Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Bencana


Bencana adalah suatu fenomena alam yang terjadi yang menyebabkan
kerugian baik materiil dan spiritual pada pemerintah dan masyarakat (Urata,
2008). Fenomena atau kondisi yang menjadi penyebab bencana disebut
hazard ( Urata, 2008).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia bencana adalah
peristiwa pada suatu wilayah yang mengakibatkan kerusakan ekologi,
kerugian ekologi, kerugian hidup bagi manusia serta menurunnya derajat
kesehatan sehingga memerlukan bantuan dari pihak luar (Effendy &
Mahfudli, 2009). Disaster menurut WHO adalah setiap kejadian, situasi,
kondisi yang terjadi dalam kehidupan ( Effendy & Mahfudli, 2009).

2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bencana


1. Faktor alami
Faktor alami merupakan keadaan mudah terjadinya bencana atau
kerentanan tergantung kondisi alam seperti bentuk geografis, geologi,
cuaca, iklim (Urata, 2008).
2. Faktor social
Faktor social adalah kerentanan akibat ulah manusia, contohnya:
pembangunan bangunan di daerah yang miring, meningkatnya angka
urbanisasi, kemiskinan, pengendalian bencana yang tidak tepat (Urata,
2008).

2.3. Jenis Bencana Alam


Jenis-jenis bencana alam terdiri 3 bagian (Urata, 2008)
1. Bencana alam ( natural disaster)
Bencana yang terjadi akibat kerusakan ekosistem dan telah terjadi
kelebihan kapasitas komunitas yang terkena dampaknya.
a. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan
bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan
aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan. Gempa bumi
menyebabkan kerusakan fisik sarana dan prasarana dan menyebabkan
banyak korban. Masalah kesehatan yang sering muncul cacat karena
patah tulang dan masalah sanitasi.
b. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang
dikenal dengan istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api dapat
berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas
racun, tsunami dan banjir lahar. Masalah kesehatan yang di hasilkan
adalah kematian, luka bakar, gangguan pernafasan akibat gas. Letusan
gunung merapi dapat menyebabkan masalah gizi karena menyebabkan
rusaknya tanaman, pohon serta hewan ternak.
c. Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak
lautan ("tsu" berarti lautan, "nami" berarti gelombang ombak). Tsunami
adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena
adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi. Tsunami
menyebabkan kerusakan bangunan, tanah, sarana dan prasarana umum,
kerusakan sumber air bersih.
d. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau
batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng
akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
e. Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah
atau daratan karena volume air yang meningkat.
f. Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit
air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur
sungai.
2. Bencana buatan manusia
Bencana buatan manusia adalah penyebabnya ditimbulkan oleh aktivitas
manusia contohnya kecelakaan kereta, kecelakaan kereta, kecelakaan
lalulintas, kebocoran gas.
3. Bencana khusus
Bencana khusus dibedakan menjadi empat kategori yaitu:
a. Tipe menyebar ke wilayah yang luas contohnya radio aktif dan nuklir
b. Tipe komplek jika terjadi bencana pertama di susul bencana kedua dank
ke tiga serta di susul penyebarannya.
c. Tipe gabungan atau campuran, bencana ini terjadi campuran antara
bencana alam dengan bencana akibat ulah manusia.
d. Tipe jangka panjang, tipe ini memerlukan waktu pengecekan lokasi
kejadian dan penyelamatan korban.

2.4. Kelompok Rentan


Memahami akibat dari bencana adalah manusia potensial menjadi
korban, sehingga perlu kita perlu memahami dua hal yang perlu mendapatkan
fokus utama adalah mengenali kelompok rentan dan meningkatkan kapasitas
dan kemampuan masyarakat dalam menanggulangi bencana. Kerentanan
adalah keadaan atau sifat manusia yang menyebaabkan ketidakmampuan
menghadapi bencana yang berfokus pada pencegahan, menjinakkan,
mencapai kesiapan, dan dalam menghadapi dampak tertentu.
Undang-undang penanggulangan bencana pada pasal 56 dan pasal 26
(1) menjelaskan bahwa masyarakat yang rentan adalah masyarakat yang
membutuhkan bantuan diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu
menyusui, lansia. Kerentanan dalam masyarakat dapat dikelompokkan
menjadi:
1. Kerentanan fisik
Adalah resiko yang dihadapimasyarakat dalam menghadapi ancaman
bahaya tertentu, misalnya kekuatan rekonstruksi bangunan rumah pada
daerah rawan banjir dan gempa.
2. Kerentanan ekonomi
Adalah kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam
mengalokasikan dana utuk mencegas dan penanggulangan bencana.
3. Kerentanan social
Kerentanan social dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang
ancaman dan penanggulangan bencana, serta ingkat kesehatan yang
rendah.
4. Kerentanan lingkungan
Kerentanan yang melihat aspek tempat tinggal masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.

