APPENDISITI
S
KON S EP & AS U HAN KEPERAW ATAN
OUTLI
NE
0 PENGERTI PEMERIKSAAN
AN 02 PENATALAKSANAA
1 PENUNJANG
ETIOLOGI N
0 MANIFESTASI 0 ASUHAN
3 KLINIS 4 KEPERAWAT
PATOFISIOLOGI AN
Pengertian &
Etiologi
Apa itu
appendiks?
Appendiks
Adalah ujung seperti jari-jari yang kecil dan
panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat
pada sekum (kantong yang berada pada awal
usus besar yang memungkinkan makanan
untuk lewat dari usus halus ke usus besar) tepat
di bawah katup ileosekal (Smeltzer& Bare,
2002).
Prevalensi appendicitis
• Kejadian kasus apendisitis tertinggi adalah
yang berusia 10 sampai 30 tahun. Kejadian
apendisitis mencapai 321 juta kasus tiap
tahun di dunia (Hartawan, Ekawati, Saputra &
Dewi, 2020).
Data mencatat terdapat 20-35 juta kasus apendisitis di Amerika tiap tahun. 7%
masyarakat Amerika menjalani pengangkatan appendiks vemiformis dengan insiden
1,1/1000 masyarakat pertahun.
di Eropa, prevalensinya mencapai sekitar 16%. Prevalensi apendisitis lebih tinggi di
Eropa dan Amerika dibanding Afrika, dan 5 tahun terakhir cenderung mengalami
peningkatan yang dilansir oleh penelitian akibat pola diet yang salah
- Hartawan, G.N.B.R.M., Ekawati, N.P., Saputra, H., & Dewi, I.G.A.S.M. (2020). Karakteristik kasus apendisitis di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali Tahun 2018. Jurnal Medika Udayana. 9(10), 60-67.
Statistik menunjukan bahwa rata-rata setiap tahunnya apendisitis beserta
komplikasinya menyerang 10 juta penduduk Indonesia. Komplikasi apendisitis yang
paling sering ditemui berupa ileus, perlengketan, perforasi, abses abdomen, dll.
Angka kesakitan apendisitis di Indonesia tembus hingga 95/1000 penduduk, serta
merupakan angka tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Survey 28 provinsi di
Indonesia tahun 2008 menunjukan ada 3.251 kasus rawat inap apendisitis.
Peningkatan terjadi sangat signifikan dibandingkan jumlah kasus sebelumnya, yakni
sebanyak 1.236 orang.
Apa itu
appendisitis?
Appendisitis adalah peradangan pada
appendiks vemiformis (organ sempit,
berbentuk tabung ), dan biasa disebut juga
dengan rada ngusus buntu (Grace &
Borley, 2006).
Grace, P.A., &Borley, N.R. (2006). At a Glance :Ilmu Bedah (edisi ketiga): Erlangga.
Fransisca, C., Gotra, I.M., & Mahastuti, N.M. (2019). Karakteristik pasien dengan gambaran his patologi apendisitis di RSUP
Sanglah Denpasar Tahun 2015-2017. Jurnal Medika Unaya. 8(7).
2.
Etilogi
Etiologi (menurut Black, Joyce M & Hawks, Jane Hokanson,
2021):
1. Fekalit (batu feses) yang mengoklusi lumen apendiks
2. Apendiks yang terpuntir
3. Pembengkakan dinding usus
4. Kondisi fibrosa di dinding usus
5. Oklusi eksternal usus akibat adesi
6. Infeksi organisme Yersinia telah ditemukan pada 30% kasus
Sjamsuhidajat,R.- De Jong.et al. 2010. Buku Ajar Bedah Edisi 3 : EGC. Jakarta.
Black, Joyce M & Hawks, Jane Hokanson. 2021. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 9: Elsevier. Singapore
3. Manifestasi
Klinis
MANIFESTASI KLINIS :
● Nyeri abdomen yang bergelombang
● Demam ringan
● Mual dan muntah
● Hilangnya nafsumakan
● Anoreksia
Kriteria Nilai
Migrasi luka ke Right 1
Lower Quadrant (RLQ) Interpretasi :
<5 = appendicitis unlikely
Anoreksia 1 5-6 = appendicitis possible
Mual-muntah 1 7-8 = appendicitis probable
9-10 = appendicitis definite
Nyeri dalam Right 2 Skor 5-6 cukup dilakukan perawatan
Lower Quadrant (RLQ)
dirumah sakit, namus skor>6 tindakan
Rebound Tenderness 1 yang dilakukan adalah pembedahan
apendektomi.
Demam (>37,3o C) 1
Leukositosis (>10.000) 2
Shift to the left (75%) 1
Erianto, M. dkk.(2020). PerforasipadaPenderitaApendisitis Di RSUD DR.H.AbdulMoeloek
Lampung.JurnalIlmiahKesehatan Sandi Husada, Vol 11 (1).
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Non-bedah
• Perawat mengkaji tanda-tanda vital pasien dan juga skala nyerinya.
• Perawat tidak boleh memberi makan/minum pasien melalui mulut (oral)
untuk mempersiapkan kemungkinan operasi darurat dan untuk
menghindari proses inflamasi
• Perawat memberikan cairan intravena, seperti yang diperintahkan, untuk
mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit serta untuk menambah
volume cairan.
• Jika posisi semi fowler dapat ditoleransi, perawat menyarankan pasien untuk
mempertahankan posisi ini sehingga jika ada drainase perut, dapat terkandung
di bagian bawah.
• Setelah diagnosa apendisitis dikonfirmasi, ahli bedah menjadwalkan operasi.
• Perawat dapat memberikan analgesik opioid seperti yang diresepkan,
sementara pasien dipersiapkan untuk operasi.
• Pasien tidak boleh diberikan obat pencahar atau enema karena bisa
menyebabkan perforasi apendiks.
• Pasien tidak boleh dikompres panas atau hangat karena dapat meningkatkan
sirkulasi ke usus buntu dan menghasilkan peningkatan peradangan dan
perforasi.
2. Prosedur Operasi
• Apendektomi adalah pengangkatan usus buntu yang meradang.
• Dalam operasi usus buntu tradisional yang tidak rumit, dokter bedah mengangkat
apendiks melalui sayatan kira-kira 3 cm (7,5 cm) sepanjang kuadran kanan bawah.
• Sayatan lebih besar apabila apendiks dalam posisi atipikal atau ada peritonotis.
• Usus buntu sering dilakukan melalui laparoskopi. Namun bisa juga dengan laparotomi.
3. Perawatan Post Operatif
• Observasi tanda-tanda vital dan tanda infeksi.
• Atur posisi pasien 2 jam sekali/anjurkan mobilisasi.
• Apabila pasien dengan peritornitis harus dipasang NGT yang bertujuan untuk
kompresi/bilas lambung dan mencegah distensi lambung.
• Biasanya untuk pasien post operatif apendisitis dipasang drain, pantau kondisi,
banyaknya darah yang keluar dan warnanya.
• Observasi tanda-tanda vital dan tanda infeksi.
• Atur posisi pasien 2 jam sekali/anjurkan mobilisasi.
• Apabila pasien dengan peritornitis harus dipasang NGT yang bertujuan untuk
kompresi/bilas lambung dan mencegah distensi lambung.
• Biasanya untuk pasien post operatif apendisitis dipasang drain, pantau kondisi,
banyaknya darah yang keluar dan warnanya.
• Antibiotik intravena biasanya diresepkan jika terdapat peritornitis atau
abses.
• Analgesik opioid diberikan untuk nyeri yang dibutuhkan.
• Klien biasanya bangun dari tempat tidur pada malam hari operasi atau hari
pertama pasca operasi.
• Klien yang telah menjalani operasi usus buntu tanpa komplikasi melalui
laparoskopi dapat segera dipulangkan tanpa harus dipasang NGT
• Klien yang menjalani operasi usus buntu tanpa komplikasi biasanya pulih
dengan cepat dan dapat melanjutkan aktivitas normal dalam 2 hingga 4
minggu.
• Jika pembedahan dipersulit oleh perforasi atau peritonitis, ia harus dirawat
di rumah sakit selama 5 hingga 7 hari atau lebih.
• Buat discharged planning apabila pasien siap dipulangkan.
Rabu, 28 April Nyeri akut b.d agen S : Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang
2021 09.00 cedera fisik (inflamasi O : - Suhu 37,5oC
WIB apendisitis) - Skala nyeri 5
A : Masalah teratasi sebagian, klien masih merasakan nyeri
P : Lanjutkan intervensi pemberian analgetik dan teknik
nonfarmakologis
I : - berkolaborasi dengan dokter terkait pemberian
analgetik
- mengajarkan terapi nonfarmakologis
E : Klien dapat melakukan terapi nonfarmakologis
R : Tujuan tercapai, intervensi dihentikan
Hari, Tanggal, Diagnosa Evaluasi
Jam Keperawatan
Rabu, 28 April Ketidakseimbangan S:
2021 09.00 nutrisi kurang dari Klien mengatakan mual dan muntah mulai berkurang.
WIB kebutuhan tubuh b.d
intake yang tidak Klien mengatakan nafsu makan mulai ada.
adekuat d/d klien O:
tidak nafsu makan
karena mual dan Keadaan umum sedikit lemah.
muntah Klien mulai mengkonsumsi makanan lunak.
A : Sebagian masalah teratasi.
P : Anjurkan klien untuk makan sedikit demi sedikit.
I: Memberikan makanan lunak dan hangat serta pantau
berat badan setiap hari
E : Klien mengatakan sudah tidak mual, muntah dan nafsu
makan bertambah
R : Masalah teratasi dan tidak ada modifikasi rencana
Hari, Tanggal, Diagnosa Evaluasi
Jam Keperawatan
Rabu, 28 April Resiko infeksi b.d Tidak S:
2021 09.00 adekuatnya pertahanan Klien mengatakan badannya sudah tidak panas.
WIB utama perforasi atau
ruptur pada apendiks Klien mengetahui terkait tanda dan gejala infeksi.
O:
Keadaan umum sudah membaik.
Klien rutin mencuci tangan sebelum dan sesudah.
A : Sebagian masalah teratasi.
P : Anjurkan klien untuk mencuci tangan dan mengurangi
resiko penyebaran infeksi.
I: Memonitor tanda dan gejala jika infeksi muncul.
E : Klien mengatakan badannya sudah tidak panas dan klien
mengetahui tanda dan gejala infeksi.
R : Masalah teratasi dan tidak ada modifikasi rencana
TELAAH
JURNA
L
Jurnal
1
Bila pasien mengeluh nyeri maka hanya satu yang mereka inginkan yaitu mengurangi rasa
nyeri.Selain dari pemberian obat (farmakologi), dapat juga diberikan tindakan non
farmakologi seperti teknik relaksasi genggam jari atau biasa disebut dengan finger hold.
Menggenggam jari sambil mengatur napas (relaksasi) dilakukan selama ± 3-5 menit dan
dapat mengurangi ketegangan fisik dan emosi, karena genggaman jari akan menghangatkan
titik keluar dan masuknya energy yang terletak pada jari tangan. Titik-titik refleksi pada
tangan akan memberikan rangsangan secara refleks (spontan) pada saat genggaman.
Rangsangan tersebut akan mengalirkan gelombang listrik menuju otakyang akan diterima
dan di proses dengan cepat, lalu diteruskan menuju saraf pada organ tubuh yang mengalami
gangguan, sehingga sumbatan di jalur energi menjadi lancar.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh teknik relaksasi genggam
jariterhadap intensitas nyeri pada pasien post appendiktomi.
Tahun 2020
:
Latar Belakang Apendisitis akut adalah salah satu kegawatdaruratan bedah yang
paling umum di dunia dengan kejadian tahunan 10 kasus per
100.000 penduduk. Sementara apendisitis dengan komplikasi
massa atau abses biasanya diobati secara konservatif atau dengan
drainase tertutup yang dipandu ultrasound, apendektomi tetap
menjadi pengobatan standar emas untuk apendisitis akut tanpa
komplikasi. Apendektomi dapat dilakukan dengan pendekatan
terbuka tradisional atau laparoskopi. Komplikasi apendektomi
termasuk infeksi tempat operasi (SSI), dehiscence luka, obstruksi
usus, abses perut / panggul, dan, apendisitis tunggul. Infeksi
tempat operasi (IDO) merupakan salah satu komplikasi yang
paling sering terjadi setelah operasi abdomen. Sebuah studi baru-
baru ini mengungkapkan bahwa apendektomi terbuka memiliki
insiden IDO keseluruhan dan insisional yang lebih tinggi daripada
apendektomi laparoskopi (6,7% vs 4,5%), sedangkan insiden IDO
organ / ruang pada kedua kelompok serupa (3%). Studi observasi
lain menemukan angka yang lebih tinggi dari IDO superfisial
setelah apendektomi terbuka (9%) dibandingkan dengan
apendektomi laparoskopi (5%).
Tujuan Percobaan ini bertujuan untuk meneliti kemanjuran irigasi saline pada
luka apendektomi terbuka dengan atau tanpa antibiotik topikal dalam
pencegahan IDO.
Hasil Merupakan uji coba acak tersamar ganda pada pasien apendisitis akut
yang menjalani apendektomi terbuka. Pasien secara acak dialokasikan ke
salah satu dari tiga kelompok yang sama; kelompok I dilakukan irigasi
luka lapis demi lapis dengan larutan saline gentamisin, kelompok II
dilakukan irigasi luka dengan larutan saline, dan kelompok III tidak
mendapat irigasi (kelompok kontrol). Ukuran hasil utama adalah insiden
IDO insisional, kejadian di tempat operasi (SSO), komplikasi lain, waktu
operasi, nyeri pasca operasi, dan kepuasan pasien.
Hasil 205 pasien (113 wanita) dengan usia rata-rata 27,9 tahun
dimasukkan. Rata-rata skor rawat inap dan nyeri di rumah
sakit serupa pada ketiga kelompok. Kelompok I dan II
memiliki tingkat SSI insisional yang lebih rendah secara
signifikan (4,3% Vs 2,9%; Vs 17,4%, p = 0,005)
dan SSO (24,6% Vs 13,4% Vs 43,5%; p = 0,0003)
dibandingkan dengan kelompok III. Grup I dan II memiliki
tingkat SSI dan SSO yang sebanding. Ketiga kelompok
tersebut memiliki tingkat seroma luka, hematoma, dan
dehiscence yang sama. Kelompok I dan II memiliki kepuasan
yang lebih tinggi secara signifikan dengan prosedur
dibandingkan kelompok III.
Kesimpulan Irigasi lapis demi lapis pada luka apendektomi
terbuka dengan larutan garam, baik antibiotik topikal
digunakan atau tidak, secara efektif menurunkan angka
SSI dan SSO insisional dibandingkan dengan tanpa
irigasi. Penambahan gentamisin topikal ke larutan garam
tidak berguna untuk meningkatkan
hasil karena tidak memberikan penurunan yang
nyata pada tingkat IDO dan SSO dibandingkan
dengan irigasi dengan garam normal saja.
JURNAL
3
Jurnal
3
● Studi Perbandingan Modern Dressing
Judul
(SalepTribee) dan Konvensional
:
Terhadap Proses Penyembuhan
Luka pada pasien Postoperasi
Penuli Tusyanawati, V. M ., S utrisna, M ., &
s: Tohri, T.
2019
Tahun
:
Latar belakang Apendisitis merupakan salah satu kasus kegawat daruratan di bagian
abdomen dengan keluhan utama nyeri perut kanan bawah yang
menetap dan bertambah nyeri. Perawatan post operasi apendiktomi
meliputi monitor tanda vital, menghilangkan / mengurangi nyeri,
mencegah kekurangan volume cairan, mengurangi kecemasan,
memberikan gizi yang optimal, mencegah risiko infeksi, dan
perawata nluka (Smeltzer, dkk., 2010). Untuk mencegah terjadinya
infeksi maka diperlukan perawatan luka post operasi apendiktomi
yang tepat.
Salah satu terapi non farmakologis untuk mengatasi nyeri adalah terapi relaksasi otot progresif.
Ini dapat dilihat pada beberapa penelitian tentang efektivitas terapi relaksasi otot progresif yaitu
menurut penelitian Fitria & Ambrawati (2015), mengenai perbedaan skala nyeri antar sebelum
dan sesudah relaksasi otot progresif dinyatakan signifikan, hal ini dibuktikan dengan adanya
terapi relaksasi otot progresif, terjadi penurunan skala nyeri rata-rata. –sebuah rata-rata 2.00.
Sedangkan untuk mengetahui kekuatan hubungan atau pengaruh antar variabel tersebut
dinyatakan memiliki pengaruh yang kuat yaitu 0,76. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tekhnik relaksasi progresif dapat secara efektif mengurangi nyeri pada pasien pasca
operasi.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah melaksanakan asuhan keperawatan kepada klien
yang mengalami pasca operasi usus buntu dengan masalah nyeri akut,
dengan intervensi relaksasi muscel progresif.
Metode Penelitian ini menggunakan desain studi kasus. Jumlah kasus dalam studi kasus ini sebanyak
5 kasus Post Op pembedahan usus buntu. Penelitian ini dilakukan di ruang perawatan bedah
Tenriawaru Rumah Sakit, Kabupaten Bone. Penelitian ini berlangsung pada bulan yang
berlangsung pada bulan Desember 2019. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah pasien
yang menjalani post op appendectomy pada hari kedua, 5 Skala nyeri (sedang), klien yang
berusia> 18 tahun dan bersedia menjadi subjek studi kasus. Data diperoleh dari rekam medis,
penilaian dan observasi tingkat nyeri. Intervensi yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
teknik relaksasi muscel progresif.
Hasil Hasil penilaian nyeri kelima kasus dengan menggunakan Number Rating Scale
(NRS) nyeri skala pengukuran dan penilaian Skala Wong Baker (ekspresi wajah)
didapatkan hasil yang sama hasil. Hal ini dikarenakan pemilihan sampel sesuai
dengan kriteria inklusi yang ditetapkan. Yaitu evaluasi asuhan keperawatan selama 3
hari pelaksanaan pemberian menemukan bahwa nyeri akut telah teratasi
sesuai dengan hasil yang ditentukan.
Kesimpulan Evaluasi penerapan teknik relaksasi progresif relaksasi muscel untuk mengobati
nyeri akut pada pasien apendektomi pasca operasi dikatakan berhasil ditandai dengan
hasilnya dicapai seperti yang ditentukan dalam penerapan intervensi.
Resource
●
s
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
(edisi 8). Jakarta: ECG.
● Grace, P.A., &Borley, N.R. (2006). At a Glance :Ilmu Bedah (edisi ketiga):
Erlangga.
● Fransisca, C., Gotra, I.M., & Mahastuti, N.M. (2019). Karakteristik pasien
dengan gambaran his patologi apendisitis di RSUP Sanglah Denpasar
Tahun 2015-2017. Jurnal Medika Unaya. 8(7).
● Sjamsuhidajat,R.- De Jong.et al. 2010. Buku Ajar Bedah Edisi 3 : EGC.
Jakarta.
● Black, Joyce M & Hawks, Jane Hokanson. 2021. Keperawatan Medikal
B edah Edisi 9: Elsevier. S ingapore
● KM B Brunner & Suddarth, 2001
● Finansah, Y. W., dkk. (2020). Tata Laksana Apendisitis Akut di Era Pandemi
Covid-19.
● Erianto, M. dkk.(2020). PerforasipadaPenderitaApendisitis Di RS UD
DR.H.AbdulMoeloek Lampung.JurnalIlmiahKesehatan Sandi Husada, Vol 11
(1).
● Ignatavicius & Workman. (2006). Medical Surgical Nursing: Critical Thinking
forCollaborative Case. Philadelphia: WB Saunders.
Than
ks!