Anda di halaman 1dari 20

2016

KOLABORASI BERSAMA DALAM PEMECAHAN


MASALAH PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
(PPOK)

FIOLA FINANDAKASIH
P1807216007

KONSENTRASI KESEHATAN REPRODUKSI


PRODI S2 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN-2016

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur peulis panjatkan kehadirat Tuhan YME, yang atas rahmat-Nya peulis
dapat menyelesaikan Makalah Kesehatan Globa Kolaborasi Bersama Dalam Pemecahan
Masalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) tepat pada waktunya.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas final mata kuliah Kesehatan Global
semester I di Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Peulis mengucapkan banyak terima kasih terhadap pihak-pihak yang telah membantu
pembuatan makalah ini. Dalam peulisan makalah ini peulis merasa masih banyak
kekurangan-kekurangan baik pada teknis peulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang peulis miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat peulis
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam peulisan makalah ini peulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang telah membantu, khususnya kepada Bapak sebagai dosen
pembimbing mata kuliah Kesehatan Global. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai.

Makassar, 15 Desember 2016

PENULIS

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................................................. 2

C. Tujuan ................................................................................................................................ 2

D. Manfaat .............................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3

A. Pengertian PPOK ............................................................................................................... 3

B. Etiologi PPOK ................................................................................................................... 5

C. Epidemiologi PPOK .......................................................................................................... 6

D. Pencegahan PPOK ........................................................................................................... 10

E. Kolaborasi Bersama dalam Menurunkan Kematian Akibat PPOK ................................. 12

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 15

A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 15

B. Saran ............................................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru yang ditandai
oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang menetap atau tidak sepenuhnya
kembali dan bersifat progresif yang dihubungkan dengan respon peradangan kronik
yang semakin kuat di saluran napas dan paru-paru oleh partikel atau gas-gas beracun
(Marieadelaide, 2009; PDPI, 2003; Decramer et al, 2015). Pajanan faktor resiko PPOK
yang sering ditemui adalah perilaku merokok (PDPI, 2003).
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menyebabkan angka kematian dan
kesakitan yang tinggi di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) Global
Burden of Disease Project melaporkan bahwa PPOK menempati peringkat kelima (5)
yaitu 4,8% sebagai penyebab kematian di dunia pada tahun 2001 dan diperkirakan akan
menempati peringkat keempat (4) yaitu 7,9% kematian pada tahun 2030 (WHO). PPOK
juga menempati peringkat (13) total DALYs (2,0%) di dunia pada tahun 2004
diperkirakan akan menempati peringkat 5 total DALYs (3,8%) pada tahun 2030
(WHO).
Indonesia menempati peringkat ke-enam (6) di urutan tingkat angka kematian dan
kecacatan PPOK berdasarkan perkiraan WHO tahun 2010, yaitu dengan jumlahnya
sebesar 58,4/100.000 orang penduduk dan angka disability-adjusted life years (DALYs)
sebesar 613/100.000 orang penduduk. Hasil RISKESDAS (2013) menyatakan bahwa
prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7%. Prevalensi PPOK di Indonesia tidak
terlalu tinggi. Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan
peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola dari penyakit infeksi
ke penyakit degeneratif serta meningkatnya kebiasaan merokok dan polusi udara
(Tjahjono, 2011). Menurut data RISKESDAS (2013) terjadi peningkatan prevalensi
perilaku merokok yaitu dari 34,2% tahun 2007 menjadi 38,3% pada tahun 2013.
Harminto (2004) menyatakan bahwa 53% pasien PPOK merupakan bekas perokok,
29% pasien perokok berat dan 17% pasien tidak pernah merokok.
Penyakit ini juga dilaporkan menelan biaya pengobatan yang mahal. The US
National, Heart, Lung and Blood Institute memperkirakan biaya kesehatan yang harus
dikeluarkan untuk pengobatan PPOK di Amerika Serikat pada tahun 2003 adalah
sekitar US$ 32,1 milyar.

1
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perlu dibahas mengenai upaya
pemecahan masalah situasi kondisi tersebut yaitu salah satunya adalah upaya kolaborasi
dari berbagai stakeholder untuk bersama-sama sesuai kompetensinya diharapkan akan
menurunkan angka kematian akibat PPOK khususnya faktor risiko dari PPOK yaitu
perilaku merokok.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian PPOK ?
2. Bagaimana etiologi PPOK ?
3. Bagaimana epidemiologi PPOK ?
4. Bagaimana pencegahan PPOK ?
5. Bagaimana kolaborasi bersama dalam menurukan kematian akibat PPOK?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit PPOK.
2. Untuk mengetahui etiologi PPOK.
3. Untuk mengetahui epidemiologi PPOK.
4. Untuk mengetahui pencegahan PPOK.
5. Untuk mengetahui kolaborasi bersama dalam menurukan kematian akibat PPOK.

D. Manfaat
1. Dapat digunakan sebagai informasi atau masukan dalam meningkatkan pengetahuan
serta wawasan dalam implementasi khususnya pada program perencanaan
pelayanan kesehatan untuk mengurangi kematian akibat PPOK.
2. Dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk menulis makalah selanjutnya yang
berhubungan dengan penyakit PPOK yang telah ditulis oleh penulis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyakit Paru Obstruksi Kronik


PPOK adalah suatu penyakit yang ditandai oleh adanya hambatan aliran udara yang
disebabkan oleh bronkhitis kronis atau emfisema. Obstruksi aliran udara pada umumnya
pogresif non reversible kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan napas dan kadangkala
parsial reversibel. Terminologi PPOK telah mengalami beberapa kali perubahan sejak
dicetuskan pertama kali dalam forum internasional Ciba Guest Symposium 1959,
semula dikenal sebagai Chronic Pulmonary Emphysema and Related Conditions,
kemudian menjadi Chronic Airflow Limitation, lalu Chronic Obstructive Pulmonary
Disease, kemudian Chronic Airways Obstruction (CAO), Chronic Aspecific Respiratory
Affection (CARA), Chronic Non Specific Lung Disease (CNSLD), dan saat ini lebih
dikenal sebagai Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Kelainan patologis
anatomis dan fisiologis PPOK terdapat disaluran pernafasan bagian perifer mulai dari
bronkiolus terminalis sampai ke alveolus. Bagian tersebut merupakan area pertukaran gas
yang penting untuk mempertahankan kehidupan manusia. Akibat kelainan tersebut, pada
PPOK yang berat akan terjadi gangguan pertukaran gas dengan berbagai komplikasinya,
antara lain kegagalan pernafasan. Penyakit-penyakit paru yang secara klinis dapat
menimbulkan PPOK ialah asma bronkial, bronkhitis kronis, dan emfisema. Ketiga
penyakit tersebut masing-masing dapat berlanjut ke PPOK yang berat. Penderita
bronkhitis kronis dan emfisema biasanya seorang perokok berat, dan tidak merasakan
gejala apapun sampai di usia lanjut. Pada saat itu barulah dirasakan bahwa kemapuan
untuk bekerja mulai menurun dan batuk-batuk mulai terjadi. Gejala yang ditimbulkan pada
PPOK biasanya terjadi bersama-sama dengan gejala primer dari penyakit ini. Bila
penyebabnya Bronkhitis Kronis maka gejala yang utama adalah produksi sputum yang
berlebihan. Tetapi bila penyebabnya adalah Emfisema maka gejala utamanya adalah
kerusakan pada alveoli dengan keluhan klinis berupa dsypnoe yang terjadi sehubungan
dengan adanya gerak badan. Adapun pola penyakit pada PPOK lanjut adalah :
1. Emfisema
Emfisema adalah penyakit yang ditandai dengan adanya pelebaran
abnormal dari ruang-ruang udara paru disertai dengan destruksi ataupun tidak
disertai destruksi dari dindingnya. Pelebaran ruang-ruang udara yang tidak
disertai dengan destruksi biasanya disebut overinflasi atau hiperinflasi. Biasanya

3
terdapat bersamaan dengan bronkhitis kronis, akan tetapi dapat pula berdiri
sendiri. Pada bronkhitis kronik maupun emfisema terjadi penyempitan saluran
nafas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan
menimbulkan sesak. Pada bronchitis kronik, saluran pernafasan kecil yang
berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan
berobliterasi. Penyempitan ini terjadi oleh metaplasia sel goblet, saluran nafas
besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus. Pada
emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya
elastisitas paru-paru. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila
oksidasi dan iritasi di saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epital
serta pembentukan jaringan parut. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi
saluran napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus yang
permanen disertai kerusakan dinding alveoli. Akan tetapi pada yang herediter,
dimana terjadi kekurangan pada globulin alfa antripsin yang diikuti dengan
fibrosis, maka emfisema muncul pada lobus bawah pada usia muda tanpa harus
terdapat bronkhitis kronis. Emfisema paru dapat pula terjadi setelah atelektasi
atau setelah lobektomi, yang disebut dengan emfisema kompensasi, dimana tanpa
didahului dengan bronkhitis kronis terlebih dahulu. Penyempitan bronkus
kadangkala menimbulkan perangkap udara (air tappering), dimana udara dapat
masuk tetapi tidak dapat keluar, sehingga menimbulkan emfisema yang akut.
Frekuensi emfisema lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Pokok utama
pada emfisema adalah adanya hiperinflasi dari paru yang bersifat ireversibel
dengan konsekuensi rongga thoraks berubah menjadi gembung atau barrel chest.
Gabungan dari alveoli yang pecah dapat menimbulkan bula yang besar yang
kadang-kadang memberikan gambaran seperti pneumotoraks.
2. Bronkhitis Kronik
Bronkhitis Kronik adalah penyakit yang ditandai dengan adanya batuk
produktif yang persisten sedikitnya tiga bulan berturut-turut selama minimal dua
tahun. Kedaan klinis yang jelas dari penyakit ini adalah hipersekresi dari mukus.
Faktor penyebab tunggal yang paling penting adalah perokok, walaupun polusi
udara, berbagai penyakit akibat kerja, usia tua dapat menyertainya. Berdasarkan
ada tidaknya penyempitan bronkus maka penyakit ini dapat dibagi menjadi yang
tidak disertai dengan penyempitan bronkus dimana dasar penyakitnya semata-
semata oleh karena hipersekresi dari kelenjar mukus bronkus tanpa atau dengan

