Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

DEMAM TYPHOID

Oleh :
Nurdiyana Salim, S.Ked
K1A1 15 099

Pembimbing
dr. Yeni Haryani, M.Kes. Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Nudiyana Salim, S.Ked
Stambuk : K1A1 15 099
Judul Kasus : Demam Typhoid
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan
klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu
Oleo.

Kendari, Desember 2019


Mengetahui
Pembimbing,

dr. Yeni Haryani M.Kes, Sp.A

2
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : An. D
Umur : 3 tahun 3 bulan
Alamat : Kel. Anggilowu Kec. Mandonga
Agama : Islam
Suku : Muna
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
No RM : 19 19 76
Tanggal Masuk RS : 11 November 2019 (11.00 WITA)
B. Anamnesis (Alloanamnesis)
1. Keluhan Utama
Demam sejak 1 minggu SMRS
2. Anamnesis terpimpin
Pasien masuk IGD RSUD Abunawas dengan keluhan demam yang
dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Demam bersifat naik turun, naik
terutama saat malam hari dan membaik pada siang hari. Keluhan lain
seperti demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (+), batuk (-).
BAB cair sejak 5 hari yang lalu dengan frekuensi 1kali sehari. BAB
terakhir frekuansi 2 kali SMRS, ampas (-). BAK dalam batas normal.
Anak tampak lemas dan tidak mau makan sejak demam.
Riwayat penyakit sebelumnya dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat kontak dengan pasien demam (-) riwayat pengobatan (+)
sanmol. Riwayat kelahiran pasien dilahirkan dari ibu G2P2A0 secara
normal di RS ditolong oleh dokter dan merupakan kehamilan cukup
bulan. Lahir dengan BBL 4100 gram dan PBL 48 cm. Tidak ada
kelainan kongenital, langsung menangis saat dilahirkan. Pada 3 bulan
pertama kahamilan ibu mengaku sering sakit dan tidak bisa beraktivitas,

3
riwayat konsumsi obat selama kehamilan disangkal. Riwayat tumbuh
kembang baik dan riwayat imunisasi tidak lengkap.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status generalis
a) Keadaan umum : sakit sedang
b) Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
c) Tanda Vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 110x/ menit
Suhu : 38,5oC
Pernapasan : 30 x/menit
d) Pucat : (-)
e) Ikterus : (-)
f) Sianosis : (-)
g) Turgor : kesan normal
h) Tonus : Kesan normal
i) Edema : (-)
2. Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephal
Muka : simetris kiri dan kanan
Rambut : hitam, lurus dan tidak mudah tercabut
Ubun-ubun besar : sudah tertutup
Telinga : otitis (-/-), serumen (-/-), otorhea (-/-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-)
Hidung : epiktasis (-/-), rinore (-/-)
Bibir : pucat (-), kering (+) sianosis (-)
Lidah : tifoid tongue (+)
Sel mulut : stomatitis (-)
Tenggorok : hiperemis (-)
Tonsil : T1T1
Bentuk dada : normochest

4
Jantung
Ictus cordis : tidak teraba
Batas kiri : ICS 5 linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS 4 linea parasternalis sinistra
Irama : BI/BII murni reguler
Paru
Inspeksi : simetris kiri kanan, retraksi (-)
Palpasi : krepitasi (-), nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : sonor kiri dan kanan
Auskultasi : bunyi napas bronkovesikuler, bunyi napas
tambahan rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Datar ikut gerakan napas
Auskultasi : peristaltik kesan normal
Perkusi : bunyi timpani
Palpasi :, nyeri tekan (-)
Limfa : tidak teraba
Hepar : tidak teraba
Alat kelamin : edema (-)
Kelenjar limfe : tidak teraba pembesaran
Kulit : tidak terdapat kelainan
Anggota gerak : akral hangat,
KPR : Kesan normal
APR : kesan normla
Refleks Patologis :-
Columna vertebralis : Dalam batas normal
LILA : 13 cm
Lingkar Kepala : 41 cm
Lingkar dada : 48 cm
Lingkar perut : 43 cm
Berat Badan : 10 Kg

