Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA

PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENANGANAN MUSIBAH MASAL DAN


MITIGASI BENCANA

OLEH :
Kelompok 2
1. I Gede Putra Sainan Jaya 193223116
2. I Gusti Ayu Trisnadewi 193223117
3. I Komang Prayoga 193223118
4. I Komang Suastika 193223119
5. I Made Dirga Wahyudi 193223120
6. I Putu Arik Wisnawan 193223121
7. I Wayan Budianto 193223122
8. Ida Ayu Mirah 193223123
9. Ike Sri Wulandari 193223124

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Persiapan dan Pelaksanaan Penanganan
Musibah Masal dan Bencana dengan baik. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Bencana.
Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan
bentuan dari berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini dan selesai
tepat pada waktunya. Untuk itu kami tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusunan bahasa maupun dari segi lainnya.
Kami mengaharapka semoga dari maklah ini bermanfaat dan dapat memberikan
informasi serta memberikan inspirasi untuk kita semua. Akhir kata kami ucapkan terimakasih.

Denpasar, November 2020

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Seperti kita ketahui bahwa bencana merupakan kejadian yang mendadak, tidak
terduga dan dapat terjadi pada siapa saja, dimana saja, kapan saja serta mengakibatkan
kerusakan dan kerugian harta benda, korban manusia yang relative besar baik mati maupun
cedera.Bencana dapat disebabkan karena alamiah seperti gunung meletus, banjir, tanah
longsor atau karena kesalahan manusia. Beberapa hal yang diakibatkan oleh kesalahan
manusia antara lain karena kelalaian yaitu kecelakaan lalu lintas udara, laut dan darat, serta
kebakaran dan runtuhnya gedung. Adapula bencana yang sengaja dilakukan oleh manusia
antara lain peledakan bom oleh teroris, pembakaran serta kerusuhan. Beberapa macam
bencana yang telah terjadi antara lain bencana alam, kecelakaan lalu lintas darat, udara dan
laut serta bom semuanya mengakibatkan banyak korban yang meninggal. Identifikasi
Korban Massal sangat penting mengingat kepastian seseorang hidup dan mati sangat
diperlukan untuk kepentingan hukum yang berkaitan dengan Asuransi, Pensiun, Warisan,
dan lain-lain.
Penanganan korban mati pada bencana selama ini belum mendapat perhatian yang
serius, penuh tantangan serta memerlukan dana, sarana dan prasarana yang cukup mahal
serta dibutuhkan profesionalisme dari para petugas yang menangani hal tersebut. Selain itu
terbatasnya sumber daya manusia yang menangani korban mati baik dalam
kuantitas maupun kualitas memerlukan perhatian khusus agar dapat memenuhi kebutuhan
saat ini. Berbagai kerawanan bencana yang menimpa berbagai wilayah Indonesia secara
berturut-turut dan terus menerus, baik yang dikarenakan oleh alam, maupun karena sebab
ulah manusia, wabah penyakit dan dampak kemajuan teknologi seperti yang telah
disebutkan di atas selalu mengakibatkan penderitaan, korban jiwa manusia, kerugian
material, disamping rusaknya lingkungan serta hasil-hasil pembangunan yang telah dengan
susah payah diusahakan.
Adanya korban penderita masal dari semua kejadian diatas, mulai dari yang ringan
sampai kepada yang terberat yakni korban meninggal membawa dampak yang tidak ringan
terhadap rumah sakit sebagai unsur kesehatan yang akan memberikan pertolongan medik
kepada korban. Karena biasanya terdapat ketidak seimbangan antara kejadian dan fasilitas
pertolongan, serta kapasitas daya tampung rumah sakit saat ini yang serba terbatas.
Penanggulangan penderita korban masal dengan berbagai tingkat kegawat-daruratannya
3
harus melalui suatu sistem yang menjamin kecepatan, ketepatan pertolongan baik di tingkat
pra rumah sakit maupun di tingkat rumah sakit. Dalam pelaksanaannya diperlukan suatu
pengaturan yang jelas mengenai organisasi, tata laksana, koordinasi penyiapan tenaga dan
fasilitas, komunikasi dan pola operasional terpadu antar semua unsur terkait.

1.2 Rumusan masalah


Adapun rumusan masalah dari data di atas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana persiapan dan pelaksanaan penanganan musibah masal dan bencana?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah di atas adalah untuk mengetahui bagaimana persiapan dan
pelaksanaan penanganan musibah masal dan bencana.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam atau
manusia yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian harta benda,
kerusakan lingkungan, kerusakan saranadan prasarana umum serta menimbulkan gangguan
terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat dan pembangunan nasional yang
memerlukan bantuan dan pertolongan secara khusus. Peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam atau manusia yang mengakibatkan korban dan penderitaan
manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan saranadan prasarana
umum serta menimbulkangangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat
dan pembangunan nasional yang memerlukan bantuan dan pertolongan secara khusus
Korban akibat kejadian dengan jumlah relatif banyak oleh karena sebab yang sama
dan perlu mendapatkan pertolongan kesehatan segera dengan menggunakan sarana,
fasilitas dan tenaga yang lebih dari yang tersedia sehari-hari.

2.2 Penyebab
1. Alam : seperti : banjir, gempa bumi,tsunami dan lain sebagainya.
2. Teknologi : seperti : tabrakan kereta api,rubuhnya gedung dan lain sebagainya.
3. Konflik : seperti : konflik antar etnis,terorisme dan lain sebagainya

2.3 Siklus manajemen penanggulangan bencana


1. Kesiapsiagaan
2. Tanggap darurat
3. Mitigasi
4. Pemulihan
5. Pencegahan
6. Pembangunan

5
2.4 Penatalaksanaan kesiapsiagaan di lapangan
1. Merupakan bagian dari aktivitas yang bertujuan untuk
a. Memastikan tanda bahaya
b. Evaluasi besarnya maslaah
c. Memastikan sumber daya yang ada memperoleh dan dilakukan mobilisasi
2. Mencakup peringatan awal, penilaian situasi,dan penyebaran pesan siaga.
3. Inti dari proses penyiagaan adalah pusat komunikasi

2.5 Penilaian awal


Merupakan prosedur yang dipergunakan untuk segera mengetahui beratnya
masalah dan resiko potensial dari masalah yang dihadapi.
Tujuan :
1. Untuk mencari tahu masalah yang sedang terjadi dan kemungkinan yang dapat terjadi.
2. Untuk memobilisasi sumber daya yang adekuat.
3. Agar penatalaksanaan lapangan dapat diorganisasi secara benar sistem manajemen
bencana massal.

2.6 Tenaga Pelaksana


Semua tenaga penolong pertama yang telah diberi pelatihan penilaian awal dapat
melakukan prosedur penilaian awal pada bencana massal, seperti :
1. KSR/PMR
2. Polisi
3. Firefighter
4. Hansip
5. Satpam
6. Awak Pesawat/kend.umum
7. Sukarelawan
8. BNPB / BPBD

2.7 Tindakan pelaksana


a. Diterapkan untuk memberi perlindungan kepada korban, tim penolong
danmasyarakat yang terekspos dari segalaresiko yang mungkin terjadi seperti
:perluasan bencana, kemacetan lalu lintas,material berbahaya, dll).

6
b. Aksi pencegahan dilakukan dengan menetapkan area larangan.
c. Tenaga pelaksana dilakukan oleh Dinas Pemadam Kebakaran dengan bantuan dari
unit khusus terkait.

2.8 Penatalaksanaan korban bencana missal


1. Pencarian dan penyelamatan (SAR)
2. Perawatan di lapangan
a. Triase
b. Pertolongan Pertama
c. Pos Medis Lanjutan
3. Pos Penatalaksanaan Evakuasi

2.9 Triase
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit
(berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk
menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi
(berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau
penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan
proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial
harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan ini harus
dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi
memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera,
usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang mengharuskan
peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera neurologis berat,
tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya. Survei primer
membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan dalam satu kelompok triase
(misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih dibanding amputasi traumatik yang
stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik,
hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai
hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana
memaksimalkan jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini
7
berakibat pasien cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis distabilkan.
Triase dalam keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik. Saat ini tidak ada
standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG
(Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And
Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat bencana
mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
1. Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase
untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
2. Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
a. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
b. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat
serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas,
cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau
perdarahan berat, luka bakar berat).
c. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera
yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam
waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas
(misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi,
fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat,
serta luka bakar ringan).
d. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan
penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas,
cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai Prioritas
Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau penyaki kritis dan
berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan transportasi, dan
Prioritas Kelima (Putih)yaitu kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok sesuai.

