Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH MANAJEMEN BENCANA

PERSIAPAN MITIGASI BENCANA

OLEH :
Kelompok 5

1. Nurkhasanah
2. Ibnu Maulana
3. Elka Hastija
4. Fitriani Hanifah
5. Nursobah Amalia
6. Zahra Aknal

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


dan NERS STIKes HORIZON KARAWANG
Tahun Ajaran 2021-2022
Jl.Pangkal Perjuangan KM 1 (By Pass), Tanjungpura, Karawang Barat Kab.
Karawang, Jawa Barat 41316
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Persiapan dan Mitigasi Bencana. Makalah
ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Bencana.
Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan
bentuan dari berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini dan
selesai tepat pada waktunya. Untuk itu kami tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa maupun dari segi lainnya.
Kami mengaharapkan semoga dari maklah ini bermanfaat dan dapat memberikan
informasi serta memberikan inspirasi untuk kita semua. Akhir kata kami ucapkan
terimakasih.

Karawang, September 2022

Penulis

2
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Seperti kita ketahui bahwa bencana merupakan kejadian yang mendadak, tidak
terduga dan dapat terjadi pada siapa saja, dimana saja, kapan saja serta mengakibatkan
kerusakan dan kerugian harta benda, korban manusia yang relative besar baik mati
maupun cedera.Bencana dapat disebabkan karena alamiah seperti gunung meletus, banjir,
tanah longsor atau karena kesalahan manusia. Beberapa hal yang diakibatkan oleh
kesalahan manusia antara lain karena kelalaian yaitu kecelakaan lalu lintas udara, laut dan
darat, serta kebakaran dan runtuhnya gedung. Adapula bencana yang sengaja dilakukan
oleh manusia antara lain peledakan bom oleh teroris, pembakaran serta kerusuhan.
Beberapa macam bencana yang telah terjadi antara lain bencana alam, kecelakaan lalu
lintas darat, udara dan laut serta bom semuanya mengakibatkan banyak korban yang
meninggal. Identifikasi Korban Massal sangat penting mengingat kepastian seseorang
hidup dan mati sangat diperlukan untuk kepentingan hukum yang berkaitan dengan
Asuransi, Pensiun, Warisan, dan lain-lain.
Penanganan korban mati pada bencana selama ini belum mendapat perhatian yang
serius, penuh tantangan serta memerlukan dana, sarana dan prasarana yang cukup mahal
serta dibutuhkan profesionalisme dari para petugas yang menangani hal tersebut. Selain itu
terbatasnya sumber daya manusia yang menangani korban mati baik dalam kuantitas
maupun kualitas memerlukan perhatian khusus agar dapat memenuhi kebutuhan saat ini.
Berbagai kerawanan bencana yang menimpa berbagai wilayah Indonesia secara berturut-
turut dan terus menerus, baik yang dikarenakan oleh alam, maupun karena sebab ulah
manusia, wabah penyakit dan dampak kemajuan teknologi seperti yang telah disebutkan di
atas selalu mengakibatkan penderitaan, korban jiwa manusia, kerugian material, disamping
rusaknya lingkungan serta hasil-hasil pembangunan yang telah dengan susah payah
diusahakan.
Adanya korban penderita masal dari semua kejadian diatas, mulai dari yang ringan
sampai kepada yang terberat yakni korban meninggal membawa dampak yang tidak ringan
terhadap rumah sakit sebagai unsur kesehatan yang akan memberikan pertolongan medik
kepada korban. Karena biasanya terdapat ketidak seimbangan antara kejadian dan fasilitas
pertolongan, serta kapasitas daya tampung rumah sakit saat ini yang serba terbatas.
Penanggulangan penderita korban masal dengan berbagai tingkat kegawat-daruratannya
harus melalui suatu sistem yang menjamin kecepatan, ketepatan pertolongan baik di

3
tingkat pra rumah sakit maupun di tingkat rumah sakit. Dalam pelaksanaannya diperlukan
suatu pengaturan yang jelas mengenai organisasi, tata laksana, koordinasi penyiapan
tenaga dan fasilitas, komunikasi dan pola operasional terpadu antar semua unsur terkait.

1.2 Rumusan masalah


Adapun rumusan masalah dari data di atas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana persiapan dan pelaksanaan penanganan musibah masal dan bencana?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah di atas adalah untuk mengetahui bagaimana persiapan dan
pelaksanaan penanganan musibah masal dan bencana.

