Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan

dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya, keadaan emosi ini tidak memiliki

subyek yang spesifik, kondisi ini dialami secara subyektif (yang hanya dirasa individu

tersebut) dan dikomunikasikan dalam hubungan intrapersonal ( Fiest, 2016).

Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak

menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari

(Suliswati, 2015). Sedangkan menurut Stuart (2013) mengatakan bahwa kecemasan

dapat di ekpresikan secara langsung melalui perubahan fisiologi dan perilaku secara

tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk

kecemasan.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan yang

timbul secara tidak jelas dan bisa dilihat secara langsung maupun tidak langsung dari

fisiologis dan sikap seseorang yang mengalami perubahan dalam menghadapi sesuatu

atau mengalami sesuatu.

2. Teori – teori kecemasan

Konsep kecemasan berkembangnya dari zaman dahulu sampai sekarang. Masing

– masing model mengembangkan beberapa teori tertentu dari fenomena kecemasan.

Teori-teori ini saling diperlukan untuk memahami kecemasan secara komprehensif.

Berikut beberapa teori kecemasan menurut (Kaplan dan Sadock, 2010) yaitu :

a. Teori genetik

Pada sebagian manusia yang menunjukkan kecemasan, riwayat hidup dan

riwa//yat keluarga merupakan predisposisi untuk berperilaku cemas. Sejak kanak –


kanak mereka merasa risau, takut dan merasa tidak pasti tentang sesuatu yang

bersifat sehari – hari. Penelitian riwayat keluarga dan anak kembar menunjukkan

faktor genetik ikut berperan dalam gangguan kecemasan.

b. Teori katekolamin

Situasi – situasi yang ditandai oleh sesuatu yang baru, ketidakpastian

perubahan lingkungan, biasanya menimbulkan peningkatan sekresi adrenalin

(epinefrin) yang berkaitan dengan intensitas reaksi – reaksi yang subjektif, yang

ditimbulkan oleh kondisi yang merangsangnya. Teori ini menyatakan bahwa

reaksi cemas berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin yang beredar dalam

badan.

c. Teori James – Lange

Kecemasan adalah jawaban terhadap rangsangan fisik perifer, seperti

peningkatan denyut jantung dan pernapasan.

d. Teori psikoanalisa

Kecemasan berasal dari impulse anxiety, ketakutan berpisah (separation

anxiety), kecemasan kastrisi (castriation anxiety) dan ketakutan terhadap perasaan

berdosa yang menyiksa (superego anxiety).

e. Teori perilaku atau teori belajar

Teori ini menyatakan bahwa kecemasan dapat dipandang sebagai sesuatu

yang dikondisikan oleh ketakutan terhadap rangsangan lingkungan yang spesifik.

Jadi kecemasan disini dipandang sebagai suatu respon yang terkondisi atau respon

yang diperoleh melalui proses belajar.

f. Teori perilaku kognitif

Kecemasan adalah bentuk penderitaan yang berasal dari pola pikir maladaptif.

g. Teori belajar sosial

Kecemasan dapat dibentuk oleh pengaruh tokoh – tokoh penting masa kanak –

kanak.
h. Teori sosial

Kecemasan sebagai suatu respon terhadap stessor lingkungan, seperti

pengalaman – pengalaman hidup yang penuh dengan ketegangan.

i. Teori eksistensi

Kecemasan sebagai suatu ketakutan terhadap ketidakberdayaan dirinya dan

respon terhadap kehidupan yang hampa dan tidak berarti.

3. Tingkat kecemasan

Menurut Stuart (2013) ada 4 tingkat kecemasan yaitu:

a. Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari

– hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada. Kecemasan ringan dapat

memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

b. Kecemasan sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada

masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang

mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah.

c. Kecemasan berat

Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada

sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang

tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area

yang lain.

d. Panik (kecemasan sangat berat)

Berhubungan dengan ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan

kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun

dengan pengarahan. Kecemasan yang dialami akan memberikan berbagai respon

yang dapat dimanifestasikan pada respon fisiologis, respon kognitif dan respon

perilaku yang tergambar pada tabel di bawah ini:


Tabel 1. Tingkat Respon Kecemasan (Stuart, 2013)

Tingkat Kecemasan
Fisiologis Ringan Sedang Berat Panik
TD
TD tidak
TD TD meningkat
Tekanan Darah (TD) ada
meningkat meningkat kemudian
Perubahan
menurun
Nadi cepat
Nadi tidak
Nadi Nadi cepat Nadi cepat kemudian
Berubah
lambat
Pernafasan
Pernafasan Pernafasan Pernafasan cepat
Pernafasan tidak ada
meningkat meningkat dan dangkal
perubahan
4. Faktor – faktor yang mempengaruhi kecemasan

Stuart (2013) menyatakan ada beberapa teori yang telah dikembangkan untuk

menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan, diantaranya faktor

predisposisi dan presipitasi:

a. Faktor predisposisi Kecemasan

1) Dalam pandangan psikoanalitis, kecemasan adalah konflik emosional yang

terjadi antara dua elemen kepribadian id dan superego. Id mewakili dorongan

insting dan impuls primitive, sedangkan superego mencerminkan hati nurani

dan dikendalikan oleh norma budaya. Ego atau Aku, berfungsi menengahi

tuntutan dari dua elemen yang bertentangan itu, dan fungsi cemas adalah

mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

2) Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut

terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga

berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan

kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan haraga

diri rendah rentan mengalami kecemasan yang berat.


3) Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan produk frustasi yaitu

segala sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan

yang diinginkan. Ahli teori perilaku lain menganggap kecemasan sebagai

suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk

menghindari kepedihan. Ahli teori konflik memandang kecemasan sebagai

pertentangan antara dua kepentingan yang berlawanan. Mereka meyakini

adanya hubungan timbal balik antara konflik dan kecemasan. Konflik

menimbulkan kecemasan, dan kecemasan menimbulkan perasaan tidak

berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan konflik yang dirasakan.

4) Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya terjadi

dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara gangguan

kecemasan dengan depresi.

5) Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk

benzodiasepin, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam

gama-aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam mekanisme

biologis yang berhubungan dengan kecemasan. Kecemasan mungkin disertai

dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kemampuan individu

untuk mengatasi stressor.

b. Faktor presipitasi kecemasan

Menurut Stuart (2013) kategori faktor pencetus kecemasan dapat

dikelompokkan menjadi dua faktor:

1) Faktor eksternal:

a) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisiologis yang akan

terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-

hari (penyakit, trauma fisik, pembedahan yang akan dilakukan).

b) Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas, harga diri,

dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.


2) Faktor internal:

a) Usia, seseorang yang mempunyai usia lebih muda ternyata lebih mudah

mengalami gangguan akibat kecemasan daripada seseorang yang lebih tua

usianya.

b) Jenis kelamin, gangguan ini lebih sering dialami oleh wanita daripada pria.

Wanita memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan subjek

berjenis kelamin laki-laki. Dikarenakan bahwa perempuan lebih peka

dengan emosinya, yang pada akhirnya peka juga terhadap perasaan

cemasnya.

c) Tingkat Pengetahuan, dengan pengetahuan yang dimiliki, seseorang akan

dapat menurunkan perasaan cemas yang dialami dalam mempersepsikan

suatu hal. Pengetahuan ini sendiri biasanya diperoleh dari informasi yang

didapat dan pengalaman yang pernah dilewati individu.

d) Tipe kepribadian, orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami

gangguan kecemasan daripada orang dengan kepribadian B. Adapun ciri-

ciri orang dengan kepribadian A adalah tidak sabar, kompetitif, ambisius,

dan ingin serba sempurna.

e) Lingkungan dan situasi, seseorang yang berada di lingkungan asing

ternyata lebih mudah mengalami kecemasan dibanding bila dia berada di

lingkungan yang biasa dia tempati.

5. Rentang respon kecemasan

ADAPTIF MALADAPTIF
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

a. Respon adaptif

Hasil yang positif akan didapatkan jika individu dapat menerima dan

mengatur kecemasan. Kecemasan dapat menjadi suatu tantangan, motivasi yang

kuat untuk menyelesaikan masalah dan merupakan sarana untuk mendapatkan

penghargaan yang tinggi. Strategi adaptif biasanya digunakan seseorang untuk

mengatur kecemasan antara lain dengan bekerja kepada orang lain, menangis,

tidur, latihan, dan menggunakan teknik relaksasi.

b. Respon maladaptif

Ketika kecemasan tidak dapat diatur, individu menggunakan mekanisme

koping ulang disfungsi dan tidak berkesinambungan dengan yang lainnya. Koping

maladaptif mempunyai banyak jenis termasuk perilaku agresif, bicara tidak jelas,

isolasi diri, banyak makan, konsumsi alkohol, berjudi dan penyalahgunaan obat

terlarang.

6. Alat ukur kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan,

sedang, berat atau berat sekali menggunakan alat ukur (instrument) yang dikenal

dengan :

a) Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS – A).

Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok, dengan gejala masing masing

kelompok dirinci lagi dengan gejala – gejala yang lebih spesifik. Petunjuk

penggunaan alat ukur HRS – A adalah : penilaian 0 = tidak ada (tidak ada gejala

sama sekali); 1 = ringan (satu gejala dari pilihan yang ada); 2 = sedang (separuh

dari gejala yang ada); 3 = berat (lebih dari separuh dari gejala yang ada); 4 = sangat

berat (semua gejala yang ada). Penilaian kecemasan skor < 6 = tidak ada

kecemasan, skor 7 – 14 = kecemasan ringan, skor 15 – 27 = kecemasan sedang,


skor > 27 = kecemasan berat (Hawari, 2008).

b) The Amsterdam Preoperative Anxiety and Information Scale

(APAIS).

Menurut Firdaus (2014) The Amsterdam Preoperative Anxiety and

Information Scale (APAIS) merupakan salah satu instrument yang digunakan untuk

mengukur kecemasan pre operatif yang telah divalidasi, diterima dan diterjemahkan

ke dalam berbagai bahasa di dunia. Instrument APAIS dibuat pertama kali oleh

Moerman pada tahun 1995 di Belanda. Uji validitas dan reliabilitas instrument

APAIS versi Indonesia didapatkan hasil yang valid dan reliabel untuk mengukur

kecemasan pre operatif pada populasi Indonesia dengan hasil 70,79% dan nilai

Cronbach Alpha komponen kecemasan adalah 0,825 dan 0,863.

7. Hal – hal yang dapat mengurangi / menurunkan kecemasan

a) Penatalaksanaan farmakologi

Pengobatan untuk anti kecemasan terutama benzodiazepine, obat ini

digunakan untuk jangka pendek, dan tidak dianjurkan untuk jangka panjang karena

pengobatan ini menyebabkan toleransi dan ketergantungan. Obat anti kecemasan

nonbenzodiazepine, seperti buspiron (Busppar) dan berbagai antidepresan juga

digunakan (Isaacs, 2005).

b) Penatalaksanaan non farmakologi

Banyak pilihan terapi non farmakologi yang merupakan tindakan mandiri

perawat dengan berbagai keuntungan diantaranya tidak menimbulkan efek

samping, simple dan tidak berbiaya mahal (Roasdalh, 2015). Perawat dapat

melakukan terapi – terapi seperti terapi relaksasi, distraksi, meditasi, imajinasi.

