Anda di halaman 1dari 25

MODUL - IV

KEPERAWATAN FORENSIK DALAM MANAGEMEN BENCANA

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Selama 30 menit pertama, dosen menjelaskan tentang:
1. Deskripsi Mata Kuliah (hal.7) selama 10 menit
2. Proses Pembelajaran selama satu semester (hal.11) selama 15 menit
3. Evaluasi pembelajaran 5 menit.
Sesuai dengan yang tercantum di dalam modul (mahasiswa dan dosen) serta
beberapa peraturan tambahan yang telah disepakati.Selanjutnya memulai modul 4
yang menjadi dasar pemahaman sebelum memasuki bagian utama pada mata kuliah
ini. mahasiswa memahami tentang pentingnya mempelajari KEPERAWATAN
FORENSIK DALAM MANAGEMEN BENCANA.
Sebelum semua ini dikemukakan oleh dosen, maka sebaiknya dosen terlebih dahulu
menggali pemahaman mahasiswa terhadap pentingnya materi ini sebagai dasar dalam
memahami mata kuliah Keperawatan Forensik, yakni terkait:
1. Keperawatan Forensik Dalam Management Bencana
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut yang tentunya dibangun dari pemahaman
mahasiswa yang menjadi kesimpulan diskusi diharapkan dapat menjadi motivasi bagi
mahasiswa untuk bersungguh-sungguh mempelajari materi ini mengingat
keterkaitannya dengan materi dan matakuliah lainnya dan pencapaian kompetensi
almuni Keperawatan.

B. Ruang Lingkup Isi


Isi dari Modul IV ini secara garis besar meliputi tentang management bencana,
Incident Command System (ICS), Analysis Vulnerability hazard, dan resiko bencana .

C. Sasaran Pembelajaran Modul


Peraturan Pembelajaran
1. Setelah pemaparan kontrak perkuliahan, mahasiswa memahami tentang persiapan
sebelum kuliah tatap muka, tugas baca dan tugas modul serta kewajiban laporan
hasil kuliah tatap muka.

127
2. Setelah proses pembelajaran dosen-mahasiswa yang dipandu dengan modul
masing-masing, maka dosen dapat menggali capaian kompetensi mahasiswa terkait
forrmulasi sediaan larutan yang indikatornya adalah kemampuannya dalam hal:
1) Mampu menjelaskan management bencana
2) Mampu menjelaskan keperawatan forensik dalam management bencana
3) Mampu menjelaskan Incident Command System (ICS)
4) Mampu menjelaskan Analysis Vulnerability Hazard
5) Mampu menjelaskan Resiko Bencana

II. MATERI PEMBELAJARAN


Pertemuan 11, 12, dan 13
1. Pemahaman tentang peraturan perkuliahan dan materi perkuliahan 1 semester.
Menjelaskan tentang deskripsi mata kuliah, kompetensi yang akan dicapai, matriks
perkuliahan, cara memahami modul dan mekanisme pengukuran/evaluasi
pembelajaran.
2. Pemahaman tentang Keperawatan Forensik Dalam Management Bencana
A. Manajemen Bencana
1. Definisi
Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian yang menyebabkan
kerusakan atau gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya
derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan dalam skala tertentu yang
memerlukan respon dari luar masyarakat dan wilayah yang terkena. Bencana
dapat juga didefinisikan sebagai situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang terjadi secara
mendadak/tidak terencana/secara perlahan tetapi berlanjut yang menimbulkan
dampak terhadap pola kehidupan normal atau kerusakan sehingga diperlukan
tindakan darurat dan luar biasa untuk menolong dan menyelamatkan korban baik
manusia maupun lingkungannya.
2. Jenis – Jenis Bencana
a. Bencana alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian alami seperti banjir,
genangan, gempa bumi, gunung meletus.
b. Fenomena atau gejala alam yang disebabkan oleh keadaan geologis, biologi,
hidrologis dan keadaan meterologis atau disebabkan oleh suatu proses dalam

128
lingkungan alam yang mengancam kehidupan, struktur dan perekonomian
masyarakat serta dapat menimbulkan malapetaka.
c. Bencana karena ulah manusia(manmade disaster) yaitu kejadian karena
perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara, kecelakaan, kebakaran,
ledakan, sabotase dll.
d. Peristiwa yang terjadi karena proses tekhnologi, interaksi manusia dengan
lingkungannya, atau interaksi manusia di dalam dan diantara masyarakat itu
sendiri yang menimbulkan dampak negatif.
e. Bencana berdasarkan cakupan wilayahnya terdiri atas :
1) Bencana lokal, bencana ini memberikan dampak pada wilayah sekitarnya
yang berdekatan, misalnya kebakaran, ledakan, kebocoran kimia.
2) Bencana regional, jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh
pada area geografis yang cukup luas dan biasanya disebabkan oleh faktor
alam seperti alam, banjir dan letusan gunung berapi, tsunami.
3. Klasifikasi Bencana
a. Menurut Penyebab
1) Alam: gempa bumi, erupsi, banjir
2) Perbuatan manusia: contoh kecelakaan kimia, perang
b. Menurut perkiraan
1) Dapat diprediksi sebelumnya: banjir, angin topan
2) Tidak dapat diprediksi: gempa bumi, tsunami
c. Menurut waktu berlangsungnya
1) Singkat: angin topan, gempa bumi
2) Jangka waktu lama: kekeringan, kecelakaan radiasi
d. Menurut frekuensi
a) Sering: angin tornado/angin topan
b) Jarang: mencairnya reaktor-reaktor nuklir
e. Menurut dampak
a) Terhadap jutaan orang: kelaparan, gempa bumi
b) Relative kecil: runtuhnya jembatan
4. Fase Bencana
Terdapat tiga fase terjadinya suatu bencana, yaitu terdiri dari :