4
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam
atau manusia yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian harta benda,
kerusakan lingkungan, kerusakan saranadan prasarana umum serta menimbulkan
gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat dan pembangunan
nasional yang memerlukan bantuan dan pertolongan secara khusus. Peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam atau manusia yang mengakibatkan korban
dan penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan
saranadan prasarana umum serta menimbulkangangguan terhadap tata kehidupan dan
penghidupan masyarakat dan pembangunan nasional yang memerlukan bantuan dan
pertolongan secara khusus
Korban akibat kejadian dengan jumlah relatif banyak oleh karena sebab yang sama
dan perlu mendapatkan pertolongan kesehatan segera dengan menggunakan sarana,
fasilitas dan tenaga yang lebih dari yang tersedia sehari-hari.

2.2 Penyebab
1. Alam : seperti : banjir, gempa bumi,tsunami dan lain sebagainya.
2. Teknologi : seperti : tabrakan kereta api,rubuhnya gedung dan lain sebagainya. 3.
Konflik : seperti : konflik antar etnis,terorisme dan lain sebagainya

2.3 Siklus manajemen penanggulangan bencana


1. Kesiapsiagaan
2. Tanggap darurat
3. Mitigasi
4. Pemulihan
5. Pencegahan
6. Pembangunan

5
2.4 Penatalaksanaan kesiapsiagaan di lapangan
1. Merupakan bagian dari aktivitas yang bertujuan untuk
a. Memastikan tanda bahaya
b. Evaluasi besarnya maslaah
c. Memastikan sumber daya yang ada memperoleh dan dilakukan mobilisasi
2. Mencakup peringatan awal, penilaian situasi,dan penyebaran pesan siaga. 3. Inti
dari proses penyiagaan adalah pusat komunikasi

2.5 Penilaian awal


Merupakan prosedur yang dipergunakan untuk segera mengetahui beratnya
masalah dan resiko potensial dari masalah yang dihadapi.
Tujuan :
1. Untuk mencari tahu masalah yang sedang terjadi dan kemungkinan yang dapat terjadi.
2. Untuk memobilisasi sumber daya yang adekuat.
3. Agar penatalaksanaan lapangan dapat diorganisasi secara benar sistem manajemen
bencana massal.

2.6 Tenaga Pelaksana


Semua tenaga penolong pertama yang telah diberi pelatihan penilaian awal dapat
melakukan prosedur penilaian awal pada bencana massal, seperti :
1. KSR/PMR
2. Polisi
3. Firefighter
4. Hansip
5. Satpam
6. Awak Pesawat/kend.umum
7. Sukarelawan
8. BNPB / BPBD

2.7 Tindakan pelaksana


a. Diterapkan untuk memberi perlindungan kepada korban, tim penolong
danmasyarakat yang terekspos dari segalaresiko yang mungkin terjadi seperti
:perluasan bencana, kemacetan lalu lintas,material berbahaya, dll).

6
b. Aksi pencegahan dilakukan dengan menetapkan area larangan.
c. Tenaga pelaksana dilakukan oleh Dinas Pemadam Kebakaran dengan bantuan dari
unit khusus terkait.

2.8 Penatalaksanaan korban bencana missal


1. Pencarian dan penyelamatan (SAR)
2. Perawatan di lapangan
a. Triase
b. Pertolongan Pertama
c. Pos Medis Lanjutan
3. Pos Penatalaksanaan Evakuasi

2.9 Triase
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera)
untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi
(berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau
penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan
proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial
harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan ini harus
dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi
memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera,
usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang
mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera
neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita
sebelumnya. Survei primer membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan
dalam satu kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih
dibanding amputasi traumatik yang stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat
bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik, hingga waktu yang diperlukan untuk
menilai dan menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai
hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana

7
memaksimalkan jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini
berakibat pasien cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis
distabilkan. Triase dalam keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik. Saat
ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang dianjurkan bisa
secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START
(Simple Triage And Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi
saat bencana mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
1. Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase
untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
2. Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
a. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak
mungkin diresusitasi.
b. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat
serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas,
cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau
perdarahan berat, luka bakar berat).
c. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera
yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam
waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas
(misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi,
fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat,
serta luka bakar ringan).
d. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan
penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas,
cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai
Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau penyaki
kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan
transportasi, dan Prioritas Kelima (Putih)yaitu kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok sesuai.