Terapi relaksasi adalah tehnik yang didasarkan kepada keyakinan bahwa tubuh

berespon pada ansietas yang merangsang pikiran karena nyeri atau kondisi

penyakitnya. Teknik relaksasi dapat menurunkan ketegangan fisiologis (Asmadi,

2009). Terapi relaksasi memiliki berbagai macam yaitu latihan nafas dalam,
masase, relaksasi progresif, imajinasi, biofeedback, yoga, meditasi, sentuhan

terapeutik, terapi musik, serta humor dan tawa (Kozier, 2010).

8. Dukungan keluarga

a. Pengertian Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga

terhadap anggota keluarganya yang bersifat mendukung. Selalu siap memberikan

pertolongan dan bantuan jika diperlukan sehingga penerima dukungan keluarga

akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan

mencintainya. Dukungan keluarga merupakan bantuan atau dukungan yang

diterima individu dari orang-orang tertentu dalam kehidupannya (Ariyati, 2018).

b. Bentuk dukungan keluarga

Menurut Harnilawati (2013), keluarga memiliki beberapa bentuk dukungan yaitu:

1) Dukungan penghargaan

Dukungan ini meliputi pertolongan pada individu untuk memahami

kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan strategi koping

yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan ini juga

merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif

terhadap individu. Individu mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara

tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi pengharapan positif individu

kepada individu lain, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan

seseorang dan perbandingan positif seseorang dengan orang lain. Dukungan

keluarga dapat membantu meningkatkan strategi koping individu dengan

strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-

aspek yang positif.

2) Dukungan instrumental

Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti

pelayanan, bantuan materi, dan finansial (Instrumental support material


support). Dukungan instrumental adalah suatu kondisi dimana bantuan berupa

benda dan tenaga dapat membantu memecahkan masalah yang di alami

individu, contohnya memberikan bantuan uang, mambantu pekerjaan,

menyediakan transportasi, menjaga individu saat mengalami depresi dan

kecemasan, dll.

3) Dukungan informasional

Dukungan ini meliputi komunikasi dan penyampaian informasi yang ada

di dalam keluarga yang dapat memecahkan masalah yang dihadapi, contohnya

pemberian nasihat, pengarahan, saran, kritik, maupun umpan balik tentang apa

yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat memberikan saran dan nasihat

kepada anggota keluarga yang menghadapi suatu masalah yang dapat

menyebabkan kecemasan, stress, atau depresi. Individu yang menghadapi

masalah ini dapat memecahkan masalahnya dengan dukungan dari keluarga.

Pada dukungan ini keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi

informasi.

4) Dukungan emosional

Selama stressor dari suatu masalah terus menerpanya, individu sering

kali menderita secara emosional, merasa sedih, dan kehilangan harga diri. Jika

stressor menyebabkan depresi dan mengurangi perasaan seseorang akan hal

yang dimiliki dan dicintai. Dukungan emosional memberikan individu rasa

nyaman, rasa dicintai, empati, rasa percaya, dan perhatian sehingga individu

yang menerimanya merasa berharga.

c. Hubungan dukungan keluarga dengan kecemasan

Seseorang yang mendapatkan dukungan maka ia akan kurang merasa

cemas dan tidak mempedulikan banyak kecemasan yang sedang di hadapi.

Sehingga semakin banyak dukungan yang diperoleh dari keluarga pada

mahasiswa dalam mengahadapi praktik klinik saat masa Pandemi Covid-19


rendah pula tingkat kecemasan. Karena dukungan keluarga merupakan dukungan

natural atau alami yang memiliki makna penting dalam kehidupan seseorang

yang tidak di dapatkan dari lingkungan luar. Dukungan keluarga yang natural

diterima seseorang melalui interaksi sosial seseorang dalam kehidupannya secara

spontan dengan orang-orang yang berbeda disekitarnya dan dukungan ini

bersifat apa adanya (Nggarang & Jahum, 2019).

Dukungan dari berbagai pihak menjadi sangat dibutuhkan ketika sesorang

merasa terancam akan sesuatu. Hanya dengan bersama-sama teman atau keluarga

kecemasan dapat berkurang dan dapat membantu memecahkan suatu masalah

yang dihadapi. Mahasiswa mengungkapkan bahwa dukungan dari orang-orang

sekitar sangat diperlukan ketika merasakaan kecemasan terutama dukungan dari

orang tua. Orang tua yang tidak memberikan respons yang baik dan menunjukan

sikap acuh tak acuh, tidak menghargai dan kurang sungguh-sungguh ketika

mendengarkan mahasiswa bercerita, mahasiswa akan merasa tidak tenang dan

dapat menimbulkan kecemasan (Inayatul’ain, 2018).

d. Instrument dukungan keluarga

Menurut Ariyati (2018), untuk mengukur tingkat dukungan keluarga

diperlukan pengukuran pada aspek-aspek meliputi dukungan emosional,

dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasional.

Intrumen penilaian dukungan keluarga milik Ariyati (2018) berisi 44 item

pernyataan. Skala berbentuk model Likert dengan empat pilihan jawaban antara

lain: sangat setuju (SS), setuju (S), ragu-ragu (R), tidak setuju (TS), dan sangat

tidak setuju (STS). Kuesioner dibagi dalam dua kategori yaitu item favorable dan

item unfavorabel. Indikator alat ukur dukungan keluarga mecakup dukungan

emosional, penghargaan, instrumental, dan informasional

B. Konsep Covid 19
1. Pengertian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)

Menurut WHO (2020), penyakit coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah

penyakit menular yang disebabkan oleh virus corona yang baru ditemukan.