2.5. Peran Perawat Dalam Bencana


Peran perawat diharapkan dalam setiap bencana yang terjadi. Peran
perawat menurut fase bencana:
1. Fase pre impact
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan
dalam penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan, organisasi
lingkungan, Palang Merah Nasinal, maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi
memberikan tanggap bencana.
c. Perawat terlibat dalam promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan
tanggap bencana, meliputi usaha pertolongan diri sendiri, pelatihan
pertolongan pertama dalam keluarga dan menolong anggota keluarga
yang lain, pembekalan informs cara menyimpan makanan dan
minuman untuk persediaan, perawat memberikan nomer telepon
penting seperti nomer telepon pemadam kebakaran, ambulans, rumah
sakit, memberikan informasi peralatan yang perlu dibawa (pakaian,
senter).
2. Fase impact
a. Bertindak cepat.
b. Perawat tidak memberikan janji apapun atau memberikan harapan palsu
pada korban bencana.
c. Konsentrasi penuh pada hal yang dilakukan.
d. Berkoordinasi dengan baik dengan tim lain.
e. Bersama pihak yang terkait mendiskusikan dan merancang master plan
revitalizing untuk jangka panjang.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan
tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk
penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase).
TRIASE :
a. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam
kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma
dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
luka bakar derajat I-II.
b. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury
dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam
keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60
menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur
terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat II.
c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur
tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan
dislokasi.
d. Hitam meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat
dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.
3. Fase post-impact
a. Memberikan terapi bagi korban bencana untuk mengurangi trauma.
b. Selama masa perbaikan perawat membantu korban bencana alam untuk
kembali ke kehidupan normal.
c. Beberapa penyakit dan kondisi fisik yang memerlukan pemulihan
dalam jangka waktu lama memerlukan bekal informasi dan
pendampingan.

2.6. Permasalahan di Bidang Kesehatan


Berikut ini merupakan akibat – akibat bencana yang dapat muncul baik
langsung maupun tidak langsungterhadap bidang kesehatan.
1. Korban jiwa, luka, dan sakit ( berkaitan dengan angka kematian dan
kesakitan)
2. Adanya pengungsi yang pada umumnya akan menjdai rentan dan beresiko
mengalami kurang gizi, tertular penyakit, dan menderita stress.
3. Kerusakan lingkungan sehingga kondisi menjadi darurat dan
menyebabkan keterbatasan air dan sanitasi serta menjadi tempat
perindukan vector penyakit.
4. Seringkali system pelayanan kesehatan terhenti, selain karena rusak, besar
kemungkinan tenaga kesehatan setempat juga menjadi korban bencana.
5. Bila tidak diatasi segera, maka derajat kesehatan semakin menurun dan
berpotensi menyebabkan terjadinya KLB.
Penyakit penyakit yang sering kali diderita para pengungsi di Indonesia
tidak lepas dari kondisi kedaruratan lingkungan, antara lain diare, ISPA,
campak dan malaria. WHO mengidentifikasi empat penyakit tersebut sebagai
The Big Four. Kejadian penyakit spesifik sering muncul sesuai dengan
bencana yang terjadi. Banjir di Jakarta pada awal tahun 2007 selain
menimbulkan peningkatan kasus Diareyang tinggi, juga memunculkan kasus
leptospirosis yang relative besar, yaitu 248 kasus dengan 19 kematian (CFR
7,66 %). Sedangkan, gempa di DIY dan jateng pada tahun 2006
mengakibatkan 76 penduduk menderita tetanus dan 29 di antaranya
meninggal dunia.
Meskipun dapat dikatakan dengan sepatah kata, ada bermacam-macam
penyebab bencana, kondisi kerusakannya, serta massa-massa terkena
dampak, dan lain-lain. Biasanya dalam menanggulangi bencana, maka
bencana tersebut akan dibagi menjadi 4 fase, yaitu :
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana ( prevention and preparedne
phase)
2. Fase tindakan ( response phase) yang terdiri dari fase akut ( acute phase)
dan fase sub akut (sub acute phase)
3. Fase pemulihan ( recovery phase)
4. Fase rehabilitasi / rekonstruksi.
Fase fase ini terjadi secara berurutan sebelum dan sesudah bencana, dan
tindakan terhadap bencana pertama berhubungan dengan kesiapsiagaan
untuk bencana selanjutnya, sehingga hal ini disebut siklus bencana.
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang
baik dengan memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalsisir
berbagai kerugian yang ditimbulkan akibat bencanadan menyusun
perencanaan agar dapat melakukan kegiatan pertolongan serta perawatan
yang efektif pada saat terjadi bencana. Tindakan terhadap bencana
menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu:
a. Pengkajian terhadap kerentanan
b. membuat perencanaan ( pencegahan bencana)
c. Pengorganisasian
d. Sistem informasi
e. Pengumpulan sumber daya
f. Sistem alarm
g. Mekanisme tindakan
h. Pendidikan dan pelatihan penduduk
i. Gladi resik.
2. Fase tindakan
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat
yang nyata untuk menjaga diri sendiri dan harta kekayaan. Aktivitas yang
dilakukan secara kongkret yaitu :
a. Instruksi pengungsian
b. Pencarian dan penyelamatan korban
c. Menjamin qkeamanan dilokasi bencana
d. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
e. Pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat,
f. Pengiriman dan penyerahan barang material
g. Menyediakan tempat pengungsian dan lain-lain.
Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi
dengan membaginya menjadi fase akut dan fase sub akut. Dalam fase akut,
48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan
pertolongan / pelayanan medis darurat terhadap orang orang yang terluka
pada saat mengungsi atau dievakuasi, serta dilakukan tindakan-tindakan
terhadap munculnya permasalahan kesehatan dalam pengungsian.
3. Fase pemulihan
Fase pemulihan dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan,
tetapi fase ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan
kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sedia kala, (
sebelum terjadi bencana), orang-orang melakukan perbaikan darurat
tempat tinggalnya, pindah kerumah sementara, mulai masuk sekolah
ataupun bekerja kembali sambil memulihkan lingkungan tempat
tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas
untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga memulai
memberikan kembali pelayanan seqqcara normal serta mulai menyusun
rencana-rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan
kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase
pemulihan dan tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti
sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini merupakan masa
peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
4. Fase Rehabilitasi / Rekonstruksi.
Jangka waktu fase Rehabilitasi / Rekonstruksi juga tidak dapat
ditentukan, namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat
berusaha menegembalikan fungsi-fungsinya seperti sebelum bencana dan
merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Tetapi, seseorang
atau masyarakat tidak dapat kembali pada keadaan yang sama seperti
sebelum mengalami bencana, sehingga dengan menggunaan
pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan individu serta keadaan
komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif.

2.7. Pelayanan Medis Bencana berdasarkan Siklus Bencana


Kehidupan dan kondisi fisik serta psikis orang banyak akan mengalami
perubahan saat berhdapan dengan setiap siklus bencana. Oleh karena itu,
pelayanan medis yang dibutuhkan adalah yang juga akan berubah dalam
menanggulangi setiapsiklus bencana. Secara singkat akan diuraikan seperti
di bawah ini.
1. Fase akut dalam siklus bencana
Dilokasi bencana, pertolongan terhadap korban luka dan evakuasi
dari lokasi berbahaya ke tempat yang aman adalah hal yang paling
diprioritaskan. Untuk menyelamatkan korban luka sebanyak mungkin,
maka sangat diperlukan lancarnya pelaksanaan Triage ( triase), Treatment
( pertolongan pertama), dan transportation ( transportasi) pada korban
luka, yang dalam pelayanan medis bencana disebut dengan 3T. selain
tindakan penyelamatan secara langsung, dibutuhkan juga perawatan
terhadap mayat dan keluarga yang ditinggalkan, baik di rumah sakit, lokasi
bantuan perawatan darurat maupun ditempat pengungsian yang menerima
korban bencana.
2. Fase menengah dan panjang pada siklus bencana.
Pada fase ini, terjadi perubahan pada lingkungan tempat tinggal yaitu
dari tempat pengungsiam ke rumah sementara dan rumah yang
direhabilitasi. Hal-hal yang dilakukan diantaranya adalah : memperhatikan
segi keamanan supaya dapat menjalankan aktivitas hidup yang nyaman
dengan tenang, membantu terapi kejiwaan korban bencana, membantu
kegiatan-kegiatan untuk memulihkan kesehatan hidup dan membangun
kembali komunitas social
3. Fase tenang pada siklus bencana
Pada fase tenang diman tidak terjadi bancana, diperlukan pendidikan
penanggulangan bencana sebagai antisipasi saat bencana terjadi, pelatihan
pencegahan bencana pada komunitas dengan melibatkan penduduk
setempat, pengecekan dan pemeliharaan fasilitas peralatan pencegahan
bencana baik di daerah-daerah maupun pada fasilitas medis, srta
membangun sistem jaringan bantuan.

2.8. Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan


Dengan melihat faktor resiko yang terjadi akibat bencana, maka
penanggulangan bencana sector kesehatan bisa dibagi menjadi aspek medis
dan aspek kesehatan masyarakat. Pelaksanaanya tentu harus melakukan
koordinasi dan kloaborasi dengan sector dan program terkait. Berikut ini
merupakan ruang lingkup bidang pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan, terutama saat tanggap darurat dan pasca bencana.
1. Sanitasi darurat.
Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan jamban
:kualitas tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai standard.
Kekurangan jumlah maupun kualitas sanitasi ini akan meningkatkan
resiko penularan penyakit.
2. Pengendalian vector.
Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka kemungkinan
terdapat nyamuk dan vector lain disekitar pengungsi. Ini termasuk
timbunann sampah dan genagan air yang memungkinkan tejadinya
perindukan vector. Maka kegiatan pengendalian vector terbatas saat
diperlukan baik dalam bentuk spraying, atau fogging, larvasiding, maupun
manipulasi lingkungan.
3. Pengendalian penyakit.
Bila dari laporan pos pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan kasus
penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka dilakukan pengendalian
melalui intensifikasi penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor
resikonya. Penyakit yang memerlukan perhatian adalah diare dan ISPA.
4. Imunisasi terbatas.
Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama orang tua,
ibu hamil, bayi dan balita. Bagi bayi dan balita perlu imunisasi campak
bila dalam catatan program daerah tersebut belum mendapatkan crash
program campak. Jenis imunisasi lain mungkin diperlukan ssuai dengan
kebutuhan setempat seperti yang dilakukan untuk mencegah kolera bagi
sukarelawan di Aceh pada tahun 2005 dan imunisasi tetanus toksoid (TT)
bagi sukarelawan di DIY dan jateng apda tahun 2006.
5. Surveilanse Epidemologi.
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi epidemologi penyakit
potensi KLB dan faktor resiko.atas informasi inilah maka dapat ditentukan
pengendalian penyakit, pengendalian vector, dan pemberian imunisasi,
informasi epidemologi yang harus diperoleh melalui kegiatan surveilens
epidemologi adalah :
a. Reaksi social
b. Penyakit menular
c. Perpindahan penduduk
d. Pengaruh cuaca
e. Makanan dan gizi
f. Persediaan air dan sanitasi
g. Kesehatan jiwa
h. Kerusakan infrastruktur kesehatan.
Menurut DepKes RI (2006a) manajemen siklus penanggulangan
bencana terdiri dari:
1. impact (saat terjadi bencana)
2. Acute Response (tanggap darurat)
3. Recovery (pemulihan)
4. Development (pembangunan)
5. Prevention (pencegahan)
6. Mitigation (Mitigasi)
7. Preparedness (kesiapsiagaan).
Aktivitas yang dilakukan untuk menangani masalah kesehatan
dalam siklus bencana dibagi menjadi 2 macam, yaitu pada fase akut untuk
menyelamatkan kehidupan dan fase sub-akut sebagai perawatan
rehabilitatif. Menurut DepKes RI (2006a) untuk mengetahui manajemen
penanggulangan bencana secara berkesinambungan, perlu dipahami
siklus penanggulangan bencana dan peran tiap komponen pada setiap
tahapan, sebagai berikut:
1. Kejadian bencana (impact)
Kejadian atau peristiwa bencana yang disebabkan oleh alam atau ulah
manusia, baik yang terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, dapat
menyebabkan hilangnya jiwa manusia, trauma fisik dan psikis,
kerusakan harta benda dan lingkungan, yang melampaui
kemampuan dan sumberdaya masyarakat untuk mengatasinya.
2. Tanggap darurat (acute response)
Upaya yang dilakukan segera setelah kejadian bencana yang bertujuan
untuk menanggulangi dampak yang timbul akibat bencana,
terutama penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan
pengungsian.
3. Pemulihan (recovery)
Proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana baik
dampak fisik dan psikis, dengan memfungsikan kembali sarana dan
prasarana pada keadaan semula. Hal ini dilakukan dengan memperbaiki
prasaran dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar,
Puskesmas dll) dan memulihkan kondisi trauma psikologis yang
dialami anggota masyarakat.
4. Pembangunan (development)
Merupakan fase membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak
akibat bencana. Pembangunan ini dapat dibedakan menjadi 2 tahapan.
Tahapan yang pertama yaitu rehabilitasi yang merupakan upaya yang
dilakukan setelah kejadian bencana untuk membantu masyarakat
memperbaiki rumah, fasilitas umum dan fasilitas sosial serta
menghidupkan kembali roda ekonomi. Tahapan yang kedua
yaitu rekonstruksi, yang merupakan program jangka menengah
dan jangka panjang yang meliputi program fisik, sosial dan
ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi
yang sama atau lebih baik.
5. Pencegahan (prevention)
Tindakan pencegahan yang harus dilaksanakan antara lain
berupa kegiatan untuk meningkatkan kesadaran/kepedulian
mengenai bahaya bencana. Langkah-langkah pencegahan
difokuskan pada intervensi terhadap gejala-gejala alam dengan tujuan
agar menghindarkan terjadinya bencana dan atau menghindarkan
akibatnya dengan cara menghilangkan/memperkecil kerawanan dan
meningkatkan ketahanan/kemampuan terhadap bahaya.
6. Mitigasi (mitigation)
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara
fisik struktural dengan pembuatan bangunan-bangunan fisik maupun
non- fisik struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan.
Mitigasi merupakan semua aktivitas yang dilakukan untuk
menghilangkan atau mengurangi derajat risiko jangka panjang dalam
kehidupan manusia yang berasal dari kerusakan alam dan buatan
manusia itu sendiri (Stoltman et al., 2004).
7. Kesiapsiagaan (preparedness)
Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui
pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Persiapan adalah salah satu tugas utama dalam disaster
managemen, karena pencegahan dan mitigasi tidak dapat
menghilangkan vulnerability maupun bencana secara tuntas

2.9. Pencegahan dan Mitigasi


Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang
dilakukan, bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi
risiko yang ditimbulkan oleh bencana. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya
dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
1. Mitigasi pasif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain:
a. Penyusunan peraturan perundang-undangan
b. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
c. Pembuatan pedoman/standar/prosedur
d. Pembuatan brosur/leaflet/poster
e. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
f. Pengkajian / analisis risiko bencana
g. Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan
h. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
i. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
j. Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
2. Mitigasi aktif
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif
antara lain:
a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana dsb.
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan
ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang
berkaitan dengan pencegahan bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
d. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang
lebih aman.
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi
jika terjadi bencana.
g. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan
gempa dan sejenisnya.
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang
bersifat non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan
yang bersifat struktural (berupa bangunan dan prasarana).
DAFTAR PUSTAKA

Blackwell, Wiley, 2015-2017. Nanda International, Inc. Nursing Diagnoses :


Definitions & Classification. 10th Ed. The atrium, shouter Gate, Chichester,
West Sussex
Bencana, Pujiono. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Penanggulangan Bencana Paragdima Penanggulangan.
Blogspot.2010. Bencana. http://keperawatankomunitas.blogspot.com/2010/04/ben
cana.html. Diakses Pada Tanggal 2 September 2016. Pukul 08.45 WIB.
Bulechek, Gloria M & Butcher, Howard, K, 2013. Nursing Interventions
Classification (NIC). 6th Ed. St Louis : Missouri
Efendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Keliat,B.A, dkk. 2006. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa Dalam Keperawatan
Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : Modul IC CMHN.FIKUI
Moorhead, Sue & Johnson Marion. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC).
5th Ed. St Louis :Missouri
Munawar. 2011. Pengertian dan Istilah-istilah Bencana.
www.kangmunawar.com/bencana/pengertian-dan-istilah-istilah-bencana.
Diakses Pada Tanggal 15 Desember 2019. Pukul 08.15 WITA
Suliswati. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Weenbee. 2011. Peran Perawat Dalam Manajemen
Bencana.http://weenbee.wordpress.com/2011/08/23/peran-perawat-dalam-
manajemen-bencana/#more-94. Diakses Pada Tanggal 15 Desember 2019.
Pukul 09.00 WITA.
Wikipedia. 2011. Bencana. www.id.wikipedia.org/wiki/bencana. Diakses Pada
Tanggal 14 Desember 2019. Pukul 09.30 WITA.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai