Anda di halaman 1dari 16

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di RS Kartika Husada Jatiasih Tahun 2022. Data

penelitian diambil dari data primer pada bulan November 2021 – Januari 2022.

Total sampel dalam penelitian ini sebanyak 20 responden.

5.1 Analisa Univariat

Tabel 5. 1.1
Distribusi frekuensi data karakteritik pasien dengan masalah sistem
respirasi di RS Kartika Husada Jatiasih Tahun 2021
Hasil
Karakteristik responden
Frekuensi Persentase (%)

Usia
26 TH – 35 TH 3 18.8
36 TH – 45 TH 9 56.3
46 TH – 55 TH
3 18.8
56 TH – 65 TH
>65 th 0 0
1 6.3
Total 16 100
Jenis Kelamin
Perempuan 3 18.7
Laki-laki 13 81.3
Total 16 100
Pendidikan
SD 0 0
SMP 3 18.8
SMA
10 62.5
PT
3 18.8
Total 16 100
Pekerjaan
IRT 2 12.8
Buruh 11 68.8
PNS
3 18.8
Total 16 100

Sumber : Data Primer

44
Berdasarkan Tabel 5.1.1 menunjukkan hasil data distribusi frekuensi

karakteristik responden yang mengalami gangguan respirasi lebih dari separuh

responden usia 36th – 45th 9 responden (56.3%), lebih dari separuh responden

jenis kelamin laki-laki 13 responden (81.3%), lebih dari separuh responden

pada pendidikan sebanyak 10 responden (62.5%), lebih dari separuh

responden pada pekerjaan buruh 11 responden (68.8%).

Tabel 5. 1.2
Rata-rata Respiratory rate pada pasien gangguan respirasi pada pasien Asma
Pre dan Post terapi inhalasi Nebulizer di Rumah Sakit
Kartika Husada Jatiasih Tahun 2021
Variabel Median SD Min-Max 95%CI n
Pre 1.00 .342 1-2 .94-1.31 16
Post 2.00 .500 1-2 1.36-1.89 16

Berdasarkan tabel 5.1.2 didapatkan rata-rata Rata-rata Respiratory rate

pada pasien gangguan respirasi pada pasien Asma Pre dan Post terapi inhalasi

Nebulizer di Rumah Sakit Kartika Husada Jatiasih Tahun 2021. Pada Sebelum

diberikan terapi inhalasi nebulizer adalah 1.00 dikategorikan tidak abnormal

dan sesudah diberikan terapi inhalasi nebulizer 2.00 dikategorikan normal.

Tabel 5.1.3
Rata-rata Saturasi Oksigen (SpO2) pada pasien gangguan respirasi pada
pasien Asma Pre dan Post terapi inhalasi Nebulizer di Rumah Sakit
Kartika Husada Jatiasih Tahun 2021
Variabel Median SD Min-Max 95%CI n
Pre 1.00 .479 1-2 1.06-1.57 16
Post 2.00 .477 1-2 1.51-1.99 16

Berdasarkan tabel 5.1.3 didapatkan rata-rata Rata-rata Saturasi Oksigen

(SpO2) pada pasien gangguan respirasi pada pasien Asma Pre dan Post terapi

inhalasi Nebulizer di Rumah Sakit Kartika Husada Jatiasih Tahun 2021. Pada

Sebelum diberikan terapi inhalasi nebulizer adalah 1.00 dikategorikan tidak


abnormal dan sesudah diberikan terapi inhalasi nebulizer 2.00 dikategorikan

normal.

Penilaian Respiratory rate dan Saturasi Oksigen (SpO2) menunjukkan

hasil yang berbeda beda, pada uji parametrik nilai shapiro wilk dengan nilai

>0.05 dengan hasil = 0.000 dari hasil tersebut maka data tidak berdistribusi

normal karena nilai <0.005, maka peneliti menggunakan uji statistik

nonparametrik dengan Wilcoxon untuk membandingkan Respiratory rate dan

Saturasi Oksigen (SpO2) sebelum dan sesudah dterapi inhalasi nebulizer .