Kebanyakan orang yang terinfeksi virus COVID-19 akan mengalami penyakit

pernapasan ringan hingga sedang dan sembuh tanpa memerlukan perawatan khusus.

Orang tua dan orang-orang yang memiliki komorbit seperti penyakit

kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronis, dan kanker memungkin

tertular COVID-19. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit yang

disebabkan oleh turunan coronavirus baru. ‘CO’ diambil dari corona, ‘VI’ virus, dan

‘D’ disease (penyakit). Sebelumnya, penyakit ini disebut ‘2019 novel coronavirus’

atau ‘2019- nCoV.’ Virus COVID-19 adalah virus baru yang terkait dengan

keluarga virus yang sama dengan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan

beberapa jenis virus flu biasa (UNICEF, 2020). Menurut Sun et al., 2020, COVID-

19 adalah penyakit coronavirus zoonosis ketiga yang diketahui setelah SARS dan

sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS). Menurut Gennaro et al., 2020,

penyakit Virus Corona 2019 (COVID-19) adalah virus RNA, dengan penampakan

seperti mahkota di bawah mikroskop elektron karena adanya paku glikoprotein

pada amplopnya.

2. Patogenesis

Patogenesis SARS-CoV-2 masih banyak yang belum diketahui, akan tetapi

beberapa virus SARS-CoV-2 telah diketahui dan tidak jauh berbeda dengan

lainnya. Pada umumnya, virus ini menginfeksi sel-sel disaluran pernapasan yang

melapisi alveolus di dalam tubuh manusia. Hal ini akan membuat saling berikatan

dengan reseptor-reseptor lalu membuat jalan dan masuk ke dalam sel. Glikoprotein

yang terdapat dalam envelope spike virus akan berikatan juga dengan reseptor

selular seperti ACE2 pada SARS-CoV-2. Di dalam sel, virus ini akan melakukan

duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-protein dibutuhkan, kemudian


akan membentuk sebuah virion baru yang muncul pada permukaan sel. Sama halnya

dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diketahui saat setelah virus masuk di dalam

sel, genom RNA virus juga akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan

menjadi 2 poliprotein dan protein struktural (Susilo et al., 2020)

Selanjutnya, virus genom akan mulai bereplikasi. Di dalam selubung virus

baru pada glikoprotein akan membentuk serta masuk ke dalam golgi sel atau

membran retikulum endoplasma. Hal ini, akan terjadi pembentukan nukleokapsid

yang tersusun dari protein nukleokapsid dan genom RNA. Partikel virus akan

tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan Golgi sel. Ditahap akhir, vesikel yang

mengandung partikel virus akan bergabung dengan membran plasma untuk

melepaskan komponen virus yang baru. Pada SARS-CoV, Spike Protein dilaporkan

sebagai determinan signifikan yang didalamnya virus masuk kedalam sel pejamu.

Dan telah diketahui bahwa SARS- CoV masuk ke dalam sel dimulai dengan fusi

antara plasma membran dengan membran virus dari sel (Susilo et al., 2020). Dalam

proses ini, protein S2’ sangat berperan penting pada proses pembelahan proteolitik

yang memediasi sampai terjadinya sebuah proses fusi membran. Selain fusi

membrane itu, terdapat juga clathrin-independent dan clathrin-dependent

endocytosis yang memediasi masuknya SARS-CoV sel pejamu. Salah satu faktor virus

dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV. Dampak yang ditimbulkan dari

virus sitopatik yakni memiliki kemampuan untuk mengalahkan respons imun serta

menentukan keparahan suatu infeksi. Disregulasi sistem imun kemudian berfungsi

dalam kerusakan suatu jaringan pada infeksi virus SARS-CoV-2. Respons imun

yang tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan kerusakan jaringan. Bila

respons imun ini berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan.

Respons imun ini disebabkan oleh SARS-CoV-2 yang belum dapat dipahami

sepenuhnya, akan tetapi dapat dipelajari dari mekanisme yang ditemukan pada

MERS-CoV dan SARS-CoV.


Saat virus ini masuk ke dalam sel, antigen virus akan di presentasikan ke

Antigen Presentation Cells (APC). Presentasi antigen virus ini bergantung pada

Molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) Kelas 1. Walaupun, MHC

kelas II juga turut berkontribusi. Presentasi antigen berikutnya menstimulasi

respons imunitas humoral dan selular tubuh yang dimediasi oleh sel B dan sel T

yang spesifik pada virus. Pada respons imun humoral ini terbentuk IgG dan IgM

pada SARS-CoV. Akhirnya IgM pada SAR-CoV ini hilang di akhir minggu ke-12

dan IgG bertahan dalam jangka panjang.

3. Transmisi

Menurut Xu et al. (2020) terdapat beberapa macam penyebaran COVID-19

diantaranya sebagai berikut.

a. Droplet

COVID-19 ditularkan terutama melalui tetesan pernapasan. Ketika seorang

pasien batuk atau bersin, droplet yang mengandung virus mungkin dihirup oleh

individu yang rentan.

b. Kontak Langsung

Ditemukan bahwa 71,8% penduduk non-lokal memiliki riwayat COVID-

19 karena kontak dengan individu dari Wuhan. Lebih dari 1800 dari 2055 (~

88%) pekerja medis dengan COVID-19 berada di Hubei, menurut laporan dari

475 rumah sakit.

c. Kontak Tidak Langsung

Hal ini terjadi ketika droplet mengandung COVID-19 mendarat di

permukaan meja, gagang pintu, telepon, dan benda mati lainnya. Virus itu

dipindahkan dari permukaan ke selaput lendir dengan jari yang terkontaminasi

menyentuh mulut, hidung, atau mata. Penelitian telah memperkirakan bahwa

COVID-19 dapat bertahan hingga 5 hari pada suhu 20 ° C, kelembaban 40-


50%, dan dapat bertahan hidup kurang dari 48 jam di udara kering, dengan

pengurangan viabilitas setelah 2 jam.