8
1. Triase Sistem METTAG.
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan tindakan atas korban.
Resusitasi ditempat.
2. Triase Sistem Penuntun Lapangan START.
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan status
mental (RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk
memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan
transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini
memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan
risiko besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera.
Resusitasi diambulans.
3. Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa
digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di
ambulans atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan.
Tanda tingkat keparahan korban missal :
a. Merah : Korban-korban yang membutuhkan stabilisasi segera ( Gangguan
ABCD) dankorban- korban dengan :
1. Syok oleh berbagai kausa
2. Gangguan pernafasan
3. Trauma kepala dengan pupil anisokor
4. Perdarahan eksternal massif
b. Kuning : Korban yang memerlukanpengawasan ketat, tetapi perawatan
dapatditunda sementara. Termasuk :
1. Korban dengan resiko syok
2. Fraktur multiple
3. Fraktur Femur/ pelvis
4. Luka bakar luas
5. Gangguan kesadaran/ trauma kepala
6. Korban dengan status tidak jelas.
c. Hijau : Kelompok korban yang tidakmemerlukan pengobatan atau
pemberianpengobatan dapat ditunda, seperti :
1. Fraktur minor

9
2. Luka minor
d. Hitam : Korban yang telah meninggal dunia.
Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas yang selesai melakukan
triase) mulai melakukan stabilisasi dan tindakan bagi korban berdasar prioritas triase,
dan kemudian mengevakuasi mereka ke Area Tindakan Utama sesuai kode prioritas.
Kode merah dipindahkan ke Area Tindakan Utama terlebih dahulu.

2.10 Transportasi Korban


Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan keberangkatan serta
transportasi yang sesuai. Koordinator Transportasi bekerjasama dengan Koordinator
Medik menentukan rumah sakit tujuan, agar pasien trauma serius sampai kerumah sakit
yang sesuai dalam periode emas hingga tindakan definitif dilaksanakan pada saatnya.
Ingat untuk tidak membebani RS rujukan melebihi kemampuannya. Cegah pasien yang
kurang serius dikirim ke RS utama. (Jangan pindahkan bencana ke RS).

2.11 Perimeter
Perimeter Terluar. Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan
mengatur perimeter sekitar lokasi untuk mencegah masyarakat dan kendaraan masuk
kedaerah berbahaya. Perimeter seluas mungkin untuk mencegah yang tidak
berkepentingan masuk dan memudahkan kendaraan gawat darurat masuk dan keluar.

2.12 Jalur untuk Transport Korban


Petugas keamanan bersama petugas medis menetapkan perimeter sekitar lokasi
bencana yang disebut Zona Panas. Ditentukan jalur yang dinyatakan aman untuk
memindahkan korban ke perimeter kedua atau zona dimana berada Area Tindakan
Utama. Tidak seorangpun diizinkan melewati perimeter Zona Panas untuk mencegah
salah menempatkan atau memindahkan pasien secara tidak aman tanpa izin. Faktor lain
yang mempengaruhi kemantapan Zona Panas antaranya lontaran material, api, jalur
listrik, bangunan atau kendaraan yang tidak stabil atau berbahaya.

2.13 Keamanan
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua
kegiatan dalam keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan
berbahaya dll. Bila petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya yang bisa

10
membunuh penolong atau korban, ia punya wewenang menghentikan atau merubah
operasi untuk mecegah risiko lebih lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat dan
efektif dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti, untuk
menyelamatkan hidup, untuk meminimalkan risiko cedera serta kerusakan.

2.14 Penilaian awal


Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer,
resusitasistabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai.
Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang
diketakui pada awal proses. Bila tenaga terbatas jangan lakukan urutan langkah-
langkah survei primer.
Kondisi pengancam jiwa diutamakan.

2.15 Survei Primer


Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control, breathing,
circulation and hemorrhage control, disability, exposure/environment). Jalan nafas
merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak terhambat.
Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda asing dan akibat
penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan nafas hingga intubasi
atau krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan
kritis bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea,
perkusi dada yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada
atau adanya defek yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian
oksigen hingga pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik. Nilai sirkulasi
dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber perdarahan eksternal.
Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas spontan dan
usaha bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu atau
hilang serta adanya hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi
intrakranial yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia
menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan

11
pemberian metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila usaha
inspirasi terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal.

Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera
Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai
tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan
memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama survei
primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter denyut.
Monitor memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa
nasogastrik untuk dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan
lambung. Katater Foley kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis
skrotum / labia major, prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk
menyingkirkan cedera urethral sebelum kateterisasi.

Resusitasi dan penilaian komprehensif


1. Fase Resusitasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan melakukan intervensi,
lanjutkan sampai kondisi pasien stabil, tindakan diagnosis sudah lengkap, dan
prosedur resusitatif serta tindakan bedah sudah selesai. Usaha ini termasuk
kedalamnya monitoring tanda vital, merawat jalan nafas serta bantuan pernafasan dan
oksigenasi bila perlu, serta memberikan resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid dalam 24 jam
untuk mempertahankan volume intravaskuler, perfusi jaringan dan organ vital, serta
keluaran urin. Berikan darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan
yang tidak terkontrol dengan penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik
capai resusitasi adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran
urin normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak ada bukti disfungsi end-organ. Parameter
(kadar laktat darah, defisit basa pada gas darah arteri) bisa membantu.

2.16 Survei Sekunder


Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase
resusitasi. Pada saat ini kenali semua cedera dengan memeriksa dari kepala hingga jari
kaki. Nilai lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat untuk menilai
respons atas resusitasi dan untuk mengetahui perburukan.
12
Selanjutnya cari riwayat,termasuk laporan petugas pra RS, keluarga, atau korban
lain.Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya,
alergi dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir, kejadian
sekitar kecelakaan.Data ini membantu mengarahkan survei sekunder mengetahui
mekanisme cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu dingin (cold injury),
dan kondisi fisiologis pasien secara umum.
1. Pemeriksaan Fisik Berurutan
Diktum “jari atau pipa dalam setiap lubang“ mengarahkan pemeriksaan. Periksa
setiap bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi.
Periksa lengkap dari kepala hingga jari kaki termasuk status neurologisnya.
2. pemeriksaan pencitraan dan laboratorium
Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang menuntun
penilaian awal. Saat serta urutan pemeriksaan adalah penting namun tidak boleh
mengganggu survei primer dan resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat
membawa pasien keruang radiologi.
3. Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal
Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai dalam 20
menit. Gas darah arterial juga penting namun kegunaannya dalam pemeriksaan serial
digantikan oleh oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat kedatangan,
dengan pengertian bahwa dalam perdarahan akut, turunnya Ht mungkin tidak tampak
hingga mobilisasi otogen cairan ekstravaskuler atau pemberian cairan resusitasi IV
dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining urin
untuk penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab
penurunan kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit serum,
parameter koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan laboratorium umum lainnya
kurang berguna saat 1-2 jam pertama dibanding setelah stabilisasi dan resusitasi.

2.17 Pos Medis Lanjutan


Didirikan pada tempat yang cukup dekat untuk ditempuh dengan berjalan kaki dari
lokasi bencana ( 50 – 100 m), dan daerah tersebut merupakan : a. Aman
b. Ada akses langsung ke jalan raya tempatevakuasi dilakukan.
c. Berada dekat dengan pos komando
d. Berada dalam jangkauan radio komunikasi.

13
Fungsi Pos Medis Lanjutan, disingkat “3 T”
a. Tag Rabel
b. Tag Rawal
c. Transfer/evakuasi.

2.18 Mitigasi Bencana


a. Pengertian
Istilah mitigasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu mitis (jinak) dan agare (melakukan).
Singkatnya, mitigasi dilakukan untuk menjinakan sesuatu dimana dalam
pembahasan ini berarti bencana. Oleh karena itu, mitigasi bencana adalah
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana sehingga dampaknya tidak
besar. Mitigasi bencana menjadi bagian dari tahap awal penanggulangan bencana
(pra bencana).

b. Pendekatan Mitigasi Bencana


 Pendekatan Struktural
Pendepatan struktural merupakan upaya mitigasi bencana melalui pembangunan
prasarana fisik dan pemanfaatan teknologi. Dengan kata lain, rekayasa ketahanan
bangunan akan bencana. Contohnya adalah adanya alat pendeteksi aktivitas
gunung.
 Pendekatan Non Struktural
Pendekatan non struktural merupakan upaya mitigasi bencana melalui pembuatan
kebijakan atau peraturan tertentu. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan
terhadap kesadaran manusia. Contohnya adalah Undang-undang Penanggulangan
Bencana.

c. Kebijakan Mitigasi Bencana

14
Berbagai prinsip yang diperlukan dalam upaya mitigasi bencana adalah sebagai
berikut.
1. Memahami bahwa bencana dapat diprediksi secara alamiah dan saling berkaitan
antara satu bencana dengan bencana lainnya sehingga perlu di evaluasi terus
menerus

2. Upaya mitigasi bencana harus memiliki persepsi yang sama baik dari aparat
pemerintahan ataupun masyarakatnya -> salah satunya dahulukan kelompok
rentan
3. Upaya preventif harus diutamakan untuk meminimalisir dampak bencana
4. Upaya mitigasi bencana terkoordinir secara terpadu bagi aparat ataupun
masyarakatnya

d. Stratesi Mitigasi Bencana


Adapun strategi agar upaya mitigasi bencana dapat terkoordinir dengan baik adalah
sebagai berikut.
1. Pemetaan
Pemetaan menjadi hal terpenting dalam mitigasi bencana, khususnya bagi wilayah
yang rawan bencana. Hal ini dikarenakan sebagai acuan dalam membentuk
keputusan antisipasi kejadian bencana. Pemetaan akan tata ruang wilayah juga
diperlukan agar tidak memicu gejala bencana. Sayangnya, untuk kasus di Indonesia
pemetaan tata ruang dan rawan bencana belum terintegrasi dengan baik.
2. Pemantauan
Hasil pemetaaan tingkat kerawanan bencana akan setiap daerah sangat membantu
dalam pemantauan dari segi prediksi terjadinya bencana. Hal ini akan memudahkan
upaya penyelamatan apabila terjadi bencana. Pemantauan juga dapat dilakukan untuk
pembangunan infrastruktur agar tetap memperhatikan AMDAL.
3. Penyebaran Informasi
Penyebaran informasi dapat dilaukan ke media cetak ataupun elektronik. Informasi ini
berupa cara mengenali gejala bencana, pencegahan, dan penanganan apabila
terjadinya bencana. Hal ini dapat meningkatkan rasa kewaspadaan akan bencana.

4. Sosialisasi, Penyuluhan, dan Pendidikan

15
Beberapa masyarakat mungkin ada yang tidak dapat mengakses informasi mengenai
bencana. Oleh karena itu, tugasnya aparat pemerintahan untuk melakukan
sosialisasi ke masyarakat. Adapun bahan penyuluhan sama seperti di penyebaran
informasi. Selain itu, mitigasi bencana juga turut diikutsertakan dalam kurikulum
pendidikan anak-anak.

5. Peringatan Dini
Peringatan dini ini berguna untuk memberitahukan hasil pengamatan atau evaluasi
bencana secara berskala di suatu daerah rawan bencana. Peringatan dini dapat berupa
pengalihan jalur jalan.

e Contoh Mitigasi Bencana


. Alam:
Bencana Tanah Longsor
Adapun mitigasi bencana yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
 Terasering dengan sistem drainase yang tepat
 Peta rawan bencana tanah
longsor
 Melakukan pembuatan tanggul penahan
runtuhan
 Penutupan rekahan di atas
lereng
 Reboisasi di hutan yang gundul
 Tidak mendirikan bangunan di daerah tebing
yang
atau
tidak stabil
 Memperhatikan dan membuat sistem peringatan dini
 Memantau informasi gejala tanah longsor dari media elektronik, misalnya website
BMKG

BAB III PENUTUP

16
3.1 Kesimpulan
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat dalam
pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando Bencana
dan berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat medis baik dalam
keadaan bencana atau sehari-hari. Semua petugas harus waspada dan memiliki
pengetahuan sempurna dalam peran khusus dan pertanggung-jawabannya dalam usaha
penyelamatan pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua
petugas harus berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan
bencana agar lebih terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.

3.2 Saran
Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian
dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material.
Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus
dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran,
tepat manfaat, dan terjadi efisiensi. Dengan demikian diharapkan pelaksanaan
manajemen logistik dan peralatan dapat berjalan secara efektif dan efisien dan
terkoordinasi dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

17
Dirjen Bina Yanmed Depkes RI. 2006. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). Jakarta : EGC.
Efendi,Ferry. 2009. Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Mepsa,Putra.2012. Peran Mahasiswa Kesehatan dalam Tanggap Bencana. Jakarta:EGC.
Kholid, Ahmad. Prosedur Tetap Pelayanan Medik Penanggulangan Bencana.Jakarta:EGC.

18

Anda mungkin juga menyukai