8
1. Triase Sistim METTAG.
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan tindakan atas korban.
Resusitasi ditempat.
2. Triase Sistem Penuntun Lapangan START.
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan status
mental (RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk
memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan
transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini
memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan
risiko besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera.
Resusitasi diambulans.
3. Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa
digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di ambulans
atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan.
Tanda tingkat keparahan korban missal :
a. Merah : Korban-korban yang membutuhkan stabilisasi segera ( Gangguan
ABCD) dankorban- korban dengan :
1. Syok oleh berbagai kausa
2. Gangguan pernafasan
3. Trauma kepala dengan pupil anisokor
4. Perdarahan eksternal massif
b. Kuning : Korban yang memerlukanpengawasan ketat, tetapi perawatan
dapatditunda sementara. Termasuk :
1. Korban dengan resiko syok
2. Fraktur multiple
3. Fraktur Femur/ pelvis
4. Luka bakar luas
5. Gangguan kesadaran/ trauma kepala
6. Korban dengan status tidak jelas.
c. Hijau : Kelompok korban yang tidakmemerlukan pengobatan atau
pemberianpengobatan dapat ditunda, seperti :
1. Fraktur minor
2. Luka minor
9
d. Hitam : Korban yang telah meninggal dunia.
Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas yang selesai melakukan
triase) mulai melakukan stabilisasi dan tindakan bagi korban berdasar prioritas triase, dan
kemudian mengevakuasi mereka ke Area Tindakan Utama sesuai kode prioritas. Kode
merah dipindahkan ke Area Tindakan Utama terlebih dahulu.

2.10 Transportasi Korban


Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan keberangkatan serta
transportasi yang sesuai. Koordinator Transportasi bekerjasama dengan Koordinator
Medik menentukan rumah sakit tujuan, agar pasien trauma serius sampai kerumah sakit
yang sesuai dalam periode emas hingga tindakan definitif dilaksanakan pada saatnya.
Ingat untuk tidak membebani RS rujukan melebihi kemampuannya. Cegah pasien yang
kurang serius dikirim ke RS utama. (Jangan pindahkan bencana ke RS).

2.11 Perimeter
Perimeter Terluar. Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan
mengatur perimeter sekitar lokasi untuk mencegah masyarakat dan kendaraan masuk
kedaerah berbahaya. Perimeter seluas mungkin untuk mencegah yang tidak
berkepentingan masuk dan memudahkan kendaraan gawat darurat masuk dan keluar.

2.12 Jalur untuk Transport Korban


Petugas keamanan bersama petugas medis menetapkan perimeter sekitar lokasi
bencana yang disebut Zona Panas. Ditentukan jalur yang dinyatakan aman untuk
memindahkan korban ke perimeter kedua atau zona dimana berada Area Tindakan
Utama. Tidak seorangpun diizinkan melewati perimeter Zona Panas untuk mencegah
salah menempatkan atau memindahkan pasien secara tidak aman tanpa izin. Faktor lain
yang mempengaruhi kemantapan Zona Panas antaranya lontaran material, api, jalur
listrik, bangunan atau kendaraan yang tidak stabil atau berbahaya.

2.13 Keamanan
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua
kegiatan dalam keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan
berbahaya dll. Bila petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya yang bisa

10
membunuh penolong atau korban, ia punya wewenang menghentikan atau merubah
operasi untuk mecegah risiko lebih lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat dan efektif
dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti, untuk menyelamatkan
hidup, untuk meminimalkan risiko cedera serta kerusakan.

2.14 Penilaian awal


Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer, resusitasi-
stabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai. Diagnostik
absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang diketakui pada
awal proses. Bila tenaga terbatas jangan lakukan urutan langkah-langkah survei primer.
Kondisi pengancam jiwa diutamakan.

2.15 Survei Primer


Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control, breathing,
circulation and hemorrhage control, disability, exposure/environment). Jalan nafas
merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak terhambat. Temuan
kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda asing dan akibat penurunan
kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan nafas hingga intubasi atau
krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan
kritis bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea,
perkusi dada yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada
atau adanya defek yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen
hingga pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik. Nilai sirkulasi dengan
mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber perdarahan eksternal.
Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas spontan dan
usaha bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu atau
hilang serta adanya hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi
intrakranial yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia
menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan pemberian
metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila usaha inspirasi

11
terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera
Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai
tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan
memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama survei
primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter denyut.
Monitor memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa
nasogastrik untuk dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan
lambung. Katater Foley kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis
skrotum / labia major, prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk
menyingkirkan cedera urethral sebelum kateterisasi.

Resusitasi dan penilaian komprehensif


1. Fase Resusitasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan melakukan intervensi,
lanjutkan sampai kondisi pasien stabil, tindakan diagnosis sudah lengkap, dan prosedur
resusitatif serta tindakan bedah sudah selesai. Usaha ini termasuk kedalamnya
monitoring tanda vital, merawat jalan nafas serta bantuan pernafasan dan oksigenasi
bila perlu, serta memberikan resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid dalam 24 jam untuk
mempertahankan volume intravaskuler, perfusi jaringan dan organ vital, serta keluaran
urin. Berikan darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan yang tidak
terkontrol dengan penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik capai
resusitasi adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran urin
normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak ada bukti disfungsi end-organ. Parameter (kadar
laktat darah, defisit basa pada gas darah arteri) bisa membantu.

2.16 Survei Sekunder


Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase
resusitasi. Pada saat ini kenali semua cedera dengan memeriksa dari kepala hingga jari kaki.
Nilai lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat untuk menilai respons atas
resusitasi dan untuk mengetahui perburukan.

12
Selanjutnya cari riwayat,termasuk laporan petugas pra RS, keluarga, atau korban
lain.Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya, alergi
dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir, kejadian sekitar
kecelakaan.Data ini membantu mengarahkan survei sekunder mengetahui mekanisme
cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi
fisiologis pasien secara umum.
1. Pemeriksaan Fisik Berurutan
Diktum “jari atau pipa dalam setiap lubang“ mengarahkan pemeriksaan. Periksa
setiap bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi.
Periksa lengkap dari kepala hingga jari kaki termasuk status neurologisnya.
2. pemeriksaan pencitraan dan laboratorium
Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang menuntun
penilaian awal. Saat serta urutan pemeriksaan adalah penting namun tidak boleh
mengganggu survei primer dan resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat
membawa pasien keruang radiologi.
3. Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal
Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai dalam 20
menit. Gas darah arterial juga penting namun kegunaannya dalam pemeriksaan serial
digantikan oleh oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat kedatangan,
dengan pengertian bahwa dalam perdarahan akut, turunnya Ht mungkin tidak tampak
hingga mobilisasi otogen cairan ekstravaskuler atau pemberian cairan resusitasi IV
dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining urin
untuk penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab
penurunan kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit serum,
parameter koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan laboratorium umum lainnya
kurang berguna saat 1-2 jam pertama dibanding setelah stabilisasi dan resusitasi.

2.17 Pos Medis Lanjutan


Didirikan pada tempat yang cukup dekat untuk ditempuh dengan berjalan kaki dari
lokasi bencana ( 50 – 100 m), dan daerah tersebut merupakan :
a. Aman
b. Ada akses langsung ke jalan raya tempatevakuasi dilakukan.
c. Berada dekat dengan pos komando
13
d. Berada dalam jangkauan radio komunikasi.

Fungsi Pos Medis Lanjutan, disingkat “3 T”


a. Tag Rabel
b. Tag Rawal
c. Transfer/evakuasi.

2.18 Mitigasi Bencana


a. Pengertian
Istilah mitigasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu mitis (jinak) dan agare (melakukan).
Singkatnya, mitigasi dilakukan untuk menjinakan sesuatu dimana dalam pembahasan
ini berarti bencana. Oleh karena itu, mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana sehingga dampaknya tidak besar. Mitigasi bencana
menjadi bagian dari tahap awal penanggulangan bencana (pra bencana).

b. Pendekatan Mitigasi Bencana


 Pendekatan Struktural

Pendepatan struktural merupakan upaya mitigasi bencana melalui pembangunan


prasarana fisik dan pemanfaatan teknologi. Dengan kata lain, rekayasa ketahanan
bangunan akan bencana. Contohnya adalah adanya alat pendeteksi aktivitas
gunung.
 Pendekatan Non Struktural
Pendekatan non struktural merupakan upaya mitigasi bencana melalui pembuatan
kebijakan atau peraturan tertentu. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan
terhadap kesadaran manusia. Contohnya adalah Undang-undang Penanggulangan
Bencana.

c. Kebijakan Mitigasi Bencana


Berbagai prinsip yang diperlukan dalam upaya mitigasi bencana adalah sebagai
berikut.
1. Memahami bahwa bencana dapat diprediksi secara alamiah dan saling berkaitan
antara satu bencana dengan bencana lainnya sehingga perlu di evaluasi terus
menerus

14
2. Upaya mitigasi bencana harus memiliki persepsi yang sama baik dari aparat
pemerintahan ataupun masyarakatnya -> salah satunya dahulukan kelompok
rentan
3. Upaya preventif harus diutamakan untuk meminimalisir dampak bencana
4. Upaya mitigasi bencana terkoordinir secara terpadu bagi aparat ataupun
masyarakatnya

d. Stratesi Mitigasi Bencana


Adapun strategi agar upaya mitigasi bencana dapat terkoordinir dengan baik adalah
sebagai berikut.
1. Pemetaan
Pemetaan menjadi hal terpenting dalam mitigasi bencana, khususnya bagi wilayah
yang rawan bencana. Hal ini dikarenakan sebagai acuan dalam membentuk keputusan
antisipasi kejadian bencana. Pemetaan akan tata ruang wilayah juga diperlukan agar
tidak memicu gejala bencana. Sayangnya, untuk kasus di Indonesia pemetaan tata
ruang dan rawan bencana belum terintegrasi dengan baik.
2. Pemantauan
Hasil pemetaaan tingkat kerawanan bencana akan setiap daerah sangat membantu
dalam pemantauan dari segi prediksi terjadinya bencana. Hal ini akan memudahkan
upaya penyelamatan apabila terjadi bencana. Pemantauan juga dapat dilakukan untuk
pembangunan infrastruktur agar tetap memperhatikan AMDAL.
3. Penyebaran Informasi
Penyebaran informasi dapat dilaukan ke media cetak ataupun elektronik. Informasi ini
berupa cara mengenali gejala bencana, pencegahan, dan penanganan apabila
terjadinya bencana. Hal ini dapat meningkatkan rasa kewaspadaan akan bencana
4. Sosialisasi, Penyuluhan, dan Pendidikan
Beberapa masyarakat mungkin ada yang tidak dapat mengakses informasi mengenai
bencana. Oleh karena itu, tugasnya aparat pemerintahan untuk melakukan sosialisasi
ke masyarakat. Adapun bahan penyuluhan sama seperti di penyebaran informasi.
Selain itu, mitigasi bencana juga turut diikutsertakan dalam kurikulum pendidikan
anak-anak.

15
5. Peringatan Dini
Peringatan dini ini berguna untuk memberitahukan hasil pengamatan atau evaluasi
bencana secara berskala di suatu daerah rawan bencana. Peringatan dini dapat berupa
pengalihan jalur jalan.

e. Contoh Mitigasi Bencana


Bencana Alam: Tanah Longsor
Adapun mitigasi bencana yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
 Terasering dengan sistem drainase yang tepat
 Peta rawan bencana tanah longsor
 Melakukan pembuatan tanggul penahan runtuhan batuan
 Penutupan rekahan di atas lereng
 Reboisasi di hutan yang gundul
 Tidak mendirikan bangunan di daerah tebing atau tanah yang tidak stabil
 Memperhatikan dan membuat sistem peringatan dini
 Memantau informasi gejala tanah longsor dari media elektronik, misalnya website
BMKG

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat
dalam pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando
Bencana dan berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat medis baik
dalam keadaan bencana atau sehari-hari. Semua petugas harus waspada dan memiliki
pengetahuan sempurna dalam peran khusus dan pertanggung-jawabannya dalam usaha
penyelamatan pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua
petugas harus berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan
bencana agar lebih terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.

3.2 Saran
Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian
dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material.
Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus
dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran,
tepat manfaat, dan terjadi efisiensi. Dengan demikian diharapkan pelaksanaan
manajemen logistik dan peralatan dapat berjalan secara efektif dan efisien dan
terkoordinasi dengan baik.

17
DAFTAR PUSTAKA

Dirjen Bina Yanmed Depkes RI. 2006. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). Jakarta : EGC.
Efendi,Ferry. 2009. Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Mepsa,Putra.2012. Peran Mahasiswa Kesehatan dalam Tanggap Bencana. Jakarta:EGC.
Kholid, Ahmad. Prosedur Tetap Pelayanan Medik Penanggulangan Bencana.Jakarta:EGC.

18

Anda mungkin juga menyukai