d. Penularan Asimptomatik

Infeksi asimptomatik telah dilaporkan dalam setidaknya dua kasus

dengan paparan riwayat ke pasien yang berpotensi pra-simptomatik yang

kemudian didiagnosis dengan COVID-19. Virus itu dulu ditularkan ke tiga

anggota keluarga sehat lainnya. Sebelum berkembangnya gejala, individu mungkin

tidak diisolasi dan mungkin merupakan sumber virus seluler yang penting.

e. Penularan Antar Keluarga

Penularan dalam klaster keluarga sangat umum. Satu studi melaporkan

bahwa 78 hingga 85% kasus dalam kelompok agregat besar terjadi karena

transmisi antar militer di Sichuan dan Guangdong, China.

f. Transmisi Aerosol

Lingkungan tertutup dengan kondisi buruk ventilasi, aerosol dapat

bertahan di udara selama 24-48 jam dan menyebar dari beberapa meter hingga

puluhan meter. Namun, belum ada bukti kuat untuk aerosol penularan. WHO

juga menganggap bahwa rute ini memerlukan penyelidikan lebih lanjut

g. Penularan Okuler

Telah dilaporkan sebagai dokter tanpa pelindung mata terinfeksi selama

inspeksi di Wuhan pada 22 Januari 2020. Studi lebih lanjut ditemukan bahwa

COVID-19 dapat dideteksi dalam air mata dan sekresi konjungtiva pasien

COVID- 19.

h. Penularan Tinja-Oral

Pertama kali dilaporkan dalam kasus COVID-19 di AS. Studi selanjutnya

terdeteksi SARS-CoV-2 dalam tinja dan penyeka dubur COVID-19 pasien.

Selanjutnya, 23,3% dari Pasien COVID-19 tetap COVID-19 positif bahkan

ketika viral load tidak lagi terdeteksi di saluran pernapasan. SARS-CoV-2 juga
telah terdeteksi di epitel lambung, duodenum, dan rektal. Tidak ada bukti yang

cukup untuk mendukung transmisi vertikal karena sampel dari neonatus yang

dilahirkan dengan positif COVID-19 dari ibu negatif. Apalagi tidak ada viral

load telah terdeteksi dari lingkungan vagina 35 wanita pasien, menunjukkan

kurangnya bukti untuk penularan seksual dari COVID-19.

4. Faktor Resiko

Menurut R. Miller (2020) ada beberapa faktor resiko COVID-19 diantaranya

sebagai berikut :

a. Usia 65 Tahun dan Lebih Tua

Tingkat keparahan dan hasil dari penyakit coronavirus disease 2019 (COVID-

19) sangat bergantung pada usia pasien. Orang lansia dengan usia 65 tahun

keatas mewakili 80% rawat inap dan memiliki risiko kematian 23 kali lipat

lebih besar daripada mereka yang berusia di bawah 65 tahun (Mueller et al.,

2020).

b. Tinggal di Panti Jompo atau Fasilitas Perawatan dalam Jangka Panjang

Hal ini disebabkan perawatan atau kebersihan yang buruk dan kekurangan

alat pelindung diri sehingga mudah berisiko covid-19 (S. M. Shi et al., 2020).

c. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Dalam sebuah studi mengevaluasi 1.099 pasien yang didiagnosis di

laboratorium COVID-19 di Cina, PPOK terdeteksi pada 1,1% pasien. Dalam

meta- analisis yang mengevaluasi kejadian penyakit ini mendasari pasien COVID-

19 yang membutuhkan rawat inap, 0,95% pasien ditemukan mengalami PPOK

(95%) (Çakır Edis, 2020).

d. Penderita Asma

Proporsi penderita asma dan COVID-19 selama masa penelitian adalah

1,41%, yang jauh lebih tinggi dari 0,86% yang diamati pada populasi umum.
Meskipun data ini menunjukkan frekuensi COVID-19 yang lebih tinggi pada

pasien asma, manifestasi dari penyakit pada populasi klinis ini tidak terlalu

parah, dengan angka


rumah sakit yang rendah penerimaan. Selain itu, proporsi ini lebih rendah

daripada yang dilaporkan untuk pasien kronis lainnya penyakit (Izquierdo et

al., 2020).

e. Kondisi Kardiovaskular yang Serius

Peningkatan komorbiditas kardiovaskular berlaku untuk COVID-19 juga,

terutama di antara mereka yang memiliki penyakit lebih parah. Dalam 1 kohort

dari 191 pasien dari Wuhan, Cina, komorbiditas ditemukan pada 48% (67%

yang tidak bertahan), hipertensi pada 30% (48% yang tidak bertahan), DM

pada 19% (31% tidak bertahan), dan CVD pada 8% (13% dari tidak bertahan).