5
Panjang Badan : 90 cm
D. Ringkasan Riwayat Penyakit
An. D jenis kelamin laki-laki usia 3 tahun 3 bulan masuk rumah sakit
dengan keluhan demam yang dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Demam
bersifat naik turun yang terutama pada malam hari dan membaik pada
siang hari. Demam disertai sakit kepala dan sakit perut. BAB cair sejak 5
hari yang lalu berupa air tanpa ampas, frekuensi 1-2 kali sehari. BAK
dalam bats normal. Anak tampak lemas dan tidak mau makan. Riwayat
sakit dengan keluhan yang sama sebelumnya (-), riwayat kontak dengan
pasien lain (-), riwayat pengobatan (+)
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Tes widal (11-11-19)
S. Thypi O : pos 1/320
S. Thypi H : pos 1/320
F. Diagnosis kerja
Demam thypoid

G. Anjuran pemeriksaan
 Tes tubex
 Kultur darah
 Apusan darah tepi

H. Penatalaksanaan
IVFD asering 12 tpm
Inj. Paracetamol 100 mg/kgBB/IV
Inj. Cefotaxim 100 mg/kgBB/IV
Apyalis 1 dd 1 cth

6
I. Follow Up
Tanggal Keluhan Instruksi Dokter
11 November 2019 S : Demam IVFD Asering 12 TPM
O : KU = sakit Sedang/gizi
Inj. Paracetamol 100 mg/kg/iv
baik/compos mentis
N : 110x/menit Apyalis 1 dd 1 cth
P : 30x/menit
Inj. Cefotaxim 100 mg/kg/iv
S :38,5ºC
BB : 10 Kg Widal test
Kepala: Normocephal,
rambut hitam tidak mudah
tercabut, wajah simetris,
mata isokor, napas cuping
hidung (-), rhinore (-),
telinga Othore(-), tifoid
tongue (+) bibir kering (+)
Thorax : normochest,
pengembangan dada
simetris, retraksi (-),
vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : datar ikut
gerakan nafas, peristaltik
usus dalam batas normal,
nyeri tekan (-)
Ektermitas : akral hangat
A : Susp. Thypoid

12 November 2019 O : KU = sakit Sedang/gizi IVFD Asering 12 TPM


baik/compos mentis
Inj. Paracetamol 100 mg/kg/iv
N : 115x/menit
P : 35x/menit Apyalis 1 dd 1 cth
S :38,1ºC
Inj. Cefotaxim 100 mg/kg/iv
BB : 10 Kg
Kepala: Normocephal,
rambut hitam tidak mudah
tercabut, wajah simetris,
mata isokor, napas cuping
hidung (-), rhinore (-),
telinga Othore(-), tifoid
tongue (+) bibir kering (+)
Thorax : normochest,
pengembangan dada
simetris, retraksi (-),
vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)

7
Abdomen : datar ikut
gerakan nafas, peristaltik
usus dalam batas normal,
nyeri tekan (-) BAB encer
frekuensi 2 kali sehari
Ektermitas : akral hangat
A : DemamThypoid

13 November 2019 O : KU = sakit Sedang/gizi IVFD Asering 12 TPM


baik/compos mentis
Inj. Paracetamol 100 mg/kg/iv
N : 109x/menit
P : 33x/menit Apyalis 1 dd 1 cth
S :37,1ºC
Inj. Cefotaxim 100 mg/kg/iv
BB : 10 Kg
Kepala: Normocephal,
rambut hitam tidak mudah
tercabut, wajah simetris,
mata isokor, napas cuping
hidung (-), rhinore (-),
telinga Othore(-), tifoid
tongue (+) bibir kering (+)
Thorax : normochest,
pengembangan dada
simetris, retraksi (-),
vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : datar ikut
gerakan nafas, peristaltik
usus dalam batas normal,
nyeri tekan (-) BAB encer
frekuensi 1 kali
Ektermitas : akral hangat
A : DemamThypoid

