang diketetahui individu terhadap dirinya dan mempengaruhi

individu untuk berhubungan dengan orang lain. Peran adalah pola,

sikap, perilaku dan tujuan yang diharapkan dari seseorang

berdasarkan posisinya di masyarakat. Banyak faktor yang

mempengaruhi peran seperti kejelasan perilaku dan pengetahuan


yang sesuai dengan peran, konsistensi respon orang lain yang

berarti terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara peran

yang dialaminya, serta keselarasan budaya dan harapan individu

terhadap perilaku peran. Selain itu terjadinya situasi yang

menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran, akan mempengaruhi

kehidupan individu. Pasien yang mempunyai peran ganda baik di

dalam keluarga atau di masyarakat akan cenderung mengalami

kecemasan yang berlebih disebabkan konsentrasi terganggu.

2) Faktor-Faktor Ekstrinsik, antara lain :

a) Kondisi Medis

Terjadinya kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis

sering ditemukan, walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk

masing-masing kondisi medis, misalnya: pada pasien yang

mendapatkan diagnosa operasi akan lebih mempengaruhi tingkat

kecemasan pasien dibandingkan dengan pasien yang didiagnosa

baik.

b) Tingkat Pendidikan

Pendidikan pada umumnya berguna dalam merubah pola pikir, pola

bertingkah laku dan pola pengambil keputusan. Tingkat pendidikan

yang cukup akan lebih mudah dalam mengidentifikasi stressor

dalam diri sendiri maupun dari luarnya.

c) Akses Informasi

Akses informasi merupakan pemberitahuan tentang sesuatu agar

orang membentuk pendapat berdasarkan sesuatu yang


diketahuinya. Informasi yang akan didapatkan pasien sebelum

pelaksanaan tindakan operasi terdiri dari tujuan, proses, resiko dan

komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta proses

administrasi (Smeltzer dan Bare dalam Nurwulan, 2017).

d) Adaptasi

Kozier dan Olivery (dalam Nurwulan, 2017), menjelaskan bahwa

tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh stimulus internal dan

eksternal dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus.

Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan

bantuan dari sumber-sumber dimana individu berada. Perawat

merupakan sumber daya yang tersedia dirumah sakit yang

mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu pasien

mengembalikan atau mencapai keseimbangan diri dalam

menghadapi lingkungan yang baru.

e) Tingkat Sosial Ekonomi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa masyarakat kelas

sosial ekonomi rendah memililki prevalensi gangguan psikiatrik

yang lebih banyak. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan

bahwa keadaan ekonomi yang rendah atau dapat mempengaruhi

tingkat kecemasan pada pasien menghadapi tindakan operasi.

f) Tindakan Operasi

Adalah klasifikasi tindakan terapi medis yang dapat mendatangkan

kecemasan karena terdapat ancaman pada integritas tubuh dan jiwa

seseorang (Muttaqin dan Sari, dalam Nurwulan 2017).


g) Lingkungan

Menurut Ramaiah (dalam Nurwulan, 2017) lingkungan atau sekitar

tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir. Hal ini bisa saja

disebabkan pengalaman dengan keluarga, sahabat, rekan sejawat

dan lain-lain. Kecemasan wajar timbul jika anda merasa tidak aman

terhadap lingkungan.

g. Alat Ukur Kecemasan

Perdana, dkk. (2015) mengatakan untuk mengetahui tingkat kecemasan

dari ringan, sedang, berat dan sangat berat dapat diukur dengan skala

APAIS (Amsterdam Preoperative Anxiety and Information Scale).

Alat ukur APAIS ini terdiri dari 6 item kuestioner yaitu:

1) Mengenal Anestesi

a) Saya merasa cemas mengenai tindakan anestesi (1= tidak cemas,

2= ringan,3= sedang, 4= berat, 5= berat sekali).

b) Saya memikirkan mengenai tindakan anestesi (pembiusan) (1=

tidak cemas, 2= ringan,3= sedang, 4= berat, 5= berat sekali).

c) Saya ingin tahu sebanyak mungkin mengenai tindakan anestesi

(pembiusan) (1= tidak cemas, 2= ringan,3= sedang, 4= berat, 5=

berat sekali).

2) Mengenai Pembedahan/Operasi

a) Saya merasa cemas mengenai prosedur operasi (1= tidak cemas, 2=

ringan,3= sedang, 4= berat, 5= berat sekali).

b) Saya memikirkan mengenai prosedur operasi (1= tidak cemas, 2=

ringan,3= sedang, 4= berat, 5= berat sekali).


c) Saya ingin tahu sebanyak mungkin mengenai prosedur operasi (1=

tidak cemas, 2= ringan,3= sedang, 4= berat, 5= berat sekali).