Dalam kohort dari 138 dirawat di rumah sakit pasien dengan COVID-19,

komorbiditasnya serupa lazim (46% secara keseluruhan dan 72% pada pasien

yang membutuhkan perawatan unit perawatan intensif (ICU), seperti juga

komorbiditas kardiovaskular: hipertensi pada 31% (58% pada pasien yang

membutuhkan perawatan ICU), CVD pada 15% (25% pada pasien yang

membutuhkan perawatan ICU), dan DM pada 10% (22% pada pasien yang

membutuhkan perawatan ICU) (Clerkin et al., 2020)

f. Menerima Kemoterapi

Orang yang menerima kemoterapi dengan sistem kekebalan yang

terganggu dan komplikasi, setelah transplantasi sel induk memiliki peningkatan

risiko infeksi (Ahnach & Doghmi, 2020) .

g. Riwayat Sumsum Tulang atau Transplantasi Organ

Selama transplantasi sumsum tulang, komplikasi paru sering terjadi dan

berhubungan dengan kematian. Infeksi COVID-19 dapat mempersulit gejala

klinis dengan risiko gangguan pernapasan yang lebih tinggi dan situasi ini bisa

menjadi lebih kritis tergantung pada faktor-faktor komorbiditas seperti usia,

penyakit kardiovaskular, hati dan ginjal (Ahnach & Doghmi, 2020)


h. Defisiensi Imun

Singkatnya, dampak klinis COVID-19 pada IDP bervariasi dari gejala

ringan sampai kematian. Proporsi kematian dalam hal ini seri (25%) lebih besar

dari pada populasi umum dengan COVID-19 dilaporkan di rumah sakit Kota

New York (10,2%), dan serupa dengan data hasil yang dilaporkan dalam

transplantasi ginjal populasi (28%). Dalam pengalaman single-center ini, mereka

yang meninggal karena penyakit terkait PID atau penyakit penyerta lainnya yang

sudah ada sebelumnya.

i. HIV/AIDS yang Tidak Terkontrol dengan Baik

Gejala yang dilaporkan dengan tingkat keparahan pasien COVID-19

dengan infeksi HIV. Gejala umum adalah demam (165 dari 223, 74,0%), batuk

(130 dari

223, 58,3%), dan dispnea (68 dari 223, 30,5%). Kurang umum adalah sakit kepala

(18 dari 223, 19,7%), artralgia / mialgia (33 dari 223, 14,8%), dan sakit

tenggorokan (18 dari 223, 8,1%). Setiap gejala gastrointestinal dilaporkan sebesar

13,0%. COVID-19 dilaporkan ringan hingga sedang di 141 kasus 212 (66,5%),

parah pada 46 pasien (21,7%), dan kritis pada 25 pasien (11,8%). Mayoritas pasien

(158 dari 244, 64,7%) dirawat di rumah sakit; 16,8% dirawat di unit perawatan

intensif (Mirzaei et al., 2020)

j. Riwayat Merokok

Sebanyak 16 artikel yang merinci 11322 pasien COVID-19 dimasukkan

bahwa hasil penelitian meta-analisis mengungkapkan hubungan antara riwayat

merokok dan kasus COVID-19 yang parah 95%. Selain itu, ditemukan

hubungan antara riwayat merokok saat ini dan COVID-19 yang parah 95%.

kemudian 10,7% (978/9067) bukan perokok, COVID-19 tergolong parah,

sedangkan pada perokok


aktif, COVID-19 yang parah terjadi pada 21,2% (65/305) kasus

(Gülsen et al., 2020)

k. Diabetes Melitus

Pasien dengan diabetes melitus memiliki kecenderungan

meningkatnya infeksi virus dan bakteri yang mempengaruhi saluran

pernapasan. Salah satu mekanisme yang bertanggung jawab atas

kecenderungan ini adalah sindrom leukosit, yang merupakan gangguan

fungsi leukosit dari fagositosis (gangguan kekebalan). Hal ini semakin

menekankan kemungkinan peningkatan kecenderungan infeksi

SARS- CoV-2 pada kelompok diabetes.

l. Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit ginjal kronis dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari

infeksi yang parah. Dalam sebuah meta-analisis menunjukkan 20%

pasien dengan penyakit ginjal kronis yang terjangkit COVID-19

memiliki penyakit parah, risiko 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan

dengan mereka tanpa penyakit ginjal kronis (Hassanein et al., 2020).

m. Penyakit Hati

Selain itu menurut Susilo et al. (2020) beberapa faktor risiko lain

seperti jenis kelamin laki-laki yang diketahui berkaitan erat dengan

prevalensi perokok aktif yang tinggi, orang yang memiliki kontak erat,

orang yang tinggal serumah dengan pasien yang terkonfirmasi virus

covid-19, pernah bepergian ke daerah yang terjangkit virus, satu

lingkungan yang sama tapi tidak pernah kontak dekat atau jarak 2
meter termasuk resiko rendah, dan terakhir tenaga kesahatan menjadi

salah satu yang berisiko tinggi tertular.

5. Definisi Operasional Kasus COVID-19

Definisi operasional pada kasus COVID-19 di Indonesia mengacu

pada panduan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia yang mengadopsi dari WHO (Kemenkes RI, 2020).

a. Kasus Suspek

Dibawah ini merupakan salah satu kriteri yang dimiliki oleh

seseorang yang teridentifikasi kasus suspek.

1) Orang yang memiliki Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA),

selama 14 hari terakhir memiliki riwayat perjalanan atau tinggal

di negara/wilayah yang terpapar dengan tanpa timbul gejala.

2) Orang yang memiliki salah satu tanda/gejala ISPA dan sebelum

munculnya gejala pada 14 hari terakhir mempunyai riwayat

kontak dengan orang yang terkonfirmasi/probable COVID-19.

3) Orang yang mengalami ISPA berat/pneumonia berat dan

membutuhkan perawatan di rumah sakit serta tidak ada penyebab

lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.

b. Kasus Probable

Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS/meninggal dengan

gambaran klinis yang meyakinkan COVID-19 dan belum ada hasil

pemeriksaan laboratorium RT- PCR.


c. Kasus Konfirmasi

Seseorang yang diidentifikasi positif terjangkit virus COVID-

19 dengan dibuktikan oleh pemeriksaan penunjang dari laboratorium

RT-PCR. Kasus konfirmasi tersesebut dibagi menjadi 2 kategori :

1. Simptomatik (Kasus yang terkonfirmasi dengan gejala)

2. Asimptomatik (Kasus yang terkonfirmasi tanpa adanya gejala

d. Kontak Erat

Seseorang yang mempunyai riwayat kontak dengan salah satu

seseorang yang teridentifikasi kasus probable atau konfirmasi COVID-

19, diantaranya sebagai berikut:

1) Kontak berdekatan/tatap muka dengan salah satu yang

terindentifikasi kasus probable atau kasus konfirmasi dalam jarak

1 meter serta kurun waktu 15 menit/ lebih.

