Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Penilaian Sistematis


Penilaian ialah sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran
berdasarkan kriteria dan aturan-aturan tertentu. Penilaian memberikan
informasi lebih konprehensif dan lengkap dari pada pengukuran,
karena tidak hanya mengunakan instrument tes saja, melainkan
mengunakan tekhnik non tes lainya. Penilaian merupakan kegiatan
mengambil keputusan dalam menentukan sesuatu berdasarkan kriteria
baik dan buruk serta bersifat kualitatif
Sistematis adalah bentuk usaha menguraikan serta merumuskan
sesuatu hal dalam konteks hubungan yang logis serta teratur sehingga
membentuk system secara menyeluruh, utuh dan terpadu yang mampu
menjelaskan berbagai rangkaian sebab akibat yang terkait suatu objek
tertentu. Jadi penilaian sistematis adalah kegiatan dan proses
pengumpulan data data dan informasi yang bersifat kualitatif yang
disusun secara berurutan, utuh dan terpadu untuk menjelaskan
berbagai rangkaian sebab akibat terkait suatu objek tertentu.
Penialain sistematis pada bencana ialah kegiatan mengumpulkan
data dan informasi yang berkaitan dengan bencana yang termasuk
didalamnya bentuk bencana, lokasi, dampak, korban, dan usaha dalam
menghadapi bencana sebelum, saat dan setelah terjadinya bencana.
Penilaian sistematis ini disusun untuk memberikan gambaran
mengenai resiko dan dampak yang akan dialami jika terjadi bencana.
1. Penilaian sebelum bencana pada korban, survivor, populasi
rentan dan berbasis masyarakat.
Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak
melakukan kegiatan pasca bencana (post event) berupa emergency
response dan recovery daripada kegiatan sebelum bencana berupa
disaster reduction/mitigation dan disaster preparedness. Padahal,
apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan
sebelum bencana, kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian
(damages) yang mungkin timbul ketika bencana.
Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya
dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk
meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.Mitigasi
bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-
tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu
bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk
kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka
panjang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi
struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang
berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan,
desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta
memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan
penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu
upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural,
diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara
membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui
perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan
masyarakat dan pemerintah daerah.
 Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama,
yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan
a. Penilaian bahaya (hazard)
Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia
merupakan Negara dengan potensi bahaya (hazard potency)
yang sangat tinggi dan beragam baik berupa bencana alam,
bencana ulah manusia ataupun kedaruratan kompleks.
Beberapa potensi tersebut antara lain adalah gempa bumi,
tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor,kekeringan,
kebakaran lahan dan hutan, kebakaran perkotaan dan
permukiman, angin badai, wabah penyakit, kegagalan
teknologi dan konflik sosial. Potensi bencana yang ada di
Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama,
yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya
ikutan (collateral hazard).
Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat
dilihat antara lain pada peta rawan bencana gempa di Indonesia
yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan
zona-zona gempa yangrawan, peta kerentanan bencana tanah
longsor, peta daerah bahayabencana letusan gunung api, peta
potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-
lain.
Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk
mengidentifikasi populasi dan aset yang terancam, serta tingkat
ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang
karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana,
serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini
menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk
merancang kedua unsur mitigasi lainnya.
Penilaian risiko bencana / bahaya dibedakan berdasarkan
karakteristik utama yaitu :
1. Penyebab : alam atau ulah manusia
2. Frekuensi : berapa sering terjadinya
3. Durasi : beberapa durasinya terbatas seperti pada
ledakan sedang lainnya mungkin lebih lama seperti
banjir dan epidemic.
4. Kecepatan onset : bisa muncul mendadak hingga sedikit
atau tidak ada pemberitahuan yang bisa diberikan atau
bertahap seperti pada banjir (kecuali banjir bandang)
memungkinkan cukup waktu untuk pemberitahuan dan
mungkin tindakan pencegahan atau peringatan. Ini
mungkin berulang dalam periode waktu tertentu seperti
pada gempa bumi.
5. Luasnya dampak : bisa terbatas dan mengenai hanya
area tertentu atau kelompok masyarakat tertentu atau
menyeluruh mengenai masyarakat luas mengakibatkan
kerusakan merata pelayanan dan fasilitas.