129
a. Fase pre impact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana.
Informasi didapat dari badan satelit dan metodologi cuaca. Fase ini seharusnya
dilakukan persiapan dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat
b. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks bencana, inilah saat-saat
dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup, fase ini terus
berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan darurat dilakukan.
c. Fase post impact merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari
fase darurat. Juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada
fungsi kualitas normal. Fase ini, para korban akan mengalami tahap respon
fisiologi mulai dari penolakan, marah, tawar menawar, depresi dan
penerimaan.
5. Sistem Penanggulangan bencana
Penanggulan bencana dilakukan melahui tiga tahap, yaitu tahap sebelum terjadi
(prabencana), saat dan pascabencana.
a. Prabencana
1) Penyusunan peta rawan bencana
2) Penyusunan peraturan dan pedoman dalam penanggulangan krisis akibat
bencana
3) Pemberdayaan tenaga kesehatan pada sarana kesehatan
b. Saat bencana
1) Mobilisasi SDM kesehtaan ssuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan
2) Pengorganisasian DM kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan
c. Pasca bencana
1) Upaya pemulihan SDM kesehatan yang menjadi korban
2) Rekruitmen SDM kesehatan untuk peningkatan upaya penganggulangan
krisis akibat bencaan pada masa akan datang.
6. Tahap Tanggap Bencana
a. Tahap Pengaktifan:
1) Mengumumkan terjadinya bencana dan melaksanakan tanggap awal.
2) Mengorganisasi komando dan pengendalian.
b. Tahap Penerapan:
1) SAR
2) Triase, stabilisasi awal dan transport
3) Pengelolaan definitif atas pasien / sumber bahaya.

130
c. Tahap Pemulihan:
1) Menghentikan kegiatan
2) Kembali ke operasi normal
3) Debriefing
B. Keperawatanforensikdalam Manajemen Bencana
1. Definisi
Perawatforensikyang terlibatdalam managemen bencana terdiri dari
keterampilanpengamatan, pengumpulan data, dan analisis untukmengidentifikasi
korban bencana.Satu tujuandariperawatforensikdalam pengaturan iniadalah
untukmengadvokasipasienforensikmelalui
penerapanketerampilankeperawatandan pengetahuan. Perawatforensik
menyelidiki kematian,mempromosikan kesehatanantara rekan, keluarga, dan
masyarakatdarialmarhummelaluicara dannadapenyelidikan.
Perankeperawatanforensik meliputipelestarianmartabat, peduli,
danperlindungan hak asasi manusiabahkan setelah kematian. Untuk
mencapaitujuan,FNDImenerapkan pengetahuankeperawatan danproses
keperawatandalam semua aspek, termasuk penilaiandaritempat kejadian,
koleksi/evaluasispesimen, dan perawatankorban bencana.
Seperti dijelaskan dalamPedomanPendidikanFNDI, proses
keperawatan(pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) berlaku
untukpenyelidikan forensikdalam tiga tahapyang terpisah;
a. Investigasikorban bencana
b. Mengurus keluargayang meninggal duniadankorban
c. Efek padamasyarakat
Komponen-komponen inisaling terkaitdan dinamis,
sepertiuntaiDNAmanusia.Empat langkahdariproses keperawatanterjalindalam
unsur-unsuryang berbeda, tindakan seperti menilai kejadian, menerapkan arahan
saat merawat korban bencana, memberi bantuan, dan mengevaluasi semua
tindakan yang diambil selama investigasi. FNDI juga menggunakan proses
keperawatan untuk menilai kebutuhan masyarakat dan melaksanakan rencana
untuk mendukung dan mendidik anggota masyarakat yang diperlukan.
2. Peran Perawat dalam tanggap bencana

131
Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, tetapi pelayanan keperawatan tersebut
juga sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap bencana.
Perawat tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar
praktek keperawatan saja. Lebih dari itu, kemampuan tanggap bencana juga
sangat dibutuhkan saat keadaan darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi
perawat untuk bisa terjun memberikan pertolongan dalam situasi bencana.
3. Jenis kegiatan Siaga bencana
Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan
pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Berikut tindakan yang bisa
dilakukan oleh perawat dalam situasi bencana:
a. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan
korban dan kerusakan, baik korban meninggal, korban luka-luka, kerusakan
fasilitas pribadi dan umum, yang memungkinkan menyebabkan isolasi
tempat, sehingga sulit dijangkau relawan. Hal yang urgen dibutuhkan oleh
korban saat itu adalah pengobatan dari tenaga kesehatan. Perawat
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, melakukan pengobatan dan
perawatan secara tepat dan tepat. Pengobatan beragam, seperti pemeriksaan
fisik, pengobatan luka dan perawatan psikologis.
b. Pemberian bantuan
Perawatan dapat dilakukan dengan pemberian dana, pemerataan
bantuan di tempat bencana.
c. Pemulihan kesehatan mental
Para korban bencana mengalami trauma psikologis akibat kejadian
yang menimpanya. Pemulihan kesehatan mental dapat dilakukan oleh
perawat, dengan melakukan sharing dan mendengarkan keluhan pasien dan
diberikan solusi dan penyemangat.
d. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca
bencana akan menjadi terkatung-katung, maka dari itu perawat melakukan
pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi
sehingga para korban mampu membangun kehidupannya kembali.