2) Sentuhan fisik langsung dengan orang yang memiliki kasus

probable/konfirmasi (seperti bersalam-salaman, berjabat tangan,

dan sebagainya).

3) Orang yang melakukan perawatan langsung pada pasien dengan

kasus probable atau konfirmasi dengan tidak menggunakan APD

yang lengkap atau sesuai ketentuan standar.

4) Situasi dari lainnya menunjukkan bahwa adanya kontak yang

berdasarkan pada penilaian risiko lokal yang telah ditetapkan oleh

tim penyelidikan epidemiologi di wilayah masing-masing.

Pada kasus konfirmasi/probable yang bergejala (simptomatik)


ini, dalam mencari kontak erat, terhitung dari 2 hari sebelum kasus

gejala ini timbul dan 14 hari setelah kasus ini timbul gejala. Pada

kasus konfirmasi yang tidak memiliki gejala (asimptomatik), dalam

menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum

dan 14 hari setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi.

e. Pelaku Perjalanan

Seseorang yang telah melakukan suatu perjalanan baik dalam

atau luar negeri pada 14 hari terakhir.

f. Discarded

Dibawah ini merupakan kriteria-kriteria yang ada pada discarded:

1) Seseorang yang memiliki status kasus suspek dengan hasil

pemeriksaan RT- PCR negative sebanyak 2 kali berlangsung

selama 2 hari dalam kurun waktu >24 jam.

2) Seseorang yang mempunyai status kontak erat yang sudah

menyelesaikan karantina selama 2 minggu atau 14 hari.

Selesai isolasi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:

1) Kasus asimtomatik atau konfirmasi tanpa gejala yang tidak

dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR dengan ditambah 10

hari isolasi mandiri sejak pengambilan spesimen diagnosis

konfirmasi.

2) Kasus simtomatik atau kasus konfirmasi dengan gejala atau probable

yang tidak dilakukan dengan pemeriksaan secara follow up dengan

RT-PCR yang terhitung 10 hari diawal dan juga ditambah minimal


3 hari setelah tidak memunculkan gejala demam maupun gangguan

pernapasan lagi.

3) Kasus konfirmasi dengan gejala atau kasus probable atau

simptomatik yang menerima hasil pemeriksaan follow up RT-PCR

1 kali negatif, dan dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak

menimbulkan gejala demam ataupun gangguan pada pernapasan.

g. Kematian

Kematian pasien COVID-19 untuk kepentingan surveilans

merupakan kasus probable atau kasus konfirmasi covid-19 yang telah

meninggal.

6. Komplikasi

Komplikasi yang paling utama yang ada pada pasien COVID-19 adalah

ARDS, tapi tidak hanya ARDS, melainkan dapat terjadi komplikasi lain

daintaranya (Susilo et al., 2020).

a. Gangguan Ginjal Akut

b. Jejas Kardiak

c. Disfungsi Hati

d. Dan Pneumotoraks.

e. Syok Sepsis

f. Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)

g. Rabdomiolisis

h. Pneumomediastinum

Menurut KEMENKES RI (2020) komplikasi terdiri atas beberapa


jenis sebagai berikut.

a. Komplikasi Akibat Penggunaan Ventilasi Mekanik Invasif (IMV) Yang

Lama

b. Ventilator-Associated Pneumonia (VAP)

c. Tromboemboli Vena

d. Catheter-Related Bloodstream

e. Stres Ulcer Dan Pendarahan Saluran Pencernaan

f. Kelemahan Akibat Perawatan di ICU

7. Komplikasi Lainnya Selama Perawatan Pasien

Komorbit Menurut (KEMENKES RI, 2020) bahwa COVID-19 mudah

terserang pada pasien komorbit atau penyakit penyerta, diantaranya.

a. Diabetes Mellitus (Diabetes Mellitus Tipe 1 dan Tipe 2)

b. Penyakit Ginjal

c. Glucocorticoid-Associated Diabetes

d. Penyakit Terkait Geriatri

e. St Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)

f. Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)

g. Hipertensi

h. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

i. Penyakit Terkait Autoimun

j. Tuberculosis

k. Penyakit kronis lain yang diperberat oleh kondisi penyakit covid-19


8. Masa Inkubasi

Menurut WHO bahwa masa inkubasi berkisar 5 – 6 hari dan paling lama

14 hari. Akan tetapi menurut salah jurnal Clinical characteristics of 2019

novel coronavirus infection in China menjelaskan bahwa masa inkubasi

COVID-19 berkisar 0-24 hari (Wang et al., 2020).

9. Karakteristik Gejala-Gejala COVID-19

Menurut Sukmana & Yuniarti, 2020, tanda-tanda dan gejala khas yang paling

umum meliputi:

a. Demam ≥ 38°C (87,9%),

b. Batuk kering (67,7%),

c. Kelelahan (38,1%)

Gejala lain ringan-sedang diantaranya:

a. Produksi Dahak (33,4%)

b. Sesak Napas (18,6%)

c. Sakit Tenggorokan ( 13,9%)

d. Sakit Kepala (13,6%)

e. Mialgia atau Arthralgia (14,8%)

f. Menggigil (11,4%)

g. Mual atau Muntah (5,0%)

h. Hidung Tersumbat

(4,8%)

i. Diare (3,7%)

j. Hemoptisis (0,9%)
k. Kongesti Konjungtiva (0,8%)

l. Anosmia, Rash Skin pada Jari dan Kaki (WHO, 2020).

Gejala berat :

a. Sesak Napas (18,6%)

b. Frekuensi Napas Lebih dari 30X/Menit

c. Hipoxemia

d. PaO2/FiO2 Ratio 50% dalam 24-48 Jam : Kemudian telah muncul gejala

baru yakni happy hypoxia, suatu kondisi di mana pasien memiliki saturasi

oksigen rendah (SpO2 < 90%), tetapi tidak sedang mengalami gangguan

pernapasan yang signifikan dan sering tampak baik secara klinis (Widysanto

et al., 2020).

10. Varian SARS-CoV-2 Baru dari Inggris

Pada 14 Desember 2020, pihak berwenang Inggris Raya dan Irlandia

Utara melaporkan kepada WHO bahwa varian SARS-CoV-2 baru

diidentifikasi melalui pengurutan genom virus. Varian ini disebut sebagai

SARS-CoV-2 VUI 202012/01 (Variant Under Investigation, tahun 2020,

bulan 12, varian 01). Analisis awal menunjukkan bahwa varian tersebut dapat

menyebar lebih mudah di antara orang- orang (WHO, 2020).

Ditemukan sebanyak 1108 kasus yang terinfeksi SARS-CoV-2 VUI

202012/01 yang telah terdeteksi di Inggris pada 13 Desember 2020. Varian

tersebut diambil sebagai bagian dari penyelidikan epidemiologi dan virologi

yang dimulai pada awal Desember 2020 menyusul kejadian yang tidak
terduga. peningkatan kasus COVID-19 di Inggris Tenggara. Hal ini ditandai

dengan peningkatan lebih dari 3 kali lipat dalam tingkat pemberitahuan kasus

14 hari dari minggu ke-41 epidemiologis menjadi minggu ke-50 (5 Oktober

hingga 13 Desember 2020). Rata-rata, antara 5 - 10% dari semua virus

SARS-CoV-2 secara rutin diurutkan di Inggris Raya dan 4% secara rutin

diurutkan di Inggris Tenggara sejak awal pandemi. Dari 5 Oktober hingga 13

Desember, lebih dari 50% isolat diidentifikasi sebagai strain varian di Inggris

Tenggara. Analisis retrospektif melacak varian teridentifikasi pertama ke

Kent, South East England, pada 20 September 2020, yang diikuti oleh

peningkatan cepat dari varian yang sama yang diidentifikasi kemudian pada

November. Sebagian besar kasus COVID-19 yang darinya varian ini telah

diidentifikasi terjadi pada orang di bawah usia 60 tahun (WHO, 2020).

11. Pecegahan Covid-19

Tindakan pencegahan dan mitigasi adalah kunci penerapan di pelayanan

kesehatan dan masyarakat. Langkah-langkah pencegahan yang paling efektif

di masyarakat yaitu meliputi : 1) Selalu menjaga kebersihan tangan dengan

menggunakan hand sanitizer jika tangan tampak kotor atau cuci tangan

dengan sabun dan air. 2) Menghindari menyentuh mata, hidung, dan mulut

setelah kontak dengan orang. 3) Menerapkan etika batuk dan bersin dengan

menutup mulut dan hidung dengan lengan atas bagian dalam atau

menggunakan tisu dan di lanjutkan cuci tangan. 4) Menggunakan masker

medis atau masker kain jika berpergian keluar rumah dan segera mencuci

tangan setelah menyentuh masker atau membuang masker bekas pakai. 5)


Selalu menjaga jarak minimal 1 meter dari orang atau tidak berkerumbun

dengan banyak orang (Kemenkes, 2020)

12. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Menurut gugus tugas

percepatan penanganan Covid-19, terdapat 3 tingkat penggunaan alat

pelindung diri untuk tenaga medis yaitu :

a. Tingkat 1 Untuk kelompok tenaga medis dan paramedis seperti dokter,

perawat, dan supir ambulans yang bertugas di tempat praktik umum, tiase

prapemeriksaan, dan di bagian rawat jalan umum harus menggunakan

alat pelindung diri seperti masker bedah 3 lembar, sarung tangan karet

sekali pakai, dan baju kerja (Taher, 2020).

b. Tingkat 2 Untuk kelompok tenaga medis dan paramedis tingkat 2 seperti

dokter, perawat, radiologi, farmasi, laboran, dan supir ambulans harus

menggunakan alat pelindung diri seperti pelindung mata, masker 3

lembar, penutup kepala, sarung tangan karet sekali pakai, dan gown.

Mereka hanya menangani pemeriksaan pasien dengan gejala infeksi

pernapasan dan pemeriksaan yang melibatkan ODP, PDP, atau

konfirmasi Covid-19 (Taher, 2020).

c. Tingkat 3 Untuk kelompok tenaga medis tingkat 3 seperti dokter,

perawat, dokter gigi, perawat gigi, dan laboran harus menggunakan alat

pelindung diri seperti pelindung mata dan face shield, masker N95,

penutup kepala, coverall/ hazmat, sarung tangan bedah karet steril sekali
pakai, sepatu boots saat bertugas di ruangan pasien ODP, PDP, dan

konfirmasi Covid19 yang berpotensi menimbulkan aerosol dan kegiatan

membutuhkan tindakan langsung ke pasien (Taher, 2020).

Bagan 2.1
Konsep Teori

Kecemasan
ringan

Kecemasan Kecemasan Perawat covid 19


sedang

Kecemasan Berat

Anda mungkin juga menyukai