Skor interpretasi kecemasan APAIS adalah sebagai berikut,

1-6 : Tidak ada kecemasan

7-12 : Kecemasan ringan

13-18 : Kecemasan sedang

19-24 : Kecemasan berat

25-30 : Kecemasan berat sekali/panik


3. Pre Operasi

Menurut Hidayat (dalam Fadli, 2019) pre operasi merupakan masa

dimana pasien sebelum dilakukan tindakan pembedahan yang dimulai sejak

ditentukannya proses persiapan pembedahan dan berakhir sampai pasien

berada di meja operasi atau meja bedah. Agar mendapatkan hasil yang

optimal selama operasi dan anestesi maka diperlukan tindakan preanestesi

yang baik. Tindakan pre anestesi tersebut merupakan langkah lanjut dari

hasil evaluasi pre operasi khususnya anestesi untuk mempersiapkan kondisi

pasien, baik psikis maupun fisik pasien agar pasien siap dan optimal untuk

menjalani prosedur anestesi dan diagnostik atau pembedahan yang akan

direncanakan (Mangku & Tjokorda, 2010).

Persiapan pre operasi penting sekali untuk memperkecil resiko

operasi, karena hasil akhir suatu pembedahan sangat bergantung pada

penilaian keadaan penderita dan persiapan prabedah yang dilakukan. Selain

itu, tindakan operasi salah satu tindakan medis yang mengakibatkan stressor

terhadap integritas seseorang. Tindakan operasi akan membangkitkan reaksi


stress baik psikologis maupun fisiologis. Salah satu respon stres adalah

cemas (Ulfa, 2017).

Pada kasus bedah elektif, evaluasi pre anestesi dilakukan sehari

sebelum pembedahan. Kemudian evaluasi ulang dilakukan di kamar

persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS) untuk menentukan status fisik

berdasarkan ASA (American Society of Anesthesiologist). Pada kasus bedah

darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga di ruang persiapan operasi

Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena waktu yang tersedia untuk evaluasi

sangat terbatas, sehingga sering kali informasi tentang penyakit yang

diderita kurang akurat (Ulfa, 2017). Persiapan pre operasi di rumah sakit

meliputi:

a. Persiapan Psikologis

1) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarganya agar mengerti

perihal rencana anestesi dan pembedahan yang dijalankan, sehingga

dengan demikian diharapkan pasien dan keluarga bisa tenang.

Terdapat hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan

anggotanya dimana peran keluarga sangat penting bagi setiap aspek

perawatan kesehatan anggota keluarga, mulai dari strategi-strategi

hingga fase rehabilitasi (Mubarak, dalam Misgiyanto & Susilawati,

2014).

2) Berikan obat sedative pada klien yang mengalami kecemasan

berlebihan atau klien tidak kooperatif misalnya pada klien pediatrik

(kolaborasi). Pemberian obat sedative dapat dilakukan secara: oral

pada malam hari menjelang tidur dan pada pagi hari 60 – 90 menit,
rektal khusus untuk klien pediatrik pada pagi hari sebelum masuk IBS

(kolaborasi).

b. Persiapan Fisik

1) Hentikan kebiasaan seperti merokok, minum-minuman keras dan

obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum anestesi.

2) Tidak memakai protesis atau aksesoris.

3) Tidak mempergunakan cat kuku atau cat bibir.

4) Program puasa untuk pengosongan lambung.


4. General Anestesi

a. Pengertian

General anesthesia atau anestesi umum merupakan suatu tindakan yang

bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan menyebabkan

amnesia yang bersifat reversible dan dapat diprediksi, anestesi umum

menyebabkan hilangnya ingatan saat dilakukan pembiusan dan operasi

sehingga saat pasien sadar pasien tidak mengingat peristiwa pembedahan

yang dilakukan (Pramono, 2017).

b. Teknik General Anestesi

General anestesi menurut Mangku dan Tjokorda (2010), dapat dilakukan

dengan 3 teknik, yaitu:

1) General Anestesi Intravena

Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan

jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam

pembuluh darah vena.

2) General Anestesi Inhalasi


Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan

jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas

dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi

langsung ke udara inspirasi.

3) Anestesi Imbang

Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat –

obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau

kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk

mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.