132
C. Incident Command System (ICS)
Incident Command System (ICS) sebagai sebuah perangkat atau sistem
yangmemiliki prinsip-prinsip penanggulangan insiden atau bencana yang efektif dan
efisien dalam sistem komando, koordinasi, komunikasi dan pengelolaan sumberdaya
penanggulangan keadaan darurat.
ICS adalah model perangkat untuk komando, pengendalian dan koordinasi
tindakan penanggulangan dan mengkoordinir usaha-usaha yang dilakukan pihak-
pihak yang terkait untuk mencapai tujuan menstabilkan insiden dan melindungi jiwa,
harta benda, dan lingkungan hidup.
ICS dapat digunakan untuk menanggulangi semua jenis keadaan darurat mulai
dari kecelakaan tunggal kendaraan bermotor sampai pada kecelakaan/bencana alam
skala besar yang memerlukan keterlibatan dan kerjasama berbagai pihak baik di
internal perusahaan maupun dari luar perusahaan seperti instansi pemerintahan yang
terkait.
Ada beberapa komponen utama yang membangun struktur ICS yang dapat
memastikan penggunaan sumberdaya secara cepat dan efektif serta meminimalkan
gangguan pada kebijakan dan prosedur operasional normal dalam organisasi
penanggulangan. Konsep dan prinsip-prinsip ICS sudah teruji dan terbukti dari waktu
ke waktu baik di industri maupun di instansi penanggulangan keadaan darurat pada
semua level pemerintahan. Struktur-struktur ICS tersebut mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1. Penggunaan istilah-istilah yang baku (common terminology)
Penggunaan istilah-istilah yang sudah baku dan dikenal luas dalam pengelolaan
suatu keadaan darurat merupakan hal yang sangat penting, terutama pada saat
operasi penanggulangan keadaan darurat melibatkan berbagai instansi atau fungsi
yang berbeda. ICSmenggunakan istilah-istilah yang sudah baku dan ditetapkan
sebelumnya seperti sebagai berikut:
a. Nama untuk insiden atau keadaan darurat yang sedang ditangani, seperti
Gempa dan Tsunami Aceh dan Sumatera Utara, Kebakaran di Jalan A, dsb.
b. Fasilitas penanggulangan keadaan darurat (Incident facilities) seperti
:Incident Command Post (ICP), Staging Area, Base, Camp, dsb.
c. Jabatan dalam organisasi penanggulangan keadaan darurat seperti Incident
Commander, Section Chief, Branch Director, Unit Leader, Supervisor, dan
lain-lain.

133
d. Fungsi dalam organisasi penanggulangan keadaan darurat seperti Command
Staff, General Staff, Planning Section, Operations Section, Logistic Section,
Finance/Administration Section, Task Force, dsb.
2. Organisasi bersifat modular (a modular organization)
Organisasi penanggulangan keadaan darurat dikembangkan dari atas ke
bawah (top-down) pada semua insiden. Top-down artinya fungsi komando
dikembangkan oleh orang yang pertama datang di tempat kejadian dan menjadi
Incident Commander. Dengan berkembangnya insiden dan meluasnya operasi
penanggulangan keadaan darurat, Incident Commander akan mengaktifkan
fungsi-fungsi lainnya yang diperlukan. Bila diperlukan, struktur organisasi bisa
terdiri dari beberapa lapis. Sebaliknya dengan berhasilnya usaha penanggulangan
insiden, beberapa fungsi dapat dikurangi dan dibebaskan dari tugas, sehingga
organisasi diciutkan kembali dan akhirnya dibubarkan sama sekali.
3. Sistem komunikasi yang terpadu (integrated communication)
Suatu sistem yang menggunakan rencana komunikasi yang baku, prosedur
operasi baku (SOP), frekuensi radio komunikasi yang baku, dan istilah-istilah
yang juga baku. Beberapa jaringan komunikasi mungkin juga diperlukan
tergantung pada skala dan kompleksitas dari insiden.
4. Satu komando (unity of command)
Ini adalah suatu konsep dimana setiap orang dalam organisasi
penanggulangan insiden hanya melapor kepada satu orang pimpinan yang
ditunjuk.
5. Struktur komando yang disatukan (a unified command structure)
Semua instansi atau pihak yang memiliki tanggung jawab terhadap
insiden, baik secara geografi ataupun fungsional melakukan usaha pengelolaan
insiden dengan menyusun strategi-strategi dan objektif-objektif yang sama dalam
penanggulangan insiden. Unified of command tidak berarti kehilangan atau
memberikan otoritas, tanggung jawab, atau akuntabiliti pada pihak-pihak yang
terlibat. Konsepnya adalah semua pihak yang terlibat berkontribusi terhadap
proses komando dengan:
a. Menentukan objektif secara menyeluruh
b. Merencanakan kerjasama untuk aktivitas operasional dengan melakukan
operasi yang terpadu.
c. Memaksimalkan penggunaan semua sumberdaya yang dikerahkan.

134
Dalam pelaksanaan unified of command, hal-hal berikut selalu diterapkan:
a. Penanggulangan keadaan darurat difungsikan dalam satu rencana tindakan
penanggulangan insiden (Incident Action Plan/IAP) yang terkoordinasi.
b. Seorang Kepala Seksi Operasional (Operations Section Chief) memiliki
tanggung jawab untuk melaksanakan IAP.
c. Ada satu Posko Penanggulangan Insiden (Insident Command Post/ICP)
6. Rencana tindakan penanggulangan insiden gabungan (consolidated incident
action plans/IAP)
Incident Action Plans (IAPs) gabungan menggambarkan tujuan
penanggulangan, objektifitas operasional, dan aktivitas-aktivitas pendukungnya.
ICS memerlukan IAPs bila:
a. Sumberdaya yang digunakan berasal dari beberapa instansi/fungsi
b. Melibatkan beberapa wilayah kekuasaan
c. Insiden cukup komplek (sebagai contoh diperlukan pergantian shift terhadap
personil dan peralatan).
IAP harus mencakup beberapa objektif dan aktivitas-aktivitas pendukung
yang diperlukan selama jangka waktu (periode) operasi penanggulangan
(operational period). Meskipun boleh tidak tertulis, IAP yang tertulis lebih
disukai karena dapat menggambarkan tanggung jawab yang jelas dan dapat
didokumentasikan. IAP juga memuat pengukuran terhadap tujuan dan objektif
yang harus dicapai dan dibuat untuk jangka waktu operasi penanggulangan
tertentu. Operational period bisa bervariasi lamanya dan sebaiknya tidak boleh
lebih dari 24 jam tergantung pada kompleksitas dan skala dari insiden. Biasanya
operational period untuk insiden berskala besar adalah 12 jam.
7. Rentang kendali yang dapat dikelola (a manageable span of control)
Didefinisikan sebagai jumlah personil untuk satu supervisor yang dapat
dikelola dengan efektif. Dalam ICS, rentang kendali untuk setiap supervisor
adalah antara 3 dan 7 orang, dengan jumlah optimum 5 orang. Bila dalam
prakteknya jumlah yang harus dibawahi lebih dari tujuh atau kurang dari 3 maka
Incident Commander akan melakukan pengkajian ulang terhadap struktur
organisasi dan melakukan penyesuaian yang diperlukan.

