Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah usus buntu yang sering digunakan masyarakat sebenarnya


kurang tepat. Di Indonesia sejak jaman Belanda juga menggunakan istilah radang
usus buntu (blindre darm). Apendiks disebut juga umbai cacing dan usus buntu
sebenarnya adalah caecum sehingga penyakit ini diduga inflamasi dari caecum
dan disebut typhlitis atau perityphlitis. Apendisitis merupakan proses peradangan
dari apendiks vermiformis/umbai cacing. Apendisitis akut masih merupakan
penyebab tersering akut abdomen dan salah satu dari penyebab operasi emergensi
terbanyak di unit gawat darurat ( Eva H, 2015 ).
Sedangkan insidensi kejadian apendisitis akut adalah 1,5 – 1,9 per
1000 pada populasi pria dan wanita, dan insidensi pada pria kurang lebih 1,4 kali
lebih besar dibandingkan wanita. Penegakan diagnosis apendisitis akut tidaklah
mudah dan merupakan masalah diagnostik yang membingungkan terutama pada
tahap-tahap awal penyakit. Sebagian besar diagnosis apendisitis akut didasarkan
pada temuan klinis yang bersumber pada anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan dikombinasikan dengan pemeriksaan laboratorium.
Diagnosis yang tepat penting untuk mencegah perforasi dan tindakan
apendektomi negative ( Eva H, 2015 ).
Pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi (USG) sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis yang akurat meskipun ada penelitian
yang 2 mengatakan, modalitas tersebut dapat menunda tindakan operasi. USG
bersifat noninvasif, aman, banyak tersedia dan biaya murah dibandingkan CT
Scan. Pada banyak kasus, terutama pada golongan usia muda, orang tua dan

1
wanita dalam masa reproduksi, manifestasi klinis dari apendisitis akut tidaklah
jelas (samar-samar) dan kadang tidak pasti. Kegagalan dan keterlambatan untuk
melakukan diagnosis dini terhadap apendisitis akut ini merupakan alasan utama
tetap tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas ( Eva H, 2015 ).
Pemeriksaan jumlah leukosit darah merupakan salah satu pemeriksaan
laboratorium yang cepat dan murah untuk dapat menentukan diagnosa apendisitis
akut dan apendisitis perforasi. Biasanya ditemukan leukositosis pada pemeriksaan
laboratorium dan sering ditemukan pada kasus dengan komplikasi berupa
perforasi. Dilaporkan bahwa insiden perforasi sekitar 60% terdapat pada penderita
diatas usia 60 tahun. Nilai leukosit darah meningkat >10.000/mm3 dan hitung
jenis leukosit darah terdapat pergeseran ke kiri pada pasien apendisitis akut.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh John H dkk, menyatakan bahwa
leukositosis lebih dari 13.000 / mm3 adalah indikasi apendisitis akut. Pada pasien
dengan jumlah leukosit darah yang meningkat >18.000 sel/mm3 menyebabkan
kemungkinan terjadinya apendisitis perforasi ( Siti H, 2014 ).
Untuk mengatasi kelemahan angka leukosit dan CRP yang
memberikan hasil bias pada apendisitis, saat ini mulai diteliti pemanfaatan
prokalsitonin (PCT) sebagai salah satu biomarker pada apendisitis. Saat ini
prokalsitonin telah digunakan sebagai biomarker menilai infeksi intra abdomen
termasuk apendisitis. Prokalsitonin (PCT) pertama kali digambarkan sebagai
tanda spesifik infeksi bakteri. Kepekatan serum prokalsitonin akan meningkat saat
inflamasi sistemik, khususnya pada kasus yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
PCT diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi sistemik.
Infeksi yang disebabkan oleh protozoa, virus, penyakit autoimun tidak
menginduksi PCT. Kadar PCT muncul cepat dalam 2-3 jam setelah rangsangan,
puncaknya setelah 12-48 jam dan secara perlahan menurun dalam 48 sampai 72
jam, sedangkan CRP tidak terdapat dalam 6 jam awal. Seperti halnya CRP, IL 6
juga tidak dapat membedakan secara jelas sumber inflamasi. Pada keadaan

2
inflamasi berat akibat bakteri kadar PCT selalu > 2 ng/ml, pada kasus akibat
infeksi virus kadar PCT < 0,5 ng/ml ( Teuku Y, 2016 ).
Manfaat PCT sebagai biomarker apendisitis. PCT merupakan
biomarker uji laboratorium yang akurat dengan sensitivitas 89%, spesifisitas 94%,
nilai positif prediktif value 94% dan negatif prediktif value sebesar 90 %. Pada
beberapa penelitian yang didapatkan bahwa PCT lebih bermanfaat dalam
mengindentifikasi apendisitis yang komplikata dibandingkan pada apendisitis non
komplikata. Hasil PCT dapat dipakai tidak hanya sebagai alat diagnostik, namun
kini bermanfaat sebagai alat prognostik dalam menilai derajat keparahan penyakit
yaitu adanya komplikasi pada apendisitis akut. Pemanfaatan beberapa biomarker
kini mulai berkembang pesat terutama di negara maju. Pemeriksaannya sangat
dianjurkan pada pasien dengan kecurigaan apendisitis akut. Sehingga dapat
menekan angka komplikasi. Pasien dengan nilai CRP > 3 mg/dl dan PCT > 0,18
ng/ml memiliki risiko besar timbul komplikasi. Nilai cutt off PCT > 2 ng/ml
dianggap bahwa apendik telah perforasi. Penentuan cutt off PCT dan CRP,
menilai batas apendisitis komplikata dan non komplikata serta menilai hubungan
peningkatan kadar biomarker tersebut terhadap terjadinya derajat komplikata
( Teuku Y, 2016 ).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira – kira


10 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennyasempit dibagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Natrum demikian, pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kea rah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendalnya insidens apendisitis pada usia itu. Kedudukan
itu memungkinkan apendiks bergerak, dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya. Apendiks terletak retroperitoneal, yaitu

4
di belakang sekum, di belakang kolon asendens. Gejalan klinis apendiks
ditentukan oleh letak apendiks ( de Jong, 2016 ).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh sebab itu nyeri visceral
pada pandisitis bermula dari sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari
arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi apendiks akan mengalami
gangren ( de Jong, 2016 ). Pada persambungan apendiks dan sekum, terdapat
pertemuan tiga taenia coli yang dapat menjadi penanda. Apendiks adalah orang
imunologi berperan dalam sekresi igA karena termasuk dalam komponon gut-
associated lymphoid tissue (GALT) pada waktu kecil. Namun, system imun tidak
mendapat efek negatif apabila apendektomi dilakukan ( Chris T, 2014 ).

B. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lender sebanyak 1-2 ml, perhari. Mormalnya
lender itu dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperanan pada
pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna,
termasuk apendiks, ialah igA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
system imun tubuh karena jumlah limfe dsini sedikit sekali di bandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh ( de Jong, 2016 ).

5
C. Patogenesis dan Patofisiologi
Apendisitis akur biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks yang dapat di akibatkan oleh fekalit/apendikolit, hiperplasa limfoid,
benda asing, parasit, neoplasma, atau struktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya. Obtruksi lumen yang terjadiu mendukung perkembangan bakteri dan
sekresi mucus sehingga menyebabkan distensi lumen dan pengikatan tekanan
dingin lumen. Tekanan yang meningkat yang meningkat akan menghambat aliran
limfe sehingga menimbulkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa.
Pada saat tersebut, terjadi Apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
periumbilikal ( Frans L, 2014 )
Sekresi mucus yang terus berlanjut dan tekanan yang ters meningkat
menyebabkan obtruksi vena, penginkatan edema, dan pertumbuhan bakteri yang
meninmbulkan radang. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga timbul nyeri didaerah kanan bawah. Pada saat ini terjadi
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan timbul
infark dingin dan gangrene. Stradium ini di sebut apendisitis gangrenosa yang
bila raput dan pecah menjadi apendisitis perforasi. Meskipun bervariasi,
biasanya perforasi terjadi paling sedikit 48 jam setelah di awitan gejala ( Frans L,
2014 ).
Bila semua proses diatas berjalan dengan imunitas yang cukup baik,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kea rah apendiks sebagai
mekanisme pertahanan sehingga timbul massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan yang terjadi dapat menjadi abses ata mengilang. Pada
anak, omentum lebih pendik dan apendiks lebih panjang dengan dingin lebih tipis
sehingga mudah terjadi perforasi. Sedangkan pada orang tua mudah terjadi karena
ada gangguan pembuluh darah ( Frans L, 2014 ). Apendiks yang pernah meradang
tidak akan sembuh sempurna, tetapi menbentuk jaringan parut yang melengket
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan

6
berulang diperut kanan bawah. Suatu saat, organ ini dapat merang akut lagi dan
dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut ( de Jong, 2016 ).
Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis, khususnya
pada anak-anak. Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf
visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini
bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang
semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah
nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan
diagnosis lain. Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limfe, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya
peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik
jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding
appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi
pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik ( Warsinggih, 2016 ).
Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan
peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan
dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri
jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral
sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya
tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai
saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi ( Warsinggih, 2016 ).
Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau
pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis
dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya.
Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri
saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine5. Perforasi appendiks akan
menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis umum. Proses ini

7
tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien
berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup
peningkatan suhu melebihi 38.6°C, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis
pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi,
dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi ( Warsinggih, 2016 ).
Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan
risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak
adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih
memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa
pada pemeriksaan fisik Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering
dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar,
akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan
adanya abses pelvis ( Warsinggih, 2016 ).

D. Gejala Klinis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
terjadinya peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan anda
setenpat, baik disertai maupun tanpa rangsangan peritoneum lokal. Gejala klasik
apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di
daerah epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual dan
kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan menurun, dalam beberapa jam ,
nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Nyeri dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatic setempat.
Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita
merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu di anggap berbahaya karena bias
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum,
biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk ( de Jong, 2016 ).

8
Bila apendiks terletak retosekal retroperitoncal, tanda neyri perut
kanan bawah tidak begitu jelas dan tidka ada tanda rangsangan peritonecal karena
apendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan aau
nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang
dari dorsal. Radang pada apendiks yang terletak di rongga pelvis dapat
menumbilkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum sehingga
peristaltis meningkat dan pengosongan rectum menjadi lebih cepat serta berulang.
Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadipengingkatan
frekuensi kencing akibat rangsangan apendiks terhadap dinding kandung kemih.
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya anak sering hanya
menunjukan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bias
melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam kemudian, anak akan muntah sehingga
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, apendisitissering
baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi 80-89% apendisitis baru
diketahui setelah terjadi perofrasi ( de Jong, 2016 ).
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosa sehingga
tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Pada orang berusai lanjut,
gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru
dapat didiagnosa setelah peforasi. Pada masa kehamilan, keluhan utama
apendisitsi adalah nyeri perut, ,mual dan muntah. Hal ini perlu dicermati karena
pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada
kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga
keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih di region lumbal kanan
( de Jong, 2016 ).

9
E. Pemeriksaan Fisik
Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri visceral di sekitar umbilicus. Keluhan ini sering diseratai dengan
mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ke kana bawah di titik Mc Burney. Disi nyeri dirasakan
lebih jelas tajam dan jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatic setempat.
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 – 38,5 °C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi, penojolan perut kanan bawah bias dilihat
pada abses periapendikuler. Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada
region iliaka kanan, bias disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukan
adanya rangsangan perotneum parietale. Nyeri tekan, nyeri lepas, dan defans
muskuler di titik Mc Burney merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut
kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut Rovsing Sign.
Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik pada
peristalsis generalisata akibat apendisitis perforate ( Mellisa H, 2011 ).
Pemeriksaan uji Psoas Sign dan uji Oburator Sign merupakan
pemeriksaan yang lebih ditunjukan untuj mengetahui letak apendiks. Uji Psoas
Sign dilakukan dengan rasangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul
kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
apendiks meradang menempel di Muskulus Psoas Mayor, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji Oburator Sign digunakan untuk melihat apakah
apendiks yang meradang kontak dengan Muskulus Oburator Internus, yang
merupakan dingin panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul
pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika ( Mellisa,
2011 ). Selain pemeriksaan fisik diatas ada juga pemeriksaan fisik lainnya untuk
menandai diagnose pada apendisitis Rebound phenomena yaitu menekan perut
bagian kiri dan dilepas mendadak dirasa nyeri pada perut sebelah kanan.

10
Pemeriksaan Rectal Touche juga dapat membantu pemeriksaan pada apendisitis
biasanya didapatkan nyeri tekan sisi kanan atas ( Soetomo, 2010 ).

F. Pemeriksaan Penunjang
Kesulitan dalam membedakan apendisitis akut dengan nyeri abdomen
yang tidak spesifik masih persisten sebagai suatu masalah klinis, hal ini terlihat
dengan derajat kesalahan diagnosis setiap tahunnya relatif konstan. Hal ini dapat
menyebabkan keterlambatan diagnosis sehingga meningkatkan morbiditas dan
biaya yang diperlukan dalam penanganan. Derajat mortalitas apendisitis akut
sederhana sekitar 0,1%, apendisitis perforasi kurang dari 10%, dan apabila telah
terjadi peritonitis umum mencapai sekitar 40%. Gejala dan tanda apendisitis yang
tidak khas akan menyulitkan dokter dalam menegakkan diagnosis sehingga
diperlukan pemeriksaan penunjang( Shiddiq M, 2013 ).
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan dasar dalam diagnosis
apendisitis dengan tingkat akurasi sebesar 76-80%. Modalitas pencitraan seperti
Ultrasonography (USG) dan Computed Tomography (CT) scan dapat
meningkatkan akurasi diagnosis hingga 90%, namun karena biayanya yang mahal
dan tidak semua unit pelayanan kesehatan memilikinya, pemeriksaan ini jarang
digunakan. Gejala dan tanda apendisitis yang tidak khas akan menyulitkan dokter
dalam menegakkan diagnosis, sehingga dokter akan melakukan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis. Salah satu pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan hitung jumlah leukosit. Pemeriksaan ini
merupakan suatu pemeriksaan yang tersedia di semua rumah sakit, murah dan
cepat. Jumlah leukosit umumnya meningkat pada apendisitis akut yakni sekitar
10.000-18.000 sel/mm³. Jumlah leukosit yang kurang dari 18.000 sel/mm³
umumnya terjadi pada apendisitis simpel dan leukosit yang lebih dari 18.000
sel/mm³ menunjukkan adanya perforasi. Kemampuan dokter dalam menegakkan
diagnosis apendisitis serta membedakan antara apendisitis akut dan apendisitis

11
perforasi secara klinis sangat diperlukan, karena keduanya memiliki penanganan
yang berbeda. Jumlah leukosit memberikan informasi berharga mengenai
apendisitis. Telah banyak penelitian yang melakukan penelitian mengenai
manfaat hitung jumlah leukosit dalam menegakkan diagnosis apendisitis ( Anggi
P, 2013 ).

G. Diagnosa Banding
Kedua kondisi obstetri dan ginekologis bisa hadir dengan nyeri perut
dan meniru radang usus buntu. Pemeriksaan fisik harus dilakukan pada klinisi
evaluasi untuk merumuskan diagnosis banding itu sesuai untuk individu.
Nonobstetrical / nongynecological kondisi termasuk gastroenteritis, infeksi
saluran kemih, pyleonephritis, kolesistitis, cholelithiasis, pankreatitis,
nephrolithiasis, hernia, Obstruksi usus, karsinoma yang besar usus, adenitis
mesenterika, dan rektus hematoma, emboli paru, pneumonia lobus kanan bawah,
dan penyakit sel sabit( Patricia A, 2006 ).
Ginekologi dan Kondisi kebidanan meliputi kista ovarium, adneksa
torsi, salpingitis, abruptio plasenta, korioamnionitis, fibroid degeneratif,
kehamilan ektopik, preeklamsia, sindrom ligamentum bundar, dan preterm
persalinan. Satu studi menunjukkan bahwa radang usus buntu terjadi di sekitar
setengah dari mereka mencicipi kista ovarium, adenitis mesenterika, fibromyoma
uteri, varises di parametria, ileus, salpingitis, dan torsi adalah patologi lainnya
diidentifikasi ( Patricia A, 2006 ).
Selain Diagnosa banding diatas ada beberapa diagnose yang juga perlu
di perhatikan untuk mendiagnosa apendisitis yaitu Deman Dengue, dapat dimulai
dengan nyeri perut mirip peritonitis, penyakit ini dapat di hasil test positif untuk
Rumpel Leede, trombositopenia dan peningkatan hematokrit.Infeksi Panggul,
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut kanan bagian bawah lebih difus.

12
Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada
colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayun. Pada gadis
dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnose banding. Urolitiasis
Pielum/ Ureter Kanan, penyakit yang mempunyai riwayat kolik dari pinggang ke
perut yang menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas.
Eritosituarua sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi intravena dapat
memastikan penyakit tersebut. Pielonefirtis sering disertai demam tinggi dan
piuria ( de Jong, 2016).

H. Komplikasi
1. Appendicular infiltrat: Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro
atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh
omentum, usus halus atau usus besar. 2. Appendicular abscess: Abses yang
terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang
kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar. 3. Perforasi 4.
Peritonitis 5. Syok septik 6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar 7.
Gangguan peristaltik 8. Ileus ( Warsinggih, 2016 ).
Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang agar mudah
melakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin,
serta membersihkan kantong nanah. Akhir-akhir ini, mulai banyak di laporkan
pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi apnedektomi. Pada prosedur
ini, rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak
berbeda jauh dibandingkan dengan laparotomi terbuka, tetapi keuntungannya
adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik. Karena terdapat
kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, sebaiknya dilakukan pemasangan drain
subfasia kulit dibiarkan terbuka dan nantinya akan dijahit bila sudah dipastikan
tidak ada infeksi. Pemasangan drain intraperitoneal tidak perlu dilakukan pada

13
anak karena justru lebih sering menyebabkan komplikasi infeksi ( de Jong,
2016 ).

I. Penatalaksaaan
Pre Operatif ,adalah tindakan tata laksana untuk apendisitis yaitu
Observasi ketat, tirah baring dan puasa. Pmemeriksaan abdomen dan rectal serta
pemeriksaan darah dapat di ulang secara periodic. Foto abdomen dap torak dapat
di lakukukan untuk mencari penyulit lain. Antibiotik intravena spectrum luas dan
analgesic dapat diberikan. Pada perforasi apendiks perlu diberikan resusitasi
cairan sebelum operasi ( Chris T, 2014 ).
Apendektomi adalah bedah apendisitis atau sering disebut juga
apendicectomi. Appendektomi merupakan kedaruratan bedah paling sering di
negara-negara Barat. Jarang terjadi pada usia di bawah 2 tahun, banyak pada
dekade kedua atau ketiga, tetapi dapat terjadi pada semua usia, (pembedahan
untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan
resiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau
spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan
metode terbaru yang sangat efektif. Profilaksis Bedah Profilaksis bedah adalah
pemberian antibiotik sebelum terjadinya kontaminasi pada jaringan atau cairan
yang terinfeksi. Tujuan dari profilaksis antibiotik adalah untuk mencegah
perkembangan infeksi pada daerah yang dibedah. Pada sebagian kasus bedah,
pemakaian suatu jenis antibiotik profilaksis telah terbukti secara meyakinkan
dapat mencegah atau mengurangi kejadian infeksi, sehingga pemakaiannya
dianjurkan secara luas dalam praktek karena betapa bersihnya operasi dilakukan,
kuman selalu dapat menemukan luka operasi. Antibiotik profilaksis bedah
didefinisikan sebagai antibiotik yang diberikan kepada penderita sebelum adanya
tanda dan gejala suatu infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya manifestasi
klinik infeksi tersebut yang diduga akan/bisa terjadi ( Nugrahani, 2012 ).

14
BAB III
KESIMPULAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix


vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada
anak-anak maupun dewasa. Appendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi
yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja Gejala appendicitis akut
pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau
makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam
kemudian akan timbul muntah-muntah dan anaka akan menjadi lemah dan
letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, appendicitis sering diketahui setelah
terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90% appendicitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan
hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendisitis.

15
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Soetomo, 2010. “Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Bedah”. Rumah sakit
Umam Daerah Dokter Soetomo Surabaya. Textbook. Edisi IV, Hal.50 - 51.

Mellisa Handoko W, 2011. “Aplikasi Skor Alavarado pada Penatalaksaan


Apendisitis Akut”. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Krida Wacana Jakarta. J. Kedokt Meditek, Vol. 17, No 44. Hal. 38.

Siti Hardiyanti S, 2014. “Perbedaan Antara Jumlah Leukosit Darah Pada Pasien
Apendisitis Akut Dengan Apendisitis Perforasi di RSUP DR. Kariadi
Semarang”. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Jurnal.

Teuku Yusriadi, 2016. “Hubungan Biomarker Prokalsitonin dan C-Reactive Protein


dengan Terjadinya Apendisitis Komplikata dan Non Komplikata Pada Anak”.
S2 Ilmu Bedah Anak Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta. Makalah. Hal. 3
–4

Eva Hadaniah A, 2015. “Perbandingan Uji Diagnostik Antara Hasil Ultrasonografi


dengan Temuan Klinis Skor Alvarado Pada Pasien Apendisitis Akut”.
Program Studi Spesialis Radiologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Makalah. Hal. 1 -2.

DR. dr. Warsinggih, Sp. B-KBD, 2016. “Bahan Ajar DR.dr. Warsinggih, Sp.B-KBD
Apendisitis Akut”. Jurnal.

16
Muhammad Shiddiq, I Gusti Ngurah Virgiandy, Mitra Handini, 2013. “Suhu Tubuh
dan Nilai Granulosit Praopreasi Pasien Apendisitis Akut Berkomplikasi Di
RSUD Dokter Soedarso Pontianak Tahun 2012”. Program Studi Pendidikan
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak. Naskah Publikasi.
Hal. 3.

Chris Tanto, Frans Liwang, Sonia Hanifati, Eka Adip Pradipta, 2014. “Kapita Selekta
Kedokteran”. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Textbook. Edisi IV.
Hal. 213 – 214.

Wim de jong, R. Sjamsuhidajat, 2016. “Buku Ajar Ilmu Bedah, Sistem Organ dan
Tindak Bedahnya”. Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan.
Textbook. Edisi IV. Vol. 3. Hal. 776 – 782.

Anggi Patranita Nasution, IGN Virgiandhy, Iit Fitrianingrum, 2013. “Hubungan


Antaran Jumlah Leukosit dengan Apendisitis Akut dan Apendisitis Perforasi
di RSU Dokter Soedarso Pontianak Tahun 2011” .Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak. Naskah
Publikasi. Hal. 1 – 2.

Patricia A. Pastore, MSN, RN, FNP, Dianne M. Loomis, MSN, RN-CS, FNP dan
John Sauret, MD, FAAFP, 2006. “ Apppendicitis in Pregnancy” .Journal of
The American Board of Family Medicine. Jurnal Publikasi. Vol.19. No. 6,
Hal. 623.
Nugrahani Fica Setia, 2012. “Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada
Pasien Bedan Apendisitis di RSUD Dr. M Ashari Pemalang Pada Tahun
2011”. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Hal.
6 – 7.

17
18

Anda mungkin juga menyukai