Anda di halaman 1dari 55

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep appendicitis

2.1.1 Definisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit

ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan,

tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun (Mansjoer,

2010).

Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada

lapisan mukosa dari apendiks vermiformis yang kemudian dapat

menyebar ke bagian lainnya dari apendiks. Peradangan ini terjadi karena

adanya sumbatan atau infeksi pada lumen apendiks. Apendisitis yang

tidak segera ditangani dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti

perforasi atau sepsis, bahkan dapat menyebabkan kematian. Apendisitis

akut merupakan kasus abdomen akut paling sering yang membutuhkan

pembedahan darurat (Craig, 2017; Shogilev et al., 2014).

2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi seseorang untuk menderita Apendisitis adalah

sebesar 7% (Mostbeck et al., 2016). Lebih dari 250.000 kasus

Apendisitis didiagnosis di Amerika Serikat tiap tahunnya, dengan

angka mortalitas 0,0002% dan morbiditas 3%. Apendiktomi


merupakan operasi yang paling sering dilakukan di seluruh dunia

(Espejo et al., 2014; Pinto et al., 2013). Indonesia menduduki peringkat

ketiga negara di-Asia dengan jumlah mortalitas tertinggi karena

Apendisitis, yaitu sebesar 3,8 per 100.000 jiwa (Health Grove,

2013). Dinas Kesehatan Jawa Tengah menyebutkan pada tahun 2009

jumlah kasus apendisits sebanyak 5.980, dan 177 diantaranya

meninggal. Data lain menyebutkan bahwa kasus Apendisitis di

Rumah Sakit Panembahan Senopati naik sebesar 3,5% dari tahun

2014 sampai tahun 2015, dan Apendisitis akut merupakan kasus yang

paling banyak terjadi (Widyanita ,2016).

2.1.3 Anatomi dan fisiologi

Apendiks adalah struktur tambahan yang menempel pada

caecum. Berbentuk tabung bergulung yang berputar dengan ujung

buntu, dan berukuran sekitar 8 cm. Disebut apendiks vermiform karena

(Vermiform : Bentuk cacing; Appendiks : Tambahan). Mesenterium

apendiks, yang disebut mesoapendiks, menempel ke bagian inferior

mesenterium ileum (Tortora dan Derrickson, 2014)

Dinding apendiks terdiri dari lapisan otot melingkar di bagian

dalam dan lapisan otot longitudinal dibagian luar. Apendiks dilapisi

oleh epitel kolumner dengan beberapa glanduler dan sel

neuroendokrin. Dasar apendiks terletak di dinding posteromedial

cecum, sekitar 2,5 cm di bawah persimpangan ileocecal. Ujung


apendiks sifatnya mengapung di rongga peritoneal dan arahnya

dapat bervariasi yaitu arah retrocecal sebanyak 64%, arah subcecal

sebanyak 2%, arah pelvic sebanyak 32%, arah preileal sebanyak

1%, dan arah postileal sebanyak 0,5% (Craig, 2017).

Suplai darah ke apendiks berasal dari apendikularias, cabang

ileokolik. Arteri ini melalui mesoappendix posterior ke terminal

ileum. Arteri apendikularis merupakan arteri tanpa kolateral, sehingga

jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi

apendiks, akan mengalami gangrene (Sjamsuhidayat, 2015).

Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang n.vagus yang

sejalan dengan a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan

persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Karena itu nyeri viseral

pada Apendisitis bermula di sekitar umbilicus.

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya

dialirkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.

Hambatan aliran lendir di muara apendiks diduga berperan dalam

terjadinya Apendisitis (Sjamsuhidayat, 2015)


2.1.4 Etiologi dan pathogenesis

Penyebab terjadinya Apendisitis sebenarnya masih dalam

perdebatan, namun diyakini bahwa penyebab utama terjadinya

Apendisitis adalah sumbatan di lumen apendiks. Sumbatan ini

dapat disebabkan oleh fekalit, hyperplasia kelenjar limfoid, benda asing,

parasite dan tumor maupun keganasan. Tersumbatnya apendiks

menyebabkan penumpukan cairan di dalam lumen, karena kapasitasnya

yang kecil maka terjadi peningkatan tekanan intraluminal dan dilatasi

dengan cepat (Petroianu dan Barroso, 2016).

Saat tekanan intraluminal mencapai lebih dari 85 mmHg, terjadi

peningkatan tekanan pada vena sedangkan aliran dari arteri masih

berlanjut. Hal ini mengakibatkan gangguan pada aliran vaskular dan

limfatik yang menyebabkan pembengkakan dan iskemia pada apendiks.

Mukosa mengalami hipoksia dan mulai membusuk, mengakibatkan

invasi dari bakteri intraluminal pada dinding apendiks.Bakteri yang

biasa mengakibatkan Apendisitis adalah Escherichia coli (76%),

Enteroccocus (30%), Bacteroides (24%) dan Pseudomonas (20%)

(Petroianu dan Barroso, 2016).

Infeksi menyebabkan peradangan yang dapat meluas ke serosa,

peritoneum parietal, dan organ lain yang berdekatan. Peradangan ini

menstimulasi ujung saraf aferen dari T8-T10 menghasilkan nyeri alih di

daerah epigastrik dan periumbilikus. Nyeri ini biasanya akan

bergeser dan kemudian menetap di kuadran kanan bawah. Jika hal ini
terus dibiarkan aliran darah pada arteri akan terganggu dan

menyebabkan infark. Lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan gangren

dan perforasi, yang biasanya terjadi antara 24 dan 36 jam (Petroianu dan

Barroso, 2016).

2.1.5 Diagnosis

Sampai saat ini penegakkan diagnosis untuk Apendisitis akut

masih menjadi sebuah tantangan tersendiri bahkan bagi ahli dan

professional sekalipun. Hal ini karena tanda dan gejala yang terjadi

pada pasien tidak spesifik dan memiliki banyak diagnosis banding

yang harus disingkirkan, sedangkan komplikasi yang dihadapi pun

tidak sembarangan. Pemeriksaan yang dilakukan haruslah kompleks

untuk dapat menghasilkan akurasi diagnosis yang baik sehingga angka

negatif apendiktomi dapat diminimalisir (Petroianu, 2012).

1 Anamnesis

Pasien Apendisitis akut biasanya datang dengan keluhan nyeri

pada perut bagian kanan bawah. Nyeri ini biasanya digambarkan

sebagia nyeri kolik di daerah periumbikal yang nyerinya dirasa

intensif pada 24 jam pertama, kemudian menjadi nyeri tajam dan

konstan yang berpindah ke daerah fosa iliaka kanan. Anamnesis

dilakukan untuk menanyakan adanya gejala lain yang menyertai

seperti adanya mual, muntah, konstipasi, penurunan nafsu makan,

dan demam. Namun gejala gejala ini tidak spesifik karena dapat

terjadi pada gangguan lain dari abdomen (Petroianu, 2012).


2 Pemeriksaan fisik

Lokasi dari apendiks sangan bervariasi pada tiap individu, oleh

karena itu tanda dan gejala Apendisitis biasa bisa muncul atau tidak

pada individu yang berbeda. Pemeriksaan fisik digunakan untuk

memastikan adanya nyeri yang ditimbulkan oleh apendisitis pada

berbagai posisi tubuh tertentu Berikut ini merupakan beberapa

pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menunjang diagnosis

apendisitis :

a Rovsing’s sign

positif bila terdapat nyeri pada perut kuadran kanan bawah

saat dilakukan penekana pada perut kuadran kiri bawah.

b Blumberg’s sign

positif bila terdapat nyeri pada perut kuadran kanan bawah saat

tekanan pada perut kuadran kiri bawah dilepas.

c Psoas sign

positif bila terdapat nyeri pada kuadran kanan bawah yang

muncul saat dilakukan gerakan ekstensi paha kanan pasien,

meregangkan otot iliopsoas dengan pasien dalam posisi

dekubitus lateral kiri, ini mungkin menandakan lokasi

retrocaecal dari apendisitis.

d Obturator sign

positif bila terdapat nyeri pada kuadran kanan bawah yang

muncul saat dilakukan rotasi internal pasif dari paha kanan


yang dilipat, ini mungkin menandakan lokasi apendisitis

yang dekat m.obturatorius (Petroianu, 2012).