5.2 Analisa Bivariat

Tabel 5.2.1
Pengaruh sebelum dan sesudah diberikan Terapi Inhalasi Nebulizer dengan
gangguan sisterm respirasi pada pasien Asma pada perubahan
respiratory rate di Rumah Sakit Kartika Jatiasih
Tahun 2021
95%
Confidenc Mea
e Interval n P
St.deviatio
Variabel of the Rank valu n
n
Difference e
Lower Uppe
r
Pre terapi inhalasi
Nebulizer pada RR .342 0.94 1.31

Post terapi 4.50 0.00 16


inhalasi 5
.500 1.36 1.89
Nebulizer pada RR

Berdasarkan tabel 5.2.1 dengan tingkat kepercayaan 95% (<0.05) nilai p

value adalah 0.005 dengan nilai Mean Rank 4.50, sebelum diberikan terapi

inhalasi nebulizer dengan standar deviation .342, lower 0.94 dan Upper 1.31

dikategorikan respiratory rate tidak normal, sesudah diberikan terapi inhalasi


dengan standar deviation .500, lower 1.36 dan Upper 1.89 dikategorikan

respiratory rate normal.

Tabel 5.2.2
Pengaruh sebelum dan sesudah diberikan Terapi Inhalasi Nebulizer dengan
gangguan sisterm respirasi pada pasien Asma pada perubahan
Saturasi Oksigen SpO2 di Rumah Sakit Kartika Jatiasih
Tahun 2021
95%
Confidenc Mea
e Interval n P
St.deviatio
Variabel of the Rank valu N
n
Difference e
Lower Uppe
r

Pre terapi inhalasi .479 1.06 1.57


Nebulizer pada
SpO2
4.00 0.00 16
8
Post terapi .447 1.99 1.78
inhalasi
Nebulizer pada
SpO2

Berdasarkan tabel 5.2.2 dengan tingkat kepercayaan 95% (<0.05) nilai p

value adalah 0.005 dengan nilai Mean Rank 4.00, sebelum diberikan terapi

inhalasi dengan standar deviation .479, lower 1.06 dan Upper 1.57 dikategorikan

SpO2 tidak normal, sesudah diberikan terapi inhalasi dengan standar

deviation .447, lower 1.99 dan Upper 1.78 dikategorikan SpO2 normal.
BAB VI
PEMBAHASAN

Pada Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian efektifitas pemberian terapi

nebulaizer terhadap RR (pernafasan) dan SpO2 (Saturasi) dengan masalah sistem

respirasi di RS Kartika Husada Jatiasih Tahun 2022. Pembahasan dalam penelitian

ini menguraikan secara rinci interpretasi dan diskusi hasil penelitian. Disamping

itu dalam bab ini juga dijelaskan tentang keterbatasan penelitian yang telah

dilaksanakan serta implikasi hasil penelitian untuk keilmuan keperawatan.

6.1. Analisa Univariat

6.1.1. gambaran karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan pasien dengan masalah sistem respirasi di RS Kartika

Husada Jatiasih.

Hasil distribusi frekuensi data usia mayoritas 36th – 45th 11 responden (55,0%),

penderita yang mengalami gangguan paru paling banyak pada kelompok usia

produktif (15-44 tahun). Hal ini terjadi karena pada usia produktif mempunyai

mobilitas yang tinggi sehingga kemungkinan untuk terpapar kuman lebih besar

dan ditambah kebiasaan yang mempunyai faktor resiko untuk mengalami

gangguan pernapasan seperti: merokok, minum alkohol, begadang dan yang

lainnya (Sondakh, Onibala, and Nurmansyah 2020). Pada pekerja kemungkinan

terpajan bahan allergen pencentus asma, polusi udara dapat mempengaruhi asma

pada usia dewasa tetapi lebih sering sebagai faktor yang memperburuk asma yang

sudah ada sebelumnya dibandingkan dengan penyebab asma baru (Tana, 2018)

48
49

Hasil distribusi frekuensi data jenis kelamin mayoritas laki-laki 15 responden

(75,0%), faktor resiko meningkatnya kejadian infeksi saluran pernapasan adalah

dengan jenis kelamin laki-laki. Pada lakil-aki dan perempuan pada usia 15-24

tahun memiliki resiko tidak terlalu jauh perbedaan, akan tetapi resiko tersebut

akan menjadi dua kali lipat pada laki-laki setelah berumur 25 tahun. Dewi,

Rahmalia & Ananda (2018) hal lain yang menyebabkan infeksi saluran

pernapasan pada laki-laki adalah kebiasaan merokok dan terpapar asap rokok.

Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran pernapasan

dan jaringan paru-paru (Sondakh, Onibala, and Nurmansyah 2020).

Husna (2014) pada laki-laki lebih banyak terpapar penyakit asma, hal ini

disebabkan karena laki-laki cenderung memiliki beban kerja yang lebih berat,

gaya hidup yang tidak tepat selain itu merokok juga dapat memicu terjadinya

kekambuhan penyakit asma. Majampoh (2013) mengatakan laki-laki memiliki

resiko terkena asma lebih tinggi dari perempuan. Hal ini terkait bahwa laki-laki

cenderung merokok dan mengkonsumsi alkohol sehingga dapat menurunkan

sistem pertahanan tubuh dan lebih mudah terpapar dengan agen penyebab asma

(Sondakh, Onibala, and Nurmansyah 2020).

Hasil distribusi frekuensi data pendidikan mayoritas SMA 13 responden (65,0%),

penelitian ini sejalan dengan penelitian Rustimi (2018) didapatkan hasil, 30

pekerja pembuat furniture di Kecamatan Medan Johor tahun 2017 menunjukkan

bahwa dari 23 pekerja yang memiliki pendidikan SMA, terdapat 16 pekerja

(69,6%) mengalami keluhan pernafasan. Pendidikan adalah proses pengubahan

sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam mendewasakan manusia

melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Pada et al. 2018).


50

Semakin tinggi pendidikan responden, diharapkan wawasan yang dimilikinya

akan semakin luas sehingga pengetahuan pun juga akan meningkat, sebaliknya

rendahnya pendidikan responden, akan mempersempit wawasan sehingga akan

menurunkan pengetahuan, termasuk pengetahuan responden mengenai debu dan

penerapan pengetahuan untuk menggunakan alat pelindung diri dari bahaya yang

ditimbulkan oleh debu seperti keluhan dan gangguan pernafasan (Pada et al.

2018).

Hasil distribusi frekuensi data pekerjaan mayoritas buruh 13 responden (65,0%),

pasien RS Kartika Husada Jatiasih merupakan rumah sakit dekat dengan kawasan

industri, banyak pasien yang bekerja sebagai buruh pabrik. Penelitian ini sejalan

dengan penelitian Rustimi (2018) didapatkan hasil dari 30 pekerja pembuat

furniture di Kecamatan Medan Johor tahun 2017 menunjukkan bahwa 19 pekerja

yang memiliki riwayat bekerja di tempat yang berdebu, terdapat 14 pekerja

(73,7%) mengalami keluhan pernafasan. Hubungan antara penyakit dengan

pekerjaan dapat diduga dengan adanya riwayat perbaikan keluhan setelah bekerja

di tempat yang baru atau setelah digunakan bahan baru di tempat kerja. Riwayat

pekerjaan dapat menggambarkan apakah pekerja pernah terpapar dengan

pekerjaan berdebu atau tidak (Pada et al. 2018).

6.1.2. gambaran sebelum dan sesudah diberikan terapi nebulizer terhadap RR

(pernafasan) dan SpO2 (saturasi) dengan masalah sistem respirasi di RS Kartika

Husada Jatiasih Tahun 2021.


51

RR mayoritas tidak normal 18 responden (90,0%). Setelah diberikan terapi

inhalasi pos test perubahan nilai RR mayoritas normal 12 responden (60,0%).

