DEMAM TYPHOID
Oleh :
Nurdiyana Salim, S.Ked
K1A1 15 099
Pembimbing
dr. Yeni Haryani, M.Kes. Sp.A
KENDARI
2019
1
HALAMAN PENGESAHAN
2
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : An. D
Umur : 3 tahun 3 bulan
Alamat : Kel. Anggilowu Kec. Mandonga
Agama : Islam
Suku : Muna
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
No RM : 19 19 76
Tanggal Masuk RS : 11 November 2019 (11.00 WITA)
B. Anamnesis (Alloanamnesis)
1. Keluhan Utama
Demam sejak 1 minggu SMRS
2. Anamnesis terpimpin
Pasien masuk IGD RSUD Abunawas dengan keluhan demam yang
dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Demam bersifat naik turun, naik
terutama saat malam hari dan membaik pada siang hari. Keluhan lain
seperti demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (+), batuk (-).
BAB cair sejak 5 hari yang lalu dengan frekuensi 1kali sehari. BAB
terakhir frekuansi 2 kali SMRS, ampas (-). BAK dalam batas normal.
Anak tampak lemas dan tidak mau makan sejak demam.
Riwayat penyakit sebelumnya dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat kontak dengan pasien demam (-) riwayat pengobatan (+)
sanmol. Riwayat kelahiran pasien dilahirkan dari ibu G2P2A0 secara
normal di RS ditolong oleh dokter dan merupakan kehamilan cukup
bulan. Lahir dengan BBL 4100 gram dan PBL 48 cm. Tidak ada
kelainan kongenital, langsung menangis saat dilahirkan. Pada 3 bulan
pertama kahamilan ibu mengaku sering sakit dan tidak bisa beraktivitas,
3
riwayat konsumsi obat selama kehamilan disangkal. Riwayat tumbuh
kembang baik dan riwayat imunisasi tidak lengkap.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status generalis
a) Keadaan umum : sakit sedang
b) Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
c) Tanda Vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 110x/ menit
Suhu : 38,5oC
Pernapasan : 30 x/menit
d) Pucat : (-)
e) Ikterus : (-)
f) Sianosis : (-)
g) Turgor : kesan normal
h) Tonus : Kesan normal
i) Edema : (-)
2. Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephal
Muka : simetris kiri dan kanan
Rambut : hitam, lurus dan tidak mudah tercabut
Ubun-ubun besar : sudah tertutup
Telinga : otitis (-/-), serumen (-/-), otorhea (-/-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-)
Hidung : epiktasis (-/-), rinore (-/-)
Bibir : pucat (-), kering (+) sianosis (-)
Lidah : tifoid tongue (+)
Sel mulut : stomatitis (-)
Tenggorok : hiperemis (-)
Tonsil : T1T1
Bentuk dada : normochest
4
Jantung
Ictus cordis : tidak teraba
Batas kiri : ICS 5 linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS 4 linea parasternalis sinistra
Irama : BI/BII murni reguler
Paru
Inspeksi : simetris kiri kanan, retraksi (-)
Palpasi : krepitasi (-), nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : sonor kiri dan kanan
Auskultasi : bunyi napas bronkovesikuler, bunyi napas
tambahan rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Datar ikut gerakan napas
Auskultasi : peristaltik kesan normal
Perkusi : bunyi timpani
Palpasi :, nyeri tekan (-)
Limfa : tidak teraba
Hepar : tidak teraba
Alat kelamin : edema (-)
Kelenjar limfe : tidak teraba pembesaran
Kulit : tidak terdapat kelainan
Anggota gerak : akral hangat,
KPR : Kesan normal
APR : kesan normla
Refleks Patologis :-
Columna vertebralis : Dalam batas normal
LILA : 13 cm
Lingkar Kepala : 41 cm
Lingkar dada : 48 cm
Lingkar perut : 43 cm
Berat Badan : 10 Kg
5
Panjang Badan : 90 cm
D. Ringkasan Riwayat Penyakit
An. D jenis kelamin laki-laki usia 3 tahun 3 bulan masuk rumah sakit
dengan keluhan demam yang dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Demam
bersifat naik turun yang terutama pada malam hari dan membaik pada
siang hari. Demam disertai sakit kepala dan sakit perut. BAB cair sejak 5
hari yang lalu berupa air tanpa ampas, frekuensi 1-2 kali sehari. BAK
dalam bats normal. Anak tampak lemas dan tidak mau makan. Riwayat
sakit dengan keluhan yang sama sebelumnya (-), riwayat kontak dengan
pasien lain (-), riwayat pengobatan (+)
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Tes widal (11-11-19)
S. Thypi O : pos 1/320
S. Thypi H : pos 1/320
F. Diagnosis kerja
Demam thypoid
G. Anjuran pemeriksaan
Tes tubex
Kultur darah
Apusan darah tepi
H. Penatalaksanaan
IVFD asering 12 tpm
Inj. Paracetamol 100 mg/kgBB/IV
Inj. Cefotaxim 100 mg/kgBB/IV
Apyalis 1 dd 1 cth
6
I. Follow Up
Tanggal Keluhan Instruksi Dokter
11 November 2019 S : Demam IVFD Asering 12 TPM
O : KU = sakit Sedang/gizi
Inj. Paracetamol 100 mg/kg/iv
baik/compos mentis
N : 110x/menit Apyalis 1 dd 1 cth
P : 30x/menit
Inj. Cefotaxim 100 mg/kg/iv
S :38,5ºC
BB : 10 Kg Widal test
Kepala: Normocephal,
rambut hitam tidak mudah
tercabut, wajah simetris,
mata isokor, napas cuping
hidung (-), rhinore (-),
telinga Othore(-), tifoid
tongue (+) bibir kering (+)
Thorax : normochest,
pengembangan dada
simetris, retraksi (-),
vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : datar ikut
gerakan nafas, peristaltik
usus dalam batas normal,
nyeri tekan (-)
Ektermitas : akral hangat
A : Susp. Thypoid
7
Abdomen : datar ikut
gerakan nafas, peristaltik
usus dalam batas normal,
nyeri tekan (-) BAB encer
frekuensi 2 kali sehari
Ektermitas : akral hangat
