OLEH:
KELOMPOK 5
DOSEN PENGAMPUH :
FITRIANI, S.Kep,Ns, M.Kes
What?
APA ITU BENCANA ALAM?
DEFINISI BENCANA ALAM
Jadi penilaian sistematis adalah kegiatan dan proses pengumpulan data data dan informasi
yang bersifat kualitatif yang disusun secara berurutan, utuh dan terpadu untuk menjelaskan
berbagai rangkaian sebab akibat terkait suatu objek tertentu.
Penialain sistematis pada bencana ialah kegiatan mengumpulkan data dan informasi yang
berkaitan dengan bencana yang termasuk didalamnya bentuk bencana, lokasi, dampak, korban, dan
usaha dalam menghadapi bencana sebelum, saat dan setelah terjadinya bencana.
1. Penilaian sebelum bencana pada korban, survivor, populasi rentan dan
berbasis masyarakat
Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan
kegiatan pasca bencana (post event) berupa emergency response dan
recovery daripada kegiatan sebelum bencana berupa disaster
reduction/mitigation dan disaster preparedness. Padahal, apabila kita
memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sebelum bencana,
kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian (damages) yang mungkin
timbul ketika bencana.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan
infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain
rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun
struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain.
Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya
seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang
dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan
masyarakat dan pemerintah daerah.
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan
persiapan
Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) merupakan serangkaian sistem untuk
memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa bencana maupun tanda-
tanda alam lainnya. Peringatan dini pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan
memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat. Dalam
keadaan kritis, secara umum peringatan dini yang merupakan penyampaian informasi
tersebut diwujudkan dalam bentuk sirine, kentongan dan lain sebagainya.
3. Durasi : beberapa durasinya terbatas seperti pada ledakan sedang lainnya mungkin lebih lama seperti banjir dan epidemic.
4. Kecepatan onset : bisa muncul mendadak hingga sedikit atau tidak ada pemberitahuan yang bisa diberikan atau bertahap
seperti pada banjir (kecuali banjir bandang) memungkinkan cukup waktu untuk pemberitahuan dan mungkin tindakan
pencegahan atau peringatan. Ini mungkin berulang dalam periode waktu tertentu seperti pada gempa bumi.
5. Luasnya dampak : bisa terbatas dan mengenai hanya area tertentu atau kelompok masyarakat tertentu atau menyeluruh
mengenai masyarakat luas mengakibatkan kerusakan merata pelayanan dan fasilitas.
6. Potensi merusak : kemampuan penyebab bencana menimbulkan tingkat kerusakan tertentu (berat, sedang atau ringan) serta
jenis (cedera manusia atau kerusakan harta benda) dari kerusakan.
Hal-hal yang perlu dinilai dalam proses peringatan/warning sebelum
bencana adalah
1. Tersedianya system dan akses komunikasi yang memadai dan mencakup seluruh daerah khususnya
didaerah resiko tinggi bencana alam seperti daerah yang dilewati lempeng/patahan pemicu gempa dan
tsunami, dataran tinggi yang rawan longsor, dan daerah dataran rendah yang berdekatan dengan sungai
yang rawan banjir bandang. Hal ini diperlukan dalam penyampaian informasi secara cepat dan akurat dari
sumber terpercaya.
2. Pengetahuan masyarakat dalam menerima informasi bencana yang akan terjadi yang termasuk
didalamnya menjangkau tempat perlindungan yang aman secepatnya setelah peringatan diberikan.
3. System sensor pendeteksi (peralatan EWS) gempa, tsunami dan letusan gunung berapi yang dipasang di
area area patahan apakah bekerja baik dan real time. Sehingga mempercepat penyampaian informasi.
c. Persiapan (preparedness)
● Tersedianya jalur evakuasi yang jelas dan bisa dijangkau oleh masyarakat.
● Fasilitas pelayanan public terutama fasilitas kesehatan yang akan menjadi tempat rujukan bila
terjadi bencana.
● Kesiapan dan pengetahuan masyarakat di daerah rawan bencana dalam menghadapi dan
menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Kegiatannya berisi simulasi dan pelatihan bencana.
PemahamanTentang Kerentanan Masyarakat Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman. Penilaian kerentanan ini dapat
berupa:
● Kerentanan Fisik
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya tahan menghadapi bahaya tertentu,
misalnya: kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya tanggul pengaman
banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan sebagainya.
● Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman
bahaya. Pada umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena
tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.
● Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Dari segi
pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan,
demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya.
● Kerentanan Lingkungan
Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan. Masyarakat yang tinggal di daerah yang
kering dan sulit air akan selalu terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan
rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan sebagainya.
2.Penilaian Saat Bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat bencana
sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses peringatan dini, maupun tanpa
peringatan atau terjadi secara tiba-tba. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah seperti
tanggap darurat untuk dapat mengatasi dampak bencana dengan cepat dan tepat agar
jumlah korban atau kerugian dapat diminimalkan.
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan sarana
prasarana. Tindakan ini dilakukan oleh Tim penanggulangan bencana yang dibentuk
dimasing-masing daerah atau organisasi.
Menurut PP No. 11, langkah-langkah yang dilakukan dalam kondisi tanggap darurat antara
lain:
● Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumberdaya, sehingga
dapat diketahui dan diperkirakan magnitude bencana, luas area yang terkena dan
perkiraan tingkat kerusakannya.
● Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana sehingga dapat pula
ditentukan status keadaan darurat. Jika tingkat bencana terlalu besar dan berdampak
luas, mungkin bencana tersebut dapat digolongkan sebagai bencana nasional.
1) Penilaian Korban
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang menantang,
dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk
mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga
beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan
kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian kemudian, late, karena trauma yang terjadi
dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer, resusitasi-stabilisasi, survei
sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai. Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk
menindak keadaan klinis kritis yang diketahui pada awal proses.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit
(berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk menentukan
prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana
untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau penyebab ancaman hidup.
Next...
Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase
Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan
sarana transportasi saat bencana mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
a. Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase untuk mengindentifikasi dan
mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
Next...
Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
• Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin diresusitasi.
• Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta tindakan medik dan transport segera untuk
tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka
bakar berat).
• Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak akan
mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera
abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak
berat, serta luka bakar ringan).
• Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama
sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-
fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
• Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan
cedera atau penyaki kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan transportasi, dan
• Prioritas Kelima (Putih) yaitu kelompok yang sudah pasti tewas. Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang
sesuai dan pindahkan kekelompok sesuai.
b. Triase Sistem Penuntun Lapangan START
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental
(RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk memastikan
kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan transport segera atau
tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati.
Ini memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko
besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi
diambulans.
c. Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa digunakan
sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di ambulans atau di Area
Tindakan Utama sesuai keadaan
Penilaian di tempat dan prioritas TRIASE ditentukan oleh jumlah korban dan parahnya
cedera. Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi kemampuan pusat
pelayanan, pasien dengan masalah mengancam jiwa dan cedera sistem berganda ditindak
lebih dulu.
Bila jumlah korban serta parahnya cedera melebihi kemampuan*) dst dibawah algoritma
ALGORITMA SISTEM START
Next, Keterangan gambar.
● Hitam = Deceased (Tewas)
● Merah = Immediate (Segera)
● Kuning = Delayed (Tunda)
● Hijau = Minor.
● Semua korban diluar algoritma diatas :
Kuning. Disini tidak ada resusitasi dan C-
spine control.
● Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah
kepasien berikut setelah tagging. Pada sistem
ini tag tidak diisi, kecuali jam dan tanggal.
Diisi petugas berikutnya.
2)Penilaian Lingkungan
● Daerah rawan yang kemungkinan akan terjadi bencana susulan. Seperti tsunami setelah gempa,
tanah longsor setelah banjir atau hujan deras, aliran lava dan abu vulkanik saat terjadi letusan
gunung berapi dan rubuhnya bangunan setelah terkena guncangan gempa.
● Tempat pengungsian yang aman untuk pertolongan pertama pada korban bencana.
3. Penilaian Setelah Bencana
● Kerusakan dihitung sebagai pengganti nilai aset fisik yang rusak total atau
sebagian;
● Kerugian secara ekonomi yang timbul akibat adanya aset yang rusak
sementara;
Hasil assessment tersebut selanjutnya menjadi dasar penilaian kebutuhan pasca bencana dan
penyusunan rencana aksi rehabilitasi dan rekosntruksi wilayah pasca bencana. “Didorong oleh
kebutuhan akan adanya dokumen legal yang dapat menjadi rujukan utama secara nasional bagi
pelaksanaan pengkajian kebutuhan pasca bencana yang komperhensif dan menjadi dasar perencanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, sesuai dengan Peraturan Kepala BNPB nomor 17 tahun
2010”.
Thank You