Distribusi frekuensi kelompok intervensi pretest berdasarkan tabel 5.2 diatas

terhadap perubahan SpO2 mayoritas tidak normal 14 responden (70,0%). Setelah

diberikan terapi inhalasi pos test perubahan nilai SpO2 mayoritas normal 14

responden (70,0%). Nebulizer merupakan alat yang digunakan untuk memberikan

terapi pengobatan bagi pasien yang terserang gangguan saluran pernapasan

dengan memanfaatkan cairan uap yang sudah tercampur dengan obat.

Perkembangan pesat pada teknologi terapi inhalasi telah memberikan manfaat

yang besar bagi pasien yang menderita penyakit saluran pernapasan. Keuntungan

utama pada terapi inhalasi bahwa obat di hantarkan langsung ke dalam saluran

pernapasan langsung masuk ke paru-paru, kemudian menghasilkan konsentrasi

lokal yang lebih tinggi dengan resiko yang jauh lebih rendah terhadap efek

samping sistemik yang timbul (Alhyari et al. 2018).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian (Sondakh, 2020) karakteristik responden

berdasarkan frekuensi pernafasan sebelum pemberian nebulizer menunjukan

bahwa sebelum pemberian nebulizer frekuensi pernafasan dalam kategori takipnea

yaitu 16 responden (100%). Beberapa faktor pencetus serangan asma menurut

Education (2015) yaitu allergen, infeksi virus, obat-obatan, olahraga, faktor fisis,

makanan, polusi udara, faktor pekerjaan, faktor hormon, refluks gastroesofagus,

stress. Saryono (2010) bahwa pada asma, diameter bronchiolus akan berkurang

selama ekspirasi dari pada inspirasi. Ini terjadi karena adanya peningkatan tekanan

dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronchioles, karena

bronchiolus sudah tersumbat sebagian maka sumbatan selanjutnya adalah akibat


52

dari eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi (Goh

et al. 2020).

Rahmawati (2012), dampak adanya hambatan pada jalan nafas akan menimbulkan

dampak pada sistem-sistem tubuh yaitu adanya peningkatan frekuensi nafas, susah

bernafas, periode inspirasi agak pendek dan periode inspirasi yang panjang.

Serangan asma bronkial terjadi karena dua faktor. Yang pertama faktor ekstrinsik

yaitu disebabkan karena menghirup allergen yang biasanya terjadi pada anak-anak

yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit alergi. Tipe ini yang akan

kambuh tiap kali terpapar oleh allergen, sedangkan yang kedua adalah faktor

ekstrinsik yaitu mengacu pada faktor diluar mekanisme imunitas dan umumnya

dijumpai pada usia dewasa. Faktor ini meliputi stress, olahraga, aktifitas yang

berat serta obat-obatan (Ikawati, 2011).

Berdasarkan asumsi peneliti, pemberian terapi nebulizer merupakan pemberian

terapi untuk membebaskan jalan nafas setelah nilainya, terapi inhalasi merupakan

terapi pendukung farmakologi yang biasa digunakan oleh dokter pada pasien

dengan gangguan respirasi. Sebelum dan sesudah pemberian terapi ada perubahan

signifikan pada nilai respirasi dan SpO2 Pasien.

6.2 Analisa Bivariat

Efektifitas sebelum dan sesudah pemberian terapi nebulaizer terhadap RR

(pernafasan) dan SpO2 (saturasi) dengan masalah sistem respirasi di RS

Kartika Husada Jatiasih Tahun.

Berdasarkan output Paired Sample T Test nilai respiratory rate Sig.

