PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering 1. Apendiks disebut juga
umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di
masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah
sekum. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa fungsi apendiks
sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali menimbulkan masalah
kesehatan.
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit.
Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Apendiks
menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam
lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran
tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisits. Di
dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat
pelindung
efektif
terhadap
infeksi
(berperan
dalam
sistem
imun).
Dan
1.2.1
1.2.2
1.2.3
1.2.4
1.2.5
1.2.6
1.2.7
1.2.8
apendisitis?
1.2.9 Bagaimana penatalaksanaan pada apendisitis?
1.2.10 Bagaimana komplikasi pada apendisitis?
1.2.11 Apakah definisi peritonitis?
1.2.12 Bagaimana system pengklasifikasin peritonitis?
1.2.13 Bagaimana epidemiologi peritonitis?
1.2.14 Bagaimana etiologi dan Faktor risiko pada peritonitis?
1.2.15 Bagaimana mekanisme patofisiologi peritonitis?
1.2.16 Bagaimana manifestasi klinis peritonitis?
1.2.17 Bagaimana pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnose
peritonitis?
1.2.18 Bagaimana penatalaksanaan pada peritonitis?
1.2.19 Bagaimana komplikasi pada peritonitis?
1.2.20 Bagaimana rentang Hb Normal berdasarkan usia dan jenis kelamin?
1.2.21 Bagaimana proses penyembuhan luka?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan ini untuk mahasiswa agar dapat memahami penyakit
apendisitis dan peritonitis baik dari segi pengertian hingga komplikasi pada penyakit
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. APENDISITIS
2.1 Definisi Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendisitis akut menjadi
2
salah satu pertimbangan pada pasien yang mengeluh nyeri perut atau pasien yang
menunjukkan gejala iritasi peritoneal (Samdjuhidajat, 2005).
2.2 Anatomi Fisiologi Apendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal
dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu (Soybel, 2001
dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina
serosa
yang
berjalan
pembuluh
darah
besar
yang
berlanjut
ke
dalam
mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum
viserale (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di
muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin
sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang
terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin
ini
sangat efektif
sebagai
pelindung
terhadap
infeksi.
Namun
demikian,
Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Klasifikasi appendicitis akut:
Appendisitis akut simple
Peradangan baru terjadi di daerah mukosa dan submukosa. Gejala
diawali dengan rasa nyeri di saerah umbilicus, mual, muntah,
anoreksia, malaise, dan semam ringan.
Appendisitis supuratif
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti, nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif
Appendisitis akut gangrenosa
Didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami gangren
pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau
2005)
Appendisitis infiltrate
Appendisitis infiltrate adalah proses radang appendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon, dan peritoneum
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak
perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut.
Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis
rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut. (Doenges,Marilynn E.2005)
apendiks
karena
parasit
E.
histolytica.
Penelitian
epidemiologi
berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih,
dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya
dindingnya.
2. Muntah dan mual oleh karena nyeri viseral. Nutrisi kurang dan volume cairan
yang kurang dari kebutuhan juga berpengaruh dengan terjadinya mual dan
muntah.
3. Suhu tubuh meningkat dan nadi cepat (karena kuman yang menetap di
dinding usus).
4. Rasa sakit hilang timbul
5. Diare atau konstipasi
6. Tungkai kanan tidak dapat atau terasa sakit jika diluruskan
7. Perut kembung
8. Hasil pemeriksaan leukosit meningkat 10.000 - 12.000 /ui dan 13.000/ui bila
sudah terjadi perforasi
9. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak
sakit, menghindarkan pergerakan.
10. Bising usus yang bisa hilang akibat ileus paralitik jika berlanjut ke peritonitis.
muntah-muntah
dan
anak
menjadi
lemah.
Karena
Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda
kunci diagnosis.
Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah,
hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus
psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila
panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan
luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks
terletak pada daerah hipogastrium (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat
peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu
dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis
maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur
(Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah
UGM, 2010).
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor
Alvarado, yaitu:
Tabel Skor Alvarado Skor
Migrasi nyeri dari abdomen sentral
1
1
2
1
1
2
109/L
Neutrofilia dari 75%
Total
1
10
10
infeksi
dalam
tubuh,
kenaikan
jumlah
leukosit
(10.000
18.000/mm3dan LED.
Appendicogram
Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium usus buntu
yang dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran
(skibala) di dalam lumen usus buntu (Sanyoto, 2007).
Teknik Pemeriksaan :
Indikasi dilakukannya pemeriksaan appendicogram adalah apendisitis
kronis
atau
akut.
Sedangkan
kontraindikasi
dilakukan
pemeriksaan
Persiapan Pasien:
Prosedur:
3 hari berturut-turut.
USG (Ultrasonografi)
11
lebih.
Ditemukannya
appendicolith
akan
mendukung
diagnosis.
Penatalaksanaan Apendisitis
Menurut Mansjoer (2000), penatalaksanaan appendisitis terdiri dari:
a. Sebelum Operasi
1) Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2) Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin
3) Rehidrasi
4) Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara
intravena.Antibiotic pada apendisitis digunakan sebagai:
12
i.
ii.
c. Pasca Operasi
1) Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya pendarahan
didalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan
2) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi
cairan lambung dapat dicegah
3) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
4) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,
selama pasien dipuasakan
5) Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforate, puasa
dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal
6) Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi
30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari
berikutnya makanan lunak
7) Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di
tempat tidur selama 2 x 30 menit
8) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar
9) Hari ke 7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
13
disekitar
luka
mengalami
perubahan
fenotif.
Regresi
lama
pada
proses
luka. Pada fase ini terjadi juga remodeling kolagen. Kolagen tipe III
digantikan kolagen tipe I yang dimediasi matriks Metaloproteinase yang
disekresi makrofag, fibroblast dan sel endotel. Pada masa 3 minggu
penyembuhan luka telah mendapatkan kembali 20% kekuatan jaringan
normal.
2.11 Komplikasi Apendisitis
Komplikasi
terjadi
akibat
keterlambatan
penangan
apendisitis.
Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahn
diagnosa,menunda diagnosa, keterlambatan merujuk ke rumah sakit, dan
terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi apendisitis 10-32%,paling
sering pada anak kecil dan orang tua.Adapun jenis komplikasi diantaranya;
a. abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba masa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Masa ini berupa flegnom
dan berkemabng menjadi rongga yang mengandung pus. Hhal ini terjadi bila
apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak sakit, tetapi meingkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui
praoperatif kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak
sakit, panas lebih dari 38 derajat selsius, tampak oksik, nyeri tekan seluruh
perut, dan leukositosis berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan peritonitis.
15
B. PERITONITIS
2.12 Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis/ kumpulan
nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda
umum inflamasi.
Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membrane serosa
yang melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah.
Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnyah
melalui perforasi usus seperti rupture appendiks atau divertikulum karena
awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat
diakibatkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung dari perforasi
ulkus atau empedu dari perforasi kantung empeduatau laserasi hepar.
Padawanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari
infeksi tuba falopi atau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak
tertangani dapat berakibat fatal. (Ambarwati, 2013)
2.13 Klasifikasi Peritonitis
Bila ditinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi menjadi :
a. Penyebab primer (peritonitis spontan)
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus. Peritonitis primer biasanya disebabkan oleh penyakit hati.
Cairan menumpuk di perut, menciptakan lingkungan yang utama untuk
pertumbuhan bakteri.
Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko
tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
b. Penyebab sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi.Peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi,
disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ
dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius
tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder
lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna
bagian atas.
c. Penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang
adekuat).
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan
berasal dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul
abses atau flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih
sering ada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien
yang imunokompromais.
d. Bentuk lain dari peritonitis :
a.
b.
c.
d.
Aseptik/steril peritonitis
Granulomatous peritonitis
Hiperlipidemik peritonitis
Talkum peritonitis
17
Etiologi
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa
inflamasi dan penyulit lainnya misalnya perforasi apendisitis,perforasi tukak
lambung, perforasi tifus abdominalis. Berikut adalah etiologi peritonitis :
a. Infeksi Bakteri
Kuman yang sering menginfeksi ialah bakteri E.coli, streptococcus alpha
dan beta hemolitik, staphylococcus aureus, enterokokusdan yang paling
berbahaya adalah clostridium tetani. Infeksi bakteri dapat terjadi karena
perforasi dari organ yang terinfeksi di abdomen.
b. Secara langsung dari luar
- Operasi yang tidak steril
- Terkontaminasi bahan kimia. Jika terjadi kontaminasi bahan kimia maka
peritonitis akan disertai dengan pembentukan jaringan granulomatosa
sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis
granulomatosa dan merupakan peritonitis local.
- Trauma pada kecelakaan seperti rupture hati dan limpa.
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit seperti infeksi
saluran napas dan infeksi saluran kemih
Faktor Resiko
a. Peritonitis bacterial primer
Faktor risiko yang berperan pada peritonitis ini adalah malnutrisi,
keganasan intraabdomen, splenektomi dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan imunosupresi. Biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat
penyakit hati kronis. Akibat asites akan terajdi kontaminasi hingga ke rongga
peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau
pembuluh limfe mesentrium.
b. Peritonitis bacterial akut sekunder
Faktor resiko pada peritonitis ini adanlah adanya infeksi pada daerah
abdominal,seperti :
- Apendisitis
- Ulkus gaster
- Pancreatitis
- Colitis ulseratif
- Dialysis peritoneum
- Trauma abdomen
c. Peritonitis tertier
Pada peritonitis jenis ini biasanya terjadi karena pasien tidak responsive
terhadap terapi medis (surgical) dan antibiotic sehingga menyebabkan infeksi
sebelumnya recuren.
18
kejadian
penyakit
peritonitisdi
Amerika
pada
tahun
2011
diperkirakan 750ribu pertahun dan akan meningkat bila pasien jatuh dalam syok.
Hasil survey dari Depkes RI (2008), angka kejadian peritonitis di sebgian besar
wilayah Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien yang
menderita penyakit peritonitis berjumlah sebesar 7% dari jumlah penduduk
Indonesia atau sekitar 178.000 orang.
Hasil survey di Jawa Tengah (2009), jumlah kasus peritonitis dilaporkan
sebanyak 5.980 dan 177 diantaranya menyebabkan kematian. Jumlah penderita
peritonitis tertinggi ada di kota Semarang, yakni 970 orang (Dinkes JaTeng,
2009)
2.16 Patofisiologi Peritonitis
(Terlampir)
2.17 Manifestasi Klinis Peritonitis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tanda tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan
nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas
di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan
sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita
akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan
syok.3Rangsangan
ini
menimbulkan
nyeri
pada
setiap
gerakan
yang
20
pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan
tekanan (Reksoprodjo, 1995).
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk
melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan
setempat.
Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya
udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui
pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis,
pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena
adanya udara bebas tadi (Reksoprodjo, 1995).
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik.Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal
mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil
tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan
dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan
usus
besar
berdilatasi.Udara
bebas
dapat
terlihat
pada
kasus-kasus
21
Penatalaksanaan lain :
Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi
bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus,
sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci.
Antibiotik
berperan
penting
dalam
terpai
peritonitis,
pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau
anaerob yang menginfeksi peritoneum. (Schwartz,2006)
22
: 11 15 gr/dl
: 11 13 gr/dl
: 14 18 gr/dl
: 12 16 gr/dl
: 12,4 14,9 gr/dl
: 11,7 13,8 gr/dl
: 11 gr/dl
dilepaskan
oleh
makrofag
VEGF
(Vascular
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Apendisitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada apendiks, dapat
menyerang anakhingga dewasa. Insidensi di dunia semakin berkembang dan
meningkat sehingga dikatakan sebagai salah satu kegawatdaruratan abdomentiga
terbesar di dunia. Beberapa etiologi dengan proses penyakit ini diantaranya
obstruksi lumen apendik, adanya fekalit, bakteri dan diet rendah serat dikaitkan
dengan mekanisme terjadinya peradangan local di apendiks.
Tanda dan gejala yang khas muncul pada penderita adalah nyeri di abdomen
kanan bawah atau sekitar umbilicus akibat rangsangan saraf nyeri di sekitar
apendik, namun nyeri ini bervariasi ditemukan tergantung letak apendiks. Selain itu
gejalan lainnya adalah mual, muntah hingga anoreksia.
Pemeriksaan yang dapat menunjang untuk penegakan diagnosis dinataranya
USG, foto abdomen polos, barium enema, dan pemeriksaan darah ditandai dengan
leukositosis. Penanganan yang segera perlu dilakukan untuk mencegah komplikasi
salah satunya dengan apendiktomi.
Peritonitis merupakan salah satu komplikasi akibat apendisitis. Apendisitis dan
Peritonitis mempunyai banyak hal yang hampir sama salah satunya adalah
etiologinya. Apendisitis yang perforatif dapat menyebabkan peritonitis.
3.2 Saran
Mengingat belum sempurnya laporan ini, diharapkan adanya masukan untuk
perbaikan sehingga dapat menciptakan laporan yang bermutu.
DAFTAR PUSTAKA
25
Ambarwati. 2013. Apendiktomi dan Laparotomi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan St.
Elisabet, Semarang.
Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S. Bedah digestif. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi 3, Jilid: 2. Jakrta: Media Aesculapius FKUI; 2000.h 302-21.
Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. AppeltonCentury
Corp, Hal 784-795
Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment
12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc
Guyton, Arthur C. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta:EGC
Jaffe BM, Berger DH. 2005. The Appendix. In: Schwartzs Principles of Surgery Volume
2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter
JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc.
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardani, W.I., Setiowulan, W. 2005. Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima.Jakarta:
Media Aesculapius
Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ. 2004. Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Philadelphia: Elsevier Saunders.
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke-6.
Jakarta: EGC.
Prinz RA, Madura JA. 2001. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of
Surgery Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott
Williams & Wilkins.
Prosedur Tetap dan Standar Operasional Prosedur RSUD Dr. Pirngadi Medan. 2011
Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen akut. Dalam: Radiologi Diagnostik.
Jakarta: Gaya Baru; 1999.h.256-7.
Schwartz, S.I et al, Principal of Surgery, 9th edition, 2006, USA : McGraw Hill Company;
Hal1459-1467
Schwartz, et al, 2000, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi Keenam, EGC Jakarta
26
Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D. 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan Anorektum,
dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2001. Buku Saku Keperawatan Medika l Bedah : Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC.
Syamsuri, Istamar. 2004. Biologi Jilid 2A Untuk SMA Kelas XI. Jakarta:Erlangga.
Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. Gawat abdomen. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997.h.221-39.
27