135
8. Penetapan fasilitas penanggulangan insiden (designated incident facilities)
Dalam ICS, pada umumnya ada dua designated incident facilities yang
utama dan ada beberapa tambahan bila diperlukan. Incident facilities tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Pos Komando Penanggulangan Insiden (Incident Command Post/ICP),
dimana Incident Commander, Command Staffs dan General Staffs
mengawasi semua operasi penanggulangan insiden.
b. Staging Area, fasilitas dimana semua sumberdaya yang akan ditugaskan
menanggulangi insiden menunggu sebelum ditugaskan.
c. Fasilitas penanggulangan insiden lainnya dapat didirikan untuk insiden-
insiden yang secara geografi tersebar, memerlukan sumberdaya yang besar,
atau memerlukan sumberdaya dengan spesialisasi tinggi.
9. Pengelolaan sumberdaya yang komprehensif (comprehensive resource
management)
Prinsip ini mencakuphal-hal sebagai berikut :
a. Memaksimalkan penggunaan sumberdaya yang ditugaskan (assigned
resources)
b. Menggabungkan pengendalian terhadap sumberdaya tunggal (single
resources)
c. Mengurangi beban komunikasi (communication load)
d. Menciptakan tanggung jawab
e. Mengurangi tenaga lepas (freelancing)
f. Memastikan keselamatan personil yang terlibat dalam penanggulangan
insiden
Semua sumberdaya yang ada dikelompokkan dalam status kondisi sebagai
berikut:
a. Assigned resources, yaitu sumberdaya yang sedang melakukan fungsi-fungsi
yang aktif.
b. Available resources, yaitu sumberdaya yang siap untuk ditugaskan
c. Out-of-service resources, yaitu sumberdaya yang tidak siap untuk
ditugaskan.
Setiap perubahan pada lokasi dan status sumberdaya harus dilaporkan
segera pada Resource Unit oleh orang yang melakukan perubahan tersebut. Setiap
personil harus melapor (chek in) segera begitu sampai di lokasi kejadian/insiden.

136
Mereka akan dimasukkan dalam daftar sumberdaya untuk pendataan. Bila
personil tidak diperlukan lagi untuk operasi penanggulangan insiden, mereka
harus melapor kembali (check out) sehingga mereka akan dikeluarkan dari daftar
sumberdaya.
D. AnalysisVulnerability Hazard
1. Pengertian Vulnerability Hazard
Vulnerability (kerentanan) adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau
masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam
menghadapi ancaman bencana.
Vulnerability dibagi dalam 3 aspek yaitu:
a. Derajat kerentanan (degree of resilience) sistem mata pencaharian tertentu
dari individu atau kelompok, dan kapasitas untuk bertahan dari dampak
bahaya (hazard).
b. Komponen “kesehatan” adalah kemampuan untuk pemulihan dari cedera dan
kemampuan menyelamatkan diri dari bahaya.
c. Derajat preparedness (warning system)
Awatoma menjelaskan bahwa tingkat kerentanan adalah suatu hal penting
untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
bencana, karena bencana baru akan terjadi bila bahaya terjadi pada kondisi yang
rentan “Natural disasters are the interaction between natural hazards and
viunerable condition”. Kerentanan bencana tersebut terbagi atas 6 tipe yaitu:
a. Kerentanan sosial (social vulnerability)
b. Kerentanan kelembagaan (Institusional vulnerability)
c. Kerentanan sistem (System vulnerability)
d. Kerentanan ekonomi (Economic vulnerability)
e. Kerentanan lingkungan (Enviromental vulnerability)
f. Kerentanan akibat tindakan yang tidak memikirkan keberlanjutan
(Vulnerability caused unsustainble practice)
2. Analisis Vulnerability (kerentanan)
Berdasarkan pemahaman terhadap keterkaitan antara kerentanan dan
bencana, dapat dilihat pentingnya analisis kerentanan bencana tersebut, seperti
yang dikemukakan Verly, upaya untuk mengurangi bencana dapat dilakukan
dengan mengurangi tingkat kerentanan.

137
Anderson memperkuat pernyataan Verly tersebut, menurutnya apabila kita
ingin mengontrol dan mengurangi kerusakan akibat bencana, maka kita harus
dapat mengidentifikasi dan menilai kerentanan diberbagai tempat dan waktu, agar
dapat medesain strategi yang efektif untuk mengurangi dampak negatif dari
bencana.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa upaya untuk
mengurangi resiko bencana akan dapat dilakukan dengan mengurangi kerentanan
terhadap bahaya dan meningkatkan kapasitas dalam menghadapi bahaya yang
terjadi.
3. Indikator kerentanan
Untuk melakukan analisis kerentanan, maka perlu diketahui terlebih
dahulu indikator-indikator yang diperlukan untuk mengkaji kerentanan.
Kerentanan terbagi menjadi 3 sub faktor yaitu:
a. Kerentanan fisik binaan (infrastruktur)
Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu fisik atau infrastruktur
pada kawasan yang rawan terhadap tsunami. Indikator-indikator dari
kerentanan fisik binaan adalah sebagai berikut:
1) Presentase kawasan terbangun
2) Kepadatan bangunan
3) Presentase bangunan bertingkat
4) Jaringan listrik
5) Jaringan PDAM
6) Rasio panjang jalan
b. Kerentanan sosial dan kependudukan
Menunjukkan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa penduduk
apabila terjadi bencana alam. Kerentanan sosial menggambarkan kondisi
tingkat kerentanan sosial pada kawasan rawan tsunami. Pada kondisi sosial
yang rentan maka jika terjadi bencana dapat dipastikan akan menimbulkan
dampak kerugian yang besar. Beberapa indikator kerentanan sosial antara
lain:
1) Kepadatan penduduk
2) Laju pertumbuhan penduduk
3) Presentase penduduk usia tua-balita
4) Presentase penduduk wanita