(2-tailed) sebesar 0,000 < 0,05, dan nilai SpO2 0,002 < 0,05 maka dapat
53

disimpulkan ada efektifitas pemberian terapi nebulizer terhadap RR

(pernafasan) dan SpO2 (Saturasi) dengan masalah sistem respirasi di RS

Kartika Husada Jatiasih Tahun 2022. Hasil uji Wilcoxon pengaruh pemberian

nebulizer terhadap frekuensi pernafasan pada pasien gangguan saluran

pernafasan di RSU GMIM Panacaran Kasih Manado tahun 2019. Pemberian

nebulizer selama 15-20 menit menunjukan hasil nilai frekuensi pernafasan

sebelum dan sesudah pemberian nebulizer pada pasien gangguan saluran

pernafasan didapatkan nilai median frekuensi pernafasan sebelum pemberian

nebulizer nilai minimal yaitu 25%, dan nilai maksimal adalah 30%, dsengan

nilai median 26,50%. Kemudian sesudah pemberian nebulizer didapatkan nilai

minimal 17% dan maksimal 20%, dengan nilai median 18,00% dan pada nilai

P-Value diperoleh hasil yang signifikan 0,000 < 0,05 (Sondakh, Onibala, and

Nurmansyah 2020).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian nebulizer

terhadap frekuensi pernapasan pada pasien gangguan saluran pernapasan di

RSU GMIM Pancaran Kasih Manado. Penelitian ini sejalan dengan Ikawati

(2011), pemberian nebulizer pada pasien asma menimbulkan medikasi

langsung pada tempat atau sasaran aksinya (seperti paru), pengiriman obat ke

paru sangat cepat, sehingga aksinya lebih cepat dari pada rute lainnya seperti

subkutan atau oral, serta dosis yang rendah dapat menurunkan absorbs

sistemik dan efek samping sistemik. Muttaqins (2014), juga mengatakan

nebulizer merupakan suatu alat pengobatan dengan cara pemberian obat-

obatan dengan penghirupan, setelah obat-obatan tersebut terlebih dahulu

dipecahkan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil melalui cara aerosol


54

atau humidifikasi. Tujuan dari pemberian nebulizer yaitu rileksasi dari spasme

bronchial, mengencerkan secret melancarkan jalan nafas, melembabkan

saluran pernafasan (Sondakh, Onibala, and Nurmansyah 2020).

Berdasarkan asumsi peneliti, perubahan nilai Respratory rate dan saturasi

oksigen. Nebulizer merupakan alat yang digunakan untuk memberikan terapi

pengobatan bagi pasien yang terserang gangguan saluran pernapasan dengan

memanfaatkan cairan uap yang sudah tercampur dengan obat. Perkembangan

pesat pada teknologi terapi inhalasi telah memberikan manfaat yang besar bagi

pasien yang menderita penyakit saluran pernapasan.

6.3 Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari bahwa dalam penelitian ini masih memiliki kelemahan dan
banyak keterbatasan yang harus diperbaiki dalam penelitian di masa
mendatang.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan judul efektifitas


pemberian terapi nebulaizer terhadap RR (pernafasan) dan SpO2 (Saturasi)
dengan masalah sistem respirasi di RS Kartika Husada Jatiasih Tahun 2022.
Maka dapat disimpulkan :

7.1.1. Diketahui karakteristik responden berdasarkan usia mayoritas usia 36th –

45th 11 responden (55,0%, jenis kelamin laki-laki 15 responden (75,0%),

pendidikan SMA 13 responden (65,0%), pekerjaan buruh 13 responden

(65,0%) pasien dengan masalah sistem respirasi di RS Kartika Husada

Jatiasih.

7.1.2. Diketahui sebelum diberikan terapi nebulizer terhadap RR (pernafasan)

dan SpO2 (saturasi) dengan masalah sistem respirasi di RS Kartika Husada

Jatiasih mayoritas tidak normal 18 responden (90,0%).

7.1.3. Diketahui sesudah diberikan terapi nebulizer terhadap RR (pernafasan)

dan SpO2 (saturasi) dengan masalah sistem respirasi di RS Kartika Husada

Jatiasi mayoritas normal 12 responden (60,0%) .

7.1.4. Ada efektifitas sebelum dan sesudah pemberian terapi nebulizer terhadap

RR (pernafasan) dan SpO2 (saturasi) dengan masalah sistem respirasi di

RS Kartika Husada Jatiasih Tahun p value 0,000 < 0,05.

55
56

7.2. Saran

A. Bagi Instalasi Rumah Saikt

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi rumah sakit

yang diperlukan dalam pelaksanaan di unit penyakit dalam untuk

meningkatkan pelayanan kesehatan dalam bidang praktek keperawatan

khususnya pada pasien pasien yang mengalami masalah sistem respirasi.

B. Bagi profesi keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai informasi baru kepada

mahasiswa dan menjadikan bahan acuan dalam proses belajar mengajar

bagi mahasiswa terkait Perbedaan efektifitas pemberian terapi nebulizer

terhadap RR (pernafasan) dan SpO2 (saturasi) dengan masalah sistem

respirasi.

C. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk peneliti lebih

lanjut dengan metode Penelitian yang berbeda dengan meneliti Perbedaan

efektifitas pemberian terapi nebulizer terhadap RR (pernafasan) dan SpO2

(saturasi) dengan masalah sistem respirasi.


DAFTAR PUSTAKA

Alhyari, Ibrahim M., Mahdi A. Alabadi, Ghassan J. Hijazin, and Fadi T.

Alasasfeh. 2018. “SPO2 Vital Sign: Definition, Ranges, and Measurements.”

International Journal of Scientific and Research Publications (IJSRP) 8(7):

287–89.

Amran, Bakhtiar Arief & Wirya Sastra. 2016. “Faal Paru Statis.” Unpad 2(3): 91–

98. http://blogs.unpad.ac.id/novim/files/2011/03/RESPIRASI_120311.pdf.

Goh, Ken Junyang et al. 2020. “Early Prediction of High Flow Nasal Cannula

Therapy Outcomes Using a Modified ROX Index Incorporating Heart Rate.”

Journal of Intensive Care 8(1): 1–14.

Handayani, Novy Akti. “184957-ID-Sistem-Pakar-Diagnosa-Penyakit-Saluran-P.”

Insani, Mirza, and Dharma Permana. 2020. “Use of Antibiotics for Acute

Respiratory Infection (ARI) in Puskesmas Karang Rejo, Tarakan.” Yarsi

Journal of Pharmacology 1(1): 15–21.

http://academicjournal.yarsi.ac.id/index.php/yjp/article/view/1208.

Jeklin, Andrew. 2016. “済無 No Title No Title No Title.” (July): 1–23.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. “Laporan Nasional

RISKESDAS 2018.” Kementrian Kesehatan RI: 1–582.

https://dinkes.kalbarprov.go.id/wp-content/uploads/2019/03/Laporan-

Riskesdas-2018-Nasional.pdf.

Muliadi, Dedi. 2015. “Universitas Sumatera Utara 7.” : 7–37.

Nurul, mas’ud waqiah. 2017. “Konsep Dasar Asma.” Persepsi Masyarakat

Terhadap Perawatan Ortodontik Yang Dilakukan Oleh Pihak Non

Profesional 53(9): 1689–99.

57
Pada, Pernafasan, Pekerja Pembuat, Furniture Di, and Mimi Rustami. 2018.

“Universitas Sumatera Utara.”

Permadi, Bagus Anggara. 2019. “Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan

Kapasitas Vital Paru.” Muhammadiyah University of Semarang 53(9): 1689–

99.

Sondakh, Syutrika A, Franly Onibala, and Muhamad Nurmansyah. 2020.

“Pengaruh Pemberian Nebulisasi Terhadap Frekuensi.” Jurnal Keperawat 8:

75–82.

Yuli Ani, Ahmad Muzaki, Yuli Ani. 2020. “Penerapan Posisi Semi Fowler

Terhadap Ketidakefektifan Pola Nafas Pada Pasien Congestive Heart Failure

(Chf).” Nursing Science Journal (NSJ) 1(1): 19–24.

58
59

Judul : Efektifitas Pemberian Terapi Nebulizer Terhadap RR

(pernapasan) dan SpO2 (saturasi) di RS Kartika Husada Jatiasih

Nama :

Usia :

Jenis Kelamin :

NO Kategori Saturasi (SPO2) Pernafasan (RR)

1 Sebelum di nebulizer

2 Sesudah di nebulizer

Anda mungkin juga menyukai