4
adanya infeksi bronkus dan yang disertai penyempitan bronkus, batuk, produksi
sputum, disertai dengan dyspnoe dan wheezing (mengi). Pada yang kedua ini
prognosisnya lebih buruk dari yang pertama.
3. Asma Bronkial
Asma bronkial adalah suatu penyakit paru dengan tanda-tanda khas berupa
obstruksi saluran pernafasan yang dapat pulih kembali (namun tidak pulih
kembali secara sempurna pada beberapa penderita) baik secara spontan atau
dengan pengobatan, peradangan saluran pernafasan, dan peningkatan kepekaan
dan/atau tanggapan yang berlebihan dari saluran pernafasan terhadap berbagai
rangsangan. Pada penderita PPOK, kemungkinan dapat terjadi satu kelainan atau
semua kelainan tersebut yang sulit dibedakan secara klinis. Derajat PPOK
berdasarkan hasil nilai Spirometri Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1)
dan Arus Puncak Ekspirasi (APE), dibagi atas :
a. Tingkat PPOK Normal : Lebih atau sama dengan 70%
b. Tingkat I (Obstruksi Ringan) : 69%-60%
c. Tingkat II (Obstruksi Sedang) : 59%-31%
d. Tingkat III (Obstruksi Berat) : Kurang atau sama dengan 30%.

B. Etiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronik


Para ahli belum memiliki kesatuan pendapat mengenai etiologi patogenesis dari
PPOK. Menurut para ahli ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya PPOK yaitu faktor
eksogen dan endogen. Faktor endogen (genetik) tersebut dapat bermanifestasi menjadi
PPOK tanpa adanya pengaruh faktor luar (eksogen), akan tetapi yang banyak dijumpai
adalah kecenderungan untuk PPOK meningkat akibat adanya interaksi antara faktor
endogen dan eksogen. Pendapat yang menyatakan bahwa genetik merupakan faktor
risiko PPOK (Dutch Hypothesis) ditentang oleh pakar dari Inggris (British Hypothesis)
yang menyatakan bahwa hanya faktor eksogen yang berperan. Berikut disajikan skema
patogenesis menurut Dutch Hypothesis.
Ada 2 mekanisme patogenesis PPOK yang penting yaitu faktor endogen
(herediter) dan eksogen (iritasi karena asap rokok, bahan-bahan polutan dan infeksi
paru). Faktor endogen dapat menimbulkan obstruksi bronkus tanpa atau dengan
pengaruh faktor eksogen. Obstruksi bronkus disebabkan adanya spasme otot bronkus,
hipersekresi kelenjar mukus, edema dinding bronkus dan kelenturan paru yang menurun.
Apabila iritasi oleh faktor iritan eksogen masih berlangsung terus maka obstruksi

5
bronkus akan menunjukkan tanda-tanda klinis yang nyata yaitu sesak nafas, batuk kronis,
produksi dahak yang berlebihan dan gangguan fungsi paru. Tergantung pada beratnya
penyakit, pada stadium akhir (Phenotype patient) dapat terjadi gangguan pertukaran gas
sehingga terjadi hipoksemia jaringan. Berdasarkan kelainan patogenesis anatomis, dapat
dibedakan ketiga penyakit yaitu bronkhitis kronis, asma, dan emfisema. Sebagian para
ahli berpendapat bahwa PPOK merupakan suatu keadaan yang murni terpisah dari asma
bronkial dengan alasan adanya perbedaan yang mencolok antara faktor resiko,
mekanisme patogenesis dan perjalanan klinis. Komplikasi yang sering dijumpai dapat
memperberat PPOK ialah infeksi paru. Pada stadium lanjut akan terjadi gangguan pada
jantung kanan yang dikenal sebagai kor pulmonal. Pada stadium ini penderita selalu
sesak nafas walaupun hanya melakukan pekerjaan rutin sehari-hari misalnya memakai
baju. Pengelolaan penderita PPOK ditujukan pada 3 hal yang penting yaitu mencegah
komplikasi, meringankan gangguan pada fungsi paru, dan meningkatkan kualitas hidup.

C. Epidemiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronik


1. Frekuensi dan Distribusi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menyebabkan angka kematian dan
kesakitan yang tinggi di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) Global
Burden of Disease Project melaporkan bahwa PPOK menempati peringkat kelima (5)
yaitu 4,8% sebagai penyebab kematian di dunia pada tahun 2001 dan diperkirakan
akan menempati peringkat keempat (4) yaitu 7,9% kematian pada tahun 2030 (WHO).
PPOK juga menempati peringkat (13) total DALYs (2,0%) di dunia pada tahun 2004
diperkirakan akan menempati peringkat 5 total DALYs (3,8%) pada tahun 2030
(WHO).
Indonesia menempati peringkat ke-enam (6) di urutan tingkat angka kematian dan
kecacatan PPOK berdasarkan perkiraan WHO tahun 2010, yaitu dengan jumlahnya
sebesar 58,4/100.000 orang penduduk dan angka disability-adjusted life years
(DALYs) sebesar 613/100.000 orang penduduk. Hasil RISKESDAS (2013)
menyatakan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7%. Prevalensi PPOK di
Indonesia tidak terlalu tinggi. Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat
sehubungan dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola
dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif serta meningkatnya kebiasaan merokok
dan polusi udara (Tjahjono, 2011). Menurut data RISKESDAS (2013) terjadi
peningkatan prevalensi perilaku merokok yaitu dari 34,2% tahun 2007 menjadi 38,3%

6
pada tahun 2013. Harminto (2004) menyatakan bahwa 53% pasien PPOK merupakan
bekas perokok, 29% pasien perokok berat dan 17% pasien tidak pernah merokok.
2. Faktor Determinan PPOK
Peran masing-masing faktor resiko penyebab PPOK telah banyak dipelajari di
luar negeri, tetapi seberapa jauh kontribusi masing-masing faktor tersebut terhadap
patogenesis PPOK tidak banyak dilaporkan. Adapun beberapa faktor determinan yang
menyebabkan PPOK adalah :
a. Kebiasaan merokok
Merokok merupakan masalah kesehatan global, WHO memperkirakan
jumlah perokok didunia sebanyak 2,5 milyar orang dengan dua per tiganya
berada di negara berkembang. Di negara berkembang paling sedikit satu dari
empat orang dewasa adalah perokok. Menurut buku Report of The WHO Expert
Commite on Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya PPOK.
Asap rokok dapat mengganggu aktifitas bulu getar saluran pernafasan, fungsi
makrofag dan mengakibatkan hipertropi kelenjar mukosa. Pengidap PPOK yang
merokok mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi (6,9-25 kali)
dibandingkan dengan bukan perokok. Resiko PPOK yang diakibatkan oleh
rokok empat kali lebih besar daripada bukan perokok. Mekanisme kerusakan
paru akibat rokok terjadi melalui 2 tahap yaitu jalur utama melalui peradangan
yang disertai kerusakan matriks ekstrasel dan jalur kedua ialah menghambat
reparasi matriks ekstrasel. Mekanisme kerusakan paru akibat rokok melalui
radikal bebas yang dikeluarkan oleh asap rokok. Bahan utama perusak sel akibat
proses diatas adalah protease, mielperoksidase, oksidan dan radikal bebas.
Sedangkan yang bertugas meredam bahan-bahan tersebut adalah Alfa-1
Antitripsin (AAT), yang dapat dirusak oleh mielperoksidase (MPO), radikal
bebas dan oksidan.
b. Alfa 1 Antritripsin (AAT)
Alfa-1 Antitripsin adalah senyawa protein atau polipeptida yang dapat
diperoleh dari darah atau cairan bronkus. Alfa 1 Antitripsin yang ada disaluran
pernafasan jumlahnya sangat sedikit yaitu 1-2% dari AAT yang ada di plasma
darah. Disamping jumlahnya yang sedikit, kapasitas inhibisinya juga rendah
yaitu hanya 30% aktivitas di plasma darah. Salah satu penyebab turunnya
aktivitas AAT tersebut adalah karena AAT mudah dioksidasi pada gugusan
yang aktif yaitu gugus methion.