6. Potensi merusak : kemampuan penyebab bencana
menimbulkan tingkat kerusakan tertentu (berat, sedang
atau ringan) serta jenis (cedera manusia atau kerusakan
harta benda) dari kerusakan.
b. Peringatan (warning)
Setelah mendapat pemetaan daerah rawan bencana
selanjutnya dibutuhkan system peringatan dini (Early Warning
System) melalui BMKG. Sistem Peringatan Dini (Early
Warning System) merupakan serangkaian sistem untuk
memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa
bencana maupun tanda-tanda alam lainnya. Peringatan dini
pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan
memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh
masyarakat. Dalam keadaan kritis, secara umum peringatan
dini yang merupakan penyampaian informasi tersebut
diwujudkan dalam bentuk sirine, kentongan dan lain
sebagainya. Namun demikian menyembunyikan sirine
hanyalah bagian dari bentuk penyampaian informasi yang perlu
dilakukan karena tidak ada cara lain yang lebih cepat untuk
mengantarkan informasi ke masyarakat.
Semakin dini informasi yang disampaikan, semakin longgar
waktu bagi penduduk untuk meresponnya.
Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi
peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan
mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh
gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb).
Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi
sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran
komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang
berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana
yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat,
tepat dan dipercaya.
Hal-hal yang perlu dinilai dalam proses peringatan/warning
sebelum bencana adalah :
1. Tersedianya system dan akses komunikasi yang
memadai dan mencakup seluruh daerah khususnya
didaerah resiko tinggi bencana alam seperti daerah yang
dilewati lempeng/patahan pemicu gempa dan tsunami,
dataran tinggi yang rawan longsor, dan daerah dataran
rendah yang berdekatan dengan sungai yang rawan
banjir bandang. Hal ini diperlukan dalam penyampaian
informasi secara cepat dan akurat dari sumber
terpercaya.
2. Pengetahuan masyarakat dalam menerima informasi
bencana yang akan terjadi yang termasuk didalamnya
menjangkau tempat perlindungan yang aman
secepatnya setelah peringatan diberikan.
3. System sensor pendeteksi (peralatan EWS) gempa,
tsunami dan letusan gunung berapi yang dipasang di
area area patahan apakah bekerja baik dan real time.
Sehingga mempercepat penyampaian informasi.
c. Persiapan (preparedness)
Persiapan rencana untuk bertindak ketika terjadi(atau
kemungkinan akan terjadi) bencana. Perencanaan terdiri dari
perkiraan terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam keadaan
darurat dan identifikasi atas sumber daya yang ada untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Perencanaan ini dapat
mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman.
Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi
sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang
membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan
terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan
untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan
saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan
pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat
menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan
lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan
lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya
bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan
untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan
melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).
Penilaian dalam kegiatan persiapan ini meliputi :
a. Tersedianya jalur evakuasi yang jelas dan bisa
dijangkau oleh masyarakat.
b. Fasilitas pelayanan public terutama fasilitas kesehatan
yang akan menjadi tempat rujukan bila terjadi bencana.
c. Kesiapan dan pengetahuan masyarakat di daerah rawan
bencana dalam menghadapi dan menyelamatkan diri
saat terjadi bencana. Kegiatannya berisi simulasi dan
pelatihan bencana.
 Pemahaman Tentang Kerentanan Masyarakat Kerentanan
(vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi
bahaya atau ancaman. Penilaian kerentanan ini dapat berupa:
 Kerentanan Fisik
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki
masyarakat berupa daya tahan menghadapi bahaya
tertentu, misalnya: kekuatan bangunan rumah bagi
masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya
tanggul pengaman banjir bagi masyarakat yang tinggal
di bantaran sungai dan sebagainya.
 Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat
sangat menentukan tingkat kerentanan terhadap
ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat atau
daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan
terhadap bahaya, karena tidak mempunyai kemampuan
finansial yang memadai untuk melakukan upaya
pencegahan atau mitigasi bencana.
 Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat
kerentanan terhadap ancaman bahaya. Dari segi
pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko
bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat
kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan
masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan
menghadapi bahaya.
 Kerentanan Lingkungan
Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat
mempengaruhi kerentanan. Masyarakat yang tinggal di
daerah yang kering dan sulit air akan selalu terancam
bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng
bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman
bencana tanah longsor dan sebagainya.