138
c. Kerentanan ekonomi
Menggambarkan suatu kondisi tingkat kerentanan ekonomi dalam
menghadapi ancaman bahaya (hazards) pada kawasan rawan bencana
tsunami. Beberapa indikator kerentanan ekonomi diantaranya adalah:
1) Presentase rumah tangga yang bekerja disektor rentan
2) Presentase rumah tangga miskin
E. Resiko Bencana (Disaster Risk)
Kajian resiko bencana ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai
potensi bahaya alam yang dapat terjadi pada suatu wilayah, sehingga dapat
diidentifikasi secara umum prioritas-prioritas bahaya dan kerentanan bencana serta
besaran risikonya dengan cepat. Risiko bencana ini dapat berupa korban jiwa,
kemungkinan kerusakan-kerusakan bangunan dan prasarana vital dan infrastruktur
yang dapat menyebabkan kerugian dan terhentinya kegiatan ekonomi. Secara lebih
spesifik, hasil yang diharapkan dari studi awal kajian risiko bencana ini adalah untuk
mengasilkan keluaran-keluaran berikut ini:
1. Gambaran besarnya bahaya alam yang dapat terjadi pada suatu wilayah
2. Identifikasi awal bahaya-bahaya penyerta akibat bahaya alam tersebut
3. Gambaran secara kualitatif mengenai kerentanan kota yang meliputi: konidisi
bangunan-bangunan secara umum, prasarana umum dan prasaranan vital
keidupan.
4. Rekomendasi mengenai rencana tindak lanjut secara umum berdasarkan kajian
awal.
Resiko adalah kemungkinan sesuatu peristiwa yang akan memberi dampak
pada tujuan, tujuan di sini adalah tujuan proteksi dari bahaya yang meliputi:
1. Keselamatan jiwa (life safety)
2. Perlindungan harta benda (property safety)
3. Kelangsungan proses dan kerja (process safety)
4. Keselamatan lingkungan (environmental safety)
Dalam disiplin penangan bencana (disaster management), risiko bencana
adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya (hazards)
yang ada. Ancaman bahaya, khususnya bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari
dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari
tenaga internal maupun eksternal, sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat

139
dikurangi, sehingga kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut semakin
meningkat.
Dalam kaitan ini, bahaya merupakan elemen dasar terjadinya bencana pada
suatu tempat. Kerentanan menunjukkan kerawanan yang dihadapi suatu masyarakat
dalam meghadapi ancaman tersebut. Dengan demikian maka semakin tinggi bahaya,
kerentanan dan ketidakmampuan, maka semakin besar pula risiko bencana yang
dihadapi.

I. Skill Station
Format Pengkajian Disaster Victim Identification
1. Fase Persiapan: pra kejadian
a. Mempersiapkan tim pelaksana identifikasi tingkat Mabes Polri beserta fasilitas
dan sarana masing-masing.
b. Mempersiapkan pelatihan yang mencakup komunikasi, operasi penyelematan,
penatalaksanaan korban hidup dan penatalaksanaan korban mati.
2. Fase Kejadian:
a. Melakukan komunikasi dan koordinasi
b. Melakukan operasi penyelamatan
c. Pengamanan TKP (Tempat Kejadian Perkara)
d. Penatalaksanaan korban hidup
e. Penatalaksanaan korban mati
3. Tahap I : Penanganan di TKP
a. Aturan Umum:
1) Tidak diperkenankan seorangpun korban meninggal yang dapat dipindahkan
dari lokasi, sebelum dilakukan pendataan dan penandaan (tulisan dan gambar
visual).
2) Semua perlengkapan pribadi yang pasti milik korban harus disatukan, dicatat
dan diletakkan bersama dengan tubuh/bagian tubuh korban.
3) Untuk barang/perlengkapan yang diragukan/bukan milik korban,
dikumpulkan dan dicatat sebagai “tidak dikenal/ diketahui” serta disimpan
terpisah dari korban.
4) Pada kesempatan pertama label tahan air harus diikat pada setiap tubuh
korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan tercampur atau
hilang.

140
b. Memberi tanda dan label di TKP
1) Membuat sektor-sektor atau zona pada TKP dengan ukuran 5m x 5m
2) Memberikan tanda pada setiap sektor
3) Memberikan label orange pada jenazah dan potongan jenazah, label diikatkan
pada tubuh/ibu jari kanan dan kiri jenazah dengan urutan berdasarkan aturan
interpol: T/G/B: Team/Grid/Body (Nama tim)/ Nama Zona)/ No Body Ports /
No Mayat terdiri dari 4 digit: 0001, dst.
4) Menentukan label putih pada barang-barang pemilik yang tercecer
5) Membuat sketsa dan foto setiap sektor.
c. Evakuasi dan Transportasi Jenazah dan Barang
1) Isi dan lengkapi pada formulir DVI (PM Pink Form) halaman B dengan
keterangan sebagai berikut:
a) Pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur,
tanggal dan tempat tubuh ditemukan (akan lebih baik apabila difoto pada
lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP).
b) Selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat
dikenali atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan.
c) Deskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah,
dekomposisi/membusuk, menulang, hilang atau terlepas.
2) Memasukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di
dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah.
3) Masukkan barang-barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung
plastik dan diberi label sesuai nama jenazah.
4) Diangkat ke tempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah kemudian
dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.
4. Tahap IIA: Penanganan di pusat identifikasi medis oleh unit pengumpul data post
mortem korban mati.
a. Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP
b. Registrasi jenazah/potongan jenazah dan mengelompokkan kiriman tersebut
berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah dan barang-barang.
c. Membuat foto jenazah
d. Mengambil sidik jari korban dan golongan darah
e. Mencatat ciri-ciri korban sesuai formulir yang tersedia
f. Melakukan otopsi dan laporan otopsinya