8
BAB 3

ANALISIS KASUS

A. DEFINISI

Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan


oleh infeksi sistemik salmonella typhi.Prevalensi 91% kasus demam tifoid
terjadi pada umur 3-19 tahun. Kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada
minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit
demam lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan
biakan kuman untuk konfirmasi.1
Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan oleh
S.typhi, sisanya oleh S. paratyphi. Kuman masuk melalui makanan/minuman,
setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus/ileum dan setelah
menenbus dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque
peyeri). Kuman ikut aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi darah
(bacteremia primer) mencapai jaringan RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk
bermultiplikasi). Setelah mengalami bacteremia sekunder, kuman mencapai
sirkulasi darah untuk mencapai organ lain (intra dan ekstra intestinal), masa
inkubasi 10-14 hari.1

B. EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia, demam tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat


endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada perbedaan yang
nyata insidens demam tifoid pada pria denga wanita. Insiden tertinggi
didapatkan pada remaja dan dewasa muda. Simanjuntak mengemukakan bahwa
insiden tifoid di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810 per 100.000
penduduk. Demikian juga dari telaah kasu demam tifoid di Rumah sakit besar
di Indonesia, menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun
dengan rata-rata 500 per 100.000 penduduk itu. Angka kematian diperkirakan
sekitar 0,6 – 5 5 sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta
tingginya biaya pengobatan.2

9
C. PATOFISIOLOGI

Masuknya kuman salmonella typhi (S. typhi) dan salmonella paratyphi


(S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung,
sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia.
Di lamina propia kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam
makrofag dan selanjutnya di bawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar
keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-
organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik4.
Di dalam hati kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak dan bersama cairan empedu di ekskresikan secara intermiten kedalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk
lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat
fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular,
gangguan mental dan koagulasi4.
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi

hipersensivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).

10
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar

plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat

akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan

limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat

mengakibatkan perforasi4.

D. GEJALA KLINIS

1. Demam

Demam atau panas adalag gejala utama tifoid. Pada wal sakit, demam

kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering naik turun.

Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam

intermiten). Dari hari-ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai

banyak gejala lain seperti sakit kepala yang sering dirasakan di daerah

frontal, nyeri otot, pegal.pegal, insomnia, anorexia, mual dan muntah. Pada

minggu ke 2 intensitas demam semakin tinggi, kadang-kadang terus

menerus (kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke 3 suhu

badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3.2

2. Gangguan Saluran Pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.

Bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kotor dan ditutupi

selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue

atau selaput putih). Pada umumnya penderitas sering mengeluh nyeri perut,

terutama regio epigastrium (nyeri ulu hati), disertai nusea, mual dan

11
muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu

selanjutnya kadang-kadang timbul diare.2

3. Gangguan kesadaran

Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan merupakan

penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan

kesadaran sepert berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita

sampai somnolen atau koma atau dengan gejala-gejala psychosis.2

4. Hepatomegali

Hati dan limpa ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri

tekan. 2

5. Bradikardi relatif dan gejala lain

Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh

peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah setiap

peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut

dalam 1 menit. Gejala lain yang dapat timbul adalah rose spot yang

biasanya ditemukan diregio abdomen atas serta epistaksis yang sering

ditemukan pada anak.2

E. TATALAKSANA

1. Tatalaksana umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam
menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian
antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan
antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada
indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup

12
seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih
ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak
tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan
pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk
mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut. 5
2. Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada
anak di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan
dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih
menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak,
terutama di negara berkembang. Persoalan pengobatan demam tifoid saat
ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang
sering digunakan dalam pengobatan demam tifoid atau yang disebut
dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol , kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin,
amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap
fluorokuinolon. 5
Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan
pertama kasus demam tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini
dimasukkan sebagai obat alternatif atau obat pilihan atau lini kedua karena
obat lini pertamanya adalah fluorokuinolon, khususnya untuk pengobatan
demam tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa
kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam
turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan
harganya yang murah. Dibandingkan dengan antibiotik yang lain,
kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih cepat bila digunakan untuk
pengobatan demam tifoid. Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan,
yaitu menyebabkan efek samping berupa anemia aplastik akibat supresi
sumsum tulang, menyebabkan agranulositosis, menginduksi terjadinya
leukemia dan menyebabkan Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat

13
ini adalah tingginya angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam
tifoid dan tidak bisa digunakan untuk mengobati karier S. Typhi.5
Amoksisilin dan ampisilin mempunyai kemampuan sebagai obat
demam tifoid, walaupun menurut literatur, kemampuannya masih dibawah
kloramfenikol. Umumnya digunakan pada penderita demam tifoid dengan
lekopenia yang tidak mungkin diberikan kloramfenikol, atau yang resisten
terhadap kloramfenikol. Pemberian amoksisilin oral selama 14 hari sama
efektifnya dengan pemberian ampisilin IV untuk mengobati demam tifoid
yang resisten terhadap kloramfenikol. Bebas demam akan tercapai setelah
5 hari pengobatan. 5
Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya
dengan kloramfenikol dalam mengobati demam tifoid. Bersama-sama
dengan amoksisilin, TMP-SMX digunakan pada kasus-kasus demam tifoid
yang resisten terhadap kloramfenikol. Sefiksim tidak digunakan sebagai
obat lini pertama pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi. Obat
ini hanya digunakan pada kasus demam tifoid dengan kemungkinan
resistensi terhadap obat antibiotik (MDR), dan sebagai terapi lini kedua
atau alternatif terhadap sefalosporin generasi ke tiga lainnya, yaitu
seftriakson. Kelebihan obat ini selain sebagai terapi alternatif untuk kasus
demam tifoid yang MDR juga angka kekambuhan demam tifoidnya yang
rendah. Obat ini bekerja dengan menginhibisi pertumbuhan Salmonella
serovar typhimurium dan typhi yang menghuni sel-sel monosit yang
berasal dari sel THP-1. 5
Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari
selama 7 hari terbukti efektif mengobati demam tifoid baik pada orang
dewasa maupun pada anak dengan waktu penurunan demam yang hampir
mirip dengan bila digunakan kloramfenikol. Obat ini menjadi pilihan
pertama bila kasus demam tifoidnya dicurigai resisten terhadap kuinolon.
Dengan pemberian singkat selama 7 hari, obat ini dinilai cukup efektif
mengobati demam tifoid yang tidak komplikasi. 5

14
Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau
sefotaksim diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat
kloramfenikol dan obat antibiotik untuk demam tifoid lainnya. Strain yang
resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin generasi ini. Bahkan
untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluorokuinolon, obat
seftriakson dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila
digunakan sebagai terapi alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan
sefiksim. Pemberian seftriakson sebaiknya diberikan selama 14 hari,
karena bila diberikan selama 7 hari, kemungkinan relapsnya bertambah
dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson dihentikan. 5
Penggunaannya pada anak masih kontroversial, mengingat efek obat
ini yang dapat merusak pertumbuhan tulang rawan pada anak, sehingga
disebagian besar negara di dunia, obat ini tidak digunakan sebagai obat
demam tifoid. Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin
atau amoksisilin dengan dosis 40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral
dikombinasi probenesid 30 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral atau
trimetropim sulfametoksazol selama 4-6 minggu memberikan angka
kesembuhan 80%. Kloramfenikol tidak efektif digunakan sebagai terapi
karier demam tifoid. Selain amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier
demam tifoid, beberapa obat dapat dipergunakan, seperti kotrimoksazol,
siprofloksasin dan norfloksasin, walaupun dua obat terakhir tidak
sebaiknya digunakan pada penderita demam tifoid anak.5

15
16
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hematologi

Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung


leukosit yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas
penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih
muda leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia
dapat merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi
intravaskular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun
gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan.5
2. Uji Widal

Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen


Salmonella typhi) masih kontroversial. Biasanya antibodi antigen O
dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap antigen H dijumpai pada hari
10-12 setelah sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih tetap
dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan.
Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan Kesembuhan
penyakit. Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada
dua pengambilan berselang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil
pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer Orang sehat setempat.3
Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati
karena beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium
penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas penyakit
tifoid, gambaran imunologi masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi
demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas
antigen yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada
30% sampel biakan positif demam tifoid.5
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan
nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat
terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,
enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi

17
dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen
komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik.
Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga
kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang
penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda
dari >1/80 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas
demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak
mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.5
3. Uji Tubex
Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil
pemeriksaan yang positif menunjukkan Adanya infeksi terhadap
Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan
hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D. 3
4. Uji Typhidot
Pemeriksaan Typhidot dapat mendeteksi IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM
menunjukkan fase akut demam tifoid, Sedangkan terdeteksinya IgG dan
IgM menunjukkan demam tifoid Akut pada fase pertengahan. Antibodi
IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak
dapat untuk membedakan antara kasus akut dan kasus dalam masa
penyembuhan. Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya
digunakan untuk mendeteksi IgM saja. 3
5. Kultur
Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya
positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah
yang diperlukan 15 mL untuk pasien dewasa). Untuk daerah endemik
dimana sering terjadi penggunaan antibiotik Yang tinggi, sensitivitas
kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi). 3
6. Pemeriksaan CPR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang
tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa

18
yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap S. Typhi
memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nested
polymerase chain reaction(PCR) menggunakan primer H1-d dapat
digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien
dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat Pemeriksaan nested PCR
terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin
21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22
(68.1%).5
7. Pemeriksaan Serologi dari Spesimen Urin
Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9
grup D Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki
sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan
sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA menggunakan antibodi monoklonal
terhadap antigen 9 somatik (O9),antigen d flagella (d-H), dan antigen
virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi
pada akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi
pada 9 kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%).
Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin
menjanjkan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam
minggu pertama sejak timbulnya demam.5
8. Pemeriksaan Antibodi IgA dari Spesimen Saliva
Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari
lipopolisakarida S.typhi dari spesimen saliva memberikan hasil positif
pada 33/37 (89,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini
menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0% pada
minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan penyakit
demam tifoid.5

3. PROGNOSIS

19
Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan

kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Dinegara maju dengan

terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,

angka mortalitas >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perwatan

dan pengobatan. Munculnya komplikais seperti perforasi gastrointestinal atau

perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan pneumonia mengakibatkan

morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali.

Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi > 3 bulan setelah infeiksi umumnya

menjadi karier kronis, resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan

meningkat sesuai usis. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien

demam tifoid

4. PENCEGAHAN

Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan


makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higienitas dari setiap orang
terutama yang menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang
baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi
penting seiring dengan munculnya kasus resistensi. Selain strategi di atas
seiring perkembangan jaman, di buat vaksinasi untuk mencegah penyakit
ini.Vaksin ini di peruntukkan bagi para pendatang dari negara maju ke negara
endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada di antaranya.3

1. Vaksin Vi Polysaccharide

Vaksin yang berisi komponen Vi dari salmonella typhi ini diberikan


pada anak dengan usia 2 tahun dengan diinjeksikan secara subkutan atau
intra muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan
untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efikasi
perlindungan sebesar 70-80%3.

20
2. Vaksin Ty21a

Vaksin yang berisi kuman salmonella typhi hidup yang dilemahkan


(Ty21a) diberikan peroral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair
yang diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan dalam 3
dosis dan masing-masing diberi jeda 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari
sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
memberi efikasi perlindungan 67-82%3.

3. Vaksin Vi-conjugate

Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan
memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi.
Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan
sebesar 89%6. Kontraindikasi pemberian vaksin yaitu pada keadaan
hipersensitif terhadap vaksin, ibu hamil dan anak <2 tahun. Bila anak
sedang demam pemberian vaksin sebaiknya ditunda3.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI. 2016. Rekomandasi IDAI Mengenai Pemeriksaan Penunjang

Diagnostik Demam Tifoid

2. KepMenKes. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Menteri

Kesehatan republik Indonesia.

3. Nelwan RHH. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192. 2012.


Vol.39 No.4, hal:247-250
4. Widodo Djoko. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing, 2009. Hal: 2797-2806.
5. Karyanti Mulya Rahma. Pemeriksaan Diagnostik Terkini untuk Demam
Tifoid. Update Management of Infectious Disease and Gastrointestinal
Disorder. Edisi ke-1. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM. 2012. p.1-7

22

Anda mungkin juga menyukai