B. Kerangka Teori

Gambar 2. Kerangka Teori


Sumber: Pramono (2017), Hidayat, dalam Fadli (2019), Stuart (2013),
Lutfa & Maliya, dalam Nurwulan (2017), Friedman (2013).
C. Kerangka Konsep

Gambar 3. Kerangka Konsep


Keterangan:
Diteliti
Tidak Diteliti

D. Hipotesis

1. Hipotesis Mayor

Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan

pasien pre operasi general anestesi di RS PKU Gamping.

2. Hipotesis Minor

a. Ada hubungan antara dukungan emosional dengan tingkat

kecemasan pasien pre operasi general anestesi.

b. Ada hubungan antara dukungan instrumental dengan tingkat

kecemasan pasien pre operasi general anestesi.

c. Ada hubungan antara dukungan informasional dengan tingkat

kecemasan pasien pre operasi general anestesi.


d. Ada hubungan antara dukungan penilaian/penghargaan dengan

tingkat kecemasan pasien pre operasi general anestesi.

BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian


Pada penelitian ini peneliti memilih tipe pendekatan

kuantitatif. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif

menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka-

angka) yang diolah dengan metoda statistik. Pada dasarnya

pendekatan kuantitatif dilakukan pada jenis penelitian

inferensial dan menyadarkan kesimpulan hasil penelitian pada

suatu probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil. Dengan

metode kuantitatif akan diperoleh signifikansi hubungan antar

variabel yang diteliti (Syarifudin, 2009).

3.2. Desain penelitian


Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif

dengan pendekatan Cross-Sectional. Rancangan Cross-

Sectional merupakan rancangan penelitian yang pengukuran

atau pengamatannya dilakukan secara simultan pada satu saat

(sekali waktu). Pada rancangan penelitian Cross-Sectional


dilakukan langkah-langkah yaitu mengidentifikasikan variable

penelitian, mengidentifikasikan subjek penelitian,

mengobservasi variabel, dan melakukan analisis data (Hidayat,

2007).

3.3. Variable penelitian


Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas

(independent) dan variabel terikat (dependen) yaitu:

1. Variabel bebas (independen)

Varibel bebas merupakan variabel yang menjadi sebab

perubahan atau timbulnya variabel terikat (dependen).

Variabel ini juga dikenal dengan nama variabel bebas

artinya bebas mempengaruhi variabel lainnya, variabel ini

punya nama lain seperti variabel prediktor, risiko, atau

kausa (Hidayat, 2007). Variabel bebas (independen) pada

penelitian ini yaitu dukungan keluarga.

2. Variabel terikat (dependen)

Variabel terikat (dependen) merupakan variabel yang

dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas.

Variabel ini tergantung dari variabel bebas terhadap

perubahan (Hidayat, 2007). Variabel terikat (dependen)

pada penelitian ini yaitu minat dan motivasi karena pada

minat dan motivasi dapat dipengaruhi oleh dukungan


keluarga. Jadi, variabel terikat tergantung dari variabel

bebas terhadap perubahannya.

3.4. Definisi operasional variable penelitian


Definisi operasional adalah membuat variabel menjadi

lebih konkrit dan dapat diukur. Dalam mendefinisikan

suatuvariabel, peneliti menjelaskan tentang apa yang harus

diukur, bagaimana mengukurnya, apa saja kriteria

pengukurannya, instrumen yang digunakan untuk mengukurnya

dan skala pengukurannya (Dharma, 2011). Pada definisi

operasional variabel penelitian ini, disajikan dalam bentuk tabel

dibawah ini yaitu:

Tabel 3.1 : Definisi Operasional penelitian


No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
Variable bebas (independen)
1. Dukungan Keterlibatan Responden Kuisioner Pada hasil ukur Ordinal
Keluarga keluarga dalam memilih salah dengan 20 dukungan
memotivasi dan satu pertanyaan keluarga yaitu
mendorong minat pilihan dari 4 mengenai dengan skala
mahasiswa dalam item pilihan dukungan Likert
memilih jurusan jawaban pada keluarga yang 4=Selalu
keperawatan kuisioner di 3=Sering
PSIK dalamnya 2=Jarang 1=Tidak
lengkap pernah Dari skala
FIK UKSW dengan 4 diatas didapatkan
komponen nilai rentang
dukungan yaitu: 1=Rendah
keluarga yaitu
18-32
2=Sedang yaitu
33-48
3=Tinggi yaitu
49-64
4=Sangat
Tinggi yaitu
65-80

Variable terikat (dependen)


2 Minat Sesuatu yang Responden Kuisioner Pada hasil ukur Ordinal
sesuai dengan memilih salah dengan 10 minat mahasiswa
kehendak, satu pertanyaan menjadi perawat
keinginan atau pilihan dari 4 mengenai yaitu dengan
kesukaan item pilihan minat skala Likert
responden jawaban pada mahasiswa 4=Selalu 3=Sering
kuisioner menjadi 2=Jarang 1=Tidak
perawat pernah Dari skala
diatas didapatkan
nilai rentang
yaitu: 1=Rendah
yaitu
8,7-16,2
2=Sedang yaitu
16,3-23,8
3=Tinggi yaitu
23,9-32,4
4=Sangat Tinggi
yaitu 32,5-40
3. Motivasi Semua hal Responden Kuisioner Pada hasil ukur Ordinal
yang membuat memilih salah dengan 10 motivasi
responden satu pertanyaan mahasiswa
memilih jurusan pilihan dari 4 mengenai menjadi perawat
keperawatan item pilihan motivasi yaitu dengan
PSIK jawaban pada mahasiswa skala Likert
kuisioner menjadi 4=Selalu 3=Sering
FIK UKSW perawat 2=Jarang 1=Tidak
pernah Dari skala
diatas didapatkan
nilai rentang
yaitu: 1=Rendah
yaitu
8,7-16,2
2=Sedang yaitu
16,3-23,8
3=Tinggi yaitu
23,9-32,4
4=Sangat Tinggi
yaitu 32,5-40

Variabel Counfounding
4 Umur Usia yang di Sesuai KTP Kuisioner Jumlah waktu Rasio
tunjukkan atau responden dalam tahun
diperoleh dari
ulangtahun
yang terakhir
5 Jenis Gender yang Responden Kuisioner 1. Laki-laki Nominal
Kelamin dibagi menjadi mengisi 2. Perempuan
laki-laki dan jenis
perempuan kelamin
pada
kuisioner
6 Asal Tempat tinggal Responden Kuisioner 1. Sumatra Nominal
asal responden mengisi asal 2. Jawa
pada 3. NTT
kuisioner 4. Bali
5. Sulawesi
6. Maluku
7. Kalimantan

3.5. Populasi dan Sampel


3.5.1. Populasi

Pada populasi penelitian ini, peneliti memilih responden

orang tua dan mahasiswa Program Studi Ilmu

Keperawatan FIK UKSW yang masih aktif kuliah,

angkatan 2007, angkatan 2008, angkatan 2009,


angkatan 2010 dan angkatan 2011. Penetapan pemilihan

responden di Program Studi Ilmu Keperawatan FIK

UKSW dikarenakan peneliti mengetahui bahwa

beberapa mahasiswa di Program Studi Ilmu

Keperawatan FIK UKSW tidak ingin menjadi perawat

tetapi ada dukungan keluarga sehingga minat dan

motivasi menjadi perawat meningkat. Selain itu juga,

dikarenakan tidak memerlukan banyak biaya, tenaga dan

banyak waktu.

3.5.2. Sampel

Pada penentuan sampel, peneliti mengambil

sampel yang akan mewakili keseluruhan populasi yang

ada. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik

pengambilan sampel dengan purposive sampling.

Purposive sampling adalah suatu metode pemilihan

sampel yang dilakukan berdasarkan maksud dan tujuan

tertentu yang ditentukan oleh peneliti (Dharma, 2011).

Kriteria inklusi sampel yaitu:

1. Orangtua dan mahasiswa keperawatan yang masih aktif

kuliah di PSIK FIK Universitas Kristen Satya Wacana


2. Orangtua dan mahasiswa keperawatan yang berada di

pulau Jawa dan luar pulau Jawa yang dapat di jangkau

oleh peneliti

3. Bisa baca tulis

4. Bersedia menjadi responden

5. Memahami bahasa Indonesia

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah responden

yang tidak memenuhi kriteria penelitian yaitu yang tidak

mengembalikan kuisioner hingga batas waktu yang

ditentukan.

Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan

rumus sampel penelitian deskriptif kategorik sebagai

berikut:

Rumus:

N= (Zα)2 P.Q

d2

Keterangan :

Zα : Kesalahan tipe satu

P : Proporsi kategorik

Q : 1-P

d : Presisi (Dahlan, 2008)

Berdasarkan rumus di atas peneliti menetapkan tingkat


kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% dengan

hipotesis dua arah nilai α=5% dan Zα=1,64, P=0,4. Peneliti

mendapatkan bahwa berdasarkan data studi pendahulu,

prevalensi minat dan motivasi menjadi perawat sedang

adalah 40% dengan kesalahan prediksi yang masih diterima

(presisi d) ditetapkan sebesar 10%.

N= (Zα)2 P.Q

d2

N= 1,642 x 0,4 x 0,6 = 64,55 atau 65

0,102

Berdasarkan hasil perhitungan di atas jumlah sampel

minimal 65 orang. Peneliti mengantisipasi adanya drop

out responden peneliti menambah 10% dengan rumus

yaitu:

N= n

1-

N= 65 = 72

(1-0,1)

Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan minimal adalah 72

orang (Dharma, 2011).


3.6. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di kampus Fakultas Ilmu Kesehatan

UKSW. Penelitian ini berlangsung pada tanggal 27 Maret 2012-14

Mei 2012. Penelitian ini diadakan selama 1 bulan 19 hari pada orang

tua dan mahasiswa keperawatan Program Studi Keperawatan

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana yang

masih aktif kuliah.

3.7. Teknik pengumpulan data


Pada teknik pengumpulan data, peneliti menggunakan alat

ukur pengumpulan data antara lain berupa kuisioner/angket.

Instrumen berupa angket diberikan untuk menilai dukungan

keluarga, minat dan motivasi. Menggunakan pengukuran skala

Likert yang sudah dimodifikasi dengan pilihan jawaban tidak

pernah (skor 1), jarang (skor 2), sering (skor 3) dan selalu (skor 4)

digunakan untuk mengukur pendapat seorang individu terhadap

minat menjadi perawat, motivasi menjadi perawat dan dukungan

keluarga dalam memotivasi anak untuk menjadi perawat. Hasil

pengukuran kemudian dikategorikan sebagaimana telah ditulis dalam

definisi operasional antara lain untuk dukungan keluarga nilai

rentang yaitu sangat tinggi= 65-80, tinggi= 49-64, sedang = 33- 48,

rendah = 18-32, untuk minat dan motivasi menjadi perawat nilai

rentang yaitu sangat tinggi= 32,5-40, tinggi= 23,9-32,4, sedang =

16,3-23,8, rendah = 8,7-16,2.

Perhitungan rentang skor didapatkan melalui rumus sebagai

berikut:
i = Skor tertinggi – Skor terendah

Banyaknya Kategori

Keterangan :

Skor tertinggi : Banyaknya soal x Skor kategori tertinggi

Skor terendah : Banyaknya soal x Skor kategori

terendah Banyaknya

kategori : Jumlah skor kategori (Azwar, 2008)

Pada dukungan keluarga terdapat 4 komponen yaitu dukungan

emosional, dukungan instrumental, dukungan informasi dan

dukungan penghargaan/penilaian. Dalam kuisioner penelitian

dukungan keluarga sudah mencakup 4 komponen tersebut. Untuk

menentukan apakah dukungan keluarga, minat dan motivasi menjadi

perawat tersebut sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah maka

dibuat skor nilai tertinggi (Hidayat, 2007).

4=Sangat tinggi

3=Tinggi 2=Sedang

1=Rendah

Pada penelitian ini, kuisioner dukungan keluarga memiliki 1

pertanyaan yang bermakna negatif. Jadi, apabila pertanyaan bersifat

positif (favorable) maka jawaban selalu mendapat skor 4, sering

mendapat skor 3, jarang mendapat skor 2 dan tidak pernah mendapat

skor 1. Sebaliknya untuk pertanyaan negatif (unfavorable) selalu

mendapat skor 1, sering mendapat skor 2, jarang mendapat skor 3,

dan tidak pernah mendapat skor 4 (Syarifudin, 2010)

Jumlah pertanyaan yang diberikan yaitu 20 per item pada


dukungan keluarga dan 10 per item pada minat dan 10 per item

motivasi. Skor tertinggi didapatkan apabila banyak yang menjawab 4

(sangat tinggi) dan 3 (tinggi). Sedangkan skor terendah bisa

didapatkan jika pertanyaan banyak yang menjawab 2 (sedang) dan 1

(rendah) (Hidayat, 2007).

3.8. Prosedur Penelitian


Pada penelitian ini dilakukan tahap-tahap penelitian sebagai

berikut

3.8.1. Tahap persiapan

Setelah seminar proposal maka pada tahap ini, peneliti

melakukan persiapan perijinan seperti menyiapkan surat-

surat yang diperlukan untuk melakukan uji validitas dan uji

reabilitas serta surat pelaksanaan penelitian.

3.8.2. Tahap pelaksanaan penelitian

Penelitian ini, dilaksanakan pada tanggal 27 Maret

2012-14 Mei 2012 setelah melakukan uji instrumen pada

orang tua dan mahasiswa S1 keperawatan di STIKES Ngudi

Waluyo Ungaran. Penelitian ini dilakukan di Kampus PSIK

FakuItas Ilmu Kesehatan UKSW. Pada penelitian ini, peneliti

menyebar kuisioner sebanyak 85 buah dari total target

75 orang. Penyebaran dilakukan selama 1 bulan 19 hari.

Penyebaran kuisioner tahap pertama disebar selama 3

minggu dan pada saat itu kuisioner kembali

52 kuisioner orangtua dan 67 kuisioner mahasiswa.

Pada saat penyebaran kuisioner tahap kedua bertepatan


dengan waktu liburan semester sehingga peneliti menitipkan

kuisioner ke responden yang pulang ke kampung halaman,

dengan harapan kuisioner dapat diisi oleh orangtua beserta

lembar persetujuan menjadi responden yang sebelumnya

dijelaskan oleh peneliti tentang penelitian ini. Karena

penyebaran kuisioner terhambat di liburan semester

menyebabkan peneliti menunggu responden kembali aktif

kuliah pada semester berikutnya.

Pada saat pengumpulan kuisioner tahap kedua, peneliti

kesulitan untuk mengumpulkan kuisioner dikarenakan

banyak responden yang lupa membawa atau kuisioner

dihilangkan oleh responden sehingga kuisioner yang

terkumpul 80 kuisioner orangtua, 80 kuisioner mahasiswa

dan yang lainnya tidak kembali. Terdapat 4 kuisioner

orangtua dan 4 kuisioner mahasiswa yang tidak terisi

lengkap, 2 kuisioner hilang antara lain 1 kuisioner orang tua

dan 1 kuisioner mahasiswa sehingga total kuisioner yang

masuk pengolahan data sebanyak 75 kuisioner orangtua dan

75 responden mahasiswa.

3.8.3. Tahap akhir

Setelah data terkumpul kemudian peneliti memastikan

lagi kelengkapan kuisioner yaitu dengan melakukan

pengecekan untuk memastikan bahwa semua pertanyaan pada

kuisioner sudah terisi lengkap. Peneliti juga melakukan

pengkodean untuk memudahkan dalam melakukan tabulasi


dan analisa data kemudian data di proses melalui pengolahan

data statistik.

3.9. Uji Validitas dan Reabilitas


Instrumen atau alat pengumpul data sebelum digunakan dalam

pengumpulan data, dilakukan uji validitas dan realibilitas. Sebelum

peneliti melaksanakan penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan

uji kuisioner yaitu uji validitas dan reabilitas di STIKES Ngudi

Waluyo Ungaran pada tanggal 5 Maret 2012-21 Maret 2012, uji

kuisioner ini diadakan selama 3 minggu. Peneliti melakukan

perijinan untuk melakukan uji kuisioner yaitu dengan cara

memberikan surat ijin uji validitas dan uji reabilitas yang dibuat oleh

PSIK Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW ke Pimpinan STIKES Ngudi

Waluyo.

3.9.1. Uji Validitas

Uji validitas adalah syarat mutlak bagi suatu alat ukur

agar dapat digunakan dalam suatu pengukuran. Validitas

menunjukkan ketepatan pengukuran suatu instrumen, artinya

suatu instrumen dikatakan valid apabila instrumen tersebut

mengukur apa yang seharusnya diukur (Dharma, 2011).

Pada penelitian ini menggunakan instrumen dukungan

keluarga, minat dan motivasi yang telah dibuat oleh peneliti

sesuai dengan instrumen skala Likert yang sudah

dimodifikasi. Instrumen diberikan kepada orang tua dan

mahasiswa S1 keperawatan di STIKES Ngudi Waluyo

Ungaran dengan jumlah responden 20 orang yang

karakteristik sama dengan sampel yaitu responden sesuai


dengan kriteria inklusi sampel. Instrumen pengumpulan data

menggunakan 4 komponen dukungan keluarga untuk

mengukur tingkat dukungan keluarga dengan jumlah 20 butir

soal, mengukur besarnya minat mahasiswa menjadi perawat

dengan jumlah 10 butir soal dan mengukur motivasi

mahasiswa menjadi perawat dengan jumlah 10 butir soal.

Teknik yang digunakan untuk mengetahui validitas

angket menggunakan rumus pearson product moment,

setelah itu dilihat penafsiran dari indeks korelasinya (rtabel).

Rumus pearson product moment: rxy =

N∑XY- (∑X) (∑Y)

√{N∑X2 – (∑X2)} {N∑Y2 – (∑Y2)}

Keterangan:

rxy : koefisiensi korelasi

∑X : jumlah skor item

∑Y : jumlah skor total N

: jumlah responden

Penguji validitas dengan bantuan program SPSS For

Windows menghasilkan nilai korelasi dan signifikansi. Suatu

item pertanyaan dikatakan valid apabila memiliki nilai

rhitung>rtabel (sesuai nilai ketetapan r Product Moment)

(Hidayat, 2007).

Analisa uji validitas instrumen menggunakan system

computerized SPSS 16.0 dengan r tabel 0,444. Pada uji

validitas ini dilakukan melalui tiga tahap uji validitas karena


sebelumnya tahap pertama dan tahap kedua beberapa item

pertanyaannya tidak valid sehingga pada hasil tahap ketiga

didapatkan sebagai berikut: Hasil uji validitas kuisioner

dukungan keluarga adalah 7 soal dinyatakan tidak valid

yaitu soal nomor 4 (r = 0,318), nomor 5 (r = 0,404), nomor

7 (r = 0,359),

nomor 9 (r = 0,288), nomor 18 (r = 0,257), nomor 19 (r =

0,339) dan nomor 20 (r = 0,269), namun karena subtansi

pertanyaan tersebut dianggap penting, maka soal-soal

tersebut tidak dibuang tetapi diperbaiki struktur

pertanyaannya sehingga lebih fokus dan jelas.

Hasil uji validitas terhadap kuisioner minat menjadi

perawat adalah 4 soal dinyatakan tidak valid yaitu soal

nomor 4 (r = 0,252), nomor 7 (r = 0,430),

nomor 8 (r = 0,135) dan nomor 10 (r = 0,285), namun


dikarenakan subtansi pertanyaan tersebut dianggap penting,

maka soal-soal tersebut tidak dibuang tetapi diperbaiki

struktur pertanyaannya sehingga lebih fokus dan jelas.

Hasil uji validitas terhadap kuisioner motivasi

menjadi perawat adalah 3 soal dinyatakan tidak valid yaitu

soal nomor 1 (r = 0,149), nomor 2 (r = 0,390), dan nomor 8 (r

= 0,083), namun karena subtansi pertanyaan tersebut

dianggap penting, maka soal-soal tersebut tidak dibuang

tetapi diperbaiki struktur pertanyaannya sehingga lebih fokus

dan jelas.

Pada uji validitas diatas lebih jelas dapat dilihat


dilampiran 4.

3.9.2. Uji Reabilitas

Uji reabilitas adalah tingkat konsistensi dari suatu

pengukuran. Reabilitas menunjukkan apakah pengukuran

menghasilkan data yang konsisten jika instrumen digunakan

kembali secara berulang (Dharma, 2011).

Pada penelitian ini uji instrumen dilakukan di

STIKES Ngudi Waluyo Ungaran pada orang tua dan

mahasiswa S1 keperawatan sesuai kriteria inklusi dengan

sampel yang berjumlah 20 orang. Dengan pertanyaan

penelitian 20 butir soal untuk dukungan keluarga, 10 butir

soal untuk minat dan 10 butir soal untuk motivasi.

Untuk mencari reabilitas angket digunakan rumus

Alpha Cronbach:

r11 = (k) (1-∑ σ b2) (k-

1) σ2t

Keterangan :

r11 : reabilitas instrumen

K : banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

∑σb2 : jumlah varians butir

σ2t : varians total (Arikunto, 2006)

Jika hasil rhitung > rtabel maka item dikatakan signifikan,

begitu juga sebaliknya jika hasil rhitung < rtabel maka item

dikatakan tidak signifikan. Instrumen memiliki reabilitas

tinggi jika nilai koefisien yang diperoleh > 0,63 (Mahfoedz,


2007).

Pada penelitian ini, peneliti melakukan uji reabilitas

setelah kuota 20 responden orangtua dan mahasiswa

terpenuhi. Variabel yang

mempresentasekan dukungan keluarga didapatkan reliabel,

karena nilai koefisien reabilitasnya sebesar 0,905. Dapat

dikatakan variabel dukungan keluarga reliabel karena nilai

rhitung > rtabel yaitu 0,905 > 0,63. Pertanyaan yang

mempresentasekan minat menjadi perawat didapatkan

reliabel, karena nilai reabilitasnya sebesar 0,742. Dapat

dikatakan variabel minat menjadi perawat reliabel karena

nilai rhitung>rtabel yaitu 0,742

> 0,63. Sedangkan pada pertanyaan yang mempresentasekan

motivasi menjadi perawat didapatkan reliabel, karena nilai

koefisien reabilitasnya sebesar 0,748. Sehingga pada

pertanyaan motivasi menjadi perawat dapat dikatakan reliabel

karena nilai rhitung > rtabel yaitu 0,748 > 0,63.

Pada uji reabilitas diatas lebih jelas dapat dilihat

dilampiran 4.

3.10. Proses Pengolahan data


3.10.1. Editing data

Memastikan kelengkapan dan kejelasan setiap aspek yang

diteliti, yaitu dengan melakukan pengecekan terhadap

kuisioner untuk memastikan bahwa kuesioner telah

lengkap dan jelas.


3.10.2. Coding data

Pengkodean dilakukan untuk memudahkan analisis.

Kegiatan pengubahan data lebih ringkas dengan

menggunakan kode yang dirumuskan untuk

mempermudah dalam melakukan tabulasi dan analisis

data.

3.10.3. Tabulasi

Memasukkan data ke dalam tabel-tabel dan mengatur

angka-angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam

berbagai kategori.

3.10.4. Entry data

Data dari kuesioner dimasukkan ke dalam program

computerize SPSS (Statistical Packages for Social

Science).

3.11. Analisis data


Pada analisis data peneliti memilih analisis deskriptif yang

berfungsi untuk meringkas, mengklasifikasikan dan menyajikan

data. Analisa data yang digunakan yaitu:

3.11.1. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian

(Notoatmodjo, Soekidjo. 2010). Analisa

univariat dilakukan untuk memberi gambaran dan

penjelasan tentang karakteristik masing-masing variabel

yang diteliti.
Pada penelitian ini, variabel dependen dan

independen merupakan data kategorik, sehingga analisis

data dilakukan menggunakan proporsi untuk mengetahui

distribusi frekuensi. Pada variabel umur menggunakan

analisa data yang dilakukan untuk mengetahui rasio

ukuran-ukuran kecenderungan pusat (mean, standar

deviasi, minimal dan maksimal). Sedangkan, jenis

kelamin dan asal dianalisis untuk mengetahui proporsi.

Salah satu pengamatan yang dilakukan pada tahap

analisis deskriptif adalah pengamatan terhadap tabel

frekuensi. Tabel frekuensi terdiri dari kolom-kolom yang

memuat frekuensi dan presentase untuk setiap kategori

dukungan keluarga, minat dan motivasi (Nursalam, 2008).

3.11.2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui

hubungan antara dua variabel (dependent dan

independent). Jenis uji statistik yang digunakan dalam

penelitian disesuaikan dengan jenis data.

Pada penelitian ini menggunakan uji statistic chi square

karena variabel berupa data kategorik. Chi square

menguji hipotesis apakah terdapat hubungan antara

dukungan keluarga dengan minat dan motivasi menjadi

perawat. Dengan nilai α 0,05 akan diuji apakah terdapat


hubungan antara variabel independen dan dependen.

Apabila hasil uji (Pvalue)

< α maka hasilnya ada hubungan antara dukungan

keluarga dengan minat dan motivasi menjadi perawat

pada mahasiswa keperawatan. Sehingga kesimpulannya

Ho ditolak (Ha diterima) (Dharma, 2011).

3.12. Etika penelitian


Pada etika penelitian, masalah etika yang diperhatikan oleh peneliti

antara lain:

a. Informed Consent

Informed Consent merupakan persetujuan yang diberikan

oleh responden setelah terlebih dahulu diinformasikan tentang

maksud dan tujuan penelitian. Persetujuan berupa tanda tangan

diberikan setelah responden memahami betul tentang

partisipasinya dalam penelitian.

b. Anonymity (Tanpa nama)

Anonymity (tanpa nama) merupakan pemberian jaminan

dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak

memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar

alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

c. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan (Confidentiality) merupakan masalah etika dalam

memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik

informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi


yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti,

hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

riset. (Hidayat, 2007).

Anda mungkin juga menyukai