141
g. Mengambil sampel untuk pemeriksaan DNA
h. Mencatat gigi-geligi korban
i. Membuat rontgen foto jika perlu
j. Mengumpulkan data-data post mortem dan pengirimannya ke unit pembanding
data.
5. Tahap IIB: Penanganan unit pengumpulan data ante mortem (data korban)
a. Menngumpulkan data-data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya
yang dikumpulkan dari instansi tempat korban bekerja, keluaga/kenalan, dokter-
dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari).
b. Memasukkan data-data yang ada dalam formulir yang tersedia (DVI AM Yellow
Form)
c. Mengelompokkan data-data ante mortem berdasarkan:
1) Jenis kelamin (laki-laki/perempuan)
2) Umur (anak-anak, dewasa, tua)
3) Ras (mongoloid, negroid, malays, kaukasoid)
4) Keadaan jenazah (lengkap/tidak lengkap)
d. Mengirimkan data-data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.
e. Bekerjasama secara lintas sektoral, lointas pungsi, LSM, sosial workers/volunters
dalam rangka membangun unit data ante mortem ini.
6. Tahap III: Penanganan Unit Pembanding Data
Kegiatan:
a. Mengkoordinasikan rapat-rapat penentuan identitas korban mati antara unit TKP,
Unit post mortem, dan unit ante mortem.
b. Mengumpulkan data-data korban yang dikenal untuk dikirim ke Dewan
Identifikasi/Identification Board.
c. Mengumpulkan data-data tambahan dari unit TKP, unit post mortem dan unit ante
mortem untuk korban yang belum dikenal.
7. Tahap IV: Penanganan Dewan Identifikasi
Kegiatan:
a. Check and recheck hasil unit pemmbanding data
b. Mengumpulkan hasil identifikasi korban
c. Membuat surat keterangan kematian untuk korban yang dikenal dan surat-surat
lainnya yang diperlukan.

142
d. Menerima keluarga korban dan menyerahkan jenazah yang telah teridentifikasi
kepada keluarga korban.
e. Publikasi yang benar dan terarah oleh tim identifikasi sangat membantu
masyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat.
8. Pengumpulan data ante mortem dan post mortem
a. Data-data ante mortem:
1) Umum:
a) Nama
b) Berat badan dan tinggi badan
c) Jenis kelamin/umur/alamat
d) Pakaian
e) Perhiasan
f) Sepatu
g) Kepemilikan lainnya
2) Medis:
a) Warna kulit
b) Warna dan jenis rambut
c) Mata, hidung, telinga, mulut
d) Cacat dan tato atau ciri-ciri khusus lainnya
e) Catatan medis / perawatan patah tulang / operasi
f) Golongan darah
g) Data medis lainnya
3) Data-data ini dapat dikumpulkan dari:
a) Keluarga dekat
b) Dokter yang merawat/rumah sakit
c) Kantor catatan sipil kelurahan, dll
Apabila diantara korban ada yang berwarga negara asing maka data-data ante
mortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan
perwakilan Negara asing (kedutaan/konsulat).
b. Data-data ante mortem gigi geligi
1) Data-data ante mortem gigi geligi adalah keterangan tertulis atau gambaran
dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang
terdekat.
2) Sumbr data-data ante mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari:

143
a) Klinik gigi RS pemerintah, TNI/Poli dan swasta
b) Lembaga-lembaga pendidikan pemerintah/TNI/Polri/Swasta
c) Praktek pribadi dokter gigi
c. Data–data post mortem
Data ini diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan dan berbagai
keahlian antara lain; dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi forensik, sidik
jari, fotografi, DNA
1) Urutan pemeriksaan pada jenazah adalah sebagai berikut:
a) Mayat diletakkan pada meja otopsi atau meja lain
b) Dicatat nomor jenazah
c) Foto keseluruhan sesuai apa adanya
d) Ambil sidik jari (bila dimungkinkan keadaannya)
e) Diskripsi pakaian satu persatu mulai dari luar, kemudian dilepas dan
dikumpulkan serta diberi nomor sesuai nomor jenazah ( bila diperlukan
untuk mengambil foto jika dianggap penting dan khusus).
f) Barang milik pribadi dan perhiasan difoto dan didiskripsi kemudian
kemudian dikumpulkan serta diberi nomor jenazah.
g) Periksa secara teliti mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki yang
meliputi:
(1) Identifikasi umum (jenis kelamin-umur-BB-TB,dll)
(2) Identifikasi khusus (Tato,jaringan parut, cacat, dll)
h) Lakukan bedah jenazah dan diskripsikan temuan, prinsipsipnya mencari
kelainan yang khas, penyakit/patologis, bekas patah tulang, bekas
operasi, dll.
i) Ambil sampel untuk pemeriksaan serologi, DNA atau lain-lain.
j) Foto akhir keseluruhan sesuai kondisi korban
k) Buat kesimpulan berdasarkan pemeriksaan patologi forensik
l) Serahkan pada bagian pemeriksaan gigi geligi.
d. Data-data post mortem gigi geligi
Urutan pemeriksaan gigi geligi:
1) Pemeriksaan dilakukan oleh dokter gigi atau dokter gigi forensik
2) Jenazah diletakkan pada meja atau brankar
3) Untuk memudahkan pemeriksaan jenazah, jenazah diberi bantalan kayu
pada punggung atas/bahu.

144
4) Pemeriksaan dilakukan mulai dari bibir, pipi, dan bagian-bagian lain yang
dianggap perlu.
5) Guna memperoleh hasil pemeriksaan yang maksimal maka rahang bawah
harus dilepaskan dan jaringan kulit atau otot pada rahang atas dikupas ke
atas agar gigi tampak jelas kemudian dibersihkan. Hal ini untuk
mempermudah melakukan pemeriksaan secara teliti baik pada rahang atas
maupun bawah.
6) Apabila rahang atas dan bawah tidak dipisahkan dan rahang kaku, maka
dapat diatasi dengan membuka paksa menggunakan tangan dan apabila
tidak bisa dapat menggunakan ‘T Chissel’ yang dimasukkan pada region
gigi molar atas dan bawah kriri atau kanan atau dapat dilakakuan
pemotongan Muscullus Masetter dari dalam sepanjang tepi mandibula
sesudah itu condylus dilepaskan dari sendi.
7) Catat kelainan-kelainan sesuai formulir yang ada.
8) Lakukan foto rontgen gigi
9) Bila perlu foto rontgen tengkorak jenazah
10) Selanjutnya bila perlu dibuat cetakan gigi jenazah untuk analisa lebih
lanjut.
9. Metode dan proses identifikasi
Dikenal 2 metode pokok identifikasi yaitu:
a. Metode sederhana:
1) Visual
2) Kepemilikan (perhiasan dan pakaian)
3) Dokumentasi
4) Photografi
b. Metode ilmiah:
1) Medis
2) Antropologi
3) Serologi
4) Sidik jari
5) Odontologi
6) Bio molekuler / DNA
10. Setelah korban teridentifikasi

145
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan pemulasaran
jenazah yang meliputi antara lain:
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Memasukkan sesuai agama korban
d. Memasukkan dalam peti jenazah
Adapun penatalaksanaannya adalah sebagai berikut:
Jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari dewan
identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses
serah terima jenazah antara lain:
a. Tanggal dan jamnya
b. Nomor registrasi jenazah
c. Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan
korban.
d. Dibawa kemana atau akan dimakamkan di mana
11. Jika korban tak teridentifikasi
Apabila dalam suatu kejadian/bencana korban tidak ditemukan sampai batas waktu
yang disepakati maka bisa dikatakan meninggal dan dikeluarkan certificate of death-
nya. tentu saja melalui kesepakatan beberapa ahli hukum dengan dewan identifikasi
untuk berdiskusi dari aspek bencana, alasan tidak ditemukannya dan sebagainya.
Selanjutnya hasil keputusan diajukan ke pengadilan dan menghasilkan suatu
ketetapan, hasil pengadilan tersebut yang nantinya akan dijadikan acuan korban
dinyatakan meninggal.
12. Kesulitan identifikasi
a. Keadaan jenazah yang ditemukan dalam kondisi:
1) Mayat membusuk, tergantung derajat pembusukannya dan kerusakan
jaringannya, atau mayat termutilasi berat dan kerusakan jaringan lunak yang
banyak maka metode identifikasi yang digunakan adalah sidik jari bila masih
mungkin atau dengan ciri anatomis dan medis tertentu, serologi, odontologi
atau DNA.
2) Mayat yang telah menjadi kerangka,, identifikasi menjadi terbatas untuk
sedikit metode saja yaitu: antropologi, serologi, ciri anatomis tertentu,
odontologi dan DNA.

146
b. Tidak adanya data antemortem, tidak adanya data orang hilang atau sistem
pendataan yang lemah.
c. Jumlah korban yang banyak, baik pada populasi yang terbatas ataupun pada
populasi yang tak terbatas.
d. Manajemen, koordinasi dan komunikasi.
e. Pers
13. Beberapa hal penting berkaitan dengan tata laksana
a. Legalitas dan pengaturan pada:
1) Pendataan antemortem: odontologi, sidik jari, medis, dll
2) Organisasi dan prosedur DVI
b. Networking yang dapat terdiri dari kerjasama, koordinasi, pelatihan, pembagian
informasi, dll
c. Sarana dan fasilitas seperti lemari pendingin atau tempat agar mayat tidak cepat
membusuk (cold storage), fasilitas tempat pemeriksaan jenazah, kantung jenazah,
immsektisida, peralatan otopsi dan alat pendukung lainnya.

III. PENUGASAN MAHASISWA


Tugas 1 disajikan pada pertemuan ke11 dan 12
a. Setelah dosen memberikan materi, mahasiswa dibagi ke dalam kelompok kecil.
b. Setiap kelompok diberikan kegiatan untuk melakukan penelusuran literatur dan jurnal
tentang Keperawatan forensik dalam management bencana.
Tahapan :
1. Dosen membagi kelas menjadi 5 kelompok kecil yang terdiri dari 6 - 7 orang mahasiswa
per kelompok
2. Tiap kelompok memilih ketua (bertugas mengarahkan dan membagi peran) dan sekretaris
kelompok (mencatat hasil diskusi dan peta pemahaman kompetensi anggota kelompok)
3. Setiap kelompok bekerja secara kooperatif, melaksanakn investigasi literatur, media, dan
lahan untuk mengumpulkan data yang terkait materi
4. Masing-masing anggota kelompok berdiskusi, mengklasifikasi untuk menganalisis data
yang telah dikumpulkan
5. Masing-masing anggota kelompok merencanakan apa yang akan dilaporkan, dan
bagaimana membuat peresentasenya
6. Tiap kelompok membuat Laporan dalam bentuk makala hasil analisis kasus terkait dengan
materi
7. Tiap kelompok membuat klipping dari hasil investigasi dari media cetak
8. Masing-masing kelompok mempresentasekan hasil investigasinya
9. Tiap kelompok memberikan umpan balik terkait dengan materi yang dipresentasekan.
10. Dosen akan membuat kesimpulan dari hasil diskusi.

147
IV. TUGAS MODUL
Lakukan penelusuran literatur dan jurnal keterampilan kritis dan semua media yang
terkait dengan keperawatan forensik dalama management bencana, lalu klipping dari
hasil investigasi masing-masing kelompok dan buat rangkuman materikemudian
tuangkan dalam bentuk laporan dengan format sebagai berikut:
A. Management Bencana
B. Keperawatan Forensik Dalam Management Bencana
C. Incedent Command System (ICS)
D. Analysis Vulnerebality Hazard
E. Resiko Bencana
Setiap kelompok wajib mencantumkan penjelasan minimal satu ayat atau hadis yang
terkait dengan pembahasan.

IV. SUMBER PUSTAKA


ANA & IAFN, 2015. Forensic Nursing: Scope and Standard of Practice. Silver Spring,
Maryland : American Nurses Association and International Association of Forensic
Nurses.
IAFN. 2013. Forensic Nurse Death Investigator Education Guidlines. International
Association of Forensic Nurses: Leadership, Care, Expertise. ForensicNurses.Org
Jackson, J. 2011. Career Sphere, The Evolving Role of the Forensic Nurse. American
Nurse Today Volume 6, Number 11. www.AmericanNurseToday.com
Sturgeon, S. 2015. Strangulation A ssessment, E vidence Collection, and Documentation
Guidelines for F orensic Nurse Examiners: A Pilot P roject. Bellarmine University
ScholarWorks@Bellarmine
Vessier Batchen, M. 2003. Forensic Nurse Death Investigation. Available at :
http://www.lifeloom.com/I2MelissVB.htm

148
V. INDIKATOR PENILAIAN
PENILAIAN KLIPPING
No Aspek Penilaian Kliping
Ya Tidak
1 Artikel berasal dari literatur (koran, majalah, internet) terbitan terbaru
(dua bulan terakhir)
2 Artikel berkaitan dengan tema Fungsi Advokasi pada kasus dengan
gangguan sistem imun hematologi.
3 Jumlah artikel sekurang-kurangnya tiga buah

4 Setiap artikel dianalisis dan diberi komentar singkat/interpretasi

5 Komentar bersesuaian dengan isi artikel


6 Komentar menggunakan konsep Fungsi Advokasi yang relevan

7 Komentar dinyatakan secara kritis dan logis

8 Mencantumkan sumber pustaka


9 Artikel ditempel rapi dengan penempatan yang proporsional

10 Memberikan kesimpulan artikel tentang Fungsi Advokasi pada kasus


dengan gangguan sistem imun dan hematologi

Jumlah centangan
Rata-rata centangan

PENILAIAN GROUP INVESTIGATION


O JENIS PENILAIAN DESKRIPSI SKOR
1 Kehadiran (10%) Hadir tepat waktu 10
Terlambat < 5 menit 7
Terlambat 5-10 menit 5
Terlambat > 15 menit 0

2 Aktivitas dan kreativitas Aktif dan Tepat 40


(40%)
Kreatif tetapi kurang aktif 30
Aktif tetapi kurang kreatif 20
Pasif 10

3 Sikap dalam interaksi (20%) Menghargai sikap dan mampu berinteraksi pada 20
proses diskusi
Tingkatan sikap dan interaksi agak kuat 15
Tingkatan sikap dan interaksi agak lemah 10
Tidak serius dan menghambat proses diskusi 5

4 Relevansi (30%) Relevansi dengan tujuan pembelajaran 90-100 % 30


Relevansi dengan tujuan pembelajaran 70-80% 15
Relevansi dengan tujuan pembelajaran 50-60% 10
Diskusi di luar tujuan pembelajaran 0

149
Keterangan :
1 Aktif dan Kreatif Menanggapi informasi dan memberikan ide, jalan
keluar/pemecahan
Kreatif tetapi kurang aktif Memiliki ide bagus tapi kurang aktif mengemukakannya
Aktif dan kurang kreatif Mengkritik saja tapi tidak ada pemecahan masalah
Pasif Mengikuti diskusi, tidak mampu menyampaiakan ide
2 Tingkatansikapdan interaksi Mampu mengemukakan pendapat tapi tidak memfasilitasi teman
agak kuat untuk berpendapat
Tingkatan sikap dan interaksi Mampu berinteraksi akan tetapi pada proses diskusi, sering
agak lemah menyalahkan pendapat orang lain

VI. Evaluasi Pembelajaran per modul (EPm)

Nilai Bobot Perhitungan


No Komponen Penilaian Skor (Xn)
Rata-Rata (%) Nilai

Tugas dan Karya


1 A 20 A X 20/100
Mandiri
2 Kuis B 5 B X 5/100
Kehadiran dan
3 c 75 C X 75/100
Keaktivan di Kelas
Jumlah EPm (a/b/c/d/dst)

Materi modul IV ini diharapkan dapat dipahami oleh mahasiswa dan mampu
memenuhi indikator kompetensi dalam hal-hal sebagai berikut :
1) Kemampuan mahasiswa dalam menjelaskan management bencana
2) Kemampuan mahasiswa dalam menjelaskan keperawatan forensik dalam
management bencana
3) Kemampuan mahasiswa dalam menjelaskan Incident Command System
(ICS)
4) Kemampuan mahasiswa dalam menjelaskan Analysis Vulnerability Hazard
5) Kemampuan mahasiswa menjelaskan Resiko Bencana
Indikator penilaian adalah kompetensi mahasiswa peserta mata kuliah yakni
ketepatan “KEPERAWATAN FORENSIK DALAMA MANAGEMENT

150
BENCANA” yang diberikan dengan bobot nilai maksimum sebesar 100 dan
diperhitungkan sesuai bobot yang tertera pada matriks.
Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, baik saat
penyelenggaraan kuliah maupun melalui hasil tugas mandiri mahasiswa baik yang
dibuat perorangan, maupun kelompok.
VII. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi dosen untuk melakukan
pembelajaran baik dalam penelusuran sumber belajar berupa buku teks, hasil
penelitian, evaluasi hasil pengabdian masyarakat serta kearifan lokal wilayah dan
Akper Mappa Oudang terkait materi KEPERAWATAN FORENSIK maupun dalam
melaksanakan proses pembelajaran untuk materi dalam modul ini. Modul ini
diharapkan pula dapat menjadi pedoman pembelajaran sehingga proses pembelajaran
dapat berjalan efisien dan efektif dalam mencapai sasaran pembelajaran melalui peran
aktif yang terintegrasi dari semua pihak terkait.

151

Anda mungkin juga menyukai