Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Kecemasan

a. Pengertian kecemasan

Cemas berasal dari bahasa latin anxius dan dalam bahasa jerman

angst kemudian menjadi anxiety yang berarti kecemasan, merupakan

suatu kata yang digunakan oleh Freud untuk menggambarkan suatu

efek negatif dan keterangsangan (Jatman, 2000).

Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang

ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam

dan berkelanjutan , tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas ,

kepribadian utuh, perilaku dapat terganggu tapi masih dalam batas

normal (Hawari, 2006).

Kecemasan berkaitan erat dengan perasaan tidak berdaya. Keadaan

emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik, kondisi dialami secara

subyektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal

(Hamid,2008 ).

Kecemasan tidak dapat dihindarkan dari kehidupan individu dalam

memelihara keseimbangan. Pengalaman cemas seseorang tidak sama

pada beberapa situasi dan hubungan interpersonal. Hal yang dapat

menimbulkan kecemasan biasanya bersumber dari ancaman integritas

biologi meliputi gangguan terhadap kebutuhan dasar makan, minum,


kehangatan, sex, dan ancaman terhadap keselamatan diri seperti tidak

menemukan integritas diri, tidak menemukan status prestise, tidak

memperoleh pengakuan dari orang lain dan ketidaksesuaian

pandangan diri dengan lingkungan nyata (Suliswati, 2005).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan

1) Faktor predisposisi

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kecemasan

(Stuart, 2007). Faktor faktor tersebut antara lain :

a) Teori psikoanalitik

Menurut teori psikoanalitik Sigmund Freud, kecemasan timbul

karena konflik antara elemen kepribadian yaitu id(insting) dan

super ego (nurani ). Id mewakili dorongan insting dan impuls

primitif seseorang sedang superego mencerminkan hati nurani

seseorang dan dikendalikan norma budayanya. Ego berfungsi

menengahi tuntutan dari dua elememen yang bertentangan dan

fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

b) Teori interpersonal

Menurut teori ini kecemasan timbul dari perasan takut terhadap

tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.

Kecemasan Juga berhubungan dengan perpisahan dan

kehilangan yang menimbulkan kelemahan spesifik.


c) Teori behavior

Kecemasan merupakan produk frustrasi yaitu segala sesuatu

yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai

tujuan yang diinginkan.

d) Teori perspektif keluarga

Kecemasan dapat timbul karena pola interaksi yang tidak

adaptif dalam keluarga.

e) Teori perspektif biologi

Fungsi biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor

khusus Benzodiapine. Reseptor ini mungkin membantu

mengatur kecemasan. Penghambat asam amino butirik-gamma

neuro regulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama

dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan

sebagaimana endomorfin. Selain itu telah dibuktikan bahwa

kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai

predisposisi terhadap kecemasan. Kecemasan dapat disertai

gangguan fisik dan menurunkan kapasitas seseorang untuk

mengatasi stressor.

2) Faktor prespitasi

Faktor presipitasi adalah faktor-faktor yang dapat menjadi pencetus

terjadinya kecemasan (Stuart, 2007). Faktor pencetus tersebut

adalah :
a) Ancaman terhadap integritas seseorang yang meliputi

ketidakmampuan fisiologis atau menurunnya kemampuan untuk

melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

b) Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan

identitas harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi dari

seseorang.

Pada pasien yang akan menjalani operasi faktor pencetus

kecemasannya adalah faktor yang dialami individu baik bersifat

internal maupun eksternal. Faktor internalnya adalah adanya

ketakutan akan pembiusan,kecacatan, kematian, takut akan rasa

nyeri, takut kehilangan pekerjaan, menjadi tanggungan keluarga.

Sedangkan faktor eksternalnya adalah lingkungan yang

baru,peralatan operasi atau pembiusan yang asing serta petugas

kesehatannya.

c. Tingkat kecemasan

Stuart (2007) membagi tingkat kecemasan menjadi empat tingkat antara

lain:

1) Kecemasan Ringan

Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan

sehari-hari, kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada

dan meningkatkan lapang persepsinya. Kecemasan ini dapat

memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta

kreativitas.
Respon fisiologis ditandai dengan sesekali nafas pendek, nadi dan

tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut,

bibir bergetar. Respon kognitif merupakan lapang persepsi luas,

mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada

masalah, menyelesaikan masalah secara efektif. Respon perilaku

dan emosi seperti tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada

tangan, suara kadang-kadang meningkat.

2) Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan

pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga

seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat

melakukan sesuatu yang terarah. Respon fisiologis: sering nafas

pendek, nadi dan tekanan darah meningkat,mulut kering,

diare,gelisah. Respon kognitif; lapang persepsi menyempit,

rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang

menjadi perhatiannya. Respon perilaku dan emosi ; meremas

tangan, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur dan perasaan

tidak enak.

3) Kecemasan Berat

Sangat mengurangi lapang persepsi seseorang terhadap sesuatu

yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal yang

lain. Semua perilaku ditujukan untuk menghentikan ketegangan

individu dengan kecemasan berat memerlukan banyak pengarahan


untuk dapat memusatkan pikiran pada suatu area lain. Respon

fisiologi : nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat,

berkeringat, ketegangan dan sakit kepala. Respon kognitif : lapang

persepsi amat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah. Respon

perilaku dan emosi : perasaan ancaman meningkat.

4) Panik

Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang.

Hilangnya kontrol, menyebabkan individu tidak mampu melakukan

apapun meskipun dengan perintah. Respon fisologis : nafas pendek,

rasa tercekik, sakit dada, pucat, hipotensi, koordinasi motorik

rendah. Respon kognitif : lapang persepsi sangat sempit, tidak dapat

berpikir logis. Respon perilaku dan emosi: mengamuk dan marah,

ketakutan, kehilangan kendali. Rentang respons ansietas menurut

Stuart (2007) sebagai berikut :

Respon adaptif resopon mal adaptif

Antisipasi ringan sedang berat panik


Skema 2.1

d. Respon kecemasan

Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang, respon

kecemasan menurut Suliswati (2005) antara lain:


1) Respon Fisiologis terhadap Kecemasan

Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan

mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis).

Sistem saraf simpatis akan mengaktivasi proses tubuh, sedangkan

sistem saraf parasimpatis akan meminimalkan respon tubuh. Reaksi

tubuh terhadap kecemasan adalah “fight” atau “flight”. Flight

merupakan reaksi isotonic tubuh untuk melarikan diri, dimana

terjadi peningkatan sekresi adrenalin ke dalam sirkulasi darah yang

akan menyebabkan meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah

sistolik, sedangkan fight merupakan reaksi agresif untuk menyerang

yang akan menyebabkan sekresi noradrenalin, rennin angiotensin

sehingga tekanan darah meningkat baik sistolik maupun diastolik.

Bila korteks otak menerima rangsang akan dikirim melalui saraf

simpatis ke kelenjar adrenal yang akan melepaskan adrenalin atau

epinefrin sehingga efeknya antara lain napas menjadi lebih dalam,

nadi meningkat. Darah akan tercurah terutama ke jantung, susunan

saraf pusat dan otot. Dengan peningkatan glikogenolisis maka gula

darah akan meningkat.

2) Respon Psikologis terhadap Kecemasan

Kecemasan dapat mempengaruhi aspek interpersonal maupun

personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan

gerak refleks. Kesulitan mendengarkan akan mengganggu


hubungan dengan orang lain. Kecemasan dapat membuat individu

menarik diri dan menurunkan keterlibatan dengan orang lain.

3) Respon Kognitif

Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik proses

piker maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu

memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya

lapang persepsi, dan bingung.

4) Respon Afektif

Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk

kebingungan dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap

kecemasan.

e. Penatalaksanaan kecemasan

1) Penatalaksanaan Farmakologi

Pengobatan untuk anti kecemasan terutama benzodiazepine, obat ini

digunakan untuk jangka pendek, dan tidak dianjurkan untuk jangka

panjang karena pengobatan ini menyebabkan toleransi dan

ketergantungan. Obat anti kecemasan nonbenzodiazepine, seperti

buspiron (Buspar) dan berbagai antidepresan juga digunakan

(Isaacs, 2005).

