Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA

Penilaian Sistematis Sebelum, Saat Dan Setelah Bencana Pada Korban Survivor,
Populasi Rentan Dan Berbasis Komunitas

Disusun Oleh:
1. Christina Ika Ratnawati (1907057)
2. Ulfanisatun (1907064)
3. Fajar Dwi Hertanto (1907087)
4. Charisma Hanif febria N (1907088)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA SEMARANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami dan aktivitas
manusia, seperti letusan gunung, gempa bumi dan tanah longsor. Karena
ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga
menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian.
Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau
menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini berhubungan dengan
pernyataan: "bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan".
Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di
daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak
berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang karena peristiwa
tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia.
Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai
dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor
besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia. Namun demikian pada
daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan /
kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat / luas
jika manusia yang berada disana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster
resilience).
Tujuan dari pengembangan sistem peringatan dini yang berbasis masyarakat
adalah untuk memberdayakan individu dan masyarakat yang terancam bahaya untuk
bertindak dalam waktu yang cukup dan dengan cara- cara yang tepat untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya korban luka, hilangnya jiwa, serta rusaknya harta benda dan
lingkungan.
Sistem peringatan dini yang lengkap dan efektif terdiri atas empat unsur yang
saling terkait, mulai dari pengetahuan tentang bahaya dan kerentanan,
hingga kesiapan dan kemampuan untuk menanggulangi.Pengalaman baik dari sistem
peringatan dini juga memiliki hubungan antar-ikatan yang kuat dan saluran komunikasi
yang efektif di antara semua elemen tersebut
Konsep ketahanan bencana merupakan evaluasi kemampuan sistem dan
infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-
tantangan serius yang hadir. Dengan 3 demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana
dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap
bencana yang cukup. Terjadinya bencana alam tidak dapat di prediksi. Oleh karena itu,
dibutuhkan surveilans untuk meminimalisir kerusakan dan korban. Surveilans bencana
dilakukan sebelum bencana terjadi, saat bencana dan sesudah terjadinya bencana.

2. Tujuan penulisan
a. Tujuan Umum
Mengetahui kegiatan penilaian yang dilakukan pada sebelum, saat dan setelah
bencana hingga melakukan surveilans bencana.
b. Tujuan Khusus
1) Mengetahui penilaian sebelum bencana
2) Mengetahui penilaian saat bencana
3) Mengetahui penilaian setelah bencana
4) Mengetahui surveilans bencana pada sebelum terjadinya bencana
5) Mengetahui surveilans bencana pada saat terjadinya bencana
6) Mengetahui surveilans bencana pada sesudah terjadinya bencana
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, dan setelah Bencana pada Korban, Survivor,
Populasi Rentan dan Berbasis Komunitas
1. Pengertian Penilaian Sistematis
Menurut Eko Putro Widoyoko, 2012: 3, Penilaian ialah sebagai kegiatan
menafsirkan data hasil pengukuran berdasarkan kriteria dan aturan-aturan tertentu.
Penilaian memberikan informasi lebih konprehensif dan lengkap dari pada
pengukuran, karena tidak hanya mengunakan instrument tes saja, melainkan
mengunakan tekhnik non tes lainya. Penilaian merupakan kegiatan mengambil
keputusan dalam menentukan sesuatu berdasarkan kriteria baik dan buruk serta
bersifat kualitatif
Sistematis adalah bentuk usaha menguraikan serta merumuskan sesuatu hal dalam
konteks hubungan yang logis serta teratur sehingga membentuk system secara
menyeluruh, utuh dan terpadu yang mampu menjelaskan berbagai rangkaian sebab
akibat yang terkait suatu objek tertentu.(Abdulkadir Muhammad : 2004)
Jadi penilaian sistematis adalah kegiatan dan proses pengumpulan data data dan
informasi yang bersifat kualitatif yang disusun secara berurutan, utuh dan terpadu
untuk menjelaskan berbagai rangkaian sebab akibat terkait suatu objek tertentu.
Penialain sistematis pada bencana ialah kegiatan mengumpulkan data dan
informasi yang berkaitan dengan bencana yang termasuk didalamnya bentuk bencana,
lokasi, dampak, korban, dan usaha dalam menghadapi bencana sebelum, saat dan
setelah terjadinya bencana. Penilaian sistematis ini disusun untuk memberikan
gambaran mengenai resiko dan dampak yang akan dialami jika terjadi bencana.

2. Penilaian sebelum bencana pada korban, survivor, populasi rentan dan berbasis
masyarakat

Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan kegiatan pasca
bencana (post event) berupa emergency response dan recovery daripada kegiatan
sebelum bencana berupa disaster reduction/mitigation dan disaster preparedness.
Padahal, apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sebelum
bencana, kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian (damages) yang mungkin
timbul ketika bencana.
Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi
bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh
bencana.Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-
tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan
sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan
resiko jangka panjang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan
memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti
membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta
memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor,
penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan
dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana
dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui
perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan
pemerintah daerah.
 Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian
bahaya, peringatan dan persiapan
a. Penilaian bahaya (hazard)
Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan Negara
dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi dan beragam baik
berupa bencana alam, bencana ulah manusia ataupun kedaruratan kompleks.
Beberapa potensi tersebut antara lain
adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah
longsor,kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, kebakaran perkotaan dan
permukiman, angin badai, wabah penyakit, kegagalan teknologi dan konflik
sosial. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi
bahaya ikutan (collateral hazard).
Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat antara lain
pada peta rawan bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa
Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yangrawan, peta
kerentanan bencana tanah longsor, peta daerah bahayabencana letusan gunung
api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-lain.
Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi
populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini
memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas
kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini
menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang
kedua unsur mitigasi lainnya.
Penilaian risiko bencana / bahaya dibedakan berdasarkan karakteristik
utama yaitu :
1. Penyebab : alam atau ulah manusia
2. Frekuensi : berapa sering terjadinya
3. Durasi : beberapa durasinya terbatas seperti pada ledakan sedang
lainnya mungkin lebih lama seperti banjir dan epidemic.
4. Kecepatan onset : bisa muncul mendadak hingga sedikit atau tidak ada
pemberitahuan yang bisa diberikan atau bertahap seperti pada banjir
(kecuali banjir bandang) memungkinkan cukup waktu untuk
pemberitahuan dan mungkin tindakan pencegahan atau peringatan. Ini
mungkin berulang dalam periode waktu tertentu seperti pada gempa
bumi.
5. Luasnya dampak : bisa terbatas dan mengenai hanya area tertentu atau
kelompok masyarakat tertentu atau menyeluruh mengenai masyarakat
luas mengakibatkan kerusakan merata pelayanan dan fasilitas.
6. Potensi merusak : kemampuan penyebab bencana menimbulkan
tingkat kerusakan tertentu (berat, sedang atau ringan) serta jenis
(cedera manusia atau kerusakan harta benda) dari kerusakan.
b. Peringatan (warning)
Setelah mendapat pemetaan daerah rawan bencana selanjutnya dibutuhkan
system peringatan dini (Early Warning System) melalui BMKG. Sistem
Peringatan Dini (Early Warning System) merupakan serangkaian sistem untuk
memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa bencana
maupun tanda-tanda alam lainnya. Peringatan dini pada masyarakat atas
bencana merupakan tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang
mudah dicerna oleh masyarakat. Dalam keadaan kritis, secara umum
peringatan dini yang merupakan penyampaian informasi tersebut diwujudkan
dalam bentuk sirine, kentongan dan lain sebagainya. Namun demikian
menyembunyikan sirine hanyalah bagian dari bentuk penyampaian informasi
yang perlu dilakukan karena tidak ada cara lain yang lebih cepat untuk
mengantarkan informasi ke masyarakat.
Semakin dini informasi yang disampaikan, semakin longgar waktu bagi
penduduk untuk meresponnya.
Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami
yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi,
dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai
peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk
memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat.
Peringatan terhadap bencana
yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan
dipercaya.
Hal-hal yang perlu dinilai dalam proses peringatan/warning sebelum
bencana adalah :
1. Tersedianya system dan akses komunikasi yang memadai dan
mencakup seluruh daerah khususnya didaerah resiko tinggi bencana
alam seperti daerah yang dilewati lempeng/patahan pemicu gempa dan
tsunami, dataran tinggi yang rawan longsor, dan daerah dataran rendah
yang berdekatan dengan sungai yang rawan banjir bandang. Hal ini
diperlukan dalam penyampaian informasi secara cepat dan akurat dari
sumber terpercaya.
2. Pengetahuan masyarakat dalam menerima informasi bencana yang
akan terjadi yang termasuk didalamnya menjangkau tempat
perlindungan yang aman secepatnya setelah peringatan diberikan.
3. System sensor pendeteksi (peralatan EWS) gempa, tsunami dan
letusan gunung berapi yang dipasang di area area patahan apakah
bekerja baik dan real time. Sehingga mempercepat penyampaian
informasi.
c. Persiapan (preparedness)
Persiapan rencana untuk bertindak ketika terjadi(atau kemungkinan akan
terjadi) bencana. Perencanaan terdiri dari perkiraan terhadap kebutuhan-
kebutuhan dalam keadaan darurat dan identifikasi atas sumber daya yang ada
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perencanaan ini dapat mengurangi
dampak buruk dari suatu ancaman.
Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya
(penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang
daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan
tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi
dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan
pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana.
Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang
menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya
bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk
membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur
akan bencana (mitigasi struktur).
Penilaian dalam kegiatan persiapan ini meliputi :
a. Tersedianya jalur evakuasi yang jelas dan bisa dijangkau oleh
masyarakat.
b. Fasilitas pelayanan public terutama fasilitas kesehatan yang akan
menjadi tempat rujukan bila terjadi bencana.
c. Kesiapan dan pengetahuan masyarakat di daerah rawan bencana dalam
menghadapi dan menyelamatkan diri saat terjadi bencana.
Kegiatannya berisi simulasi dan pelatihan bencana.
 Pemahaman Tentang Kerentanan Masyarakat Kerentanan (vulnerability)
adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang
menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman. Penilaian
kerentanan ini dapat berupa:
 Kerentanan Fisik
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya
tahan menghadapi bahaya tertentu, misalnya: kekuatan bangunan
rumah bagi masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya
tanggul pengaman banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai dan sebagainya.
 Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat
menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada
umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu
lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak mempunyai kemampuan
finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau
mitigasi bencana.
 Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan
terhadap ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan
pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi
tingkat kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang
rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya.
 Kerentanan Lingkungan
Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan.
Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan
selalu terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng
bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah
longsor dan sebagainya.
3. Penilaian saat bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat
bencana sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses peringatan dini,
maupun tanpa peringatan atau terjadi secara tiba-tba. Oleh karena itu
diperlukan langkah-langkah seperti tanggap darurat untuk dapat mengatasi
dampak bencana dengan cepat dan tepat agar jumlah korban atau kerugian dapat
diminimalkan.
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan
sarana prasarana. Tindakan ini dilakukan oleh Tim penanggulangan bencana yang
dibentuk dimasing-masing daerah atau organisasi.
Menurut PP No. 11, langkah-langkah yang dilakukan dalam kondisi
tanggap darurat antara lain:
a) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumberdaya, sehingga dapat diketahui dan diperkirakan magnitude bencana,
luas area yang terkena dan perkiraan tingkat kerusakannya.
b) Penentuan status keadaan darurat bencana.
c) Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana sehingga
dapat pula ditentukan status keadaan darurat. Jika tingkat bencana terlalu
besar dan berdampak luas, mungkin bencana tersebut dapat digolongkan
sebagai bencana nasional.
1) Penilaian korban
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan
tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem
Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early)
karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak
cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma.
Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian kemudian, late,
karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah
trauma).
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer,
resusitasi-stabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS
sesuai. Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis
yang diketahui pada awal proses.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis
segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas
transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih
berdasar prioritas atau penyebab
ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan
proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase
inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan
tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat
berubah. Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang
dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase
Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid Transportation).
Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat bencana mengakibatkan
kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
a) Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas
triase untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik
terhadap korban.
Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
 Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak
mungkin diresusitasi.
 Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan
penilaian cepat serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap
hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala atau
maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
 Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan
cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman
jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis
cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa
gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang
belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
 Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak
membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana
namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak,
fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo- fasial tanpa gangguan
jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
 Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai
Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau
penyaki kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan
dan transportasi, dan
 Prioritas Kelima (Putih) yaitu kelompok yang sudah pasti tewas. Bila
pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok sesuai.
b) Triase Sistem Penuntun Lapangan START
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan
status mental (RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status
Mental) untuk memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging)
yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin
diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat
mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera
atau apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi diambulans
c) Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa
digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di
ambulans atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan
Penilaian di tempat dan prioritas TRIASE ditentukan oleh jumlah korban
dan parahnya cedera. Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi
kemampuan pusat pelayanan, pasien dengan masalah mengancam jiwa dan
cedera sistem berganda ditindak lebih
dulu. Bila jumlah korban serta parahnya cedera melebihi kemampuan
*) dst dibawah algoritma

Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning = Delayed (Tunda) ;


Hijau = Minor.
Semua korban diluar algoritma diatas : Kuning.
Disini tidak ada resusitasi dan C-spine control.
Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah kepasien berikut setelah tagging. Pada sistem
ini tag tidak diisi, kecuali jam dan tanggal. Diisi petugas berikutnya.
2) Penilaian lingkungan
Bencana menyebabkan kerusakan yang serius termasuk didalamnya akibat fenomena
alam luar biasa dan/atau disebabkan oleh ulah manusia yang menyebabkan timbulnya
korban jiwa, kerugian material dan kerusakan lingkungan yang dampaknya
melampaui
kemampuan masyarakat setempat untuk mengatasinya dan membutuhkan bantuan dari
luar.
Adapun penilaian lingkungan pada saat terjadi bencana adalah :
1. Daerah rawan yang kemungkinan akan terjadi bencana susulan. Seperti tsunami
setelah gempa, tanah longsor setelah banjir atau hujan deras, aliran lava dan abu
vulkanik saat terjadi letusan gunung berapi dan rubuhnya bangunan setelah terkena
guncangan gempa.
2. Tempat pengungsian yang aman untuk pertolongan pertama pada korban bencana

3. Penilaian setelah bencana


Penilaian kerusakan, kerugian dan kebutuhan sumber daya dilakukan pada minggu
terakhir masa tanggap darurat atau setelah masa tanggap darurat dinyatakan berakhir.
Penilaian dilakukan melalui persiapan, pengumpulan data, analisis data dan
pelaporan. Hasil assessment tersebut menjadi data dan informasi penting untuk
melakukan perbaikan sumber daya. Ketahanan masyarakat yang hidup di daerah
rawan bencana menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Program
penguatan tersebut harus berdasarkan data dan pengalaman serta didukung adanya
kebijakan terkait penanggulangan krisis pasca bencana. Oleh karena itu diperlukan
suatu acuan dalam melakukan penilaian kerusakan, kerugian serta kebutuhan pasca
bencana.
Damage and Loss Assessment (DaLA) biasanya dibuat setelah terjadinya bencana.
Metodologi standar DaLA dikembangkan oleh Komisi Ekonomi UN untuk Amerika
Latin dan Karibia (UN-ECLAC) pada tahun 1972, dan telah berkembang melalui
berbagai macam organisasi internasional. Secara sederhana, DaLA merupakan
metodologi untuk mengukur dampak dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana,
berdasarkan perhitungan ekonomi suatu negara dan kebutuhan penghidupan individu
untuk menentukan kebutuhan pemulihan dan rekonstruksi.
Penilaian Damage and Loss Assessment meliputi sebagai berikut :
 Kerusakan dihitung sebagai pengganti nilai aset fisik yang rusak total atau
sebagian;
 Kerugian secara ekonomi yang timbul akibat adanya aset yang rusak
sementara;
 Dampak yang dihasilkan pada pasca bencana kinerja makro-ekonomi, dengan
referensi khusus untuk pertumbuhan ekonomi/GDP, neraca pembayaran dan
situasi fiskal pemerintah
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjalin kerjasama
dengan Badan PBB untuk Pembangunan (UNDP), meluncurkan panduan
nasional kajian kebutuhan pasca bencana (Post Disaster Needs Assessment -
PDNA) Menurutnya, PDNA merupakan perpaduan antara DaLA dan HRNA.
DALA adalah metode penilaian kerusakan dan kerugian bencana. Sedangkan
HRNA adalah pengkajian kebutuhan pemulihan manusia.
Panduan ini akan menjadi panduan utama pemerintah dalam mengatasi
situasi pasca bencana. Indonesia adalah negara pertama yang memiliki panduan
pasca bencana. Untuk itu BNPB menamakan Ina-PDNA (Indonesia PDNA)
Menurut Peraturan Kepala BNPB No.17 Tahun 2010 entang Pedoman
Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana pasal 25 :
Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana (Post Disaster Needs Assessment /PDNA)
adalah suatu rangkaian kegiatan pengkajian dan penilaian akibat, analisis dampak,
dan perkiraan kebutuhan, yang menjadi dasar bagi penyusunan rencana aksi
rehabilitasi dan rekonstruksi. Pengkajian dan penilaian meliputi identifikasi dan
penghitungan kerusakan dan kerugian fisik dan non fisik yang menyangkut aspek
pembangunan manusia, perumahan atau pemukiman, infrastruktur, ekonomi,
sosial dan lintas sektor. Analisis dampak melibatkan tinjauan keterkaitan dan
aggregat dari akibat akibat bencana dan implikasi umumnya terhadap aspek-
aspek fisik dan lingkungan,
perekonomian, psikososial, budaya, politik dan kepemerintahan. Perkiraan
kebutuhan adalah penghitungan biaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Hasil assessment tersebut selanjutnya menjadi dasar penilaian kebutuhan
pasca bencana dan penyusunan rencana aksi rehabilitasi dan rekosntruksi wilayah
pasca bencana. “Didorong oleh kebutuhan akan adanya dokumen legal yang dapat
menjadi rujukan utama secara nasional bagi pelaksanaan pengkajian kebutuhan
pasca bencana yang komperhensif dan menjadi dasar perencanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana, sesuai dengan Peraturan Kepala BNPB nomor 17
tahun 2010”.
Penilaian pasca bencana meliputi :
1. Jumlah korban baik yang selamat maupun meninggal. Termasuk populasi
rentan lansia, ibu hamil, anak-anak dan penderita disabilitas.
2. Kerugian harta benda
3. Kerusakan sarana dan prasarana
4. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana
5. Dampak social ekonomi yang ditimbulkan
B. Surveilens Bencana
1. Definisi
Surveilans adalah kegiatan “analisis” yang sistematis dan berkesinambungan
melalui kegiatan pengumpulan dan pengolahan data serta penyebar luasan informasi
untuk pengambilan keputusan dan tindakan segera.
Surveilans Bencana adalah mengumpulkan data pada situasi bencana
,data yang dikumpulkan berupa jumlah korban meninggal, luka sakit, jenis luka,
pengobatan yang dilakukan, kebutuhan yang belum dipenuhi, jumlah korban anak-
anak, dewasa, lansia. Surveilans sangat penting untuk monitoring dan evaluasi dari
sebuah proses, sehingga dapat digunakan untuk menyusun kebijakan dan rencana
program.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa surveilans adalah pengamatan
secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek penyakit tertentu, baik
keadaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan
pencegahan dan penganggulangannya.
2. Tujuan surveilens
Tujuan Surveilans adalah untuk mendukung fungsi pelayanan bagi korban
bencana secara keseluruhan untuk menekan dampak negatif yang lebih besar.
1) Mengurangi jumlah kesakitan, resiko kecacatan dan kematian saat terjadi
bencana.
2) Mencegah atau mengurangi resiko munculnya penyakit menular dan
penyebarannya.
3) Mencegah atau Mengurangi resiko dan mengatasi dampak kesehatan lingkungan
akibat bencana(misalnya perbaikan sanitasi.)
3. Surveilans berperan dalam:
1) Saat Bencana : Rapid Health Assesment (RHA), melihat dampak-dampak apa saja
yang ditimbulkan oleh bencana, seperti berapa jumlah korban, barang-barang apa
saja yang dibutuhkan, peralatan apa yang harus
disediakan, berapa banyak pengungsi lansia, anak-anak, seberapa parah tingkat
kerusakan dan kondisi sanitasi lingkungan.
2) Setelah Bencana : Data-data yang akan diperoleh dari kejadian bencana harus
dapat dianalisis, dan dibuat kesimpulan berupa bencana kerja atau kebijakan,
misalnya apa saja yang harus dilakukan masyarakat untuk kembali dari
pengungsian, rekonstruksi dan rehabilitasi seperti apa yang harus diberikan.
3) Menentukan arah respon/penanggulangan dan menilai keberhasilan
respon/evaluasi.
4) Managemen Penanggulangan bencana meliputi Fase I untuk tanggap darurat, Fase
II untuk fase akut, Fase III untuk recovery (rehabilitasi dan rekonstruksi). Prinsip
dasar penaggunglangan bencana adalah pada tahap Preparedness atau
kesiapsiagaan sebelum terjadi bencana.
4. Surveilens Bencana meliputi :
1) Surveilans penyakit-penyakit terkait bencana, terutama penyakit menular. Di
lokasi pengungsian korban bencana, sangat perlu dilakukan survey penyakit-
penyakit yang ada, terutama penyakit menular. Dengan ini diharapkan nantinya
ada tindakan penanganan yang cepat agar tidak terjadi transmisi penyakit tersebut.
Ada 13 besar penyakit menular dan penyakit terkait bencana : Campak, DBD,
diare berdarah, diare biasa, hepatitis, ISPA, keracunan makanan, malaria,
penyakit kulit, pneumonia, tetanus, trauma (fisik), dan thypoid.
 Penyakit Menular Prioritas (dalam pengamatan dan pengendalian) :
a) Penyakit yang rentan epidemik (kondisi padat)
1) Kolera
2) Diare berdarah
3) Thypoid fever
4) Hepatitis
b) Penyakit dalam program pengendalian nasional
1) Campak
2) Tetanus
c) Penyakit endemis yang dapat meningkat paska bencana
1) Malaria
2) DBD
 Penyebab Utama Kesakitan & Kematian
1) Pnemonia
2) Diare
3) Malaria
4) Campak
5) Malnutrisi
6) Keracunan pangan
Mudahnya penyebaran penyakit pasca bencana dikarenakan oleh adanya
penyakit sebelum bencana, adanya perubahan ekologi karena bencana,
pengungsian, kepadatan penduduk di tempat pengungsian, dan rusaknya fasilitas
publik. Pengungsi yang termasuk kategori kelompok rentan yaitu bayi dan anak
balita, orang tua atau lansia, keluarga dengan kepala keluarga wanita, ibu hamil.
2) Surveilans data pengungsi
Data pengungsi meliputi data jumlah total pengungsi dan kepadatan di
tempat pengungsian, data pengungsi menurut lokasi, golongan umur, dan jenis
kelamin. Data dikumpulkan setiap minggu atau bulanan.
3) Surveilans kematian
Yang tercantum dalam data kematian meliputi nama, tempat atau barak,
umur, jenis kelamin, tanggal meninggal, diagnosis, gejala, identitas pelapor.
4) Surveilans rawat jalan
5) Surveilans air dan sanitasi
6) Surveilans gizi dan pangan
7) Surveilans epidemiologi pengungsi.
5. Upaya Penaggulangan Bencana meliputi;
1. Pra Bencana : Kelembagaan/koordinasi yang solid. SDM atau petugas kesehatan
yang terampil secara medik dan sosial dapat bekerjasama dengan siapapun.
Ketersediaan logistik seperti bahan,peralatan dan obat. Ketersediaan informasi
tentang bencana seperti daerah rawan dan beresiko terkena dampak, serta adanya
ketersediaan jaringan kerja lintas program dan sektor.
2. Ketika Bencana : Rapid Health assesment dilakukan dari hari terjadi bencana
sehingga 3 hari setelah bencana.
Pascabencana ; berdasarkan dari rapid health assesment untuk menentukan
langkah seterusnya seperti pengendalian penyakit menular
(ISPA,Diare,DBD,Chikungunya,Tifoid). Pelayanan kesehatan dasar, Surveilans
Masyarakat dan memperbaiki kesehatan lingkungan seperti air bersih,sanitasi
makanan dan pengelolaan sampah
3. Pascabencana ; berdasarkan dari rapid health assesment untuk menentukan
langkah seterusnya seperti pengendalian penyakit menular
(ISPA,Diare,DBD,Chikungunya,Tifoid). Pelayanan kesehatan dasar, Surveilans
Masyarakat dan memperbaiki kesehatan lingkungan seperti air bersih,sanitasi
makanan dan pengelolaan sampah
6. Membangun sistem Surveilans pada situasi bencana dapat dilakukan:
1) Sistem yang harus sederhana
2) Mencakup yang sangat Prioritas.
3) Melibatkan semua pihak
4) Mengutamakan unsur kecepatan
5) Didukung kecepatan respons.
Jadi Surveilans bencana sangat penting karena secara garis besar dapat
disimpulkan manfaatnya adalah:
a. Mencari faktor resiko ditempat pengungsian seperti air, sanitasi,
kepadatan, kualitas tempat penampungan.
b. Mengidentifikasi Penyebab utama kesakitan dan kematian sehingga dapat
diupayakan pencegahan.
c. Mengidentifikasi pengungsi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, wanita
hamil, sehingga lebih memperhatikan kesehatannya.
d. Pendataan pengungsi diwilayah, jumlah, kepadatan, golongan, umur, menurut
jenis kelamin.
e. Mengidentifikasi kebutuhan seperti gizi
7. Masalah Epidemiologi dalam Surveilans Bencana
a. Pertolongan terhadap kelaparan
Para ahli epidemiologi telah mengembangkan survei baru dan metode untuk
secara cepat menilai status nutrisi penduduk yang mengungsi, dan usaha
pertolongannya sebagai prioritas utama. Selanjutnya memonitor status nutrisi
populasi sebagai respon atas kualitas dan tipe makanan yang dibagikan. Perkiraaan
epidemiologi secara cepat membuktikan ketidak tersediaan secara optimal dari 13
distribusi makanan sementara kondisi kesehatan terus-menerus berubah. Sejak itulah,
pengawasan nutrisi dan distribusi makanan menjadi bagian dari usaha pertolongan
penanggulangan kelaparan, terhadap penduduk yang mengungsi.
b. Kontrol Epidemik / kantor pengaduan
Para epidemiologis selanjutnya mesti terlibat dalam aspek lain kondisi pasca
bencana, yaitu : Antisipasi berkembangnya desas-desus tentang penyebaran /
mewabahnya penyakit kolera ataupun typus. Untuk itulah sebuah kantor pengaduan
dapat memberikan fungsi yang amat penting dalam memonitor berkembangnya
issuissu yakni dengan menyelidiki yang benar-benar bermanfaat serta kemudian
menginformasikan kepada khalayak umum akan bahaya yang mungkin terjadi.
Konsep ini amat bermanfaat tidak hanya untuk penduduk terkena musibah dinegara-
negara berkembang tetapi juga terhadap lingkungan kota, negara-negara industri.
c. Surveilans Pencegahan Kematian, Sakit dan Cedera
Masalah kesehatan yang berkaitan dengan bencana besar biasanya lebih luas,
tidak hanya ketakutan terhadap penyakit-penyakit wabah yang mungkin terjadi,
namun sering diukur berapa jumlah orang yang meninggal, terluka parah atau berapa
banyak yang jatuh sakit.
d. Surveilans Kebutuhan Perawatan Kesehatan.
Pada bencana yang terkait dengan jumlah korban yang cukup banyak dengan
cedera yang berat (contoh : ledakan, tornado) ataupun penyakit yang parah
(kecelakaan nuklir, epidemi), maka kemampuan untuk mencegah kematian dan
menurunkan kesakitan yang berat akan sangat tergantung pada perawatan medis
yang tepat dan adekuat (memadai) atau tergantung pada pengiriman korban pada
pusat-pusat layanan yang menyediakan perawatan medis yang tepat.
e. Penelitian untuk menghindari tindakan tidak perlu
Setelah bencana banyak lembaga dan donor yang menawarkan bantuan
peralatan dan tenaga untuk usaha-usaha pertolongan yang tidak selalu sesuai dengan
kebutuhan. Sebagai contoh : pengiriman obat-obatan yang tidak penting, kadarluarsa
ataupun yang tidak berlabel pada daerah- daerah terkena bencana, seringkali justru
mengganggu usaha pertolongan sebab menyebabkan beberapa personil terpaksa harus
mengidentifikasi bantuan yang relevan dari sekumpulan material yang tidak
diperlukan.
f. Analisis Epidemiologi ;
Konsekuensi Pencegahan Kesehatan pada Bencana Yang Akan Datang Pada
beberapa bencana seperti ; gempa bumi, tornado ataupun angin ribut jumlah
kematian atau terluka parah terutama terjadi akibat kejadian bencana itu sendiri. Pada
masing-masing pencegahan ini strategi- strategi pencegahan sering
direkomendasikan, padahal belum melalui suatu penelitian epidemiologi yang
mendalam.
g. Analisis Peringatan dari Usaha Pertolongan
Konsekuensi bencana jangka panjang tidak cukup diperkirakan. Tidak ada
evaluasi dibuat 5 atau 10 tahun sesudah bencana untuk menentukan apakah perubahan
dalam epidemiologi atau praktik pertolongan, pengarahan ulang dana untuk tujuan
jangka panjang atau perubahan dari pola dan kebiasaan membuat bangunan, memiliki
pengaruh jangka panjang terhadap respon masyarakat terhadap bencana. Meskipun
demikian, kebanyakan
masyarakat yang mengalami bencana, lebih peduli terhadap usaha-usaha persiapan
dimasa yang akan datang
DAFTAR PUSTAKA

Marquis, N. L., & Huston, C. J. (2012). Leadership Roles and Management Function
in Nursing; Seventh Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Martono, S. (2014). "Pengalaman Perawat Dalam Pelayanan Kesehatan Pada


Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Merapi di Jawa Tengah."

Melinda Morton, M., MPH and M. J. Lee Levy, MSc (2011). "Challenges in Disaster
Data Collection during " Prehospital and Disaster Medicine Vol. 26(No. 3).

Morton, M. and L. Levy (2011). "Challenges In Disaster Data Collection During


Recent Disasters." Journal Prehospital and Disaster Medicine Vol. 6 No. 3.

Notoatmodjo, Soekidjo.2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni. Jakarta : Rineka


Cipta.

Pearson, C., & Care, W. (2002). Meeting the continuing education needs of rural
nurse in role transition. Journal of continuing in nursing 33(4), 174-179.

Anda mungkin juga menyukai