7
c. Pekerjaan
Faktor pekerjaan berhubungan erat dengan unsur alergi dan hiperreaktivitas
bronkus. Dan umumnya pekerja tambang yang bekerja dilingkungan yang
berdebu akan lebih mudah terkena PPOK.
d. Tempat Tinggal
Orang yang tinggal di kota kemungkinan untuk terkena PPOK lebih tinggi
daripada orang yang tinggal di desa. Hal ini berkaitan dengan kondisi tempat
yang berbeda antara kota dan desa. Dimana dikota tingkat polusi udara lebih
tinggi dibandingkan di desa.
e. Jenis Kelamin
Pada pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita. Hal ini disebabkan
lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita.
f. Faktor Genetik
Belum diketahui jelas apakah fator genetik berperan atau tidak, kecuali
penderita dengan efisiensi alfa-1 antitripsin yang merupakan suatu protein.
Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada
peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan
jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa-antitripsin adalah suatu
kelainan yang diturunkan secara autosom resesif.
g. Polusi Lingkungan
Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab penyakit
diatas, tetapi bila ditambah merokok, resiko akan lebih tinggi. Zat-zat kimia
yang dapat menyebabkan PPOK adalah zat-zat pereduksi dan zat-zat
pengoksidasi seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.
h. Status Sosial Ekonomi
Pada status ekonomi rendah kemungkinan untuk mendapatkan PPOK lebih
tinggi. 10 Hal ini disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih rendah.
i. Infeksi Bronkus
Di negara kita angka kejadian infeksi paru masih sangat tinggi baik itu oleh
Tuberkulosis maupun oleh penyebab lain. Infeksi paru yang berulang-ulang
diderita seseorang dalam jangka panjang juga akan meningkatkan risiko terkena
PPOK. Menurut laporan WHO (1999), di Indonesia setiap tahun terjadi 583
kasus baru dengan kematian 130 penderita (CFR 22,3%) dengan tuberkulosis
positif pada dahaknya.Terjadi berulang yang diawali infeksi virus, kemudian

8
menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri. Bakteri yang diisolasi paling
banyak adalah haemophilus Influenzae, Streptococcus Pneumonia dan
Staphylococcus. Serangkaian reaksi yang terjadi akibat masuknya bakteri
diproduksinya antibodi dan inhibitor protease serta pengaktifan sistem
proteolitik jaringan setempat. Enzim proteolitik yang diproduksi oleh bakteri
tidak dapat dibedakan dengan yang diproduksi oleh jaringan setempat.
Disamping itu bakteri yang mengalami lisis juga akan mengeluarkan enzim
proteolitik yang melekat pada dindingnya.
j. Usia
Gejala PPOK jarang muncul pada usia muda, umumnya setelah usia 50 tahun
keatas. Hal ini dikarenakan keluhan muncul karena adanya terpaan asap beracun
yang terus menerus dalam waktu yang lama. Pada orang yang masih terus
merokok setelah usia 45 tahun fungsi parunya akan menurun dengan cepat
dibandingkan yang tidak merokok dan pada usia di atas 60 tahun gejala-gejala
PPOK akan mulai muncul.
k. Debu
Perjalanan debu yang masuk ke saluran pernafasan dipengaruhi oleh ukuran
partikel tersebut. Partikel yang berukuran 5 m atau lebih akan mengendap di
hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkhus. Partikel yang berukuran
kurang dari 2 m akan berhenti di bronkiolus respiratorius dan alveolus. Partikel
yang berukuran kurang dari 0,5 m biasanya tidak sampai mengendap disaluran
pernafasan akan tetapi dikeluarkan lagi.
Debu yang masuk ke saluran pernafasan dapat berakibat terjadinya kerusakan
jaringan setempat dari yang ringan sampai kerusakan yang parah dan menetap.
Derajat kerusakan yang ditimbulkan oleh debu dipengaruhi oleh faktor asal dan
sifat alamiah debu, jumlah debu yang masuk dan lama paparan, serta reaksi
imunologis subjek yang terkena paparan.
Apabila terdapat debu yang masuk ke sakkus alveolus, makrofag yang ada di
dinding alveolus akan memakan debu tersebut. Akan tetapi kemampuan
fagositik makrofag terbatas, sehingga tidak semua debu dapat difagositik. Debu
yang ada di makrofag sebagian akan dibawa ke bulu getar yang selanjutnya
dibatukkan dan sebagian lagi tetap tertinggal di interstinum bersama debu yang
tidak sempat di fagositik. Debu organik dapat menimbulkan fibrosis sedangkan
debu mineral (inorganik) tidak selalu menimbulkan fibrosis jaringan. Reaksi

9
tersebut diatas dipengaruhi juga oleh jumlah dan lamanya pemaparan serta
kepekaan individu untuk menghadapi rangsangan yang diterimanya.