2. Penilaian saat bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana
adalah saat bencana sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui
proses peringatan dini, maupun tanpa peringatan atau terjadi secara
tiba-tba. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah seperti
tanggap darurat untuk dapat mengatasi dampak bencana dengan
cepat dan tepat agar jumlah korban atau kerugian dapat
diminimalkan.
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan sarana prasarana. Tindakan ini
dilakukan oleh Tim penanggulangan bencana yang dibentuk
dimasing-masing daerah atau organisasi.
Menurut PP No. 11, langkah-langkah yang dilakukan dalam
kondisi tanggap darurat antara lain:
a) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,
dan sumberdaya, sehingga dapat diketahui dan diperkirakan
magnitude bencana, luas area yang terkena dan perkiraan
tingkat kerusakannya.
b) Penentuan status keadaan darurat bencana.
c) Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana
sehingga dapat pula ditentukan status keadaan darurat. Jika
tingkat bencana terlalu besar dan berdampak luas, mungkin
bencana tersebut dapat digolongkan sebagai bencana nasional.

3. Penilaian korban
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel
merupakan tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti
hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan
untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa
terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera
(kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma.
Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian
kemudian, late, karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari
hingga beberapa minggu setelah trauma).
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei
primer, resusitasi-stabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif
atau transfer ke RS sesuai. Diagnostik absolut tidak dibutuhkan
untuk menindak keadaan klinis kritis yang diketahui pada awal
proses.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar
beratnya cedera atau penyakit (berdasarkan yang paling mungkin
akan mengalami perburukan klinis segera) untuk menentukan
prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi
(berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih
berdasar prioritas atau penyebab ancaman hidup. Tindakan ini
berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan proses yang
sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses
triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba /
berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus
karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi memburuk
atau membaik, lakukan retriase.
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase.
Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage
tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START
(Simple Triage And Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan
sarana transportasi saat bencana mengakibatkan kombinasi
keduanya lebih layak digunakan.
a) Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai
oleh petugas triase untuk mengindentifikasi dan mencatat
kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
a) Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
 Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang
jelas dan tidak mungkin diresusitasi.
 Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang
memerlukan penilaian cepat serta tindakan medik dan
transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas,
cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial
berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
 Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan,
namun dengan cedera yang kurang berat dan dipastikan
tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat.
Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan
yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada
tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok,
cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat, serta
luka bakar ringan).
 Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang
tidak membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan
pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang
berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi
ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan
nafas, serta gawat darurat psikologis).
 Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan
prioritas 0 sebagai Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok
korban dengan cedera atau penyaki kritis dan berpotensi
fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan
transportasi, dan
 Prioritas Kelima (Putih) yaitu kelompok yang sudah pasti
tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag /
label yang sesuai dan pindahkan kekelompok sesuai.
b) Triase Sistem Penuntun Lapangan START
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati
ventilasi, perfusi, dan status mental (RPM : R= status
Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk
memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging)
yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak
mungkin diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan penolong
secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko
besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan
transport segera. Resusitasi diambulans
c) Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna
yang sejenis bisa digunakan sebagai bagian dari Penuntun
Lapangan START. Resusitasi di ambulans atau di Area
Tindakan Utama sesuai keadaan.
4. Penilaian lingkungan
Bencana menyebabkan kerusakan yang serius termasuk
didalamnya akibat fenomena alam luar biasa dan/atau disebabkan
oleh ulah manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa,
kerugian material dan kerusakan lingkungan yang dampaknya
melampaui kemampuan masyarakat setempat untuk mengatasinya
dan membutuhkan bantuan dari luar.
Adapun penilaian lingkungan pada saat terjadi bencana adalah :
1. Daerah rawan yang kemungkinan akan terjadi bencana susulan.
Seperti tsunami setelah gempa, tanah longsor setelah banjir
atau hujan deras, aliran lava dan abu vulkanik saat terjadi
letusan gunung berapi dan rubuhnya bangunan setelah terkena
guncangan gempa.
2. Tempat pengungsian yang aman untuk pertolongan pertama
pada korban bencana

5. Penilaian setelah bencana


Penilaian kerusakan, kerugian dan kebutuhan sumber daya
dilakukan pada minggu terakhir masa tanggap darurat atau setelah
masa tanggap darurat dinyatakan berakhir. Penilaian dilakukan
melalui persiapan, pengumpulan data, analisis data dan
pelaporan. Hasil assessment tersebut menjadi data dan informasi
penting untuk melakukan perbaikan sumber daya. Ketahanan
masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana menjadi tanggung
jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Program penguatan
tersebut harus berdasarkan data dan pengalaman serta didukung
adanya kebijakan terkait penanggulangan krisis pasca bencana.
Oleh karena itu diperlukan suatu acuan dalam melakukan penilaian
kerusakan, kerugian serta kebutuhan pasca bencana.
Damage and Loss Assessment (DaLA) biasanya dibuat
setelah terjadinya bencana. Metodologi standar DaLA
dikembangkan oleh Komisi Ekonomi UN untuk Amerika Latin dan
Karibia (UN-ECLAC) pada tahun 1972, dan telah berkembang
melalui berbagai macam organisasi internasional. Secara
sederhana, DaLA merupakan metodologi untuk mengukur dampak
dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana, berdasarkan
perhitungan ekonomi suatu negara dan kebutuhan penghidupan
individu untuk menentukan kebutuhan pemulihan dan rekonstruksi.
Penilaian Damage and Loss Assessment meliputi sebagai berikut :
 Kerusakan dihitung sebagai pengganti nilai aset fisik yang
rusak total atau sebagian;
 Kerugian secara ekonomi yang timbul akibat adanya aset yang
rusak sementara;
 Dampak yang dihasilkan pada pasca bencana kinerja makro-
ekonomi, dengan referensi khusus untuk pertumbuhan
ekonomi/GDP, neraca pembayaran dan situasi fiskal
pemerintah
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
menjalin kerjasama dengan Badan PBB untuk Pembangunan
(UNDP), meluncurkan panduan nasional kajian kebutuhan pasca
bencana (Post Disaster Needs Assessment - PDNA) Menurutnya,
PDNA merupakan perpaduan antara DaLA dan HRNA. DALA
adalah metode penilaian kerusakan dan kerugian bencana.
Sedangkan HRNA adalah pengkajian kebutuhan pemulihan
manusia.
Panduan ini akan menjadi panduan utama pemerintah
dalam mengatasi situasi pasca bencana. Indonesia adalah negara
pertama yang memiliki panduan pasca bencana. Untuk itu BNPB
menamakan Ina-PDNA (Indonesia PDNA)
Menurut Peraturan Kepala BNPB No.17 Tahun 2010
entang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pasca Bencana pasal 25 : Pengkajian Kebutuhan
Pasca Bencana (Post Disaster Needs Assessment /PDNA) adalah
suatu rangkaian kegiatan pengkajian dan penilaian akibat, analisis
dampak, dan perkiraan kebutuhan, yang menjadi dasar bagi
penyusunan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi. Pengkajian
dan penilaian meliputi identifikasi dan penghitungan kerusakan
dan kerugian fisik dan non fisik yang menyangkut aspek
pembangunan manusia, perumahan atau pemukiman, infrastruktur,
ekonomi, sosial dan lintas sektor. Analisis dampak melibatkan
tinjauan keterkaitan dan aggregat dari akibat akibat bencana dan
implikasi umumnya terhadap aspek-aspek fisik dan lingkungan,
perekonomian, psikososial, budaya, politik dan kepemerintahan.
Perkiraan kebutuhan adalah penghitungan biaya yang diperlukan
untuk menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Hasil assessment tersebut selanjutnya menjadi dasar penilaian
kebutuhan pasca bencana dan penyusunan rencana aksi rehabilitasi
dan rekosntruksi wilayah pasca bencana. “Didorong oleh
kebutuhan akan adanya dokumen legal yang dapat menjadi rujukan
utama secara nasional bagi pelaksanaan pengkajian kebutuhan
pasca bencana yang komperhensif dan menjadi dasar perencanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, sesuai dengan
Peraturan Kepala BNPB nomor 17 tahun 2010”.
Penilaian pasca bencana meliputi :
1. Jumlah korban baik yang selamat maupun meninggal.
Termasuk populasi rentan lansia, ibu hamil, anak-anak dan
penderita disabilitas.
2. Kerugian harta benda
3. Kerusakan sarana dan prasarana
4. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana
5. Dampak social ekonomi yang ditimbulkan

B. Surveilens Bencana
Surveilans adalah kegiatan “analisis” yang sistematis dan
berkesinambungan melalui kegiatan pengumpulan dan pengolahan
data serta penyebar luasan informasi untuk pengambilan keputusan dan
tindakan segera.
Surveilans Bencana adalah mengumpulkan data pada situasi
bencana ,data yang dikumpulkan berupa jumlah korban meninggal,
luka sakit, jenis luka, pengobatan yang dilakukan, kebutuhan yang
belum dipenuhi, jumlah korban anak-anak, dewasa, lansia. Surveilans
sangat penting untuk monitoring dan evaluasi dari sebuah proses,
sehingga dapat digunakan untuk menyusun kebijakan dan rencana
program.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa surveilans adalah
pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek
penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu
masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan
penganggulangannya.
1. Tujuan surveilens
Tujuan Surveilans adalah untuk mendukung fungsi pelayanan bagi
korban bencana secara keseluruhan untuk menekan dampak negatif
yang lebih besar.
1) Mengurangi jumlah kesakitan, resiko kecacatan dan kematian saat
terjadi bencana.
2) Mencegah atau mengurangi resiko munculnya penyakit menular
dan penyebarannya.
3) Mencegah atau Mengurangi resiko dan mengatasi dampak
kesehatan lingkungan akibat bencana(misalnya perbaikan sanitasi.)
2. Surveilans berperan dalam:
1) Saat Bencana : Rapid Health Assesment (RHA), melihat dampak-
dampak apa saja yang ditimbulkan oleh bencana, seperti berapa
jumlah korban, barang-barang apa saja yang dibutuhkan, peralatan
apa yang harus disediakan, berapa banyak pengungsi lansia, anak-
anak, seberapa parah tingkat kerusakan dan kondisi sanitasi
lingkungan.
2) Setelah Bencana : Data-data yang akan diperoleh dari kejadian
bencana harus dapat dianalisis, dan dibuat kesimpulan berupa
bencana kerja atau kebijakan, misalnya apa saja yang harus
dilakukan masyarakat untuk kembali dari pengungsian,
rekonstruksi dan rehabilitasi seperti apa yang harus diberikan.
3) Menentukan arah respon/penanggulangan dan menilai keberhasilan
respon/evaluasi.
4) Managemen Penanggulangan bencana meliputi Fase I untuk
tanggap darurat, Fase II untuk fase akut, Fase III untuk recovery
(rehabilitasi dan rekonstruksi). Prinsip dasar penaggunglangan
bencana adalah pada tahap Preparedness atau kesiapsiagaan
sebelum terjadi bencana.
3. Surveilens Bencana meliputi :
1) Surveilans penyakit-penyakit terkait bencana, terutama penyakit
menular.
Di lokasi pengungsian korban bencana, sangat perlu dilakukan
survey penyakit-penyakit yang ada, terutama penyakit menular.
Dengan ini diharapkan nantinya ada tindakan penanganan yang
cepat agar tidak terjadi transmisi penyakit tersebut.
Ada 13 besar penyakit menular dan penyakit terkait bencana :
Campak, DBD, diare berdarah, diare biasa, hepatitis, ISPA,
keracunan makanan, malaria, penyakit kulit, pneumonia, tetanus,
trauma (fisik), dan thypoid.
 Penyakit Menular Prioritas (dalam pengamatan dan
pengendalian) :
a) Penyakit yang rentan epidemik (kondisi padat)
1) Kolera
2) Diare berdarah
3) Thypoid fever
4) Hepatitis
b) Penyakit dalam program pengendalian nasional
1) Campak
2) Tetanus
c) Penyakit endemis yang dapat meningkat paska bencana
1) Malaria
2) DBD
 Penyebab Utama Kesakitan & Kematian
1) Pnemonia
2) Diare
3) Malaria
4) Campak
5) Malnutrisi
6) Keracunan pangan
Mudahnya penyebaran penyakit pasca bencana dikarenakan
oleh adanya penyakit sebelum bencana, adanya perubahan ekologi
karena bencana, pengungsian, kepadatan penduduk di tempat
pengungsian, dan rusaknya fasilitas publik. Pengungsi yang
termasuk kategori kelompok rentan yaitu bayi dan anak balita,
orang tua atau lansia, keluarga dengan kepala keluarga wanita, ibu
hamil.
2) Surveilans data pengungsi
Data pengungsi meliputi data jumlah total pengungsi dan
kepadatan di tempat pengungsian, data pengungsi menurut lokasi,
golongan umur, dan jenis kelamin. Data dikumpulkan setiap
minggu atau bulanan.
3) Surveilans kematian
Yang tercantum dalam data kematian meliputi nama,
tempat atau barak, umur, jenis kelamin, tanggal meninggal,
diagnosis, gejala, identitas pelapor.
4) Surveilans rawat jalan
5) Surveilans air dan sanitasi
6) Surveilans gizi dan pangan
7) Surveilans epidemiologi pengungsi.
4. Upaya Penaggulangan Bencana meliputi;
1) Pra Bencana : Kelembagaan/koordinasi yang solid. SDM atau
petugas kesehatan yang terampil secara medik dan sosial dapat
bekerjasama dengan siapapun. Ketersediaan logistik seperti
bahan,peralatan dan obat. Ketersediaan informasi tentang bencana
seperti daerah rawan dan beresiko terkena dampak, serta adanya
ketersediaan jaringan kerja lintas program dan sektor.
2) Ketika Bencana : Rapid Health assesment dilakukan dari hari
terjadi bencana sehingga 3 hari setelah bencana.
Pascabencana ; berdasarkan dari rapid health assesment untuk
menentukan langkah seterusnya seperti pengendalian penyakit
menular (ISPA,Diare,DBD,Chikungunya,Tifoid). Pelayanan
kesehatan dasar, Surveilans Masyarakat dan memperbaiki
kesehatan lingkungan seperti air bersih,sanitasi makanan dan
pengelolaan sampah
3) Pascabencana ; berdasarkan dari rapid health assesment untuk
menentukan langkah seterusnya seperti pengendalian penyakit
menular (ISPA,Diare,DBD,Chikungunya,Tifoid). Pelayanan
kesehatan dasar, Surveilans Masyarakat dan memperbaiki
kesehatan lingkungan seperti air bersih,sanitasi makanan dan
pengelolaan sampah
5. Membangun sistem Surveilans pada situasi bencana dapat
dilakukan:
1) Sistem yang harus sederhana
2) Mencakup yang sangat Prioritas.
3) Melibatkan semua pihak
4) Mengutamakan unsur kecepatan
5) Didukung kecepatan respons.
Jadi Surveilans bencana sangat penting karena secara garis besar dapat
disimpulkan manfaatnya adalah:
a. Mencari faktor resiko ditempat pengungsian seperti air, sanitasi,
kepadatan, kualitas tempat penampungan.
b. Mengidentifikasi Penyebab utama kesakitan dan kematian
sehingga dapat diupayakan pencegahan.
c. Mengidentifikasi pengungsi kelompok rentan seperti anak-anak,
lansia, wanita hamil, sehingga lebih memperhatikan kesehatannya.
d. Pendataan pengungsi diwilayah, jumlah, kepadatan, golongan,
umur, menurut jenis kelamin.
e. Mengidentifikasi kebutuhan seperti gizi
6. Masalah Epidemiologi dalam Surveilans Bencana
a. Pertolongan terhadap kelaparan
Para ahli epidemiologi telah mengembangkan survei baru dan
metode untuk secara cepat menilai status nutrisi penduduk yang
mengungsi, dan usaha pertolongannya sebagai prioritas utama.
Selanjutnya memonitor status nutrisi populasi sebagai respon atas
kualitas dan tipe makanan yang dibagikan. Perkiraaan epidemiologi
secara cepat membuktikan ketidak tersediaan secara optimal dari 13
distribusi makanan sementara kondisi kesehatan terus-menerus
berubah. Sejak itulah, pengawasan nutrisi dan distribusi makanan
menjadi bagian dari usaha pertolongan penanggulangan kelaparan,
terhadap penduduk yang mengungsi.
b. Kontrol Epidemik / kantor pengaduan
Para epidemiologis selanjutnya mesti terlibat dalam aspek lain
kondisi pasca bencana, yaitu : Antisipasi berkembangnya desas-desus
tentang penyebaran / mewabahnya penyakit kolera ataupun typus.
Untuk itulah sebuah kantor pengaduan dapat memberikan fungsi yang
amat penting dalam memonitor berkembangnya issuissu yakni dengan
menyelidiki yang benar-benar bermanfaat serta kemudian
menginformasikan kepada khalayak umum akan bahaya yang mungkin
terjadi. Konsep ini amat bermanfaat tidak hanya untuk penduduk
terkena musibah dinegara-negara berkembang tetapi juga terhadap
lingkungan kota, negara-negara industri.
c. Surveilans Pencegahan Kematian, Sakit dan Cedera
Masalah kesehatan yang berkaitan dengan bencana besar
biasanya lebih luas, tidak hanya ketakutan terhadap penyakit-penyakit
wabah yang mungkin terjadi, namun sering diukur berapa jumlah
orang yang meninggal, terluka parah atau berapa banyak yang jatuh
sakit.
d. Surveilans Kebutuhan Perawatan Kesehatan.
Pada bencana yang terkait dengan jumlah korban yang cukup
banyak dengan cedera yang berat (contoh : ledakan, tornado) ataupun
penyakit yang parah (kecelakaan nuklir, epidemi), maka kemampuan
untuk mencegah kematian dan menurunkan kesakitan yang berat akan
sangat tergantung pada perawatan medis yang tepat dan adekuat
(memadai) atau tergantung pada pengiriman korban pada pusat-pusat
layanan yang menyediakan perawatan medis yang tepat.
e. Penelitian untuk menghindari tindakan tidak perlu
Setelah bencana banyak lembaga dan donor yang menawarkan
bantuan peralatan dan tenaga untuk usaha-usaha pertolongan yang
tidak selalu sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh : pengiriman
obat-obatan yang tidak penting, kadarluarsa ataupun yang tidak
berlabel pada daerah-daerah terkena bencana, seringkali justru
mengganggu usaha pertolongan sebab menyebabkan beberapa personil
terpaksa harus mengidentifikasi bantuan yang relevan dari sekumpulan
material yang tidak diperlukan.
f. Analisis Epidemiologi ;
Konsekuensi Pencegahan Kesehatan pada Bencana Yang Akan
Datang Pada beberapa bencana seperti ; gempa bumi, tornado ataupun
angin ribut jumlah kematian atau terluka parah terutama terjadi akibat
kejadian bencana itu sendiri. Pada masing-masing pencegahan ini
strategi-strategi pencegahan sering direkomendasikan, padahal belum
melalui suatu penelitian epidemiologi yang mendalam.
g. Analisis Peringatan dari Usaha Pertolongan
Konsekuensi bencana jangka panjang tidak cukup diperkirakan.
Tidak ada evaluasi dibuat 5 atau 10 tahun sesudah bencana untuk
menentukan apakah perubahan dalam epidemiologi atau praktik
pertolongan, pengarahan ulang dana untuk tujuan jangka panjang atau
perubahan dari pola dan kebiasaan membuat bangunan, memiliki
pengaruh jangka panjang terhadap respon masyarakat terhadap
bencana. Meskipun demikian, kebanyakan masyarakat yang
mengalami bencana, lebih peduli terhadap usaha-usaha persiapan
dimasa yang akan datang
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan
dalam UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
penyelenggaraan Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Rangkaian kegiatan tersebut apabila digambarkan dalam siklus
penanggulangan bencana adalah sebagai berikut : Pada dasarnya
penyelenggaraan adalah tiga tahapan yakni : 1. Pra bencana yang
meliputi : - situasi tidak terjadi bencana - situasi terdapat potensi bencana
2. Saat Tanggap Darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi bencana 3.
Pascabencana yang dilakukan dalam saat setelah terjadi bencana Tahapan
bencana yang digambarkan di atas, sebaiknya tidak dipahami sebagai
suatu pembagian tahapan yang tegas, dimana kegiatan pada tahap tertentu
akan berakhir pada saat tahapan berikutnya dimulai. Akan tetapi harus
dipahami bahwa setiap waktu semua tahapan dilaksanakan secara
bersama-sama dengan porsi kegiatan yang berbeda. Misalnya pada tahap
pemulihan, kegiatan utamanya adalah pemulihan tetapi kegiatan
pencegahan dan mitigasi juga sudah dimulai untuk mengantisipasi bencana
yang akan datang.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Ahdi, D. (2015). Perencanaan Penanggulangan Bencana Melalui Pendekatan


Manajemen Risiko. Reformasi, 5(1), 13-30. Retrieved from
https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/reformasi/article/view/60.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2008). Peraturan Kepala


Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008. Jakarta:
Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Maskrey, Andrew. 2011. Revisting CommunityBased Disaster Risk Management.


Environmental hazard : Volume 10, hal 42-52

Anda mungkin juga menyukai