Anda di halaman 1dari 28

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecemasan

2.1.1 Pengertian

Ansietas adalah suatu perasaan takut akan terjadinya sesuatu

yang disebabkan oleh antisipasi bahaya dan merupakan sinyal yang

membantu individu untuk bersiap mengambil tindakan menghadapi

ancaman. Pengaruh tuntutan, persaingan, serta bencana yang terjadi

dalam kehidupan dapat membawa dampak terhadap kesehatan fisik

dan psikologi. Salah satu dampak psikologis yaitu ansietas atau

kecemasan (Sutejo, 2018). Beck menjelaskan bahwa kecemasan

adalah suatu keadaan yang terjadi karena adanya proses berpikir yang

menyimpang (Sari 2016)

Sementara itu, Freud (dalam Feist & Feist, 2012) mengatakan

bahwa kecemasan merupakan situasi afektif yang dirasa yang tidak

menyenangkan yang diikuti oleh sensasi fisik yang memperingatkan

seseorang akan bahaya yang mengancam. Ahli lain yang juga

memberikan pendapat yang sama dengan Freud adalah Priest. Menurut

Priest berpendapat kecemasan atau perasaan cemas adalah suatu

keadaan yang dialami ketika berpikir tentang sesuatu yang tidak

menyenangkan terjadi.
Berbeda dengan pendapat yang telah dikemuka oleh Freud dan

Priest di atas, Syarif (dalam Sari, 2016) mengemukakan bahwa

kecemasan adalah suatu situasi yang terasa sempit disertai dengan

adanya kelainan pada anggota tubuh dalam melaksanakan sebagian

besar fungsinya, seperti detak jantung yang cepat, jiwa yang terasa

sempit, tidak stabilnya pekerjaan alat pernafasan, susunan syaraf otot,

kacaunya aktivitas pengeluaran dari berbagai kelenjar yang ada dalam

tubuh dan sebagainya.

2.1.2 Macam – macam kecemasan

Menurut Zaviera (2016), diantaranya yaitu kecemasan obyektif

(Realistics) ialah jenis kecemasan yang berorientasi pada aspek bahaya

– bahaya dari luar seperti misalnya melihat atau mendengar sesuatu

yang dapat berakibat buruk. Kecemasan neurosis adalah suatu bentuk

jenis kecemasan yang apabila insting pada panca indera tidak dapat

dikendalikan dan menyebabkan seseorang berbuat sesuatu yang dapat

dikenakan sanksi hukum. Kecemasan moral adalah jenis kecemasan

yang timbul dari perasaan sanubari terhadap perasaan berdosa apabila

seseorang melakukan sesuatu yang salah.

2.1.3 Aspek kecemasan

Dalam Beck Anxiety Inventory yang dikembangkan oleh Beck

dan kerabat lainnya, terdapat empat aspek kecemasan (Grant, 1990;

Wardani, 2016) antara lain :

1. Subjective
Yaitu kecemasan yang dialami sebagai perasaan takut, tidak

nyaman, merasa tidak dapat santai atau rileks dan tidak siap untuk

menangani secara efektif saat ini (situasi sekarang) atau yang akan

datang

2. Neuriphysiologic

Yaitu kecemasan yang dialami dengan menampilkan reaksi

fisiologis oleh tubuh terhadap sumber ketakutan dan kekhawatiran.

Reaksi ini berkaitan dengan sistem syaraf yang mengendalikan

otot dan kelenjar tubuh sehingga timbul reaksi dalam bentuk

parathesia (mati rasa atau kesemutan), gangguan pencernaan dan

pernafasan dan gejala somatik lainnya.

3. Autonomic

Kecemasan yang dialami hingga munculnya perasaan panas,

keluar keringat, denyut jantung meningkat, wajah kosong, dll.

4. Panic Related

Kecemasan terkait. misalnya takut kehilangan kontrol, merasa

takut akan terjadi hal yang buruk dan merasa goyah atau

terombangambing.