D. Pencegahan PPOK
1. Pencegahan Primer
a. Pendidikan terhadap penderita dan keluarganya.
Mereka harus mengetahui faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta
faktor yang bisa memperburuk penyakit. Ini perlu peranan aktif penderita untuk
usaha pencegahan.
b. Menghindari rokok dan zat-zat inhalasi lain yang bersifat iritasi.
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit.
Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat
iritasi harus dihindari. Karena zat itu menimbulkan ekserbasi / memperburuk
perjalanan penyakit.
c. Menghindari infeksi.
Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari oleh karena dapat menimbulkan
suatu eksaserbasi akut penyakit.
d. Lingkungan yang sehat dan kebutuhan cairan yang cukup.
e. Imunoterapi.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini (pemeriksaan penyakit) dan pengobatan
yang tepat.
a. Pemeriksaan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
a.1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan meliputi pasien tampak kurus dengan barrel shape chest
(diameter anteroposterior dada meningkat), fremitus taktil dada tidak ada atau
berkurang, perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati
lebih rendah, tukak jantung berkurang, dan suara nafas berkurang dengan
expirasi panjang.
a.2. Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan fungsi paru terdiri dari pemeriksaan spirometri dan uji
bronkodilator. Pemeriksaan ini merupakan parameter yang paling umum
digunakan untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Pemeriksaan darah rutin meliputi pemeriksaan Hb, Ht, dan leukosit. Pada

10
pemeriksaan radiologi, foto dada dan lateral (samping) berguna untuk
menyingkirkan penyakit paru lain.
a.3. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan fungsi paru, uji latih pulmoner, uji
provokasi bronkus, uji coba kortokosteroid, analisa gas darah, CT scan resolusi
tinggi, EKG, ekokardiografi, bakteriologi dan pemeriksaan kadar alfa-1
antitripsin.
b. Pengobatan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Adapun cara pengobatan PPOK dapat dilakukan dengan :
b.1. Bronkodilator
Pemberian bronkodilator jenis antikolinergik dan beta 2 agonis untuk
mengatasi obstruksi jalan nafas.
b.2. Teofilin
Pemberian teofilin untuk meningkatkan faal paru dan untuk mencegah
keletihan.
b.3. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dalam bentuk oral dengan dosis tunggal prednison
40 mg/hari paling sedikit selama 2 minggu. Dapat pula digunakan dalam
bentuk inhalasi kortikosteroid antara lain azmakort. Bila tidak menunjukkan
hasil selama 2 minggu maka pengobatan kortikosteroid sebaiknya dihentikan.
Pada pasien yang menunjukkan perbaikan, maka harus di monitor efek
samping dari kortikosteroid pada penggunaan jangka panjang. Obat yang
termasuk di dalamnya adalah : dexametason, prednison dan prednisolon.
b.4. Antibiotik
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama pada
keadaan eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan
semakin memburuk. Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan
beratnya eksaserbasi. Antibiotik yang bermanfaat adalah golongan Penisilin,
eritromisin dan kotrimoksazol biasanya diberikan selama 7-10 hari. Apabila
antibiotik tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan
mikroorganisme seperti Streptococcus pneumoniae, Haeomophilus influenza,
dan Mycoplasma.

11
b.5. Terapi Oksigen
Diberikan pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55 mmHg.
Pemberian oksigen konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus
memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, dan toleransi beban kerja. Lama
pemberian 15 jam setiap hari, yang bertujuan mencegah hipoksemia yang
sering terjadi bila penderita tidur, pemberian oksigen pada waktu melakukan
aktifitas yang bertujuan menghilangkan sesak nafas dan meningkatkan
kemampuan aktifitas. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen
diatas 90%. Terapi diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sesitivitas terhadap CO2.
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan ini berupa rehabilitasi, disebabkan pasien cenderung menemui
kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi
agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah :
a. Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan
efisiensi batuk, mengatasi gangguan pernapasan pasien, memperbaiki gangguan
pengembangan thoraks, meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan, dan
mengurangi spasme otot leher.
b. Rehabilitasi psikis
Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan
mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya.
c. Rehabilitasi pekerjaan
Berguna untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan fisiknya. Misalnya bila istirahat lebih baik duduk daripada berdiri atau
dalam melakukan pekerjaan harus lambat tapi teratur.

E. Kolaborasi Bersama dalam Menurukan Kematian Akibat PPOK


Kolaborasi bersama merupakan solusi dalam menurukan kematian akibat PPOK.
Pencermatan terhadap perkembangan dan kecenderungan internasional maupun nasional,
baik politik, ekonomi dan keamanan, menunjukkan bahwa isu domestik yang timbul,
tidak terlepas dari pengaruh eksternal, baik global mapun regional. Peran dari segi
politik, ekonomi dan keamanan dalam menurunkan angka kematian akibat PPOK.

12
Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien, terutama karena
desentralisasi pendidikan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini
ditandai oleh, antara lain, belum mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab
masing-masing tingkat pemerintahan, termasuk kontribusi dalam penyedian anggaran
pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan, yang menyebabkan rendahnya pengetahuan
dan kesadaran hidup sehat. Kesadaran hidup sehat dalam hal ini adalah perilaku untuk
tidak merokok yang sangat berelavansi dengan penyakit paru obstruktif klinis.
Diperlukannya innovative governance dalam menjawab permasalahan PPOK yang
kian variatif masih didampingi dengan sedikit sekali inovasi-inovasi yang muncul di
berbagai daerah. Seperti Gerakan 1000 Masker untuk masyarakat sekitar yang berisiko
terkena PPOK, Peraturan KTR (Kawasan Tanpa Rokok) diberlakukan dimana-mana dan
melibatkan pemerintah dari segi politik, dari segi keuangan seperti swadaya masyarakat
atau sponsor dari perusahaan yang bergerak dalam produk healthy dan lain-lain.
Solusi selanjutnya adalah tanggung jawab sosial universitas sebagai terjemahan
dari Universitas Sosial Responsibility (USR). Tanggung jawab sosial universitas tidak
lagi dapat dipandang sebatas produsen atau laboratorium pengetahuan, pendidikan,
penelitian, pengajaran, pengabdian masyarakat, kebebasan mimbar akademis dan
institusi untuk memperoleh kebenaran, melainkan telah mengalami transformasi yang
luar biasa ke dalam kehidupan masyarakat secara aktif. Dengan demikian, tanggung
jawab sosial universitas tidak lagi sebatas menara gading (ivory tower) penghasil sarjana
belaka, namun telah berkembang sedemikian kompleksnya bahkan mungkin melebihi
tanggung jawab sosial dari sebuah perusahaan. Bahkan, di mata masyarakat kini
perguruan tinggi/universitas telah dianggap sebagai institusi yang serba bisa, ampuh dan
paten serta dipercaya dalam menjawab permasalahan menurnukan kematian akibat
PPOK dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang semakin hari
semakin terbawa arus globalisasi. Perguruan tinggi/universitas dituntut untuk memiliki
kesadaran untuk menerapkan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat, bukan
sekedar pada tataran kedermawanan, namun menjangkau kepada persoalan sustainability
development. Perguruan tinggi/universitas dapat berperan sebagai agen pemberdayaan
asyarakat disekitarnya melalui peningkatan dan pengembangan tata sosial ekonomi,
kesehatan, maupun kondisi lingkungan berdasarkan prinsip peacefull coexistence (hidup
berdampingan secara damai) dan symbiosis mutualism (hidup saling menguntungkan
antara universitas dengan masyarakat sekitar secara berkelanjutan). Jika tanggung jawab
sosial universitas tersebut dapat diterapkan, maka berpotensi besar dalam menurunkan

13
kematian akibat PPOK. Contoh-contoh bentuk tanggung jawab universitas kepada
masyarakat adalah : Program pemberantasan buta aksara [PBA], Pendidikan
berkelanjutan yaitu meningkatkan kemitraan dengan masyarakat guna mewujudkan
masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society)., Program Bahasa Inggris
untuk Penutur Asing, Pelaksanaan berbagai kegiatan penyuluhan mengenai pola hidup
sehat dan khususnya peraturan tentang untuk tidak merokok, Bantuan sosial dan Bina
Lingkungan kepada masyarakat meliputi :Penghijauan, Pengelolaan sampah,
Penyuluhan kesehatan, Peningkatan kualitas pendidikan, Penyuluhan kesehatan dan
pemanfaatan SDM dan SDA.
Salah satu solusi untuk menurunkan kematian akibat PPOK adalah peraturan
tentang (KTR) atau Kawasan Tanpa Rokok yang merupakan tanggung jawab seluruh
komponen bangsa, baik individu, kelompok masyarakat maupun pemerintah untuk
melindungi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Oleh karena itu,
dibutuhkan kinerja bersama dari semua komponen terhadap keberhasilan pelaksanaan
KTR. 1) semua orang berhak dilindungi kesehatannya dari paparan asap rokok, 2)
kawasan tanpa rokok adalah upaya efektif untuk melindungi seluruh masyarakat dari
asap rokok orang lain, 3) perlu peraturan yang berbentuk legislasi secara hukum, 4)
untuk mencapai keberhasilan dan dalam penerapan dan penegakan KTR diperlukan
perencanaan yang baik dan SDM yang memadai, 5) LSM dan lembaga profesi
mempunyai peran yang penting, 6) pelaksanaan peraturan, penegakan hukum, dan
dampak KTR harus dimonitor dan dievaluasi.
Universitas berperan sebagai agen pemberdayaan komunitas lokal melalui
peningkatan dan pengembangan tata sosial ekonomi, kesehatan, maupun kondisi
lingkungan berdasarkan prinsip peacefull co-existence (hidup berdampingan secara
damai) dan symbiosis mutualism (hidup saling menguntungkan antara universitas dengan
asyarakat sekitar secara berkelanjutan). Jika model tanggung jawab sosial universitas
tersebut dapat diterapkan, maka universitas berpotensi besar dalam menurunkan angka
kematian akibat PPOK.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. PPOK adalah suatu penyakit yang ditandai oleh adanya hambatan aliran udara yang
disebabkan oleh bronkhitis kronis atau emfisema. Obstruksi aliran udara pada
umumnya pogresif non reversible kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan napas dan
kadangkala parsial reversibel.
2. Menurut para ahli ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya PPOK yaitu faktor
eksogen dan endogen. Faktor endogen (genetik) tersebut dapat bermanifestasi menjadi
PPOK tanpa adanya pengaruh faktor luar (eksogen).
3. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menyebabkan angka kematian dan kesakitan
yang tinggi di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) Global Burden of
Disease Project melaporkan bahwa PPOK menempati peringkat kelima (5) yaitu 4,8%
sebagai penyebab kematian di dunia pada tahun 2001 dan diperkirakan akan menempati
peringkat keempat (4) yaitu 7,9% kematian pada tahun 2030 (WHO). PPOK juga
menempati peringkat (13) total DALYs (2,0%) di dunia pada tahun 2004 diperkirakan
akan menempati peringkat 5 total DALYs (3,8%) pada tahun 2030 (WHO).
4. Pencegahan PPOK terdiri dari tiga ; yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder dan
pencegahan tersier.
5. Diperlukannya innovative governance dalam menjawab permasalahan PPOK yang kian
variatif masih didampingi dengan sedikit sekali inovasi-inovasi yang muncul di
berbagai daerah. Seperti Gerakan 1000 Masker untuk masyarakat sekitar yang berisiko
terkena PPOK, Peraturan KTR (Kawasan Tanpa Rokok) diberlakukan dimana-mana
dan melibatkan pemerintah dari segi politik, dari segi keuangan seperti swadaya
masyarakat atau sponsor dari perusahaan yang bergerak dalam produk healthy dan lain-
lain.
6. Solusi selanjutnya adalah tanggung jawab sosial universitas sebagai terjemahan dari
Universitas Sosial Responsibility (USR). Tanggung jawab sosial universitas tidak lagi
dapat dipandang sebatas produsen atau laboratorium pengetahuan, pendidikan,
penelitian, pengajaran, pengabdian masyarakat, kebebasan mimbar akademis dan
institusi untuk memperoleh kebenaran, melainkan telah mengalami transformasi yang
luar biasa ke dalam kehidupan masyarakat secara aktif.

15
B. Saran
1. Meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar bagi semua masyarakat akan
pentingnya hidup sehat dan menjauhi rokok.
2. Mendorong pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pengelolaan pendidikan
kesehatan sampai dengan satuan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan.
3. Memperkuat manajemen pelayanan pendidikan kesehatan dalam rangka membangun
pelayanan kesehatan yang amanah, efisien, produktif dan akuntabel melalui upaya
peningkatan tata kelola yang baik (good governance) kelembagaan.
4. . Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan kesehatan
termasuk meningkatkan peran dan fungsi stake holder dalam penyelenggaraan
pendidikan bebasis kesehatan dan masyarakat yang mencakup proses perencanaan,
pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan pembangunan pendidikan kesehatan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Aditama, 2002. Paru Kita Masalah Kita. Majalah Kesehatan Medika tahun XXVIII,

No.11.Hal : 743-745.

2. Adisasmito, Wiku. 2008. Analisis Politik Internasional dan MDGs Case Study : Analisis

Kebijakan Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat : Universitas Indonesia.

3. Amin M, 1996. PPOM : Polusi Udara, Rokok dan Alfa-1 Antitripsin. Cetakan pertama,

Airlangga University Press, Surabaya.

4 . Bustan, M. N. 1997. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT Rineka Cipta.

5. Daulay, Pardamean. 2008. Tanggung Jawab Sosial Universitas Terbuka Dalam Pencapaian

MDGs. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Terbuka.

6. Hisyam, dkk, 2001. Pola Mikroba pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)

Eksaserbasi di RS. Dr. Sardjito. Jurnal Penelitian Universitas Gadjah Mada Vol.33

No.1, http://digilib.litbang.depkes.go.id di akses tanggal 15 Desember 2016.

7. Jamal, S. 2004. Deskripsi Penyakit Sistem Sirkulasi : Penyebab Kematian utama di

Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran no.143. Jakarta.

8. Rahmatika, Anita. 2009. Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Yang Di

Rawat Inap di RSUD Aceh Tamiang Tahun 2007-2008. Skripsi. FKM: USU.

9. WHO. 2016. The Top Ten Causes of Death 2002-2030. Diakses tanggal 10 Desember

2016. http://www.who.int/whr/

17

Anda mungkin juga menyukai