3 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium untuk apendisitis terdiri dari

pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan protein reaktif. Pada

pemeriksaan darah lengkap yang dijadikan penanda untuk

apendisitis akut adalah leukositosis dan neutrofilia. Peningkatan sel

darah putih lebih dari 10.000/ml menandakan apendisitis sederhana,

sedangkan peningkatan lebih dari 18.000/ml menandakan apendisitis

dengan perforasi. Peningkatan C-reactive protein (CRP) biasanya

terjadi pada apendisitis yang gejalanya telah timbul lebih dari 12

jam. Dari kombinasi ketiga temuan tersebut dapat meningkatkan

sensitifitas diagnosis untuk apendisitis akut sebesar 97%-100%

(Petroianu, 2012).

4 Pemeriksaan radiologi

a Apendikogram

Pemeriksaan apendikogram dilakukan dengan meminta pasien

untuk meminum cairan kontras kemudian dilakukan

pengambilan hasil X-ray. Prosedur ini cukup invasif dan radiatif

sehingga membutuhkan indikasi yang kuat untuk

penggunaannya. Kecurigaan terjadinya apendisitis pada

pemeriksaan ini adalah jika tidak terdapat pengisian dari cairan

kontras atau pengisian sebagian, ditemukan gambaran lumen


yang ireguler, dan adanya edema mukosa lokal pada ujung

caecum. Sebuah penelitian mengaatakan bahwa apendikogram

memiliki sensitifitas sebesar 83% (Kusuma et al., 2015).

b USG

Alat pencitraan yang paling sering digunakan sebagai

penunjang diagnosisi apendisitis adalah USG, walaupun

akurasinya lebih rendah dibanding CT-Scan dan MRI.

Ultrasonografi menjadi pilihan utama karena penggunaanya

yang mudah, murah, dan tidak invasif. Sayangnya tingkat

akurasi USG sangat bergantung pada operator dan alat yang

digunakan.

Faktor lain yang mempengaruhi hasil USG adalah obesitas, gas

dalam lengkungan usus di depan apendiks, jumlah cairan

inflamasi di sekitar apendiks, dan posis dari apendiks (Hussain

et al., 2014).

Cara melakukan pemeriksaan menggunakan USG adalah pasien

berbaring dalam posisi telentang pada permukaan yang tegas.

Kuadran kanan bawah dieksplorasi dengan kompresi yang

tegas dan bertahap menggunakan transduser garis frekuensi

tinggi. Posisi tangan kiri pemeriksa di daerah lumbal pasien dan

mencoba untuk mengecilkan perut melawan transduser. Atau

meminta pasien untuk berbaring dalam posisi dekubitus lateral

kiri dan pemeriksa melakukan pendekatan USG dari lateral dan


posterior (Espejo et al., 2014).

Kriteria pencitraan USG yang digunakan untuk mendiagnosis

Apendisitis adalah jika terdapat :

1) Temuan appendiceal

Penebalan dinding apendiks, diameter lumen > 6mm,

hiperekoik dengan bayangan posterior karena adanya

apendikolith, non-compressible apendiks, hiperekoik pada

mukosa dan lapisan otot lumen, dan peningkatan aliran

darah pada dinding apendiks pada pewarnaan dopler.

2) Temuan periappendcieal

Hiperekoik lemak peri- enterik karena adanya peradangan

pada lemak di sekitar apendiks, penebalan dinding caecum

> 5mm, apendikolith ekstra luminal, dan adanya cairan

bebas disekitar apendiks. Minimal terpenuhi 2 dari kriteria

di atas untuk dapat menegakkan diagnosis apendisitis

(Mostbeck et al., 2016).

c Ct scan

Pemeriksaan computed tomography (CT-Scan) pada dasarnya

merupakan pemeriksaan imaging yang paling diakui untuk

membantu penegakan diagnosis apendisitis pada orang

dewasa. Di Amerika CT-Scan digunakan pada 86% pasien

apendisitis, dengan sensitifitas sebesar 92,3%. Namun bahaya

radiasi dan keterbatasan sarana merupakan masalah dari


penggunaan alat ini (Bhangu et al., 2015).

d MRI

Penggunaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat

mengurangi resiko dari radiasi, namun tujuan khusus dan

spesifisitasnya dalam mendiagnosis akut abdomen masih

dipertanyakan.Selain itu, tidak semua rumah sakit di dunia

memiliki sarana yang memadai untuk MRI, dan

penggunaanya yang tidak bisa langsung merespon keadaan

darurat menjadi kekurangan dari alat ini (Bhangu et

al.,2015).

5 Pemeriksaan hispatologi

Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas dalam

mengkonfirmasi diagnosis apendisitis. Kriteria yang digunakan

ahli patologi untuk menentukan diagnosis apendisitis adalah

sebagai berikut:

a. Terdapat peradangan transmural pada apendiks.

b. Adanya granulosit pada mukosa atau di dalam epitel apendiks

(Zarandi, et al., 20014).

6 Skor Alvarado

Saat ini telah banyak upaya yang dilakukan untuk dapat

menegakkan diagnosis apendisitis, salah satunya adalah dengan

sistem skor Alvarado. Skor ini menggabungkan antara gejala,


tanda, dan hasil laboratorium dari pasien suspek apendisitis.

Dibawah ini merupakan kriteria penilaian dari skor Alvarado.

Temuan Skor
Nyeri perut yang berpindah ke kuadran kanan 1
Anoreksia klinis 1
bawah
Mual dan muntah 1
Nyeri tekan pada perut kuadran kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan suhu tubuh >37,2°C 1
Leukositosis (>10.000/ml) 2
Neutrofilia (>75%) 1
TOTAL 10

(Tatar et al., 2016).

Dari tabel diatas, jika skor Alvarado <4 artinya risiko untuk

terjadinya Apendisitis rendah sehingga perlu kajian ulang terhadap

diagnosis bandingnya. Skor 4-6 menunjukkan risiko sedang untuk

apendisitis, maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang berupa

pemeriksaan imaging untuk membantu menegakkan diagnosis

Apendisitis akut. Skor > 6 menunjukkan risiko tinggi untuk

terjadinya Apendisitis sehingga dapat segera dilakukan

penatalaksanaan selanjutnya seperti apendiktomi (Mostbeck et al.,

2016).

2.1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanana untuk apendisitis akut sebenarnya masih dalam

perdebatan. Masalah utama yang dihadapi adalah perforasi sebagai


komplikasi yang berkembang progresif dan cepat yang dapat

menyebabkan kematian. Sedangkan keputusan dilakukannya operasi

yang tidak berdasar pada diagnosis yang tepat dapat meningkatkan

angka negatif apendiktomi. Penatalaksanaan konservatif biasanya

dilakukan pada apendisitis tanpa perforasi, sedangkan tindakan

operasi dilakukan pada apendisitis dengan perforasi untuk mencegah

komplikasi yang fatal (Sallinen et al.,2016).

1. Medikamentosa

Pemberian antibiotik merupakan bentuk penatalaksanaan

konservatif yang dilakukan pada pasien dengan apendisitis tanpa

perforasi. Pemberian antibiotik dilakukan melalui intravena

kemudian dilanjutkan pemberian secara oral. Data sebuah

penelitian menyebutkan bahwa angka komplikasi pada kelompok

ini jauh lebih rendah dibanding kelompok yang mendapat tindakan

apendiktomi. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi perforasi,

adhesi bowel obstruction, dan kematian. Namun pada akhirnya

10% pasien membutuhkan tindakan operasi darurat, dan 17%

pasien mengalami kekambuhan selama follow-up 1 tahun. Secara

keseluruhan 73% pasien dewasa dengan suspek apendisitis akut

mungkin tidak memerlukan tindakan operasi (Sallinen et al.,

2016).

2. Operatif

Dalam melakukan apendiktomi terdapat dua posedur yang sering


dilakukan yaitu, open apendiktomi dan laparoskopi apendiktomi.

Kedua prosedur ini dilakukan sebagai penatalaksanaan utama untuk

Apendisitis akut. Hal ini untuk mencegah terjadinya komplikasi

berupa perforasi dan sepsis yang dapat menyebabkan kematian.

Indikasi digunakannya metode laparoskopi adalah pada orang tua,

obesitas, dan ibu hamil. Metode ini dinilai lebih aman, dengan

hasil kosmetik yang baik, dan pemulihan pasca operasi yang lebih

cepat serta lebih tidak menyakitkan. Selain itu laparoskopi juga

dapat digunakan sebagia alat penunjang diagnosis sehingga angka

negative apendiktomi dapat diturunkan.

Laparoskopi dilakukan dengan cara 1-4 insisi masing-masing untuk

memasukkan laparoskop dan instrumen lain yang dibutuhkan

selama pembedahan perforasi (Popa et al., 2015).

Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis Apendisitis berdasar

penampakan makroskopik adalah jika tampak adanya tanda

inflamasi, yaitu penampilan vaskular, konsistensi dan diameter

usus buntu, serta pembentukan pus atau deposisi fibrin. Menurut

kriteria ini apendisitis dapat digolongkan dalam beberapa tingkatan

a Peradangan ringan : pembuluh darah yang lebih menonjol

dibandingkan kondisi normal. Tanpa adanya perubahan

konsistensi dan diameter, serta tidak ada pembentukan puss

atau deposisi fibrin.

b Peradangan sedang : peningkatan ukuran pembuluh darah


disertai dengan pengerasan apendiks.

c Peradangan berat : pembuluh darah menjadi lebih menonjol dan

berproliferasi. Apendiks menjadi padat, dengan perubahan pada

diameter dan konsistensi.

d Apendisitis supuratif : terdapat deposisi pus atau fibrin pada

apendiks yang mengalami peradangan.

e Apendisitis perforasi : terdapat lubang pada apendiks

Diagnois pasca bedah untuk Appendisitis akut yang didasarkan dari

temuan hasil operasi atau temuan makroskopik memiliki nilai

akurasi 80-85% dimana nilai tersebut lebih besar pada laki laki

dibanding perempuan. Dari penelitian sebelumnya disebutkan

bahwa akurasi seorang operator bedah dalam mendiagnosis temuan

makroskopik apendiks yang memiliki tampakan patologis yang

jelas seperti pus, abses, dan perforasi adalah 100%. Namun dalam

mengklasifikasikan apendiks yang mengalami peradangan baik

ringan, sedang, maupun berat akurasinya menjadi <80%, dan

nilai akurasi terendah untuk mendiagnosis Appendisitis akut

dengan peradangan ringan yaitu sebesar 26,3% (Pham et al., 2015;

Zarandi et al., 2014).

Setelah dilakukan operasi pengangkatan appendiks, ternyata

tidak semua pasien positif mengalami Apendisits. Sebagai contoh,

sebuah penelitian di India menyebutkan kejadian negatif


apendiktomi sebesar 17,2 % (12,4 % pada laki-laki dan 33,3 %

pada perempuan). Insiden negatif apendiktomi terbesar terjadi pada

perempuan usia produktif yaitu antara 11-20 tahun atau sebesar

66,7 %. Hal ini mungkin disebabkan karena kondisi ginekologi

dapat salah terdiagnosis sebagai Apendisitis akut, seperti

dismenore dan komplikasi kista ovarium. (Joshi et al., 2014; Sezer

et al., 2012).

Komplikasi yang dapat terjadi baik pada laparoskopi apendiktomi

maupun open apendiktomi meliputi : Infeksi luka superfisial,

ketidaknyamanan pada perut dan bekas insisi, diare, perforasi,

infeksi dalam, bowel obstruction, hernia insisional, laparoskopi

adhesiolisis, dan kematian. Kejadian infeksi superfisial dan bowel

obstruction lebih rendah pada laparoskopi apendiktomi,

sedangkan kejadian infeksi dalam (abses) dan insisional hernia

sama antara laparoskopi apendiktomi dan open apendiktomi

(Ruffolo et al., 2013).

2.2 Konsep Nyeri

2.2.1 Definisi

Menurut Prasetyo (2010), berikut ini beberapa pengertian nyeri secara

medis, secara psikologis, dan secara keperawatan.

a. Definisi secara medis


Menurut International Association for Study of Pain (1979),

mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan

pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan

dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau potensial atau

yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi

kerusakan. Sedangkan menurut Arthur C. Curton (1983)

mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme produksi

bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak, dan

menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan

rasa nyeri.

b. Definisi secara psikologis

Sternbach mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang abstrak,

dimana nyeri terdapat padanya:

1) Personality, dimana sensasi terhadap nyeri yang dirasakan

individu bersifat pribadi (subjektif), artinya antara individu

satu dengan yang lainnya mengalami sensasi nyeri yang

berbeda

2) Adanya stimulus yang merugikan sebagai peringatan

terhadap kerusakan jaringan,

3) Pola respon dari individu terhadap nyeri, sebagai alat

proteksi untuk melindungi dirinya dari kerugian yang

ditimbulkan oleh nyeri.


Menurut McMahon (1994) menemukan empat atribut pasti untuk

pengalaman nyeri, yaitu: nyeri bersifat individu, tidak

menyenangkan, merupakan kekuatan yang mendominasi, dan

bersifat tidak berkesudahan.

c. Definisi secara keperawatan

Menurut McCaffery (1980) menyatakan bahwa nyeri adalah

segala sesuatu yang dikaitkan seseorang tentang nyeri tersebut

dan terjadi kapan saja saat seseorang mengatakan merasakan

nyeri. Definisi ini menempatkan seseorang pasien sebagai expert

(ahli) dibidang nyeri, karena hanya pasienlah yang tahu tentang

nyeri yang ia rasakan. Bahkan nyeri adalah sesuatu yang sangat

subjektif, tidak ada ukuran yang objektif padanya, sehingga

hanyalah orang yang merasakannya yang paling akurat dan tepat

dalam mendefinisikan nyeri.

2.2.2 Fisiologi Nyeri

Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya

rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor,

merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit

atau bahkan tidak memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan

mukosa, khususnya pada viseral, persendian, dinding arteri, hati dan

kandung empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan resfon akibat

adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa


zat kimiawi seperti histamin,bradikinin, prostaglandin, dan macam-

macam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan

akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat berupa

termal, listrik, atau mekanis.

Selanjutnya stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut

ditransmisikan berupa impuls-impuls nyeri ke sumsum tulang

belakang oleh dua jenis serabut yang bermyelin yang rapat atau

serabut A (delta) dan serabut lamban (serabut C). impuls-impuls

yang ditransmisikan oleh serabut delta A mempunyai sifat inhibitor

yang ditransmisikan oleh serabut C. serabut-serabut aferen masuk ke

spinal melalui akar dorsal (doral root) serta sinaps pada dorsal

horn.Dorsal hornterdiri atas beberapa lapisan atau laminae yang

saling bertautan. Diantara lapisan dua dan tiga terbentuk substansia

gelatinosa yang merupakan saluran utama impuls. Kemudian,

impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang belakang pada

interneuron dan bersambung ke jalur spinal asenden yang paling

utama, yaitu jalur spinothalamic tract (STT) atau jalur

spinothalamus dan spinoreticular tract (SRT) yang membawa

informasi tentang sifat dan lokasi nyeri. Dari proses transmisi

terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiote dan

jalur nonopiote. Jalur opiote ditandai oleh pertemuan reseptor pada

otak yang terdiri atas jalur spinal desendens dari thalamus yang

melalui otak tengah dan medulla ke tanduk dorsal dari sumsum


tulang belakang yang berkonduksi dengan noxixeptor impuls

supresif. Serotonin merupakan neurotrasnsmiter dalam impuls

supresif. Sistem supresif lebih mengaktifkan stimulasi nociceptor

yang ditransmisikan oleh serabut A. jalur nonopiate merupakan jalur

desenden yang tidak memberikan resfons terhadap naloxone yuang

kurang banyak diketahui mekanismenya (Prasetyo, 2010)

2.2.3 Proses Terjadinya Nyeri

Rangkaian proses terjadinya nyeri diawali dengan tahap transduksi,

dimana hal ini terjadi ketika nosiseptor yang terletak pada bagian

perifer tubuh distimulus oleh berbagai stimulus, seperti faktor

biologis, mekanis, listrik, thermal, radiasi dan lain-lain.

Fast pain dicetuskan oleh reseptor tipe mekanis atau thermal (yaitu

serabut saraf A-Delta), sedangkan slow pain biasanya dicetuskan

oleh serabut C. Serabut saraf A-Delta mempunyai karakteristik

menghantarkan nyeri dengan cepat serta bermielinasi, dan serabut

saraf C yang tidak bermielinasi, berukuran sangat kecil dan bersifat

lambat dalam menghantarkan nyeri.

Serabut A mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas

dalam melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri.

Serabut C menyampaikan impuls yang tidak terlokalisasi, viseral dan

terus menerus. Sebagai contoh mekanisme kerja serabut A-Delta dan

serabut C dalam suatu trauma adalah ketika seseorang menginjak

paku, sesaat setelah kejadian orang tersebut dalm waktu kurang dari
1 detik akan merasakan nyeri yang terlokalisir dan tajam, yang

merupakan transmisi dari serabut A. Dalam beberapa detik

selanjutnya, nyeri menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit karena

persarafan serabut C. Tahap selanjutnya adalah transmisi, dimana

impuls nyeri kemudian ditransmisikan serat afferen (A-Delta dan C)

ke medulla melalui dorsal horn, dimana disini impuls akan

bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina II dan III). Impuls

kemudian menyebrang ke atas melewati traktus spinothalamus

lateral diteruskan langsung ke thalamus tanpa singgah di formatio

retikularis membawa impuls fast pain. Dibagian thalamus dan

korteks serebri inilah individu kemudian dapat mempersepsikan,

menggambarkan, melokalisasi, menginterpretasikan dan mulai

berespon terhadap nyeri.

Beberapa impuls nyeri di transmisikan melalui traktus

paleospinithalamus pada bagian tengah medulla spinalis. Impuls ini

memasuki formatio retikularis dan sistem limbik yang mengatur

prilaku, emosi dan kognitif, serta integrasi dari sistem saraf otonom.

Slow pain yang terjadi akan mengakibatkan emosi, sehingga timbul

respon terkejut, marah, cemas, tekanan darah meningkat, keluar

keringat dingin dan jantung berdebar-debar (Prasetyo, 2010)

2.2.4 Klasifikasi Nyeri

Menurut Prasetyo (2010) klasifikasi nyeri di bedakan menjadi:

a. Nyeri akut
Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cedera akut, penyakit, atau

intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan

intensitas yang bervariatif (ringan sampai berat) dan

berlangsung untuk waktu singkat (Meinhart & McCaffery,

1983; NIH; 1986). Fungsi nyeri akut adalah untuk memberi

peringatan akan cedera atau penyakit yang akan datang. Nyeri

akut biasanya akan menghilang dengan atau tanpa pengobatan

setelah area yang rusak pulih kembali.

Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan), memiliki

onset yang tiba-tiba, dan terlokalisir. Nyeri ini biasanya

diakibatkan oleh trauma, bedah, atau inflamasi. Hampir setiap

individu pernah merasakan nyeri ini, seperti saat sakit kepala,

sakit gigi, tertusuk jarum, terbakar, nyeri otot, nyeri saat

melahirkan, nyeri sesudah pembedahan, dan yang lainnya.

Nyeri akut terkadang disertai dengan aktivasi sistem saraf

simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti:

peningkatan tekanan darah, peningkatan respirasi, peningkatan

denyut jantung, diaphoresis dan dilatasi pupil. Klien yang

mengalami nyeri akut akan memperlihatkan respon emosi dan

perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan

wajah atau meringis. Klien akan melaporkan secara verbal

adanya ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang

dirasakan.
b. Nyeri kronik

Nyeri kronik berlangsung lebih lama daripada nyeri akut,

intensitasnya bervariasi (ringan sampai berat) dan biasanya

berlangsung lebih dari 6 bulan.

Tanda dan gejala yang tampak pada nyeri kronis sangat berbeda

dengan yang diperlihatkan oleh nyeri akut. Tanda-tanda vital

seringkali dalam batas normal dan tidak disertai dengan dilatasi

pupil. Tanda dan gejala lainnya yang tampak pada nyeri kronis

adalah timbulnya keputus asaan klien terhadap penyakitnya,

kelesuan, penurunan libido dan berat badan, perilaku menarik

diri, mudah tersinggung, marah, klien sedikit bertanya tentang

nyeri yang ia alami pada petugas kesehatan, dan tidak tertarik

pada aktivitas fisik, dimana tanda dan gejala yang muncul

hampir sama dengan apa yang nampak pada klien yang

mengalami depresi. Klien mungkin akan melaporkan adanya

kelemahan dan kelelahan.

c. Nyeri kutaneus

Ada dua macam jenis nyeri kutaneus, bentuk yang pertama

adalah nyeri dengan onset yang tiba-tiba dan mempunyai

kualitas yang tajam, dan bentuk kedua adalah nyeri dengan

onset yang lambat disertai dengan rasa terbakar. Nyeri kutaneus


dapat dirasakan pada seluruh permukaan kulit atau tubuh klien.

Trauma gesekan, suhu yang terlalu panas dapat menjadi

penyebab nyeri kutaneus ini.

d. Nyeri somatis dalam

Nyeri somatis merupakan fenomena nyeri yang kompleks.

Struktur somatis merupakan bagian pada tubuh seperti otot-otot

atau tulang. Nyeri somatis dalam biasanya bersifat difus

(menyebar) berbeda dengan nyeri kutaneus yang mudah untuk

dilokalisir. Struktur somatis yang ada di dalam tubuh manusia

berbeda-beda intensitasnya terhadap nyeri. bagian yang

mempunyai sensitivitas tinggi terhadap nyeri antara lain:

tendon, fascia dalam, ligamen, pembuluh darah, tulang

periosteum, dan nervus-nervus.

e. Nyeri visceral

Istilah nyeri viscera biasanya mengacu pada bagian viscera

abdomen, walaupun sebenarnya kata viscus berarti setiap organ

tubuh dalam yang lebar yang mempunyai ruang seperti cavitas

tengkorak, cavitas thorax, cavitas abdominal, dan cavitas pelvis.

Penyebab nyeri visceral adalah semua rangsangan yang dapat

menstimulasi ujung saraf nyeri di daerah visceral. Rangsang

tersebut dapat berupa iskemi jaringan visceral, spasme,

rangsang kimiawi, dan distensi berlebihan suatu organ viscera.


Nyeri visceral cenderung bersifat menyebar, sulit dilokalisir,

samar-samar, dan bersifat tumpul. Nyeri visceral dapat

merangsang saraf simpatis. Contoh dari nyeri visceral:

apendicitis akut, cholecystitis, kolik uretra, dan lain-lain.

f. Reffered pain

Nyeri dalam dapat diakibatkan dari gangguan organ visceral

atau lesi pada bagian somatis dalam (misal: otot, ligamen,

vertebra). Keduanya dapat dirasakan menyebar sampai ke

bagian permukaan kulit, hal ini dikarenakan serabut visceral

bersinapsis di dalam medulla spinalis dengan beberapa neuron

urutan kedua yang sama yang menerima serabut nyeri dari kulit.

Apabila serabut nyeri visceral tersebut dirangsang dengan kuat,

sensasi nyeri dari visceral menyebar kedalam beberapa neuron

yang biasanya menghantarkan sensasi nyeri hanya dari kulit,

sehingga orang tersebut mempunyai perasaan bahwa sensasi itu

benar-benar berasal dari dalam kulit itu sendiri.

g. Nyeri psikogenik

Nyeri psikogenik merupakan nyeri yang tidak diketahui secara

fisik, nyeri ini biasanya timbul karena pengaruh psikologis,

mental, emosional atau faktor prilaku. Sakit kepala, atau nyeri

perut biasanya contoh sebagian dari nyeri psikogenik yang

paling umum. Nyeri psikogenik terkadang dilihat dengan stigma

yang salah, dimana nyeri ini dianggap sebagai sesuatu yang


tidak nyata. Padahal semua nyeri yang dinyatakan klien adalah

nyata.

Table 2.1 perbedaan nyeri somatic dan visceral

Karakteristik Nyeri somatis Nyeri visceral

superfisial Dalam

Kualitas Tajam, Tajam,tumpul, Tajam, tumpul,

menusuk, nyeri nyeri terus,

membakar kejang

Manjalar Tidak Tidak Ya

Stimulasi Torehan, abrasi Torehan, panas, Distensi,

terlalu panas iskemia iskemia,

dan dingin pergeseran spasmus, iritasi

tempat kimiawi (tidak

ada torehan)

Reaksi otonom Tidak Ya Ya

Reflex kontraksi Tidak Ya Ya


2.2.5 Stimulus Nyeri

Menurut Prasetyo (2010), Seseorang dapat menoleransi, menahan

nyeri (pain tolerance), atau dapat mengenali jumlah stimulus nyeri

sebelum merasakan nyeri (pain thrershold).

Terdapat bebrapa jenis stimulus nyeri, diantaranya:

a. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat

terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada

reseptor.

b. Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat

terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.

c. Tumor, dapat juga menekankan pada reseptor nyeri

d. Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blockade pada arteria

koronaria yang menstimulasi reseptor nyeri akibat

tertumpuknya asam laktat.

e. Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.

2.2.6 Teori Nyeri

Menurut Prasetyo (2010), terdapat beberapa teori tentang terjadinya

rangsangan nyeri, di antaranya

a. Teori pemisahan (Specificity Theory)

Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke medulla spinalis

(spinal cord) melalui kornu dorsalis yang bersinaps di daerah

posterior, kemudian naik ke tracturs lissur dan menyilang di


garis median ke sisis lainnya, dan berakhir di korteks sensoris

tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan.

b. Teori pola (pattern theory)

Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke

medulla spinalis dan merangsang aktivitas sel T. hal ini

mengakibatkan suatu respons yang merangsang ke bagian yang

lebih tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi yang

menimbulkan persrepsi dan otot berkontraksi sehingga

menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas

respons dari reaksi sel T.

c. Teori pengendalian gerbang (Gate Control Theory)

Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja serat saraf besar

dan kecil besar dan kecil yang keduanya berada dalam akar

ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat saraf besar akan

meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa yang

mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas

sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut

terhambat. Rangsangan serat besar dapat langung merangsang

korteks serebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam

medulla spinalis melalui serat eferen dan reaksinya

memengaruhi aktivitas sel T. rangsangan pada serat kecil akan

menghambat aktivitas subtansia gelatinosa dan membuka pintu


mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang

selanjutnya akan menghantarkan rangsangan nyeri

d. Teori transmisi dan inhibisi

Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls-

impuls saraf, sehingga trransmisi impuls nyeri menjadi efektif

oleh neurotransmitter yang spesifik. Kemudian, inhibisi impuls

nyeri menjadi efektif oleh impuls-impuls pada serabut-serabut

besar yang memblok impuls-impuls pada serabut lamban dan

endogen opiote system supresif.

2.2.7 Faktor-Faktor yang memengaruhi Nyeri

Menurut Prasetyo (2010), terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi nyeri diantranya:

a. Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,

khususnya pada anak-anak dan lanjut usia. Perbedaan

perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia ini

dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lanjut usia

bereaksi terhadap nyeri

b. Jenis kelamin

Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna

dalam berespon terhadap nyeri


c. Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor penting terbentuknya

pengetahuan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan

maka semakin mudah pula untuk memahami dan menyerap

pengetahuan (Suiradi,1992). Seseorang yang memiliki tingkat

pendidikan tinggi tentunya akan lebih memahami dan menyerap

suatu pengetahuan termasuk mengenai nyeri yang sedang

dialami. Dengan memahami nyeri sendi yang dialaminya

tersebut, tentunya seseorang akan membentuk prilaku-prilaku

yang bertujuan untuk membantu meredakan nyeri yang sedang

dialami seperti memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan

tertentu ataupun mencari informasi yang berkaitan dengan

terapi-terapi atau pengobatan dalam mengatasi nyeri.

d. Dukungan keluarga dan social

Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri

ialah kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana

sikap mereka terhadap klien. Apabila tidak ada keluarga

atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien

semakin tertekan

2.2.8 Mekanisme Penurunan Nyeri

Teori pengendalian gerbang menurut Potter & Perry (1997)

menjelaskan mengapa terkadang sistem saraf pusat menerima

stimulus berbahaya dan terkadang, meskipun pada kerusakan


jaringan hebat, mengabaikannya. Teori ini mengusulkan bahwa

impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme

pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme

pertahanan/gerbang ini dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa

substansia di dalam kornu dorsalis pada medula spinalis, talamus

dan sistem limbik. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri

dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat

saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan

tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri (Prasetyo,

2010). Transmisi impuls nyeri melalui pintu gerbang sumsum tulang

belakang dipengaruhi oleh:

a. Aktifitas serabut sensori.

Gerbang akan terbuka dengan adanya perangsangan serabut A

delta dan C yang melepaskan substansi P untuk mentransmisi

impuls melalui mekanisme gerbang. Sinyal nyeri ini bisa diblok

dengan stimulasi serabut A beta. Serabut saraf A beta adalah

serat saraf bermielin yang besar sehingga mengantarkan impuls

ke sistem saraf pusat jauh lebih cepat daripada serabut A delta

atau serabut C. Serabut ini berespon terhadap masase ringan pada

kulit, pergerakan dan stimulasi listrik. Ketiga hal ini, dalam

bahasa non fisiologi, membuat otak tetap “sibuk” sehingga

mencegahnya untuk terlalu terganggu dengan impuls yang

datang dari sumber nyeri. Serabut ini banyak terdapat di kulit


sehingga stimulasi kulit dapat menurunkan persepsi nyeri.

Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut A beta,

maka gerbang akan menutup. Diyakini mekanisme penutupan ini

dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien

dengan lembut.

b. Neuroregulator: endorphin

Neuroregulator atau substansi yang mempengaruhi transmisi

stimulus saraf memegang peranan yang penting dalam suatu

pengalaman nyeri. Substansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor,

di terminal saraf dalam kornu dorsalis pada medula spinalis.

Neuroregulator dibagi menjadi 2 kelompok, yakni

neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter seperti

substansi P mengirim impuls listrik melewati celah sinaps di

antara 2 serabut saraf. Serabut saraf tersebut adalah eksitator

dan inhibitor. Neuromodulator memodifikasi aktivitas neuron

dan menyesuaikan atau memvariasikan transmisi stimulus nyeri

tanpa secara langsung mentransfer tanda saraf melalui sebuah

sinap (Potter & Perry, 1997).

Neuromodulator diyakini tidak bekerja secara langsung, yakni

dengan meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmiter

tertentu. Endorphin (berasal dari kata endogenous morphin) dan

juga enkefalin, serotonin, noradrenalin dan gamma-

aminobutyric acid (GABA) adalah contoh neuromodulator.


Enkefalin dan endorphin diduga dapat menghambat impuls

nyeri dengan memblok transmisi impuls ini di dalam otak dan

medula spinalis. Kadarnya yang berbeda diantara individu

menjelaskan mengapa stimuli nyeri yang sama dirasakan berbeda

oleh orang yang berbeda. Kadar ini dikendalikan oleh gen.

Tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan

upaya untuk melepaskan endorfin (Potter & Perry, 1997)

2.2.9 Pengkajian terhadap nyeri

Menurut Prasetyo (2010) terdapat beberapa komponen yang harus

diperhatikan di dalam memulai mengkaji respon nyeri yang dialami

oleh klien diantaranya:

a. Penentuan ada tidaknya nyeri

Dalam melakukan pengkajian terhadap nyeri, perawat harus

mempercayai ketika pasien melaporkan adanya nyeri, walaupun

dalam observasi perawat tidak menemukan adanya cedera atau

luka. Setiap nyeri yang dilaporkan klien adalah nyata.

Sebaliknya, ada beberapa pasien yang terkadang justru

menyembunyikan rasa nyerinya untuk menghindari pengobatan.

b. Karakteristik nyeri (metode P, Q, R, S, T)

Faktor pencetus (P: Provocate). Dalam pengkajian ini, perawat

mengkaji tentang penyebab atau stimulus-stimulus nyeri pada

klien, dalam hal ini perawat juga dapat melakukan observasi

bagian-bagian tubuh yang mengalami cedera. Apabila perawat


mencurigai adanya nyeri psikogenik, maka perawat harus

mengeksplore perasaan klien dan menanyakan perasaan-perasaan

apa yang dapat mencetuskan nyeri.

Kualitas nyeri (Q: Quality). Kualitas nyeri merupakan sesuatu

yang subyektif yang diungkapkan oleh klien, seringkali klien

mendeskripsikan nyeri dengan kalimat-kalimat: tajam, tumpul,

berdenyut, berpindah-pindah, seperti tertindih, perih, tertusuk

dan lain-lain, di mana tiap-tiap klien mungkin berbeda-beda

dalam melaporkan kualitas nyeri yang dirasakan.

Lokasi (R: Region). Untuk mengkaji lokasi nyeri, maka perawat

meminta klien untuk menunjukkan semua bagian yang dirasakan

tidak nyaman oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih spesifik,

maka perawat dapat meminta klien untuk melacak daerah nyeri

dari titik yang paling nyeri, kemungkinan hal ini akan sulit

apabila nyeri yang dirasakan bersifat menyebar.

Keparahan (S: Severe). Tingkat keparahan pasien tentang nyeri

merupakan karakteristik yang paling subjektif. Pada pengkajian

ini klien diminta untuk menggambarkan nyeri yang ia rasakan

sebagai nyeri ringan, nyeri sedang atau berat. Namun

kesulitannya adalah makna dari istilah-istilah ini berbeda bagi

perawat dan klien serta tidak adanya batasan-batasan khusus

yang membedakan antara nyeri ringan, sedang, berat. Hal ini


juga bisa disebabkan karena memang pengalaman nyeri pada

masing-masing individu berbeda-beda.

Durasi (T: Time). Perawat menanyakan pada klien untuk

menentukan awitan, durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat dapat

menanyakan: “Kapan nyeri mulai dirasakan?”, “Sudah berapa

lama nyeri dirasakan?”, “Apakah nyeri yang dirasakan terjadi

pada waktu yang sama setiap hari?”, “Seberapa sering nyeri

kambuh?”, atau dengan kata-kata lain yang semakna.

c. Respon fisiologis

Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke

batang otak dan thalamus, system saraf otonom menjadi

terstimulasi sebagai bagian dari respon stress. Stimulasi pada

cabang simpatis pada system saraf otonom menghasilkan respon

fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat,

dalam, dan melibatkan organ-organ visceral (misal: infark

miokard, kolik akibat kandung empedu, atau batu ginjal) maka

system saraf simpatis menghasilkan suatu aksi.

Respon fisiologis yang timbul akibat nyeri antara lain: a)respon

simpatik (peningkatan frekuensi pernapasan, dilatasi saluran

bronkiolus, peningkatan frekuensi denyut jantung, vasokontriksi

perifer, peningkatan kadar glukosa darah, diafhoresis,

peningkatan tegangan otot, dilatasi pupil, penurunan motilitas

saluran cerna, b) respon parasimpatik (pucat, ketegangan otot,


penurunan denyut jantung, pernapasan cepat dan tidak teratur,

mual dan muntah, kelemahan atau kelelahan.

d. Respon perilaku

Respon perilaku yang ditunjukkan klien yang mengalami nyeri

bermacam-macam. Perawat perlu belajar dan mengenal berbagai

respon prilaku tersebut untuk memudahkan dan membantu dalam

mengidentifikasi masalah nyeri yang dirasakan klien. Respon

prilaku terhadap nyeri yang biasa ditunjukkan oleh klien antara

lain: merubah posisi tubuh, mengusap bagian yang sakit,

menopang bagian nyeri yang sakit, menggeretakkan gigi,

menunjukkan ekspresi wajah meringis, mengerutkan alis,

ekspresi verbal menangis, mengerang, mengaduh dan menjerit,

meraung.

e. Respon afektif

Respon afektif juga perlu diperhatikan oleh seorang perawat

didalam melakukan pengkajian terhadap klien dengan gangguan

rasa nyeri. Ansietas perlu digali dengan menanyakan pada klien

seperti: “Apakah anda saat ini merasakan cemas?”. Selain itujuga

adanya depresi, ketidaktertarikan pada aktifitas fisik dan prilaku

menarik diri dari lingkungan perlu diperhatikan.

f. Pengaruh nyeri terhadap kehidupan klien

Klien yang merasakan nyeri setiap hari akan mengalami

gangguan dalam kegiatan sehari-harinya. Pengkajian pada


perubahan aktifitas ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana

kemampuan klien dalam berpartisipasi terhadap kegiatan-

kegiatan sehari- hari, sehingga perawat juga mengetahui sejauh

mana dia dapat membantu dalam program aktivitas pasien.

Perubahan-perubahan yang perlu dikaji antara lain: perubahan

pola tidur, pengaruh nyeri terhadap pola aktivitas sehari-hari,

misal: makan, minum, mandi BAK atau BAB, serta perubahan

pola interaksi terhadap orang lain (apakah nyeri mengganggu

dalam berinteraksi terhadap orang disekitarnya).

g. Persepsi klien tentang nyeri

Dalam hal ini perawat perlu mengkaji persepsi klien terhadap

nyeri, bagaimana klien menghubungkan antara nyeri yang ia

alami dengan proses penyakit atau hal lain dalam diri atau

lingkungan sekitarnya

h. Mekanisme adaptasi klien terhadap nyeri

Terkadang individu memiliki cara masing-masing dalam

beradaptasi terhadap nyeri. Perawat dalam hal ini perlu mengkaji

cara-cara apa saja yang biasa klien gunakan untuk menurunkan

nyeri yang ia alami, mengkaji keefektifan cara tersebut dan

apakah bias digunakan saat klien menjalani perawatan di Rumah

Sakit. Apabila cara tersebut dapat digunakan, perawat dapat

memasukannya dalam rencana tindakkan.


2.2.10 Respon Nyeri Berdasarkan Tingkat Nyeri

a. Nyeri ringan

Secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

b. Nyeri Sedang

Secara objektif klien mendesis, menyiringai, dapat menunjukkan

lokasi nyeri, dapat mendiskripsikan nyeri, dan dapat mengikuti

perintah dengan baik.

c. Nyeri Berat

Secara objektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah

tetapi merespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi

nyeri, tidak dapat mendeskripsikan nyeri, tidak dapat di atasi

dengan alih posisi, napas panjang (relaksasi) dan pengalihan

perhatian (distraksi).

d. Sangat Nyeri

Klien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi.

2.2.11 Pengukuran Intensitas Nyeri

Metode yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri yaitu:

a. Verbal Rating Scale (VRS)

VRS adalah alat ukur yang menggunakan kata sifat untuk

menggambarkan level intensitas nyeri yang berbeda, range dari

“no pain” sampai “nyeri hebat” (extreme pain). VRS merupakan

alat pemeriksaan yang efektif untuk memeriksa intensitas nyeri.


VRS biasanya diskore dengan memberikan angka pada setiap

kata sifat sesuai dengan tingkat intensitas nyerinya.

Sebagai contoh, dengan menggunakan skala 10-point yaitu: tidak

ada nyeri dengan skore “0”, nyeri ringan dengan skore “1-3”,

nyeri sedang dengan skore “4-6”, nyeri berat terkontrol dengan

skor “7-9”, nyeri berat tak terkontrol dengan skore “10”. Angka

tersebut berkaitan dengan kata sifat dalam VRS, kemudian

digunakan untuk memberikan skore untuk intensitas nyeri

pasien.

Gambar 2.1: Skala VRS Menurut Bourbonais

Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Sangat

ringan
nyeri Sedang Berat Nyeri
Tabel 2.2 Tabel keterangan skala nyeri menurut Bourbonais

Hasil
Observasi
Tingkat Skala Keterangan
Nyeri
Ya Tidak

Tidak 0 -
nyeri

Nyeri 1 Klien terlihat dapat berkomunikasi dengan baik


ringan dan menyebutkan nyeri berada pada angka 1 di
skala VDS

2 Klien terlihat dapat berkomunikasi dengan baik


dan menyebutkan nyeri berada pada angka 2 di
skala VDS

3 Klien terlihat dapat berkomunikasi dengan baik


dan menyebutkan nyeri berada pada angka 3 di
skala VDS

Nyeri 4 Klien terlihat mendesis


sedang
5 Klien terlihat menyeringai

6 Klien mengikuti perintah dengan baik, dapat


menunjukkan lokasi nyeri dan dapat
mendeskripsikan nyeri

Nyeri 7 Klien terkadang tidak mengikuti perintah tetapi


berat merespon terhadap tindakan

8 Dapat menunjukkan lokasi nyeri dan tidak dapat


mendeskripsikan nyeri

9 Tidak dapat diatasi dengan alih posisi napas


panjang (relaksasi) dan pengalihan perhatian
(distraksi)

Nyeri 10 Klien terlihat sudah tidak mampu lagi


sangat berkomunikasi
berat
2.2.12 Strategi Penatalaksanaan Nyeri

Menurut Prasetyo (2010) terdapat tiga kategori tindakan yang

digunakan untuk mengontrol nyeri), yaitu: tindakan farmakologis,

tindakan invasif dan non-invasif (nonfarmakologis).

a. Tindakan farmakologis

WHO merekomendasikan penggunaan obat-obatan analgesik

dan obat-obatan adjuvan yang efektif untuk mengontrol nyeri

klien. Obat-obat adjuvan adalah obat-obatan yang digunakan

bertujuan untuk meningkatkan kemanjuran dari obat opiat,

menghilangkan gejala-gejala yang timbul bersamaan dengan

serangan nyeri dan bertindak sebagai analgesik pada tipe nyeri

tertentu.

b. Tindakan invasif atau pembedahan

Tindakan invasif merupakan komplemen dari tindakan lainnya

dalam upaya membebaskan nyeri. Tindakan invasif dapat

diindikasikan pada keadaan klien dengan nyeri kanker kronis.

Tindakan ini dilakukan sebagai alternatif terakhir jika tindakan-

tindakan lain tidak dapat mengontrolnya. Berikut ini beberapa

contoh tindakan pembedahan yang dapat dilakukan, yakni:

Cordotomy, Neurectomy, Symphatectomy, Rhizotomy.

c. Tindakan non-invasif (nonfarmakologis)

Tindakan non-invasif (nonfarmakologis) merupakan tindakan

pengontrolan nyeri untuk mendukung terapi farmakologis yang


sudah diberikan. Dalam pelaksanaannya, klien dan keluarga

perlu dilibatkan didalam merencanakan tindakan non-invasif

sehingga klien dan keluarga dapat melakukannya dengan efektif

ketika harus menjalani perawatan di rumah. Tindakan

nonfarmakologis ini hanya efektif dilakukan pada klien dengan

intensitas nyeri ringan dan sedang dan kurang tepat diberikan

pada saat klien mengalami nyeri akut dengan intensitas yang

berat dan sangat berat

Jenis daripada tindakan non-invasif (nonfarmakologis) antara

lain:

1) Refleksologi

Refleksologi adalah bentuk pengobatan tanpa menggunakan

obat dengan menekan secara cermat tempat-tempat khusus

di permukaan tubuh, biasanya pada telapak kaki atau telapak

tangan, dengan maksud untuk memberi pengaruh yang

sesuai pada organ-organ yanga ada di dalam tubuh

2) Stimulasi dan masase kutaneus

Masase adalah Stimulasi kutaneus tubuh secara umum,

sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat

membuat pasien lebih aman karena masase membuat

relaksasi otot.
3) Terapi es dan panas

Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda

nyeri yang efektif pada beberapa keadaan. Terapi es dapat

menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensitivitas

reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan

menghambat proses inflamasi.

4) Stimulasi Saraf Elektris Transkutan

Stimulasi Saraf Elektris Transkutan (TENS) menggunakan

unit yang dijalankan baterai dengan electrode yang dipasang

pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan,

menggetar, atau mendengung pada area nyeri.

5) Distraksi

Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien

pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi strategi yang

sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang

bertanggung jawab terhadap teknik kognitif efektif lainnya.

Teknik distraksi seperti: menonton televisi, berbincang-

bincang dengan orang lain, mendengar musik

6) Teknik Relaksasi

Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri

dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri

7) Hipnosis
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan

jumlah analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan

kronis. Teknik ini mungkin membantu dalam memberikan

peredaan nyeri terutama dalam situasi sulit (misalnya: luka

bakar).

8) Imajinasi Terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi

seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus

untuk mencapai efek positif tertentu

2.3.3 Konsep terapi music klasik murotal

2.3.1 Definisi

Musik klasik adalah musik masa lampau yang selalu

memperhatikan tata tertib penyajiannya; musik serius

dengan standar karya klasik walaupun diciptakan pada

masa sekarang (Banoe, 2011). Masa klasik dalam musik

secara khusus berpusat pada tiga komponis penting, yaitu

Josef Haydn (1732-1809), Wolfgang Amadeus Mozart

(1756-1791), dan Ludwig van Beethoven (1770-1827).

Hal ini mempertegas bahwa musik klasik merupakan

nama musik yang terkenal di seluruh Eropa pada tahun

1600 sampai 1900. Sampai sekarang musik klasik

dipercaya dapat meningkatkan konsentrasi, hal ini


diharapkan bahwa musik klasik dapat meningkatkan

kemampuan menulis.

Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang di

turunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an

diartikan sebagai bacaan, Al-qur’an merupakan petunjuk

bagi orang yang beriman. Barang siapa yang membaca

Al-Qur’an akan dibalas oleh Allah sebagai suatu

kebaikan (Elzaky, 2011; Qodri, 2003). Al-Qur’an

merupakan kitab orang Islam dan semata-mata bukan

hanya kitab fikih yang membahas ibadah saja tetapi

merupakan kitab yang membahas secara komprehensip

baik bidang kesehatan atau kedokteran maupun bidang-

bidang ilmu-ilmu lain (Sadhan, 2009). Al-Qur’an sendiri

dibeberapa penjelasan secara ilmiah merupakan obat yang

menyembuhkan dan menyehatkan manusia, baik

penyakit jasmani maupun rohani. Hal ini berdasarkan

sabda Rasulullah SAW berobatlah kalian dengan madu

dan Al-Qur’an (Izzat & Arif, Kementerian Agama,

2011).

Menurut Purna (2006) di kutip dalam Siswantinah (2011)

Murottal adalah lantunan ayat-ayat Suci Al-Qur’an yang

dilakukan oleh seorang Qori direkam serta di

perdengarkan dengan tempo yang lambat serta harmonis.


Bacaan Al-Qur’an secara murottal mempunyai irama

yang konstan, teratur, dan tidak ada perubahan yang

mendadak. Tempo murottal Al-Qur’an berada antara 60-

70/ menit, serta nadanya rendah sehingga mempunyai efek

relaksasi dan dapat menurunkan kecemasan (Widayarti,

2011).

Murotal merupakan salah satu musik yang memiliki

pengaruh positif bagi pendengarnya (Widayarti, 2011).

Mendengarkan ayat-ayat Al-qur’an yang dibacakan secara

tartil dan benar, akan mendatangkan ketenangan jiwa.

Lantunan ayat-ayat Al-qr’an secara fisik mengandung

unsur-unsur manusia yang meruoakan instrumen

penyembuhan dan alat yang paling mudah dijangkau.

Suara dapat menurunkan hormon-hormon stress,

mengaktifkan hormon endofrin alami, meningkatkan

perasaan rileks, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga

menurunkan tekanan darah serta memperlambat

pernafasan, detak jantung, denyut nadi dan aktivitas

gelombang otak (Heru, 2008).

2.3.2 Manfaat terapi murottal

Heru (2008) mengemukakan bahwa lantunan Al-qur’an secara

fisik mengandung ][f;ff/;cunsur suara manusia, sedangkan

suara manusia merupakan instrumen penyembuhan yang


menakjubkan dan alat yang paling mudah dijangkau. Suara

dapat menurunkan hormon-hormon endofrin alami, meningkat

perasaan rileks, mengalihkan perhatian, rasa takut, cemas dan

tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan

tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung,

denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak.

Murottal (ayat-ayat Al-qur’an) yang dibacakan dengan tartil

mempunyai beberapa manfaat antara lain:

a Memberikan rasa rileks (Upoyo, 2012)

b Meningkatkan rasa rileks (Heru, 2012)

c Terapi murottal (membaca Al-qur’an) dapat menyebabkan

otak memancarkan gelombang theta yang menimbulkan

rasa tenang (Assegaf, 2013)

d Memberikan perubahan fisiologis (Siswantinah, 2011)

e Terapi murottal (membaca Al-qur’an) secara teratur

adalah obat nomor satu dalam menyembuhkan kecemasan

(Gray, 2010).

2.3.3 Sejarah Murottal Al-Qur’an

Ahmed Elkadi, melakukan penelitian pada tahun 1985 tentang

pengaruh Al-qur’an pada manusia dalam perspektif fisiologis

dan psikologis yang terbagi menjadi 2 tahapan. Tahapan

pertama bertujuan untuk menentukan kemungkinan adanya


pengaruh Al-Qur’an pada fungsi organ tubuh sekaligus

mengukur intensitas pengaruhnya (Mahmudi, 2011).

Hasil eksperimen pertama membuktikan bahwa 97%

responden, baik muslim maupun non-muslim, baik yang

mengerti bahasa arab maupun yang tidak, mengalami beberapa

perubahan fisiologis yang menunjukan tingkat ketegangan urat

syaraf reflektif. Hasilnya membuktikan bahwa Al-Qur’an

memiliki pengaruh mampu merelaksasi ketegangan urat

syaraf tersebut. Fakta ini secara tepat terekam dalam system

detector elektronic yang didukung komputer guna mengukur

perubahan apapun dalam fisiologi (organ) tubuh (Mahmudi,

2011).

Penelitian tersebut mengungkapkan, bahwa ketegangan urat

syaraf berpotensi mengurangi daya tahan tubuh yang

disebabkan terganggunya keseimbangan fungsi organ dalam

tubuh untuk melawan sakit atau untuk membantu proses

penyembuhan. Untuk eksperimen kedua pada efek relaksasi

yang ditimbulkan Al-Qur’an pada ketegangan syaraf beserta

perubahan-perubahan fisiologis (Mahmudi, 2011).

2.3.4 Pengaruh murottal terhadap respons tubuh

Murottal bekerja pada otak dimana ketika didorong rangsangan

dari terapi murottal maka otak akan memproduksi zat kimia

yang disebut zat neuropeoptide. Molekul ini akan menyangkut


kedalam reseptor-reseptor dan memberikan umpan balik

berupa kenikmatan dan kenyamanan (Abdurrochman, 2008).

Murottal mampu memacu sistem saraf parasimpatis yang

mempunyai efek berlawanan dengan sistem syaraf simpatis.

Sehingga terjadi keseimbangan pada kedua sistem syaraf

autonom tersebut. Hal inilah yang menjadi prinsip dasar dari

timbulnya respon relaksasi, yakni terjadi keseimbangan antara

sistem syaraf simpatis dan parasimpatis (Asti, 2009). Kondisi

yang rileks akan mencegah vasopasme pembuluh darah akibat

perangsangan simpatis pada kondisi stress sehingga dapat

meningkatkan perfusi darah (Upoyo, Ropi, dan Sitorus 2012).

Stimulan Al-Qur’an rata-rata didominasi oleh gelombang delta.

Adanya gelombang delta ini mengindikasikan bahwa kondisi

naracoba sebenarnya berada dalam keadaan yang sangat

rileks. Stimulan terapi ini sering memunculkan gelombang

delta di daerah frontal dan central baik sebelah kanan dan

kiri otak. Adapun fungsi dari daerah frontal yaitu sebagai

pusat intelektual umum dan pengontrol emosi, sedangkan

fungsi dari daerah central yaitu sebagai pusat pengontrol

gerakan-gerakan yang dilakukan. Sehingga stimulan Al-Qur’an

ini dapat memberikan ketenangan, ketentraman dan

kenyamanan naracoba (Abdurrochman, 2008). Mendengarkan

ayat-ayat suci Al-Qur’an seorang muslim, baik mereka yang


berbahasa arab maupun yang bukan, dapat merasakan

perubahan fisiologi yang sangat besar. Secara umum mereka

merasakan adanya penurunan depresi, kesedihan, dan

ketenangan jiwa. (Siswantinah, 2011)

Mendengarkan murottal Al-Qur’an terdapat juga faktor

keyakinan, yaitu agama Islam. Umat Islam mempercayai

bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang mengandung firman-

firmanNya dan merupakan pedoman hidup manusia. Sehingga

dengan mendengarkannya akan membawa subjek merasa lebih

dekat dengan Tuhan serta menuntun subjek untuk mengingat

dan menyerahkan segala permasalahan yang dimiliki kepada

Tuhan, hal ini akan menambah keadaan rileks. Faktor

keyakinan yang dimiliki seseorang mampu membawa keadaan

yang sehat dan sejahtera, teori ini dikemukakan oleh Benson.

Menurut Benson seseorang yang mempunyai keyakinan

mendalam terhadap sesuatu akan lebih mudah mendapatkan

respon relaksasi. Respon relaksasi ini dapat timbul karena

terdapat suatu hubungan antara pikiran dengan tubuh (mind-

body conection). Sehingga mendengar Bacaan Al-Qur’an

dapat disebut juga relaksasi religios (Faradisi, 2009).

Anda mungkin juga menyukai