2) Penatalaksanaan non farmakologi

a) Distraksi

Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan kecemasan

dengan cara mengalihkan perhatian pada hal-hal lain sehingga


pasien akan lupa terhadap cemas yang dialami. Stimulus sensori

yang menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin yang

bisa menghambat stimulus cemas yang mengakibatkan lebih

sedikit stimuli cemas yang ditransmisikan ke otak (Potter &

Perry, 2005). Salah satu distraksi yang efektif adalah dengan

memberikan dukungan spiritual (membacakan doa sesuai agama

dan keyakinannya), sehingga dapat menurunkan hormon-

hormon stressor, mengaktifkan hormon endorfin alami,

meningkatkan perasaan rileks, dan mengalihkan perhatian dari

rasa takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh

sehingga menurunkan tekanan darah serta memperlambat

pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan aktivitas gelombang

otak. Laju pernafasan yang lebih dalam atau lebih lambat

tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi,

pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih baik.

b) Relaksasi

Terapi relaksasi yang dilakukan dapat berupa relaksasi,

meditasi, relaksasi imajinasi dan visualisasi serta relaksasi

progresif

(Isaacs, 2005).
2. Pre operasi

a. Pengertian pre operasi

Keperawatan pre operasi merupakan tahapan awal dari

keperawatan perioperatif. Perawatan pre operasi merupakan tahap

pertama dari perawatan perioperatif yang dimulai sejak pasien diterima

masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan

ke meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan (Mirianti,

2011).

Fase pre operasi dimulai ketika keputusan untuk menjalani operasi

dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan kemeja operasi.

Kesuksesan dalam tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat

tergantung pada fase ini. Hal ini merupakan awalan yang menjadi

landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya. Kesalahan

yang dilakukan pada fase ini akan berakibat fatal pada tahap

berikutnya. Pengakajian secara integral dari fungsi pasien meliputi

fungsi fisik biologis dan psikologis sangat diperlukan untuk

keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi (Smeltzer & Bare, 2001 ).

b. Persiapan pre operasi

Persiapan klien di unit perawatan, diantaranya (Ilmu Bedah, 2010):

1) Persiapan fisik

Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien

sebelum operasi antara lain:


a) Status Kesehatan Fisik Secara Umum

Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan

pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas

klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat

kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status

hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi

ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-

lain. Selain itu pasien harus istirahat yang cukup karena dengan

istirahat yang cukup pasien tidak akan mengalami stres fisik,

tubuh lebih rileks sehingga bagi pasien yang memiliki riwayat

hipertensi, tekanan darahnya dapat stabil dan pasien wanita

tidak akan memicu terjadinya haid lebih awal.

b) Status Nutrisi

Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan

dan berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar

protein darah (albumin dan globulin) dan keseimbangan

nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus di koreksi

sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup

untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi buruk dapat

mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi pasca

operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat

di rumah sakit.
c) Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input

dan output cairan. Demikian juga kadar elektrolit serum harus

berada dalam rentang normal. Keseimbangan cairan dan

elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal

berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi

metabolik obat- obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka

operasi dapat dilakukan dengan baik.

d) Pencukuran Daerah Operasi

Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari

terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan

karena rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat

bersembunyi kuman dan juga mengganggu/ menghambat proses

penyembuhan dan perawatan luka. Meskipun demikian ada

beberapa kondisi tertentu yang tidak memerlukan pencukuran

sebelum operasi, misalnya pada pasien luka incisi pada lengan.

Tindakan pencukuran (scheren) harus dilakukan dengan hati-

hati jangan sampai menimbulkan luka pada daerah yang

dicukur. Sering kali pasien di berikan kesempatan untuk

mencukur sendiri agar pasien merasa lebih nyaman. Daerah

yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis operasi dan

daerah yang akan dioperasi.


e) Personal Hygiene

Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi

karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan

dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang di operasi. Pada

pasien yang kondisi fisiknya kuat diajurkan untuk mandi sendiri

dan membersihkan daerah operasi dengan lebih seksama.

Sebaliknya jika pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan

personal hygiene secara mandiri maka perawat akan

memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan personal hygiene.

f) Pengosongan Kandung Kemih

Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan

pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi bladder

tindakan kateterisasi juga diperlukan untuk mengobservasi

balance cairan.

g) Latihan Pra Operasi

Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum operasi,

hal ini sangat penting sebagai persiapan pasien dalam

menghadapi kondisi pasca operasi, seperti: nyeri daerah operasi,

batuk dan banyak lendir pada tenggorokan. Latihan- latihan

yang diberikan pada pasien sebelum operasi, antara lain :

(1) Latihan Nafas Dalam

Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk

mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat membantu


pasien relaksasi sehingga pasien lebih mampu beradaptasi

dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas tidur. Selain

itu teknik ini juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan

oksigenasi darah setelah anastesi umum. Dengan melakukan

latihan tarik nafas dalam secara efektif dan benar maka

pasien dapat segera mempraktekkan hal ini segera setelah

operasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien.

(2) Latihan Batuk Efektif

Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien

terutama klien yang mengalami operasi dengan anestesi

general. Karena pasien akan mengalami pemasangan alat

bantu nafas selama dalam kondisi teranestesi. Sehingga

ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman pada

tenggorokan. Dengan terasa banyak lendir kental di

tenggorokan. Latihan batuk efektif sangat bermanfaat bagi

pasien setelah operasi untuk mengeluarkan lendir atau sekret

tersebut.

(3) Latihan Gerak Sendi

Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi

pasien sehingga setelah operasi, pasien dapat segera

melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan untuk

mempercepat proses penyembuhan. Pasien/ keluarga pasien

seringkali mempunyai pandangan yang keliru tentang


pergerakan pasien setelah operasi. Banyak pasien yang tidak

berani menggerakkan tubuh karena takut jahitan operasi

sobek atau takut luka operasinya lama sembuh. Pandangan

seperti ini jelas keliru karena justru jika pasien selesai

operasi dan segera bergerak maka pasien akan lebih cepat

merangsang usus (peristaltik usus) sehingga pasien akan

lebih cepat kentut/ flatus. Keuntungan lain adalah

menghindarkan penumpukan lendir pada saluran pernafasan

dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya dekubitus.

Tujuan lainnya adalah memperlancar sirkulasi untuk

mencegah stasis vena dan menunjang fungsi pernafasan

optimal.

2) Persiapan Penunjang

Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

dari tindakan pembedahan. Tanpa adanya hasil pemeriksaan

penunjang, maka dokter bedah tidak mungkin bisa menentukan

tindakan operasi yang harus dilakukan pada pasien. Pemeriksaan

penunjang yang dimaksud adalah berbagai pemeriksaan radiologi,

laboratorium maupun pemeriksaan lain seperti EKG, dan lain-lain.

Sebelum dokter mengambil keputusan untuk melakukan operasi

pada pasien, dokter melakukan berbagai pemeriksaan terkait dengan

keluhan penyakit pasien sehingga dokter bisa menyimpulkan

penyakit yang diderita pasien. Setelah dokter bedah memutuskan


untuk dilakukan operasi maka dokter anstesi berperan untuk

menentukan apakah kondisi pasien layak menjalani operasi. Untuk

itu dokter anastesi juga memerlukan berbagai macam pemerikasaan

laboratorium terutama pemeriksaan masa perdarahan (bledding

time) dan masa pembekuan (clotting time) darah pasien, elektrolit

serum, hemoglobin, protein darah, dan hasil pemeriksaan radiologi

berupa foto thoraks dan EKG.

3) Pemeriksaan Status Anestesi

Pemeriksaaan status fisik untuk pembiusan perlu dilakukan untuk

keselamatan selama pembedahan. Sebelum dilakukan anastesi demi

kepentingan pembedahan, pasien akan mengalami pemeriksaan

status fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh mana resiko

pembiusan terhadap diri pasien. Pemeriksaan yang biasa digunakan

adalah pemeriksaan dengan menggunakan metode ASA (American

Society of Anasthesiologist). Pemeriksaan ini dilakukan karena obat

dan teknik anastesi pada umumnya akan mengganggu fungsi

pernafasan, peredaran darah dan sistem saraf.

4) Inform Consent

Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang

terhadap pasien, hal lain yang sangat penting terkait dengan aspek

hukum dan tanggung jawab dan tanggung gugat, yaitu Inform

Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa

tindakan medis, operasi sekecil apapun mempunyai resiko. Oleh


karena itu setiap pasien yang akan menjalani tindakan medis, wajib

menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan tindakan medis

(pembedahan dan anastesi).

Inform Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung

tinggi aspek etik hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung

jawab terhadap pasien wajib untuk menandatangani surat

pernyataan persetujuan operasi. Artinya apapun tindakan yang

dilakukan pada pasien terkait dengan pembedahan, keluarga

mengetahui manfaat dan tujuan serta segala resiko dan

konsekuensinya. Pasien maupun keluarganya sebelum

menandatangani surat pernyataan tersebut akan mendapatkan

informasi yang detail terkait dengan segala macam prosedur

pemeriksaan, pembedahan serta pembiusan yang akan dijalani. Jika

petugas belum menjelaskan secara detail, maka pihak pasien/

keluarganya berhak untuk menanyakan kembali sampai betul- betul

paham. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena jika tidak

maka penyesalan akan dialami oleh pasien/ keluarga setelah

tindakan operasi yang dilakukan ternyata tidak sesuai dengan

gambaran keluarga.

5) Persiapan Mental/ Psikis

Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam

proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau

labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan


pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada

integeritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres

fisiologis maupun psikologis (Barbara C. Long, 2000). Contoh:

perubahan fisiologis yang muncul akibat kecemasan dan ketakutan

misalkan pasien dengan riwayat hipertensi jika mengalami

kecemasan sebelum operasi dapat mengakibatkan pasien sulit tidur

dan tekanan darahnya akan meningkat sehingga operasi bisa

dibatalkan.

Ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami pasien dapat

dideteksi dengan adanya perubahan- perubahan fisik seperti:

meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, gerakan- gerakan

tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah,

menayakan pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, dan

sering berkemih. Perawat perlu mengkaji mekanisme koping yang

biasa digunakan oleh pasien dalam menghadapi stres. Disamping itu

perawat perlu mengkaji hal- hal yang bisa digunakan untuk

membantu pasien dalam menghadapi masalah ketakutan dan

kecemasan ini, seperti adanya orang terdekat, tingkat perkembangan

pasien, faktor pendukung/ support system.

c. Indikasi dan klasifikasi pembedahan

Menurut Smeltzer & Bare (2001) dalam Arfian (2013), pembedahan

mungkin dilakukan untuk berbagai alasan. Alasan tersebut mungkin

diagnostik, seperti ketika dilakukan biopsi atau laparatomi eksplorasi;


dapat juga kuratif, seperti ketika mengeksisi massa tumor atau

mengangkat apendiks yang mengalami inflamasi; kemungkinan juga

reparative, seperti ketika harus memperbaiki luka multiple; mungkin

juga rekonstruktif atau kosmetik, seperti ketika melakukan

mammoplasti atau perbaikan wajah; atau mungkin paliatif, seperti

ketika harus menghilangkan nyeri atau memperbaiki masalah, sebagai

contoh, ketika selang gastrostomi dipasang untuk mengkompensasi

terhadap ketidakmampuan untuk menelan makan.

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan

Menurut Saharon, et.all (2000) dalam Arfian (2013), faktor-faktor yang

mempengaruhi kecemasan pada pasien pre operasi antara lain :

1) Nyeri dan Ketidaknyamanan (Pain And Discomfort)

Suatu yang umum dan biasa terjadi pada pasien pre operasi akibat

pembedahan. Perawat bertugas memberikan informasi dan

meyakinkan kepada pasien bahwa pembedahan tidak akan

dilakukan tanpa diberikan anastesi terlebih dahulu. Pada

pembedahan akan timbul reaksi nyeri pada daerah luka dan pasien

merasa takut untuk melakukan gerakan tubuh atau latihan ringan

akibat nyeri pada daerah perlukaan. Faktor tersebut akan

menimbulkan cemas pada pasien pre operasi.


2) Ketidaktahuan (Unknow)

Cemas pada hal-hal yang belum diketahui sebelumnya adalah suatu

hal yang umum terjadi. Ini disebabkan karena kurangnya informasi

tentang pembedahan.

3) Kerusakan atau Kecacatan (Mutilation)

Cemas akan terjadi kerusakan atau perubahan bentuk tubuh

merupakan salah satu faktor bukan hanya ketika dilakukan amputasi

tetapi juga pada operasi-operasi kecil. Hal ini sangat dirasakan oleh

pasien sebagai suatu yang sangat mengganggu body image.

4) Kematian (Death)

Cemas akan kematian disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

ketika pasien mengetahui bahwa operasi yang akan dilakukan akan

mempunyai resiko yang cukup besar pada tubuh sehingga akan

menyebabkan kematian.

5) Anestesi (Anesthesia)

Pasien akan mempersepsikan bahwa setelah dibius pasien tidak

akan sadar, tidur terlalu lama dan tidak akan bangun kembali.

Pasien mengkhawatirkan efek samping dari pembiusan seperti

kerusakan pada otak, paralisis, atau kehilangan kontrol ketika dalam

keadaan tidak sadar.


3. Alat ukur kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah

ringan, sedang, berat atau panik dapat menggunakan alat ukur kecemasan

yang dikutip dari Hawari (2008) menggunakan HRS-A (Hamilton Rating

Scale for Anxiety), yang terdiri atas 14 komponen gejala, yaitu:

1) Perasaan cemas (ansietas), meliputi: cemas, firasat buruk, takut

akan pikiran sendiri, mudah tersinggung

2) Ketegangan, meliputi: merasa tegang, lesu, tidak bisa istirahat

tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar, gelisah

3) Ketakutan, meliputi: pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri,

pada binatang besar, pada keramaian lalu lintas, pada kerumunan

orang banyak

4) Gangguan tidur, meliputi: sukar masuk tidur, terbangun malam hari,

tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpimimpi,

mimpi buruk, mimpi menakutkan

5) Gangguan kecerdasan, meliputi: sukar konsentrasi, daya ingat

menurun, daya ingat buruk

6) Perasaan depresi (murung), meliputi: hilangnya minat,

berkurangnya kesenangan pada hobi, sedih, bangun dini hari,

perasaan berubah-berubah sepanjang hari

7) Gejala somatik/fisik (otot), meliputi: sakit dan nyeri otot-otot, kaku,

kedutan otot, gigi gemerutuk, suara tidak stabil


8) Gejala somatik/fisik (sensorik), meliputi: tinnitus (telinga

berdenging), penglihatan kabur, muka merah atau pucat, merasa

lemas, perasaan ditusuk-tusuk

9) Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah), meliputi,

takikardia, berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi mengeras,

rasa lemas seperti mau pingsan, detak jantung berhenti sekejap

10) Gejala respiratori (pernafasan), meliputi: rasa tertekan atau sempit

di dada, rasa tercekik, sering menarik nafas, nafas pendek/sesak

11) Gejala gastrointestinal (pencernaan), meliputi: sulit menelan, perut

melilit, gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan,

perasaan terbakar di perut, rasa penuh atau kembung, mual, muntah,

buang air besar lembek, konstipasi, kehilangan berat badan

12) Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin), meliputi: sering buang

air kecil, tidak dapat menahan air kencing, tidak dating bulan, darah

haid amat sedikit, masa haid berkepanjangan, masa haid amat

pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, menjadi dingin, ejakulasi

dini, ereksi ilmiah, ereksi hilang, impotensi

13) Gejala autonom, meliputi: mulut kering, muka merah, mudah

berkeringat, kepala pusing, kepala terasa berat, kepala terasa sakit,

bulu-bulu berdiri

14) Tingkah laku (sikap) pada wawancara, meliputi: gelisah, tidak

tenang, jari gemetar, kerut kening, muka tegang, otot tegang /

mengeras, nafas pendek dan cepat, muka merah


Cara penilaian HRS-A dengan sistem skoring, yaitu: skor 0 = tidak ada

gejala, skor 1 = ringan (satu gejala), skor 2 = sedang (dua gejala), skor

3 = berat (lebih dari dua gejala), skor 4 = sangat berat (semua gejala).

Bila skor < 14 = tidak kecemasan, skor 14-20 = cemas ringan, skor 21-

27 = cemas sedang, skor 28-41 = cemas berat, skor 42-56 = panik.

B. Kerangka Teori

Tingkat kecemasan :
a. Ringan
b. Sedang
c. Berat
d. Panik
Faktor yang mempengaruhi
kecemasan
a. Nyeri dan Ketidaknyamanan
b. Ketidaktahuan
c. Kerusakan atau Kecacatan
d. Kematian
e. Anestesi Tingkat
kecemasan

Tindakan pre operasi :

1. Persiapan operasi
2. Pemeriksaan penunjang

Gambar 2.1. Kerangka Teori


Sumaber : Susilowati (2005) Ilmu Bedah, 2010
C. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati

(Sugiyono, 2011:82 ). Variabel dalam penelitian ini merupakan variabel tunggal yaitu

tingkat kecemasan pada pasien pre operasi di RSUD Kota Semarang.

Anda mungkin juga menyukai