Setiap item pada BAI adalah deskripsi sederhana dari gejala

kecemasan dalam salah satu dari empat aspek kecemasan:

a. Subjektif, misalnya tidak bisa rileks.

b. Neurofisiologis, misalnya mati rasa atau kesemutan.

c. Otonom, misalnya perasaan panas.


d. Panik terkait, misalnya takut kehilangan kendali atau

control.

2.1.4 Faktor-faktor kecemasan

Saat individu merasakan cemas, faktor-faktor yang memicu

terjadinya kecemasan bisa jadi berbeda dengan individu lainya. Hal ini

tergantung dari masalah yang sedang dihadapinya. Menurut Beck

(dalam Sari, 2016) faktor-faktor penyebab kecemasan adalah sebagai

berikut :

1 Faktor potensial penentu. Faktor potensial penentu ini yang terdiri

dari :

a. Genetika. Penelitian genetika menunjukkan bukti solid bahwa

setidaknya beberapa komponen genetik berkonstribusi terhadap

kecemasan. Faktor keturunan telah diidentifikasi sebagai faktor

predisposisi dalam perkembangan gangguan kecemasan.

Hampir sebagian pasien yang memiliki gangguan panik

setidaknya satu kerabat yang berpengaruh.

b. Sebab-sebab fisik. Pikiran dan tubuh senantiasa saling

berinteraksi dan dapat menyebabkan timbulnya kecemasan.

Hal ini terlihat dalam kondisi seperti misalnya kehamilan

semasa remaja dan sewaktu pulih dari penyakit. Selama

ditimpa kondisi-kondisi ini, perubahan-perubahan lazim

muncul, dan ini dapat menyebabkan timbulnya kecemasan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Listiyati (2013)


tingkat kecemasan dapat mempengaruhi aktivitas fisik

seseorang, yang semula mempunyai aktivitas fisik yang baik

menjadi buruk, sehingga dapat menurunkan kebugaran jasmani

seseorang. Kelemahan fisik dapat melemahkan kondisi mental

individu sehingga memudahkan timbulnya kecemasan.

c. Trauma mental atau konflik. Munculnya gejala kecemasan

sangat bergantung pada kondisi individu, dalam arti bahwa

pengalaman-pengalaman emosional atau konflik mental yang

terjadi pada individu akan memudahkan timbulnya gejala-

gejala kecemasan.

d. Pikiran-pikiran atau kognitif. Individu yang memiliki

pengetahuan atau kemampuan kognitif yang baik dan benar,

maka dapat meredam tingkat kecemasan yang sedang

dialaminya. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Iskandar (2015) menemukan bahwa terdapat hubungan antara

kemampuan kognitif dengan tingkat kecemasan. Semakin baik

kemampuan kognitif individu, maka semakin baik pula dalam

mengontrol kecemasannya.

e. Kurang efektifnya mekanisme penyesuaian diri (strategi

koping). Mekanisme penyesuaian diri menurut Hall dan

Lindzay merupakan cara-cara yang ditempuh untuk

menghilangkan tekanan atau stres. Salah satu cara yang bisa

dilakukan oleh individu dalam mengatasi tekanan atau stres


yang sedang dihadapi adalah dengan melakukan strategi

koping. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Astiti, dkk

(2012) yang menemukan bahwa ada hubungan antara strategi

koping dengan kecemasan. Semakin baik strategi kopingnya

maka semakin rendah tingkat kecemasan individu.

2 Faktor pencetus (precipatating)

Faktor pencetus terjadinya kecemasan dapat berasal dari sumber

internal dan eksternal yang dikelompokkan dalam dua kategori,

yaitu :

a. Ancaman integritas diri meliputi ketidakmampuan fisiologis

atau gangguan terhadap kebutuhan dasar.

b. Ancaman sistem diri, ancaman terhadap identitas diri dan harga

diri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Rahmatika, 2015)

yang menemukan bahwa ada hubungan antara kecemasan

dengan harga diri. Semakin tinggi harga dirinya maka akan

membuat tingkat kecemasannya semakin rendah. Menurut

Rohmah (Rahmatika, 2015) harga diri dapat diperbaiki atau

ditingkatkan dengan apabila individu mampu mengelola

emosinya. Emosi bisa terdiri dari emosi positif (misalnya

gembira, senang, tertawa) dan emosi negatif (marah, takut,

sedih, malu, cemas, khawatir). Tantangan dan hambatan sera

berbagai masalah yang dihadapi oleh individu akan

merangsang individu untuk mengeluarkan emosi negatif,


sehingga hal ini berdampal menimbulkan kecemasan pada

individu. Selain itu, faktor kehilangan, perubahan status serta

hubungan interpersonal juga bisa menyebabkan kecemasan.

2.1.5 Gejala Kecemasan

Menurut Sutejo (2018), tanda dan gejala pasien dengan

ansietas adalah cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya

sendiri serta mudah tersinggung, pasien merasa tegang, tidak tenang,

gelisah dan mudah terkejut, pasien mengatakan takut bila sendiri atau

pada keramaian dan banyak orang, mengalami gangguan pola tidur

dan disertai mimpi yang menegangkan.

Menurut (Hawari, 2013) gejala-gejala dari kecemasan dibagi

dalam beberapa kelompok, antara lain:

1 Gejala klinis cemas

Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang

yang mengalami gangguan kecemasan antara lain:

a. cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikiran

sendiri, mudah tersinggung

b. merasa tegang, tidak tenang, gelisah,mudah terkejut

c. takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak

orang

d. gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang

menegangkan
e. gangguan konsentrasi dan daya ingat

f. keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada

otot dan tulang,berdebar-debar, sesak nafas, sakit

kepala, dan lain sebagainya

2 Gangguan cemas menyeluruh

Secara klinis selain gejala cemas yang biasa, disertai

dengan kecemasan yang menyeluruh dan menetap (paling

sedikit berlangsung selama 1 bulan) dengan manifestasi 3

dari 4 kategori gejala berikut ini:

a. Ketegangan motorik/alat gerak. Gemetar, tegang,

nyeri otot, letih, tidak dapat santai, kelopak mata

bergetar, kening berkerut, muka tegang, gelisah, tidak

dapat diam, mudah kaget.

b. Hiperaktivitas saraf autonom (simpatis/parasimpatis)

c. Berkeringat berlebih, jantung berdebar-debar, rasa

dingin, telapak tangan/kaki basah, mulut kering,

pusing, kepala terasa ringan, kesemutan, rasa mual,

rasa aliran panas atau dingin, sering buang air seni,

diare.

d. Rasa khawatir berlebihan tentang hal-hal yang akan

datang (apprehensive expectation)


e. Cemas, khawatir, takut, berpikir berulang

(rumination), membayangkan akan datangnya

kemalangan terhadap dirinya atau orang lain.

f. Kewaspadaan berlebih

g. Mengamati lingkungan secara berlebihan sehingga

mengakibatkan perhatian mudah teralih, sukar

konsentrasi, sukar tidur, ngeri, mudah tersinggung,

tidak sabar.

2.1.6 Tingkat kecemasan

Tingkatan kecemasan dapat dikelompokkan dalam beberapa

tingkatan diantaranya yaitu kecemasan ringan (Mild

anxiety),kecemasan sedang (Moderate anxiety) dan kecemasan berat

(Severe anxiety) (Soetjiningsih, 2017).

Menurut Hurclock (2013), tingkat kecemasan ringan

dihubungkan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari yang

menyebabkan seseorang lebih waspada serta meningkatkan ruang

persepsinya. Tingkat kecemasan sedang menjadikan seseorang untuk

terfokus pada hal yang dirasakan penting dengan mengesampingkan

aspek hal yang lain, sehingga seseorang masuk dalam kondisi

perhatian yang selektif tetapi tetap dapat melakukan suatu hal tertentu

dengan lebih terarah. Tingkatan kecemasan berat dapat menyebabkan

seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang lebih

terperinci, spesifik serta tidak dapat berpikir tentang perihal lain serta
akan memerlukan banyak pengarahan agar dapat memusatkan

perhatian pada suatu objek yang lain.

2.1.7 Pengukuran Tingkat Kecemasan

Berat ringannya cemas dapat terlihat dari manifestasi yang

ditimbulkan. Pengukuran berat ringannya cemas dapat membantu

dalam mengatur strategi intervensi yang akan dilakukan. Alat

ukur kecemasan terdapat dalam beberapa versi :

1. Beck Anxiety Inventory (BAI)

Beck Anxiety Inventory (BAI) merupakan alat

ukur kecemasan untuk dewasa dan remaja yang dapat

digunakan untuk keperluan klinis dan penelitian. BAI

dibuat oleh Aaron T. Beck, MD dan rekannya berisi 21

item berfokus pada gejala somatik kecemasan yang

mengukur keparahan dari kecemasan dan sebagai alat

ukur untuk membedakan kecemasan dan depresi.39,40

Setiap item pada BAI merupakan gambaran dari gejala

kecemasan dalam empat aspek yaitu subjektif,

neurofisiologis, otonom, dan yang berhubungan dengan

panic. BAI dapat diselesaikan dalam waktu 5 – 10 menit

menggunakan metode kertas dan pensil. Responden

diminta melaporkan keluhan dari setiap gejala selama


satu minggu terakhir.39,40 Respon dari tiap item diukur

dalam empat tingkatan yaitu tidak sama sekali (0), ringan

(1), sedang (2), dan berat (3). Total skor BAI berjumlah

0–63 dengan interpretasi skor: 0 – 21, kecemasan ringan;

22–35, kecemasan sedang; lebih dari 35, kecemasan

berat. BAI dapat digunakan untuk menilai dan

menetapkan basis tingkat kecemasan, sebagai alat bantu

diagnostik, untuk mendeteksi efektivitas dari terapi, dan

sebagai alat ukur hasil setelah terapi. BAI juga

mempunyai beberapa kelebihan yaitu cepat dan mudah

dikerjakan, dapat diulang, dapat membedakan gejala

kecemasan dan depresi, telah digunakan dalam berbagai

bahasa, kultur, dan usia (Therrien & Hunsley, 2012).

2. Geriatric Anxiety Inventory (GAI)

Terdiri dari 20 pertanyaan yang dirancang untuk

mengukur gejala kecemasan pada orang dewasa yang

lebih tua/lansia. Menggunakan format pilihan tanggapan

setuju atau tidak setuju. Skor maksimal 20, dengan skor

tertinggi menunjukkan tingkat kecemasan tinggi.

Dikembangkan untuk lansia di masyarakat dan yang

mendapat perawatan psikiatri. Dari beberapa penelitian

yang dikutip dalam Therrien & Hunsley (2012) bahwa


GAI cenderung digunakan sebagai alat ukur kecemasan

pada lansia. Meskipun format ini membantu untuk

kalangan dewasa lebih tua, namun ada yang membatasi

kemampuan penggunaan yang menunjukkan gradasi

kecemasan saat menjawab pertanyaan. Selain itu, 8 dari

20 pertanyaan di GAI lebih dominan aspek kekwatiran

yang memungkinkan akan membatasi pengukuran aspek

kunci kecemasan lain termasuk somatik dan afektif

(Yochim, Mueller, June, & Segal, 2011)

3. Worry Scale

Skala kecemasan yang dipakai untuk mengukur

kekwatiran dibidang kesehatan (17 item), keuangan (5

item), kondisi sosial (13 item), dengan skor berkisar

antara 0-140 pada lansia. ( Mueller, et al., 2014)

4. Geriatric Anxiety Scale (GAS)

Alat ukur yang dirancang untuk digunakan pada

orang dewasa yang lebih tua atau lansia (Segal, et al.,

2010., dikutip dalam Yochim et al., 2011). Dibuat

berdasarkan berbagai gejala kecemasan yang termasuk

dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental

dan berbeda dari alat ukur kecemasan lain yang tidak

sepenuhnya membahas tentang gejala DSM yang


lengkap. Secara khusus GAS menilai gejala kecemasan

afektif, soamatik dan kognitif yang semuanya merupakan

gejala kecemasan pada lansia. Pada GAS terdiri dari 30

pertanyaan yang mengarah pada setiap gejala yang

dialami pada minggu lalu sampai saat sekarang.

Menggunakan skala likert dimana masing-masing

pertanyaan terdiri dari empat poin yaitu 0 (tidak sama

sekali) sampai 3 (sepanjang hari) (Segal, 2013).

2.2 Konsep Nyeri Akut pada Post TURP BPH

2.2.1 Definisi nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut,

penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat,

dengan intensitas yang bervariasi ringan sampai berat dan berlangsung

dalam waktu beberapa detik hingga enam bulan (Andarmoyo, 2013).

Nyeri akut adalah keadaan individu mengalami sensasi yang

tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun

potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut

(Wulandari, 2018). Nyeri akut berlangsung selama 1 detik hingga

kurang dari enam bulan (Wardani, 2014). Proses multipel yaitu

nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, eksitabilitas ektopik,

sensitisasi sentral, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi

merupakan dasar dari mekanisme timbulnya nyeri (Bahrudin, 2018).

2.2.2 Penyebab Nyeri Akut Post TURP BPH


Nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma,

proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang

terganggu (Wardani, 2014). Nyeri akut post TURP BPH disebabkan

oleh resektoskopi yang dimasukan melalui uretra untuk mereksi

kalenjar prostat yang obstruksi sehingga menimbulkan luka bedah

yang menyebabkan nyeri.

2.2.3 Efek Nyeri Akut Post TURP BPH .

Efek nyeri pada system urogenital pada tubuh yaitu

perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran

kemih dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan

retensi urin (Wardani, 2014). Nyeri pasca operasi TURP BPH dapat

menimbulkan kecemasan yang membuat ketidaknyamanan dan

gangguan rasa aman (Goyena, 2019).

2.2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri Post TURP BPH

1 Etnik dan nilai budaya

Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah

sesuatu yang alamiah. Kebudayaan lain cenderung untuk melatih

perilaku yang tertutup (intovert). Sosialisasi budaya menentukan

perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian, hal ini dapat

memengaruhi pengeluaran fisiologis opial endogen sehingga

terjadilah persepsi nyeri.

2 Tahap perkembangan
Usia dan tahap perkembangan seseorang merupakan variabel

penting yang akan memengaruhi reaksi dan ekspresi terhadap

nyeri. Dalam hal ini, anak-anak cenderung kurang mampu

mengungkapkan nyeri yang mereka rasakan dibandingkan orang

dewasa, dan kondisi ini dapat menghambat penanganan nyeri yang

mereka rasakan dibandingkan orang dewasa.

3 Lingkungan dan individu pendukung

Lingkungan yang asing, tingkat kebisingan yang tinggi,

pencahayaan, dan aktivitas yang tinggi di lingkungan tersebut akan

dapat memperberat nyeri.selain itu, dukungan dari keluarga dan

orang terdekat menjadi salah satu factor penting yang

memengaruhi persepsi nyeri individu.

4 Ansietas dan stress

Ansietas sering kali menyertai peristiwa nyeri yang terjadi.

Ancaman yang tidak jelas asalnya dan ketidakmampuan

mengontrol nyeri atau peristiwa di sekelilingnya dapat

memperberat persepsi nyeri (Mubarak, 2015)

2.2.5 Alat ukur Nyeri

Mengukur intensitas nyeri dapat menggunakan pendekatan

objektif yang paling efektif adalah menggunakan respon fisiologis

tubuh terhadap nyeri itu sendiri.

1 Mnemonik PQRST

Penggunaan mnemonik PQRST akan membantu dalam


mengumpulkan informasi vital yang berkaitan dengan proses nyeri

pasien.

Mnemonic PQRST untuk pengkajian nyeri

P : provokes, palliative (penyebab) Apa yang menyebabkan rasa

sakit/nyeri; apakah ada hal yang menyebabkan kondisi

memburuk/membaik; apa yang dilakukan jika sakit/nyeri

timbul; apakah nyeri ini sampai mengganggu tidur.

Q : quality (kualitas) Bisakah anda menjelaskan rasa sakit/nyeri;

apakah rasanya tajam, sakit, seperti diremas, menekan,

membakar, nyeri berat, kolik, kaku atau seperti ditusuk

(biarkan pasien menjelaskan kondisi ini dengan kata-katanya).

R : Radiates (penyebaran)Apakah rasa sakitnya menyebar atau

berfokus pada satu titik.

S : severety (keparahan) Seperti apa sakitnya; nilai nyeri dalam

skala 1-10 dengan 0 berarti tidak sakit dan 10 yang paling

sakit. Cara lain adalah menggunakan skala FACES untuk

pasien anak-anak lebih dari 3 tahun atau pasien dengan

kesulitan bicara

T : time (waktu) Kapan sakit mulai muncul; apakah munculnya

perlahan atau tiba-tiba; apakah nyeri muncul secara terus-

menerus atau kadang-kadang; apakah pasien pernah

mengalami nyeri seperti ini sebelumnya. apabila "iya" apakah


nyeri yang muncul merupakan nyeri yang sama atau berbeda.

(Kartikawati, 2011)

2 Skala penilaian numerik

Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan

range dari intensitas nyeri. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri

sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat. Pada penelitian

ini digunakan skala penilaiam numeric.

1. 0 : Tidak nyeri

2. 1-3 : Nyeri ringan

3. 4-6 : Nyeri sedang

4. 7-10 : Nyeri berat

Sumber : (Wardani, 2014).

Gambar 2.1 Skala penilaian numeric

3 Skala analog visual

Metoda ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang

menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat

hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan

intensitas nyeri yang dirasakan


Sumber : (Wardani, 2014)

Gambar 2.2 Skala analog visual

4 Skala penilaian wajah

Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya

untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak

Sumber : (Wardani, 2014)

Gambar 2.3 Skala penilaian wajah.

2.3 Konsep BPH

2.3.1 Definisi Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)

BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan

dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke

dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutup

orifisium uretra (Smeltzer dan Bare, 2013).

Benigna Prostat Hiperplapasi merupakan kalenjar prostat yang

mengalami pembesaran jinak (Purwanto, 2016). BPH (Benigna Prostat


Hyperplapasi) dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan

urine (urethra). BPH terjadi pada usia yang semakin tua (>40 tahun)

dimana fungsi testis sudah menurun (Rendy & TH, 2012). Pembesaran

kalenjar dan jaringan seluler kalenjar prostat berhubungan dengan

perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan. Kalenjar

prostat adalah suatu kalenjar fibro muscular yang melingkar

Bledderneck (leher kandung kemih) dan bagian proksimal uretra,

mudah teraba (Yuli Aspiani, 2015). Pembasaran prostat menyebabkan

penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung kemih

(DiGiulio, Jackson, & Keogh, 2014).

Kalenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen

(Purwanto, 2016). Sumber lain mengatakan penyebab BPH yaitu

ketidakseimbangan endokrin. Testosteron dianggap mempengaruhi

bagian tepi prostat, sedangkan estrogen (dibuat oleh kalenjar adrenal)

mempengaruhi bagian tengah prostat (Rendy & TH, 2012).

Proses pembasaran prostat terjadi secara perlahan-lahan

sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-

lahan. Setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-

buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan

meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel (Yuli Aspiani,

2015).

2.3.2 Etiologi
Dengan bertambahnya usia, akan menyebabkan perubahan

keseimbangan testosteron menjadi esterogen pada jaringan adipose

diperifer. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara

perlahanlahan, efek perubahan juga terjadi perlahan. Saat ini, tidak ada

konsensus tentang etiologi BPH. Ada banyak pendapat, seperti

perubahan fungsi urodinamik karena meningkatnya uretra angulasi

prostat. Beberapa telah mengidentifikasi peristiwa molekuler, seperti

peningkatan stress oksidatif, kerusakan iskemik akibat gangguan

pembuluh darah, hilangnya regulator negatif control siklus sel, atau

perubahan kadar hormon terkait usia. Namun, sebagian besar postulasi

etiologi mengarah ke peradangan prostat sebagai inisiator BPH.

Meskipun masih belum ada kesepakatan apakah peradangan hanyalah

sebuah kejadian paralel atau penyebab langsung, beberapa dalam

penelitian telah menemukan hubungan yang signifikan antara

peradangan dan BPH (Schauer & Rowley, 2012).

2.3.3 Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra

prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan

peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine,

buli-buli harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan itu.

Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomi

buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya

selula, sakula, dan divertikel bulibuli. Perubahan struktur pada buli-


buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran

kemih sebelah bawah atau Lower Urinary. Tract Symptoms (LUTS)

yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Purnomo, 2012).

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian

buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada

kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-

buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika

berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,

bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2012).

Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan

berkurangnya atau tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan

intervensi untuk membuka jalan keluar urin. Metode yang mungkin

adalah prostatektomi parsial, Transurethral Resection of Prostate

(TURP) atau insisi prostatektomi terbuka, untuk mengangkat jaringan

periuretral hiperplasia insisi transurethral melalui serat otot leher

kandung kemih untuk memperbesar jalan keluar urin, dilatasi balon

pada prostat untuk memperbesar lumen uretra, dan terapi antiandrogen

untuk membuat atrofi kelenjar prostat (Price & Wilson, 2012).

Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap

kelenjar. Pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar

adalah 2:1, sedangkan pada BPH, rasionya meningkat menjadi 4:1, hal

ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos

prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa


prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus

otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab

obstruksi prostat (Purnomo, 2012).

2.3.4 Tanda dan Gejala BPH

Menurut Hariono ,(2012) tanda dan gejala BPH meliputi:

1. Gejala obstruktif

a.Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan sering

kali disertai dengan mengejan.

b.Intermittency, yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang

disebabkan oleh ketidak mampuan otot destrussor dalam

mempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya

miksi.

c. Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada akhir

kencing.

d. Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan

kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk

dapat melampaui tekanan di uretra.

e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan

terasa belum puas.

2. Gejala iritasi

a. Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang

sulit di tahan.

b. Frekuensi, yaitu penderita miksi lebih sering miksi


dari biasanya dapatterjadi pada malam dan siang

hari.

c. Disuria, yaitu nyeri pada waktu kencing.

2.3.5 Penatalaksanaan dan Terapi

1 Observasi

Biasanya pada terapi ini pasien tidak mendapatkan terapi

apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang

dapat memperburuk keluhannya, misalnya jangan banyak minum

dan mengonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, kurangi

konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada

buli-buli (kopi atau coklat), batasi penggunaan obat-obat influenza

yang mengandung fenilpropanolamin, kurangi makanan pedas dan

asin, jangan menahan kencing terlalu lama. setiap 6 bulan pasien

diminta untuk kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang

perubahan keluhan yang dirasakan. Jika keluhan miksi bertambah

jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk

memilih terapi yang lain (Nurarif & Hardhi, 2015)

2 Terapi Medikamentosa

Menurut (Wijaya, dkk, 2013), tujuan Medikamentosa adalah

berusaha untuk:

a. Mengurangi retensio otot polos prostate sebagai komponen

dinamik penyebab obstruksi intravesika dengan obat-

obatan penghambat adrenalgik alfa.


b. Mengurangi volume prostate sebagai komponen static

dengan cara menurunkan kadar hormone testosterone dan

dihidrosteron (DHT) melalui menghambat 5 alfa-reduktase.

