Anda di halaman 1dari 14

A.

Penilaian Sistematis Sebelum, Saat, dan setelah Bencana pada Korban, Survivor,
Populasi Rentan dan Berbasis Komunitas
Pengertian Penilaian Sistematis

Menurut Eko Putro Widoyoko, 2012: 3, Penilaian ialah sebagai kegiatan


menafsirkan data hasil pengukuran berdasarkan kriteria dan aturan-aturan tertentu.
Penilaian memberikan informasi lebih konprehensif dan lengkap dari pada
pengukuran, karena tidak hanya mengunakan instrument tes saja, melainkan
mengunakan tekhnik non tes lainya. Penilaian merupakan kegiatan mengambil
keputusan dalam menentukan sesuatu berdasarkan kriteria baik dan buruk serta
bersifat kualitatif
Sistematis adalah bentuk usaha menguraikan serta merumuskan sesuatu hal dalam
konteks hubungan yang logis serta teratur sehingga membentuk system secara
menyeluruh, utuh dan terpadu yang mampu menjelaskan berbagai rangkaian sebab
akibat yang terkait suatu objek tertentu.(Abdulkadir Muhammad : 2004)
Jadi penilaian sistematis adalah kegiatan dan proses pengumpulan data data dan
informasi yang bersifat kualitatif yang disusun secara berurutan, utuh dan terpadu
untuk menjelaskan berbagai rangkaian sebab akibat terkait suatu objek tertentu.
Penialain sistematis pada bencana ialah kegiatan mengumpulkan data dan
informasi yang berkaitan dengan bencana yang termasuk didalamnya bentuk bencana,
lokasi, dampak, korban, dan usaha dalam menghadapi bencana sebelum, saat dan
setelah terjadinya bencana. Penilaian sistematis ini disusun untuk memberikan
gambaran mengenai resiko dan dampak yang akan dialami jika terjadi bencana.
1. Penilaian sebelum bencana pada korban, survivor, populasi rentan dan berbasis
masyarakat.
Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan
kegiatan pasca bencana (post event) berupa emergency response dan recovery
daripada kegiatan sebelum bencana berupa disaster reduction/mitigation dan
disaster preparedness. Padahal, apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap
kegiatan-kegiatan sebelum bencana, kita dapat mereduksi potensi bahaya/
kerugian (damages) yang mungkin timbul ketika bencana.
Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah
mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana.Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan
pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu
bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan
tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan
memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti
membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta
memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor,
penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat
dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah
bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui
melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan
masyarakat dan pemerintah daerah.
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu
penilaian bahaya, peringatan dan persiapan
a. Penilaian bahaya (hazard)

Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan Negara


dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi dan beragam baik
berupa bencana alam, bencana ulah manusia ataupun kedaruratan kompleks.
Beberapa potensi tersebut antara lain
adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah
longsor,kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, kebakaran perkotaan dan
permukiman, angin badai, wabah penyakit, kegagalan teknologi dan konflik
sosial. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi
bahaya ikutan (collateral hazard).
Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat antara lain
pada peta rawan bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa
Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yangrawan, peta
kerentanan bencana tanah longsor, peta daerah bahayabencana letusan gunung
api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-lain.
Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi
populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini
memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas
kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini
menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang
kedua unsur mitigasi lainnya.
Penilaian risiko bencana / bahaya dibedakan berdasarkan karakteristik
utama yaitu :
1. Penyebab : alam atau ulah manusia

2. Frekuensi : berapa sering terjadinya

3. Durasi : beberapa durasinya terbatas seperti pada ledakan sedang


lainnya mungkin lebih lama seperti banjir dan epidemic.
4. Kecepatan onset : bisa muncul mendadak hingga sedikit atau tidak ada
pemberitahuan yang bisa diberikan atau bertahap seperti pada banjir
(kecuali banjir bandang) memungkinkan cukup waktu untuk
pemberitahuan dan mungkin tindakan pencegahan atau peringatan. Ini
mungkin berulang dalam periode waktu tertentu seperti pada gempa
bumi.
5. Luasnya dampak : bisa terbatas dan mengenai hanya area tertentu atau
kelompok masyarakat tertentu atau menyeluruh mengenai masyarakat
luas mengakibatkan kerusakan merata pelayanan dan fasilitas.
6. Potensi merusak : kemampuan penyebab bencana menimbulkan
tingkat kerusakan tertentu (berat, sedang atau ringan) serta jenis
(cedera manusia atau kerusakan harta benda) dari kerusakan.
b. Peringatan (warning)

Setelah mendapat pemetaan daerah rawan bencana selanjutnya dibutuhkan


system peringatan dini (Early Warning System) melalui BMKG. Sistem
Peringatan Dini (Early Warning System) merupakan serangkaian sistem untuk
memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa bencana
maupun tanda-tanda alam lainnya. Peringatan dini pada masyarakat atas
bencana merupakan tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang
mudah dicerna oleh masyarakat. Dalam keadaan kritis, secara umum
peringatan dini yang merupakan penyampaian informasi tersebut diwujudkan
dalam bentuk sirine, kentongan dan lain sebagainya. Namun demikian
menyembunyikan sirine hanyalah bagian dari bentuk penyampaian informasi
yang perlu dilakukan karena tidak ada cara lain yang lebih cepat untuk
mengantarkan informasi ke masyarakat.
Semakin dini informasi yang disampaikan, semakin longgar waktu bagi
penduduk untuk meresponnya.
Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami
yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi,
dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai
peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk
memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat.
Peringatan terhadap bencana
yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan
dipercaya.
Hal-hal yang perlu dinilai dalam proses peringatan/warning sebelum
bencana adalah :
1. Tersedianya system dan akses komunikasi yang memadai dan
mencakup seluruh daerah khususnya didaerah resiko tinggi bencana
alam seperti daerah yang dilewati lempeng/patahan pemicu gempa dan
tsunami, dataran tinggi yang rawan longsor, dan daerah dataran rendah
yang berdekatan dengan sungai yang rawan banjir bandang. Hal ini
diperlukan dalam penyampaian informasi secara cepat dan akurat dari
sumber terpercaya.
2. Pengetahuan masyarakat dalam menerima informasi bencana yang
akan terjadi yang termasuk didalamnya menjangkau tempat
perlindungan yang aman secepatnya setelah peringatan diberikan.
3. System sensor pendeteksi (peralatan EWS) gempa, tsunami dan
letusan gunung berapi yang dipasang di area area patahan apakah
bekerja baik dan real time. Sehingga mempercepat penyampaian
informasi.
c. Persiapan (preparedness)

Persiapan rencana untuk bertindak ketika terjadi(atau kemungkinan akan


terjadi) bencana. Perencanaan terdiri dari perkiraan terhadap kebutuhan-
kebutuhan dalam keadaan darurat dan identifikasi atas sumber daya yang ada
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perencanaan ini dapat mengurangi
dampak buruk dari suatu ancaman.
Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya
(penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang
daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan
tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi
dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan
pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana.
Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang
menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya
bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk
membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur
akan bencana (mitigasi struktur).
Penilaian dalam kegiatan persiapan ini meliputi :

a. Tersedianya jalur evakuasi yang jelas dan bisa dijangkau oleh


masyarakat.
b. Fasilitas pelayanan public terutama fasilitas kesehatan yang akan
menjadi tempat rujukan bila terjadi bencana.
c. Kesiapan dan pengetahuan masyarakat di daerah rawan bencana dalam
menghadapi dan menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Kegiatannya
berisi simulasi dan pelatihan bencana.
 Pemahaman Tentang Kerentanan Masyarakat Kerentanan (vulnerability)
adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang
menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman. Penilaian
kerentanan ini dapat berupa:
a. Kerentanan Fisik

Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya


tahan menghadapi bahaya tertentu, misalnya: kekuatan bangunan
rumah bagi masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya
tanggul pengaman banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai dan sebagainya.
b. Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat
menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada
umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu
lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak mempunyai kemampuan
finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau
mitigasi bencana.
c. Kerentanan Sosial

Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan


terhadap ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan
pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi
tingkat kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang
rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya.
d. Kerentanan Lingkungan

Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan.


Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan
selalu terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng
bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah
longsor dan sebagainya.
2. Penilaian saat bencana

Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat


bencana sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses peringatan dini,
maupun tanpa peringatan atau terjadi secara tiba-tba. Oleh karena itu diperlukan
langkah-langkah seperti tanggap darurat untuk dapat mengatasi dampak bencana
dengan cepat dan tepat agar jumlah korban atau kerugian dapat diminimalkan.
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan
sarana prasarana. Tindakan ini dilakukan oleh Tim penanggulangan bencana yang
dibentuk dimasing-masing daerah atau organisasi.
Menurut PP No. 11, langkah-langkah yang dilakukan dalam kondisi
tanggap darurat antara lain:
a) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumberdaya, sehingga dapat diketahui dan diperkirakan magnitude bencana,
luas area yang terkena dan perkiraan tingkat kerusakannya.
b) Penentuan status keadaan darurat bencana.

c) Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana sehingga


dapat pula ditentukan status keadaan darurat. Jika tingkat bencana terlalu
besar dan berdampak luas, mungkin bencana tersebut dapat digolongkan
sebagai bencana nasional.
1) Penilaian korban

Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan


tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem
Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early)
karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak
cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan
kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian kemudian, late, karena
trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer,
resusitasi-stabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS
sesuai. Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis
yang diketahui pada awal proses.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis
segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas
transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih
berdasar prioritas atau penyebab
ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan
proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase
inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan
tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat
berubah. Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang
dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase
Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid Transportation).
Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat bencana mengakibatkan
kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
a) Tag Triase

Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas
triase untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik
terhadap korban.
Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.

1) Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak
mungkin diresusitasi.
2) Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan
penilaian cepat serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap
hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala atau
maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
3) Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan
cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman
jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis
cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa
gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang
belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
4) Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak
membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana
namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak,
fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo- fasial tanpa gangguan
jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
5) Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai
Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau
penyaki kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan
dan transportasi, dan
6) Prioritas Kelima (Putih) yaitu kelompok yang sudah pasti tewas. Bila pada
Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok sesuai.
b) Triase Sistem Penuntun Lapangan START

Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan


status mental (RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status
Mental) untuk memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging)
yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin
diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat
mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera
atau apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi diambulans
c) Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.

Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa
digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di
ambulans atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan
Penilaian di tempat dan prioritas TRIASE ditentukan oleh jumlah korban
dan parahnya cedera. Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi
kemampuan pusat pelayanan, pasien dengan masalah mengancam jiwa dan
cedera sistem berganda ditindak lebih
dulu. Bila jumlah korban serta parahnya cedera melebihi kemampuan

*) dst dibawah algoritma

Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning = Delayed (Tunda) ;


Hijau = Minor.
Semua korban diluar algoritma diatas : Kuning. Disini
tidak ada resusitasi dan C-spine control.
Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah kepasien berikut setelah tagging. Pada sistem
ini tag tidak diisi, kecuali jam dan tanggal. Diisi petugas berikutnya.
2) Penilaian lingkungan

Bencana menyebabkan kerusakan yang serius termasuk didalamnya akibat


fenomena alam luar biasa dan/atau disebabkan oleh ulah manusia yang
menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerugian material dan kerusakan
lingkungan yang dampaknya melampaui
kemampuan masyarakat setempat untuk mengatasinya dan membutuhkan bantuan
dari luar.
Adapun penilaian lingkungan pada saat terjadi bencana adalah :

1. Daerah rawan yang kemungkinan akan terjadi bencana susulan. Seperti


tsunami setelah gempa, tanah longsor setelah banjir atau hujan deras, aliran
lava dan abu vulkanik saat terjadi letusan gunung berapi dan rubuhnya
bangunan setelah terkena guncangan gempa.
2. Tempat pengungsian yang aman untuk pertolongan pertama pada korban
bencana

3. Penilaian setelah bencana

Penilaian kerusakan, kerugian dan kebutuhan sumber daya dilakukan pada


minggu terakhir masa tanggap darurat atau setelah masa tanggap darurat
dinyatakan berakhir. Penilaian dilakukan melalui persiapan, pengumpulan data,
analisis data dan pelaporan. Hasil assessment tersebut menjadi data dan informasi
penting untuk melakukan perbaikan sumber daya. Ketahanan masyarakat yang
hidup di daerah rawan bencana menjadi tanggung jawab pemerintah dan
pemerintah daerah. Program penguatan tersebut harus berdasarkan data dan
pengalaman serta didukung adanya kebijakan terkait penanggulangan krisis pasca
bencana. Oleh karena itu diperlukan suatu acuan dalam melakukan penilaian
kerusakan, kerugian serta kebutuhan pasca bencana.
Damage and Loss Assessment (DaLA) biasanya dibuat setelah terjadinya
bencana. Metodologi standar DaLA dikembangkan oleh Komisi Ekonomi UN
untuk Amerika Latin dan Karibia (UN-ECLAC) pada tahun 1972, dan telah
berkembang melalui berbagai macam organisasi internasional. Secara sederhana,
DaLA merupakan metodologi untuk mengukur dampak dan kerugian yang
diakibatkan oleh bencana, berdasarkan perhitungan ekonomi suatu negara dan
kebutuhan penghidupan individu untuk menentukan kebutuhan pemulihan dan
rekonstruksi.
Penilaian Damage and Loss Assessment meliputi sebagai berikut :

a. Kerusakan dihitung sebagai pengganti nilai aset fisik yang rusak total atau
sebagian;
b. Kerugian secara ekonomi yang timbul akibat adanya aset yang rusak
sementara;
c. Dampak yang dihasilkan pada pasca bencana kinerja makro-ekonomi, dengan
referensi khusus untuk pertumbuhan ekonomi/GDP, neraca pembayaran dan
situasi fiskal pemerintah
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjalin kerjasama
dengan Badan PBB untuk Pembangunan (UNDP), meluncurkan panduan nasional
kajian kebutuhan pasca bencana (Post Disaster Needs Assessment - PDNA)
Menurutnya, PDNA merupakan perpaduan antara DaLA dan HRNA. DALA
adalah metode penilaian kerusakan dan kerugian bencana. Sedangkan HRNA
adalah pengkajian kebutuhan pemulihan manusia.
Panduan ini akan menjadi panduan utama pemerintah dalam mengatasi
situasi pasca bencana. Indonesia adalah negara pertama yang memiliki panduan
pasca bencana. Untuk itu BNPB menamakan Ina-PDNA (Indonesia PDNA)
Menurut Peraturan Kepala BNPB No.17 Tahun 2010 entang Pedoman
Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana pasal 25 :
Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana (Post Disaster Needs Assessment /PDNA)
adalah suatu rangkaian kegiatan pengkajian dan penilaian akibat, analisis dampak,
dan perkiraan kebutuhan, yang menjadi dasar bagi penyusunan rencana aksi
rehabilitasi dan rekonstruksi. Pengkajian dan penilaian meliputi identifikasi dan
penghitungan kerusakan dan kerugian fisik dan non fisik yang menyangkut aspek
pembangunan manusia, perumahan atau pemukiman, infrastruktur, ekonomi,
sosial dan lintas sektor. Analisis dampak melibatkan tinjauan keterkaitan dan
aggregat dari akibat akibat bencana dan implikasi umumnya terhadap aspek-
aspek fisik dan lingkungan,
perekonomian, psikososial, budaya, politik dan kepemerintahan.
Perkiraan kebutuhan adalah penghitungan biaya yang diperlukan
untuk menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Hasil assessment tersebut selanjutnya menjadi dasar penilaian
kebutuhan pasca bencana dan penyusunan rencana aksi rehabilitasi
dan rekosntruksi wilayah pasca bencana. “Didorong oleh kebutuhan
akan adanya dokumen legal yang dapat menjadi rujukan utama secara
nasional bagi pelaksanaan pengkajian kebutuhan pasca bencana yang
komperhensif dan menjadi dasar perencanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana, sesuai dengan Peraturan Kepala BNPB
nomor 17 tahun 2010”.
Penilaian pasca bencana meliputi :

1. Jumlah korban baik yang selamat maupun meninggal.


Termasuk populasi rentan lansia, ibu hamil, anak-anak dan
penderita disabilitas.
2. Kerugian harta benda

3. Kerusakan sarana dan prasarana

4. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana

5. Dampak social ekonomi yang ditimbulkan

Anda mungkin juga menyukai