A : DemamThypoid
8
BAB 3
ANALISIS KASUS
A. DEFINISI
B. EPIDEMIOLOGI
9
C. PATOFISIOLOGI
10
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi4.
D. GEJALA KLINIS
1. Demam
Demam atau panas adalag gejala utama tifoid. Pada wal sakit, demam
Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam
intermiten). Dari hari-ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai
banyak gejala lain seperti sakit kepala yang sering dirasakan di daerah
frontal, nyeri otot, pegal.pegal, insomnia, anorexia, mual dan muntah. Pada
badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3.2
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue
atau selaput putih). Pada umumnya penderitas sering mengeluh nyeri perut,
terutama regio epigastrium (nyeri ulu hati), disertai nusea, mual dan
11
muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu
3. Gangguan kesadaran
kesadaran sepert berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita
4. Hepatomegali
Hati dan limpa ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri
tekan. 2
Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
dalam 1 menit. Gejala lain yang dapat timbul adalah rose spot yang
E. TATALAKSANA
1. Tatalaksana umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam
menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian
antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan
antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada
indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup
12
seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih
ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak
tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan
pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk
mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut. 5
2. Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada
anak di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan
dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih
menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak,
terutama di negara berkembang. Persoalan pengobatan demam tifoid saat
ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang
sering digunakan dalam pengobatan demam tifoid atau yang disebut
dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol , kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin,
amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap
fluorokuinolon. 5
Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan
pertama kasus demam tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini
dimasukkan sebagai obat alternatif atau obat pilihan atau lini kedua karena
obat lini pertamanya adalah fluorokuinolon, khususnya untuk pengobatan
demam tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa
kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam
turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan
harganya yang murah. Dibandingkan dengan antibiotik yang lain,
kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih cepat bila digunakan untuk
pengobatan demam tifoid. Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan,
yaitu menyebabkan efek samping berupa anemia aplastik akibat supresi
sumsum tulang, menyebabkan agranulositosis, menginduksi terjadinya
leukemia dan menyebabkan Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat
13
ini adalah tingginya angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam
tifoid dan tidak bisa digunakan untuk mengobati karier S. Typhi.5
Amoksisilin dan ampisilin mempunyai kemampuan sebagai obat
demam tifoid, walaupun menurut literatur, kemampuannya masih dibawah
kloramfenikol. Umumnya digunakan pada penderita demam tifoid dengan
lekopenia yang tidak mungkin diberikan kloramfenikol, atau yang resisten
terhadap kloramfenikol. Pemberian amoksisilin oral selama 14 hari sama
efektifnya dengan pemberian ampisilin IV untuk mengobati demam tifoid
yang resisten terhadap kloramfenikol. Bebas demam akan tercapai setelah
5 hari pengobatan. 5
Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya
dengan kloramfenikol dalam mengobati demam tifoid. Bersama-sama
dengan amoksisilin, TMP-SMX digunakan pada kasus-kasus demam tifoid
yang resisten terhadap kloramfenikol. Sefiksim tidak digunakan sebagai
obat lini pertama pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi. Obat
ini hanya digunakan pada kasus demam tifoid dengan kemungkinan
resistensi terhadap obat antibiotik (MDR), dan sebagai terapi lini kedua
atau alternatif terhadap sefalosporin generasi ke tiga lainnya, yaitu
seftriakson. Kelebihan obat ini selain sebagai terapi alternatif untuk kasus
demam tifoid yang MDR juga angka kekambuhan demam tifoidnya yang
rendah. Obat ini bekerja dengan menginhibisi pertumbuhan Salmonella
serovar typhimurium dan typhi yang menghuni sel-sel monosit yang
berasal dari sel THP-1. 5
Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari
selama 7 hari terbukti efektif mengobati demam tifoid baik pada orang
dewasa maupun pada anak dengan waktu penurunan demam yang hampir
mirip dengan bila digunakan kloramfenikol. Obat ini menjadi pilihan
pertama bila kasus demam tifoidnya dicurigai resisten terhadap kuinolon.