3 Terapi Bedah

Menurut (Smeltzer S. C,. & Brenda G. Bare, 2015) intervensi

bedah yang dapat dilakukan meliputi :

a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi

prostatektomi terbuka yang bisa digunakan adalah :

1) Prostatektomi suprapubik

Salah satu metode mengangkat kelenjar memalui insisi

abdomen. Teknik ini dapat digunakan untuk kelenjar

dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin

terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup

bnyak dibandingkan dengan metode lain, kerugian lain

yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai

bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.

2) Prostatektomi perineal

Tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu

insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan

sangat berguna untuk biopsy terbuka. Pada periode

pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena

insisi dilakukan dekat dengan rectum. Komplikasi yang


mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia,

impotensi dan cedera rectal.

3) Prostatektomi retropubik

Tindakan lain yang dilakukan dengan cara insisi

abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yakni

antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki

kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar

prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun

jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan

letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi

infeksi dapat terjadi diruang retropubik.

b. Pembedahan endourologi, endourologi transurethral dapat

dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:

1) Transurethral Prostatic Resection (TURP)

TURP adalah suatu tindakan untuk menghilangkan

obstruksi prostat dengan menggunakan cystoscope

melalui urethra. Tindakan ini dilakukan pada BPH

grade I (Yuli Aspiani, 2015). Dampak dari TURP dapat

menimbulkan trauma ureter yang menyebabkan

timbulnya nyeri pada pasien pasca tindakan TURP .

2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)

Tindakan ini dilakukan apabila volume prostate tidak

terlalu besar atau prostate fibrotic, indikasi dari


penggunaan TURP adalah keluhan sedang atau berat,

dengan volume prostate normal/ kecil (30 gram atau

kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan

memasukan instrumen kedalam uretra. Satu atau dua

buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk

mengurangi tekanan prostat pada uretra dan

mengurangi konstriksi uretra

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit

dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar

keadaan umum klien.

b. Pemeriksaan urine lengkap.

c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai

kewaspadaan adanya keganasan (Padila, 2012).

2. Pemeriksaan Uroflowmetri

a. Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran

urine. Secara obyektif pancaran urine dapat diperiksa

dengan uroflowmeter dengan penilaian :

b. Flow rate maksimal > 15 ml/detik : non obstruktif

c. Flow rate maksimal 10-15 ml/detik : border line


d. Flow rate maksimal < 10 ml/detik : obstruksi

e. (Padila, 2012).

3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik

a. BOF (Buik Overzich) : untuk menilai adanya batu dan

metastase pada tulang.

b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa

konsistensi volume dan besar prostate juga keadaan buli-

buli termasuk residual urine. Pemeriksaan dapat dilakukan

secara transrektal, transurethral, dan supra pubik.

c. IVP (Pyelografi Inravena), digunakan untuk melihat

exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.

d. Pemeriksaan panendoskop : untuk mengetahui keadaan

uretra dan buli-buli (Padila, 2012).


2.3.7 Kerangka Teori

.tambahan factor predisposisi atau etiologi dari BPH… KOLOM TANDA

DAN GEJALA,,,BARU PENETALAKSANAAAN

Penatalkasanaan

BPH 1. Observasi
2. Medikamentosa
3. Terpai bedah (TURP)
Kecemasan

Resiko pembedahan:
1. Perdarahan
2. Nyeri pasca operasi

Faktor Yang Mempengaruhi


Nyeri Post TURP BPH
1. Etnik dan budaya
2. Tahap Perkembngan
3. Lingkungan dan individu
pendukung
4. Ansietas

Gambar 2.4 Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai