Anda di halaman 1dari 8

Definisi Penilaian Sistematis Bencana

Pengertian penilaian sangat dekat dengan proses pembelajaran. Namun, kemudian arti kata
penilian tidak hanya digunakan dalam proses pembelajaran, tetapi juga dalam hal lain yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan Walsh dan Betz (1995), "penilaian cenderung lebih masuk akal jika didasarkan pada
informasi yang bermakna yaitu, andal dan valid, dan suatu keterampilan penilaian dapat
dikembangkan dengan meningkatkan pengetahuan seseorang tentang penilaian yang digunakan
untuk mengumpulkan informasi yang berarti tentang orang dan lingkungan" (Walsh and Betz,
1995). Dalam suatu penilaian diperlukan sebuah alat yang digunakan untuk untuk mendapatkan
informasi yang tepat, akurat dan valid (Gardner, 2012).

Sistematis didefinisikan sebagai semua upaya untuk mendefinisikan dan mengatur sesuatu secara
logis dan teratur untuk menciptakan sistem yang bermakna yang lengkap, komprehensif,
terintegrasi, dan mampu menjelaskan sejumlah sebab dan akibat yang berkaitan dengan objek
(Vardiansyah, 2008). Jadi, penilaian sistematis adalah suatu kegiatan proses pengumpulan
informasi dan data yang terkait secara kualitatif dan kuantitatif yang disusun secara berurutan,
lengkap, komprehensif dan terintegrasi dalam menjelaskan rangkaian sebab-akibat suatu objek.
Penilaian sistematis pada bencana merupakan suatu kegitan proses pengumpulan data yang
berkaitan dengan bencana meiputi penilaian sebelum, selama dan sesudah bencana. Peneliaan ini
dilakukan untuk memberikan suatu gambaran mengenai dampak bencana yang akan terjadi,
ketahanan suatu daerah dalam menghadapi bencana dan menentukan langkah intervensi yang
tepat dalam mengurangi resiko bencana.

Pra-bencana meliputi tahapan mitigasi dan kesiapsiagaan meliputi penilaian mengenai resiko
bencana, kerentanan suatu daerah, faktor resiko, penilaian kapasitas daerah dan analisa kebijkana
daerah (BNPB, 2019; Anwar 2018). Penilaian selama bencana meliputi tahapan tanggap darurat
yang dilakukan sesaat setelah bencana. Penilaian ini meliputi cakupan lokasi bencana, jumlah
korban, kerugian dan kerusakan sara dan prasarana yang dialami, gangguan terhadap fungsi
pelayanan umum dan pemerintah, dan kemampuan daerah untuk berespon terhadap bencana
(BPBD Bogor, 2019). Penilaian sesudah bencana dilakukan pada minggu terakhir dari waktu
tanggap darurat atau setelah masa tanggap darurat dianggap selesai adalah penilaian kerusakan,
kerugian, dan kebutuhan sumber daya. Persiapan, pengumpulan data, analisis data, dan pelaporan
digunakan untuk melakukan penilaian (Ma'arif, 2014). Temuan penilaian mencakup informasi
dan data penting yang dapat digunakan untuk meningkatkan sumber daya. Program penguatan
sumber daya pasca bencana tersebut harus didukung oleh kebijakan manajemen krisis
pascabencana dan berdasarkan fakta dan pengalaman.

Penilaian Sebelum Bencana

1. Penilaian Resiko Bencana


Pengkajian resiko bencana menjadi hal yang sangat penting dilakukan dalam upaya
mengurangi resiko dan dampak dari bencana. Penilaian risiko bencana meliputi:
identifikasi bahaya; tinjauan karakteristik teknis bahaya seperti lokasi, intensitas,
frekuensi, dan probabilitasnya; analisis paparan dan kerentanan, termasuk dimensi fisik,
sosial, kesehatan, lingkungan dan ekonomi; dan evaluasi efektivitas kapasitas koping
yang berlaku dan alternatif sehubungan dengan kemungkinan skenario risiko (UNDRR,
2009). Pengkajian resiko bencana dilakukan dengan menganalisis potensi dampak
negative yang ditimbulkan oleh bencana serta mempertimbangkan kerentanan social,
geospacial daerah tersebut. Potensi dampak negative yang ditampilkan juga mencakup
data mengenai kemungkinan kerugian material, lingkungan, dan korban jiwa yang
terdampak oleh bencana.
Penilaian Kapasitas Daerah

Penilaian kapasitas daerah berpedoman kepada Peraturan Kepala Badan Nasional


Penanggulangan Bencana Nomor 03 Tahun 2012 tentang Panduan Penilaian Kapasitas Daerah
dalam Penanggulangan Bencana. Disadur dari buku Resiko Bencana Indonesia tahun 2016,
terdapat indikator penilaian kapasitas daerah atau propinsi diatur dalam aturan tersebut yang
berpedoman pada program- program pengurangan resiko bencana (BNPB, 2016). Setiap prioritas
dalam kerangka aksi pengurangan resiko bencana terdapat indikator yang harus dipenuhi, antara
lain:

a. Pengurangan reesiko bencana menjadi prioritas nasional dan daerah dengan dasra
kelembagaan kuat yang terdiri dari: (1) Kerangka hukum dan kebijakan
nasional/lokal untuk pengurangan risiko bencana ditetapkan dalam seluruh
jenjang pemerintahan; (2) Terdapat sumber daya khusus untuk pengurangan
resiko bencana di semua jenjang pemerintahan; (3) Terdapat partisipasi dan
kerjasama komunitas melalui kewenangan dan sumber daya yang sma pada
tingkat local/daerah; (4) Forum/jejaring daerah untuk pemgurangan resiko
bencana berfungsi dengan baik.

b. Mengenali, menilai dan mengawasi resiko bencana dan mengembangkan system


peringatan dini dengan indikator: (1) terdapat kajian/penilaian resiko bencana
pada setiap daerah; (2) Terdapat system yang mampu mengawasi, menyimpan
dan menyebarluaskan potensi bahaya bencana; (3) Terdapat system peringatan
dini yang dapat menjangkau masyarakat luas; (4) Terdapat kerjasama antar-
daerah dalam pengurangan resiko bencana.

c. Pendidikan, inovasi dan peningkatan pengetahuan untuk membangun ketahanan


dan budaya aman bencana pada setiap jenjang, dengan indikator pencapaian: (1)
Informasi yang relevantentang benca yang dapat diakses semua orang; (2) Konsep
dan praktik pengurangan resiko bencana terdapat dalam kurikulum sekolah, dan
materi pendidikan dan pelatihan di semua tingkat pendidikan; (3) Terdapat
strategi untuk membangun budaya sadar akan ketahanan bencana pada
masyarakat luas.

d. Mengurangi faktor-faktor risiko dasar, dengan indikator: (1) pengurangan resiko


bencana segai tujuan dari kebijakan dan rencana pembangunan dan tata kelola
daerah, pembanguan social, ekonomi, dan pemukiman; (2) Rencana dan kebijakan
pengurangan resiko bencana diintegrasikan dengan rencana pemulihan pasca
bencana; (3) Proyek pembanguan skala besar harus memiliki analisa resiko
bencana.

e. Meningkatkan kesiapsiagaan bencana secara efektif, dengan indikator: (1)


Terdapat kebijakan, teknis kelembagaan dan mekanisme penanganan bencana
dengan berpedoman pada pengurangan resiko bencana; (2) Terdapat rencana yang
berkesinambungan, pelatihan tanggap bencana secara rutin; (3) Antisipasi darurat
bencana dengan cadangan keuangan dan logistic; (4) Terdapat prosedur yang baik
dalam komunikasi tanggap bencana dan tinjauan pasca bencana.
Penilaian Saat Bencana

Pengkajian bencana memberikan informasi yang objektif kepada manajer bantuan bencana
tentang dampak bencana pada suatu populasi, yang dihasilkan berdasarkan penyelidikan
lapangan yang dilakukan dengan cepat. Penilaian ini digunakan untuk mencocokkan sumber
daya yang tersedia dengan kebutuhan darurat populasi. Penyelesaian awal tugas ini dan
mobilisasi sumber daya selanjutnya untuk mengatasi kebutuhan medis dan lingkungan yang
mendesak dapat secara signifikan mengurangi konsekuensi kesehatan masyarakat yang
merugikan dari suatu bencana.

1. Penilaian Cepat Tanggap darurat Bencana


Tanggap darurat bencana adalah "serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan. pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
dan sarana" (BNPB, 2011b). Tindakan ini dilakukan oleh Tim penanggulangan bencana
yang dibentuk dimasing-masing daerah atau organisasi. Langkah-langkah yang dilakukan
dalam kondisi tanggap darurat antara lain: (1) Siaga darurat: penyebarluasan peringatan
bencana kepada masyarakat secara cepat; (2) Pengkajian cepat dengan memperhatikan
beberapa indikator: Jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka, tingkat kerusakan
infrastruktur, tingkat ketidakberfungsian pelayanan- pelayanan dasar, cakupan wilayah
bencana, kapasitas pemerintah setempat dalam merespon bencana tersebut; (3) Penentuan
status kedaruratan (Arsyad, 2017).

2. Penilaian Korban Bencana


a. Sistem triase dalam penilaian korban bencana
Penilaian awal korban bencana meliputi tahap persiapan, triase, survei primer,
resusitasistabilisasi, survei sekunder, tindakan definitive dalam emenentukan
tindakan, hanya dan rujukan pelayanan kesehatan. Pada darurat bencana tidak
dibutuhkan diagnostic mutlak berdasarkan penilaian klinis korban bencana.
TRiase adalah sebuah proses untuk memilah pasien dengan berpedoman pada
beratnya cedera atau penyakit yang diderita dan urgensi untuk mementukan
prioritas perawatan darurat dan transportasi pasien (Ulya et al., 2019). Pada
bencana, system triase START (Simple Triase and Rapid Treatment) digunakan
untuk memberikan penilaian korban bencana. START adalah metode triase yang
digunakan oleh responden pertama untuk dengan cepat mengklasifikasikan
korban selama insiden korban massal Mass Causality Incidents (MCI)
berdasarkan tingkat keparahan cedera (Hogan and Burstein, 2007). Metode ini
dikembangkan pada tahun 1983 oleh anggota staf Rumah Sakit Hoag dan
Departemen Pemadam Kebakaran Newport Beach yang berlokasi di California
yang kemudian dimodifikasi oleh Benson, et al pada tahun 1996, dan saat ini
banyak digunakan dalam melakukan penilaian korban bencana (Benson, Koenig
and Schultz, 1996; REMM, 2022). Responden pertama yang menggunakan
START mengevaluasi korban dan menetapkan mereka ke salah satu dari empat
kategori berikut: (1) Meninggal harapan hidup kecil (hitam); (2) segera (merah);
(3) Tertunda (kuning); (4) terluka ringan dapat berjalan (hijau) (Lerner et al.,
2011). Penilaian START berpedoman pada penilaian airway, breathing,
circulation dan status mental pasien (REMM, 2022). Lebih lengkap mengenai
system triase akan dijelaskan pada bab 21.

b. Penilaian lingkungan
Pada saat bencana, penilaian bahaya susulan yang akan terjadi perlu dilakukan.
Penilaian lingkungan saat terjadinya bencana diperlukan untuk memberikan
keamanan bagi korban bencana yang selamat. Penilaian lingkungan meliputi: (1)
penilaian daerah akan bencana susulan; (2) penilaian kondisi lingkungan yang
aman untuk pembangunan pengungsian; (3) penilaian kondisi lingkungan akan
bahaya vector yang menyusul sesaat setelah bencana terjadi (parasite, bakteri,
virus) (Kelly, 2002).
Penilaian Sesudah Bencana

Setelah masa tanggap darurat dianggap selesai, amaka dimulai penilaian mengenai
kerusakan, kerugian, dan kebutuhan sumber daya. Hasil penilaian mencakup informasi
dan data penting yang dapat digunakan untuk meningkatkan sumber daya pasca bencana.
Program penguatan tersebut harus didukung oleh kebijakan manajemen krisis
pascabencana dan berdasarkan fakta dan pengalaman.

1. Damage and Loss Assessment (DaLA) / Penilaian Kerusakan dan kehilangan


Dilakukan penilaian pada saat sesudah terjadi bencana. DaLA dikembangkan oleh
Komisi Ekonomi UN untuk Amerika Latin dan Karibia (UN-ECLAC) pada tahun
1972. Secara sederhana menurut The Global Facility for Disaster Reduction and
Recovery (GFDRR), DaLA merupakan alat penilaian untuk mengukur dampak
dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana, berdasarkan perhitungan ekonomi
suatu negara dan kebutuhan penghidupan individu untuk menentukan kebutuhan
pemulihan dan rekonstruksi (GFDRR, 2011).

2. Post Disaster Needs Assessment (PDNA) / Kajian kebutuhan pasca bencana


(JITU-PASNA)
DaLA pada dasarnya adalah bagian dari Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana
(JITU-PASNA) atau Post Disaster Need Assessment (PDNA) yang dilaksanakan
bersamaan dengan Penilaian Kebutuhan Pemulihan Kemanusiaan (Human
Recovery Need Assessment/HRNA). Hasil Penilaian DaLA dan HRNA
merupakan komponen dari JITU-PASNA yang selanjutnya dijadikan dasar untuk
Pengkajian, Perumusan kebutuhan, Pemrioritasan untuk penyusunan Rencana
Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi, yang berisi berbagai langkah penanganan
pasca bencana (BNPB, 2011a). JITU- PASNA terdapat lima komponen penilaian,
antara lain:

(1) Kerusakan (dampak langsung): Kerusakan pada aset fisik dan infrastruktur
milik pemerintah, badan usaha, masyarakat, dan keluarga, yang mengalami
gangguan sebagian atau seluruh fungsinya sebagai dampak langsung dari
bencana; (2) Kerugian (dampak tidak langsung): Peningkatan biaya atau
penuruanan perolehan keuntungan ekonomi akibat kerusakan langsung dari
bencana; (3) Gangguan Akses:Gangguan atau hilangnya akses pemenuhan
kebutuhan dasar individu, keluarga, masyarakat terdampak bencana; (4)
Gangguan Fungsi. Fungsi social, kemasyarakatan dan pemerintahan terganggu
atau hilang daibat bencana; (5) Peningkatan Risiko: Peningkatan kerentanan
dan/atau disertai dengan penurunan kapasitas individu, masyarakat, bdan usaha,
daerah dan pemerintahan akibat bencana (BNPB, 2011a).

3. Penilaian Indeks Pemulihan Bencana


Indeks Pemulihan Pascabencana (Post Disaster Recovery Index) atau PDRI
merupakan suatu proses penilaian tentang pemulihan pasca terjadiya bencana
disuatu daerah yang dilakukan secara periodik dengan melihat berbagai indikatir
tertentu seperti kesehatan, pendidikan, dan pendapatan (Sikoki, 2013). PDRI
diimplementasikan pada bencana letusan gunung Merapi di Yogyakarta pada
tahun 2010. Selanjutnya, Horney et al pada tahun 2017 mengembangkan indikator
untuk mengukur pemulihan komunitas pasca bencana di Amerika Serikat.
Indikator ini meliputi 10 tema dengan total 79 matrix indicator (Horney et al.,
2017). Matrix yang diusulkan mencakup campuran ukuran kuantitatif (n=63) dan
kualitatif (n=16). Hal ini dikarenakan tujuan atau kegiatan pemulihan sulit diukur
atau dinilai menggunakan cara evaluasi kuantitatif tradisional.

Anda mungkin juga menyukai