Dengan pemberian singkat selama 7 hari, obat ini dinilai cukup efektif
mengobati demam tifoid yang tidak komplikasi. 5
14
Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau
sefotaksim diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat
kloramfenikol dan obat antibiotik untuk demam tifoid lainnya. Strain yang
resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin generasi ini. Bahkan
untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluorokuinolon, obat
seftriakson dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila
digunakan sebagai terapi alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan
sefiksim. Pemberian seftriakson sebaiknya diberikan selama 14 hari,
karena bila diberikan selama 7 hari, kemungkinan relapsnya bertambah
dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson dihentikan. 5
Penggunaannya pada anak masih kontroversial, mengingat efek obat
ini yang dapat merusak pertumbuhan tulang rawan pada anak, sehingga
disebagian besar negara di dunia, obat ini tidak digunakan sebagai obat
demam tifoid. Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin
atau amoksisilin dengan dosis 40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral
dikombinasi probenesid 30 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral atau
trimetropim sulfametoksazol selama 4-6 minggu memberikan angka
kesembuhan 80%. Kloramfenikol tidak efektif digunakan sebagai terapi
karier demam tifoid. Selain amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier
demam tifoid, beberapa obat dapat dipergunakan, seperti kotrimoksazol,
siprofloksasin dan norfloksasin, walaupun dua obat terakhir tidak
sebaiknya digunakan pada penderita demam tifoid anak.5
15
16
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hematologi
17
dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen
komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik.
Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga
kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang
penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda
dari >1/80 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas
demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak
mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.5
3. Uji Tubex
Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil
pemeriksaan yang positif menunjukkan Adanya infeksi terhadap
Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan
hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D. 3
4. Uji Typhidot
Pemeriksaan Typhidot dapat mendeteksi IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM
menunjukkan fase akut demam tifoid, Sedangkan terdeteksinya IgG dan
IgM menunjukkan demam tifoid Akut pada fase pertengahan. Antibodi
IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak
dapat untuk membedakan antara kasus akut dan kasus dalam masa
penyembuhan. Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya
digunakan untuk mendeteksi IgM saja. 3
5. Kultur
Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya
positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah
yang diperlukan 15 mL untuk pasien dewasa). Untuk daerah endemik
dimana sering terjadi penggunaan antibiotik Yang tinggi, sensitivitas
kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi). 3
6. Pemeriksaan CPR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang
tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa
18
yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap S. Typhi
memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nested
polymerase chain reaction(PCR) menggunakan primer H1-d dapat
digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien
dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat Pemeriksaan nested PCR
terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin
21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22
(68.1%).5
7. Pemeriksaan Serologi dari Spesimen Urin
Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9
grup D Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki
sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan
sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA menggunakan antibodi monoklonal
terhadap antigen 9 somatik (O9),antigen d flagella (d-H), dan antigen
virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi
pada akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi
pada 9 kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%).
Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin
menjanjkan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam
minggu pertama sejak timbulnya demam.5
8. Pemeriksaan Antibodi IgA dari Spesimen Saliva
Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari
lipopolisakarida S.typhi dari spesimen saliva memberikan hasil positif
pada 33/37 (89,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini
menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0% pada
minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan penyakit
demam tifoid.5
3. PROGNOSIS
19
Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali.
Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi > 3 bulan setelah infeiksi umumnya
menjadi karier kronis, resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan
meningkat sesuai usis. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien
demam tifoid
4. PENCEGAHAN
1. Vaksin Vi Polysaccharide
20
2. Vaksin Ty21a
3. Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan
memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi.
Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan
sebesar 89%6. Kontraindikasi pemberian vaksin yaitu pada keadaan
hipersensitif terhadap vaksin, ibu hamil dan anak <2 tahun. Bila anak
sedang demam pemberian vaksin sebaiknya ditunda3.
21
DAFTAR PUSTAKA
22