OLEH :
Kelompok 2
1. I Gede Putra Sainan Jaya 193223116
2. I Gusti Ayu Trisnadewi 193223117
3. I Komang Prayoga 193223118
4. I Komang Suastika 193223119
5. I Made Dirga Wahyudi 193223120
6. I Putu Arik Wisnawan 193223121
7. I Wayan Budianto 193223122
8. Ida Ayu Mirah 193223123
9. Ike Sri Wulandari 193223124
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah di atas adalah untuk mengetahui bagaimana persiapan dan
pelaksanaan penanganan musibah masal dan bencana.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam atau
manusia yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian harta benda,
kerusakan lingkungan, kerusakan saranadan prasarana umum serta menimbulkan gangguan
terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat dan pembangunan nasional yang
memerlukan bantuan dan pertolongan secara khusus. Peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam atau manusia yang mengakibatkan korban dan penderitaan
manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan saranadan prasarana
umum serta menimbulkangangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat
dan pembangunan nasional yang memerlukan bantuan dan pertolongan secara khusus
Korban akibat kejadian dengan jumlah relatif banyak oleh karena sebab yang sama
dan perlu mendapatkan pertolongan kesehatan segera dengan menggunakan sarana,
fasilitas dan tenaga yang lebih dari yang tersedia sehari-hari.
2.2 Penyebab
1. Alam : seperti : banjir, gempa bumi,tsunami dan lain sebagainya.
2. Teknologi : seperti : tabrakan kereta api,rubuhnya gedung dan lain sebagainya.
3. Konflik : seperti : konflik antar etnis,terorisme dan lain sebagainya
5
2.4 Penatalaksanaan kesiapsiagaan di lapangan
1. Merupakan bagian dari aktivitas yang bertujuan untuk
a. Memastikan tanda bahaya
b. Evaluasi besarnya maslaah
c. Memastikan sumber daya yang ada memperoleh dan dilakukan mobilisasi
2. Mencakup peringatan awal, penilaian situasi,dan penyebaran pesan siaga.
3. Inti dari proses penyiagaan adalah pusat komunikasi
6
b. Aksi pencegahan dilakukan dengan menetapkan area larangan.
c. Tenaga pelaksana dilakukan oleh Dinas Pemadam Kebakaran dengan bantuan dari
unit khusus terkait.
2.9 Triase
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit
(berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk
menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi
(berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau
penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan
proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial
harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan ini harus
dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi
memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera,
usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang mengharuskan
peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera neurologis berat,
tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya. Survei primer
membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan dalam satu kelompok triase
(misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih dibanding amputasi traumatik yang
stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik,
hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai
hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana
memaksimalkan jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini
7
berakibat pasien cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis distabilkan.
Triase dalam keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik. Saat ini tidak ada
standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG
(Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And
Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat bencana
mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
1. Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase
untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
2. Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
a. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
b. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat
serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas,
cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau
perdarahan berat, luka bakar berat).
c. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera
yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam
waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas
(misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi,
fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat,
serta luka bakar ringan).
d. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan
penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas,
cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai Prioritas
Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau penyaki kritis dan
berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan transportasi, dan
Prioritas Kelima (Putih)yaitu kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok sesuai.
8
1. Triase Sistim METTAG.
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan tindakan atas korban.
Resusitasi ditempat.
2. Triase Sistem Penuntun Lapangan START.
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan status
mental (RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk
memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan
transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini
memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan
risiko besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera.
Resusitasi diambulans.
3. Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa
digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di ambulans
atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan.
Tanda tingkat keparahan korban missal :
a. Merah : Korban-korban yang membutuhkan stabilisasi segera ( Gangguan
ABCD) dankorban- korban dengan :
1. Syok oleh berbagai kausa
2. Gangguan pernafasan
3. Trauma kepala dengan pupil anisokor
4. Perdarahan eksternal massif
b. Kuning : Korban yang memerlukanpengawasan ketat, tetapi perawatan
dapatditunda sementara. Termasuk :
1. Korban dengan resiko syok
2. Fraktur multiple
3. Fraktur Femur/ pelvis
4. Luka bakar luas
5. Gangguan kesadaran/ trauma kepala
6. Korban dengan status tidak jelas.
c. Hijau : Kelompok korban yang tidakmemerlukan pengobatan atau
pemberianpengobatan dapat ditunda, seperti :
1. Fraktur minor
2. Luka minor
9
d. Hitam : Korban yang telah meninggal dunia.
Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas yang selesai melakukan
triase) mulai melakukan stabilisasi dan tindakan bagi korban berdasar prioritas triase, dan
kemudian mengevakuasi mereka ke Area Tindakan Utama sesuai kode prioritas. Kode
merah dipindahkan ke Area Tindakan Utama terlebih dahulu.
2.11 Perimeter
Perimeter Terluar. Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan
mengatur perimeter sekitar lokasi untuk mencegah masyarakat dan kendaraan masuk
kedaerah berbahaya. Perimeter seluas mungkin untuk mencegah yang tidak
berkepentingan masuk dan memudahkan kendaraan gawat darurat masuk dan keluar.
2.13 Keamanan
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua
kegiatan dalam keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan
berbahaya dll. Bila petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya yang bisa
10
membunuh penolong atau korban, ia punya wewenang menghentikan atau merubah
operasi untuk mecegah risiko lebih lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat dan efektif
dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti, untuk menyelamatkan
hidup, untuk meminimalkan risiko cedera serta kerusakan.
11
terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera
Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai
tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan
memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama survei
primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter denyut.
Monitor memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa
nasogastrik untuk dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan
lambung. Katater Foley kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis
skrotum / labia major, prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk
menyingkirkan cedera urethral sebelum kateterisasi.
12
Selanjutnya cari riwayat,termasuk laporan petugas pra RS, keluarga, atau korban
lain.Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya, alergi
dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir, kejadian sekitar
kecelakaan.Data ini membantu mengarahkan survei sekunder mengetahui mekanisme
cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi
fisiologis pasien secara umum.
1. Pemeriksaan Fisik Berurutan
Diktum “jari atau pipa dalam setiap lubang“ mengarahkan pemeriksaan. Periksa
setiap bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi.
Periksa lengkap dari kepala hingga jari kaki termasuk status neurologisnya.
2. pemeriksaan pencitraan dan laboratorium
Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang menuntun
penilaian awal. Saat serta urutan pemeriksaan adalah penting namun tidak boleh
mengganggu survei primer dan resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat
membawa pasien keruang radiologi.
3. Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal
Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai dalam 20
menit. Gas darah arterial juga penting namun kegunaannya dalam pemeriksaan serial
digantikan oleh oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat kedatangan,
dengan pengertian bahwa dalam perdarahan akut, turunnya Ht mungkin tidak tampak
hingga mobilisasi otogen cairan ekstravaskuler atau pemberian cairan resusitasi IV
dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining urin
untuk penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab
penurunan kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit serum,
parameter koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan laboratorium umum lainnya
kurang berguna saat 1-2 jam pertama dibanding setelah stabilisasi dan resusitasi.
14
2. Upaya mitigasi bencana harus memiliki persepsi yang sama baik dari aparat
pemerintahan ataupun masyarakatnya -> salah satunya dahulukan kelompok
rentan
3. Upaya preventif harus diutamakan untuk meminimalisir dampak bencana
4. Upaya mitigasi bencana terkoordinir secara terpadu bagi aparat ataupun
masyarakatnya
15
5. Peringatan Dini
Peringatan dini ini berguna untuk memberitahukan hasil pengamatan atau evaluasi
bencana secara berskala di suatu daerah rawan bencana. Peringatan dini dapat berupa
pengalihan jalur jalan.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat
dalam pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando
Bencana dan berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat medis baik
dalam keadaan bencana atau sehari-hari. Semua petugas harus waspada dan memiliki
pengetahuan sempurna dalam peran khusus dan pertanggung-jawabannya dalam usaha
penyelamatan pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua
petugas harus berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan
bencana agar lebih terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.
3.2 Saran
Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian
dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material.
Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus
dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran,
tepat manfaat, dan terjadi efisiensi. Dengan demikian diharapkan pelaksanaan
manajemen logistik dan peralatan dapat berjalan secara efektif dan efisien dan
terkoordinasi dengan baik.
17
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Bina Yanmed Depkes RI. 2006. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). Jakarta : EGC.
Efendi,Ferry. 2009. Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Mepsa,Putra.2012. Peran Mahasiswa Kesehatan dalam Tanggap Bencana. Jakarta:EGC.
Kholid, Ahmad. Prosedur Tetap Pelayanan Medik Penanggulangan Bencana.Jakarta:EGC.
18