Anda di halaman 1dari 14

TUGAS KEPERAWATAN BENCANA

“ANALISIS PENILAIAN SISTEMATIS SEBELUM, SAAT, DAN SETELAH


BENCANA PADA KORBAN, SURVIVOR, POPULASI RENTAN DAN BERBASIS
KOMUNITAS”

OLEH :

NAMA : AA MADE AGUS DWI SUPRASTHA

NIM : C1118067

VII B KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BINA USADA BALI


2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami dan aktivitas
manusia, seperti letusan gunung, gempa bumi dan tanah longsor. Karena
ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat,
sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan
sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk
mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini
berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu
dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak
akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya
gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam"
juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa
keterlibatan manusia.
Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri,
mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa
tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia. Namun
demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki
kerentanan / kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak
yang hebat / luas jika manusia yang berada disana memiliki ketahanan terhadap
bencana (disaster resilience).
Tujuan dari pengembangan sistem peringatan dini yang berbasis masyarakat
adalah untuk memberdayakan individu dan masyarakat yang terancam bahaya untuk
bertindak dalam waktu yang cukup dan dengan cara - cara yang tepat untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya korban luka, hilangnya jiwa, serta rusaknya
harta benda dan lingkungan.
Sistem peringatan dini yang lengkap dan efektif terdiri atas empat unsur yang
saling terkait, mulai dari pengetahuan tentang bahaya dan kerentanan, hingga
kesiapan dan kemampuan untuk menanggulangi. Pengalaman baik dari sistem
peringatan dini juga memiliki hubungan antar-ikatan yang kuat dan saluran
komunikasi yang efektif di antara semua elemen tersebut.
Konsep ketahanan bencana merupakan evaluasi kemampuan sistem dan
infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan -
tantangan serius yang hadir. Dengan 3 demikian meskipun daerah tersebut rawan
bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketetahanan
terhadap bencana yang cukup. Terjadinya bencana alam tidak dapat di prediksi. Oleh
karena itu, dibutuhkan surveilans untuk meminimalisir kerusakan dan korban.
Surveilans bencana dilakukan sebelum bencana terjadi, saat bencana dan sesudah
terjadinya bencana.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, dan setelah Bencana pada Korban,
Survivor, Populasi Rentan dan Berbasis Komunitas?

1.3 Tujuan Penulisan


Mengetahui Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, dan setelah Bencana pada Korban,
Survivor, Populasi Rentan dan Berbasis Komunitas.

1.4 Manfaat Penulisan


Bisa lebih mengetahui dan memahami bagaimana tentang hal Penilaian Sistematis
Sebelum, Saat, dan setelah Bencana pada Korban, Survivor, Populasi Rentan dan
Berbasis Komunitas.
BAB II

PEMBAHASA

2.1 Pengertian Penilaian Sistematis


Menurut Eko Putro Widoyoko, 2012: 3, Penilaian ialah sebagai kegiatan
menafsirkan data hasil pengukuran berdasarkan kriteria dan aturan-aturan tertentu.
Penilaian memberikan informasi lebih konprehensif dan lengkap dari pada
pengukuran, karena tidak hanya mengunakan instrument tes saja, melainkan
mengunakan tekhnik non tes lainya. Penilaian merupakan kegiatan mengambil
keputusan dalam menentukan sesuatu berdasarkan kriteria baik dan buruk serta
bersifat kualitatif.
Sistematis adalah bentuk usaha menguraikan serta merumuskan sesuatu hal
dalam konteks hubungan yang logis serta teratur sehingga membentuk system secara
menyeluruh, utuh dan terpadu yang mampu menjelaskan berbagai rangkaian sebab
akibat yang terkait suatu objek tertentu (Abdulkadir Muhammad : 2004).
Jadi penilaian sistematis adalah kegiatan dan proses pengumpulan data data
dan informasi yang bersifat kualitatif yang disusun secara berurutan, utuh dan terpadu
untuk menjelaskan berbagai rangkaian sebab akibat terkait suatu objek tertentu.
Penialain sistematis pada bencana ialah kegiatan mengumpulkan data dan
informasi yang berkaitan dengan bencana yang termasuk didalamnya bentuk bencana,
lokasi, dampak, korban, dan usaha dalam menghadapi bencana sebelum, saat dan
setelah terjadinya bencana. Penilaian sistematis ini disusun untuk memberikan
gambaran mengenai resiko dan dampak yang akan dialami jika terjadi bencana.

2.2 Penilaian sebelum bencana pada korban, survivor, populasi rentan dan berbasis
masyarakat.
Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan kegiatan
pasca bencana (post event) berupa emergency response dan recovery daripada
kegiatan sebelum bencana berupa disaster reduction/mitigation dan disaster
preparedness. Padahal, apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-
kegiatan sebelum bencana, kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian (damages)
yang mungkin timbul ketika bencana.
Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah
mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana.Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan
pelaksanaan tindakan-
tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan
sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan
resiko jangka panjang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan
memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti
membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta
memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor,
penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan
dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana
dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui
perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan
pemerintah daerah.

2.3 Pemahaman Tentang Kerentanan Masyarakat Kerentanan (vulnerability).


Adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang menyebabkan
ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman. Penilaian kerentanan ini dapat
berupa :
1. Kerentanan Fisik
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya tahan
menghadapi bahaya tertentu, misalnya: kekuatan bangunan rumah bagi
masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya tanggul pengaman
banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan sebagainya.
2. Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan
tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat atau
daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena
tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan
upaya pencegahan atau mitigasi bencana.
3. Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap
ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang
risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian
pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan
menghadapi bahaya.
4. Kerentanan Lingkungan
Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan.
Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu
terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau
pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan sebagainya.

2.4 Penilaian saat bencana


Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat bencana
sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses peringatan dini, maupun tanpa
peringatan atau terjadi secara tiba-tba. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah
seperti tanggap darurat untuk dapat mengatasi dampak bencana dengan cepat dan
tepat agar jumlah korban atau kerugian dapat diminimalkan.
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan,
yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta
pemulihan sarana prasarana. Tindakan ini dilakukan oleh Tim penanggulangan
bencana yang dibentuk dimasing-masing daerah atau organisasi.
Menurut PP No. 11, langkah-langkah yang dilakukan dalam kondisi tanggap
darurat antara lain:
a. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumberdaya,
sehingga dapat diketahui dan diperkirakan magnitude bencana, luas area yang
terkena dan perkiraan tingkat kerusakannya.
b. Penentuan status keadaan darurat bencana.
c. Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana sehingga dapat
pula ditentukan status keadaan darurat. Jika tingkat bencana terlalu besar dan
berdampak luas, mungkin bencana tersebut dapat digolongkan sebagai bencana
nasional.
1. Penilaian korban

Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas
yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan
Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma
yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera
(kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis,
intensif,
ditujukan untuk menghambat kematian kemudian, late, karena trauma yang terjadi
dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).

Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer, resusitasi-


stabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai.
Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang
diketahui pada awal proses.

Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis
segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas
transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih
berdasar prioritas atau penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan
prioritas ABCDE yang merupakan proses yang sinambung sepanjang pengelolaan
gawat darurat medik. Proses triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama
yang tiba
/ berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena status
triase pasien dapat berubah. Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan
retriase.

2. Penilaian lingkungan

Bencana menyebabkan kerusakan yang serius termasuk didalamnya akibat


fenomena alam luar biasa dan/atau disebabkan oleh ulah manusia yang
menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerugian material dan kerusakan
lingkungan yang dampaknya melampaui kemampuan masyarakat setempat untuk
mengatasinya dan membutuhkan bantuan dari luar. Adapun penilaian lingkungan
pada saat terjadi bencana adalah :

a. Daerah rawan yang kemungkinan akan terjadi bencana susulan. Seperti


tsunami setelah gempa, tanah longsor setelah banjir atau hujan deras,
aliran lava dan abu vulkanik saat terjadi letusan gunung berapi dan
rubuhnya bangunan setelah terkena guncangan gempa.
b. Tempat pengungsian yang aman untuk pertolongan pertama pada korban
bencana.
2.5 Penilaian setelah bencana
Penilaian kerusakan, kerugian dan kebutuhan sumber daya dilakukan pada
minggu terakhir masa tanggap darurat atau setelah masa tanggap darurat dinyatakan
berakhir. Penilaian dilakukan melalui persiapan, pengumpulan data, analisis data dan
pelaporan. Hasil assessment tersebut menjadi data dan informasi penting untuk
melakukan perbaikan sumber daya. Ketahanan masyarakat yang hidup di daerah
rawan bencana menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Program
penguatan tersebut harus berdasarkan data dan pengalaman serta didukung adanya
kebijakan terkait penanggulangan krisis pasca bencana. Oleh karena itu diperlukan
suatu acuan dalam melakukan penilaian kerusakan, kerugian serta kebutuhan pasca
bencana.
Damage and Loss Assessment (DaLA) biasanya dibuat setelah terjadinya
bencana. Metodologi standar DaLA dikembangkan oleh Komisi Ekonomi UN untuk
Amerika Latin dan Karibia (UN-ECLAC) pada tahun 1972, dan telah berkembang
melalui berbagai macam organisasi internasional. Secara sederhana, DaLA
merupakan metodologi untuk mengukur dampak dan kerugian yang diakibatkan oleh
bencana, berdasarkan perhitungan ekonomi suatu negara dan kebutuhan penghidupan
individu untuk menentukan kebutuhan pemulihan dan rekonstruksi. Penilaian Damage
and Loss Assessment meliputi sebagai berikut :
1) Kerusakan dihitung sebagai pengganti nilai aset fisik yang rusak total atau
sebagian
2) Kerugian secara ekonomi yang timbul akibat adanya aset yang rusak sementara
3) Dampak yang dihasilkan pada pasca bencana kinerja makro-ekonomi, dengan
referensi khusus untuk pertumbuhan ekonomi/GDP, neraca pembayaran dan
situasi fiskal pemerintah.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjalin kerjasama dengan


Badan PBB untuk Pembangunan (UNDP), meluncurkan panduan nasional kajian
kebutuhan pasca bencana (Post Disaster Needs Assessment - PDNA) Menurutnya,
PDNA merupakan perpaduan antara DaLA dan HRNA. DALA adalah metode
penilaian kerusakan dan kerugian bencana. Sedangkan HRNA adalah pengkajian
kebutuhan pemulihan manusia.
Panduan ini akan menjadi panduan utama pemerintah dalam mengatasi situasi
pasca bencana. Indonesia adalah negara pertama yang memiliki panduan pasca
bencana. Untuk itu BNPB menamakan Ina-PDNA (Indonesia PDNA)

Menurut Peraturan Kepala BNPB No.17 Tahun 2010 entang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana pasal 25 : Pengkajian
Kebutuhan Pasca Bencana (Post Disaster Needs Assessment /PDNA) adalah suatu
rangkaian kegiatan pengkajian dan penilaian akibat, analisis dampak, dan perkiraan
kebutuhan, yang menjadi dasar bagi penyusunan rencana aksi rehabilitasi dan
rekonstruksi. Pengkajian dan penilaian meliputi identifikasi dan penghitungan
kerusakan dan kerugian fisik dan non fisik yang menyangkut aspek pembangunan
manusia, perumahan atau pemukiman, infrastruktur, ekonomi, sosial dan lintas sektor.
Analisis dampak melibatkan tinjauan keterkaitan dan aggregat dari akibat akibat
bencana dan implikasi umumnya terhadap aspek-aspek fisik dan lingkungan,
perekonomian, psikososial, budaya, politik dan kepemerintahan. Perkiraan kebutuhan
adalah penghitungan biaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi.

2.6 Penilaian Pasca Bencana


Hasil assessment tersebut selanjutnya menjadi dasar penilaian kebutuhan pasca
bencana dan penyusunan rencana aksi rehabilitasi dan rekosntruksi wilayah pasca
bencana. “Didorong oleh kebutuhan akan adanya dokumen legal yang dapat menjadi
rujukan utama secara nasional bagi pelaksanaan pengkajian kebutuhan pasca bencana
yang komperhensif dan menjadi dasar perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca
bencana, sesuai dengan Peraturan Kepala BNPB nomor 17 tahun 2010”. Penilaian
pasca bencana meliputi :
a. Jumlah korban baik yang selamat maupun meninggal. Termasuk populasi
rentan lansia, ibu hamil, anak-anak dan penderita disabilitas.
b. Kerugian harta benda.
c. Kerusakan sarana dan prasarana.
d. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana.
e. Dampak social ekonomi yang ditimbulkan.
2.7 Surveilens Bencana
1. Definisi
Surveilans adalah kegiatan “analisis” yang sistematis dan berkesinambungan
melalui kegiatan pengumpulan dan pengolahan data serta penyebar luasan
informasi untuk pengambilan keputusan dan tindakan segera.
Surveilans Bencana adalah mengumpulkan data pada situasi bencana ,data
yang dikumpulkan berupa jumlah korban meninggal, luka sakit, jenis luka,
pengobatan yang dilakukan, kebutuhan yang belum dipenuhi, jumlah korban
anak-anak, dewasa, lansia. Surveilans sangat penting untuk monitoring dan
evaluasi dari sebuah proses, sehingga dapat digunakan untuk menyusun kebijakan
dan rencana program.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa surveilans adalah pengamatan
secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek penyakit tertentu, baik
keadaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk
kepentingan pencegahan dan penganggulangannya.
2. Tujuan surveilens
Tujuan Surveilans adalah untuk mendukung fungsi pelayanan bagi korban
bencana secara keseluruhan untuk menekan dampak negatif yang lebih besar.
1) Mengurangi jumlah kesakitan, resiko kecacatan dan kematian saat terjadi
bencana.
2) Mencegah atau mengurangi resiko munculnya penyakit menular dan
penyebarannya.
3) Mencegah atau Mengurangi resiko dan mengatasi dampak kesehatan
lingkungan akibat bencana (misalnya perbaikan sanitasi).
3. Surveilans berperan dalam
A. Saat Bencana : Rapid Health Assesment (RHA), melihat dampak-dampak
apa saja yang ditimbulkan oleh bencana, seperti berapa jumlah korban,
barang-barang apa saja yang dibutuhkan, peralatan apa yang harus
disediakan, berapa banyak pengungsi lansia, anak-anak, seberapa parah
tingkat kerusakan dan kondisi sanitasi lingkungan.
B. Setelah Bencana : Data-data yang akan diperoleh dari kejadian bencana
harus dapat dianalisis, dan dibuat kesimpulan berupa bencana kerja atau
kebijakan, misalnya apa saja yang harus dilakukan masyarakat untuk
kembali dari pengungsian, rekonstruksi dan rehabilitasi seperti apa yang
harus diberikan.
C. Menentukan arah respon/penanggulangan dan menilai keberhasilan
respon/evaluasi.
D. Managemen Penanggulangan bencana meliputi Fase I untuk tanggap
darurat, Fase II untuk fase akut, Fase III untuk recovery (rehabilitasi dan
rekonstruksi). Prinsip dasar penaggunglangan bencana adalah pada tahap
Preparedness atau kesiapsiagaan sebelum terjadi bencana.
4. Surveilens Bencana meliputi
a. Surveilans penyakit-penyakit terkait bencana, terutama penyakit menular.
Di lokasi pengungsian korban bencana, sangat perlu dilakukan survey
penyakit-penyakit yang ada, terutama penyakit menular. Dengan ini
diharapkan nantinya ada tindakan penanganan yang cepat agar tidak
terjadi transmisi penyakit tersebut. Ada 13 besar penyakit menular dan
penyakit terkait bencana : Campak, DBD, diare berdarah, diare biasa,
hepatitis, ISPA, keracunan makanan, malaria, penyakit kulit, pneumonia,
tetanus, trauma (fisik), dan thypoid.
 Penyakit Menular Prioritas (dalam pengamatan dan pengendalian) :
a) Penyakit yang rentan epidemik (kondisi padat)
a. Kolera
b. Diare berdarah
c. Thypoid fever
d. Hepatitis
b) Penyakit dalam program pengendalian nasional
a. Campak
b. Tetanus
c) Penyakit endemis yang dapat meningkat paska bencana
a. Malaria
b. DBD
 Penyebab Utama Kesakitan & Kematian
1. Pnemonia
2. Diare
3. Malaria
4. Campak
5. Malnutrisi
6. Keracunan pangan
Mudahnya penyebaran penyakit pasca bencana dikarenakan oleh adanya
penyakit sebelum bencana, adanya perubahan ekologi karena bencana,
pengungsian, kepadatan penduduk di tempat pengungsian, dan rusaknya
fasilitas publik. Pengungsi yang termasuk kategori kelompok rentan yaitu
bayi dan anak balita, orang tua atau lansia, keluarga dengan kepala
keluarga wanita, ibu hamil.
b. Surveilans data pengungsi Data pengungsi meliputi data jumlah total
pengungsi dan kepadatan di tempat pengungsian, data pengungsi menurut
lokasi, golongan umur, dan jenis kelamin. Data dikumpulkan setiap
minggu atau bulanan.
c. Surveilans kematian Yang tercantum dalam data kematian meliputi nama,
tempat atau barak, umur, jenis kelamin, tanggal meninggal, diagnosis,
gejala, identitas pelapor.
d. Surveilans rawat jalan.
e. Surveilans air dan sanitasi.
f. Surveilans gizi dan pangan.
g. Surveilans epidemiologi pengungsi.

2.8 Upaya Penaggulangan Bencana meliputi


a. Pra Bencana : Kelembagaan/koordinasi yang solid. SDM atau petugas
kesehatan yang terampil secara medik dan sosial dapat bekerjasama dengan
siapapun. Ketersediaan logistik seperti bahan,peralatan dan obat. Ketersediaan
informasi tentang bencana seperti daerah rawan dan beresiko terkena dampak,
serta adanya ketersediaan jaringan kerja lintas program dan sektor.
b. Ketika Bencana : Rapid Health assesment dilakukan dari hari terjadi bencana
sehingga 3 hari setelah bencana.
c. Pasca bencana ; berdasarkan dari rapid health assesment untuk menentukan
langkah seterusnya seperti pengendalian penyakit menular (ISPA, Diare,
DBD, Chikungunya, Tifoid). Pelayanan kesehatan dasar, Surveilans
Masyarakat dan memperbaiki kesehatan lingkungan seperti air bersih sanitasi
makanan dan pengelolaan sampah.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penilaian sistematis adalah kegiatan dan proses pengumpulan data data dan
informasi yang bersifat kualitatif yang disusun secara berurutan, utuh dan terpadu
untuk menjelaskan berbagai rangkaian sebab akibat terkait suatu objek tertentu.
Penilain sistematis pada bencana ialah kegiatan mengumpulkan datadan informasi
yang berkaitan dengan bencana yang termasuk didalamnya bentuk bencana, lokasi,
dampak, korban, dan usaha dalam menghadapi bencana sebelum, saat dan setelah
terjadinya bencana. Penilaian sistematis ini disusun untuk memberikan gambaran
mengenai resiko dan dampak yang akan dialami jika terjadi bencana.

Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan kegiatan


pasca bencana (post event) berupa emergency response dan recovery daripada
kegiatan sebelum bencana berupa disaster reduction/mitigation dan disaster
preparedness. Padahal, apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-
kegiatan sebelum bencana, kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian
(damages) yang mungkin timbul ketika bencana.
Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah
mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana.Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan
pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu
bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan
tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan
memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti
membuat kode bangunan, desain rekayasa, dankonstruksi untuk menahan serta
memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor,
penahan dinding pantai,dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat
dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah
bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui
melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan
masyarakat dan pemerintah daerah.
3.2 Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini
akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki.
Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan sebagai bahan
evaluasi untuk kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai